"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Rabu, 15 Agustus 2012

Cerita Novel Musashi Bag. 22





Percakapan dengan Pengikut




SEBELUM makan pagi, Yang Dipertuan Hosokawa Tadatoshi memulai acara hariannya dengan mempelajari buku-buku klasik Kong Hu-Cu. Kewajiban-kewajiban resmi yang sering kali menuntut kehadirannya di Benteng Edo menghabiskan sebagian besar waktunya, tetapi manakala ia dapat memasukkannya dalam jadwal acaranya, ia berlatih seni bela diri. Malam hari, manakala mungkin, ia habiskan bersama para samurai muda yang bekerja padanya.

Suasana di antara mereka agak seperti suasana keluarga yang harmonis, duduk melingkari kepala keluarga. Tentu saja tidak sepenuhnya tidak resmi, karena memang tidak hendak ditanamkan bahwa Yang Dipertuan sederajat dengan mereka. Namun tata krama yang biasanya keras itu dikendurkan sedikit. Tadatoshi, yang bersantai mengenakan kimono dari kain rami ringan, mengundang pertukaran pendapat, yang sering kali mencakup desas-desus terakhir.

"Okatani," kata Yang Dipertuan, khusus kepada salah seorang lelaki yang paling tegap.

"Ya, Pak."

"Kudengar kau cukup mahir main lembing sekarang."

"Betul. Bahkan mahir sekali."

"Ha, ha. Jelas sekali kau bukan orang yang suka pura-pura rendah hati!"

"Kalau semua orang menyatakan demikian, kenapa mesti saya tolak?"

"Hari-hari ini aku akan lihat sendiri, sampai di mana kemajuan teknikmu sesungguhnya."

"Saya selalu menunggu kesempatan itu, tapi tak pernah datang rupanya."

"Kau beruntung kesempatan tidak datang."

"Kalau boleh tanya, apa Bapak pernah mendengar lagu yang sekarangdinyanyikan semua orang?"

"Apa itu?"

"Bunyinya begini:



Ada pemain lembing dan pemain lembing, Segala macam pemain lembing, Tapi yang paling besar Adalah Okatani Goroji... "



Tadatoshi tertawa. "Tak bisa kau begitu saja mempermainkan aku. Itu kan lagu tentang Nagoya Sanzo."

Yang lain-lain ikut tertawa.

"Oh, jadi Bapak tahu?"

"Kau akan heran kalau melihat apa yang kuketahui." la sudah hampir memberikan bukti lebih lanjut tentang itu, tapi kemudian dipertimbangkannya kembali. Ia suka mendengarkan apa yang dipikirkan dan dibicarakan orang-orangnya, dan ia beranggapan bahwa tahu keadaan adalah kewajiban, namun barangkali kurang cocok kalau ia mengungkapkan berapa banyak yang sebenarnya ia ketahui. Maka sebaliknya ia bertanya, "Berapa banyak di antara kalian mengkhususkan diri dalam lembing, dan berapa dalam pedang?"

Dari tujuh orang, ada lima yang belajar lembing, dan hanya dua yang belajar pedang.

"Kenapa begitu banyak yang lebih menyukai lembing?" tanya Tadatoshi. Para pemain lembing sepakat bahwa lembing lebih efektif untuk pertempuran.

"Dan bagaimana pendapat pemain pedang?"

Salah satu dari kedua orang itu menjawab, "Pedang lebih baik. Keahlian bermain pedang menyiapkan diri kita untuk keadaan damai maupun perang."

Ini memang soal yang selalu menjadi pembicaraan, dan perdebatan biasanya berlangsung hidup.

Salah seorang pemain lembing menyela, "Makin panjang lembing itu, makin baik, asalkan tidak terlalu panjang untuk ditangani secara efisien. Lembing dapat dipakai untuk memukul, menusuk, atau membabat, dan kalau mengalami kegagalan, kita dapat beralih pada pedang. Kalau kita hanya menggunakan pedang dan pedang itu patah... nah!"

"Barangkali benar begitu," balas seorang wakil seni pedang, "tapi kerja seorang samurai tidak terbatas pada medan tempur. Pedang adalah jiwanya. Melatih seni pedang berarti menghaluskan dan mendisiplinkan semangat kita. Dalam arti seluas-luasnya, pedang adalah dasar semua latihan militer, apa pun kekurangan pedang dalam pertempuran. Kalau kita menguasai makna yang dalam dari Jalan Samurai, disiplin pedang itu dapat diterapkan pada lembing, atau bahkan juga senapan. Kalau kita mengenal pedang, kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan yang bodoh atau kena serangan mendadak. Permainan pedang adalah seni yang dapat diterapkan menyeluruh."

Perdebatan itu bisa berlangsung terus, tanpa batas, tapi Tadatoshi yang mendengarkan tanpa berpihak itu berkata, "Mainosuke, apa yang baru kaukatakan itu kedengarannya ucapan orang lain."

Matsushita Mainosuke bertahan. "Tidak, Pak. Itu pendapat saya sendiri."

"Ayolah, jujur saja."

"Ya, terus terang, saya mendengar yang serupa itu ketika saya mengunjungi Kakubei baru-baru mi. Sasaki Kojiro bicara soal itu juga. Tapi ucapan itu cocok sekali dengan pikiran saya sendiri.... Saya tak mau menipu siapa-siapa. Cuma Sasaki dapat menguraikannya dengan lebih baik daripada saya."

"Aku juga berpikir begitu," kata Tadatoshi disertai senyum maklum. Disebutkannya nama Kojiro mengingatkan dirinya bahwa ia belum mengambil keputusan, apakah akan menerima rekomendasi Kakubei.

Kakubei menyarankan karena Kojiro belum begitu tua, kepadanya dapat ditawarkan sekitar seribu gantang. Tapi ada yang jauh lebih penting daripada persoalan penghasilan. Tadatoshi sudah berkali-kali diberitahu ayahnya bahwa yang paling penting pada waktu mempekerjakan samurai, pertama-tama adalah melakukan penilaian yang baik, dan baru memperlakukan mereka dengan baik. Sebelum menerima seorang calon, sangat ditekankan untuk tidak hanya menaksir keterampilannya, melainkan juga wataknya. Betapapun orang itu diinginkan, kalau ia tidak dapat bekerja sama dengan para abdi yang telah membentuk suasana dalam Keluarga Hosokawa sekarang mi, orang itu tidak akan berguna.

Tanah perdikan itu seperti benteng yang dibangun dari banyak batu, demikian nasihat Hosokawa tua. Batu yang tidak dapat dipotong agar sesuai dengan batu-batuan yang lain, akan melemahkan hubungan keseluruhan, sekalipun batu itu sendiri ukuran dan mutunya mengagumkan. Para daimyo zaman baru meninggalkan batu-batuan yang tidak cocok di pegunungan dan ladang, karena jumlah batu-batuan macam itu melimpah. Tantangan paling besar adalah bagaimana menemukan batu besar yang akan memberikan sumbangan menonjol kepada tembok. Ditinjau dari pemikiran itu, Tadatoshi merasa bahwa umur muda Kojiro itu cocok untuknya. Pemuda itu sedang dalam tahun-tahun pembentukan diri, sehingga masih dapat menerima sejumlah pengaruh.

Tapi Tadatoshi juga teringat akan seorang ronin lain. Nagaoka Sado sudah menyebutkan Musashi lebih dahulu dalam salah satu pertemuan malam seperti itu. Sado membiarkan Musashi lolos dari tangannya, tapi Tadatoshi tidak melupakannya. Kalau keterangan Sado memang tepat, Musashi adalah prajurit yang lebih baik daripada Kojiro, dan sekaligus orang yang cukup luas wawasannya, dan itu diperlukan sekali dalam pemerintahan.

Kalau ia bandingkan kedua orang itu, ia mesti mengakui bahwa kebanyakan daimyo akan lebih menyukai Kojiro. Ia berasal dari keluarga baik-baik dan telah mempelajari Seni Perang secara menyeluruh. Sekalipun masih muda, ia sudah mengembangkan gayanya sendiri yang hebat, dan sudah memperoleh kemasyhuran sebagai petarung. Cerita tentang kekalahan "gemilang" orang-orang Akademi Obata di tepi Sungai Sumida dan sekali lagi di tanggul Sungai Kanda itu sudah dikenal orang.

Sementara itu, tak ada orang mendengar tentang Musashi. Kemenangannya di Ichijoji memang menciptakan nama baik baginya. Tapi hal itu sudah bertahun-tahun yang lalu, dan segera sesudahnya tersebar berita bahwa cerita itu cuma dibesar-besarkan. Bahwa Musashi adalah pengejar kemasyhuran yang hanya membuat-buat perkelahian, kemudian melakukan serangan kilat dan melarikan diri ke Gunung Hiei. Setiap kali Musashi melakukan sesuatu yang patut dipuji, banjir desas-desus pun menyusul, mencemarkan watak dan kemampuannya. Hal itu sudah mencapai puncaknya, hingga kalau nama Musashi diucapkan orang saja, biasanya segera disambut dengan kecaman. Atau orang mengabaikannya sama sekali. Sebagai anak prajurit yang tak dikenal di Pegunungan Mimasaka, garis keturunannya tidaklah menonjol. Ada orang-orang lain yang sederhana asal-usulnya—yang paling menonjol di antaranya, Toyotomi Hideyoshi dari Nakamura di Provinsi Owari—telah mencapai kemuliaan belum lama ini, namun orang banyak itu secara keseluruhan bersikap sadar kelas, dan tidak menghiraukan orang dengan latar belakang seperti Musashi.

Sementara Tadatoshi merenungkan persoalan itu, ia memandang ke sekitarnya dan bertanya, "Apa ada di antara kalian yang kenal samurai bernama Miyamoto Musashi?"

"Musashi?" terdengar jawaban terkejut. "Mustahil kalau orang tidak mendengar tentang dia. Namanya disebut-sebut orang di seluruh kota." Jelas kelihatan, mereka semua kenal baik dengan nama itu.

"Kenapa begitu?" Pandangan penuh harap tampak pada wajah Tadatoshi.

"Banyak papan pengumuman dipasang tentang dia," ujar seorang pemuda dengan nada agak enggan.

Seorang samurai lain bernama Mori menimpali, "Orang banyak menyalin papan pengumuman itu, termasuk saya. Ada saya bawa sekarang. Boleh saya bacakan?"

"Ya, bacalah."

"Oh, ini dia," kata Mori sambil membuka sobekan kertas yang sudah kusut.

"'Ditujukan kepada Miyamoto Musashi yang sudah balik gagang dan lari..."' Orang-orang mengangkat alis dan mulai tersenyum, tapi wajah Tadatoshi murung. "Cuma itu?"

"Tidak." Mori membaca selebihnya, dan katanya, "Papan-papan itu dipasang gerombolan dari daerah tukang kayu. Orang menganggap ini menarik sekali, karena soalnya bajingan jalanan menjewer hidung seorang samurai."

Tadatoshi mengerutkan kening sedikit, dan merasa bahwa kata-kata yang memfitnah Musashi itu menyebabkan penilaiannya sendiri perlu dipertanyakan kembali. Ini berbeda sekali dengan gambarannya sendiri tentang Musashi. Namun ia tidak hendak menerima apa yang didengarnya itu begitu saja. "Hmm," gumamnya. "Aku ingin tahu juga, apa Musashi betul-betul orang macam itu."

"Saya kira dia itu orang kampung yang tidak ada harganya," ujar Mori, dan pendapatnya itu sama dengan pendapat yang lain-lain. "Atau paling sedikit, seorang pengecut. Kalau tidak, kenapa dia membiarkan namanya terseret dalam lumpur?"

Jam berbunyi, dan orang-orang pergi, tetapi Tadatoshi masih terus duduk sambil berpikir, "Ada yang menarik pada orang ini." Sebagai orang yang tak mau diombang-ambingkan oleh pendapat umum, ia ingin tahu cerita itu dari pihak Musashi.

Pagi harinya, sesudah mendengarkan kuliah tentang kesusastraan klasik Cina, ia keluar dari kamar belajarnya, masuk beranda, dan melihat Sado di halaman.

"Selamat pagi, kawan tua," serunya.

Sado menoleh, dan dengan sopan membungkuk sebagai ucapan selamat pagi.

"Apa Anda masih mencari?" tanya Tadatoshi.

Heran mendapat pertayaan itu, Sado hanya menatap balik.

"Maksud saya, apa Anda masih juga mencari Miyamoto Musashi?"

"Betul, Pak." Sado menundukkan mata.

"Kalau Anda sudah menemukan dia, bawa dia kemari. Saya ingin lihat, orang macam apa dia."

Tak lama sesudah tengah hari, pada hari itu juga, Kakubei mendekati Tadatoshi di lapangan memanah dan mendesakkan rekomendasinya tentang Kojiro.

Yang Dipertuan Muda memungut busur, dan katanya tenang, "Maaf, aku lupa. Bawa dia kapan saja kemari. Aku ingin melihatnya. Entah dia akan diterima menjadi abdi atau tidak, itu soal lain. Kau kan tahu."

Serangga-Serangga Mendengung







Kojiro duduk di kamar belakang rumah kecil yang dipinjamkan Kakubei. Ia mengamati Galah Pengering. Sesudah peristiwa dengan Hojo Shinzo, ia minta Kakubei mendesak tukang gosok pedang itu untuk mengembalikan senjatanya. Senjatanya kembali pagi itu.

"Pasti takkan digosok," pikir Kojiro, tapi ternyata pedang itu sudah digarap dengan saksama dan penuh perhatian, melebihi harapannya yang paling tinggi. Dari logam biru hitam, yang mengombak seperti aliran sungai dalam, sekarang muncul sinar putih cemerlang, cahaya abad-abad yang lewat, noda-noda karat seperti cacat lepra sudah hilang. Pola tempaan yang berombak antara mata pedang dan garis punggung pedang, yang selama itu penuh noda darah, kini indah cemerlang seperti bulan berkabut mengambang di langit.

"Seperti melihatnya pertama kali," pikir Kojiro dengan kagum. Karena tak dapat melepaskan pandang dari pedang itu, tidak didengarnya tamu berseru dari depan rumah,

"Kau di rumah?... Kojiro?"

Bagian bukit itu diberi nama Tsukinomisaki, karena indahnya pemandangan di sana waktu bulan naik. Dari ruang duduknya, Kojiro dapat melihat hamparan teluk dari Shiba sampai Shinagawa. Di seberang teluk, awan-awan berbusa muncul sampai setinggi matanya. Pada waktu itu, warna putih pada perbukitan yang jauh dan warna biru kehijauan pada air seperti berpadu dengan pedang.

"Kojiro! Apa tak ada orang di sini?" Kali ini suara itu datang dari pintu samping yang dijalari rumput.

Sadar dari lamunannya, Kojiro berteriak, "Siapa itu?" lalu memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya. "Saya di belakang. Kalau mau ketemu saya, masuk saja ke beranda."

"Oh, di sini kau rupanya," kata Osugi, yang lalu berjalan memutar, ke tempat yang memungkinkannya melihat ke dalam rumah.

"Wah, ini kejutan," kata Kojiro dengan hangat. "Apa yang mendorong Nenek keluar pada hari sepanas ini?"

"Tunggu sebentar. Aku mau membasuh kaki. Sesudah itu, kita bicara."

"Sumurnya di sana. Hati-hati, dalam sekali. Hei, Bung, kawani Nenek ini, dan jaga jangan sampai terjerumus." Orang yang dipanggil "Bung" itu anggota rendahan gerombolan Hangawara, yang dikirim untuk mengawal Osugi.

Sesudah membasuh wajahnya yang berkeringat dan mencuci kakinya, Osugi masuk rumah dan bertukar salam sedikit. Melihat bahwa angin menyenangkan bertiup dari teluk, ia memicingkan mata, dan katanya, "Rumah ini bagus dan sejuk. Apa kau tidak takut jadi malas, tinggal di tempat menyenangkan macam ini?"

Kojiro tertawa. "Saya bukan macam Matahachi."

Perempuan itu mengedip-ngedipkan matanya dengan sedih, tapi mengabaikan saja ejekan itu. "Maaf, aku tidak membawa hadiah yang pantas," katanya. "Sebagai gantinya, kuberi kau sutra yang kusalin sendiri." Sambil menyerahkan pada Kojiro buku Sutra tentang Cinta Agung Orangtua, ia menambahkan, "Silakan baca, kalau ada waktu."

Kojiro memandang acuh tak acuh hasil kerja tangan perempuan itu, lalu menoleh pada pengantar Osugi, dan katanya, "Aku jadi teringat. Apa sudah kaupasang papan-papan yang kutulisi itu?"

"Yang minta Musashi keluar dari persembunyian?"

"Ya, itu."

"Dua hari penuh kami habiskan. Sudah kami pasang satu di hampir tiap persimpangan penting."

Osugi berkata, "Kami melihat beberapa dalam perjalanan kemari tadi. Di mana-mana orang berdiri berkerumun dan bergunjing. Aku senang mendengar omongan mereka tentang Musashi."

"Kalau dia tidak menjawab tantangan itu, habis riwayatnya sebagai samurai. Seluruh negeri akan menertawakannya. Dan itu sudah cukup jadi balas dendam Nenek."

"Mana bisa. Ditertawakan orang tidak cukup buat dia. Dia orang yang tak tahu malu. Lagi pula, aku tidak puas kalau dia cuma ditertawakan. Aku ingin dia dihukum tandas."

"Ha, ha," Kojiro tertawa, senang karena kegigihan perempuan itu. "Nenek semakin tua, tapi tak pernah menyerah, ya? Omong-omong, apa ada hal khusus yang terjadi?"

Wanita tua itu membenahi dirinya, lalu menjelaskan bahwa sesudah lebih dari dua tahun hidup dengan Hangawara, ia merasa mesti jalan terus. Tidak baik kalau ia hidup di atas keramahtamahan Yajibei terus-menerus. Disamping itu, ia sudah lelah mengurus kaum bajingan yang jumlahnya serumah itu. Ia sudah melihat satu tempat kecil yang enak untuk disewa, di daerah Kapal Tambang Yoroi.

"Bagaimana pendapatmu?" Wajah Osugi tampak bersungguh-sungguh, mengandung tanda tanya. "Rupanya aku takkan segera dapat menjumpai Musashi. Dan lagi, aku merasa bahwa Matahachi ada di Edo ini. Kupikir aku mesti minta dikirimi uang dari rumah dan tinggal di sini sebentar lagi. Tapi sendirian saja, seperti kukatakan tadi."

Karena tak ada alasan keberatan, Kojiro cepat menyetujui. Hubungannya sendiri dengan pimpinan rumah tangga Hangawara memang semula menghibur dan bermanfaat, namun sekarang sedikit memalukan. Hubungan itu sudah pasti bukan merupakan modal bagi seorang ronin yang mencari majikan. Maka ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pelajaran-pelajaran praktek itu.

Kojiro memanggil salah seorang bawahan Kakubei, dan menyuruhnya mengambilkan semangka dari petak tanah di belakang rumah. Mereka mengobrol sementara semangka itu dipotong dan dihidangkan, tapi tak lama kemudian Kojiro mengantar tamunya ke luar. Tingkah lakunya menunjukkan bahwa ia lebih suka kalau tamunya pulang sebelum matahari tenggelam.

Sesudah tamu-tamu pergi, Kojiro sendiri menyapu kamar-kamarnya dan menyirami halaman dengan air sumur. Pokok bunga terompet dan ubi rambat yang tumbuh di pagar sudah mencapai puncak pagar dan kemball turun ke tanah, mengancam menjerat kaki pasu air dari batu di situ. Bunga-bunga yang putih warnanya itu melambai-lambai ditiup angin petang.

Sampai di kamar, ia kembali membaringkan diri, dan iseng bertanya pada diri sendiri, apakah tuan rumah akan bertugas malam itu di rumah Hosokawa. Lampu yang toh akan mati oleh tiupan angin tidak dinyalakan. Cahaya bulan yang naik di seberang teluk sudah menerangi permukaannya.

Di kaki bukit, seorang samurai muda menerobos pagar makam.



Kakubei hendak mengandangkan kuda yang biasa dinaikinya pulangpergi ke tempat semayam Hosokawa, di toko bunga di kaki bukit Isarago.

Tapi petang itu aneh juga, tidak kelihatan tanda-tanda si tukang bunga, padahal biasanya la segera datang mengurusi binatang itu. Karena tidak melihat tukang bunga itu di dalam toko, Kakubei berjalan memutar ke belakang, dan menambatkan kudanya ke sebatang pohon. Selagi ia melakukan itu, tukang bunga datang berlari dari belakang kuil.

Sambil terengah-engah, ia terima kendali dari tangan Kakubei, dan katanya, "Maaf, Pak. Ada orang asing di makam, mau naik bukit. Saya teriaki, saya katakan tak ada jalan ke sana. Dia menoleh dan memandang saya, marah kelihatannya, kemudian menghilang." Ia berhenti sebentar, kemudian memandang ke arah pepohonan gelap, dan menambahkan dengan sikap kuatir. "Apa menurut Bapak tak mungkin dia pencuri? Orang bilang, banyak rumah daimyo dimasuki pencuri akhir-akhir ini."

Kakubei sudah mendengar desas-desus itu, tapi ia menjawab disertai tawa singkat, "Semua itu cuma omongan, tak lebih dari itu. Kalau orang yang kaulihat itu pencuri, aku berani mengatakan dia cuma pencuri kecil atau salah seorang ronin yang suka mencegat orang di jalan-jalan."

"Tapi kita ini ada di pintu masuk ke Tokaido, dan banyak musafir diserang orang-orang yang sedang melarikan diri ke provinsi-provinsi lain. Saya jadi bingung, kalau melihat orang-orang yang tampaknya mencurigakan pada malam hari."

"Kalau ada apa-apa, lari saja naik ke bukit dan ketuk gerbangku. Orang yang tinggal denganku kesal juga dengan soal itu, dan selalu mengeluh karena tak pernah ada tindakan di sekitar tempat ini."

"Maksud Bapak, Sasaki Kojiro? Dia sudah mendapat nama yang lumayan sebagai pemain pedang di daerah ini."

Kata-kata itu sama sekali tidak mengganggu rasa harga diri Kakubei. la suka pada orang muda, dan tahu benar bahwa menerima pemuda yang punya masa depan sebagai anak didik, dianggap terpuji dan sekaligus bijaksana untuk samurai yang sudah mantap seperti dirinya. Sekiranya terjadi bahaya, tidak ada bukti yang lebih meyakinkan mengenai kesetiaannya daripada kemampuannya menyiapkan pesilat-pesilat hebat bagi tuannya. Dan jika seorang dari mereka kemudian menjadi terkemuka, maka pujian se­pantasnya akan diberikan kepada abdi yang telah mengusulkannya. Salah satu keyakinan Kakubei adalah bahwa kepentingan pribadi merupakan ciri yang tak disukai pada seorang pengikut. Namun ia sendiri bersikap realistis. Dalam sebuah perdikan besar, hanya sedikit abdi yang mengingkari kepentingan diri seluruhnya.

Sekalipun ia mendapat kedudukan karena keturunan, Kakubei setia kepada Yang Dipertuan Tadatoshi, sama dengan abdi-abdi lain. Ia bukan macam orang yang akan mencoba mengalahkan orang-orang lain dengan memamerkan kesetiaannya. Untuk pemerintahan rutin, orang-orang semacam dirinya secara keseluruhan jauh lebih memuaskan daripada para penghasut yang berusaha melakukan perbuatan-perbuatan menakjubkan.

"Aku kembali," serunya sewaktu memasuki gerbang rumahnya. Bukit itu sangat terjal, dan ia selalu agak kehabisan napas ketika sampai di tempat itu. Karena ia tinggalkan istrinya di desa, dan rumah itu kebanyakan hanya dihuni lelaki dan sedikit pembantu perempuan, maka sentuhan kewanitaan cenderung tak ada di situ. Namun pada malam hari, apabila tak ada tugas malam, ia merasa bahwa jalan batu dari gerbang merah ke pintu masuk itu menarik hatinya, karena jalan itu telah dibasahi sebelum ia pulang. Tak peduli betapapun larut ia pulang, selalu ada orang datang ke pintu depan untuk menyambutnya.

"Apa Kojiro ada?" tanyanya.

"Sepanjang hari ada di rumah, Tuan," jawab pembantu itu. "Sekarang sedang berbaring di kamarnya, menikmati tiupan angin."

"Bagus. Siapkan sake, dan minta dia menemui aku."

Sementara dilakukan persiapan, Kakubei menanggalkan pakaiannya yang sudah berkeringat, dan bersantai di bak mandi. Sesudah mengenakan kimono tipis, la masuk ruang duduk, di mana Kojiro duduk memainkan kipasnya.

Sake datang, Kakubei menuangkan, katanya, "Kau kupanggil karena hari ini terjadi sesuatu yang membesarkan hati, yang ingin kusampaikan padamu."

"Kabar baik?"

"Sejak aku menyebut namamu di hadapan Yang Dipertuan Tadatoshi, rupanya dia sudah mendengar tentangmu dari sumber-sumber lain juga. Hari ini dia minta aku membawamu menghadap dia segera. Seperti kau tahu, tidak mudah menyiapkan soal ini. Ada berlusin-lusin abdi yang ingin mengusulkan calonnya." Harapannya bahwa Kojiro akan senang sekali mendengar hal itu, tampak jelas dalam nada bicara dan tingkahnya.

Kojiro melekatkan mangkuknya ke bibir dan minum. Ketika bicara, air mukanya tidak berubah, dan ia hanya berkata, "Biar saya tuangkan untuk Anda."

Kakubei jauh dari merasa jengkel. Ia kagum pada pemuda itu, karena kemampuannya menyembunyikan perasaannya. "Artinya aku sudah berhasil melaksanakan apa yang kauminta. Kupikir hal itu perlu kita rayakan. Minum lagi."

Kojiro menekurkan kepalanya sedikit, bergumam, "Saya ucapkan terima kasih atas kebaikan Anda."

"Ah, aku cuma menjalankan tugas," jawab Kakubei rendah hati. "Kalau ada orang yang begitu berkemampuan dan berbakat seperti kau ini, aku wajib mendorong Yang Dipertuan supaya mempertimbangkanmu."

"Saya harap Anda tidak melebih-lebihkan saya. Dan izinkan saya menekankan kembali satu hal. Bukan penghasilan yang menjadi kepentingan saya. Saya hanya berpendapat bahwa Keluarga Hosokawa adalah keluarga yang baik sekali untuk tempat mengabdi seorang samurai. Di situ berturut-turut ada tiga orang terkemuka-Tadatoshi, ayahnya, dan kakeknya, Sansai dan Yusai."

"Jangan kau mengira aku menonjol-nonjolkan dirimu sampai setinggi langit. Tak perlu aku melakukan itu. Nama Sasaki Kojiro sudah dikenal di seluruh ibu kota."

"Bagaimana mungkin saya terkenal, kalau yang saya lakukan cuma menganggur di sini sepanjang hari? Saya tidak merasa diri saya orang terkemuka. Cuma karena di sekitar sini begitu banyak orang-orang palsu."

"Jadi, aku diberitahu dapat membawamu setiap waktu. Kapan kau mau pergi?"

"Kapan saja cocok buat saya."

"Bagaimana kalau besok?"

"Boleh." Wajahnya tidak memperlihatkan hasrat atau keinginan, hanya keyakinan diri yang tenang.

Kakubei lebih terkesan lagi oleh sikap dingin Kojiro, dan ia memilih saat itu untuk bicara apa adanya, "Kau tentunya mengerti, Yang Dipertuan takkan dapat mengambil keputusan akhir sebelum melihatmu. Tapi kau tak perlu kuatir soal itu. Ini cuma prosedur. Aku tidak sangsi. Soalnya cuma kedudukan apa yang akan ditawarkan."

Kojiro meletakkan mangkuknya di meja dan menatap langsung wajah Kakubei. Kemudian, dengan sikap sangat dingin dan menantang, katanya, "Saya sudah mengubah pikiran. Saya minta maaf, sudah demikian banyak menyulitkan Anda." Darah seakan-akan hendak menyembur dari cuping telinganya yang sudah merah terang oleh minuman.

"A-apa?" gagap Kakubei. "Maksudmu, kau melepaskan kesempatan mendapat kedudukan dalam Keluarga Hosokawa?"

"Saya tak suka," jawab tamunya singkat, dan tidak memberikan penjelasan lagi. Rasa harga dirinya menyatakan tak ada alasan baginya untuk menjalani pemeriksaan. Berlusin-lusin daimyo lain akan cepat mengambilnya, tanpa melihatnya, dengan bayaran seribu lima ratus atau bahkan dua ribu lima ratus gantang.

Rasa kecewa penuh tanda tanya yang dialami Kakubei sama sekali tidak menimbulkan kesan padanya. Dan tak menjadi soal pula baginya bahwa ia akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu terima kasih. Sama sekali tanpa tanda-tanda ragu atau sesal, ia selesaikan makannya tanpa kata-kata, kemudian kembali ke kamarnya sendiri.

Sinar bulan jatuh dengan lembutnya ke atas tatami. Sambil meregangkan badan penuh rasa mabuk di lantai, dan sambil berbantalkan tangan, mulailah ia tertawa pelan-pelan pada dirinya, "Orang jujur Kakubei itu. Oh, Kakubei yang baik, tua, dan jujur." Ia tahu tuan rumah itu akan kehilangan akal untuk menjelaskan pada Tadatoshi tentang peralihan sikapnya yang tiba-tiba itu, tapi ia tahu juga bahwa Kakubei takkan lama marah kepadanya, bagaimanapun kasarnya ia bertindak.

Dengan sikap tegas ia telah mengingkari minat akan penghasilan yang ditawarkan, padahal sesungguhnya ia penuh ambisi. Memang la menghendaki penghasilan, bahkan jauh lebih banyak lagi dari itu—ia menginginkan segala kemasyhuran dan keberhasilan yang dapat diraih. Kalau tidak demikian, apa gunanya bertahun-tahun ia bertekun dalam latihan yang sulit.

Perbedaan ambisi Kojiro dengan ambisi orang-orang lain adalah dalam hal besarnya. Ia ingin dikenal di seluruh negeri sebagai orang besar dan berhasil, ingin membawa kemuliaan pada kediamannya di Iwakuni, ingin menikmati setiap keuntungan yang dapat diambilnya karena dilahirkan sebagai manusia. Jalan tercepat untuk menuju kemasyhuran dan kekayaan adalah dengan unggul dalam seni bela diri. Ia beruntung memiliki bakat alamiah dalam permainan pedang. Ia tahu itu, dan tidak sedikit ia menimba rasa puas diri dari hal tersebut. Ia sudah merencanakan jalan hidupnya dengan cerdas, dan dengan tinjauan hebat ke masa depan. Setiap tindakannya diperhitungkan untuk dapat lebih mendekatkannya pada tujuan itu. Menurut jalan pikirannya, Kakubei orang yang naif dan sedikit sentimental, sekalipun lebih senior daripadanya. Ia jatuh tertidur, dan bermimpi tentang masa depannya yang gemilang.



Kemudian, ketika cahaya bulan bergeser satu kaki melintas tatami, suatu suara yang tidak lebih keras dari angin yang berbisik melintasi bambu, mengatakan, "Sekarang!" Satu sosok gelap yang merunduk dikerubuti nyamuk merangkak maju seperti kodok, menuju ujung atap rumah yang tak berpenerangan itu.

Orang misterius yang sebelumnya terlihat di kaki bukit itu maju pelanpelan, diam-diam, sampai mencapai beranda. Di situ ia berhenti dan mengintip ke dalam kamar. Dengan terus merunduk dalam gelap, di luar cahaya bulan, sebetulnya kehadirannya tidak akan diketahui orang sampai kapan pun, asalkan ia sendiri tidak membuat suara.

Kojiro terus mendengkur. Dengung serangga yang lembut, yang sejenak terganggu ketika orang itu mengubah posisinya, terdengar kembali melintasi rumput yang tertutup embun.

Beberapa menit berlalu. Kemudian ketenangan itu dirusak oleh bunyi berdetak, ketika orang itu mencabut pedangnya dan melompat naik ke beranda.

Ia meloncat ke arah Kojiro dan berteriak "Arrgh!", sesaat sebelum ia mengertakkan gigi dan menghantam.

Terdengar desing tajam ketika satu benda hitam panjang pada pergelangan tangannya menghunjam berat; kekuatan asal pukulan itu sendiri memang hebat, namun pedang itu bukan jatuh dari tangannya, melainkan menghunjam ke tatami tempat tubuh Kojiro tadi terbaring.

Seperti ikan yang mengelak menghindari galah yang memukul air, begitulah calon korban itu melejit ke dinding. Dan sekarang ia berdiri menghadapi si penyerbu, satu tangannya memegang Galah Pengering, dan satu lagi memegang sarungnya.

"Siapa kau?" Napas Kojiro terdengar tenang. Ia tak gentar, karena seperti biasa, ia selalu waspada mendengarkan bunyi-bunyi alam, juga jatuhnya titik embun.

"I-ini aku!"

"'Aku' itu tak ada artinya buatku. Aku tahu kau pengecut, menyerang orang yang sedang tidur. Siapa namamu?"

"Aku Yogoro, anak tunggal Obata Kagenori. Kau ambil keuntungan dari ayahku, ketika beliau sakit. Dan kausebarkan desas-desus tentang beliau di seluruh kota."

"Bukan aku yang menyebarkan desas-desus, tapi tukang-tukang sebar desas-desus-penduduk Edo."

"Tapi siapa yang memanas-manasi para murid supaya berkelahi, dan kemudian membunuh mereka?"

"Tak ada kesangsian soal itu, aku yang melakukannya. Namaku Sasaki Kojiro. Bagaimana mungkin aku menghindar, kalau aku lebih baik dari mereka? Aku lebih kuat. Lebih berani. Lebih berpengetahuan dalam Seni Perang."

"Beraninya kau mengatakan itu, padahal kau minta bantuan kepada hama-hama jalanan itu?"

Sambil menggeram dengan rasa muak, Kojiro maju selangkah. "Kalau kau ingin membenciku, ayolah! Tapi orang yang menggunakan dendam pribadi untuk menguji kekuatannya dalam Seni Perang, dia bahkan tak bisa disebut pengecut. Dia lebih jelek dari itu, lebih patut dikasihani, lebih patut ditertawakan. Jadi, sekali lagi terpaksa aku mencabut nyawa seorang Obata. Kau siap?"

Tak ada jawaban.

"Kukatakan, apa kau siap menerima nasibmu?" Ia maju selangkah lagi. Sementara ia berkata-kata, cahaya bulan yang terpantul dari lempeng pedang yang baru digosok itu membutakan mata Yogoro.

Kojiro menatap korbannya, seperti orang kelaparan menatap santapan besar.

 Elang

 Kakubei menyesal membiarkan dirinya dimanfaatkan secara begitu tak adil, dan ia bersumpah takkan berurusan lagi dengan Kojiro. Namun jauh di dasar hatinya, ia suka pada pemuda itu. Yang tak disukainya adalah terjerat antara majikan dan anak didik itu. Dan ia mulai memikirkan kembali soal tersebut.

"Barangkali reaksi Kojiro menunjukkan bahwa dia memang orang yang luar biasa. Samurai biasa akan melonjak gembira jika mendapat kesempatan menghadap." Semakin ia merenungkan kekesalan yang melanda Kojiro, semakin jiwa merdeka ronin itu menggugah hatinya.

Tiga hari berikutnya, Kakubei bertugas malam. Ia tidak bertemu dengan Kojiro sampai pagi hari keempat. Pada hari itu, ia pergi biasa saja ke kamar pemuda itu.

Sejenak mereka sama-sama terdiam kikuk, tapi kemudian Kakubei berkata, "Aku ingin bicara denganmu sebentar, Kojiro. Kemarin, ketika aku mau pulang, Yang Dipertuan Tadatoshi menanyakanmu. Dia bilang ingin ketemu kau. Bagaimana kalau kau datang ke lapangan panahan dan melihat teknik Hosokawa?"

Kojiro menyeringai tanpa menjawab, dan Kakubei menambahkan, "Aku tak mengerti, kenapa kau berkeras mengira hal itu merendahkan dirimu. Suatu hal biasa kalau kepada seseorang diajukan pertanyaan-pertanyaan, sebelum kepadanya ditawarkan kedudukan resmi."

"Saya tahu, tapi kalau dia menolak saya, lalu bagaimana? Saya akan terbuang, kan? Saya tidak begitu kekurangan uang, hingga mesti menjajakan diri kepada orang yang memberikan tawaran tertinggi."

"Kalau begitu, akulah yang salah. Aku keliru. Yang Dipertuan tidak pernah mengisyaratkan hal seperti itu."

"Lalu jawaban apa yang Anda berikan kepadanya?"

"Aku belum menjawab. Tapi dia kelihatan kurang sabar."

"Ha, ha. Anda rupanya sangat bijaksana, dan sangat berkemauan membantu. Saya kira tidak semestinya saya menyulitkan kedudukan Anda."


"Bagaimana kalau kau memikirkan hal itu sekali lagi, dan pergi menemuinya, sekali saja?"

"Baiklah, kalau itu ada artinya buat Anda," kata Kojiro dengan sikap merendahkan diri, namun Kakubei sudah merasa senang.

"Bagaimana kalau hari lm?"

"Begitu lekas?"

"Ya."

"Kapan?"

"Bagaimana kalau sesudah tengah hari? Waktu itulah beliau berlatih panahan."

"Baiklah, saya akan ke sana."

Kojiro mulai melakukan persiapan teliti untuk pertemuan itu. Dipilihnya kimono dari mutu yang sangat baik, dan hakama-nya terbuat dari kain impor. Di atas kimono ia mengenakan semacam rompi resmi yang terbuat semata-mata dari sutra, tidak berlengan, tapi dengan bahu melebar kaku. Untuk melengkapi dandanan itu, ada beberapa pelayan yang membawakannya zori dan topi anyaman baru.

"Apa ada kuda yang bisa saya pakai?" tanyanya.

"Ya. Kuda cadangan Kakubei yang putih itu ada di toko di kaki bukit." Gagal menemukan si tukang bunga, Kojiro memandang ke arah pekarangan kuil di seberang jalan. Sekelompok orang bergerombol mengitari mayat yang tertutup anyaman buluh. Ia pergi ke sana untuk melihat.

Orang-orang itu sedang membicarakan rencana penguburan dengan pendeta setempat. Si korban tidak punya tanda-tanda pengenal. Tak seorang pun tahu siapa dia. Hanya diketahui bahwa ia masih muda, dan dari golongan samurai. Darah di sekitar luka dalam yang memanjang dari ujung bahunya sampai pinggang sudah kering dan hitam.

"Saya pernah melihat dia sebelum ini. Sekitar empat hari lalu, malam hari," kata tukang bunga. Ia pun terus berbicara dengan bersemangat, sampai akhirnya sebuah tangan memegang bahunya.

Ketika ia menoleh untuk melihat, Kojiro berkata, "Aku diberitahu, kuda Kakubei ada di tempatmu. Coba tolong siapkan."

Sambil membungkuk tergesa-gesa, tanya tukang bunga asal saja, "Bapak mau pergi?" lalu bergegas pergi.

Tukang bunga menuntun kuda kelabu berbintik-bintik itu ke luar

kandang sambil menepuk-nepuknya. "Bagus sekali kuda ini," ujar Kojiro.

"Ya, betul. Binatang bagus."

Begitu Kojiro naik pelana, tukang bunga berseri-seri, katanya, "Cocok sekali!"

Kojiro mengambil uang dari kantung uang dan melemparkannya pada orang itu. "Buat bunga dan setanggi."

"Hah? Buat siapa?"

"Orang yang mati di sana tadi."

Di luar gerbang kuil, Kojiro mendeham lalu meludah, seakan-akan untuk membuang rasa pahit karena memandang mayat itu. Tapi ia merasa seolah-olah pemuda yang telah dirobohkannya dengan Galah Pengering itu menyingkapkan anyaman buluh dan mengikutinya. "Tak ada alasan bagi dia untuk membenciku," katanya pada diri sendiri. Setelah itu ia merasa lebih ringan.

Ketika kuda dan pengendaranya sudah menyusuri jalan raya Takanawa di bawah matahari terik, orang-orang kota dan para samurai menyingkir memberi jalan. Kepala-kepala menoleh dengan perasaan kagum. Bahkan di jalan-jalan kota Edo itu Kojiro tampak mengesankan, dan membuat orang bertanya-tanya, siapakah dia, dan dari mana datangnya.

Di tempat kediaman Hosokawa, ia serahkan kuda kepada seorang pelayan, lalu masuk rumah. Kakubei bergegas menjumpainya. "Kuucapkan terima kasih atas kedatanganmu. Tepat pada waktunya," katanya, seakan-akan Kojiro melakukan sesuatu yang sangat berarti buat dirinya pribadi. "Silakan istirahat sebentar. Akan kusampaikan kepada Yang Dipertuan, engkau ada di sini." Sebelum pergi, ia memerintahkan agar tamunya disajikan air dingin, teh, dan baki tembakau.

Ketika seorang abdi datang untuk mengantarnya ke lapangan panahan, Kojiro menyerahkan Galah Pengering-nya yang tercinta, dan mengikuti abdi itu dengan hanya membawa pedang pendeknya.

Yang dipertuan Tadatoshi memutuskan untuk menembakkan seratus anak panah sehari, selama bulan-bulan musim panas itu. Sejumlah abdi terdekat selalu ada di sana, memperhatikan setiap tembakannya dengan napas ditahan, dan berusaha menunjukkan jasa dengan mengambil kembali anak-anak panah itu.

"Kasih aku handuk," perintah Yang Dipertuan sambil menegakkan busurnya di sampingnya.

Sambil berlutut, Kakubei bertanya, "Boleh saya mengganggu, Pak?" "Ada apa?"

"Sasaki Kojiro ada di sini. Saya berterima kasih, kalau Bapak sudi menjumpainya."

"Sasaki? Oh, ya."

Ia pasangkan anak panah pada tali busur, lalu mengambil jurus terbuka, dan mengangkat tangan yang akan menembak itu di atas kening. Ia, maupun yang lain-lain, tidak menoleh ke arah Kojiro sebelum keseratus tembakan itu dilepaskan.

Sambil mendesah, Tadatoshi berkata, "Air. Aku minta air."

Seorang pesuruh membawa air dari sumur dan menuangkannya ke dalam bak kayu besar dekat kaki Tadatoshi. Bagian atas kimononya dibiarkannya bergantung longgar, kemudian ia menyeka dadanya dan mencuci kakinya. Orang-orang membantunya dengan memegang lengan kimononya, berlari mengambil lebih banyak air, dan menyeka punggungnya. Dalam tingkah laku mereka tidak kelihatan sifat resmi, tak ada yang menunjukkan pada orang luar bahwa mereka itu daimyo dengan pengikutnya.

Kojiro semula menduga bahwa Tadatoshi yang penyair dan estetikus, putra Yang Dipertuan Sansai dan cucu Yang Dipertuan Yusai itu, orang yang berpembawaan aristokrat dan halus, sama dengan orang-orang istana yang anggun di Kyoto. Tetapi keheranannya itu tidak tampak di matanya, sementara ia memperhatikan.

Sambil memasukkan kakinya yang masih basah ke dalam zori, Tadatoshi memandang Kakubei yang menanti di pinggir. Dengan wajah orang yang tiba-tiba teringat akan janjinya, katanya, "O ya, Kakubei, sekarang aku akan menemui orangmu." Sebuah bangku diambil dan diletakkan di keteduhan bayangan sebuah tenda; Tadatoshi duduk di depan panji-panji dengan lambang sebuah lingkaran yang dikitari delapan lingkaran yang lebih kecil, menggambarkan matahari, bulan, dan tujuh planet.

Atas panggilan Kakubei, Kojiro maju dan berlutut di depan Yang Dipertuan Tadatoshi. Sesudah salam resmi dilaksanakan, Tadatoshi mempersilakan Kojiro duduk di bangku, dengan demikian menunjukkan bahwa ia tamu terhormat.

"Terima kasih," kata Kojiro, ketika ia bangkit dan mengambil tempat duduk menghadap Tadatoshi.

"Saya sudah mendengar tentang Anda dari Kakubei. Saya percaya, Anda kelahiran Iwakuni, bukan?"

"Betul, Tuan."

"Yang Dipertuan Kikkawa Hiroie dari Iwakuni terkenal sebagai penguasa bijaksana dan mulia. Apakah nenek moyang Anda abdi beliau?"

"Tidak, kami tidak pernah mengabdi pada Keluarga Kikkawa. Saya tahu bahwa kami ini berasal dari Keluarga Sasaki dari Provinsi Omi. Sesudah jatuhnya Shogun Ashikaga yang terakhir, ayah saya rupanya mengundurkan diri ke kampung ibu saya."

Sesudah melontarkan beberapa pertanyaan lagi mengenai keluarga dan garis keturunan, Yang Dipertuan Tadatoshi bertanya, "Apakah ini pertama kalinya Anda akan mengabdi?"

"Saya belum tahu apakah saya akan mengabdi."

"Kakubei memberitahukan bahwa Anda ingin mengabdi pada Keluarga Hosokawa. Apa alasan-alasan Anda?"

"Saya percaya inilah keluarga yang tepat bagi saya, untuk hidup dan mati."

Tadatoshi kelihatan senang dengan jawaban ini. "Dan gaya perkelahian Anda?"

"Saya menamakannya Gaya Ganryu."

"Ganryu?"

"Itu gaya yang saya temukan sendiri."

"Tentunya ada pendahulunya."

"Saya belajar Gaya Tomita, dan saya mendapat keuntungan dari pelajaranpelajaran Yang Dipertuan Katayama Hisayasu dari Hoki, yang pada hari tuanya mengundurkan diri ke Iwakuni. Saya juga menguasai banyak teknik saya sendiri. Saya biasa berlatih menetak burung layang-layang yang sedang terbang."

"Begitu. Saya kira nama Ganryu itu berasal dari nama sungai di dekat tempat kelahiran Anda?"

"Betul."

"Saya ingin melihat demonstrasinya." Tadatoshi melayangkan pandang ke wajah para samurainya. "Siapa di antara kalian mau melawan orang ini?"

Sejak tadi mereka memperhatikan tanya-jawab itu dengan diam. Menurut pikiran mereka, Kojiro terlalu muda untuk memperoleh nama baik yang sudah dimilikinya itu. Mula-mula semuanya saling pandang, kemudian memandang Kojiro. Sementara itu, pipi Kojiro yang merah menyatakan bahwa ia bersedia menghadapi penantang mana pun.

"Bagaimana kalau kau saja, Okatani?"

"Baik, Pak."

"Kau selalu mengatakan lembing lebih unggul daripada pedang. Sekarang kesempatanmu untuk membuktikan."

"Dengan senang hati, kalau Sasaki mau."

"Tentu," jawab Kojiro sigap. Dalam nada bicaranya yang sopan dan sangat dingin itu terasa nada kejam.

Samurai-samurai yang tadi menyapu pasir di lapangan panahan dan menyingkirkan peralatan, kini berkumpul di belakang majikan mereka. Sekalipun mereka mengenal persenjataan sebagaimana mereka mengenal sumpit, pengalaman mereka terutama adalah di dojo. Kesempatan untuk menyaksikan pertarungan sebenarnya hanya sedikit dalam hidup mereka, dan lebih sedikit lagi kesempatan untuk mengalaminya sendiri. Mereka sependapat bahwa perkelahian satu lawan satu merupakan tantangan lebih besar dibandingkan dengan pergi ke medan pertempuran, di mana kadang-kadang ada kemungkinan untuk beristirahat dan mengambil napas, sementara teman-teman lain berkelahi terus. Dalam pertarungan satu lawan satu, orang hanya dapat mengandalkan diri sendiri, hanya dapat mengandalkan kewaspadaan dan kekuatan sendiri dari awal sampai akhir. la dapat menang, tapi juga dapat terbunuh atau cacat.

Mereka memperhatikan Okatani Goroji dengan khidmat. Di antara para prajurit biasa yang paling rendah pangkatnya pun hanya sedikit yang mahir bermain lembing. Goroji umumnya diakui sebagai yang terbaik. Ia tidak hanya pernah ikut dalam pertempuran, melainkan juga berlatih dengan rajin dan menemukan teknik-teknik sendiri.

"Saya mohon waktu beberapa menit," kata Goroji, membungkuk pada Tadatoshi dan Kojiro, sebelum mengundurkan diri untuk melakukan persiapan. Ia merasa senang hari ini, seperti juga pada hari-hari lain, karena ia mengenakan pakaian dalam yang tak bernoda, sebagai tradisi samurai yang baik, yang memulai setiap hari baru dengan senyuman dan ketidakpastian: mungkin pada petang hari ia sudah menjadi mayat.

Sesudah meminjam sebilah pedang kayu yang panjangnya satu meter, Kojiro memilih medan untuk pertandingan itu. Tubuhnya kelihatan santai dan bebas, lebih-lebih karena ia tidak menyingsingkan hakama-nya yang berlipat-lipat itu. Pemunculannya hebat. Musuh-musuhnya pun terpaksa mengakui hal itu. Dalam sosoknya terasa keberanian seekor burung elang, dan raut mukanya yang tampan begitu penuh keyakinan.

Orang-orang menoleh dengan pandangan kuatir ke arah tirai. Di balik tirai itu, Goroji sedang mencocokkan pakaian dan perlengkapannya.

"Kenapa dia begitu lama?" tanya seseorang.

Goroji dengan tenang sedang melilitkan secarik kain basah pada ujung lembingnya, senjata yang telah dipergunakannya dalam pertempuran dengan hasil sangat bagus. Batangnya tiga meter panjangnya, dan lempeng logamnya yang lonjong dan panjangnya 20-30 sentimeter itu sama dengan sebilah pedang pendek.

"Apa yang Anda lakukan?" seru Kojiro. "Kalau Anda kuatir akan melukai saya, hilangkan kekuatiran itu." Sekali lagi, kata-kata itu cukup sopan, tapi secara tidak langsung menyatakan kesombongan. "Tak apa-apa buat saya, kalaupun tidak dibungkus."

Sambil memandang tajam kepadanya, Goroji berkata, "Anda yakin?"

"Yakin sekali."

Yang Dipertuan Tadatoshi maupun orang-orangnya tidak mengatakan sesuatu, tetapi pandangan mata mereka yang menghunjam itu sudah meminta kepada Goroji untuk lekas bertindak. Kalau orang asing itu ada nyali untuk menantang, apa salahnya menerjangnya?

"Kalau begitu..." Goroji pun membuka pembungkus itu, dan maju memegang tengah gagang lembing. "Saya senang mengikuti kemauan Anda, tapi kalau saya menggunakan lempeng telanjang, saya minta Anda juga menggunakan pedang sungguhan."

"Tapi pedang kayu ini baik sekali."

"Tidak, saya tak setuju Anda pakai pedang itu."

"Anda tentunya tahu sendiri, saya sebagai orang luar tidak berani menggunakan pedang sungguhan di hadapan Yang Dipertuan."

"Tapi..."

Dengan nada tak sabar, Yang Dipertuan Tadatoshi berkata, "Mulai saja, Okatani. Tidak ada yang akan menganggapmu pengecut kerena menuruti kehendak orang ini." Jelas terasa bahwa sikap Kojiro sudah berpengaruh terhadapnya.

Kedua orang yang wajahnya sudah merah karena tekad itu bertukar salam dengan mata. Goroji membuat gerakan pertama dengan melompat ke samping, tapi Kojiro, seperti seekor burung yang menempel pada galah penangkap burung yang berperekat, menyelinap ke bawah lembing dan menghantam langsung dadanya. Karena tak ada waktu untuk menusuk, pemain lembing berpusing ke samping dan mencoba menotok belakang leher Kojiro dengan pangkal senjatanya. Diiringi suara berderak, lembing itu terlempar ke udara, ketika pedang Kojiro menggigit rusuk Goroji yang terbuka oleh kepesatan lembing yang menaik. Goroji meluncur ke sisi, kemudian melompat menghindar, tapi serangan berlanjut terns tanpa henti. Tanpa ada kesempatan menarik napas, ia melompat lagi ke samping, disusul dengan lompatan lain dan lain lagi. Beberapa kali ia dapat mengelak dengan baik, tapi sesudah itu ia seperti burung merpati yang mencoba menangkis serangan burung elang. Diburu oleh pedang yang mengamuk itu, gagang lembing patah menjadi dua. Pada saat itu juga, Goroji mengeluarkan teriakan, seolah jiwanya direnggutkan dari tubuhnya.

Pertempuran singkat itu berakhir. Kojiro berharap menghadapi empat atau lima orang, tapi Tadatoshi mengatakan ia sudah cukup menyaksikan.



Ketika Kakubei pulang malam itu, Kojiro bertanya kepadanya, "Apa terlalu jauh tadi saya melangkah? Maksud saya, di hadapan Yang Dipertuan itu."

"Tidak, itu demonstrasi yang baik sekali." Kakubei merasa kurang tenang. Sekarang, sesudah dapat menilai kemampuan Kojiro sepenuhnya, ia merasa seperti orang yang mendekap burung kecil di dadanya, tapi burung itu ternyata tumbuh menjadi seekor elang.

"Apa Yang Dipertuan Tadatoshi mengatakan sesuatu?"

"Tak ada yang khusus."

"Ayolah, tentunya dia mengatakan sesuatu."

"Tidak, dia meninggalkan lapangan panahan tanpa mengatakan sesuatu."

"Hmm." Kojiro tampak kecewa, tapi katanya, "Ah, tapi tak apalah. Saya mendapat kesan bahwa dia ternyata lebih besar daripada umumnya orang sekelasnya. Terpikir oleh saya, kalau saya mesti mengabdi pada seseorang, pada dialah saya akan mengabdi. Tapi tentu saja saya tak bisa menentukan jalannya peristiwa." Ia tidak mengungkapkan, betapa hati-hati sesungguhnya ia memikirkan situasinya. Sesudah tokoh-tokoh Date, Kuroda, Shimazu, dan Mori, Hosokawa-lah yang punya reputasi paling baik dan kokoh kedudukannya. Ia merasa keadaannya akan terus demikian, selama Yang Dipertuan Sansai masih menguasai perdikan Buzen. Dan cepat atau lambat, Edo dan Osaka akan bertumbukan untuk penghabisan kali. Tak mungkin meramalkan kesudahannya. Seorang samurai yang keliru memilih majikan bisa mudah sekali menjadi ronin kembali, dan seluruh hidupnya dikorbankan demi penghasilan beberapa bulan.

Sehari sesudah pertarungan itu, terdengar kabar bahwa Goroji tetap hidup, sekalipun pinggul atau tulang paha kirinya remuk. Kojiro menerima kabar itu dengan tenang, dan menyatakan pada dirinya sendiri bahwa sekalipun tidak menerima kedudukan, ia sudah tampil cukup baik.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba ia menyatakan akan menjenguk Goroji. Tanpa memberikan penjelasan mengenai kebaikan hati yang mendadak diperlihatkannya itu, ia berangkat berjalan kaki ke rumah Goroji di dekat Jembatan Tokiwa.

Tamu yang tak diduga-duga itu diterima dengan hangat oleh yang luka.

"Pertandingan adalah pertandingan," kata Goroji, tersenyum dengan mata basah. "Saya hanya bisa menyesalkan kekurangterampilan saya. Yang pasti, saya tidak menyimpan perasaan dendam terhadap Anda. Sungguh menyenangkan bahwa Anda datang menengok saya. Terima kasih."

Sesudah Kojiro pergi, Goroji menyatakan pada seorang teman, "Nah, itulah samurai yang kukagumi. Tadinya kupikir dia anak anjing yang congkak, tapi ternyata sikapnya bersahabat dan juga sopan."

Justru ini reaksi yang diharapkan Kojiro. Itu adalah bagian dari rencananya. Tamu-tamu lain kini akan mendengar dirinya dipuji oleh orang yang dikalahkannya sendiri. Ia datang ke rumah Goroji tiap dua-tiga hari sekali, dan berkunjung tiga kali lagi. Pada suatu kali, ia memesankan ikan hidup dari pasar ikan, sebagai hadiah supaya lekas sembuh.

Kesemek Muda

 PADA hari-hari terik di tengah musim panas berhujan itu, kepiting darat merangkak-rangkak dengan lambannya di jalan kering, sementara papanpapan yang mengejek Musashi supaya "keluar dan berkelahi" tidak kelihatan lagi. Sebagian dari papan-papan yang tidak jatuh ke tanah yang lunak oleh hujan, atau dicuri orang untuk kayu bakar, sudah tertutup rumput liar atau rumput tinggi.

"Mestinya ada yang berjualan," pikir Kojiro sambil mencari-cari tempat untuk makan. Tap ini Edo, bukan Kyoto. Warung-warung nasi dan teh murah yang demikian umum di kota lama itu, belum muncul di sini. Satu-satunya tempat, yang agaknya mirip tempat itu, berdiri di sebuah lapangan, ditabiri kerai dari buluh. Asap naik dengan malasnya dari balik kerai, dan pada selembar panji-panji yang tegak letaknya tertulis Donjiki. Kata itu segera mengingatkan Kojiro pada Donjiki, yang di masa lalu berarti gumpal nasi untuk ransum militer.

Ketika ia mendekat, terdengar olehnya suara lelaki meminta semangkuk teh. Di dalam, dua samurai sedang melahap nasi dengan bernafsu, yang seorang dari mangkuk nasi biasa, yang lain dari mangkuk sake.

Kojiro mengambil tempat duduk di ujung bangku di seberang mereka, dan bertanya pada tukang warung, "Apa yang ada di sini?"

"Nasi. Juga sake."

"Pada panji-panji itu tertulis Donjiki. Apa itu artinya?"

"Sebenarnya saya juga tidak tahu."

"Apa bukan Anda yang menulis itu?'

"Tidak. Nama itu ditulis oleh seorang bekas saudagar yang singgah di sini buat beristirahat."

"Begitu? Bagus juga tulisannya, menurut saya."

"Dia bilang, dia lagi melakukan ziarah keagamaan. Katanya dia sudah mendatangi Tempat Suci Hirakawa Tenjin, Tempat Suci Hikawa, Kanda Myojin, dan segala macam tempat lain, dan di mana-mana dia memberikan sumbangan besar. Kelihatannya sangat saleh dan dermawan."

"Apa Anda tahu namanya?"

"Dia bilang, Daizo dari Narai."

"Saya pernah mendengar nama itu."

"Donjiki—yah, saya tak mengerti itu. Tapi saya kira, kalau orang baikmacam dia yang menulisnya, tulisan itu dapat membantu mengusir dewa kemiskinan." ia pun tertawa.

Kojiro melongok isi beberapa cembung porselen besar, kemudian mengambil nasi dan ikan. Nasi dituanginya teh, seekor lalat dikibasnya dengan sumpitnya, dan ia mulai makan.

Salah seorang tamu berdiri dan mengintip lewat bilah yang patah dalam kerai. "Lihat ke sana itu, Hamada," katanya kepada temannya. "Apa bukan itu penjual semangkanya?"

Orang yang satu lagi cepat pergi ke dekat kerai dan memandang ke luar. "Ya, memang dia."

Penjual yang memikul dua keranjang itu berjalan lesu melewati Donjiki. Kedua samurai berlari ke luar warung dan menyusulnya. Mereka hunus pedang mereka, dan mereka putuskan tali keranjangnya. Si penjual terhuyung ke depan bersama semangka-semangkanya.

Hamada merenggut tengkuknya. "Ke mana kaubawa perempuan itu?" tanyanya marah. "Jangan bohong. Pasti kausembunyikan dia."

Samurai lain menempelkan ujung pedangnya ke bawah hidung tangkapan mereka.

"Cepat katakan! Di mana dia?"

Lempeng pedang diketuk-ketukkan ke pipi orang itu dengan penuh ancaman. "Mana mungkin orang yang mukanya macam mukamu ini berani bawa perempuan orang lain?"

Si penjual, dengan pipi merah karena marah dan takut, menggelengkan kepala, kemudian ketika melihat kesempatan, didorongnya salah seorang penangkapnya itu ke samping, dipungutnya pikulan, dan diayunkannya ke samurai yang lain.

"Oh, jadi kau mau berkelahi ya? Hati-hati, Hamada, orang ini bukan penjual semangka biasa."

"Apa yang bisa dilakukan keledai ini?" cemooh Hamada sambil merebut pikulan dan memukul penjual itu hingga jatuh ke tanah. Didudukinya orang itu, dan dengan tali diikatnya orang itu pada pikulan.

Tiba-tiba terdengar teriakan seperti babi ditusuk di belakangnya. Hamada menoleh ke belakang, dan waktu itu juga ia tersemprot kabut merah yang halus. Dengan mulut ternganga ia melompat, dan teriaknya, "Siapa kau? Apa..."

Lempeng pedang yang seperti ular berbisa itu langsung bergerak ke arahnya. Kojiro tertawa, dan ketika Hamada mundur, Kojiro mengikutinya tanpa kenal ampun. Kedua orang itu bergerak melingkar di rumput. Ketika Hamada melompat ke samping, Galah Pengering mengikuti dan menuding terus calon korbannya.

Penjual semangka berteriak kaget, "Kojiro! Ini aku. Tolong aku!"

Hamada menjadi pucat pasi karena takut, gagapnya, "Oh, Ko-ji-ro." Kemudian ia memutar badan dan mencoba lari.

"Kau mau ke mana?" salak Kojiro. Galah Pengering mendesah menembus ketenangan yang pengap, memutuskan telinga Hamada, dan selanjutnya bersarang ke dalam daging di bawah bahu. Ia mati di tempat.

Kojiro cepat memotong ikatan si penjual semangka. Orang itu mencoba mengatur dirinya untuk dapat duduk normal, kemudian membungkuk terus, karena terlalu malu menunjukkan wajahnya.

Kojiro menyeka dan menyarungkan pedangnya. Pada bibirnya tersungging senyum senang, katanya, "Apa yang terjadi denganmu, Matahachi? Jangan kelihatan sengsara begitu. Kau masih hidup."

"Ya, Pak."

"Buang kata-kata 'Ya, Pak' itu. Pandang aku. Sudah lama waktu berlalu, ya?"

"Saya senang Anda dalam keadaan baik."

"Kenapa tidak? Tapi mesti kukatakan, daganganmu ini lain dari yang lain."

"Ah, tak usahlah membicarakan itu."

"Baik. Punguti semangkamu itu. Kemudian... oh, bagaimana kalau kautinggalkan saja di Donjiki itu?" Dengan teriakan keras ia panggil tukang warung, yang kemudian membantu mereka menimbun semangka-semangka itu di belakang kerai.

Kojiro mengeluarkan kuas dan tinta, dan menulis pada salah satu shoji warung, Kepada siapa saja yang berkepentingan: menerangkan bahwa orang yang membunuh kedua orang yang tergeletak di tempat kosong ini adalah saya sendiri, Sasaki Kojiro, ronin yang berdiam di Tsukinomisaki.

Kepada tukang warung ia berkata, "Ini buat menjamin agar tak seorang pun mengganggu Anda sehubungan dengan pembunuhan ini."

"Terima kasih, Pak."

"Sudah. Kalau teman-teman atau sanak saudara orang-orang yang mati itu datang kemari, sampaikan pesan ini atas nama saya. Katakan pada mereka, saya takkan lari. Kalau mereka ingin bertemu saya, saya siap menyambut mereka kapan saja."

Kembali berada di luar, katanya pada Matahachi, "Ayo pergi."

Matahachi berjalan di sampingnya, tapi la tak juga melepaskan pandangannya dari tanah. Semenjak datang ke Edo, ia belum mempunyai pekerjaan tetap. Apa pun yang menjadi maksudnya-menjadi shugyosha atau pengusaha apabila menjumpai kesukaran, ia pun mengubah pekerjaan. Dan sesudah Otsu melarikan diri darinya, makin lama ia makin kurang suka bekerja. Ia tidur berpindah-pindah, kadang-kadang di tempat tidur yang dihuni para penjahat.

Dalam beberapa minggu terakhir itu, ia hidup sebagai penjaja bebas, berjalan dari satu bagian dinding benteng ke bagian dinding benteng yang lain, menjajakan semangka.

Kojiro sebenarnya tidak begitu tertarik mengenai apa yang telah dilakukan Matahachi, tapi ia sudah menulis pengumuman di Donjiki itu, dan ada kemungkinan nanti ia ditanyai orang tentang peristiwa itu. "Kenapa kedua samurai itu membalas dendam padamu?" tanyanya.

"Terus terang, ada hubungannya dengan perempuan...."

Kojiro tersenyum, pikirnya, ke mana saja Matahachi pergi, selalu timbul kesulitan sehubungan dengan perempuan. Barangkali ini memang karmanya.

"Mm," gumamnya. "Oh, jadi si pencinta besar beraksi lagi, ya?" Kemudian dengan suara lebih keras, "Tapi siapa perempuan itu, dan apa yang sebenarnya terjadi?"

Setelah didesak, akhirnya Matahachi menyerah dan mau menyampaikan ceritanya, atau sebagian dari ceritanya. Tidak jauh dari parit benteng itu terdapat berlusin-lusin warung teh kecil yang melayani kaum buruh bangunan dan orang lewat. Di salah satu warung tadinya ada seorang pelayan perempuan yang menarik perhatian semua orang, dan mencoba memikat orang-orang lelaki yang tidak ingin minum teh untuk masuk dan minum, dan orang-orang lelaki yang tidak cukup lapar, untuk memesan agar-agar manis. Salah seorang langganan warung itu adalah Hamada; Matahachi pun kadang-kadang singgah.

Pada suatu hari, pelayan itu berbisik kepadanya bahwa la membutuhkan bantuannya. "Ronin itu," kata si pelayan. "Saya tak suka padanya, tapi tiap malam, sesudah warung tutup, pemilik warung menyuruh saya pulang bersama dia. Apa bisa saya sembunyi di rumahmu? Saya takkan menjadi beban. Saya bisa masak buatmu dan menambal pakaianmu."

Karena permohonannya kedengaran masuk akal, Matahachi menyetujui. Cuma itu, demikian ditekankannya.

Tapi Kojiro tidak begitu percaya. "Kedengarannya mencurigakan."

"Kenapa begitu?" tanya Matahachi.

Kojiro tak dapat memastikan, apakah Matahachi hanya ingin membuat dirinya tampak tak bersalah, ataukah ingin membualkan petualangan cintanya.

Tanpa tersenyum sama sekali, kata Kojiro, "Ya sudah. Panas di sini, kena matahari. Ayo kita pergi ke rumahmu. Di sana kau bisa cerita lagi lebih terperinci."

Matahachi berhenti berjalan.

"Keberatan?" tanya Kojiro.

"Ah, tapi tempat saya itu... tidak pantas untuk menerimamu."

Melihat pandangan risau pada mata Matahachi, Kojiro pun berkata ringan, "Ya sudah. Tapi hari-hari ini kau mesti datang menemui aku. Aku tinggal di rumah Iwama Kakubei, sekitar setengah jalan naik Bukit Isarago."

"Dengan senang hati."

"Omong-omong, apa kau melihat papan-papan yang dipasang di seluruh kota baru-baru ini, yang ditujukan pada Musashi?"

"Ya."

"Orang bilang, ibumu mencari dia juga. Bagaimana kalau kau pergi menj umpainya?"

"Dalam keadaan saya seperti ini, tak mungkin."

"Goblok. Menghadapi ibumu sendiri tak perlu bermegah-megah. Memang tak mungkin mengetahui, kapan dia akan menemui Musashi, tapi kalau kau tak ada di sana waktu itu, kau akan kehilangan kesempatan selamanya. Kau akan menyesal nantinya."

"Ya, saya mesti segera berbuat sesuatu," kata Matahachi tanpa mengatakan pendapatnya. Dengan perasaan benci, terpikir olehnya bahwa orang-orang lain itu tak mengerti perasaan yang ada antara ibu dan anaknya, termasuk orang yang baru saja menyelamatkan hidupnya ini.

Mereka berpisah. Matahachi berjalan pelan mengikuti jalan berumput, sedangkan Kojiro berpura-pura berangkat ke arah berlawanan, tapi tak lama kemudian balik kanan, mengikuti Matahachi.

Tak lama kemudian, Matahachi tiba di sebuah "rumah panjang", rumahrumah petak yang masing-masing berisi tiga-empat petak kecil beratap tunggal. Karena kota Edo tumbuh dengan cepat, dan tidak tiap orang dapat bersikap rewel dalam hal memilih rumah, maka orang pun membuka tanah di mana saja, menurut kebutuhan. Jalan-jalan boleh muncul belakangan. la berkembang wajar dari jalan setapak. Pembuangan air berjalan asal saja. Air buangan itu mencari jalannya sendiri, menuju kali terdekat. Sekiranya tidak karena gubuk-gubuk yang dibangun serampangan ini, masuknya orang-orang baru takkan mungkin terserap seluruhnya. Sebagian besar penghuni tempat-tempat seperti itu tentu saja kaum pekerja.

Di dekat rumahnya, Matahachi disambut seorang tetangga bernama Umpei, majikan regu penggali sumur. Umpei duduk bersilang kaki dalam bak kayu besar, hanya wajahnya yang tampak di atas tirai hujan yang dipasang menyamping di dekat bak, agar tidak kelihatan oleh orang lain.

"Selamat malam," kata Matahachi. "Saya lihat Bapak sedang mandi."

"Saya sudah akan keluar," jawab si majikan dengan ramah. "Apa kau mau pakai sekarang?"

"Terima kasih, saya pikir Akemi sudah memanaskan air untuk saya."

"Kalian berdua sudah sama-sama suka, ya? Tak seorang pun di sini yang tahu, kalian berdua ini bersaudara, atau suami-istri. Yang mana dari yang dua itu?"

Matahachi tertawa mengikik malu-malu. Munculnya Akemi menyelamatkannya, dan ia tak perlu menjawab pertanyaan itu.

Akemi meletakkan sebuah bak di bawah pohon kesemek, kemudian menuangkan beberapa ember air panas dari rumah ke dalamnya. Selesai melakukan itu, katanya, "Coba rasakan, Matahachi, sudah cukup panas apa belum."

"Sedikit terlalu panas."

Terdengar bunyi menderit dari kerekan sumur, Matahachi membuka pakaian, sampai tinggal cawat, dan menimba seember air dingin yang dituangkannya ke bak mandi, lalu ia masuk ke dalam bak itu. "Ah-h-h," keluhnya puas. "Enak rasanya."

Umpei, yang mengenakan kimono katun musim panas, meletakkan bangku bambu di bawah tanaman labu yang merambat, dan duduk. "Laku banyak semangkanya hari ini?"

"Tidak banyak. Tak pernah saya menjual banyak." Pada waktu itu, Matahachi melihat darah kering di antara jari-jarinya, dan ia cepat-cepat menghapusnya.

"Saya pikir juga tak mungkin. Tapi saya pikir hidupmu akan lebih ringan kalau kau kerja dalam rombongan penggali sumur."

"Bapak selalu mengatakan begitu. Jangan Bapak kira saya tidak berterima kasih, tapi jika saya terima itu, mereka takkan mengizinkan saya meninggalkan pekarangan benteng, kan? Itu sebabnya Akemi tak ingin saya menerima pekerjaan itu. Dia bilang, dia kesepian tanpa saya."

"Pasangan yang bahagia, ya? Ya, ya."

"Uh!"

"Ada apa?"

"Ada yang jatuh ke kepala saya." Sebuah kesemek muda jatuh ke tanah, tepat di belakang Matahachi.

"Ha, ha! Itu hukuman karena membualkan kesetiaan istrimu itu." Sambil terus tertawa, Umpei mengetuk-ngetukkan kipas yang berlapis bahan penyamak ke lututnya.

Umpei sudah berumur lebih dari enam puluh tahun. Rambutnya putih kusut, menyerupai rami. Ia orang yang dihormati para tetangga dan dikagumi para pemuda, karena para pemuda itu dengan besar hati diperlakukannya sebagai anak-anak sendiri. Tiap pagi, orang dapat mendengarnya menyanyikan Namu Myoho Rengekyo, doa suci Nichiren.

Ia berasal dari Ito di Provinsi Izu, dan di depan rumahnya terdapat papan bertuliskan Idohori no umpei. Penggali sumur untuk Benteng Shogun. Untuk membuat banyak sumur yang diperlukan benteng itu, diperlukan keterampilan teknik yang melebihi keterampilan buruh biasa. Umpei dipekerjakan sebagai konsultan dan pengerah tenaga buruh karena pengalamannya yang panjang di pertambangan emas Semenanjung Izu. Tak ada yang lebih nikmat baginya daripada duduk di bawah rambatan labu yang dicintainya, sambil memintal benang dan minum shochu yang murah namun kuat. Shochu adalah sake kaum miskin.

Sesudah Matahachi keluar dari bak mandi, Akemi memasang tirai hujan di sekeliling bak itu, dan mandi. Kemudian usul Umpei muncul sekali lagi dalam pikirannya. Disamping mesti tinggal di pekarangan benteng, kaum buruh diawasi dengan ketat, dan keluarga mereka boleh dikatakan menjadi sandera para majikan di daerah tempat mereka bekerja. Namun pekerjaan di situ lebih ringan daripada di luar, dan upahnya paling tidak dua kali lipat.

Matahachi menghadapi nampan berisi tahu dingin yang dihias daun kemangi segar semerbak, dan katanya, "Aku tak ingin menjadi tawanan hanya untuk memperoleh uang sedikit lebih banyak. Aku takkan menjual semangka seumur hidup, tapi sabarlah dulu hidup denganku, Akemi."

"Mmm," jawab Akemi di antara suapan bubur teh dan nasinya. "Kupikir kau lebih baik mencoba sekali saja, melakukan sesuatu yang betul-betul ada artinya, sesuatu yang akan membuat orang memperhatikan."

Akemi tak pernah berusaha membantah anggapan bahwa ia adalah istri sah Matahachi, tapi, sesungguhnya, ia tidak akan mau kawin dengan orang yang tak bisa diandalkan seperti Matahachi itu. Melarikan diri dari dunia malam di Sakaimachi dengan Matahachi adalah suatu ikhtiar. Matahachi hanyalah tempat bertengger. Dari situ, ia bermaksud terbang ke langit bebas sekali lagi, begitu ada kesempatan pertama. Kalau Matahachi pergi bekerja ke benteng, itu tidak sesuai dengan maksud-maksudnya. la merasa bahwa ditinggalkan sendiri akan berbahaya baginya. Khususnya ia takut Hamada akan menemukannya dan memaksanya hidup dengannya.

"Oh, aku lupa," kata Matahachi, ketika mereka selesai makan makanan sederhana itu. Kemudian ia pun bercerita pada Akemi tentang pengalamannya hari itu, namun perinciannya dibuat sedemikian rupa, agar dapat menyenangkan hati Akemi. Begitu ia selesai bercerita, wajah Akemi pucat.

Sambil menarik napas panjang, katanya, "Kau ketemu Kojiro? Apa kau memberitahukan aku ada di sini? Tidak, kan?" Matahachi memegang tangan Akemi dan meletakkannya di atas lututnya. "Tentu saja tidak. Apa kaupikir akan kubiarkan bajingan itu mengetahui tempatmu? Dia orang yang tak pernah menyerah. Dia pasti mengejarmu..."

Saar itu juga Matahachi berteriak dan menekankan satu tangan ke sisi wajahnya. Kesemek muda yang jatuh kena pipinya pecah, memercikkan dagingnya yang keputihan ke wajah Akemi.

Di luar, dalam bayangan rumpun bambu yang diterangi sinar bulan, sesosok tubuh yang bukan tak mirip dengan sosok Kojiro, berjalan acuh tak acuh ke arah kota.



Bersambung>>>
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive