"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Senin, 13 Agustus 2012

Cerita Novel Musashi Bag. 12





bagian 12

Ngengat di Musim Dingin



TIAP hari, sesudah menyelesaikan kewajiban di biara, para gadis yang hidup di Wisma Perawan dengan buku di tangan pergi ke ruang belajar di rumah Arakida. Di sana mereka belajar tata bahasa dan berlatih menulis sajak. Untuk menarikan tari-tarian keagamaan, mereka mengenakan kimono sutra putih dengan celana bertepi lebar merah tua yang disebut hakama. Tapi sekarang mereka berkimono lengan pendek dan berhakama katun putih, yang biasa mereka kenakan pada waktu belajar atau melakukan pekerjaan rumah tangga.

Sekelompok gadis menghambur keluar dari pintu belakang, dan tiba-tiba seorang di antaranya berseru, "Apa itu?" dan menuding bungkusan serta pedang yang terikat di sana, yang pada malam sebelumnya digantungkan Musashi.

"Punya siapa itu menurutmu?"

"Mestinya punya samurai."

"Sudah pasti."

"Tidak, bisa juga pencuri yang meninggalkannya di sini."

Mereka berpandangan dan menahan napas, seakan-akan menemukan begal itu sendiri yang berikat kepala kulit dan sedang tidur slang. "Barangkali kita mesti memberitahu Otsu," saran seorang di antaranya, dan dengan persetujuan bersama mereka berlari kembali ke asrama dan berseru dari bawah susuran tangga di luar kamar Otsu.

"Sensei! Sensei! Ada yang aneh di bawah sini. Coba lihat sini!"

Otsu meletakkan kuas tulisnya di meja dan menjulurkan kepala ke luar jendela. "Ada apa?" tanyanya.

"Ada pencuri meninggalkan pedang dan bungkusan. Keduanya di sana, tergantung di dinding belakang."

"Ha? Lebih baik itu kalian bawa ke rumah Arakida."

"Ah, jangan! Kami takut memegangnya."

"Itu namanya ribut tak keruan saja. Ayo belajar sana, dan jangan buangbuang waktu lagi."

Begitu Otsu turun dari kamarnya, gadis-gadis itu sudah pergi. Yang tinggal di asrama itu hanyalah perempuan tua juru masak dan seorang gadis yang sakit. "Barang-barang siapa yang tergantung di sini ini?" tanya Otsu kepada juru masak.

Juru masak tentu saja tidak tahu.

"Biar kubawa ke rumah Arakida," kata Otsu. Ketika ia turun membawa bungkusan dan pedang itu, hampir saja barang-barang itu terjatuh karena beratnya. Mengangkat barang itu ia merasa heran, bagaimana kaum pria biasa berjalan membawa beban seberat itu.

Otsu dan Jotaro datang ke tempat itu dua bulan sebelumnya, sesudah mondar-mandir di Jalan Iga, Omi, dan Mino mencari Musashi. Sesampai di Ise, mereka putuskan untuk menetap selama menanti musim dingin, karena akan sukar berjalan menerobos pegunungan selagi ada salju. Semula Otsu memberikan pelajaran suling di daerah Toba, tapi kemudian ia menarik minat kepala Keluarga Arakida, yang sebagai pemimpin upacara resmi menduduki tempat kedua sesudah pendeta kepala.

Ketika Arakida meminta Otsu datang ke biara untuk mengajar gadis-gadis itu, ia pun menerima, bukan karena ingin mengajar, melainkan karena berminat mempelajari musik kuno, musik suci. Juga, kedamaian hutan tempat suci itu telah mengimbaunya; dan lagi ia ingin tinggal beberapa waktu lamanya bersama gadis-gadis di tempat suci itu, yang umurnya sekurang-kurangnya tiga betas atau empat betas tahun, dan sebanyak-banyaknya sekitar dua puluh.

Jotaro sebetulnya menjadi penghalang Otsu menerima jabatan itu, karena ada larangan menerima lelaki tinggal di asrama anak-anak perempuan, sekalipun umurnya masih muda. Akhirnya keputusan yang mereka ambil adalah, slang hari Jotaro menyapu pekarangan suci dan malam hari menginap di gudang kayu Keluarga Arakida.

Ketika Otsu melintasi halaman biara, angin yang menakutkan dan lain dari biasanya bersiul di antara pepohonan yang tak berdaun. Seberkas asap naik dari sebuah belukar di kejauhan. Terpikir oleh Otsu, barangkali Jotaro di sana sedang menyapu pekarangan dengan sapu bambunya. Ia berhenti dan tersenyum, ia merasa senang bahwa Jotaro yang wataknya sukar diubah, hari-hari itu patuh sekali dan dengan penuh tanggung jawab menyesuaikan diri dengan pekerjaan, justru pada umur ketika anak-anak lelaki hanya senang bermain dan menyenang-nyenangkan diri.

Bunyi gemeretak keras yang didengarnya itu mirip bunyi cabang pohon yang patah. Bunyi itu terdengar lagi, dan sambil mencengkeram barang bawaannya, Otsu berlari menyusuri jalan setapak melintas belukar, panggilnya,

"Jotaro! Jo-o-ota-ro-o-o!"

"Ya-a-a?" terdengar jawaban gagah. Sebentar saja Otsu sudah mendengar langkah Jotaro. Tapi ketika anak itu sudah berhenti di depannya, ia hanya mengatakan, "Oh, kakak ini tadi."

"Kupikir kau sedang kerja tadi," kata Otsu tajam. "Apa kerjamu dengan pedang kayu itu? Dan pakai pakaian kerja putih lagi."

"Aku sedang latihan. Latihan dengan pohon-pohon."

"Tak ada orang yang keberatan dengan latihanmu, tapi bukan di sini Jotaro. Apa kau sudah lupa, di mana kau sekarang? Halaman ini lambang kedamaian dan kemurnian. Ini wilayah suci, suci buat dewi leluhur kita semua. Lihat ke sana itu, bahwa di sini dilarang merusak pohon-pohonan, melukai, atau membunuh binatang? Memalukan kalau orang yang bekerja di sini mematahkan cabang-cabang pohon dengan pedang kayu."

"Ah, sudah tahu aku semua itu," gerutu Jotaro dengan wajah jengkel.

"Kalau sudah tahu, kenapa kaulakukan? Kalau Pak Arakida menangkap basah kamu, pasti kita mendapat kesulitan!"

"Menurutku, tak ada salahnya mematahkan dahan yang sudah mati. Tak ada salahnya kalau memang sudah mati, kan?"

"Itu kalau tidak di sini!"

"Itu yang Kakak ketahui! Coba sekarang aku mau tanya."

"Tanya apa?"

"Kalau kebun ini begitu penting, kenapa orang tidak merawatnya lebih baik?"

"Memang sayang sekali mereka tidak merawatnya baik-baik. Membiarkannya rusak seperti ini sama saja dengan membiarkan rumput liar tumbuh dalam jiwa."

"Tidak begitu jelek kalau cuma rumput liar, tapi lihat pohon-pohon itu. Pohon-pohon yang disambar petir itu dibiarkan saja mati, dan pohon-pohon yang dirobohkan badai bergeletakan saja seperti waktu robohnya. Di mana-mana begitu. Burung-burung mematuki atap bangunan sampai bocor. Dan tak ada orang memperbaiki lentera kalau rusak.

"Bagaimana bisa Kakak mengatakan tempat ini penting? Coba, apa puri di Osaka itu tidak putih menyilaukan kalau kita lihat dari Samudra di Settsu? Apa Tokugawa Ieyasu tidak membangun purl-puri yang lebih megah di Fushimi dan selusin tempat lain? Apa rumah-rumah baru daimyo dan saudagar-saudagar kaya di Kyoto dan Osaka tidak mengilat karena perhiasan emasnya? Apa ahli-ahli upacara teh Rikyu dan Kobori Enshu tidak mengatakan bahwa secercah kotoran di halaman warung teh bisa merusak aroma teh?

"Kebun ini sedang runtuh. Coba, yang kerja di sini cuma aku dan tiga atau empat lelaki tua! Padahal, coba lihat berapa luasnya?"

"Jotaro!" kata Otsu, memegang dagu Jotaro dan mengangkat wajahnya. "Yang kaukatakan itu cuma jiplakan kuliah Pak Arakida."

"Oh, jadi Kakak mendengar kuliah itu juga?"

"Tentu saja," kata Otsu menyela.

"Wah, kalau begitu aku tak pernah bisa menang."

"Membeokan apa yang dikatakan Pak Arakida tak ada artinya buatku. Aku tak setuju dengan cara itu, biarpun yang dikatakannya itu benar."

"Dia memang benar. Waktu aku mendengarkan dia bicara, aku jadi berpikir, apa Nobunaga, Hideyoshi, dan Ieyasu itu betul-betul orang besar. Aku tahu mereka tentunya orang penting, tapi apa indahnya menguasai negeri kalau menurut kita, kitalah satu-satunya orang yang berarti."

"Tapi Nobunaga dan Hideyoshi itu tak seburuk orang-orang lain. Paling tidak, mereka sudah memperbaiki istana kaisar di Kyoto dan mencoba mem-bahagiakan rakyat. Biarpun seandainya mereka melakukan hal-hal itu hanya untuk membenarkan tindakannya sendiri terhadap dirt sendiri dan orang-orang lain, mereka tetap patut mendapat pujian. Shogun-shogun Ashikaga jauh lebih buruk."

"Bagaimana buruknya?"

"Kau pernah mendengar tentang Perang Onin, kan?" ,

"Hm."

"Ke-shogun-an Ashikaga begitu tidak cakap, sampai terus-menerus terjadi perang. Para prajurit selamanya saling perang untuk memperebutkan lebih banyak wilayah. Rakyat biasa tidak mendapatkan kedamaian sedikit pun, dan tak seorang pun punya perhatian sungguh-sungguh terhadap negeri secara keseluruhan."

"Maksud Kakak pertempuran yang terkenal antara Keluarga Yaman dan Kosokawa?"

"Ya.... Waktu itulah, lebih seratus tahun lalu, Arakida Ujitsune menjadi pendeta kepala Tempat Suci Ise, dan uang tak cukup untuk melanjutkan upacara-upacara kuno dan ritus-ritus suci. Dua puluh tujuh kali Ujitsune mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah untuk membetulkan bangunan-bangunan suci, tapi istana kaisar terlalu miskin, ke-shogun-an terlalu lemah, dan para prajurit begitu sibuk dengan pertumpahan darah, sampai mereka tak peduli dengan apa yang terjadi. Walaupun demikian, Ujitsune pergi berkeliling juga memperjuangkan cita-citanya, sampai akhirnya berhasil mendirikan tempat suci baru.

"Ini cerita sedih, bukan? Tapi kalau kita pikirkan, waktu sudah dewasa orang suka lupa bahwa mereka berutang sumber hidup kepada leluhurnya, sama seperti kita semua berutang hidup kepada Dewi Ise."

Puas karena sudah mendapat pidato panjang berapi-api dari Otsu, Jotaro melompat ke udara sambil tertawa dan bertepuk tangan. "Sekarang siapa yang membeo Pak Arakida? Kakak pikir aku belum pernah mendengar itu sebelumnya, kan?"

"Anak bandel kau ini!" ujar Otsu sambil tertawa sendiri. Ingin sebetulnya ia menampar Jotaro, tapi bungkusan yang dibawanya menghalanginya.

Maka sambil terus tersenyum ia tatap saja anak lelaki itu. Waktu itulah Jotaro melihat bungkusan yang lain dari yang lain.

"Punya siapa itu?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.

"Jangan sentuh! Tak tahu kita punya siapa ini."

"Ah, aku kan tak akan bikin rusak! Aku cuma mau lihat. Berani sumpah, ini mesti berat. Pedang panjang ini besar sekali, ya?" Dan air liur Jotaro mengucur.

"Sensei" Seorang di antara gadis tempat suci datang berlari-lari, berdetap-detap bunyi sandal jeraminya. "Pak Arakida memanggil Sensei." Hampir tanpa berhenti, gadis itu memutar badan dan berlari kembali.

Jotaro menoleh ke sekitar dengan terheran-heran. Matahari musim dingin bersinar melalui pohon-pohon, dan ranting-ranting berayun-ayun seperti ombak kecil. Mata Jotaro memandang seolah melihat hantu di antara bercak-bercak cahaya matahari.

"Ada apa?" tanya Otsu. "Apa yang kamu perhatikan?"

"Ah, tak apa-apa," jawab anak itu kesal sambil menggigit jari telunjuknya. "Waktu gadis itu memanggil 'guru', sesaat kupikir yang dia maksud guruku."

Otsu tiba-tiba merasa sedih dan sedikit kesal. Walaupun pernyataan Jotaro itu diucapkan dengan penuh kepolosan, kenapa pula ia menyinggung Musashi?

Sekalipun sudah mendapat nasihat Takuan, ia tak pernah bisa mengusir rasa rindu kepada Musashi dari hatinya. Takuan orang yang begitu tanpa perasaan. Dalam hal tertentu, Otsu kasihan pada biarawan itu dan pada ketidaktahuannya akan makna cinta.

Cinta itu seperti sakit gigi. Ketika Otsu sedang sibuk, perasaan cinta itu tidak mengganggu, tapi apabila kenangan mendatanginya, ia tercengkam oleh keinginan yang amat sangat untuk menyusuri jalan-jalan raya lagi, mencari dan menemukannya, meletakkan kepala ke dadanya dan mengucurkan air mata bahagia.

Tanpa mengatakan sesuatu, ia berjalan. Di manakah dia? Dari segala kesedihan yang mungkin merundung mahluk hidup, yang paling menggerek, paling celaka, dan yang paling menyengsarakan pastilah tak adanya kemampuan untuk memandang orang yang dirindukan. Dan dengan air mata meleleh di pipi ia berjalan terus.

Pedang berat dan perabot usang itu tak berarti apa-apa baginya. Bagaimana mungkin ia memimpikan membawa barang-barang milik Musashi?

Karena merasa telah berbuat salah, Jotaro ikut saja dengan sedih, agak jauh di belakang. Baru ketika Otsu membelok masuk gerbang rumah Arakida, ia berlari mendekati Otsu, dan tanyanya, "Kakak marah, ya? Karena kata-kataku?"

"Oh, tidak, tak apa-apa."

"Maaf, Kak. Betul-betul aku minta maaf."

"Ini bukan salahmu. Aku cuma merasa sedikit sedih. Tapi jangan kuatir. Aku mau tahu, apa yang dikehendaki Pak Arakida. Kembalilah kau bekerja."

Arakida Ujitomi menyebut tempat tinggalnya Wisma Belajar. Ia mengubah sebagian rumah itu menjadi sekolah, tidak hanya untuk gadis-gadis biara, melainkan juga untuk empat puluh atau lima puluh anak lain dari tiga daerah yang termasuk daerah Biara Ise. Ia coba memberikan kepada orang-orang muda itu sejenis pendidikan yang sekarang tidak terlalu populer: mempelajari sejarah Jepang Kuno yang di kota-kota besar dianggap tidak relevan. Sejarah awal negeri ini berhubungan erat sekali dengan Biara Ise dan tanah-tanahnya, padahal sekarang zaman orang banyak cenderung menganggap nasib bangsa ini adalah nasib kelas prajurit, sehingga apa yang terjadi di masa lalu yang jauh itu tak banyak berarti. Ujitomi berjuang seorang diri menanamkan benih-benih kebudayaan yang lebih awal dan lebih tradisional di antara orang-orang muda daerah biara itu. Kalau orang lain mungkin menyatakan bahwa daerah-daerah provinsi tak ada sangkut pautnya dengan nasib bangsa, Ujitomi memiliki pandangan lain. Kalau ia dapat mengajar anak-anak setempat mengenai masa lalu, maka menurut pikirannya barangkali semangat masa lampau itu pada suatu hari akan tumbuh subur seperti pohon besar di hutan suci.

Dengan penuh keuletan dan pengabdian, tiap hari ia bicara pada anakanak itu tentang karya-karya klasik Tionghoa dan Catatan Tentang Hal-hal Kuno, sejarah tentang Jepang. Ia berharap anak-anak didiknya akhirnya akan menghargai buku-buku itu. Ia melakukan hal tersebut lebih dari sepuluh tahun lamanya. Menurutnya, Hideyoshi boleh memegang kendali negeri dan menyatakan diri dengan wali, Tokugawa Ieyasu boleh menjadi shogun "penakluk orang barbar" yang mahakuasa, tapi seperti halnya orangtuanya, anak-anak muda tidak boleh salah membedakan bintang keberuntungan seorang pahlawan militer dengan matahari yang indah. Kalau ia bekerja keras dengan sabar, orang-orang muda nantinya akan mengerti bahwa Dewi Matahari yang agunglah yang menjadi lambang cita-cita bangsa, bukan prajurit diktator yang tak tahu adat.

Arakida keluar dari ruang belajarnya yang luas dengan wajah sedikit berkeringat. Ketika anak-anak sudah menghambur keluar seperti kawanan lebah dan melejit cepat ke rumah masing-masing, seorang gadis biara menyampaikan kepadanya bahwa Otsu sedang menanti. Sedikit bingung, Arakida berkata, "Betul. Aku kan memanggil tadi. Sudah lupa sama sekali. Di mana dia?"

Otsu berada di luar. Sudah beberapa waktu ia berdiri di situ, mendengarkan pelajaran Arakida.

"Saya di sini," serunya. "Bapak memanggil saya?"

"Saya minta maaf terpaksa membiarkan engkau menunggu. Silakan masuk."

Ia mengantar Otsu masuk kamar belajar pribadinya, tapi sebelum duduk ia menuding barang-barang yang dibawa Otsu dan bertanya apakah itu. Otsu menjelaskan bagaimana ia sampai mendapat barng-barang itu. Arakida melirik, dan kemudian dengan curiga memperhatikan kedua pedang itu. "Pemuda biasa takkan datang kemari membawa barang-barang seperti itu," katanya. "Dan malam kemarin barang itu belum ada di sana. Tengah malam tentunya orang datang masuk pekarangan."

Kemudian dengan wajah tak senang ia menggerutu, "Ini barangkali kelakar samurai. Aku tak suka."

"Oh? Apa menurut pendapat Bapak seorang lelaki telah masuk Wisma Perawan?"

"Ya, tentu. Dan justru itu yang ingin kukemukakan padamu."

"Apa ini ada hubungannya dengan saya?"

"Nah, aku tak ingin engkau tersinggung tentang ini, tapi soalnya begini. Seorang samurai menegurku karena memasukkan engkau ke asrama perawan—perawan suci. Dia bilang, untuk kebaikanku sendiri, dia memperingatkan diriku."

"Apa saya sudah melakukan sesuatu yang berakibat buruk pada Bapak?"

"Tak ada yang mengecewakanku. Cuma inilah... yah, kau tahu sendiri bagaimana omongan orang. Sekarang kau jangan marah, biar bagaimana, kau memang bukan lagi benar-benar perawan. Kau sudah ke sana kemari dengan lelaki, dan orang mengatakan menyimpan perempuan yang bukan perawan bersama-sama gadis-gadis di Wisma Perawan itu bisa menodai tempat suci." Sekalipun nada bicara Arakida biasa saja, namun air mata marah membanjiri mata Otsu. Benar ia banyak mengadakan perjalanan ke mana-mana, benar ia terbiasa menjumpai orang banyak, benar ia mengembara dalam hidup ini membawa serta cinta lamanya; karena itu barangkali sudah sewajarnya orang menganggapnya perempuan duniawi. Namun sungguh merupakan pengalaman meremukkan hati dituduh tidak suci, padahal kenyataannya ia masih suci.

Arakida rupanya tidak terlalu mementingkan soal itu. Ia cuma terganggu bahwa orang membicarakan yang bukan-bukan, dan karena waktu itu akhir tahun "dan lain sebagainya itu", demikianlah dikatakannya, maka ia bertanya apakah Otsu berkenan menghentikan pelajaran suling itu dengan meninggalkan Wisma Perawan.

Otsu cepat menyetujui, bukan sebagai pengakuan kesalahan, melainkan karena ia memang tak punya rencana tinggal terus di situ dan tak ingin menimbulkan kesulitan, terutama bagi Pak Arakida. Sekalipun ia benci kebohongan desas-desus itu, ia cepat mengucapkan terima kasih atas kebaikan Arakida selama ia tinggal di sana, dan menyatakan bahwa ia akan pergi hari itu juga.

"Oh, tak perlu secepat itu sebetulnya," Arakida berusaha meyakinkan Otsu, sambil menjangkau rak buku kecil dan mengeluarkan sejumlah uang yang dibungkus kertas.

Jotaro yang tadi mengikuti Otsu memilih saat itu untuk menjengukkan kepalanya dari beranda, dan bisiknya, "Kalau Kakak pergi, aku ikut. Kebetulan aku sudah jemu menyapu kebun tua mereka ini."

"Ini ada hadiah kecil," kata Arakida. "Tak banyak, tapi terimalah, dan gunakanlah untuk perjalanan." Ia mengulurkan bungkusan yang berisi beberapa keping mata uang emas.

Otsu menolak menyentuhnya. Dengan wajah terkejut ia menyatakan pada Arakida bahwa ia tak pantas mendapat bayaran, hanya karena memberikan pelajaran suling kepada anak-anak gadis itu. Yang lebih tepat, dialah yang mesti membayar untuk makanan dan penginapannya.

"Tidak," jawab Arakida. "Tak mungkin aku menerima uang darimu, tapi aku ingin minta pertolonganmu, kalau kebetulan engkau pergi ke Kyoto. Jadi, bolehlah engkau menganggap uang ini sebagai bayaran atas jasamu."

"Dengan senang hati saya melakukan permintaan Bapak itu, tapi kebaikan Bapak sendiri sudah merupakan bayaran buat saya."

Arakida menoleh kepada Jotaro, katanya, "Bagaimana kalau uang ini kuberikan saja pada anak ini? Dia dapat membelikan apa-apa buat kalian berdua di perjalanan."

"Terima kasih," kata Jotaro yang cepat mengulurkan tangannya untuk menerima bungkusan itu. Tapi sesudah berpikir lagi ia memandang Otsu, katanya, "Boleh, kan?"

Karena sudah dipojokkan, Otsu akhirnya menyetujui dan mengucapkan terima kasih kepada Arakida.

"Pertolongan yang kuminta padamu," kata Arakida, "adalah menyampaikan bingkisan kepada Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro yang tinggal di Horikawa, Kyoto," Sambil berkata demikian, ia mengambil dua gulungan dari rak yang sudah goyang di dinding. "Yang Dipertuan Karasumaru minta padaku dua tahun lalu untuk melukis ini. Akhirnya lukisan-lukisan ini selesai. Beliau ada rencana menulis komentar yang cocok dengan lukisan ini dan menghadiahkannya pada Kaisar. Itu sebabnya aku tak ingin mempercayakan-nya kepada pembawa surat biasa atau orang istana. Apa engkau bersedia membawanya dan menjaga supaya lukisan-lukisan ini tak kena air atau minyak di jalan?"

Ini tugas yang tak terduga-duga pentingnya, dan semula Otsu ragu-ragu menerimanya. Tapi kurang pantas kalau ia menolaknya, dan sejenak kemudian ia menyatakan setuju. Kemudian Arakida mengeluarkan kotak dan kertas minyak, tapi sebelum membungkus dan memeterai gulungan itu, katanya, "Tapi barangkali ada baiknya kutunjukkan dulu padamu lukisan ini." Ia duduk dan mulai membuka lukisan itu di lantai di hadapannya. Ia kelihatan bangga akan karyanya, dan ia sendiri ingin melayangkan pandangan terakhir sebelum berpisah dengan karya itu.

Otsu tersengal melihat keindahan gulungan itu, sedangkan mata Jotaro melebar ketika ia membungkuk memperhatikannya lebih saksama. Karena komentar untuk lukisan itu belum lagi ditulis, mereka tidak mengetahui cerita apa yang dilukiskan di situ, tapi ketika Arakida membuka gulungan itu adegan demi adegan, mereka saksikan di hadapan mereka gambaran kehidupan istana kekaisaran kuno dalam coretan kasar dan warna-warna indah serta sentuhan-sentuhan bubuk emas. Lukisan itu dibuat dengan Gaya Tosa dan bersumber pada seni Jepang klasik.

Walaupun Jotaro tak pernah mendapat pelajaran seni, terpukau juga ia oleh apa yang dilihatnya. "Lihat apinya itu," ujarnya. "Kelihatan seperti menyala betulan, ya?"

"Jangan sentuh," tegur Otsu. "Lihat saja."

Selagi mereka menatapkan mata dengan penuh kekaguman, seorang pesuruh masuk, siap menyampaikan sesuatu kepada Arakida dengan suara pelan sekali; Arakida mengangguk, dan jawabnya, "Ya-ya.... Kukira boleh. Tapi sebaiknya suruh orang itu membuat surat tanda terima." Dan ia menyerahkan bungkusan dan dua bilah pedang yang tadi dibawa Otsu.

Mendengar guru suling mereka akan pergi, gadis-gadis Wisma Perawan pun jadi sedih. Selama dua bulan Otsu tinggal bersama mereka, mereka telah menganggapnya sebagai kakak sendiri, karena itu mereka tampak murung ketika berkumpul mengerumuni Otsu.

"Apa betul?"

"Sensei betul akan pergi?"

"Sensei takkan kembali lagi?"

Dari seberang asrama, Jotaro berteriak, "Aku sudah siap. Apa lagi yang ditunggu?" Ia sudah menanggalkan jubah putih dan kembali mengenakan kimono pendek yang biasa, dengan pedang kayu di pinggang. Kotak yang terbungkus kain berisi gulungan disandang melintang di punggung.

Dari jendela, Otsu balas berteriak, "Ah, cepat sekali!"

"Aku selalu cepat!" jawab Jotaro pedas. "Belum juga Kakak siap? Kenapa ya, perempuan begitu lama kalau berpakaian dan berkemas?" Waktu itu ia berjemur di pekarangan sambil menguap. Tapi memang dasar tidak sabaran, sebentar kemudian ia sudah bosan. "Apa belum juga siap?" serunya lagi.

"Sebentar lagi slap," jawab Otsu. Sebetulnya ia sudah selesai berkemas, tapi gadis-gadis itu tak hendak melepaskannya. Dalam usahanya meloloskan diri, ia berkata menghibur gadis-gadis itu, "Tak usah sedih. Saya akan datang berkunjung hari-hari ini. Sementara itu, jaga diri kalian baik-baik." Tak enak juga ia bahwa yang dikatakannya itu tidak benar, karena melihat keadaannya kecil kemungkinannya ia akan kembali lagi.

Barangkali gadis-gadis itu pun menerkanya demikian. Beberapa di antara mereka menangis. Akhirnya seorang dari mereka mengusulkan agar mereka semua mengantar Otsu sampai jembatan suci di seberang Sungai Isuzu. Mereka mengerumuninya dan mengantarnya ke luar. Di sana Jotaro tidak segera tampak, karena itu mereka corongkan tangan di mulut dan mereka panggil namanya, namun tak ada jawaban. Otsu sudah hafal dengan cara-cara Jotaro; tanpa perasaan kuatir ia berkata, "Barangkali dia capek menunggu, dan dia jalan duluan."

"Anak brengsek!" ucap seorang gadis.

Seorang lagi tiba-tiba memandang Otsu, dan tanyanya, "Apa dia anak Sensei?"

"Anakku? Bagaimana kamu bisa berpikir begitu? Tahun depan aku belum lagi dua puluh satu. Apa tampangku begitu tua dan pantas punya anak sebesar itu?"

"Tidak, tapi ada yang bilang, dia anak Sensei."

Ingat akan percakapannya dengan Arakida, wajah Otsu memerah, tapi kemudian ia menghibur diri dengan pendapat bahwa yang dikatakan orang lain tak berarti, selama Musashi setia kepadanya.

Pada waktu itu Jotaro datang berlari-lari mendapatkan mereka. "Hei, ada apa sih sebetulnya?" katanya memberengut. "Tadi Kakak suruh aku menunggu berabad-abad, tapi sekarang Kakak berangkat tanpa aku!"

"Tapi tadi kamu tak ada di tempat!" ujar Otsu.

"Tapi mestinya Kakak bisa mencariku, kan? Tadi kulihat di jalan raya Toba sana itu ada orang yang mirip guruku. Aku lari buat melihatnya, apa betul dia."

"Orang yang seperti Musashi?"

"Ya, tapi ternyata bukan dia. Aku mendekati sampai barisan pohon itu dan melihat orang itu baik-baik dari belakang, tapi tak mungkin orang itu Musashi, karena dia pincang."

Selamanya seperti itu saja, kalau Otsu dan Jotaro mengadakan perjalanan. Tak ada hari tanpa menyaksikan cahaya harapan, yang disusul kekecewaan. Ke mana pun mereka pergi, mereka melihat orang yang mengingatkan keduanya kepada Musashi-orang yang lewat jendela, samurai di perahu yang baru saja berangkat, ronin yang menunggang kuda, musafir yang samar-samar kelihatan dalam joli. Dengan harapan menjulang tinggi, mereka mengejar untuk memastikannya, tapi akhirnya hanya saling pandang dengan sedih. Hal seperti ini sering terjadi berlusin-lusin kali.

Karena itulah sekarang Otsu tidak sekesal biasanya, sekalipun Jotaro sendiri patah hati. Sambil menertawakan kejadian itu, katanya, "Sayang sekali kau keliru, tapi jangan lalu uring-uringan karena aku jalan dulu. Kupikir aku akan menjumpaimu di jembatan. Tahu tidak, orang bilang, kalau kita memulai perjalanan dengan kesal, kita akan marah terus sepanjang jalan. Nah, tenanglah sekarang."

Walaupun kelihatan puas, Jotaro masih juga melengos dan melontarkan pandangan kasar kepada gadis-gadis yang berarak-arak di belakang.

"Apa saja kerja mereka ini di sini? Apa akan pergi dengan kita?"

"Tentu saja tidak. Mereka cuma sayang melihat aku pergi, jadi baik sekali mereka mengawani kita sampai jembatan."

"Oh, betapa baiknya mereka," kata Jotaro, meniru gaya kata-kata Otsu. Tingkah Jotaro membuat semuanya tertawa terpingkal-pingkal. Kini, sesudah Jotaro menggabungkan diri dengan rombongan, kesedihan karena perpisahan menjadi surut, dan gadis-gadis itu pulih kembali semangatnya.

"Sensei," panggil seorang di antaranya, "keliru, itu bukan jalan ke jembatan."

"Aku tahu," kata Otsu tenang. Ia memang membelok ke Gerbang Tamagushi untuk menyatakan hormat ke kuil pusat. Sambil menangkupkan tangan satu kali, ia menundukkan kepala ke arah tempat suci itu dan beberapa saat lamanya mengambil sikap berdoa diam.

"Oh, begitu!" gumam Jotaro. "Dia pikir tak boleh meninggalkan tempat ini tanpa ucapan selamat berpisah kepada dewi." Ia puas melihat dari kejauhan, tapi gadis-gadis itu menyodok punggungnya dan bertanya kepadanya kenapa ia tidak mencontoh yang dilakukan Otsu.

"Aku?" tanya anak itu tak percaya. "Aku tak ingin membungkuk pada tempat suci tua mana pun."

"Tak boleh kau bicara begitu. Kau bisa kena hukum suatu hari nanti."

"Tolol rasanya membungkuk macam itu."

"Apanya yang tolol, menunjukkan hormat kepada Dewi Matahari? Dia tak seperti dewa-dewa kecil yang dipuja orang di kota-kota itu."

"Aku tak tahu!"

"Nah, kalau begitu kenapa kau tidak menyatakan hormat?"

"Sebab aku tak mau."

"Tidak percaya, ya?"

"Diam, kalian semua perempuan sinting!"

"Aduh, aduh!" seru gadis-gadis itu serentak, kaget oleh kekasaran Jotaro. "Jahat sekali!" ujar salah seorang gadis.

Waktu itu Otsu sudah selesai sembahyang dan datang kembali ke dekat mereka. "Apa yang terjadi?" tanyanya "Kalian kelihatan kesal."

Salah seorang gadis mengungkapkan, "Dia sebut kami perempuan sinting. cuma karena kami menyuruhnya membungkuk kepada dewi."

"Kau tahu itu tidak baik, Jotaro," tegur Otsu. "Betul-betul kau mesti berdoa."

"Buat apa?"

"Apa kau sendiri tak pernah cerita? Waktu Musashi akan dibunuh pendeta-pendeta dari Hozoin itu kau mengangkat tanganmu dan berdoa sekeras-kerasnya! Kenapa di sini tak bisa kamu berdoa?"

"Tapi... mereka semua melihat."

"Baiklah, kami akan membalikkan badan, supaya tidak melihat kamu."

Mereka pun membelakanginya, tapi Otsu mencuri pandang kepadanya. Jotaro berlari ke arah Gerbang Tamagushi. Sampai di sana ia menghadap tempat suci, dan dengan cara yang sangat kekanak-kanakan ia membungkuk dalam-dalam secepat kilat.




Kincir Mainan



MUSASHI duduk di beranda sempit sebuah warung makanan laut yang menghadap ke laut. Keistimewaan warung itu adalah siput laut yang dihidangkan mendidih bersama kerangnya. Dua perempuan penyelam dengan keranjang berisi kerang sorban yang baru saja ditangkap dan seorang tukang perahu berdiri dekat beranda. Tukang perahu itu menawarkan tamasya perahu ke pulau-pulau lepas pantai, sedangkan kedua perempuan mencoba membujuknya membeli siput laut.

Musashi sedang sibuk menanggalkan perban bernanah dari kakinya. Sesudah menderita demikian hebat akibat luka itu, hampir tak dapat ia percaya bahwa demam maupun bengkaknya akhirnya lenyap. Kaki itu kembali pada ukuran semula. Sekalipun kulitnya menjadi putih dan mengerut, sedikit saja ia merasa sakit.

Dengan lambaian tangan diusirnya tukang perahu dan penyelam, lalu ia menurunkan kakinya yang rawan itu ke pasir dan berjalanlah ia ke pesisir untuk membasuhnya. Kembali di beranda, ia nantikan gadis warung yang telah ia suruh membelikan kaus kulit dan sandal baru. Waktu gadis itu kembali, dikenakannya keduanya, lalu ia mulai melangkah dengan hati-hati. Jalannya masih sedikit pincang, tapi tak lagi seperti sebelumnya.

Orang tua yang memasak siput memandangnya. "Tukang tambangan menanyakan Tuan. Apa bukan Tuan yang punya rencana menyeberang ke Ominato?"

"Ya. Saya kira ada perahu yang jalan teratur dari sini ke Tsu."

"Memang ada, dan ada juga perahu-perahu ke Yokkaichi dan Kuwana." "Tinggal berapa hari lagi akhir tahun ini?"

Orang tua itu tertawa. "Sungguh iri saya pada Tuan," katanya. "Jelas Tuan tak punya kewajiban bayar utang akhir tahun. Hari ini tanggal dua puluh empat."

"Betul? Saya kira sudah lebih kemudian."

"Senang sekali jadi orang muda!"

Musashi lari berderap ke pangkalan perahu tambang. Ingin sekali ia terus berlari, makin lama makin jauh, dan makin lama makin cepat. Peralihan dari sakit menjadi sehat itu meningkatkan semangatnya, tapi yang menjadikannya jauh lebih bahagia adalah pengalaman spiritual yang telah didapatnya pagi itu.

Perahu tambang sudah penuh, tapi ia masih mendapat tempat. Di seberang teluk, di Ominato, ia berpindah ke perahu yang lebih besar, yang menuju Owari. Layar-layar menangkap angin, dan perahu meluncur di permukaan Teluk Ise yang seperti kaca itu. Musashi berdiri berdesakan dengan penumpang-penumpang lain dan memandang tenang ke seberang air di sebelah kiri-ke arah pasar lama, jalan raya Yamada, dan Matsuzaka. Kalau ia pergi ke Matsuzaka, mungkin ia mendapat kesempatan bertemu dengan pemain pedang Mikogami Tenzen yang luar biasa itu. Tapi tidak. terlalu cepat untuk itu. Dan seperti direncanakannya, ia turun di Tsu.

Begitu meninggalkan perahu, ia perhatikan ada seorang lelaki berjalan di depannya, membawa pentung pendek di pinggang. Pentung itu berlilit rantai dan di ujung rantai terdapat peluru. Orang itu mengenakan juga pedang pendek bersarung kulit. Kelihatannya umurnya empat puluh dua atau empat puluh tiga tahun. Wajahnya gelap seperti Musashi dan bopeng-bopeng, sedangkan rambutnya yang kemerahan digelung ke belakang.

Kalau bukan karena anak lelaki yang mengikutinya, orang itu bisa disangka bromocorah. Pipi anak itu hitam oleh jelaga dan ia membawa palu godam. Jelas ia magang pandai besi.

"Tunggu sebentar, Pak!"

"Ayolah jalan terus!"

"Palu saya ketinggalan di perahu."

"Ketinggalan alat yang jadi penghidupanmu, ya?"

"Akan saya ambil sekarang."

"Dan kukira itu bikin kamu bangga, ya? Lain kali, kalau kamu lupa lagi, kupecahkan tengkorakmu."

"Pak...," mohon anak itu.

"Diam!"

"Apa tak bisa kita bermalam di Tsu?"

"Masih terang sekarang ini. Kita bisa sampai rumah sebelum malam tiba."

"Tapi ingin rasanya berhenti. Perjalanan begini harusnya dinikmati."

"Jangan omong kosong!"

Jalan masuk kota itu diapit barisan toko cindera mata dan penuh pencari pelanggan rumah penginapan, seperti halnya kota-kota pelabuhan lain. Si magang sekali lagi kehilangan penglihatan atas tuannya dan dengan cemas mencari-carinya di tengah orang banyak, sampai akhirnya orang itu muncul dari sebuah toko mainan, membawa sebuah kincir mainan yang bem,arna-warni.

"Iwa!" serunya memanggil anak itu.

°Ya, Pak."

"Bawa ini. Dan hati-hati, jangan sampai pecah! Simpan dalam kerahmu."

"Hadiah buat bayi Bapak?"

'"Mm," gumam orang itu. Sesudah beberapa hari pergi melaksanakan tugas, orang itu ingin memandang anaknya menyeringai girang waktu ia menyerahkan barang itu.

Jadinya seolah kedua orang itu menuntun arah jalan Musashi. Setiap kali ia hendak membelok, mereka membelok juga di depannya. Terpikir oleh Musashi, barangkali pandai besi itu Shishido Baiken, namun ia tak bisa memperoleh kepastian, karena itu ia gunakan akal kecil untuk mendapat kepastian. Ia berpura-pura tidak memperhatikan mereka, dan berjalan di depan mereka sebentar, kemudian melambatkan jalan lagi sambil mendengarkan percakapan mereka. Kedua orang itu melintasi kota puri, kemudian ke jalan gunung yang menuju Suzuka. Agaknya jalan yang akan ditempuh Baiken pulang ke rumahnya. Kalau digabungkan dengan potongan-potongan percakapan yang kebetulan didengarnya, Musashi menyimpulkan orang itu memang Baiken.

Sebetulnya Musashi bermaksud langsung pergi ke Kyoto, tapi pertemuan yang kebetulan ini demikian menggodanya. Ia mendekat, dan katanya dengan nada ramah, "Kembali ke Umehata?"

Tapi jawaban orang itu kaku, "Ya, ke Umehata. Kenapa?"

"Dari tadi saya bertanya dalam hati, apakah Bapak ini Shishido Baiken." "Memang. Dan Anda siapa?"

"Nama saya Miyamoto Musashi. Saya calon prajurit. Belum lama saya ke rumah Anda di Ujii dan bertemu dengan istri Anda. Rupanya nasib mempertemukan kita di sini."

"Oh, begitu?" kata Baiken. Dengan wajah yang tiba-tiba menyatakan paham, ia bertanya, "Apa engkau yang tinggal di penginapan Yamada dan ingin bertarung denganku?"

"Bagaimana Anda bisa dengar itu?"

"Kau menyuruh orang ke rumah Arakida untuk mencariku, kan?"

"Ya."

°Waktu itu aku sedang melakukan tugas untuk Arakida, tapi aku tidak tinggal di rumahnya. Kupinjam tempat kerja di desa. Itu pekerjaan yang tak bisa dilakukan orang lain, kecuali aku."

"Oh, begitu. Saya dengar Anda ahli rantai-peluru-sabit."

"Ha, ha! Tapi katamu tadi sudah ketemu istriku?"

"Ya. Dan dia mendemonstrasikan satu jurus Yaegaki pada saya."

"Nah, itu mestinya cukup buatmu. Tak ada alasan buat mengikutiku. Tentu saja aku dapat memperlihatkan lebih banyak lagi daripada yang diperlihatkan istriku, tapi begitu engkau melihatnya, begitu engkau sampai di jalan ke dunia lain."

Bagi Musashi, istri orang ini sudah berkesan amat sok menguasai, tapi orang ini sendiri benar-benar angkuh. Musashi cukup yakin bahwa dari apa yang dilihatnya ia sudah dapat mengukur kemampuan orang ini, namun ia mengingatkan diri untuk tidak terburu-buru. Takuan telah mengajarkan kepadanya pelajaran pertama dalam hidup ini, yaitu bahwa di dunia ini terdapat orang-orang yang kemungkinan lebih baik dari diri kita. Pelajaran ini diperkuat oleh pengalaman-pengalamannya di Hozoin dan Puri Koyagyu. Sebelum ia membiarkan rasa bangga dan keyakinan mengkhianatinya dan menyebabkannya menyepelekan lawan, ia ingin mengukur lawan itu dari segala segi. Sementara meletakkan landasan bagi dirinya, ia akan tetap bersikap ramah, sekalipun kadang-kadang hal itu bisa memberikan kesan pengecut atau tunduk kepada musuh.

Menjawab ucapan Baiken yang merendahkan itu, dengan sikap hormat yang sesuai dengan umurnya ia berkata, "Oh, begitu. Saya memang sudah banyak belajar dari istri Anda, tapi karena saya sudah beruntung bertemu dengan Anda, saya akan berterima kasih kalau Anda mau lebih banyak menerangkan senjata yang Anda pergunakan."

"Kalau yang engkau inginkan itu bicara, baik. Apa kau punya rencana menginap di penginapan dekat perbatasan?"

"Itulah yang tadinya saya maksudkan, kecuali kalau Anda berkenan menerima saya menginap semalam lagi."

"Kau boleh tinggal, kalau kau bersedia tidur di bengkel bersama Iwa. Tapi aku bukan pengusaha penginapan, dan kami tak punya tilam ekstra."

Senja hari mereka sampai di kaki Gunung Suzuka. Desa kecil yang dipayungi awan merah itu tampak setenang danau. Iwa berlari mendahului untuk menyampaikan kedatangan mereka, dan ketika mereka tiba di rumah itu, istri Baiken menanti di bawah ujung atap, menggendong bayinya yang memegang kincir mainan.

"Lihat, lihat, lihat!" dekut perempuan itu. "Bapak pergi, dan sekarang Bapak pulang. Lihat, itu dia."

Dalam sekejap mata saja si bapak sudah tidak lagi menjadi contoh keangkuhan; ia memperlihatkan senyum kebapakan. "Ini, Nak, ini Bapak," celotehnya sambil mengangkat sebelah tangan dan menari-narikan jari-jarinya.

Suami-istri itu menghilang ke dalam dan duduk, hanya bicara tentang bayi dan soal-soal rumah tangga, tanpa memperhatikan Musashi.

Akhirnya, ketika makan malam siap, Baiken ingat akan tamunya. "Oh ya, kasih orang itu makan," katanya kepada istrinya.

Musashi duduk di ruang bengkel yang berlantai tanah, menghangatkan diri di dekat api. la bahkan tidak melepas sandalnya.

"Baru kemarin dia dari sini. Bermalam," jawab perempuan itu cemberut.

Ia menghangatkan sake di perapian dengan suaminya. "Orang muda," panggil Baiken. "Apa kau minum sake?"

"Saya bukan tak suka sake."

"Nah, minum semangkuk."

"Terima kasih." Musashi mendekat ke ambang pintu kamar perapian serta menerima mangkuk berisi minuman dan menghirupnya. Asam rasanya. Selesai meneguk, ia kembalikan mangkuk itu kepada Baiken, katanya, "Mari saya tuangkan buat Anda."

"Tak usah, sudah ada." Ia memandang Musashi sesaat, dan bertanya, "Berapa umurmu?"

"Dua puluh dua."

"Asal dari mana?"

"Mimasaka."

Mata Baiken yang semula mengembara ke jurusan lain kini berayun kembali kepada Musashi dan mengamat-amatinya kembali dari kepala sampai jari kaki.

"Nanti dulu, apa yang barusan kaukatakan? Namamu... siapa namamu tadi?"

"Miyamoto Musashi"

"Bagaimana engkau menuliskan Musashi?"

"Ditulis sama dengan Takezo."

Istri orang itu masuk dan meletakkan sup, acar, supit, dan mangkuk nasi di tikar jerami di depan Musashi. "Makanlah!" katanya tanpa basa-basi.

"Terima kasih," jawab Musashi.

Baiken menanti beberapa tarikan napas, kemudian katanya, seolah pada diri sendiri, "Panas rasanya sekarang, sake itu!" Sambil menuangkan semangkuk lagi untuk Musashi, ia bertanya biasa saja, "Artinya namamu Takezo waktu engkau muda?"

"Ya."

"Apa engkau masih bernama begitu waktu umur sekitar tujuh belas?"

"Ya."

"Waktu umurmu sekitar itu, apa kebetulan engkau tidak berada di pertempuran Sekigahara, dengan anak lain seumurmu?"

Kini Musashi yang mendapat giliran terkejut. "Bagaimana Anda bisa tahu?" tanyanya pelan.

"Oh, aku tahu banyak hal. Aku di Sekigahara juga waktu itu." Mendengar ini, Musashi merasa lebih senang pada orang itu. Baiken sendiri tiba-tiba kelihatan lebih akrab.

"Kupikir aku pernah melihatmu, entah di mana," kata pandai besi itu. "Mestinya kita sudah berjumpa di pertempuran itu."

"Apakah Anda pernah di kamp Ukita juga?"

"Aku tinggal di Yasugawa waktu itu, dan aku pergi perang dengan rombongan samurai dari sana. Kami ada di garis depan waktu itu."

"Oh, begitu? Kalau begitu, barangkali kita pernah bertemu."

"Lalu apa yang terjadi dengan temanmu itu?"

"Saya tak pernah lihat dia lagi sejak itu."

"Sejak pertempuran itu?"

"Tidak tepat sejak itu. Kami tinggal sementara waktu di sebuah rumah di Ibuki, menunggu sembuhnya luka-luka, dan berpisah di situ. Itulah penghabisan kali saya melihatnya."

Baiken memberitahu istrinya bahwa sake mereka habis. Istri Baiken sudah di tempat tidur dengan bayinya, "Tak ada lagi yang lain," jawabnya.

"Aku minta lagi. Sekarang!"

"Kenapa mesti minum begitu banyak malam ini?"

      "Percakapan kami menarik. Aku perlu sake lagi."

      "Tapi sake tak ada lagi."

"Iwa!" panggil Baiken lewat papan rapuh di sudut bengkel.

"Ada apa, Pak?" tanya anak itu. Ia membuka pintu dan memperlihatkan wajahnya sambil membungkuk, karena rendahnya ambang pintu.

"Pergi ke rumah Onosaku, pinjam sebotol sake."

Musashi sudah cukup minum. "Kalau Anda tidak keberatan, saya akan makan," katanya sambil memungut supitnya.

"Tidak, tidak, tunggu," kata Baiken dan cepat menangkap pergelangan Musashi. "Ini bukan waktu makan. Aku sudah mintakan sake, jadi minumlah sedikit lagi."

"Kalau sake itu buat saya, lebih baik tak usah. Rasanya saya tak bisa minum lagi."

"Ah, ayolah," desak Baiken. "Katamu kau ingin dengar lebih banyak tentang rantai-peluru-sabit. Akan kuceritakan semuanya sekarang, tapi mari minum sedikit selagi bicara."

Ketika Iwa kembali membawa sake, Baiken menuangkannya sebagian ke guci pemanas dan meletakkannya di atas api, lalu bicara panjang-lebar tentang rantai-peluru-sabit serta cara-cara penggunaannya yang terbaik dalam pertempuran yang sebenar-benarnya. Ia berkata, "Berlainan dengan pedang. senjata itu tidak memberikan kesempatan kepada musuh untuk mempertahankan diri. Juga, sebelum menyerang langsung, ada kemungkinan merebut senjata musuh dengan rantai. Rantai dilontarkan dengan terampil, disentakkan tajam, dan musuh tak berpedang lagi."

Masih dalam keadaan duduk, Baiken mendemonstrasikan satu jurus. "Lihat, kita pegang sabit dengan tangan kiri dan bola dengan tangan kanan. Kalau musuh mendatangi kita, kita hadapi dia dengan mata sabit. kemudian kita hembalangkan bola ke mukanya. Itu satu cara."

Sambil mengubah kedudukan, ia meneruskan, "Kalau ada jarak antara kita dan musuh, kita sabet senjatanya dengan rantai. Tak peduli macam apa senjata itu—pedang, lembing, tongkat kayu, atau apa pun."

Baiken terus bercerita pada Musashi tentang cara-cara melemparkan peluru, tentang sepuluh atau lebih cerita turun-temurun mengenai senjata ini, tentang miripnya rantai itu dengan ular, tentang kemungkinan menciptakan khayal penglihatan orang dengan mengubah gerakan rantai dan sabit, hingga pertahanan musuh akhirnya akan merugikan dirinya sendiri, juga tentang semua cara rahasia dalam menggunakan senjata itu.

Musashi betul-betul terpesona. Mendengar orang berbicara seperti ini, ia selalu mendengarkan dengan seluruh tubuhnya. Ia ingin menyerap segala seluk-beluknya.

Rantai. Sabit. Dua belah tangan....

Sementara ia mendengarkan, benih-benih pikiran lain terbentuk dalam kepalanya. "Pedang dapat dipergunakan dengan satu tangan, sedangkan manusia punya dua tangan..."

Botol sake yang kedua pun kosong. Baiken sudah cukup banyak minum, dan mendesak Musashi minum lagi. Musashi sendiri sudah jauh melewati batas kemampuannya dan sudah lebih mabuk dari yang pernah dialaminya.

"Bangun!" seru Baiken kepada istrinya. "Biar tamu kita tidur di sini. Kau dan aku tidur di kamar belakang. Siapkan tempat tidur di sana."

Perempuan itu tak beranjak dari tempatnya.

"Bangun!" seru Baiken lebih keras. "Tamu kita sudah capek. Biar dia tidur sekarang."

Kaki sang istri sudah enak dan hangat sekarang. Bangun pasti tak menyenangkan.

"Kaubilang dia dapat tidur di bengkel dengan Iwa," gumamnya.

"Jangan membantah. Kerjakan yang kusuruh!"

Perempuan itu bangkit dengan gusar dan berangkat ke kamar belakang. Baiken mengambil bayinya yang tidur, dan katanya, "Selimutnya sudah tua, tapi api di ada dekatmu. Kalau kau haus, ada air panas di atas api buat bikin teh. Tidurlah. Tidur yang enak." Ia sendiri pergi ke kamar belakang.

Ketika perempuan itu datang kembali untuk mengganti bantal, kemurungan wajahnya sudah hilang. "Suami saya juga sudah mabuk sekali," katanya, "dan barangkali capek karena perjalanan. Dia bilang mau tidur sampai siang, karena itu tidurlah yang enak, selama kau mau. Besok saya sediakan sarapan yang enak dan panas."

"Terima kasih." Musashi tak dapat menjawab. Ia sudah tak sabar lagi untuk melepaskan kaus kulit dan jubahnya. "Terima kasih banvak."

Ia menyelam ke dalam selimut yang masih hangat, tapi tubuhnya sendiri lebih panas lagi akibat minuman itu.

Istri Baiken berdiri di pintu mengawasinya, kemudian diam-diam meniup lilin, dan katanya, "Selamat malam."

Kepala Musashi terasa seperti dilingkari ikat baja yang ketat, pelipisnya berdentam-dentam sakit. Ia bertanya pada diri sendiri, kenapa minum jauh lebih banyak dari biasanya. Perasaannya dahsyat, tapi ia tak dapat tidak memikirkan Baiken. Kenapakah pandai besi yang semula tampak hampir tidak sopan itu tiba-tiba jadi bersahabat dan memintakan sake lagi? Kenapakah istrinya yang tak enak sikapnya itu menjadi manis dan tiba-tiba mau membantu? Kenapa mereka memberikan tempat tidur yang hangat ini?

Semua itu seperti tak terjelaskan, tapi sebelum Musashi dapat memecahkan misteri itu, rasa kantuk sudah menguasainya. Ia menutup mata, menarik napas dalam, dan menaikkan selimut. Cuma dahinya yang tetap terbuka, diterangi bunga-bunga api yang sekali-sekali melenting dari perapian. Segera kemudian terdengar tarikan napasnya yang dalam dan teratur.

Istri Baiken mengundurkan diri diam-diam ke kamar belakang, langkah kakinya yang ringan dan lengket menyeberang tatami.

Musashi bermimpi, atau lebih tepat dikatakan melihat sebagian mimpi yang terus berulang-ulang. Kenangan masa kecil melompat-lompat dalam otaknya seperti seekor serangga, kelihatannya seperti mencoba menuliskan sesuatu dengan huruf-huruf cahaya. Dan ia mendengar kata-kata nyanyian menidurkan bayi.



Tidurlah, tidurlah.

Bayi tidur itu manis...



Serasa ia kembali berada di Mimasaka, mendengarkan lagu menidurkan bayi yang dinyanyikan istri pandai besi dalam dialek Ise. Ia sendiri bayi yang digendong seorang perempuan berkulit kuning berumur sekitar tiga puluh tahun... ibunya... Perempuan itu tentunya ibunya. Di dada ibunya ia menengadah ke wajah putih itu.

"... nakal, dan bikin ibunya menangis juga...." Sambil mengayunayunkannya dalam gendongan, ibunya menyanyi lembut. Wajahnya yang tirus terawat baik tampak sedikit kebiruan, seperti kembang buah pir. Tampak sebuah tembok, sebuah tembok batu panjang yang ditumbuhi tumbuhan menjalar. Dan sebuah tembok tanah yang dipayungi dahandahan yang menggelap ketika malam mendatang. Cahaya lampu bersirur dari rumah itu. Air mata berkilauan di pipi ibunya. Dan si bayi memandang kagum air mata itu.

"Pergi! Pulang sana ke rumahmu!"

Suara itu suara Munisai yang menakutkan, yang berasal dari dalam rumah. Dan itu suatu perintah. Ibu Musashi bangkit pelan-pelan, lalu ia  menyusuri tanggul batu yang panjang. Sambil menangis ia berlari masuk sungai dan berjalan terus ke tengah.

Karena tak dapat bicara, bayi itu menggeliat dalam pelukan ibunya, mencoba mengatakan bahaya yang menghadang. Tapi semakin bayi itu bertingkah, semakin ketat ibunya memeluknya. Pipinya yang basah disapukan ke pipi bayi itu. "Takezo," katanya, "kau anak ayahmu, atau ibumu?"

Munisai memekik dari tepi sungai. Ibunya tenggelam ke dasar sungai Bayinya dilontarkan ke tepi yang berkerikil, dan di situ ia tergeletak melolong sekuat paru-parunya, di tengah bunga mawar yang sedang berkembang.

Musashi membuka mata. Ketika ia mulai tertidur lagi, seorang perempuan-ibunyakah? atau perempuan lain lagi? mengganggu tidurnya dan membangunkannya lagi. Musashi tak dapat mengingat wajah ibunya. Sering ia memikirkan ibunya, tapi tak dapat menggambarkan wajahnya. Apabila ia melihat ibu lain, terpikir olehnya, barangkali ibunya seperti ibu itu. "Ada apa malam ini?" pikirnya.

Sake itu telah hilang pengaruhnya. Ia membuka mata dan memandang ke langit-langit. Di tengah hitamnya jelaga terlihat cahaya kemerahan, pantulan bara di perapian. Pandangan matanya berhenti pada kincir mainan yang tergantung pada langit-langit di atasnya. Ia merasa juga bau ibu dan anak itu masih menempel pada seprai. Dengan rasa nostalgia samar-samar ia terus berbaring setengah tidur, menatap kincir mainan itu.

Kincir mainan mulai berputar pelan-pelan. Tak ada yang aneh di situ, memang ia dibuat supaya berputar. Tapi... tapi itu kalau ada angin! Maka Musashi bangun dan menajamkan pendengaran baik-baik. Terdengar bunyi pintu yang ditutupkan pelan-pelan. Kincir mainan berhenti berputar.

Diam-diam Musashi meletakkan kembali kepalanya ke bantal dan mencoba menduga apa yang sedang terjadi di rumah itu. Ia laksana seekor serangga di bawah selembar daun, yang mencoba meramalkan cuaca di atasmya. Seluruh tubuhnya sudah terbiasa dengan perubahan sekecil apa pun di sekitarnya, dan sarafnya yang peka betul-betul tegang. Musashi tahu, hidupnva dalam bahaya, tapi dari mana?

"Apa ini sarang penyamun?" begitu mula-mula ia bertanya pada diri sendiri. Tapi tidak. Kalau mereka pencuri betul, tentunya mereka tahu ia tak punya apa-apa.

"Apa dia dendam padaku?" Itu pun rasanya tidak tepat. Musashi merasa pasti, belum pernah ia melihat Baiken sebelumnya.

Walaupun tak dapat menggambarkan sebabnya, kulit dan tulangnya dapat merasakan bahwa seseorang atau sesuatu sedang mengancam hidupnya tahu bahwa apa pun bentuknya, ancaman itu sangat dekat. Ia harus memutuskan dengan cepat, apakah akan berbaring menunggu datangnya bahaya, ataukah meloloskan diri sebelum tiba waktunya.

Ia ulurkan tangannya ke atas ambang pintu bengkel untuk mencari sandalnya. Ia selipkan mula-mula sebelah sandal, dan kemudian sandal yang lain ke bawah seprai, ke bagian kaki tempat tidur.

Kincir mainan itu mulai berputar lagi. Dalam cahava api ia berputar seperti bunga yang terkena sihir. Langkah-langkah kaki terdengar lirih, baik di dalam maupun di luar rumah, ketika Musashi pelan-pelan menggulung tilam menjadi bentuk tubuh manusia.

Di bawah tirai pendek di pintu muncul sepasang mata milik orang yang sedang merangkak masuk dengan pedang terhunus. Seorang lagi yang membawa lembing dan bergayut erat pada dinding mengendap ke bagian kaki tempat tidur. Kedua orang itu menatap seprai tempat tidur dan mendengarkan napas orang yang sedang tidur. Kemudian, seperti gumpalan asap, orang ketiga melompat masuk. Orang itu Baiken sendiri yang memegang sabit dengan tangan kiri dan peluru dengan tangan kanan.

Ketiga mata orang itu bertemu, dan mereka mempersamakan napas. Orang yang berada di bagian kepala tempat tidur menendang bantal ke udara, sedangkan yang di bagian kaki melompat masuk bengkel dan membidikkan lembingnya ke benda terbaring itu.

Dengan sabit di belakang tubuhnya, Baiken berseru, "Bangun, Musashi!"

Tak ada jawaban atau gerakan datang dari tilam. Orang yang memegang lembing menyingkapkan seprai. "Dia tak ada," serunya.

Baiken melontarkan pandangan bingung ke kamar, dan terpandang olehnya kincir mainan berputar cepat. "Ada pintu terbuka!" pekiknya.

Segera seorang lagi berseru marah. Pintu bengkel yang menghadap jalan setapak yang menuju ke belakang rumah terbuka sekitar tiga kali lebarnva. dan angin tajam bertiup ke dalam.

"Dia keluar dari sini!"

"Apa kerja orang-orang tolol itu!" jerit Baiken sambil berlari ke luar. Dari bawah ujung atap dan bayangan bermunculan sosok-sosok tubuh hitam. "Beres, Pak?" tanya satu suara rendah bergairah.

Baiken menatap berang. "Apa maksudmu, goblok? Menurutmu, kenapa kau kusuruh jaga di sini? Dia lari! Pasti dia lewat sini tadi."

"Lari? Bagaimana dia bisa lari?"

"Pakai tanya lagi? Keledai kepala besar!" Baiken kembali masuk rumah dan berjalan mondar-mandir dengan bingung. "Cuma ada dua jalan yang mungkin dia ambil: ke jalan raya Tsu. Mana pun yang dia tempuh, dia pasti belum jauh. Kejar dia!"

"Lewat jalan mana, menurut Bapak?"

"Aku ke Suzuka. Kamu tutup jalan bawah itu!"

Orang-orang yang ada di dalam bergabung dengan orang-orang yang ada di luar, menjadi rombongan campuran terdiri atas sekitar sepuluh orang. semuanya bersenjata. Seorang di antaranya yang membawa bedil tampak seperti pemburu lainnya, yang membawa pedang pendek barangkali pembelah kayu.

Ketika berpisah, Baiken berseru, "Kalau kau temukan dia tembakkan bedil, dan semua kumpul."

Mereka berangkat cepat-cepat, tapi sekitar satu jam kemudian mereka kembali satu-satu dengan wajah murung, berceloteh antara sesamanya dengan kesal. Mereka mengira akan mendapat makian pemimpinnya, tapi sampai di rumah mereka dapati Baiken duduk di lantai bengkel dengan mata tertunduk tanpa cahaya.

Ketika mereka mencoba menggembirakan hatinya, Baiken berkata, "Tak ada gunanya menangisinya sekarang." Untuk mencoba melampiaskan kemurkaannya, ia ambil sepotong kayu arang dan ia patahkan kayu itu dengan lututnya.

"Ambil sake! Aku mau minum." Ia nyalakan api itu kembali dan ia masukkan lagi ranting-ranting kayu api.

Sambil mencoba menenangkan bayinya, istri Baiken mengingatkan suaminya bahwa sake tak ada lagi. Seorang dari orang-orang itu dengan sukarela men-datangkan sake dari rumahnya, dan ia lakukan itu dengan cepat. Segera kemudian minuman itu sudah panas, dan mangkuk-mangkuk diedarkan.

Percakapan hanya terjadi di sana-sini dan kedengaran murung.

"Bikin aku gila."

"Bajingan kecil busuk."

"Dia punya jimat! Pasti."

"Tak usah kuatir soal itu, Pak. Bapak sudah lakukan semua yang mungkin. Orang-orang di luar inilah tadi yang gagal dalam tugas."

Orang-orang yang dimaksud itu meminta maaf dengan wajah malu. Mereka mencoba membuat Baiken mabuk, supaya mau pergi tidur, tapi Baiken hanya duduk memberengut karena pahitnya sake, tidak menegur siapa pun atas kegagalan itu.

Akhirnya ia berkata, "Mestinya tak usah aku membesarkan soal dengan mengerahkan begitu banyak bantuan dari kalian. Mestinya aku dapat menanganinya sendiri, tapi tadinya kupikir aku mesti hati-hati. Dia sudah membunuh saudaraku, sedangkan Tsujikaze Temma itu bukan pejuang kecil."

"Apa ronin itu betul-betul anak yang sembunyi di rumah Oko empat tahun yang lalu?"

"Mestinya begitu. Jisim saudarakulah yang membawanya kemari, aku yakin. Semula tak pernah terpikir olehku, tapi kemudian dia mengatakan pernah di Sekigahara, dan namanya waktu itu Takezo. Melihat umurnya dan macamnya, memang dia yang membunuh saudaraku. Pasti dialah itu."

"Lebih baik Bapak tidak memikirkannya lagi malam ini. Berbaringlah dan tidurlah."

Mereka semua membantunya ke tempat tidur. Beberapa orang memungut bantal yang tadi ditendang dan meletakkannya di bawah kepalanya. Begitu mata Baiken tertutup, kemurkaan yang memenuhi dirinya diganti oleh dengkur keras.

Orang-orang saling mengangguk dan mengundurkan diri, bubar ke tengah kabut pagi buta. Mereka semua orang-orang jembel—anak buah bromocorah seperti Tsujikaze Temma dari Ibuki dan Tsujikaze Kohei dari Yasugama, yang sekarang menyebut dirinya Shishido Baiken. Bisa juga mereka itu sekadar begundal di anak tangga terbawah dalam masyarakat bebas. Karena desakan waktu yang sedang mengalami perubahan, mereka menjadi petani, tukang, atau pemburu, tapi masih punya gigi yang siap dipakai menggigit orang baik-baik, kapan saja ada kesempatan.

Yang terdengar di rumah itu kini hanya bunyi penghuni yang tidur dan gerekan tikus ladang.

Di sudut gang yang menghubungkan ruang kerja dengan dapur, di samping tungku tanah besar, berdiri setumpuk kayu bakar. Di atasnya tergantung sebuah payung dan mantel-mantel jerami yang berat. Di dalam bayangan antara tungku dan dinding, salah satu mantel hujan itu bergerak, pelan dan lirih mengingsut ke dinding, sampai akhirnya tergantung pada paku.

Tubuh manusia yang seperti asap itu tiba-tiba seperti muncul dari dinding. Musashi muncul dari dinding. Musashi tak satu langkah pun meninggalkan rumah itu. Sesudah menyelinap dari bawah seprai tadi ia membuka pintu luar dan mencampurkan diri dengan kayu api, dan menutup dirinya dengan mantel hujan.

Kini ia berjalan pelan-pelan melintasi bengkel dan memandang Baiken.

Amandelnya bengkak, pikir Musashi, karena dengkur Baiken bukan main kerasnya. Keadaan itu terasa lucu olehnya, dan ia menyeringai.

Ia berdiri di sana sejenak, berpikir. Praktis ia sudah memenangkan pertarungan dengan Baiken. Suatu kemenangan telak. Namun orang yang terbaring itu saudara Tsujikaze Temma dan sudah mencoba membunuhnya untuk menyenang-kan roh saudaranya yang telah mati—suatu sentimen yang mengagumkan untuk seorang bromocorah.

Mestikah Musashi membunuhnya? Kalau Musashi membiarkannya hidup, ia akan terus mencari kesempatan melaksanakan balas dendam. Jalan yang aman, tidak sangsi lagi, adalah menyingkirkannya sekarang juga. Tapi persoalan yang masih harus dijawab adalah, apakah orang itu pantas dibunuh.

Musashi berpikir keras sejenak, sebelum akhirnya menemukan pemecahan yang kelihatannya paling tepat. Ia pergi ke dinding dekat kaki Baiken dan mengambil salah satu senjata pandai besi itu. Sambil mengeluarkan mata sabit dari lekuknya, ia mengamati wajah orang yang sedang tidur itu. Kemudian dibungkuskannya secarik kertas lembap di sekitar mata sabit itu melintang di leher Baiken, dan ia undur mengagumi hasil karyanya.

Kincir mainan itu tidur juga. Sekiranya tak ada kertas pembungkus itu, demikian pikir Musashi, kincir itu bisa terbangun pagi harinya dan berputar kencang menyaksikan kepala tuannya terjatuh dari bantal.

Ketika Musashi membunuh Tsujikaze Temma dulu, ia punya alasan untuk melakukannya, lagi pula waktu itu darahnya masih mendidih oleh demam pertempuran. Namun kini tak ada satu pun manfaat yang bisa ia peroleh dari mengambil nyawa pandai besi itu. Lagi pula, siapa tahu, kalau ia membunuh orang itu, anaknya yang masih kecil nantinya akan menghabiskan hidupnya untuk berusaha membalas dendam kepada pembunuh ayahnya.

Malam itu berkali-kali Musashi memikirkan ayah dan ibunya sendiri. Ia merasa sedikit iri berdiri di dekat keluarga yang sedang tidur ini, dan samar-samar tercium olehnya bau manis susu ibu. Ia bahkan merasa enggan meninggalkan tempat itu.

Dalam hatinya ia berkata pada mereka, "Saya minta maaf telah mengganggu kalian. Tidurlah yang nyenyak." Pelan-pelan ia membuka pintu luar dan pergi.

 bersambung >>>> 
















Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive