"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Senin, 13 Agustus 2012

Cerita Novel Musashi Bag. 13




bagian 13
Kuda Terbang


OTSU dan Jotaro tiba di perbatasan larut malam, menginap di sebuah rumah penginapan, kemudian melanjutkan perjalanan lagi sebelum kabut pagi menghilang. Dari Gunung Fudesute mereka berjalan ke Yonkenjaya. Di situ untuk pertama kali mereka merasakan hangatnya matahari terbit yang menyinari punggung.

"Bukan main indahnya!" ujar Otsu. Ia berhenti melihat bulatan emas besar itu. Ia tampak penuh harapan dan keriangan. Itulah saat indah ketika semua benda bernyawa, bahkan juga tumbuhan dan binatang, merasa puas dan bangga karena hidup di dunia ini.

Jotaro berkata senang, "Kita berdua yang pertama di jalan ini. Tak ada orang di depan kita."

"Kedengarannya bangga betul kamu. Apa artinya?" "Oh, banyak artinya."

"Apa menurutmu jalan ini lalu jadi lebih pendek?"

"Oh, bukan. Senang rasanya menjadi orang pertama, biar cuma pertama di jalan. Mesti Kakak akui, itu lebih baik daripada berjalan di belakang joli atau kuda."

"Memang betul."

"Kalau tak ada orang lain di jalan yang kujalani, aku merasa jalan itu milikku."

"Kalau begitu, kenapa tidak kamu umpamakan dirimu seorang samurai besar yang sedang menunggang kuda dan memeriksa tanahmu yang luas? Aku akan jadi pembantumu." Otsu memungut sebatang bambu, dan sambil mengayun-ayunkan bambu itu dengan khidmat ia berseru-seru dengan nada sama, "Semua membungkuk! Semua membungkuk kepada Yang Dipertuan!"

Seorang lelaki memandang bertanya-tanya dari bawah ujung atap warung teh. Tertangkap basah sedang bermain seperti anak-anak, wajah Otsu memerah dan ia berjalan terus secepat-cepatnya.

"Oh, jangan begitu," protes Jotaro. "Tak boleh kamu lari dari tuanmu. Kalau lari, terpaksa aku membunuhmu!"

"Aku tak mau main lagi, ah!"

"Lho, kan Kakak yang main tadi, bukan aku?"

"Ya, tapi kamu yang mulai. Lihat itu! Orang di warung teh itu memandang kita terus. Pasti dikiranya kita sinting."

"Mari kita kembali ke sana."

"Buat apa?"

"Aku lapar."

"Sudah lapar?"

"Apa tak bisa kita makan separuh kue nasi yang buat makan siang?"

"Sabar. Kita belum lagi tiga kilometer. Kalau kubiarkan bisa-bisa kamu makan lima kali sehari."

"Mungkin. Tapi Kakak tak pernah lihat aku naik joli atau menaiki kuda seperti Kakak."

"Ah, itu kan cuma tadi malam, dan cuma karena sudah gelap dan kita mesti buru-buru. Kalau begitu pendapatmu, aku akan jalan sepanjang hari im.

"Hari ini giliranku naik kuda."

"Anak-anak tak perlu naik kuda."

"Tapi aku ingin naik kuda. Apa tak bisa? Bisa, kan?"

"Barangkali, tapi hari ini saja."

"Kulihat ada kuda terikat di warung teh itu. Kita dapat menyewanya."

"Jangan, sekarang masih terlalu pagi."

"Kalau begitu, Kakak bohong tadi bilang aku boleh naik kuda!"

"Aku tidak bohong, tapi kamu kan belum capek? Menyewa kuda itu membuang-buang uang saja."

"Kakak kan tahu betul, aku tak pernah capek. Aku tak akan capek, biar kita jalan seratus hari atau seribu lima ratus kilo. Kalau mesti tunggu sampai lelah, tak bakal aku naik kuda. Ayolah, mari kita sewa kuda sekarang, mumpung tak ada orang di depan kita. Ini lebih aman daripada kalau jalan ramai. Ayolah!"

Karena merasa bahwa kalau terus begitu mereka akan kehilangan waktu yang sudah mereka hemat dengan berangkat pagi-pagi, maka Otsu menyetujui. Begitu Jotaro merasa Otsu mengangguk setuju, ia berlari kembali ke warung teh ia memang tidak menantikan anggukan Otsu.

Walaupun di sekitar itu terdapat empat warung teh, seperti ditunjukkan oleh nama Yonkenjaya itu, warung-warung itu terletak di berbagai tempat yang berlainan di lereng Gunung Fudesute dan Kutsutake. Adapun warung yang baru mereka lewati itulah satu-satunya yang tampak oleh mereka.

Jotaro berlari menjumpai pemilik warung, kemudian berhenti tiba-tiba, serunya, "Hei, siapa di situ? Aku mau kuda! Keluarkan satu buatku!"

Orang tua itu sedang menurunkan daun jendela. Teriakan bernafsu anak itu mengejutkannya dan membangunkannya. Dengan muka masam ia menggerutu, "Apa saja ini! Buat apa memekik sekeras itu!"

"Aku perlu kuda. Minta disiapkan sekarang juga. Berapa sampai Minakuchi? Kalau tak begitu mahal, bisa diteruskan sampai Kusatsu."

"Tapi kamu ini anak siapa?"

"Aku anak ibuku dan ayahku," jawab Jotaro kurang ajar.

"Kupikir turunan liar dewa badai."

"Kamu ini dewa badainya. Tampangmu gila macam guntur."

"Bandel!"

"Mana kudanya!"

"Oh, kau pikir kuda itu buat disewakan? Kuda itu tidak disewakan. Maka aku kuatir tidak mendapat kehormatan meminjamkannya kepada Tuan."

Dan untuk mengimbangi nada bicara orang itu, Jotaro menyahut, "Oh, jadi aku tak akan mendapat kehormatan menyewanya?"

"Lancang kamu, ya?" teriak orang itu sambil mengambil ranting menyala dari api di bawah tungku dan melemparkannya kepada anak itu. Ranting iru tidak mengenai Jotaro, tapi menimpa kuda tua yang tertambat di bawah ujung atap. Sambil meringkik membelah udara, kuda itu mundur .ian membenturkan punggungnya ke tiang.

Bajingan!" jerit si pemilik. Ia melompat keluar dari warung sambil memuntahkan sumpah serapah dan berlari mendapatkan binatang itu.

Selagi ia melepaskan tali dan menuntun kuda itu ke pekarangan samping, Jotaro mulai lagi. "Pinjamkan dia untuk aku."

"Tidak bisa."

"Kenapa tak bisa?"

"Tak ada tukang yang membawanya."

Otsu memihak Jotaro dan menyarankan, kalau tak ada tukang kuda ia dapat membayar uang di muka dan mengirimkan kuda pulang kembali dari Minakuchi bersama musafir yang pergi ke sini. Sikap Otsu yang memohon itu melunakkan si orang tua, dan ia mengambil keputusan bahwa ia dapat mempercayai Otsu. Sambil menyerahkan tali kepada Otsu, karanva, "Kalau begitu, bisa kaubawa dia ke Minakuchi, atau juga ke Kusatsu, kalau kau mau. Cuma permintaanku, kirim dia kembali."

Ketika mereka akan berangkat, ujar Jotaro marah, "Apa pendapat Kakak tentang dia? Dia perlakukan aku seperti keledai, tapi begitu dia lihat wajah manis...."

"Hati-hati kamu, kalau bicara tentang orang tua itu. Kudanya ini mendengarkan. Dia bisa marah dan melemparkanmu."

"Apa menurut Kakak, kuda tua lemah kaki ini bisa mengalahkan aku?"

"Kamu kan belum bisa naik kuda?"

"Siapa bilang tak bisa?"

"Lalu macam apa pula ini, naik dari belakang?"

"Ah. tolong dong!"

"Brengsek!" Otsu memegang ketiak Jotaro dan menaikkannya ke punggung binatang itu.

Jotaro memandang megah ke sekitar, ke dunia di bawahnya. "Kakak jalan di depan, dong," katanya.

"Dudukmu belum benar."

"Jangan kuatir. Soal itu beres."

"Baiklah, tapi kamu menyesal nanti." Sambil memegang tali kekang dengan satu tangan, Otsu melambaikan ucapan selamat berpisah kepada pemilik kuda dengan tangan satunya, lalu keduanya berangkat.

Belum lagi seratus langkah, mereka sudah mendengar pekik keras dari tengah kabut di belakang mereka, diiringi langkah kaki berlari.

"Siapa itu kira-kira?" tanya Jotaro.

"Apa kita yang dipanggilnya?" tanya Otsu.

Mereka menghentikan kuda itu dan menoleh. Di tengah kabut putih mengasap itu terbentuk bayangan orang. Semula mereka hanya dapat menangkap garis bentuknya saja, kemudian warnanya, tapi segera kemudian orang itu sudah cukup dekat, hingga mereka dapat mengira-ngirakan penampilannya dan umurnya. Hawa setani mengitari tubuhnya, seakan-akan orang itu diikuti angin pusaran yang sedang mengamuk. Orang itu cepat mendekat ke samping Otsu, berhenti, dan dengan gerakan cepat merebut tali kekang dari tangan Otsu.

"Turun!" perintahnya sambil menatap Jotaro.

Kuda itu berlari kecil mundur. Sambil mencekal bulu tengkuknya, Jotaro memekik, "Hei, mana boleh begitu! Aku yang menyewa kuda ini, bukan kamu!"

Orang itu mendengus, menoleh kepada Otsu, katanya, "Perempuan!"

"Ya?" kata Otsu lirih.

"Namaku Shishido Baiken. Aku tinggal di Desa Ujii di pegunungan. sebelah sana perbatasan. Aku sedang mengejar orang yang namanya Miyamoto Musashi. Dia lewat jalan ini sebelum fajar tadi. Barangkali dia lewat beberapa jam lalu, jadi aku mesti jalan cepat kalau mau berhasil mengejar dia di Yasugawa, perbatasan Omi. Berikan kuda ini padaku." Orang itu bicara sangat cepat, tulang rusuknya mengembang dan mengempis. Dalam udara dingin itu, kabut mengental menjadi bunga es pada cabang-cabang dan ranting-ranting pohon, tapi leher orang itu berkelip-kelip seperti ular karena keringat.

Otsu tegak diam, wajahnya putih seperti mayat, seakan bumi di bawahnya menguras seluruh darah tubuhnya. Bibirnya menggeletar. Ingin sekali ia bertanya, untuk memastikan apa yang didengarnya itu benar. Tapi ia tak dapat mengucapkan sepatah kata pun.

"Kamu bilang Musashi?" ucap Jotaro. Ia masih mencengkeram bulu tengkuk kuda itu, tapi kaki dan tangannya gemetar.

Baiken demikian terburu-buru, hingga tidak melihat geletar tubuh mereka. "Ayo cepat! Kalau tidak kucambuk kamu!" Dan ia mengacungkan ujung tali kekang itu seperti cambuk.

Jotaro tetap menggeleng. "Aku tak mau."

"Apa maksudmu tak mau?"

"Ini kudaku, kamu tak bisa mengambilnya. Tak peduli kamu terburu-buru atau tidak."

"Awas kau! Sikapku sudah baik sekali, kujelaskan duduk perkaranya, kalian cuma seorang perempuan dan anak yang jalan sendiri, tapi..."

"Betul, kan, Otsu?" sela Jotaro. "Tak boleh dia ambil kuda ini, kan?" Otsu ingin memeluk anak itu. Baginya soalnya bukanlah kuda itu, tetapi bagaimana mencegah orang jahat ini mengejar lebih cepat.

"Betul," katanya. "Saya percaya Tuan memang buru-buru, tapi kami juga buru-buru. Tuan dapat menyewa salah satu kuda yang jalan naik-turun gunung ini dengan teratur. Seperti dikatakan anak ini, tidak adil kalau Tuan mencoba mengambil kuda ini dari kami."

"Aku tak mau turun," ulang Jotaro. "Lebih baik aku mati daripada turun!"

"Sudah bulat kamu tak mau melepaskan kuda ini?" tanya Baiken kasar.

"Mestinya kamu sudah tahu, kami tak mau," jawab Jotaro geram.

"Anak anjing!" teriak Baiken, marah oleh nada bicara anak itu.

Jotaro yang mengetatkan cengkeramannya pada bulu tengkuk kuda itu tampak hanya sedikit lebih besar dari seekor kucu. Baiken menjangkau sebelah kaki Jotaro dan menariknya turun. Inilah saatnya Jotaro mesti menggunakan pedang kayunya. Tapi karena bingung ia lupa sama sekali akan senjata itu. Berhadapan dengan musuh yang lebih kuat daripada dirinya, satu-satunya cara bertahan yang teringat olehnya adalah meludahi muka Baiken, dan itulah yang dilakukannya berulang-ulang.

Otsu jadi ngeri sekali. Rasa takut akan terluka atau terbunuh oleh orang ini mendatangkan rasa asam dan kering dalam mulutnya. Tapi memang tak ada soal menyerah dan membiarkan orang itu mengambil kuda. Musashi sedang dikejar makin lama ia dapat menghambat iblis ini, makin banyak Musashi punya waktu untuk lari. Tak jadi soal baginya, apakah jarak antara Musahi dan dirinya akan bertambah juga, justru pada waktu ia tahu bahwa setidak-tidaknya mereka berada di jalan yang sama. Sambil menggigit bibir dan kemudian menjerit, "Kamu tidak boleh berbuat begitu!" ia memukul dada Baiken dengan tenaga yang bahkan ia sendiri pun tak menduganya.

Karena masih menghapus ludah dari wajahnya, Baiken kehilangan ke-seimbangan, dan pada detik itulah tangan Otsu menangkap gagang pedangnya.

"Anjing!" salak orang itu, berusaha mencengkeram pergelangan tangan Otsu. Tapi tiba-tiba ia melolong kesakitan. Karena sebagian pedang itu sudah keluar dari sarungnya, bukan tangan Otsu yang ia parut, tapi mata pedang. Ujung dua jari tangan kanannya jatuh ke tanah. Sambil memegang tangan yang berdarah itu ia melompat mundur, sehingga tak sengaja menghunus pedang dari sarungnya. Baja berkilau cemerlang yang terulur dari tangan Otsu menggaruk tanah dan berhenti di belakang gadis itu.

Baiken melakukan kesalahan lebih besar lagi daripada malam sebelumnya.

Sambil mengutuk diri sendiri karena sikapnya yang tidak hati-hati, ia berjuang untuk memperoleh kembali keseimbangannya. Otsu kini tidak takut pada apa pun dan mengayunkan pedang itu ke samping, ke arah orang itu. Tapi senjata itu senjata besar berlempeng lebar, panjangnya hampir tiga kaki, tidak setiap lelaki dapat menggunakannya. Ketika Baiken menghindar, tangan Otsu guncang dan ia terhuyung ke depan. Ia rasakan kedua tangannya terpilin sekilas dan darah hitam kemerahan menyembur ke wajahnya. Setelah pusing sebentar, ia sadar bahwa pedang mengenai pantat kuda.

Luka itu tidak dalam, tapi kuda itu memperdengarkan suara mengerikan, kemudian mundur dan menyepak dengan liarnya. Disertai teriakan tak keruan, Baiken mencengkeram terus pergelangan tangan Otsu dan mencoba memperoleh kembali pedangnya, tapi waktu itu si kuda menyepak mereka berdua ke udara. Kemudian, sambil berdiri pada kaki belakangnya, kuda meringkik keras dan terbang ke jalan seperti anak panah lepas dari busurnya, sementara Jotaro terus bergayut kuat-kuat pada punggungnya dan darah mencurah di belakangnya.

Baiken terhuyung-huyung di udara penuh debu. Ia tahu tak dapat menangkap binatang yang menggila itu, karena itu dengan mata marah ia menoleh ke tempat Otsu tadi berada. Tapi Otsu sudah tak ada.

Sesaat kemudian ia melihat pedangnya di bawah sebatang pohon larch, dan sekali sergap ia mengambilnya kembali. Sesudah ia membenahi diri, terpikir olehnya: tentunya ada hubungan antara perempuan ini dengan Musashi! Dan kalau ia teman Musashi, ia bisa menjadi umpan yang baik sekali. Setidaknya ia pasti tahu ke mana perginya Musashi.

Setengah berlari setengah meluncur ia menuruni tanggul di samping jalan, mengitari sebuah rumah pertanian beratap lalang, memeriksa bawah lantai dan dalam gudangnya. Seorang perempuan tua yang membungkuk di balik mesin pemintal dalam rumah memandangnya ketakutan.

Kemudian tampak olehnya Otsu berlari kencang melintasi rumpun kriptomeria yang rimbun, menuju lembah di kejauhan. Kelihatan bercak-bercak salju terakhir.

Ia menyerbu turun bukit dengan tenaga bagai tanah longsor dan segera dapat menguasai jarak yang memisahkan mereka.

"Anjing!" teriaknya sambil mengulurkan tangan kiri dan memegang rambut Otsu.

Otsu jatuh ke bawah dan berpegangan pada akar-akar sebatang pohon, tapi kakinya tergelincir dan tubuhnya jatuh ke ujung karang terjal. Di situ tubuh itu berayun-ayun seperti bandul jam. Lumpur dan kerikil jatuh ke wajahnya ketika ia memandang ke atas, ke mata Baiken yang besar dan pedangnya yang berkilauan.

"Tolol!" kata Baiken menghina. "Kau pikir kau bisa lolos sekarang?"

Otsu menatap ke bawah. Lima puluh atau enam puluh kaki di bawah sana sebatang sungai melintasi dasar lembah. Anehnya ia tidak takut. Ia menganggap lembah itu sebagai penyelamatnya. Kapan saja ia mau, ia dapat meloloskan diri hanya dengan melepaskan pohon itu dan melemparkan diri, menyerahkan diri kepada ruang terbuka di bawah. Ia merasakan dekatnya maut, tapi bukan itu yang dipikirkannya. Ia pusatkan pikiran pada satu-satunya bayangan dalam batinnya: Musashi. Ia seolah melihat Musashi seperti bulan bulat di langit penuh badai.

Baiken cepat menangkap pergelangan Otsu, mengangkatnya, dan menyeret-nya dari ujung karang.

Tepat pada saat itu seorang begundalnya memanggil dari jalan. "Apa kerja Bapak di sana? Sebaiknya kita cepat-cepat. Orang tua di warung itu tadi bilang, seorang samurai membangunkannva sebelum fajar, memesan makan siang, dan lari ke Lembah Kaga."

"Lembah Kaga?"

"Katanya. Tapi dia pergi ke sana atau menyeberang Gunung Tsuchi ke Minakuchi, bukan soal. Semua jalan itu sampai Ishibe. Kalau kita cepat-cepat ke Yasugawa, kita akan bisa menangkapnya di sana."

Punggung Baiken membelakangi orang itu, sedangkan matanya terpancang pada Otsu yang meringkuk di depannya, seakan terjebak oleh pandangan ganas Baiken. "Hei!" raung Baiken. "Kalian bertiga turun sini!"

"Ada apa?"

"Turun sini cepat!"

"Kalau kita buang waktu, Musashi akan mendahului kita ke Yasugawa."

"Biar."

Ketiga orang itu sebagian orang-orang yang ikut melakukan pencarian sia-sia malam sebelumya. Karena terbiasa berjalan melintasi pegunungan, mereka dapat menyerbu menuruni lereng dengan kecepatan gerombolan babi hutan. Sampai di tempat berdirinya Baiken, mereka melihat Otsu. Pemimpin mereka cepat menjelaskan keadaan itu.

"Ikat dia dan bawa," kata Baiken sebelum berangkat melintasi hutan.

Mereka mengikat Otsu, tapi merasa kasihan kepadanya. Otsu terbaring tanpa daya di tanah, wajahnya menghadap ke samping. Dengan mencuri-curi mereka melontarkan pandangan malu ke raut muka Otsu yang pucat.

Baiken sudah di Lembah Kaga. Ia berhenti, menoleh ke karang, dan berteriak, "Kita ketemu di Yasugawa. Aku ambil jalan pintas, tapi kalian terus ambil jalan raya. Dan buka mata kalian."

"Baik, Pak!" sahut mereka serempak.

Baiken berlari seperti kambing gunung di antara batu-batu karang, dan segera kemudian sudah tidak kelihatan.



Jotaro terus meluncur ke jalan raya. Meskipun sudah tua, kuda itu demikian menggila, hingga tak dapat dihentikan seutas tali kekang, kalaupun Jotaro tahu caranva. Karena luka baru yang membakar seperti obor, ia melaju membuta ke depan, mendaki bukit turun lembah, melintasi desa-desa.

Suatu nasib baik semata-mata bahwa Jotaro tidak terlontar. "Awas! awas!" jeritnya berulang-ulang. Kata-kata itu sudah seperti doa yang terus diulangulangnya.

Karena tak bisa lagi bergayut pada bulu tengkuk kuda, ia mengetatkan cekalannya pada leher kuda. Matanya tertutup.

Apabila pantat binatang itu naik ke udara, Jotaro ikut juga naik. Karena lama-kelamaan sadar bahwa teriakan-teriakannya tidak bermanfaat, berangsur-angsur permohonannya berganti dengan lolongan sedih. Ketika ia minta Otsu membolehkannya naik kuda tadi, pikirnya alangkah hebat mencongklang sekehendak hati dengan kuda indah, tapi sesudah beberapa menit saja naik dengan cara yang menegakkan bulu roma seperti itu, kapoklah ia.

Jotaro berharap ada orang-siapa saja-yang mau bersukarela menangkap tali kekang yang lepas itu dan menghentikan si kuda. Tapi harapan itu rasanya berlebihan, karena orang jalan dan orang desa tak ada yang mau terluka oleh perkara yang tidak menyangkut kepentingan mereka. Bukannya membantu, semua orang malah mencoba mencari tempat aman di pinggir jalan dan memaki penunggang kuda yang tidak bertanggung jawab itu.

Sebentar saja ia telah melewati Desa Mikumo dan sampai di kota penginapan Natsumi. Sekiranya ia penunggang ahli yang dapat dengan sempurna mengendalikan kudanya, dapat kiranya ia memayungi mata dengan tangan, dan dengan tenang meninjau pegunungan dan lembah Iga yang indah itu-meninjau ke puncak Nunobiki, Sungai Yakota, dan di kejauhan perairan Danau Biwa yang seperti cermin.

"Berhenti! Berhenti! Berhenti!" nada teriakannya telah berubah. Lebih kuatir. Dan ketika mulai menuruni Bukit Koji, teriakannya mendadak berubah lagi. "Tolong! Tolong!" jeritnya.

Kuda mulai menuruni lereng terjal, dan Jotaro terpental-pental seperti bola di atas punggungnya.

Sekitar sepertiga jalan ke bawah, sebatang pohon ek besar menonjol dari sebuah karang terjal di sebelah kiri, dan salah satu cabangnya mencongak menyeberang jalan. Ketika Jotaro merasa daun-daunan menempel di wajahnya, ia menyatukan kedua tangannya, dengan keyakinan bahwa dewa-dewa telah mendengar doanya dan menggerakkan anggota badannya ke depan. Barangkali ia benar. Ia melompat seperti kodok, dan sesaat kemudian sudah tergantung di udara, kedua tangannya merangkum erat-erat dahan di atas kepalanya. Kuda lolos dari bawahnya dan lari sedikit lebih cepat, karena tanpa pengendara lagi.

Untuk menjatuhkan diri ke tanah, jaraknya tidak lebih tiga meter. Tapi Jotaro tak mau memaksa diri melepaskan cengkeramannya. Dalam keadaan sangat terguncang itu, jarak yang begitu dekat terasa seperti jurang menganga. Ia bergantung terus pada dahan penyelamat hidupnya, ia silangkan kedua kakinya di atas dahan itu, ia perbaiki letak tangannya yang sakit, dan bertanya-tanya dengan gundahnya dalam hati, apa yang harus dilakukannya. Persoalan segera terpecahkan. Cabang itu patah dengan suara berderak. Sesaat Jotaro menyangka telah mati, duduk di tanah tanpa cedera.

"Haa ... h," hanya itu yang dapat dikatakannya.

Beberapa menit lamanya ia duduk malas, semangatnya merosot, kalau tak hendak dikatakan patah. Kemudian ia ingat, kenapa ada di sana, dan langsung lompat berdiri.

Tanpa mengindahkan tanah yang diinjaknya ia berseru, "Otsu!"

Ia berlari balik mendaki lereng, sebelah tangannya erat memegang pedang kayu.

"Apa yang mungkin terjadi dengan dia? ...Otsu, Otsu! O-tsu-u-u!"

Tak lama kemudian ia bertemu dengan seorang lelaki berkimono merah kelabu yang menuruni bukit. Orang asing itu mengenakan hakama kulit dan membawa dua bilah pedang, tapi tak berjubah. Sesudah melewati Jotaro ia menoleh dan katanya, "Halo!" Jotaro menengok, dan orang itu bertanya, "Apa yang terjadi?"

"Bapak datang dari atas bukit sana, kan?" tanya Jotaro.

"Ya."

"Apa Bapak lihat perempuan manis umur sekitar dua puluh tahun?"

"Ya, kulihat."

"Di mana?"

"Di Natsumi kulihat beberapa bromocorah berjalan dengan seorang gadis. Tangan gadis itu terikat di belakang. Tentu saja aneh, tapi aku tak punya alasan untuk campur tangan. Aku yakin orang-orang itu gerombolan Tsujikaze Kohei. Mereka pindahan satu desa penuh gelandangan dari Yasugawa ke Lembah Suzuka beberapa tahun lalu."

"Itu dia, aku yakin," Jotaro mulai berjalan terus, tapi orang itu menghentikannya.

"Apa kalian tadi jalan bersama?" tanyanya.

"Ya. Namanya Otsu."

"Kalau kau nekat, kau bisa terbunuh sebelum dapat menolong orang lain. Kenapa kau tidak tunggu saja di sini? Cepat atau lambat mereka akan lewat sini. Nah, sekarang ceritakan padaku, apa saja semua ini. Barangkali aku dapat memberimu nasihat."

Jotaro segera menaruh kepercayaan pada orang itu dan menceritakan segala yang terjadi sejak pagi. Berkali-kali orang bertopi itu menganggukangguk. Ketika Jotaro selesai bercerita, ia berkata, "Aku mengerti kesulitannya, tapi biarpun dengan keberanian, seorang perempuan dan... anak lelaki bukan tandingan orang-orang Kohei. Kupikir lebih baik kuselamatkan Otsu, betul itu namanya?"

"Apa mau mereka menyerahkannya pada Bapak?"

"Barangkali tidak, kalau cuma diminta, tapi akan kupikirkan hal itu nanti. Sementara ini sembunyilah kamu di semak-semak, dan diam di sana."

Sementara Jotaro memilih rumpun semak dan bersembunyi di baliknya. orang itu melanjutkan jalan cepat menuruni bukit. Sesaat Jotaro bertanya-tanya dalam hati, apakah ia tidak tertipu. Karena merasa kuatir, ia mengangkat kepala ke atas belukar, tapi karena mendengar suara orang, ia menundukkan badan lagi.

Satu-dua menit kemudian Otsu tampak, dikitari tiga orang dengan tangan terikat erat di belakang. Darah mengering di goresan pada kakinya yang putih.

Salah seorang bajingan itu menggeram sambil mendorong bahu Otsu ke depan, "Apa pula menoleh-noleh! Jalan cepat!"

"Betul itu, jalan!"

"Saya mencari teman saya. Apa yang terjadi dengannya?... Jotaro!"

"Diam!"

Jotaro sudah hampir memekik dan melompat keluar dari persembunyiannya, tapi ronin itu sudah kembali lagi, kali ini tampak mengenakan topi. Umurnya dua puluh enam atau dua puluh tujuh, dan warna mukanya gelap. Pandangan matanya tampak lurus dan tidak mengembara ke kanan atau ke kiri. Sambil berjalan cepat mendaki lereng, ia berkata seolah kepada diri sendiri, "Mengerikan, betul-betul mengerikan!"

Ketika melewati Otsu dan orang-orang yang menangkapnya, ia menegur mereka dengan gumaman dan berjalan terus cepat-cepat, tetapi orang-orang itu menghentikannya. "Hei!" seru seorang di antaranya. "Apa kamu bukan kemenakan Watanabe? Apanya yang mengerikan?"

Watanabe adalah nama keluarga tua di daerah itu. Kepala keluarganya sekarang Watanabe Hanzo, seorang pelaksana taktik gaib yang dikenal dengan nama Ninjutzu.

"Belum dengar?"

"Dengar apa?"

"Di kaki bukit ini ada samurai, namanya Miyamoto Musashi, yang siap melakukan pertarungan besar. Dia berdiri di tengah jalan dengan pedang terhunus, dan menanyai tiap orang yang lewat. Matanya paling dahsyat yang pernah saya lihat."

"Musashi?"

"Betul. Dia langsung mendatangi saya dan menanyakan nama saya, jadi saya katakan padanya nama saya Tsuge Sannojo, kemenakan Watanabe Hanzo, dan saya datang dari Iga. Dia minta maaf dan membiarkan saya pergi. Dia sangat sopan sesungguhnya. Katanya, selama saya tak ada hubungan dengan Tsujikaze Kohei, beres saja."

"Begitu?"

"Saya bertanya padanya, apa yang terjadi. Dia bilang Kohei ada di jalan itu dengan begundal-begundalnya, mau menangkap dan membunuhnya. Dia bertekad berkubu di tempat itu dan menanti serangan di situ. Rupanya dia siap tempur sampai penghabisan."

"Benar yang kau katakan itu, Sannojo?"

"Tentu saja. Buat apa saya bohong?"

Wajah ketiga orang itu pucat. Mereka saling pandang dengan gelisah, ragu-ragu apa yang hendak mereka lakukan.

"Lebih baik Anda sekalian hati-hati," kata Sannojo, pura-pura meneruskan jalan mendaki bukit.

"Sannojo!"

"Ya?"

"Aku tak tahu apa yang mesti kami lakukan. Pak Ketua bilang, Musashi ini luar biasa kuatnya."

"Memang kelihatannya dia yakin betul dengan dirinya. Waktu dia mendekati saya dengan pedang, saya betul-betul merasa takkan bisa melawannya."

"Apa yang mesti kami lakukan menurutmu? Kami lagi membawa perempuan ini ke Yasugawa atas perintah Pak Ketua."

"Tak ada hubungannya dengan saya."

"Jangan seperti itu. Tolonglah kami."

"Mustahil! Kalau saya tolong Anda sekalian dan paman saya tahu, dia takkan mengakui saya lagi. Tapi tentu saja saya dapat memberikan nasihat pada kalian."

"Nah, bicaralah! Apa yang mesti kami lakukan?"

"Hm... Pertama, kalian dapat mengikat perempuan itu pada sebuah pohon dan meninggalkannya. Dengan begitu, kalian dapat bergerak lebih cepat."

"Ada lagi?"

"Kalian jangan ambil jalan ini. Ada jalan yang agak lebih jauh, Anda sekalian dapat menempuh jalan lembah ke Yasugawa dan memberitahu orang-orang di sana tentang semua ini. Kemudian kalian dapat mengepung Musashi dan berangsur-angsur menjepitnya."

"Tidak jelek gagasan itu."

"Tapi Anda sekalian mesti hati-hati sekali. Musashi akan berkelahi demi hidupnya, dan dia akan membawa beberapa nyawa kalau dia pergi. Lebih baik Anda sekalian menghindar."

Mereka segera sependapat dengan saran Sannojo, lalu mereka seret Otsu ke sebuah belukar dan mereka ikatkan talinya pada sebatang pohon. Kemudian mereka pergi, tapi beberapa menit kemudian mereka kembali untuk menyumbat mulutnya.

"Cukup kukira," kata seorang.

"Mari jalan."

Mereka masuk hutan.

Sambil jongkok di belakang tabir dedaunan, Jotaro menanti dengan sabar, sebelum akhirnya mengangkat kepala, meninjau sekitarnya. Tak seorang pun tampak olehnya-tak ada orang jalan, tak ada bromocorah, tak ada Sannojo.

"Otsu!" panggilnya sambil berjingkrak keluar dari semak. Ia cepat mendapatkan Otsu, melepaskan ikatannya, dan menggandengnya. Mereka berlari ke jalan. "Ayo pergi dari sini!" desaknya.

"Apa kerjamu sembunyi dalam semak itu?" "Tidak apa-apa! Ayo kita pergi!"

"Tunggu sebentar," kata Otsu sambil berhenti untuk merapikan rambutnya, meluruskan kerahnya, dan membetulkan letak obi-nya.

Jotaro mendecapkan lidahnya. "Ini bukan waktu buat berdandan. Apa tak bisa Kakak mengaturnya kemudian?"

"Tapi ronin itu bilang Musashi ada di kaki bukit."

"Oh, jadi itu sebabnya Kakak mempercantik diri?"

"Tentu saja tidak," kata Otsu, mempertahankan diri dengan sikap serius yang hampir-hampir lucu. "Tapi kalau Musashi sudah begitu dekat, tak ada yang mesti kita kuatirkan. Dan karena kesulitan kita boleh dibilang sudah lewat, aku merasa tenang dan cukup aman memikirkan penampilan."

"Apa Kakak percaya, ronin itu betul-betul melihat Musashi?"

"Tentu saja. Tapi omong-omong, di mana dia tadi?"

"Dia baru saja menghilang. Agak aneh juga dia itu, ya?"

"Kita pergi sekarang?" kata Otsu.

"Kakak yakin sekarang sudah cukup manis?"

"Jotaro!"

"Ah, cuma main-main. Kakak kelihatan senang."

"Kamu juga."

"Memang, tapi aku tak mencoba menyembunyikannya seperti Kakak. Aku akan berteriak, supaya tiap orang mendengar, 'Aku senang!"' Ia menari-nari sedikit, melambai-lambaikan tangan, dan menendang-nendangkan kaki, kemudian katanya, "Sungguh mengecewakan kalau Musashi tak ada di sana, ya? Aku akan lari duluan buat melihat."

Otsu tenang saja. Hatinya sudah terbang ke dasar lereng sana, lebih cepat daripada lari Jotaro.

"Tampangku tak keruan," pikirnya sambil mengamati kakinya yang luka dan berlumpur serta dedaunan yang menempel pada lngan kimononya.

"Ayolah!" seru Jotaro. "Apa yang dikutik-kutik itu?" Dari irama bicaranya, Otsu merasa pasti bahwa Jotaro sudah melihat Musashi.

"Akhirnya," demikian pikirnya. Sampai waktu itu ia harus mencari kesenangan di dalam dirinya sendiri, dan ia sudah bosan. Ia merasakan semacam kebanggaan, baik kepada dirinya maupun kepada dewa-dewa, karena tetap setia pada tujuan. Sekarang, ketika  ia akan bertemu dengan Musashi kembali, semangatnya menari-nari gembira. Ia tahu kegembiraan ini disebabkan oleh harapan yang dipendam-nya, namun ia tak dapat meramalkan apakah Musashi akan menerima kesetiaan-nya. Kegembiraan akan berjumpa dengan Musashi itu hanya sedikit ternodai firasat pedih, bahwa penemuan mungkin membawa kesedihan.

Di lereng bukit Koji yang teduh itu bumi beku, tapi di warung teh dekat kaki bukit, cuaca hangat hingga lalat-lalat berterbangan. Ini kota penginapan, karena itu tentu saja warung menjual teh kepada para musafir. Dijual juga berbagai barang kebutuhan para petani daerah itu, mulai dari gula-gula murah sampai terompah sapi jerami. Jotaro berdiri di depan warung itu sebagai anak kecil di tengah lautan manusia vans ribut.

"Di mana Musashi?" Otsu mencari-cari ke sekitar.

"Tak ada," jawab Jotaro lesu.

"Tak ada? Dia mesti ada!"

"Tapi aku tidak menemukannya dan tukang warung bilang tidak melihat samurai macam itu di sini. Mestinya keliru." Jotaro memang tapi tidak patah hati.

Otsu bisa saja mengakui bahwa sebetulnya tak ada alasan baginya berharap seperti sekarang itu, tapi jawaban Jotaro yang tak acuh menjengkelkannya. Karena guncang hatinya dan sedikit marah melihat kurangnya perhatian Jotaro, ia berkata, "Apa sudah kau cari di sana?"

"Sudah."

"Bagaimana kalau di belakang tonggak kilometer Koshin"

"Aku sudah lihat. Tak ada di situ."

"Di belakang warung teh?"

"Sudah kubilang, tak ada di situ!" Otsu membuang muka dari Jotaro. "Kakak menangis?" tanya Jotaro.

"Bukan urusanmu," kata Otsu tajam.

"Sungguh tak mengerti aku. Kakak ini biasanya cukup bijaksana, tapi kadang-kadang seperi bayi. Bagaimana mungkin kita tahu apakah Sannojo itu benar atau tidak? Kakak memutuskan sendiri cerita itu benar, tapi ketika ternyata tidak, Kakak menangis. Perempuan memang gila," ujar Jotaro, lalu pecah ketawanya.

Otsu merasa ingin langsung duduk dan menyerah. Dalam sejenak saja cahaya hidupnya hilang. Ia merasa kehilangan harapan seperti sebehumnya, bahkan lebih lagi. Gigi sulung rusak dalam mulut Jotaro yang sedang tertawa itu memuakkannya. Dengan marah ia bertanya pada dirinya, kenapa ia menyeret-nyeret anak semacam ini ke mana-mana. Ia iadi ingin sekali meninggalkannya di tempat itu juga.

Benar, anak itu mencari Musashi juga, tapi ia mencarinya hanya sebagai guru. Bagi Otsu, Musashi adalah hidup itu sendiri. Jotaro dapat melepaskan segalanya dengan tawa dan kembali girang seperti biasa daiam sekejap, tapi Otsu bisa berhari-hari lamanya kehilangan daya untuk terus hidup. Dalam pikiran Jotaro yang masih muda itu terdapat keyakinan gembira bahwa pada suatu hari nanti, cepat atau lambat, ia akan bertemu kembali dengan Musashi. Otsu tak punya keyakinan akan akhir yang bahagia seperti itu. Sesudah terlampau optimis akan dapat bertemu dengan Musashi hari ini, kini ia berayun ke arah yang berlawanan dan bertanya pada diri sendiri, apakah hidupnya akan berlangsung selamanya seperti ini, dan ia tak akan lagi melihat atau berbicara dengan orang yang dicintainya.

Orang-orang yang dilanda cinta biasa mencari filsafat, dan karena itulah mereka suka akan kesendirian. Dalam hal Otsu yang yatim, ia merasa sangat terpencil dari orang lain. Untuk membalas sikap tak acuh Jotaro itu, ia mengerutkan kening dan diam-diam pergi meninggalkan warung teh.

"Otsu!" Suara itu suara Sannojo. Ia muncul dari belakang tonggak kilometer Koshin dan menghampiri Otsu lewat belukar yang layu. Sarung pedangnya lembap.

"Bapak bohong," tuduh Jotaro.

"Apa maksudmu?"

"Bapak bilang Musashi menunggu di kaki bukit. Bapak bohong!"

"Jangan bodoh begitu!" kata Sannojo mencela. "Justru karena kebohongan itu Otsu dapat lolos, kan? Apa yang kamu keluhkan? Apa kamu tak mesti mengucapkan terima kasih padaku?"

"Jadi, Bapak mengarang cerita itu buat mengecoh orang-orang tadi?"

"Tentu saja."

Sambil menoleh pada Otsu dengan sikap penuh kemenangan, Jotaro berkata, "Lihat tidak? Kubilang begitu tadi, kan?"

Otsu merasa berhak penuh marah kepada Jotaro, tapi tak ada alasan baginya menggerutu kepada Sannojo. Beberapa kali ia membungkuk pada Sannojo dan banyak-banvak mengucapkan terima kasih karena Sannojo telah menyelamatkan-nya.

"Gerombolan gelandangan dari Suzuka itu jauh lebih jinak daripada dulu," kata Sannojo, "tapi kalau mereka pergi mencegat seseorang, kurang kemungkinannya orang itu dapat lewat jalan ini dengan selamat. Tapi dari pendengaranku tentang Musashi yang kalian risaukan itu, rasanya dia cukup cekatan, hingga tak mungkin masuk salah satu perangkap mereka."

"Apakah selain jalan ini ada jalan-jalan lain ke Omi?"

"Ada," jawab Sannojo sambil menengadahkan mata ke puncak-puncak gunung-gunung yang berkilauan oleh matahari tengah hari.

"Kalau kalian pergi ke Lembah Iga, di sana ada jalan menuju Ueno, dan dari Lembah Ano ada satu jalan yang menuju Yokkaichi dan Kuwana. Kalau tak salah, ada tiga atau empat jalan gunung dan terobosan lain. Perkiraanku, Musashi sudah meninggalkan jalan raya pagi-pagi."

"Jadi, menurut Bapak, dia masih selamat?"

"Itu yang paling mungkin. Paling tidak, lebih aman daripada kalian berdua. Kalian sudah selamat satu kali hari ini, tapi kalau kalian tetap ada di jalan ini, orang-orang Tsujikaze akan menangkap kalian lagi di Yasugawa. Kalau kalian sanggup sedikit mendaki, ayo jalan denganku. Akan kutunjukkan jalan yang praktis tak diketahui siapa pun."

Cepat saja mereka menerima saran itu.

Sannojo mengantar mereka naik Desa Kaga, menuju Celah Makado. Dari Celah Makado terdapat jalan setapak turun ke Seto, di Otsu.

Sesudah menjelaskan seterang-terangnya cara melanjutkan perjalanan, Sannojo berkata, "Kalian sudah lepas dari jalan yang berbahaya sekarang. Buka mata dan telinga kalian, dan yakinlah kalian akan menemukan tempat aman sebelum gelap."

Otsu mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan Sannojo, dan berangkat, tetapi Sannojo memandangnya dan berkata, "Kita berpisah di sini sekarang." Kata-kata itu terasa penuh arti, dan tampak matanya memancarkan keprihatinan. "Sepanjang jalan tadi terpikir olehku. 'Apa dia akan bertanya sekarang?"' demikian ia melanjutkan, "tapi tak juga kamu bertanya."

"Menanyakan apa?"

"Namaku."

"Tapi saya sudah mendengar nama Bapak, waktu kita di Bukit Koji."

"Kamu ingat nama itu?"

"Tentu ingat Tsuge Sannojo, kemenakan Watanabe Hanzo."

"Terima kasih. Bukannya aku minta supaya kamu selamanya berterima kasih padaku atau yang serupa itu, tapi kuharap betul kamu ingat aku."

"Tentu, saya berutang sekali pada Tuan."

"Bukan itu maksudku. Yang kumaksud, nah, aku ini belum kawin. Kalau pamanku tak sekeras itu, mau aku membawamu langsung pulang sekarang.... Tapi kulihat kamu tergesa-gesa. Setidaknya akan kamu temui nanti penginapan kecil beberapa mil dari sini, dan di situ kalian dapat menginap. Aku kenal baik dengan pemilik penginapan itu, karena icu sebut saja namaku kepadanya. Selamat jalan!"

Sesudah orang itu pergi, terasa aneh oleh Otsu. Dari semula ia tak dapat menggambarkan orang macam apakah Sannojo itu, dan ketika mereka berpisah, terasa olehnya seakan ia lolos dari cengkeraman seekor binatang berbahaya. Selama ini dirasanya ia mesti terus mengucapkan terima kasih kepada orang itu, padahal di dalam hatinya ia tak merasa berterima kasih.

Jotaro ada kecenderungan menyukai orang-orang baru, namun reaksinya terhadap orang itu hampir sama dengan Otsu. Ketika mereka berdua sudah mulai menuruni celah itu, ia berkata, "Aku tak suka orang itu."

Otsu tak ingin bicara buruk di belakang Sannojo, tapi ia membenarkan bahwa ia pun tak suka orang itu, dan tambahnya, "Menurutmu, apa maksudnya bilang dia masih sendiri itu?"

"Ah, itu isyarat dia mau melamarmu nanti."

"Wah, tidak lucu!"

Mereka melanjutkan perjalanan ke Kyoto tanpa kejadian apa pun, walaupun merasa kecewa karena tidak menjumpai Musashi di tempat-tempat yang mereka harapkan di tepi danau di Omi, di jembatan Kara di Seta, ataupun di perbatasan di Osaka.

Dari Keage mereka bergabung dengan lautan manusia yang merayakan akhir tahun dekat pintu masuk Jalan Sanjo yang menuju kota. Di ibu kota itu, seperti sudah menjadi tradisi pada Tahun Baru, dinding depan rumah dihiasi ranting-ranting pohon pinus. Melihat perhiasan itu, Otsu menjadi riang. Ia tidak meratapi lepasnya kesempatan di masa lalu, dan memnutuskan untuk menaruh harapan pada masa depan dan kemungkinan-kemungkinannya untuk menjumpai Musashi. Jembatan Besar Jalan Gojo. Hari pertama Tahun Baru. Kalau Musashi tak muncul lagi hari itu, maka pagi keduanya. atau pagi ketiganya... Musashi sudah mengatakan pasti akan ada di sana. demikian yang diketahuinya dari Jotaro. Walaupun Musashi datang tidak untuk menjumpainya, tapi cukuplah kalau ia dapat datang melihat pemuda itu dan bicara lagi dengannya.

Kemungkinan berjumpa dengan Matahachi merupakan awan tergelap yang membayangi impiannya. Menurut Jotaro, pesan Musashi hanya disampaikannya kepada Akemi, jadi Matahachi kemungkinan tidak menerima pesan itu. Otsu berdoa semoga Matahachi tidak menerimanya, agar Musashilah yang datang, dan bukan Matahachi.

Otsu melambatkan jalannya, karena terpikir olehnya mungkin Musashi ada di tengah orang banyak itu juga. Bulu romanya pun berdiri, dan ia berjalan lebih cepat. Ibu Matahachi yang mengerikan itu bisa saja muncul setiap saat.

Jotaro sendiri tak punva masalah di dunia ini. Warna-warna dan suara kota yang dilihat dan didengarnya sesudah sekian lama, menyegarkan kembali dirinva. "Apa kita mau langsung ke penginapan?" tanyanya prihatin.

"Tidak, belum."

"Bagus! Membosankan tinggal di dalam rumah kalau di luar masih terang. Mari kita jalan dulu lagi. Kelihatannya ada pasar di sana."

"Tak ada waktu buat ke pasar. Ada urusan penting yang mesti kira selesaikan."

"Urusan? Kita punya urusan?"

"Apa kamu lupa dengan kotak di punggungmu itu?"

"Oh, ini?"

"Ya, itu. Takkan tenang perasaanku sebelum aku menemukan tempat semayam Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro dan menyampaikan gulungan itu kepada beliau."

"Apa kita akan tinggal di rumahnya malam ini?"

"Tentu saja tidak." Otsu tertawa sambil memandang Sungai Kamo. "Apa menurutmu bangsawan besar macam beliau mau menerima anak kotor macam kamu menginap di bawah atapnya?"



Kupu-Kupu di Musim Dingin

AKEMI menyelinap dari penginapan di Sumiyoshi tanpa memberitahu siapa pun ia merasa seperti burung lepas sangkar, tapi masih belum cukup wmbuh dari persentuhannya dengan maut, hingga belum terbang terlampau tinggi. Bekas-bekas luka yang ditinggalkan oleh kekerasan Seijuro tak akan sembuh dengan cepat. Seijuro telah memporak-porandakan impian yang diudam-idamkannya, yaitu menyerahkan diri tanpa noda kepada lelaki yang benar-benar dicintainya.

Di perahu yang membawanya memudiki Sungai Yodo ke Kyoto ia merasa bahwa seluruh air sungai itu tidaklah sebanyak air mata yang ingin dicurahkannya. Ketika perahu-perahu lain yang bermuatan hiasan dan perbekalan peringatan Tahun Baru didayung lewat dengan cepat, ia menatapnya dan pikirnya, "Sekarang, walaupun betul-betul bertemu dengan Musashi..." Matanya yang resah berlinang, dan tumpahlah air matanya. Tak seorang pun tahu, betapa besar harapannya terhadap pagi Tahun Baru itu, ketika ia akan bertemu dengan Musashi di Jembatan Besar Jalan Gojo.

Kerinduannya kepada Musashi tumbuh semakin dalam dan semakin kuat. Benang cinta telah memanjang, dan menggulung menjadi bola di dalam dadanya. Bertahun-tahun la terus memintal benang kenangan, jauh dari remah-remah berita yang didengarnya, dan menggulungnya pada bola itu serta menjadikan benang itu lebih panjang dan lebih besar. Sampai beberapa hari lalu ia tetap mengagungkan kegadisannya dan terus membawabawanya seperti bunga liar segar dari lereng Gunung Ibuki. Tapi kini kembang di dalam dirinya telah hancur. Walaupun kurang kemungkinannya tiap orang mengetahui kejadian itu, terbayang olehnya setiap orang memandang kepadanya dengan mata maklum.

Di Kyoto, dalam cahaya petang yang memudar itu, Akemi berjalan di antara pohon-pohon liu tak berdaun dan pagoda-pagoda mini Teramachi dekat Jalan Gojo dengan wajah dingin dan murung, seperti kupu-kupu di musim dingin.

"Hei, gadis cantik!" tegur seorang lelaki. "Tali obi-mu lepas. Bagaimana kalau kuikatkan?" Orang itu kurus, pakaiannya jembel, dan bicaranya kurang ajar, tapi ia menyandang dua pedang samurai.

Akemi belum pernah melihatnya, tapi para langganan tempat-tempat minum sekitar itu tentu dapat mengatakan kepadanya nama orang itu, Akakabe Yasoma. Pada malam-malam musim dingin ia biasa bergelandangan di jalan-jalan gelap. Sandal jeraminya yang sudah usang mendetap-detap ketika ia berlari ke belakang Akemi dan menangkap ujung tali obi Akemi yang terlepas.

"Apa kerjamu sendirian di tempat ini? Kamu bukan bangsanya perempuanperempuan gila yang suka main sandiwara Kyoken itu, kan? Wajahmu manis. Kenapa tidak kamu tata rambutmu sedikit, dan jalan macam gadis-gadis lain?"

Akemi berjalan terus, pura-pura tak bertelinga, tapi Yasoma mengiranya malu. "Kamu kelihatannya gadis kota. Apa kerjamu? Lari dari rumah? Atau suamimu mau kamu tinggalkan?"

Akemi tak menjawab.

"Gadis manis macam kau mesti hati-hati berkeliaran tak menentu, seperti lagi dalam kesulitan atau semacam itu. Kamu belum tahu apa yang bisa terjadi. Di sini tak ada pencuri atau bajingan, macam yang berkeliaran seperti Rashomon. Tapi di sini banyak bromocorah yang segera mengocor air liurnya kalau lihat perempuan. Juga gelandangan, dan orang-orang yang suka jual-beli perempuan."

Walau Akemi tak mengucapkan sepatah kata pun, Yasoma terus ngotot, dan bila diperlukan ia pun menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri.

"Betul-betul bahaya. Kata orang, perempuan Kyoto dijual dengan harga tinggi di Edo sekarang. Dulu orang biasa membawa perempuan dari sini ke Hiraizumi di timur laut sana, tapi sekarang ke Edo. Sebabnya shogun kedua, Hidetada, sedang membangun kota itu secepat mungkin. Rumah-rumah pelesiran di Kyoto semua buka cabang di sana sekarang."

Akemi diam saja.

"Kamu tampak mencolok di mana saja, karena itu mesti hati-hati. Kalau tidak awas, kamu bisa terlibat dengan bajingan. Betul-betul bahaya!"

Maka habislah kesabaran Akemi. Sambil menyampirkan lengan kimononya ke bahu dengan marah, ia menoleh dan mendesis keras kepada Yasoma. Yasoma hanya tertawa. "Percaya tidak, kupikir kamu ini betul-betul gila!"

"Diam, dan pergi dari sini!"

"Kamu memang gila, ya?"

"Kamu yang gila!"

"Ha, ha, ha! Itu namanya membuktikan! Kamu gila. Kasihan."

"Kalau kamu tidak pergi, kulempar batu!"

"Ah, kamu main-main saja, kan?"

"Pergi kamu, binatang!" Kedok angkuh yang dikenakannya itu memang untuk menutupi rasa takut yang dirasakannya. Dibentaknya Yasoma, lalu ia lari masuk ladang miskantus, bekas tempat bersemayam Yang Dipertuan Komatsu dan kebunnya yang penuh lentera batu. Akemi seolah berenang di tengah tanaman yang berayun-ayun itu.

"Tunggu!" teriak Yasoma, mengejarnya seperti anjing pemburu.

Di atas Bukit Toribe bulan petang membubung seperti setan betina yang menyeringai liar.

Tak seorang pun kelihatan di sekitar. Orang terdekat di tempat itu jaraknya sekitar tiga ratus meter. Mereka adalah rombongan yang pelan-pelan menuruni bukit, tapi mereka tidak bakal datang menyelamatkan Akemi, sekalipun mendengar pekikannya, karena mereka sedang kembali dari penguburan. Mereka mengenakan pakaian putih, topi berpita putih pula, dan memegang tasbih. Sebagian masih menangis.

Tiba-tiba Akemi didorong tajam dari belakang, terantuk, dan jatuh.

"Oh, maaf," kata Yasoma. Ia terjatuh menimpa Akemi, dan terus juga meminta maaf. "Sakit, ya?" tanyanya sok baik, sambil mendekap Akemi.

Mendidih karena marah, Akemi menampar wajahnya yang berjenggot, tapi tamparan itu tidak membuat ia mundur, bahkan ia kelihatan senang. Ia melirik dan menyeringai ketika Akemi memukul, kemudian ia dekap Akemi lebih erat dan ia gosokkan pipinya ke pipi Akemi. Hampir Akemi tak dapat bernapas. Ia cakar Yasoma dengan sekenanya, dan kebetulan salah satu kukunya mencakar bagian dalam hidung Yasoma, hingga darah memancar. Namun Yasoma tidak mengendurkan pelukannya.

Lonceng Gedung Amida di Bukit Toribe memperdengarkan lagu penguburan, suatu ratapan atas kefanaan dan kesia-siaan hidup. Tapi lonceng itu tidak membawa kesan kepada dua orang yang sedang bergumul itu. Miskantus layu berayun-ayun hebat terkena gerakan mereka.

"Tenanglah, jangan melawan lagi," mohon Yasoma. "Tak ada yang mesti ditakutkan. Kamu bisa jadi calon istriku. Kamu suka, kan?"

Akemi menjerit, "Aku cuma ingin mati!" Derita dalam suaranya mengejutkan Yasoma.

"Kenapa? Apa soalnya?" gagapnya.

Posisi Akemi meringkuk. Tangan, lutut, dan dada yang terikat erat jadi satu itu mirip kuncup bunga sasankua. Yasoma menghibur dan membujuk, dengan harapan dapat meredakan Akemi dan menundukkannya. Rupanya bukan pertama kali ini ia menjumpai keadaan semacam itu. Sebaliknya, kelihatannya ia menyukainya, karena wajahnya bersinar senang, tapi tetap menyimpan ancaman. Ia tidak terburu-buru. Seperti kucing, ia menikmati permainan dengan korbannya.

"Jangan menangis," katanya. "Tak ada yang mesti ditangiskan, kan?" Sambil memberi ciuman di telinga, ia melanjutkan, "Kamu mestinya sudah pernah dengan lelaki. Gadis seumurmu tak mungkin masih suci."

Seijuro. Akemi pun teringat, betapa ia pernah tercekik dan menderita, betapa sosok shoji itu mengabur di depan matanya.

"Tunggu!" kata Akemi.

"Tunggu? Baik, aku akan tunggu," kata Yasoma, yang mengira panas tubuh Akemi yang seperti demam itu panas nafsu. "Tapi jangan coba-coba kamu lari. Aku bisa jadi kasar."

Sambil menggerutu tajam Akemi menggeliatkan bahunya dan mengibaskan tangan Yasoma. Ia menatap wajah Yasoma dan bangkit pelan-pelan. "Mau berbuat apa kamu padaku?"

"Kamu tahu keinginanku!"

"Kaupikir kau dapat menggarap perempuan seperti orang tolol, kan? Kalian orang lelaki semuanya begitu! Nah, aku memang perempuan, tapi aku punya keberanian." Darah merembes keluar dari bibir Akemi yang tergores daun miskantus. Sambil menggigit bibir itu, ia kembali mengucurkan air mata.

"Bicaramu aneh," kata Yasoma. "Tak mungkin lain, kamu pasti gila."

"Terserah aku mau bicara apa!" jerit Akemi. Ia tolakkan dada Yasoma dengan segala kekuatannya, kemudian ia tinggalkan tempat itu, menempuh padang miskantus yang menghampar sejauh mata memandang dalam sinar bulan.

"Pembunuh! Tolong! Pembunuh!"

Yasoma menyergapnya. Belum lagi Akemi mencapai sepuluh langkah, Yasoma sudah menangkapnya dan menjatuhkannya kembali. Kaki Akemi yang putih tampak di bawah kimononya, rambutnya membelit muka, dan ia tergeletak dengan pipi tertempel ke tanah. Kimononya setengah terbuka, dan buah dadanya yang putih merasakan angin dingin.

Baru saja Yasoma akan menerkamnya, sesuatu yang keras mendarat di dekat telinganya. Darah muncrat ke kepala dan ia menjerit kesakitan. Ketika ia menoleh untuk melihat, benda keras itu datang lagi menghantam puncak kepalanya. Kali ini tak mungkin lagi ia merasa sakit, karena ia segera jatuh pingsan, kepalanya bergoyang kosong seperti kepala macan kertas. Ia tergeletak dengan mulut menganga.

Penyerangnya, seorang pendeta pengemis, berdiri di atasnya, memegang shakuhachi yang tadi dipergunakannya memukul.

"Binatang jahat!" katanya. "Tapi ternyata lebih mudah mengalahkannya daripada yang kusangka." Pendeta itu memandang Yasoma beberapa waktu lamanya, ragu-ragu apakah lebih baik ia membunuhnya sekaligus, sebab kalaupun sadar kembali, orang itu tak bakal dapat waras kembali.

Akemi menatap kosong kepada penyelamatnya. Kecuali shakuhachi, tak ada hal lain yang dapat menunjukkan bahwa ia pendeta. Melihat pakaiannya yang kotor dan pedang yang tergantung di pinggangnya, barangkali ia samurai melarat atau bahkan pengemis.

"Aman sekarang," katanya. "Kamu tak perlu kuatir lagi."

Setelah pulih dari bingungnya, Akemi mengucapkan terima kasih kepadanya dan mulai meluruskan rambut dan kimononya. Namun ia memandang kegelapan di sekitarnya dengan mata masih ketakutan.

"Di mana kau tinggal?" tanya pendeta itu.

"Ya? Tinggal?... Maksud Bapak, di mana rumah saya?" kata Akemi sambil menutup muka dengan tangan. Disertai sedu sedannya, Akemi mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan orang itu, tapi ia merasa tak dapat berlaku jujur sepenuhnya. Sebagian dari yang disampaikannya pada orang itu memang benar-ibunya lain dengan dirinya, ibunya mencoba menukarkan d:rinya dengan uang, dan la lari ke sini dari Sumiyoshi-tapi selebihnya dikarangnya seketika itu juga.

"Lebih baik saya mati daripada pulang," lolongnya. "Banyak beban Ibu yang mesti saya tanggung! Saya sudah dipermalukan dengan berbagai macam cara! Bahkan ketika masih kecil, saya sudah mesti pergi ke medan pertempuran buat mengambil barang-barang dan tubuh prajurit yang tewas."

Kebencian terhadap ibunya membuat tulang-tulangnya gemetar.

Aoki Tanzaemon membantunya menyingkir ke sebuah lembah kecil, di mana keadaan tenang dan angin tidak begitu dingin. Sampai di sebuah kuil kecil yang sudah runtuh, ia menyeringai, dan katanya, "Di sini aku tinggal. Semuanya serba seadanya, tapi aku suka di sini."

Akemi sadar, pertanyaan berikut ini sedikit kasar, tapi ia tak dapat tidak menyampaikannya, "Bapak betul-betul tinggal di sini?"

Tanzaemon membuka pintu berjeruji dengan mendorongnya dan mempersilakan Akemi masuk. Akemi ragu-ragu.

"Di dalam lebih hangat daripada yang kauduga," katanya. "Buat tutup lantai, aku cuma punya tikar jerami tipis. Tap itu lebih baik daripada tak ada. Kau takut padaku seperti pada binatang di sana tadi?"

Akemi menggeleng diam. Tanzaemon tidak membuatnya takut. Ia yakin orang itu orang baik, lagi pula sudah cukup umur. Ia terka umurnya sudah lebih dari lima puluh. Yang membuatnya mundur adalah kotornya kuil kecil itu dan bau tubuh serta pakaian Tanzaemon. Tapi ia tak dapat pergi ke tempat lain, belum lagi kalau Yasoma atau orang lain semacamnya menemukannya, padahal kepalanya masih menyala oleh demam.

"Apa saya tidak mengganggu Bapak?" tanyanya ketika ia mendaki anak tangga.

"Sama sekali tidak. Tak ada yang keberatan, biar engkau tinggal di sini beberapa bulan."

Bangunan itu hitam legam, tempat yang cocok buat kelelawar.

"Tunggu sebentar," kata Tanzaemon.

Terdengar oleh Akemi suara goresan logam pada batu api, dan sebuah lampu kecil memancarkan sinar lemah. Entah dari mana dipungutnya lampu itu. Akemi menoleh ke sekitar, dan tampak olehnya orang aneh itu ternyata telah mengumpulkan berbagai alat kebutuhan rumah tangga yang pokok-satu-dua buah kuali, beberapa pinggan, bantal kayu, dan tikar jerami. Ia bilang akan membuat sedikit bubur soba untuk Akemi, dan mulai meromet dengan anglo tanahnya yang sudah pecah. Mula-mula dimasukkannya sedikit arang, kemudian beberapa bilah kayu, dan akhirnya naiklah bunga-bunga api. Api menyala.

"Orang tua yang baik," pikir Akemi. Sesudah mulai merasa lebih tenang, Akemi merasa tempat itu tidak lagi kotor.

"Nah, nah," kata Tanzaemon. "Kaubilang cuma capek, padahal kelihatannya kau demam. Barangkali masuk angin. Lebih baik kau berbaring di sana, menunggu makanan siap." Ia menuding ke kasur darurat dari jerami dan kantong beras.

Akemi menebarkan kertas yang ada padanya di atas bantal kayu, dan berbaringlah ia sesudah menggumamkan permintaan maaf karena ia beristirahat, sementara Tanzaemon bekerja. Sebagai selimut dipergunakannya sisasisa kelambu yang sudah compang-camping. Kelambu itu ditutupkannya ke badannya, tapi justru ketika itu seekor binatang dengan mata gemerlap meloncat dari bawahnya dan melompati kepalanya. Akemi menjerit membenamkan muka ke kasur.

Tanzaemon lebih kaget lagi. Kantong tepung yang sedang dituangkannya ke air terjatuh, hingga setengahnya tercurah ke lututnya. "Apa itu?" teriaknya.

Akemi menjawab sambil terus menyembunyikan wajah, "Entahlah, kelihatannya lebih besar dari tikus."

"Barangkali bajing. Kadang-kadang memang datang kalau bau makanan. Tapi mana?"

Sambil mengangkat kepala sedikit, kata Akemi, "Itu dia!" "Di mana?"

Tanzaemon menegakkan badan dan menoleh ke sekitar. Seekor monyet kecil bertengger di atas susuran tempat semadi bagian dalam, yang sudah lama tak berpatung Budha lagi. Monyet itu meringkuk ketakutan oleh pandangan tajam Tanzaemon.

Tanzaemon tampak terheran-heran, tapi monyet itu tidak kelihatan takut. Sesudah beberapa kali meloncat naik-turun susuran yang warna merahnya sudah pudar, ia duduk kembali. Ia perlihatkan mukanya yang seperti buah persik berbulu panjang, dan mulai mengedip-ngedipkan mata.

"Dari mana dia datang, menurutmu?... Aha! Aku tahu sekarang. Kalau tak salah, tadi beras berceceran." Ia bergerak mendekati monyet itu. Melihat ia mendekat, monyet itu melompat ke belakang tempat semadi dan bersembunyi.

"Setan kecil mungil," kata Tanzaemon. "Kalau kita beri dia makan sedikit, barangkali dia tak akan bertingkah. Mari kita biarkan dia." Ia kibaskan tepung dari lututnya, dan kembali ia duduk di depan anglo. "Tak ada yang perlu ditakutkan, Akemi. Istirahatlah."

"Apa menurut Bapak dia baik?"

"Ya. Monyet ini bukan monyet liar. Tentunya milik seseorang. Tak perlu kita kuatir. Apa sudah cukup hangat?"

"Ya."

"Kalau begitu, tidurlah. Itulah obat terbaik buat melawan masuk angin."

Ia tuangkan lagi tepung di dalam air, dan ia aduk bubur itu dengan sumpit. Api menyala-nyala sekarang. Sementara adonan memanas, Tanzaemon mengiris-iris brambang. Daun meja tua dipakainya sebagai talenan, dan pisaunya belati kecil berkarat. Dengan tangan yang tidak dibasuh ia gusurkan brambang itu ke dalam mangkuk kayu, kemudian ia bersihkan talenan dan ia ubah menjadi baki.

Gejolak dalam kuali yang sedang mendidih berangsur-angsur memanaskan ruangan. Sambil duduk merangkum lutut yang kurus, bekas samurai itu memandang air kaldunya dengan mata lapar. Ia memandang dengan perasaan bahagia dan penuh hasrat, seakan-akan kuali di hadapannya itu berisi kenikmatan tertinggi umat manusia.

Lonceng Kiyomizudera berdentang seperti kebiasaannya tiap malam. Kerasnya udara musim dingin yang berlangsung tiga puluh hari sudah berakhir, dan Tahun Baru sudah dekat, tapi seperti biasa kalau tahun akan berakhir, beban jiwa orang banyak tampak semakin besar. Sampai jauh malam para pemohon berkah masih terus membunyikan gong timah di atas pintu masuk kuil. Mereka membungkuk berdoa, dan lagu-lagu bernada tinggi yang menyerukan minta pertolongan sang Budha mendengung membosankan.

Sambil mengaduk bubur pelan-pelan agar tidak gosong, Tanzaemon melamun. "Aku telah menerima hukuman dan bertobat atas dosa-dosaku, tapi apa yang terjadi dengan Jotaro? Tak ada perbuatan anak itu yang salah. Oh, Kannon yang terberkati, aku mohon, hukumlah orang tua ini karena dosa-dosanya, tapi layangkanlah pandangan penuh kecintaan kepada anak..."

Suatu jeritan tiba-tiba melengking melengkapi doanya. "Binatang kamu!" Mata Akemi masih terpejam, wajahnya menempel erat ke bantal kayu, tapi ia menangis sedih. Ia terus mengigau, sampai bunyi suaranya sendiri mem­bangunkannya.

"Apa saya mengigau?" tanyanya.

"Ya, bikin aku terkejut," kata Tanzaemon. Ia datang ke sisi tempat tidur dan menghapus dahi Akemi dengan gombal sejuk. "Keringatmu luar biasa. Tentunya demam."

"Saya... saya... bilang apa?"

"Oh, banyak."

"Apa saja?" Wajah Akemi yang demam jadi bertambah merah karena malu. Ia tarik selimut untuk menutupinya.

Tanzaemon tidak menjawab langsung, tapi katanya, "Akemi, ada lelaki yang ingin kau kutuk, ya?"

"Apa saya mengatakannya?"

°Hm. Apa yang terjadi? Apa dia meninggalkanmu?"

"Tidak. "

"Oh, begitu," kata Tanzaemon mengambil kesimpulan sendiri.

Sambil menggeser badannya ke atas hingga setengah duduk, Akemi berkata, "Oh, apa yang mesti saya lakukan sekarang? Tolonglah, katakan." Ia sudah bersumpah takkan mengungkapkan aib yang menjadi rahasianya itu pada siapa pun, tapi kemarahan, kesedihan, dan rasa kehilangan yang terpendam dalam dirinya demikian hebat untuk ditanggung sendirian. Ia meringkuk di lutut Tanzaemon dan mengungkapkan seluruh riwayatnya, sambil tersedu-sedu dan meratap.

"Oh," lolongnya akhirnya. "Aku ingin mati, mati! Biarlah aku mati!"

Napas Tanzaemon menjadi panas. Begitu lama ia tidak begini dekat dengan perempuan. Bau perempuan itu membakar lubang-lubang hidungnya, juga matanya. Hasrat tubuh, yang menurut persangkaannya sudah dapat diatasinya, kini mulai membengkak akibat masuknya darah panas. Tubuhnya yang sampai waktu itu tidak lebih dari sebatang pohon mandul kini mulai memperlihatkan hidup baru. Sebagai gantinya, ia teringat bahwa di balik tulang rusuknya bersemayam paru-paru dan jantung.

"Mm," gumamnya. "Jadi, begitu macamnya Yoshioka Seijuro." Dan kebencian hebat terhadap Seijuro menggelegak di dalam dirinya. Bukan hanya kemarahan. Semacam rasa cemburu menggerakkannya untuk mengetatkan pelukan, seakan-akan anak perempuannya sendiri yang diperkosa. Sementara Akemi menggeliat berurai air mata di lututnya. ia merasa memperoleh keakraban, dan pandangan bingung merayapi wajahnya.

"Sudah, sudah, jangan menangis lagi. Hatimu masih suci. Engkau tidak membiarkan lelaki itu menggaulimu dan tidak membalas cintanya. Yang penting pada seorang perempuan bukan tubuhnya, tapi hatinya, dan kemurnian adalah soal batin. Sebaliknya, kalau seorang perempuan tidak menyerahkan diri pada seorang lelaki, namun memandang lelaki itu dengan bernafsu, dia menjadi tidak murni dan tidak bersih, setidak-tidaknya selama perasaan itu berlangsung.

"Sudahlah, sudah. Jangan menangis lagi," kata Tanzaemon lagi, menepuk punggung Akemi. Tetapi geletar leher Akemi yang putih itu tidak memungkinkan ia menunjukkan simpati yang tulus. Kulit yang lembut itu, yang demikian manis baunya, telah dicuri lelaki lain.

Tapi tepat waktu itu si monyet menyelinap ke kuali dan menyantap isinya, maka tanpa basa-basi Tanzaemon memindahkan kepala Akemi dari lututnya. Ia ayunkan tinjunya dan ia kutuk binatang itu sehabis-habisnya. Makanan jelas lebih penting daripada penderitaan seorang perempuan.

Pagi berikutnya Tanzaemon menyatakan akan pergi ke kota membawa mangkuk pengemisnya."Engkau tinggal di sini selama aku pergi," katanya. "Aku mesti cari uang buat membelikanmu obat, dan lagi kita butuh beras dan minyak, agar dapat makan panas."

Topinya bukan topi tinggi yang dianyam dari gelagah seperti biasa dipakai kebanyakan pendeta pengembara, melainkan dari bambu biasa, dan sandal jeraminya yang sudah lusuh dan belah di tumit mencakar-cakar tanah selagi ia berjalan. Tidak hanya kumisnya, melainkan segala yang ada padanya menampilkan kemesuman. Namun, biarpun tampangnya seperti pengejut burung, ia biasa pergi tiap hari, kecuali kalau hujan.

Karena tak nyenyak tidur, pagi itu matanya tampak muram sekali. Sesudah menangis berkepanjangan malam itu, Akemi sempat menyantap bubur hingga bercucuran keringat, dan ia tidur nyenyak. Sampai fajar, Tanzaemon hampir tak memejamkan mata. Bahkan ketika berjalan di bawah matahari pagi yang cemerlang, penyebab kurang tidurnya tetap bertahan. la tak dapat mengusirnya dari pikiran.

"Hampir sama umurnya dengan Otsu," pikirnya. "Tapi wataknya sama sekali berlainan. Pada Otsu ada keanggunan dan kehalusan budi, tapi terasa dingin. Sedangkan Akemi merangsang, baik sedang tertawa, menangis, atau cemberut."

Umur muda di dalam sel-sel tubuh Tanzaemon yang sudah mengering itu bangkit oleh sinar tajam pesona Akemi. Perasaan itu membuatnya sadar akan umurnya. Semalam, sementara ia memandang penuh hasrat kepada Akemi, yaitu selagi gadis itu bergerak dalam tidurnya, peringatan lain memperdengarkan diri dalam hatinya. "Sungguh aku orang tolol yang sial! Apa belum juga aku belajar? Biarpun aku memakai jubah pendeta dan memainkan shakuhachi pengemis, masih jauh aku dari memperoleh pencerahan P'u-hua yang jernih dan sempurna. Tak pernahkah aku akan menemukan kebijaksanaan yang akan membebaskan diriku dari tubuh ini?"

Sesudah menghukum dirinya berkepanjangan, ia memaksa matanya yang sedih memejam dan mencoba tidur, tapi sia-sia.

Di waktu fajar, sekali lagi ia memutuskan, "Aku mau dan harus meninggalkan pikiran-pikiran jahat!" Tapi Akemi itu gadis yang memesona dan demikian menderita. Ia harus mencoba menyenangkan hatinya. Ia harus memperlihatkan pada gadis itu, bahwa tidak semua lelaki di dunia ini setan-setan nafsu.

Disamping obat, ia memikirkan hadiah macam apa yang akan dibawakannya untuk Akemi kalau ia pulang malam nanti. Selama mengemis sepanjang hari itu, semangatnya terdorong oleh keinginan melakukan sesuatu untuk membuat Akemi sedikit lebih bahagia. Cukuplah itu. Ia tidak mendambakan hasrat yang lebih besar.

Kira-kira ketika ia sudah memperoleh ketenangan kembali, dan ketika warna merah sudah kembali ke wajahnya, terdengar olehnya kepak-kepak sayap di atas karang terjal di sampingnya. Bayangan elang pemburu yang besar meluncur, dan tampaklah oleh Tanzaemon bulu cokelat seekor burung kecil menggeletar turun dari sebuah cabang pohon ek di tengah belukar tak berdaun di atasnya. Sambil mencengkeram burung kecil itu, elang pemburu membubung ke udara, memperlihatkan bagian bawah sayapnya.

Tidak jauh dari situ terdengar orang mengatakan, "Sukses!" Dan pemilik elang bersuit kepada burungnya.

Beberapa detik kemudian Tanzaemon melihat dua orang berpakaian pemburu turun bukit di belakang Ennenji. Elang itu bertengger di tinju kiri seorang dari mereka yang menyandang kantong rajut buat tangkapannya di sisi pinggang yang berlawanan dengan kedua pedangnya. Seekor anjing pemburu yang tampak cerdas dan cokelat warnanya menderap di belakangnya.

Kojiro berhenti dan memperhatikan sekitarnya. "Kira-kira di sini kejadiannya kemarin petang," katanya. "Monyetku berkelahi dengan anjing, dan anjing itu menggigit ekornya. Dia lalu sembunyi dan tak muncul lagi. Terpikir olehku sekarang, apa dia tidak berada di atas salah satu pohon itu."

Seijuro tampak agak tak puas. Ia duduk di sebuah batu. "Mengapa pula dia mesti terus di sini? Dia kan punya kaki? Dan lagi, aku tak mengerti kenapa Anda membawa-bawa monyet, padahal Anda berburu dengan elang."

Kojiro duduk seenak mungkin di akar sebatang pohon. "Oh, aku tidak membawanya, tapi aku tak dapat mencegahnya ikut. Dan aku begitu terbiasa dengan dia, hingga rasanya kehilangan kalau dia tak ada."

"Tadinya aku menyangka cuma perempuan dan orang yang suka melengah waktu yang menyukai monyet dan anjing timangan, tapi ternyata sangkaanku keliru. Sukar dibayangkan bahwa seorang prajurit seperti Anda begitu terikat pada seekor monyet." Sesudah melihat Kojiro beraksi di tanggul Kema itu, Seijuro sungguh menghargai keahliannya bermain pedang, tetapi selera dan cara hidupnya pada umumnya kelihatan terlampau kekanak-kanakan. Sesudah tinggal serumah dengannya beberapa hari itu, yakinlah Seijuro bahwa kematangan dicapai bersamaan dengan bertambahnya umur. Sukar baginya menghormati Kojiro sebagai pribadi, tapi dalam hal tertentu hal itu mempermudah ia berhubungan dengan pemuda ini.

Kojiro menjawab tertawa, "Sebabnya karena aku masih amat muda. Tak lama lagi aku akan belajar menyukai perempuan, baru sesudah itu barangkali aku akan melupakan monyet itu."

Kojiro mengobrol dengan nada ringan, sebaliknya wajah Seijuro kelihatan makin lama makin prihatin. Matanya memperlihatkan sorot resah, hampir serupa dengan mata elang yang bertengger di tangannya. Mendadak katanya tak senang, "Apa kerja pendeta pengemis di sana itu? Dari tadi dia berdiri memandangi kita, sejak kita sampai di sini."

Seijuro menatap Tanzaemon dengan curiga, dan Kojiro memutar badan untuk melihat.

Tanzaemon membalikkan badan dan pergi tertatih-tatih.

Tiba-tiba Seijuro berdiri. "Kojiro," katanya, "aku mau pulang. Bagaimanapun, mi bukan waktu buat berburu. Sekarang sudah tanggal dua puluh sembilan."

Sambil tertawa dan dengan nada mencela, kata Kojiro, "Tapi kita pergi ini buat berburu, kan? Baru dapat seekor perkutut dan beberapa mural buat bukti. Kita mesti coba lebih jauh naik bukit."

"Tidak, mari kita hentikan. Aku tak suka berburu sekarang, dan kalau aku tidak merasa senang, elang ini jadi tidak benar terbangnya. Mari pulang dan berlatih." Kemudian tambahnya, seolah kepada diri sendiri, "Itulah yang kuperlukan, berlatih."

"Nah, kalau Anda memang mesti pulang, aku ikut." Ia berjalan di samping Seijuro, tapi tampak kurang senang. "Kupikir saranku keliru."

"Saran apa?"

"Pergi berburu kemarin dan hari ini."

"Sudahlah. Aku tahu Anda bermaksud baik. Cuma, ini akhir tahun, sedang pertarungan dengan Musashi semakin dekat."

"Itu sebabnya menurutku baik kalau Anda pergi berburu. Anda dapat bersantai, supaya semangat Anda wajar. Tapi kukira Anda bukan orang ,vang dapat melakukan hal itu."

"Hm. Semakin aku mendengar tentang Musashi, semakin aku cenderung untuk tidak menyepelekannya."

"Apa itu bukan lebih merupakan alasan untuk menghindari keresahan dan kepanikan? Anda mesti mendisiplinkan semangat Anda."

"Aku tidak panik. Pelajaran pertama dalam seni bela diri adalah tidak :nenganggap enteng musuh, dan kupikir masuk akal kalau kita mencoba banyak berlatih sebelum bertarung. Kalau mesti kalah, setidaknya aku tahu. Bahwa aku sudah mencoba sebaik-baiknya. Kalau orang itu memang lebih baik daripada aku, yah..."

Sekalipun Kojiro sangat menghargai ketulusan Seijuro, menurutnya dalam diri Seijuro terdapat kekerdilan semangat, dan ini menyulitkan Seijuro menjunjung tinggi nama baik Perguruan Yoshioka.

Karena Seijuro tidak memiliki visi pribadi yang diperlukan untuk mengikuti jejak ayahnya dan menyelenggarakan perguruan besar itu sebaik-baiknya, maka Kojiro merasa kasihan kepadanya. Menurut pendapatnya, adik Seijuro, Denshichiro, lebih kuat wataknya, tapi Denshichiro seorang playboy yang sudah rusak. Sekalipun ia pemain pedang yang lebih mampu dibanding Seijuro, ia tak bisa diharapkan untuk mempertahankan nama Yoshioka.

Kojiro menginginkan Seijuro melupakan pertarungan dengan Musashi yang terus mendekat itu, karena menurut keyakinannya itulah persiapan terbaik baginya. Pertanyaan yang ingin dilontarkannya, namun tidak dilontarkannya adalah apa yang ingin dipelajari Seijuro sejak sekarang sampai saat pertandingan. "Yah," demikian pikirnya pasrah, "Itulah dia. Kukira tak banyak yang bisa kubantu."

Anjing itu lari dan kini menggonggong galak di kejauhan.

"Itu berarti dia menemukan mangsa!" kata Kojiro, dan matanya bercahaya.

"Biar dia pergi. Nanti toh menyusul kita."

"Akan kulihat. Anda tunggu di sini."

Kojiro berlari cepat ke arah datangnya gonggongan, dan semenit dua menit kemudian terlihat olehnya anjing itu berada di beranda sebuah kuil kuno yang sudah bobrok. Binatang itu melompat-lompat ke pintu kisi-kisi yang bobrok, tapi berulang-ulang mundur kembali. Sesudah beberapa kali mencoba, ia mencakar-cakar tiang dan dinding bangunan berlak merah usang itu. Sambil bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan yang membuat anjing itu demikian ribut, Kojiro pergi ke pintu lain. Melihat ke dalam kisi-kisi itu seperti melihat ke dalam jambangan lak hitam.

Derak-derik pintu yang dibukanya membuat anjing itu berlari mengikutinya sambil mengibas-ngibaskan ekor. Kojiro menendang pergi anjing itu, tapi tak banyak hasilnya. Dan ketika ia masuk, si anjing cepat berlari menyerobot.

Jeritan perempuan itu memekakkan telinga, sejenis jeritan yang dapat memecahkan kaca. Kemudian anjing itu melolong, dan terjadilah adu suara antara dia dan perempuan yang menjerit itu. Kojiro bertaya-tanya dalam hati, apakah tiang-tiang tak akan ambruk. Ia berlari maju, dan dilihatnya Akemi berbaring di bawah kelambu, sementara monyet yang melompat masuk dari jendela untuk menghindari anjing itu bersembunyi di belakangnya.

Akemi ada di antara anjing dan monyet, menghalangi jalan anjing. Karena itu anjing menyerangnya. Ketika Akemi berguling ke samping, lolongan anjing mencapai puncaknya.

Akemi kini menjerit bukan karena takut, tapi karena sakit. Anjing menggigit lengannya. Sambil menyumpah, Kojiro menendangnya lagi keras-keras pada rusuknya. Anjing itu mati oleh tendangan pertama, tapi sesudah tendangan kedua pun giginya tetap mengatup erat ke lengan Akemi.

"Lepaskan! Lepaskan!" jerit Akemi sambil menggeliat di lantai.

Kojiro berlutut di sampingnya dan membuka paksa rahang anjing itu. Bunyinya seperti potongan-potongan kayu berlem yang dipisahkan satu dari yang lain. Mulut anjing itu terluka. Sedikit saja lagi tenaga Kojiro akan membuat kepala anjing itu belah menjadi dua. Ia lemparkan bangkai anjing itu ke luar pintu, lalu kembali ke sisi Akemi.

"Beres sekarang," katanya menghibur, tapi lengan Akemi tampak parah. Darah yang mengalir di kulit putih itu membuat gigitan tersebut seperti bunga peoni besar berwarna merah tua.

Melihat itu, Kojiro menggigil. "Apa tak ada sake di sini? Nanti kubasuh dengan sake.... Oh ya, kukira tak ada sake di tempat seperti ini." Darah hangat mengalir turun dari lengan ke pergelangan. "Akan kucoba," katanya. "Kalau tidak, racun gigi anjing bisa bikin kau gila. Dia memang aneh tingkahnya beberapa hari terakhir ini."

Sementara Kojiro menimbang-nimbang apa yang dapat diperbuatnva lekas-lekas, Akemi mengerutkan kening sampai alisnya menjadi satu, menggeliatkan lehernya yang putih indah, dan teriaknya, "Gila? Oh, itu sungguh bagus! Itu yang saya inginkan—gila! Betul-betul gila sama sekali!"

"A-a-apa maksudmu?" gagap Kojiro. Dan tanpa banyak bicara lagi ia membengkokkan lengan Akemi dan mengisap darah dari lukanya. Ketika mulutnya penuh, ia ludahkan isinya dan ia lekatkan kembali ke kulit yang putih itu dan ia isap sampai pipinya menggelembung.

Malam hari Tanzaemon kembali dari perjalanan hariannya. "Aku pulang, Akemi," katanya sambil masuk kuil, "Apa kau kesepian selagi aku pergi?"

Ia letakkan obat untuk Akemi di sudut, bersama makanan dan guci minyak yang dibelinya, dan katanya, "Tunggu sebentar, akan kunyalakan lampu."

Ketika lilin sudah dinyalakan, ia lihat Akemi tak ada di dalam ruangan. "Akemi" panggilnya. "Ke mana perginya dia?"

Cinta sebelah tangan tiba-tiba berubah menjadi kemarahan, tapi kemudian cepat digantikan pula oleh kesepian. Seperti kejadian sebelumnya, Tanzaemon diingatkan bahwa ia takkan menjadi muda kembali, dan bahwa tak ada lagi padanya kehormatan, tak ada lagi harapan. Terpikir olehnya tubuhnya yang menua, dan ia menggerenyit.

"Aku sudah menyelamatkan dia dan merawatnya," gerutunya, "tapi sekarang dia pergi tanpa pesan. Akan begitukah dunia ini selamanya? Memang begitukah dia? Atau masihkah dia curiga dengan maksud-maksudku?"

Di tempat tidur ia temukan potongan kain, jelas sobekan ujung obi Akemi. Bercak darah pada kain itu membangkitkan naluri binatangnya. Ia tendang tilam jerami itu ke udara dan ia lemparkan obat ke luar jendela.

Dalam keadaan lapar, namun tak ingin menyiapkan makanan, ia ambil shakuhachi, dan sambil mengeluh ia pergi ke beranda. Sekitar sejam lamanva tak henti-henti ia bermain, mencoba mengusir keinginan dan angan-angannya. Namun jelas baginya, nafsu-nafsu dalam dirinya tetap dan akan tinggal dengannya sampai ia mati. "Akemi sudah diambil lelaki lain," renungnya. "Kenapa pula kemarin aku mesti begitu bermoral dan jujur? Tak ada gunanya aku berbaring sendirian, merana sepanjang malam."

Separuh dirinya menyesal karena ia tidak berbuat, tapi separuh lagi mengutuk hasratnya yang bejat. Justru konflik emosi yang tanpa hentihentinya bergejolak dalam nadinya itulah yang oleh sang Budha disebut nafsu. Sekarang ia sedang mencoba membasuh dirinya yang tidak murni, tapi semakin ia berusaha, semakin keruh nada shakuhachi yang dimainkannya.

Pengemis yang tidur di bawah kuil itu melongokkan kepalanya dari bawah beranda. "Kenapa kau main suling?" tanyanya. "Apa ada kejadian yang menyenangkan? Kalau kau bawa banyak uang dan beli sake, bagaimana kalau aku minta minum?" Orang itu pincang, dan dari sudut pandangnya yang hina, Tanzaemon hidup seperti raja.

"Apa kau tahu, apa yang terjadi dengan gadis yang kubawa semalam?"

"Manis juga cewek itu, ya? Kalau aku bisa, takkan kubiarkan dia pergi. Tak lama sesudah kau pergi tadi, seorang samurai muda yang pakai kuncung dan pedang raksasa membawanya pergi. Juga monyet itu. Yang satu dipikul di kiri, yang lain di kanan."

"Samurai... kuncung?"

"Ya. Dan bukan main tampannya anak itu, jelas lebih tampan daripada kau dan aku!"

Humor kalimat tersebut membuat pengemis itu tertawa terbahak-bahak.



































Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive