Mata
"SENSEI!" panggil Iori, yang belum cukup tinggi untuk melihat lewat atas rumput tinggi itu. Mereka berada di Dataran Musashino, yang kata orang meliputi sepuluh kabupaten.
"Aku di sini," jawab Musashi. "Kenapa kau begitu lama?"
"Saya pikir ada jalan, tapi saya tersesat terus. Berapa jauh lagi kita mesti jalan?"
"Sampai kita menemukan tempat yang baik untuk tinggal."
"Tinggal? Kita akan tinggal di sekitar sini?"
"Kenapa tidak?"
Iori menatap langit. Ia memikirkan keluasan dan kekosongan tanah di sekitarnya itu, dan katanya, "Heran."
"Tapi coba bayangkan keadaannya waktu musim gugur. Langit jernih indah, embun segar di rumput. Apa memikirkannya saja tidak membuatmu merasa lebih jernih?"
"Barangkali juga, tapi saya tidak antihidup di kota seperti Bapak."
"Sebetulnya aku tidak anti.. Dalam hat tertentu, sungguh senang hidup di antara orang banyak, tapi biarpun dengan kulit tebal, tidak tahan aku tinggal di sana, kalau papan-papan itu dipasang. Kaulihat sendiri apa yang mereka katakan."
Ion menyeringai. "Memikirkannya saja saya jadi gila."
"Tapi kenapa pula kau marah?"
"Saya tidak tahan. Ke mana pun saya pergi, tak ada yang bicara baik tentang Bapak."
"Tak ada yang dapat kuperbuat dalam hat itu."
"Bapak dapat merobohkan orang-orang yang menyebarkan desas-desus
itu. Bapak dapat memasang papan-papan sendiri buat menantang mereka."
"Tak ada gunanya memulai perkelahian yang tak dapat kita menangkan."
"Bapak takkan kalah dari sampah masyarakat itu. Tak mungkin."
"Tidak, kau keliru. Aku akan kalah."
"Bagaimana mungkin?"
"Karena jumlah. Kalau kupukul sepuluh, akan datang seratus lagi. Kalau kukalahkan seratus, akan datang seribu. Tak ada kemungkinan menang dalam keadaan macam itu."
"Berarti Bapak akan terus ditertawakan orang selama hidup?"
"Tentu saja tidak. Seperti semua orang lain, aku bertekad memiliki nama harum. Aku berutang budi pada nenek moyangku. Dan aku bermaksud menjadi orang yang tak pernah ditertawakan. Itulah yang mau kupelajari di stnt.
"Kita bisa saja berjalan terus, tapi saya kira kita takkan menemukan rumah. Bagaimana kalau kita mencoba mencari kuil buat tinggal lagi?"
"Itu bukan gagasan jelek, tapi sebenarnya yang kuinginkan adalah menemukan tempat yang banyak pohonnya, dan membangun rumah kita sendiri."
"Macam Hotengahara lagi, ya?"
"Tidak. Kali ini kita takkan bertani. Kupikir, barangkali aku akan melakukan semadi Zen tiap hari. Kau bisa membaca buku-buku, dan aku memberikan pelajaran main pedang padamu."
Mereka memasuki dataran itu dari desa Kashiwagi, pintu masuk Koshu menuju Edo. Mereka menuruni lereng panjang itu dari Junisho Gongen, kemudian menelusuri jalan sempit yang berkali-kali seakan menghilang di antara rumput musim panas yang mengombak. Ketika akhirnya mereka sampai di bukit kecil yang ditumbuhi pinus, Musashi melakukan pengamatan cepat atas dataran itu, dan katanya, "Ini cocok sekali." Baginya, tempat mana pun bisa menjadi rumahnya-bahkan lebih dari itu: di mana pun ia berada, itulah alam semesta.
Mereka meminjam peralatan dan menggaji seorang buruh dari rumah pertanian terdekat. Cara Musashi membangun rumah sama sekali tidak canggih: sesungguhnya la masih dapat belajar cukup banyak dengan mengamati burung-burung yang sedang membuat sarang. Hasilnya, yang selesai beberapa hari kemudian, tampak aneh. Rumah itu kurang kokoh dibandingkan rumah pertapa di gunung, tapi tidak sekasar gubuk. Tiang-tiangnya dari balok yang masih berkulit, sedangkan sisanya dari gabungan kasar papan, kulit kayu, bambu, dan miskantus.
Musashi mundur untuk memperhatikan rumah itu balk-balk, kemudian ujarnya sambil berpikir, "Rumah ini tentunya mirip rumah yang didiami orang banyak pada zaman dewa-dewa." Satu-satunya yang mengimbangi keprimitifan rumah itu adalah lembar-lembar kertas yang ditata sedemikian rupa dengan penuh cinta, menjadi shoji kecil.
Hari-hari berikutnya, suara Iori sudah mengalun dari belakang kerai buluh. la mengulang-ulang pelajarannya, suaranya menggema mengatasi bunyi jangkrik. Latihan yang ditempuhnya dalam segala hal sangat keras.
Kepada Jotaro, Musashi tidak menekankan disiplin, karena menurut pendapatnya waktu itu, yang terbaik adalah membiarkan anak-anak yang sedang tumbuh itu berkembang secara alamiah. Tapi, sejalan dengan berlalunya waktu, ia melihat bahwa sifat-sifat jelek cenderung berkembang dan sifat-sifat balk tertekan. Dan ia melihat bahwa pohon dan tanaman yang hendak ditanaminya tak mau tumbuh, sementara rumput liar dan semaksemak tumbuh pesat, tak peduli berapa sering ia menebasnya.
Selama beberapa ratus tahun sesudah Perang Onin, bangsa ini seperti massa tanaman rami yang tumbuh liar dan kacau. Kemudian Nobunaga menebasi semuanya itu, Hideyoshi mengikatnya, dan Ieyasu telah membuka serta melembutkan tanahnya untuk membangun dunia baru. Musashi melihat bahwa kaum prajurit yang hanya menjunjung tinggi praktekpraktek perang, kini tidak lagi merupakan unsur dominan dalam masyarakat. Ciri mereka yang paling menonjol adalah ambisi yang tak terbatas. Tapi Sekigahara sudah mengakhiri semua itu.
Musashi sudah mendapat keyakinan, biarpun bangsa ini tetap berada di tangan Keluarga Tokugawa, atau kembali kepada Keluarga Toyotomi, tapi rakyat pada umumnya sudah tahu, ke arah mana mereka ingin bergerak: dari kemelut menuju ketertiban, dan dari kehancuran menuju pembangunan.
Kadang-kadang ia merasa dirinya terlalu terlambat dilahirkan. Begitu kebesaran Hideyoshi masuk ke daerah-daerah pedesaan terpencil dan menggugah hati anak-anak lelaki seperti Musashi, maka kemungkinan untuk mengikuti langkah-langkah Hideyoshi sudah menguap.
Jadi, pengalaman sendirilah yang menuntun Musashi mengambil keputusan untuk menekankan disiplin dalam pendidikan Iori. Kalau ia hendak menciptakan seorang samurai, ia mesti menciptakannya untuk masa mendatang. Bukan untuk masa lalu.
"Iori."
"Ya, Pak." Anak itu langsung saja berlutut di depan Musashi, sebelum kata-kata itu selesai diucapkan.
"Sudah hampir senja. Waktunya belajar. Ambil pedang-pedang itu."
"Baik, Pak." Ketika pedang-pedang sudah diletakkannya di hadapan Musashi, ia berlutut dan secara resmi memohon pelajaran.
Pedang Musashi panjang, sedangkan pedang Iori pendek, tapi keduanya pedang latihan dari kayu. Guru dan murid saling berhadapan, diam kaku, pedang dipegang setinggi mata. Seberkas sisa sinar matahari mengambang di kaki langit. Rumpun pohon kriptomeria di belakang pondok sudah terbenam dalam kegelapan, tapi kalau orang melihat ke arah bunyi jangkrik, akan tampak sepotong bulan lewat rerantingan.
"Mata," kata Musashi.
Iori membuka matanya lebar-lebar. "Mataku. Lihat mataku."
Iori berusaha sebaik-baiknya, tapi pandangan matanya rupanya selalu mental sama sekali dari mata Musashi. Bukannya menatap, tapi langsung kalah oleh mata lawannya. Ketika mencoba lagi, ia bahkan merasa pusing.
Mulai terasa olehnya, kepala itu seakan-akan bukan lagi kepalanya sendiri. Tangannya, kakinya, seluruh tubuhnya terasa goyah.
"Lihat mataku!" perintah Musashi dengan garang, segarang-garangnya. Tapi pandangan mata Iori mengembara lagi. Kemudian, ketika ia dapat memusatkan perhatian ke mata gurunya, ia lupa akan pedang di tangannya. Kayu melengkung yang pendek itu terasa seberat batangan baja.
"Mata, mata!" kata Musashi sambil maju sedikit.
Iori berusaha untuk tidak rebah ke belakang. Untuk itu, sampai berlusin-lusin kali ia dicerca. Begitu ia berusaha mengikuti gerak lawannya dan bergerak maju, kakinya seperti terpaku ke bumi. Tak dapat ia maju atau mundur, dan terasa olehnya suhu badannya naik. "Apa yang terjadi dengan diriku?" Pikiran itu meledak seperti bunga api di dalam dirinya.
Merasakan terjadinya ledakan kekuatan mental ini, Musashi memekik, "Serang!" Pada saat itu juga, ia merendahkan bahunya, mundur, dan mengelak dengan kecekatan seekor ikan.
Sambil terengah, Iori meloncat ke depan, memutar badan, tapi Musashi sudah berdiri di tempat tadi ia berdiri. Konfrontasi pun dimulai, tepat seperti tadi, guru dan murid diam tanpa suara.
Tak lama kemudian, rumput basah oleh embun, dan alis bulan bergantung di atas pepohonan kriptomeria. Setiap kali angin bertiup, serangga-serangga seketika berhenti bernyanyi. Musim gugur tiba, sekalipun tidak menakjubkan di siang hari, bunga-bunga liar kini berayun-ayun dengan anggunnya, seperti jubah bulu dewa yang sedang menari.
"Cukup," kata Musashi sambil menurunkan pedang.
Ia serahkan pedang itu kepada Iori, tapi waktu itu juga terdengar oleh mereka suara dari arah rumpun pohon. "Siapa pula itu?" kata Musashi.
"Barangkali musafir tersesat yang ingin bermalam."
"Lari sana, lihat."
Iori berlari ke sisi rumah, dan Musashi mendudukkan diri di beranda bambu, memandang ke arah dataran. Pohon-pohon elalia sudah tinggi, puncaknya berkembang halus. Rumput bermandikan cahaya, menampilkan kemilau musim gugur yang khas.
Ketika Iori kembali, Musashi bertanya, "Musafir, ya?"
"Bukan, tamu."
"Tamu? Di sini?"
"Hojo Shinzo. Dia sudah menambatkan kudanya, dan sekarang menunggu Bapak di belakang."
"Rumah ini tak ada depan atau belakangnya, tapi kupikir lebih baik kuterima dia di sini."
Iori berlari memutar lewat sisi pondok, dan teriaknya, "Silakan jalan lewat sini."
"Oh, menyenangkan sekali," kata Musashi. Matanya menyatakan kegembiraan ketika melihat Shinzo sudah sembuh sama sekali.
"Maaf, begitu lama saya tidak menghubungi. Saya kira Anda tinggal di sini supaya jauh dari orang banyak? Saya harap Anda memaafkan saya, karena saya singgah tanpa diduga-duga macam ini."
Mereka bertukar salam, kemudian Musashi mengajak Shinzo ikut dengannya ke beranda.
"Bagaimana Anda bisa menemukan tempat saya? Tak seorang pun saya beritahu bahwa saya ada di sini."
"Zushino Kosuke. Dia bilang, Anda menyelesaikan Kannon yang Anda janjikan kepadanya, dan menyuruh Iori mengirimkannya."
"Ha, ha. Kalau begitu, Iori yang membongkar rahasia itu. Tidak apalah. Saya belum cukup tua untuk meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri. Tapi saya pikir, kalau saya menghilang beberapa bulan lamanya, desasdesus jahat itu akan mereda. Dan akan berkurang bahaya pembalasan terhadap Kosuke dan teman-teman saya yang lain."
Shinzo menundukkan kepala. "Saya mesti minta maaf pada Anda. Semua kesulitan ini, sayalah penyebabnya."
"Tidak sepenuhnya begitu. Itu soal kecil. Akar sesungguhnya dari persoalan ini ada kaitannya dengan urusan antara Kojiro dan saya."
"Apa Anda tahu dia sudah membunuh Obata Yogoro?"
"Tidak."
"Ketika mendengar tentang diri saya, Yogoro memutuskan membalas dendam sendiri. Dia bukan tandingan Kojiro."
"Saya sudah memperingatkan dia...." Bayangan Yogoro yang berdiri di pintu masuk rumah ayahnya masih jelas dalam pikiran Musashi. "Sayang sekali," pikirnya.
"Saya bisa mengerti perasaannya," sambung Shinzo. "Semua murid sudah pergi, dan ayahnya sudah meninggal. Dia tentunya berpikir, dialah satu-satunya yang dapat melakukan pembalasan. Paling tidak, rupanya dia sudah pergi ke rumah Kojiro. Tapi tak seorang pun melihat mereka bersama-sama, tak ada bukti yang nyata."
"Mm. Barangkali peringatan itu berakibat sebaliknya dari yang saya maksud-justru menggugah rasa harga dirinya, hingga dia merasa mesti berkelahi. Sayang!"
"Memang. Yogoro satu-satunya orang sedarah dengan Sensei. Dengan kematiannya, Keluarga Obata tak ada lagi. Namun ayah saya sudah membicarakan persoalan ini dengan Yang Dipertuan Munenori, yang kemudian berhasil menempuh prosedur pemungutan anak. Saya akan menjadi ahli waris dan pengganti Kagenori, dan menggunakan nama Obata.... Memang saya belum yakin bahwa saya sudah cukup matang. Saya pun kuatir akan mengakhiri semua ini dengan mendatangkan aib lebih lanjut kepada beliau. Bagaimanapun, beliau penganjur terbesar tradisi militer Koshu."
"Ayah Anda adalah Yang Dipertuan dari Awa. Apakah tradisi militer Hojo tidak dianggap sama dengan Perguruan Koshu? Dan ayah Anda guru yang sama besarnya dengan Kagenori?"
"Itu kata orang. Nenek moyang kami berasal dari Provinsi Totomi. Kakek saya mengabdi pada Hojo Ujitsuna dan Ujiyasu dari Odawara, dan ayah saya dipilih oleh Ieyasu sendiri untuk menggantikan mereka sebagai kepala keluarga."
"Sebagai orang yang berasal dari keluarga militer terkenal, apakah tidak luar biasa bahwa Anda menjadi murid Kagenori?"
"Ayah saya mempunyai murid sendiri, dan dia memberikan kuliah pada shogun tentang ilmu pengetahuan militer. Tapi dia bukannya mengajarkan sesuatu pada saya, sebaliknya dia suruh saya pergi dan belajar dari orang lain. Carl jalan yang keras! Itulah ayah saya."
Musashi merasakan kesopanan, dan bahkan keagungan yang wajar, pada sikap Shinzo itu. Dan itu barangkali memang sudah sewajarnya, pikirnya, karena ayah Shinzo, Ujikatsu, adalah seorang jenderal terkemuka, dan ibunya, putri Hojo Ujiyasu.
"Saya takut sudah terlalu banyak bicara," kata Shinzo. "Sesungguhnya, ayah saya yang menyuruh saya kemari. Tentu saja wajar sekali kalau beliau yang datang menyatakan terima kasih pada Anda, tapi sekarang beliau sedang menerima tamu yang ingin sekali bertemu dengan Anda. Ayah minta saya pulang bersama Anda. Maukah Anda datang?" Dan ia memandang wajah Musashi penuh tanya.
"Tamu ayah Anda ingin bertemu dengan saya?"
"Betul."
"Siapa dia? Saya hampir tak kenal siapa pun di Edo."
"Orang yang Anda kenal sejak kecil."
Musashi tak dapat membayangkan, siapa orangnya. Matahachi barangkali? Samurai dari Benteng Takeyama? Seorang teman ayahnya?
Barangkali bahkan Otsu.... Tapi Shinzo menolak membuka rahasianya. "Saya dilarang mengatakannya. Dan tamu itu mengatakan lebih baik memberikan kejutan pada Anda. Maukah Anda datang?"
Rasa ingin tahu Musashi pun bangkit. Ia mengatakan pada diri sendiri, tak mungkin itu Otsu, tapi dalam hati ia berharap demikian.
"Mari," katanya sambil berdiri. "Iori, jangan tunggu aku."
Shinzo senang misinya berhasil, dan ia pergi ke belakang rumah, membawa kudanya. Pelana dan sanggurdinya meneteskan air embun. Sambil memegang kekang, ia menawarkannya kepada Musashi, yang tanpa banyak bicara langsung menaikinya.
Ketika mereka berangkat, kata Musashi pada Iori, "Jaga dirimu, aku mungkin tidak kembali sampai besok." Tak lama kemudian, sosoknya sudah lenyap ditelan kabut malam.
Iori duduk tenang di beranda, tenggelam dalam lamunan.
"Mata," pikirnya. "Mata." Tak terhitung sudah berapa kali ia diperintahkan menatap ke mata lawan, namun ia belum dapat memahami maksud perintah itu, maupun menghilangkannya dari pikiran. la menatap kosong ke Sungai Surga.
Apa yang salah dengannya? Kenapa kalau Musashi menatapnya, ia tak dapat balas menatap? Ia lebih jengkel akan kegagalannya itu daripada orang dewasa, dan ketika sedang berusaha keras menemukan penjelasan tentang soal itu, tiba-tiba dilihatnya sepasang mata. Mata itu tertuju kepadanya dari antara ranting-ranting tanaman anggur yang membelit sebuah pohon di depan pondok.
"Apa itu?" pikirnya.
Mata yang bersinar cemerlang itu mengingatkannya pada mata Musashi selagi berlangsung pelajaran praktek.
"Tentunya seekor kuskus." Sudah beberapa kali ia melihat binatang itu sedang makan anggur liar. Mata itu seperti barn akik, mata hantu ganas.
"Binatang!" teriak Iori. "Kaupikir aku tak punya keberanian? Kaupikir dapat menundukkan aku dengan pandangan mata? Akan kutunjukkan padamu! Tak bakal aku kalah darimu."
Dengan tekad teguh ia ketatkan alisnya, dan ia menatap balik. Kuskus itu tak bergerak untuk melarikan diri, mungkin karena keras kepala, mungkin juga karena rasa ingin tahu. Matanya begitu cemerlang.
Iori begitu serius dengan usahanya itu, hingga ia lupa bernapas. la bersumpah untuk tidak kalah. la tak mau kalah oleh binatang hina itu. Setelah beberapa waktu yang terasa seperti beberapa jam, ia tiba-tiba sadar bahwa ia menang. Daun-daun anggur itu bergoyang, dan kuskus pun lenyap.
"Nah, tahu rasa kau!" kata Iori girang. Badannya basah oleh keringat, tapi la merasa lega dan segar kembali. Ia berharap dapat mengulangi perbuatannya itu, kalau nanti berhadapan lagi dengan Musashi.
Ia turunkan kerai buluh di jendela dan ia matikan lampu, kemudian ia pergi tidur. Cahaya putih kebiruan memantul dari rumput di luar. Ia tertidur, tapi di dalam kepalanya la seolah melihat satu titik kecil yang bersinar seperti permata. Pada waktunya, titik itu tumbuh menjadi bentuk samar wajah kuskus itu.
Dalam tidurnya ia berguling ke sana kemari dan mengeluh, dan tiba-tiba ia merasa yakin bahwa di kaki kasurnya terdapat sepasang mata yang memandanginya. Dengan susah payah ia bangun. "Bajingan!" teriaknya sambil menjangkau pedangnya. la ayunkan pedang itu sehebat-hebatnya, tapi akibatnya la jadi jungkir-balik. Bayangan kuskus itu menjadi titik yang bergerak di kerai. Ia tebas binatang itu dengan kejam, kemudian ia berlari ke luar, dan ia tetak tanaman anggur dengan ganas. Matanya menengadah ke langit, mencari mata kuskus.
Dan pelan-pelan, tampak jelas olehnya dua bintang besar kebiruan.
Empat Guru dengan Satu Lampu
"NAH, kita sudah sampai," kata Shinzo, ketika mereka sampai di kaki Bukit Akagi.
Dari suara suling yang terdengar seperti iringan tari suci di tempat suci, dan dari api unggun yang tampak lewat kayu-kayuan, Musashi mengira sedang berlangsung pesta malam. Perjalanan ke Ushigome itu makan waktu dua jam.
Di satu sisi terdapat pekarangan luas Kuil Akagi. Di seberang jalan melandai, berdiri tembok tanah sebuah kediaman pribadi yang besar, dan sebuah pintu gerbang yang besar sekali ukurannya. Sampai di pintu gerbang itu, Musashi turun dan menyerahkan kendali pada Shinzo, sambil mengucapkan terima kasih.
Shinzo menuntun kuda itu ke dalam, dan menyerahkan kendalinya pada salah seorang samurai yang sedang menanti di dekat pintu masuk, memegang lentera kertas. Mereka semua maju ke depan, menyambut kedatangannya, dan mengantarnya lewat pepohonan, ke sebuah tempat terbuka di depan pendopo yang mengesankan. Di dalam, para pembantu yang memegang lentera berbaris di kiri-kanan ruang masuk.
Kepala pelayan menyambut mereka, katanya, "Silakan masuk. Yang Dipertuan sudah menanti Bapak. Saya tunjukkan jalannya."
"Terima kasih," jawab Musashi. Ia mengikuti para pelayan itu menaiki sebuah tangga, kemudian masuk kamar tunggu.
Pola rumah itu lain dari yang lain. Beberapa tangga berturut-turut membawa orang ke serangkaian apartemen yang tampak saling menumpuk, mendaki Bukit Akagi. Begitu duduk, Musashi melihat bahwa ruangan itu ada di atas lereng bukit. Di sebelah cekungan, di ujung halaman, ia hanya dapat melihat bagian utara parit benteng dan hutan yang melingkari tebing curam itu. Terpikir olehnya, pemandangan dari ruangan itu pada siang hari tentunya mengesankan sekali.
Tanpa bunyi, pintu sebuah jalan keluar yang melengkung, terbuka. Seorang gadis pelayan yang cantik masuk dengan anggunnya, meletakkan nampan berisi kue-kue, teh, dan tembakau di depan Musashi. Kemudian ia menyelinap ke luar, tanpa suara, sama dengan sewaktu ia masuk. Seakanakan kimono dan obi-nya yang beraneka warna itu muncul dan kemudian mencair kembali ke dalam dinding itu. Sesudah kepergiannya, masih tercium lamat-lamat semerbak harumnya, dan tiba-tiba Musashi jadi ingat akan adanya wanita.
Tak lama kemudian, tuan rumah muncul diiringi seorang samurai muda. Dengan menanggalkan sikap resmi, katanya, "Baik sekali Anda datang." Dengan gaya prajurit yang baik, ia pun duduk bersilang kaki di bantalan yang disediakan oleh pembantunya, dan katanya, "Menurut yang saya dengar, anak saya telah banyak berutang budi pada Anda. Saya mohon Anda memaafkan saya karena meminta Anda datang kemari, bukan sebaliknya saya mengunjungi rumah Anda untuk menyatakan terima kasih saya." Dengan tangan bertumpu ringan pada kipas di pangkuannya, ia sedikit menyorongkan dahinya yang menonjol.
"Saya merasa mendapat kehormatan diundang menjumpai Bapak," kata Musashi.
Tidak mudah menaksir umur Hojo Ujikatsu. Tiga gigi depannya sudah tak ada, tapi kulitnya yang lembut mengilap memberikan bukti bahwa ia tak hendak menjadi tua. Kumisnya yang hitam lebat dan hanya terhias beberapa rambut putih itu dibiarkan tumbuh di kiri-kanan, untuk menyembunyikan kerut-merut akibat tiadanya ketiga gigi itu. Kesan Musashi yang pertama adalah bahwa orang itu memiliki banyak anak dan baik sekali hubungannya dengan orang-orang muda.
Merasa bahwa tuan rumah takkan keberatan, Musashi bicara langsung ke tujuan. "Putra Bapak mengatakan pada saya bahwa Bapak punya tamu yang mengenal saya. Siapakah orang itu?"
"Bukan satu, tapi dua. Anda akan segera melihat mereka."
"Dua orang?"
"Ya. Mereka kenal baik satu sama lain, dan mereka berdua sahabat saya. Saya kebetulan bertemu dengan mereka di benteng hari ini. Mereka pulang bersama saya, dan ketika Shinzo datang menyambut mereka, mulailah kami mengobrol tentang Anda. Seorang dari mereka mengatakan sudah lama tidak bertemu dengan Anda, dan ingin bertemu. Yang lain, yang mengenal Anda hanya dari nama baik Anda, menyatakan keinginan untuk diperkenalkan."
Sambil tersenyum lebar, Musashi berkata, "Saya tahu. Yang satu Takuan Soho, kan?"
"Betul," seru Yang Dipertuan Ujikatsu sambil menepuk lutut dengan terkej ut.
"Saya tidak pernah jumpa dengannya sejak pergi ke timur beberapa tahun lalu."
Sebelum Musashi sempat menduga siapa orang satunya, Yang Dipertuan sudah mengatakan, "Mari ikut saya," dan keluar dari kamar, menuju gang.
Mereka mendaki tangga pendek dan berjalan sepanjang gang yang panjang dan gelap. Tirai hujan terpasang di satu sisi. Tiba-tiba Musashi tak melihat lagi Yang Dipertuan Ujikatsu. Ia berhenti dan mendengarkan.
Beberapa waktu kemudian, Ujikatsu memanggil, "Saya di sini!" Suaranya seperti datang dari kamar terang yang terletak di seberang tempat terbuka di depan gang.
"Saya tahu," seru Musashi membalas. Tapi Musashi tidak langsung mendekati cahaya itu, melainkan berdiri saja di tempatnya. Tempat terbuka di depan gang itu memikat sekali, tapi terasa olehnya ada cahaya yang mengancam di tempat gelap itu.
"Apa yang Anda tunggu, Musashi? Kami di sini."
"Sebentar," jawab Musashi. Tak ada kemungkinan baginya memberikan jawaban lain, tapi indra keenamnya mengingatkannya untuk waspada. Dengan diam-diam la berbalik, dan berjalan kembali sekitar sepuluh langkah, menuju pintu kecil yang menuju halaman. Ia pakai sandal di situ, dan kemudian berjalan mengitari halaman, menuju beranda kamar Yang Dipertuan Ujikatsu.
"Oh, Anda lewat sana, ya?" kata Yang Dipertuan, sambil menoleh dari ujung lain ruangan itu. Suaranya menunjukkan kekecewaan.
"Takuan!" seru Musashi ketika ia masuk kamar, disertai senyuman cerah pada wajahnya. Pendeta yang duduk di depan ceruk kamar itu berdiri menyambutnya. Bertemu kembali, dan di bawah atap Yang Dipertuan Ujikatsu pula, rasanya hampir terlampau kebetulan. Susah bagi Musashi meyakinkan dirinya bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi.
"Nah, kita mesti saling berkabar dulu," kata Takuan. "Boleh aku memulai?" Takuan mengenakan jubah polos yang selalu dikenakannya. Tak ada tambahan apa pun, bahkan tasbih pun tidak. Namun ia kelihatan lebih matang daripada sebelumnya. Bicaranya lebih lunak. Sebagaimana pembawaan kasar Musashi telah hanyut akibat usaha kerasnya mendisiplinkan diri, demikian pula Takuan rupanya telah dapat menghaluskan sifat-sifat yang kasar dan telah lebih banyak diberkati kebijaksanaan Zen. Memang ia bukan lagi seorang pemuda. Sebelas tahun lebih tua dari Musashi, umurnya sekarang mendekati empat puluh.
"Coba kita ingat-ingat, oh, di Kyoto waktu itu, ya? Ya, ya, aku ingat. Waktu itu tak lama sesudah aku kembali ke Tajima. Sesudah meninggalkan ibuku, kuhabiskan waktu setahun untuk berkabung. Kemudian aku mengadakan perjalanan sebentar, beberapa waktu tinggal di Kuil Nansoji di Izumi, kemudian di Kuil Daitokuji. Belakangan aku sering bertemu dengan Yang Dipertuan Karasumaru—mengarang sajak dengannya, mengadakan upacara-upacara teh, dan mencoba membuang urusan dunia ini. Tanpa kusadari, sudah tiga tahun waktu kuhabiskan di Kyoto. Baru-baru ini aku bersahabat dengan Yang Dipertuan Koide dari Benteng Kishiwada, dan bersama beliau datang kemari melihat Edo."
"Kalau demikian, Anda belum lama di sini?"
"Ya, sekalipun sudah dua kali aku bertemu dengan Hidetada di Kuil Daitokuji, dan banyak kali aku diundang menghadap Ieyasu, tapi inilah pertama kalinya aku mengadakan perjalanan ke Edo. Dan bagaimana denganmu?"
"Saya di sini sejak awal musim panas."
"Rupanya kau sudah mendapat nama juga di bagian negeri ini."
Musashi tidak mencoba membela diri. Ia menundukkan kepala, katanya, "Saya kira Anda sudah mendengar sendiri tentang itu."
Takuan menatapnya beberapa saat, agaknya sedang membandingkan dengan Takezo yang lama. "Kenapa pula mesti resah? Aneh rasanya, kalau orang seumurmu memiliki nama terlalu baik. Selama kau tidak melakukan sesuatu yang sifatnya tidak setia, tercela, atau memberontak, apa pula urusannya? Aku lebih berminat mendengarkan latihanmu."
Musashi menyampaikan uraian pendek tentang pengalamannya belum lama ini, dan mengakhirinya, "Saya takut masih belum matang, kurang bijaksana... jauh dari pencerahan. Semakin banyak saya mengadakan perjalanan, semakin panjang jalan itu. Saya merasa sedang mendaki jalan gunung yang tak ada ujungnya."
"Memang demikian mestinya," kata Takuan, yang jelas merasa senang akan kejujuran dan sikap rendah hati pemuda itu. "Kalau orang yang umurnya di bawah tiga puluh tahun menyatakan sudah mengetahui sedikit saja mengenai Jalan, itu suatu tanda yang jelas bahwa pertumbuhannya sudah berhenti. Aku sendiri masih bergidik malu, kalau ada orang menyatakan bahwa pendeta kasar macam diriku ini tahu makna pokok Zen. Sungguh membingungkan, kalau orang selalu minta aku menguraikan pada mereka tentang Hukum Budha, atau menjelaskan ajaran-ajaran yang benar itu. Orang banyak itu mencoba memandang seorang pendeta seperti memandang Budha yang hidup. Bersyukurlah bahwa orang lain tidak terlalu tinggi memandangmu, dan bahwa engkau tak perlu memperhatikan penampilan."
Sementara kedua orang itu gembira memperbaharui persahabatan mereka, para pelayan membawakan makanan dan minuman. Kemudian Takuan berkata, "Maafkan saya, Yang Dipertuan, saya kuatir ada yang kita lupakan. Bagaimana kalau tamu Anda yang lain dibawa masuk?"
Musashi merasa pasti sekarang, bahwa ia tahu siapa orang keempat itu, tapi ia memilih diam.
Dengan sikap agak ragu-ragu, kata Ujikatsu, "Boleh saya panggil?" Kemudian kepada Musashi, "Saya mesti mengakui, Anda sudah dapat menebak permainan kecil kami. Sebagai yang merencanakannya, saya merasa agak malu."
Takuan tertawa. "Bagus! Saya senang melihat Bapak mau mengakui kekalahan. Kenapa tidak? Bagaimanapun, ini cuma permainan untuk menghibur hati semua orang, kan? Pasti tak bisa menjadi alasan bagi guru Gaya Hojo untuk kehilangan muka."
"Yah, tak sangsi lagi saya kalah," gerutu Ujikatsu dengan suara masih mengandung keengganan. "Kenyataannya, biarpun saya sudah mendengar orang macam apa Anda ini, saya belum tahu sampai seberapa jauh Anda terlatih dan terdisiplin. Maka saya putuskan untuk menyaksikannya sendiri, dan tamu saya yang lain itu setuju untuk bekerja sama. Ketika Anda berhenti di gang tadi itu, dia menanti untuk menyergap, siap menarik pedang." Yang Dipertuan rupanya menyesal telah menguji Musashi. "Tapi Anda sadar sedang dijebak untuk memasuki perangkap, lalu menyeberang halaman." Sambil menatap Musashi, tanyanya, "Boleh saya bertanya, kenapa Anda berbuat demikian?"
Musashi hanya menyeringai.
Takuan angkat bicara. "Itulah beda antara seorang ahli strategi dan pemain pedang."
"Betul begitu?"
"Soalnya cuma tanggapan naluriah, yaitu tanggapan naluriah seorang sarjana militer yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip intelektual, melawan tanggapan orang yang mengikuti Jalan Pedang, yang mendasarkan diri pada hatinya. Menurut jalan pikiran Anda, kalau Anda mengantar Musashi, dia akan mengikuti. Namun, walau tak dapat melihat dengan nyata atau menjamah sesuatu yang pasti, Musashi merasa ada bahaya, dan dia bergerak melindungi diri. Reaksinya itu spontan, naluriah."
"Naluriah?"
"Seperti wahyu Zen."
"Apakah Anda suka merasakan pertanda macam itu?"
"Rasanya tidak."
"Tapi setidaknya saya mendapat pelajaran. Pada waktu merasa ada bahaya, seorang samurai lalu kehilangan akal, atau barangkali justru menggunakan perangkap itu sebagai alasan untuk memamerkan kehebatannya dengan pedang. Ketika tadi saya melihat Musashi kembali, mengenakan sandal dan melintas halaman, saya terkesan sekali."
Musashi terus diam. Wajahnya tidak mengungkapkan rasa senang mendengarkan kata-kata pujian dari Yang Dipertuan Ujikatsu itu. Pikirannya tertuju kepada orang yang berdiri dalam gelap di luar, yang kandas karena sang korban tidak masuk perangkap.
Kepada tuan rumah, ia berkata, "Boleh saya mohon agar Yang Dipertuan dari Tajima mengambil tempat duduk di antara kita sekarang?"
"Oh, apa pula itu?" Ujikatsu kagum, juga Takuan. "Bagaimana Anda bisa tahu?"
Sambil mundur memberikan tempat kehormatan bagi Yagyu Munenori, Musashi berkata, "Walaupun gelap, saya dapat merasakan kehadiran pemain pedang yang tak ada taranya. Menimbang wajah-wajah lain yang hadir di sini, rasanya saya bisa menebak siapa orang satunya itu."
"Sekali lagi Anda berhasil!" Ujikatsu berkata dengan kagum.
Mendapat anggukan darinya, Takuan pun berkata, "Yang Dipertuan dari Tajima. Benar sekali!" Sambil menoleh ke pintu, la berseru, "Rahasia sudah terbongkar, Yang Dipertuan Munenori! Silakan menggabungkan diri dengan kami."
Terdengar tawa keras, dan Munenori muncul di pintu. Ia bukannya mengambil tempat dengan nyaman di depan ceruk kamar, melainkan berlutut di depan Musashi dan menyalaminya sebagai orang yang setara dengannya, katanya, "Nama saya Mataemon Munenori. Saya harap Anda ingat pada saya."
"Suatu kehormatan bagi saya dapat bertemu dengan Bapak. Saya ronin dari Mimasaka, Miyamato Musashi nama saya. Saya mohon petunjuk Bapak di masa mendatang."
"Kimura Sukekuro menyebut nama Anda beberapa bulan lalu, tapi waktu itu saya sedang sibuk karena penyakit ayah saya."
"Bagaimana kabarnya Yang Dipertuan Sekishusai?"
"Yah, beliau sudah tua sekali. Tak bisa kita tahu..." Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan dengan sikap ramah penuh kehangatan, "Ayah saya membicarakan Anda dalam sebuah suratnya, dan Takuan beberapa kali saya dengar bicara tentang Anda. Mesti saya katakan, reaksi Anda beberapa menit yang lalu itu mengagumkan. Kalau Anda tidak keberatan, rasanya kita mesti anggap pertarungan yang Anda usulkan itu sudah berlangsung. Saya harap Anda tidak tersinggung bahwa saya melaksanakannya dengan cara tidak lazim."
Yang mengesankan Musashi adalah kecerdasannya dan kematangannya, dan itu sesuai sekali dengan nama baik daimyo itu.
"Saya merasa malu karena Bapak begitu penuh perhatian," jawab Musashi sambil membungkuk rendah sekali. Sikap hormat yang diperlihatkan itu wajar, karena status Yang Dipertuan Munenori demikian jauh di atas status Musashi, sehingga bisa dikatakan beliau berada di dunia lain. Sekalipun perdikan Yang Dipertuan Munenori hanya bernilai lima puluh ribu gantang, tapi keluarganya terkenal sebagai hakim provinsi sejak abad sepuluh. Kebanyakan orang akan merasa janggal mendapati salah seorang guru pribadi shogun berada di ruangan yang sama dengan Musashi, apalagi bercakap-cakap dengannya dalam suasana bersahabat, tidak resmi. Musashi merasa lega, karena baik Ujikatsu yang sarjana dan anggota pengawal panji-panji shogun, maupun Takuan yang asalnya pendeta desa itu, tidak merasakan hambatan karena pangkat Munenori.
Sake hangat didatangkan, mangkuk-mangkuk dipertukarkan, kemudian menyusul percakapan dan tawa. Perbedaan umur dan kelas dilupakan. Musashi tahu, ia diterima dalam lingkungan terpilih bukan karena statusnya. Ia sedang menekuni Jalan, seperti juga mereka. Jalan itulah yang memungkinkan persahabatan itu.
Pada suatu ketika, Takuan meletakkan mangkuknya dan bertanya pada Musashi, "Bagaimana kabar Otsu?"
Dengan wajah sedikit memerah, Musashi menjawab bahwa ia sudah beberapa waktu lamanya tidak melihat atau mendengar tentang Otsu.
"Sama sekali tidak?"
"Sama sekali."
"Malang sekali. Kau tak dapat meninggalkannya dalam kesukaran selamanya. Dan untukmu sendiri pun itu tak baik."
"Yang Anda maksud dengan Otsu itu, apa gadis yang pernah tinggal dengan ayah saya di Koyagyu?" tanya Munenori.
"Ya," jawab Takuan, mewakili Musashi.
"Saya tahu di mana dia berada. Waktu itu dia pergi ke Koyagyu dengan kemenakan saya, Hyogo, untuk membantu merawat ayah saya."
Terpikir oleh Musashi, kehadiran sarjana militer ternama itu, dan Takuan, memungkinkan mereka berbicara tentang strategi atau membahas Zen, sedangkan dengan hadirnya Munenori dan Musashi, pokok pembicaraan dapat berpusat pada pedang.
Sambil mengangguk meminta maaf kepada Musashi, Takuan bercerita pada orang-orang lain tentang Otsu dan hubungannya dengan Musashi. "Cepat atau lambat," demikian kesimpulannya, "harus ada orang yang menyatukan kalian berdua lagi, tapi saya takut itu bukan tugas pendeta. Saya mohon bantuan dari Anda berdua dalam hal ini." Yang dimaksudnya adalah agar Ujikatsu dan Munenori bertindak sebagai wali Musashi.
Mereka agaknya mau menerima peranan itu. Munenori menyatakan bahwa Musashi sudah cukup umur untuk berkeluarga, sedangkan Ujikatsu mengatakan ia sudah mencapai tingkat latihan cukup tinggi.
Munenori menyarankan agar hari-hari itu Otsu dipanggil kembali dari Koyagyu dan dikawinkan dengan Musashi. Kemudian Musashi dapat menetap di Edo. Di situ, bersama dengan rumah Ono Tadaaki dan Yagyu Munenori, rumahnya akan membentuk tiga serangkai pedang dan mengantar orang ke zaman keemasan ilmu pedang di ibu kota baru. Takuan maupun Ujikatsu sependapat.
Khususnya, Yang Dipertuan Ujikatsu, yang ingin sekali membalas kebaikan Musashi pada Shinzo, hendak mengusulkannya sebagai guru shogun, dan ini gagasan yang sudah mereka pertimbangkan bertiga, sebelum mereka menyuruh Shinzo memanggil Musashi. Dan sesudah melihat reaksi Musashi terhadap percobaan mereka, Munenori sendiri pun sekarang bersedia memberikan penjelasan atas rencana itu.
Ada beberapa kesulitan yang mesti diatasi, satu di antaranya adalah bahwa seorang guru dalam rumah tangga shogun juga harus menjadi anggota pengawal kehormatan. Karena banyak dari anggota pengawal kehormatan itu pengikut setia Keluarga Tokugawa semenjak Ieyasu memegang perdikan Mikawa, maka ada keengganan untuk menerima orang-orang baru, dan semua calon diselidiki dengan teliti. Namun demikian, dengan usulan dari Ujikatsu dan Munenori, disertai surat jaminan dari Takuan, diperkirakan Musashi akan lulus.
Soal yang agak sukar adalah keturunannya. Tidak ada catatan tertulis yang dapat membuktikan keturunannya sampai pada Hirata Shogen klan Akamatsu, dan tidak ada pula daftar silsilah yang dapat membuktikan bahwa ia dari keluarga samurai yang baik. Ia sudah pasti tidak ada hubungan keluarga dengan Keluarga Tokugawa. Sebaliknya, terdapat fakta yang tak terbantah bahwa sebagai pemuda hijau umur tujuh belas, ia telah ikut berperang melawan angkatan perang Tokugawa di Sekigahara. Namun terbuka kemungkinan: ronin lain dari bekas klan musuh telah juga menggabungkan diri dengan Keluarga Tokugawa sesudah Pertempuran Sekigahara. Bahkan Ono Tadaaki, seorang ronin dari klan Kitabatake yang sedang bersembunyi di Ise Matsuzaka, punya perjanjian menjadi guru shogun, sekalipun ada hubungan-hubungan yang tak dikehendaki.
Sesudah ketiga orang itu sekali lagi menimbang hal-hal yang positif dan negatif, Takuan berkata, "Baiklah kalau begitu, mari kita usulkan dia. Tapi barangkali kita mesti mengetahui dulu, bagaimana pendapatnya sendiri."
Persoalan itu dikemukakan kepada Musashi, dan Musashi menjawab ringan, "Sungguh baik dan dermawan bahwa Bapak-bapak menyarankan hal ini, tapi saya tak lebih dari seorang pemuda yang belum matang."
"Jangan berpikir seperti itu," kata Takuan dengan nada terus terang. "Yang kami nasihatkan padamu adalah supaya engkau menjadi matang. Mau kau membangun rumahmu sendiri, ataukah ada rencanamu untuk membuat Otsu terus mengembara tanpa batas, seperti yang dilakukannya sekarang?"
Musashi merasa dipojokkan. Otsu memang pernah mengatakan mau menanggung kesulitan apa pun, tapi itu sama sekali tidak mengurangi tanggung jawab Musashi apabila kemalangan menimpa Otsu. Memang biasa seorang perempuan bertindak sesuai dengan perasaannya sendiri, tapi kalau hasilnya tidak menyenangkan, laki-lakilah yang disalahkan.
Bukannya Musashi tak ingin menerima tanggung jawab itu. la ingin sekali menerimanya. Sikap Otsu itu dituntun oleh rasa cintanya, dan beban cinta itu sama beratnya, baik untuk Musashi maupun untuk Otsu. Namun Musashi merasa masih terlalu pagi baginya untuk kawin dan berkeluarga. Jalan Pedang yang panjang dan berat terbentang dl hadapannya, dan keinginannya untuk menempuh jalan itu tidak berkurang.
Bahwa sikapnya terhadap pedang sudah berubah, tidaklah mempermudah persoalan itu. Semenjak pengalaman di Hotengahara, pedang penakluk dan pedang pembunuh baginya sudah merupakan masa lalu, dan tidak lagi ada guna atau artinya.
Menjadi ahli teknik pun tidak membangkitkan seleranya, sekalipun ia akan memberikan pelajaran kepada orang-orang shogun. Akhirnya ia mengerti bahwa Jalan Pedang mesti memiliki tujuan-tujuan khusus: menegakkan ketertiban, melindungi, dan menghaluskan semangat. Jalan itu mesti merupakan jalan yang dapat didambakan orang, sebagaimana orang mendambakan hidupnya sendiri, sampai hari kematiannya. Kalau Jalan semacam itu ada, bukankah Jalan itu dapat dipergunakan untuk mendatangkan perdamaian di dunia dan kebahagiaan bagi semua orang?
Ketika ia menjawab surat Sukekuro dengan tantangan kepada Yang Dipertuan Munenori itu, alasannya bukanlah dorongan dangkal untuk memperoleh kemenangan, yang akan memungkinkannya menantang Sekishusai. Sekarang yang menjadi keinginannya adalah melibatkan diri dalam urusan pemerintahan. Tentu saja bukan dalam skala besar. Perdikan kecil tak berarti cukuplah baginya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang, dalam bayangannya, dapat memajukan prinsip pemerintahan yang baik.
Tapi ia tidak memiliki keyakinan untuk menyatakan gagasan-gagasan ini, karena ia merasa para pemain pedang lain akan menganggap ambisi-ambisi mudanya itu keterlaluan. Atau, kalau mereka menanggapinya dengan sungguh-sungguh, mereka akan merasa terpaksa memperingatkannya: politik itu menjurus pada kehancuran. Masuk dalam pemerintahan, berarti ia menodai pedang yang dicintainya. Dan mereka akan memperingatkannya karena keprihatinan mereka yang tulus terhadap jiwa Musashi.
Ia bahkan percaya bahwa jika ia mengemukakan pikirannya yang terus terang, kedua prajurit dan pendeta itu akan tertawa atau kaget.
Ketika ia sungguh-sungguh berbicara, maka yang keluar adalah protes bahwa ia masih terlalu muda, terlalu mentah, dan latihannya belum mencukupi.. ..
Akhirnya Takuan menukasnya. "Serahkanlah pada kami," katanya.
Yang Dipertuan Ujikatsu menambahkan, "Kami akan berusaha agar hasilnya baik buat Anda."
Maka diputuskanlah soal itu.
Karena setiap kali Shinzo masuk untuk meratakan nyala lampu, maka ia dapat menangkap pokok percakapan orang-orang itu. Diam-diam ia menyatakan kepada ayah dan tamunya, bahwa apa yang didengarnya itu sangat menggembirakan.
Pohon Lokus
MATAHACHI membuka mata dan memandang ke sekitar, lalu bangkit dan melongokkan kepalanya ke pintu belakang. "Akemi!" panggilnya.
Tidak ada jawaban.
Ada sesuatu yang mendorongnya untuk membuka lemari dinding. Belum lama Akemi selesai membuat kimononya yang baru. Tapi kimono itu tidak ada.
Maka ia pergi ke rumah sebelah, yaitu rumah Umpei, kemudian ia menyusuri jalan kecil yang menuju jalan besar. Dengan penuh kekuatiran ia tanyai semua orang yang ia jumpai, apakah mereka melihat Akemi. "Saya melihat dia tadi pagi," kata istri tukang arang. "Betul? Di mana?"
"Dia berpakaian rapi. Saya tanya, mau ke mana dia pergi, dan katanya menengok keluarga di Shinagawa."
"Shinagawa?"
"Apa dia tak punya keluarga di sana?" tanya perempuan itu ragu-ragu.
Matahachi hendak mengatakan tidak, tapi seketika itu juga tersadar. "Oh, ya, tentu saja. Jadi, dia pergi ke sana."
Apakah ia akan mengejar Akemi? Sesungguhnya ikatannya dengan Akemi tidak terlalu kuat, dan ia lebih merasakan jengkel daripada apa pun yang lain. Menghilangnya Akemi meninggalkan rasa pahit-manis kepadanya.
Ia meludah dan melontarkan satu-dua makian, kemudian berjalan ke pantai, di sisi lain jalan raya Shibaura. Naik sedikit dari tepi air itu, berserakan rumah-rumah nelayan. Sudah menjadi kebiasaannya tiap pagi datang kemari selagi Akemi memasak nasi, dan di situ ia mencari ikan. Biasanya, paling tidak lima-enam ekor ikan ia dapat dengan jaringnya, dan ia pulang tepat pada waktunya, hingga ikan itu dapat dimasak untuk makan pagi. Hari ini la abaikan saja ikan itu.
"Ada apa, Matahachi?" Pemilik rumah gadai di jalan utama itu menepuk bahunya.
"Selamat pagi," kata Matahachi.
"Enak sekali keluar pagi-pagi, ya? Aku senang melihatmu keluar berjalan-jalan tiap pagi. Itu baik sekali untuk kesehatanmu."
"Bapak berkelakar, saya kira. Barangkali kalau saya kaya seperti Bapak, saya akan berjalan-jalan untuk kesehatan saya. Untuk saya, berjalan ini pekerjaan!"
"Kelihatannya kau kurang sehat. Ada apa?"
Matahachi mengambil segenggam pasir, dan membuangnya sedikit-sedikit bersama angin. Ia maupun Akemi kenal baik dengan pemilik rumah gadai, yang pernah membantu mereka dalam beberapa keadaan darurat.
Tanpa menghiraukan penerimaan Matahachi, orang itu melanjutkan, "Kau tahu, ada yang ingin kubicarakan padamu, tapi belum pernah ada kesempatan. Apa kau akan pergi kerja hari ini?"
"Ah, buat apa repot-repot? Jual semangka itu kan tak boleh disebut penghidupan?"
"Ayo menangkap ikan denganku."
Matahachi menggaruk kepalanya dan menampakkan wajah minta maaf. "Terima kasih, tapi saya betul-betul tak ingin menangkap ikan."
"Nah, kalau kau tak ingin, tak perlu kau menangkap ikan. Tapi ayolah pergi. Nanti kau akan merasa lebih ringan. Di sana itu perahuku. Kau bisa mendayung, kan?"
"Saya kira bisa."
"Ayo pergi. Akan kuceritakan padamu, bagaimana cara mendapatkan uang banyak-barangkali seribu keping emas! Nah, bagaimana pendapatmu?"
Tiba-tiba Matahachi berminat sekali menangkap ikan.
Sekitar seribu meter dari pantai, air masih cukup dangkal, hingga dasarnya dapat disentuh dengan dayung. Sambil menghanyutkan perahu, tanya Matahachi, "Bagaimana cara mendapat uang itu?"
"Sebentar lagi akan kuceritakan padamu." Pemilik rumah gadai memperbaiki letak badannya yang besar sekali di tempat duduk di pinggir perahu. "Ada baiknya kalau kau memegang joran di atas air."
"Kenapa begitu?"
"Lebih baik kalau orang mengira kita memancing. Dua orang berdayung sampai sejauh ini, hanya untuk berbicara, akan kelihatan mencurigakan."
"Kalau begini, bagaimana?"
"Bagus." Pemilik rumah gadai mengeluarkan pipa bermangkuk keramik, mengisinya dengan tembakau mahal, dan menyalakannya. "Sebelum menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku, izinkan aku mengajukan pertanyaan. Apa kata para tetanggamu tentang diriku?"
"Tentang Bapak?"
"Ya, tentang Daizo dari Narai."
"Yah, pemilik rumah gadai mestinya jahat, tapi semua orang mengatakan Bapak ini baik sekali dalam meminjamkan uang. Mereka bilang, Bapak orang yang mengerti kehidupan."
"Yang kumaksud bukan praktek usahaku. Aku ingin tahu pendapat mereka tentang diriku pribadi."
"Mereka berpendapat Bapak orang baik, orang yang punya hati. Saya bukan menjilat Bapak. Memang itulah yang mereka katakan."
"Apa tak pernah mereka berkomentar bahwa aku orang yang religius?"
"Oh, ya, tentu saja. Semua orang kagum melihat kedermawanan Bapak."
"Apa orang-orang dari kantor hakim pernah datang bertanya tentang
aku?"
"Tidak. Buat apa pula?"
Daizo tertawa kecil. "Kukira kau merasa pertanyaan-pertanyaanku ini bodoh, tapi persoalannya adalah aku ini bukan betul-betul pemilik rumah gadai."
"Apa?"
"Matahachi, barangkali kau takkan pernah punya kesempatan lain untuk mendapat uang banyak sekaligus."
"Bapak barangkali benar."
"Nah, kau ingin?"
"Ingin apa?"
"Pohon uang."
"A-apa yang mesti saya lakukan?" "Berjanji padaku dan melaksanakannya." "Cuma itu?"
"Cuma itu. Tapi kalau kau mengubah pikiran kemudian, boleh dibilang
kau mati. Aku tahu kau membutuhkan uang, tapi pikirkan dulu baik-baik,
sebelum kau memberikan jawaban terakhir."
"Lalu apa yang mesti saya lakukan?" tanya Matahachi curiga. "Kau mesti jadi penggali sumur. Cuma itu." "Di Benteng Edo?"
Daizo melayangkan pandang ke teluk. Kapal-kapal berisi bahan bangunan dan mengibarkan bendera beberapa keluarga besar-Todo, Arima, Kato, Date, Hosokawa-berbaris hampir-hampir bersinggung haluan dan buritan.
"Cepat sekali daya tangkapmu, Matahachi." Pemilik rumah gadai itu mengisi kembali pipanya. "Benteng Edo itulah yang justru kupikirkan. Kalau aku tak salah, Umpei sudah sering mendesakmu supaya kau mau menggali sumur. Wajar sekali kalau kau memutuskan menerima tawarannya itu."
"Cuma itu yang mesti saya lakukan?... Bagaimana mungkin menjadi penggali sumur bisa mendapat uang banyak?"
"Sabarlah. Akan kuceritakan semuanya!"
Ketika mereka kembali ke pantai, Matahachi gembira sekali. Mereka berpisah dengan suatu janji. Malam itu ia mesti menyelinap tanpa dilihat orang, dan masuk rumah Daizo untuk menerima panjar tiga puluh keping emas.
Ia pulang, tidur, dan bangun beberapa jam kemudian. Terbayang olehnya uang dalam jumlah besar yang akan segera menjadi miliknya itu menarinari di depan matanya.
Uang yang jumlahnya fantastis itu bisa menebus semua nasib buruk yang dideritanya sampai waktu itu. Dan cukup untuk hidup seterusnya. Tapi yang lebih menggembirakan lagi adalah nantinya ia dapat menunjukkan pada orang banyak bahwa mereka keliru, dan bahwa akhirnya ia toh berhasil.
Terserang oleh demam uang, ia tidak dapat lagi tenang. Mulutnya terasa kering, bahkan sedikit kaku. la keluar, berdiri di jalan kosong yang menghadap rumpun bambu di belakang rumah, dan pikirnya, "Siapa dia sebetulnya? Apa yang mau dilakukannya?" Lalu ia mulai mengingat kembali percakapannya dengan Daizo.
Para penggali sumur waktu itu bekerja di Goshinjo, benteng baru di lingkaran barat. Daizo mengatakan padanya, "Kau mesti menunggu kesempatan, sampai kesempatan itu datang sendiri, dan waktu itulah kau mesti menembak shogun baru itu dengan bedil." Senapan dan amunisinya ada di pekarangan benteng, di bawah pohon lokus besar yang sudah berabad-abad umurnya, dekat gerbang belakang, di kaki Bukit Momiji.
Tak perlu disebutkan lagi, bahwa kaum buruh mendapat pengawasan ketat, tapi Hidetada suka berkeliling dengan para pembantunya, memeriksa pekerjaan. Gampang sekali melaksanakan tujuan itu. Dalam hiruk-pikuk yang kemudian terjadi, Matahachi dapat menyelamatkan diri dengan melompat ke parit luar, dan dari situ para pengikut Daizo akan menyelamatkannya. "Pasti," demikian dikatakannya.
Matahachi kembali ke kamarnya, dan menatap langit-langit. Seolah-olah ia mendengar suara Daizo membisikkan kata-kata tertentu berulang kali, dan teringat olehnya bagaimana bibirnya sendiri bergetar ketika ia mengatakan, "Ya, akan saya lakukan." Dengan bulu roma meremang, ia bangkit berdiri. "Oh, ini mengerikan! Aku akan pergi ke sana sekarang juga, dan mengatakan padanya, tak ingin aku ambil bagian."
Kemudian diingatnya kata-kata lain yang diucapkan Daizo, "Nah, sesudah kuceritakan semua ini padamu, berarti kau sudah terikat. Aku tak suka ada sesuatu terjadi denganmu, tapi kalau kau ingkar, teman-temanku yang akan mengambil kepalamu-paling lama tiga hari." Tatapan mata Daizo yang dingin menusuk waktu mengucapkan kata-kata itu terbayang kembali di mata Matahachi.
Matahachi berjalan menempuh jarak singkat menyusuri Jalan Nishikubo, menuju sudut jalan raya Takanawa, tempat berdirinya rumah gadai. Teluk yang sudah terselimut kegelapan berada di ujung jalan samping. Ia masuki jalan kecil di sisi gudang yang dikenalnya itu, kemudian ia dekati pintu belakang toko yang tidak menarik perhatian itu, dan mengetuk pelan.
"Tidak dikunci," segera terdengar balasannya.
"Daizo?"
"Ya. Aku senang kau datang. Mari masuk gudang."
Sebuah tirai hujan dibiarkan terbuka. Matahachi masuk gang luar dan berjalan mengikuti pemilik rumah gadai itu.
"Duduk," kata Daizo sambil meletakkan lilin di atas peti pakaian panjang dari kayu. Sambil duduk menyilangkan tangan, tanya Daizo, "Kau sudah bertemu Umpei?"
"Ya."
"Kapan dia akan membawamu ke benteng?"
"Lusa. Waktu itu dia mesti membawa sepuluh buruh baru. Dia bilang, saya masuk rombongan itu."
"Jadi, semua sudah beres?"
"Tapi kepala daerah dan lima anggota rukun tetangga masih harus
membubuhkan cap pada dokumen-dokumennya."
"Bukan soal. Kebetulan aku anggota perkumpulan itu."
"Betul? Bapak?"
"Apa yang mengherankan? Aku salah seorang pengusaha berpengaruh di lingkungan ini. Musim semi yang lalu, kepala daerah mendesakku menjadi anggota."
"Oh, saya tidak heran. Saya... saya cuma tidak tahu. Itu saja."
"Ha, ha. Aku tahu betul apa yang kaupikirkan. Menurut pikiranmu, sungguh skandal besar bahwa orang macam aku duduk dalam pengurus yang kerjanya mengurusi lingkungan. Nah, baik kusampaikan saja padamu, kalau kita punya uang, semua orang akan mengatakan kita orang baik. Tak dapat kita menolak menjadi pemimpin setempat, biarpun kita mencobanya. Nah, pikirkan, Matahachi. Tak lama lagi, kau pun akan punya uang banyak."
"Ya-y-ya," kata Matahachi, terbata-bata, tak mampu menekan gemetarnya. "B-b-bapak mau kasih saya panjar sekarang?"
"Tunggu dulu."
Daizo mengambil lilin dan pergi ke bagian belakang gudang. Dari sebuah kotak perhiasan di atas rak, ia hitung tiga puluh keping emas. Ia kembali, dan katanya, "Ada yang bisa kaupakai membungkus?"
"Tidak."
"Pakai ini." Ia pungut gombal katun dari lantai dan la lemparkan pada Matahachi. "Lebih baik kaumasukkan dalam kantong perutmu, dan jaga baik-baik."
"Apa mestinya saya berikan tanda terima?"
"Tanda terima?" kata Daizo, disertai tawa di luar kemauannya. "Astaga, betul-betul orang jujur kau ini! Tidak, aku tak butuh tanda terima. Tapi kalau kau berbuat kekeliruan, kusita kepalamu."
Matahachi mengedip-ngedip, "Saya kira, lebih baik saya pergi sekarang." "Jangan buru-buru. Ada beberapa kewajiban, sesudah kauterima uang itu. Kau ingat semua yang kuceritakan tadi pagi?"
"Ya, ya, ada satu hal. Bapak bilang bedil itu ada di bawah pohon lokus. Siapa yang akan menaruhnya di sana?" Karena menurutnya sukar sekali bagi buruh biasa memasuki pekarangan benteng itu, ia pun heran bahwa ada orang yang dapat menyelundupkan bedil dan amunisinya. Dan bagaimana mungkin orang yang tanpa kekuatan supranatural dapat menguburkan keduanya itu supaya siap dan menanti setengah bulan lamanya dari sekarang?
"Itu bukan urusanmu. Kau cuma mesti melakukan yang sudah kausetujui. Kau gugup sekarang, karena belum biasa dengan jalan pikiran ini. Sesudah beberapa minggu di sana, kau akan biasa."
"Saya harap begitu."
"Pertama, kau mesti membulatkan pikiran bahwa kau dapat menyelesaikan tugasmu. Kemudian kau mesti mencari saat yang tepat."
"Saya mengerti."
"Aku tidak menghendaki kekeliruan. Sembunyikan uang itu, supaya tak seorang pun dapat menemukannya. Dan tinggalkan di situ, sampai sesudah kau melaksanakan misimu. Kalau proyek macam ini gagal, biasanya itu karena uang."
"Jangan kuatir. Saya sudah memikirkan hal itu. Tapi izinkan saya mengajukan satu pertanyaan: bagaimana mungkin saya percaya bahwa sesudah saya melakukan tugas saya, Bapak takkan menolak membayar kelebihannya?"
"Oh! Kedengarannya kata-kataku ini seperti bualan, tapi uang sebetulnya soal yang paling ringan buatku. Boleh kau memuaskan matamu memandangi peti-peti itu." Ia naikkan lilin itu, hingga Matahachi bisa melihat lebih baik. Di seluruh kamar itu terdapat peti-peti-untuk nampan pernis, untuk baju zirah, dan untuk banyak keperluan lain. "Masing-masing peti itu berisi seribu keping emas."
Tanpa memperhatikannya secara teliti, Matahachi berkata dengan nada minta maaf, "Saya tidak menyangsikan janji Bapak, tentu saja."
Percakapan rahasia itu berlangsung sekitar satu jam lagi. Akhirnya, dengan perasaan lebih mantap, Matahachi pulang lewat jalan belakang.
Daizo pergi ke kamar sebelah dan melihat ke dalam. "Kau di situ, Akemi?" panggilnya. "Kupikir dari sini dia akan langsung pergi menyembunyikan uang itu. Lebih baik kauikuti dia."
Sesudah beberapa kali berkunjung ke rumah gadai itu, Akemi terpesona oleh kepribadian Daizo, dan mengungkapkan beban pikirannya kepadanya. Ia mengeluh tentang keadaannya sekarang, dan menyatakan keinginannya untuk mencapai hidup yang lebih baik. Beberapa hari sebelum itu, Daizo sudah mengemukakan bahwa ia membutuhkan seorang perempuan yang akan mengurus rumahnya. Akemi datang ke pintunya pagi-pagi sekali hari itu. Daizo mempersilakan masuk dan minta Akemi jangan kuatir, karena Matahachi akan ia "urus".
Calon pembunuh yang betul-betul tak sadar bahwa dirinya diikuti itu pun kembali pulang. Sambil memegang cangkul, ia naik ke puncak Bukit Nishikubo, lewat belukar di belakang rumah, dan menguburkan kekayaannya di sana.
Selesai melihat semua itu, Akemi melaporkannya kepada Daizo, dan Daizo segera berangkat ke Bukit Nishikubo. Hampir fajar, ia kembali ke gudang dan menghitung keping-keping emas yang baru digalinya. Ia menghitungnya dua kali, tiga kali, dan tak salah lagi. Hanya ada dua puluh delapan keping.
Daizo menggelengkan kepala dan mengerutkan kening. la betul-betul tak suka kalau orang mencuri uangnya.
Bersambung>>>
0 komentar:
Posting Komentar