"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Senin, 13 Agustus 2012

Cerita Novel Musashi Bag. 6



bagian 6


Dataran Hannya



JOTARO berjalan sedih pelan-pelan di belakang gurunya, karena takut setiap langkah yang diambilnya akan semakin mendekatkan mereka kepada maut. Sebelum itu, di jalan yang lembap dan teduh di dekat Todaiji, sebutir embun yang menjatuhi kerahnya hampir saja membuatnya berteriak. Burung-burung gagak hitam yang dilihatnya sepanjang jalan ikut menimbulkan rasa ngeri padanya.

Nara sudah jauh mereka tinggalkan. Lewat baris-baris pohon kriptomeria di sepanjang jalan, mereka dapat melihat dataran yang melandai berombak-ombak menuju Bukit Hannya. Di sebelah kanan, mereka melihat puncak-puncak Gunung Mikasa. Di atasnya langit yang damai.

Bahwa ia dan Musashi sedang berjalan langsung menuju tempat pencegatan para jago tombak Hozoin baginya betul-betul tak masuk akal. Banyak tempat untuk bersembunyi kalau bermaksud demikian. Dapat saja mereka masuk salah satu kuil yang banyak jumlahnya di sepanjang jalan itu dan menanti kesempatan yang baik. Itu sudah tentu lebih masuk akal.

Ingin ia mengetahui, apakah Musashi bermaksud meminta maaf kepada para pendeta itu, sekalipun tak pernah ia berbuat salah kepada mereka. Jotaro sudah memutuskan, kalau Musashi minta maaf pada mereka, ia juga akan berbuat demikian. Sekarang bukan waktunya berdebat tentang siapa yang benar dan siapa yang salah.

"Jotaro!"

Mendengar namanya dipanggil, anak itu terkejut. Alisnya naik ke atas dan tubuhnya jadi tegang. Karena merasa barangkali mukanya pucat akibat takut, dan karena tak ingin kelihatan kekanak-kanakan, ia menatapkan matanya dengan berani ke langit. Musashi memandang ke langit juga, dan anak itu merasa lebih kecil hati lagi.

Ketika Musashi melanjutkan bicaranya, kata-kata yang diucapkannya bernada gembira seperti biasanya. "Nyaman, bukan, Jo? Sepertinya kita sedang berjalan diiringi lagu burung bulbul."

"Apa?" tanya anak itu kaget.

"Burung bulbul, kataku."

"Oh, ya, burung bulbul. Ada beberapa ekor di sekitar tempat ini, kan?" Musashi dapat melihat dari pucatnya bibir anak itu bahwa ia sedih sekali. Ia merasa kasihan. Betapapun, bisa saja dalam beberapa menit lagi tiba-tiba anak itu menjadi sebatang kara di tempat yang asing. "Kita sudah dekat Bukit Hannya, ya?" kata Musashi.

"Betul."

"Nah, lalu apa sekarang?"

Jataro tidak menjawab. Hanya nyanyian burung bulbul dingin saja yang terdengar oleh telinganya. Tak dapat ia mengusir firasat yang dirasakannya bahwa mereka berdua segera akan berpisah untuk selamanya. Mata yang pernah nyalang gembira ketika mengejuti Musashi dengan topeng itu kini tampak gelisah dan sedih.

"Lebih baik kau tinggal di sini," kata Musashi. "Kalau kau jalan terus, kau bisa terluka. Tak ada alasan buatmu untuk membahayakan diri sendiri."

Jotaro pun pecahlah tangisnya. Air mata meleleh di pipinya, seperti bendungan jebol. Punggung tangannya diusapkannya ke mata, dan bahunya menggeletar. Tangisnya ditambah pula dengan sentakan-sentakan kecil, seakan-akan ia sedang tersedak.

"Apa pula ini? Kaubilang mau belajar Jalan Samurai? Kalau nanti aku menerobos dan lari, kau mesti ikut lari ke jurusan yang sama. Kalau aku terbunuh, kau kembali ke toko sake di Kyoto. Tapi sekarang kau pergi ke bukit kecil di sana itu, dan perhatikan dari sana. Dari sana akan tampak segala yang terjadi."

Sesudah mengusap air mata, Jotaro mencengkeram lengan kimono Musashi, dan ucapnya, "Ayo kita lari!"

"Bukan begitu cara samurai bicara! Kau mau jadi yang begitu, ya?"

"Saya takut! Saya tak mau mati!" Dengan tangan gemetar ia menariki lengan kimono Musashi agar kembali. "Pikirkan saya," demikian ia memohon. "Ayolah pergi dari sini, mumpung masih bisa!"

"Kalau kamu bicara seperti itu, aku jadi ingin lari juga. Kamu tak punya orangtua yang akan mengurusmu, seperti aku ketika seumur kamu. Tapi..."

"Kalau begitu, ayolah. Apa yang kita tunggu?"

"Tidak!" Musashi membalikkan badan, dan sambil mengangkangkan kakinya ia menghadapi anak itu. "Aku samurai. Kamu anak samurai. Kita tak akan lari."

Mendengar kepastian dalam nada Musashi itu, Jotaro menyerah dan duduk. Air mata kotor meleleh di pipinya ketika ia menghapus matanya yang merah bengkak dengan kedua tangannya.

"Jangan kuatir!" kata Musashi. "Aku tak mau kalah, aku harus menang! Segalanya akan beres nanti."

Jotaro tidak sedikit pun senang mendengar kata-kata itu. Ia tak dapat percaya sepatah kata pun. Karena tahu bahwa para jago tombak Hozoin itu lebih dari sepuluh orang jumlahnya, ia sangsi apakah Musashi akan dapat mengalahkan mereka satu-satu, apalagi semuanya sekaligus. Apalagi Musashi terkenal sebagai orang lemah.

Musashi sendiri sudah mulai kehilangan kesabaran. Ia suka pada Jotaro dan kasihan kepadanya, tetapi sekarang ini bukan waktunya memikirkan anak-anak. Para jago tombak sudah menanti dengan satu tujuan: membunuhnya. Ia harus siap menghadapi mereka. Jotaro merupakan gangguan baginya sekarang.

Suaranya pun jadi tajam. "Jangan nangis lagi! Kalau begitu kelakuanmu, tak bakal kamu jadi samurai. Kenapa kamu tidak kembali saja ke toko sake itu?" Dengan tegas dan agak keras ditolaknya anak itu.

Jotaro terkena batunya dan tiba-tiba berhenti menangis dan berdiri regak, mukanya kelihatan kaget. Dilihatnya gurunya berjalan terus menuju Bukit Hannya. Ia ingin memanggil, tapi dilawannya dorongan keinginan itu. Sebaliknya ia paksa dirinya tinggal diam beberapa menit lamanya. Kemudian ia berjongkok di bawah sebuah pohon tak jauh dari situ, menutup muka dengan tangan, dan menggeretakkan giginya.

Musashi tidak menoleh, walaupun sedu-sedan Jotaro menggema di telinganya. Ia merasa dapat melihat anak kecil yang malang dan ketakutan itu melalui tengkuknya, dan ia menyesali telah membawanya serta. Melindungi diri sendiri saja sudah lebih dari cukup beratnya; dalam keadaan belum matang seperti sekarang, ia hanya bisa mengandalkan diri kepada pedang dan tak tahu ia apa yang bakal terjadi esok-jadi, apa perlunya teman baginya?

Pohon-pohon mulai menjarang. Ia mendapati dirinya sudah berada di tengah dataran terbuka. Sebuah datarannya agak tinggi dan pegunungan di kejauhan sana. Di jalan yang memecah menuju Gunung Mikasa, seorang lelaki mengangkat tangan menyapanya.

"Hei, Musashi! Mau ke mana?"

Musashi dapat mengenali orang yang datang ke arahnya itu. Dia Yamazoe Dampachi. Walaupun Musashi segera merasa bahwa tujuan Dampachi adalah menjebaknya, namun ia menyambut juga dengan sungguh-sungguh.

Dampachi berkata, "Aku senang bertemu denganmu. Aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menyesali urusan kemarin itu." Nada bicaranya wrlalu sopan, dan selagi bicara jelas ia memperhatikan wajah Musashi sebaik-baiknya. "Kuharap engkau bisa melupakannya. Semua itu kekeliruan."

Dampachi sendiri belum begitu tahu bagaimana harus bersikap terhadap Musashi. Ia memang sangat terkesan oleh apa yang disaksikannya di Hazoin. Ya, mengingat hal itu saja sudah membuat tulang punggungnya dingin. Tapi biar bagaimana, Musashi hanyalah seorang ronin provinsi yang tidak akan lebih dari dua puluh satu atau dua puluh dua tahun umurnya. Dan Dampachi masih jauh dari siap untuk mengakui bahwa orang seumur dan dengan status seperti Musashi itu dapat lebih baik dari dirinya.

"Mau ke mana?" tanyanya lagi.

"Rencananya lewat Iga ke jalan raya Ise. Dan kau?"

"Oh, ada pekerjaan di Tsukigase."

"Kalau tak salah, itu tidak jauh dari Lembah Yagyu?"

"Tidak, tidak jauh."

"Di situlah kuil Yang Dipertuan Yagyu, kan?"

"Ya, dekat Kuil Kasagidera. Engkau mesti pergi ke sana nanti. Yang Dipertuan Muneyoshi sekarang hidup pensiun sebagai ahli upacara minum teh, dan anaknya Munenori ada di Edo, tapi kau mesti singgah di sana dan melihat keadaannya."

"Tak yakin aku bahwa Yang Dipertuan Yagyu mau memberikan pelajaran kepada musafir seperti diriku."

"Ada kemungkinan. Tentu saja lebih baik kalau kau punya pengantar. Kebetulan aku kenal seorang tukang senjata di Tsukigase yang bekerja pada Keluarga Yagyu. Kalau kau suka, aku bisa tanya, apa dia mau memperkenalkanmu."

Dataran itu menghampar luas beberapa mil jauhnya. Garis langit di sana-sini diselingi pohon kriptomeria tunggal atau pinus hitam Cina Namun di sana-sini dataran itu menaik lembut, dan jalan pun ikut naik dan turun. Di dekat kaki Bukit Hannya, Musashi melihat asap api berwarna cokelat mengepul di belakang sebuah bukit rendah.

"Apa itu?" tanyanya.

"Apa yang apa?"

"Asap di sana itu."

Selama itu Dampachi terus menempel di sisi kiri Musashi, dan ketika ia memandang wajah Musashi, wajahnya sendiri mengeras.

Musashi menuding, "Asap di sana itu mencurigakan," katanya. "Apa menurutmu tidak begitu?"

"Mencurigakan? Mencurigakan bagaimana?"

"Yah, mencurigakan, seperti pandangan matamu sekarang ini," kata Musashi tajam. Sekonyong-konyong ia menyapukan jarinya ke tubuh Dampachi.

Bunyi orang bersuit melengking memecahkan kesunyian dataran itu. Dampachi tersengal-sengal terkena hantaman Musashi. Karena perhatiannya tertuju pada jari Musashi, ia tak sadar bahwa Musashi sudah menarik pedangnya. Tubuhnya melambung, melayang ke depan, dan mendarat dengan wajah ke bawah. Dampachi tak akan bangkit lagi.

Dari kejauhan terdengar teriakan tanda bahaya. Dua orang muncul di puncak bukit. Seorang memekik, lalu keduanya memutar badan dan angkat kaki, tangan diacung-acungkan di udara.

Pedang yang ditudingkan Musashi ke tanah berkilauan oleh sinar matahari. Darah segar menetes dari ujungnya. Ia berjalan langsung ke arah bukit itu. Sekalipun angin musim semi bertiup lembut ke kulitnya, Musashi merasa otot-ototnya menegang selagi mendaki. Dari puncak bukit ia melihat ke bawah, ke arah api yang menyala.

"Dia datang!" seru seorang dari kedua orang yang tadi lari menggabungkan diri dengan yang lain-lain. Semuanya ada sekitar tiga puluh orang. Musashi dapat mengenali pengikut Dampachi, yaitu Yasukawa Yasubei dan Otomo Banryu.

"Dia datang!" kata yang lain membeo.

Mereka tadi sedang bermalas-malasan di bawah sinar matahari. Sekarang semua bangkit berdiri. Setengahnya pendeta, dan setengahnya lagi ronin yang sukar dilukiskan. Ketika Musashi tampak, terdengar hiruk-pikuk hebat tanpa kata di tengah gerombolan itu. Mereka melihat pedang yang bernoda darah, dan tiba-tiba sadarlah mereka bahwa pertempuran sudah dimulai. Bukannya menantang Musashi, mereka malah cuma duduk-duduk mengitari api dan membiarkan Musashi yang menantang.

Yasukawa dan Otomo bicara cepat, menjelaskan dengan gerak-gerik cepat, bagaimana Yamazoe sudah terbantai. Ronin itu melolong berang, sementara para pendeta Hozoin menatap Musashi dengan pandangan mengancam. Mereka menyusun diri menghadapi pertempuran.

Semua pendeta itu membawa tombak. Dengan lengan baju hitam tersingsing mereka siap beraksi dengan tekad membalas kematian Agon dan memulihkan kehormatan kuil. Mereka tampak aneh, seperti setan-setan neraka.

Para ronin membentuk setengah lingkaran, hingga mereka dapat menyaksikan pertunjukan itu dan sekaligus mencegah Musashi melarikan diri.

Namun tindakan jaga-jaga itu ternyata tidak perlu, karena Musashi tidak memperlihatkan tanda-tanda akan lari atau mengundurkan diri. Sebaliknya, ia berjalan mantap dan langsung ke arah mereka. Pelan-pelan, langkah demi langkah, ia maju, seakan-akan siap menerkam setiap saat.

Untuk sesaat berkecamuk kesunyian yang menyesakkan. Kedua belah pihak menyadari semakin mendekatnya maut. Wajah Musashi menjadi pucat pasi. Lewat matanya menyorot mata dewa pembalasan dendam, berkilat-kilat penuh kesengitan. Ia sedang memilih korbannya.

Baik kaum ronin maupun kaum pendeta tidak setegang Musashi. Jumlah mereka yang besar memberikan keyakinan, dan optimisme mereka tak tergoyahkan. Namun tak seorang pun ingin menjadi orang pertama yang diserang.

Seorang pendeta di ujung barisan memberikan isyarat, dan tanpa merusak formasi mereka menderas mengepung Musashi dari kanan.

"Musashi! Aku Inshun," seru pendeta itu. "Aku diberitahu bahwa kau datang ketika aku sedang pergi, dan kau membunuh Agon. Lalu kau secara terbuka menghina kehormatan Hozoin. Kau mengejek kami dengan memasang poster-poster di seluruh kota. Benar?"

"Tidak!" seru Musashi. "Kalau kau memang pendeta, kau tidak boleh hanya percaya pada yang kau lihat dan kau dengar. Kau mesti menimbang segala sesuatu dengan pikiran dan jiwamu."

Kata-kata itu seperti menuangkan minyak ke dalam nyala api. Tanpa menghiraukan pemimpinnya, para pendeta mulai berteriak-teriak, menyatakan tak ada gunanya berbicara, dan sudah saatnya kini bertempur.

Mereka didukung penuh semangat oleh kaum ronin yang telah menyusun diri dalam formasi rapat di sebelah kiri Musashi. Sambil memekik-mekik, memaki-maki, dan mengayun-ayunkan pedang ke udara, mereka mendesak para pendeta untuk bertindak.

Karena yakin para ronin cuma bermulut besar dan tak berani berkelahi, Musashi tiba-tiba menghadap mereka dan berseru, "Baik! Siapa di antara kalian akan maju dahulu?"

Kecuali dua-tiga orang, mereka semua mundur selangkah, karena masingmasing yakin bahwa mata setan Musashi mengarah kepadanya. Dua-tiga orang yang berani itu bersiap dengan pedang diacungkan, seraya mengumandangkan tantangan.

Dalam sekejap mata Musashi sudah menerpa seorang di antaranya, seperti jago aduan. Terdengar bunyi seperti letupan sumbat botol, dan tanah pun merah oleh darah. Kemudian terdengar suara mengerikanbukan teriakan perang, bukan kutukan, tetapi lolongan yang benar-benar membekukan darah.

Pedang Musashi mendesing ke sana kemari di udara, sedangkan gaung di dalam tubuhnya sendiri menjadi petunjuk bahwa ia sedang bertumbukan dengan tulang manusia. Darah dan otak berpercikan dari pedangnya. Jari dan tangan berterbangan di udara.

Kaum ronin itu rupanya datang untuk menyaksikan penyembelihan besar-besaran, bukan untuk ambil bagian di dalamnya. Kelemahan mereka telah menyebabkan Musashi menyerang mereka lebih dahulu. Mula-mula sekali mereka merapatkan diri dengan cukup baik, karena menurut pikiran mereka para pendeta akan segera datang menyelamatkan. Tapi ternyata para pendeta itu hanya berdiri diam tak bergerak, sementara Musashi dengan cepat membantai lima atau enam ronin serta membikin kacau yang lain-lain. Tak lama kemudian mereka saling menyerang ke segala jurusan dan saling melukai.

Hampir sepanjang waktu itu Musashi tidak sadar benar, apa yang sedang diperbuatnya. Ia seperti kesurupan, dalam mimpi penuh pembunuhan, di mana tubuh dan jiwanya terpusat hanya pada pedangnya yang semeter panjangnya. Tak disadarinya bahwa seluruh pengalaman hidupnya-mulai dari pengetahuan yang ditempatkan kepadanya oleh ayahnya, sampai pada apa yang dipelajarinya di Sekigahara, teori-teori yang pernah didengarnya di berbagai perguruan seni pedang, serta pelajaran-pelajaran yang diberikan kepadanya oleh pegunungan dan pepohonan-semuanya itu serentak bermain dalam gerak cepat tubuhnya. Ia menjadi tiupan angin pusaran yang menerjang kawanan ronin, yang karena kebingungan menjadi sasaran empuk serangan pedangnya.

Singkatnya pertarungan dihitung salah seorang pendeta dengan tankan dan embusan napasnya. Pertarungan sudah selesai sebelum ia sempat mengambil napas kedua puluh.

Musashi basah kuyup oleh darah korbannya. Beberapa ronin yang masih tinggal pun bermandikan darah kental. Tanah, dan bahkan udara, penuh dengan darah. Seorang di antara mereka menjerit, dan ronin yang masih hidup bertebaran di mana-mana.

Sementara pertarungan berlangsung, Jotaro tenggelam dalam doa. Kedua tangannya terlipat di dada dan matanya tertengadah ke langit. Ia memohon, "Ya, Tuhan yang di surga, bantulah dia! Guruku di dataran sana tak berdaya, karena kalah jumlah. Dia lemah, tapi dia bukan orang jahat. Tolonglah dia!"

Walaupun Musashi memerintahkannya pergi, tak dapat ia pergi. Tempat yang akhirnya dipilihnya untuk duduk, dengan topinya dan topeng di sampingnya, adalah sebuah bukit kecil. Dari situ ia memperhatikan pemandangan di sekitar api di kejauhan itu.

"Hachiman! Kompira! Dewa Kuil Kasuga! Lihat! Guruku langsung menyongsong musuh. Oh, dewa-dewa langit, lindungilah dia. Saat ini dia bukan dirinya. Biasanya dia lunak dan lembut, tapi dia sedikit aneh sejak tadi pagi. Dia tentunya gila. Kalau tidak, tak akan dilayaninya orang sebanyak itu sekaligus! Oh, aku mohon, aku mohon, tolonglah dia!"

Sesudah berseru-seru kepada para dewa seratus kali atau lebih, ia lihat usahanya itu tak ada hasil, dan mulailah ia marah. Akhirnya ia berseru, "Apa sudah tak ada dewa di negeri ini? Apa akan kalian biarkan orangorang jahat menang, dan membiarkan orang baik terbunuh? Kalau memang begitu, semua yang selalu dikatakan orang padaku tentang benar dan salah itu bohong! Kalian tak bisa membiarkan dia terbunuh! Kalau kalian biarkan, akan kuludahi kalian!"

Ketika dilihatnya Musashi terkepung, doa-doanya pun berubah menjadi kutukan yang diarahkannya tidak hanya kepada musuh, tapi juga kepada dewa-dewa sendiri. Kemudian, ketika disadarinya bahwa darah yang tertumpah di dataran itu bukan darah gurunya, mendadak ia mengubah lagu. "Lihat! Guruku ternyata bukan orang lemah! Dia menghajar mereka!"

Itulah pertama kali Jotaro menyaksikan orang bertempur seperti binatang, sampai mati, dan itulah pertama kali ia melihat darah sebanyak itu. la merasa seolah berada di sana, di tengah kancah, dan dirinya cemar juga oleh darah mengental. Hatinya berubah jungkir balik, ia merasa ringan dan pening.

"Lihat dia! Dia bisa melawan! Bukan main serangan itu! Dan lihat pendeta-pendeta tolol itu, yang cuma berbaris seperti gerombolan gagak berkaok-kaok, tetapi takut maju!"

Tapi yang terakhir itu terlalu dini diucapkannya, karena ketika ia mengucapkan itu, para pendeta Hozoin mulai menyerbu Musashi.

"Oh, oh! Gawat kelihatannya. Mereka ramai-ramai menyerang dia. Musashi gawat sekarang!" Lupa akan segalanya, semata-mata karena kecemasannya, Jotaro meluncur seperti bola api ke tengah kancah bencana yang sedang menghampiri itu.

Kepala Biara, Inshun, memberikan perintah menyerang, dan sesaat kemudian para jago tombak itu segera beraksi, diiringi raungan gegap gempita. Senjata mereka yang berkilauan bersuit-suit di udara, sementara para pendeta berpencar seperti tawon yang menghambur dari sarangnya. Kepala mereka yang gundul itu membuat mereka tampak lebih barbar lagi.

Tombak yang mereka bawa berlain-lainan, dan lempeng tombaknya pun sangat berbeda-beda-yang lancip, yang berbentuk kerucut, yang papak, yang berbentuk silang, atau yang bengkok-tiap pendeta menggunakan jenis yang paling disukainya. Hari ini mereka mendapat kesempatan untuk melihat bagaimana teknik-teknik yang mereka asah dalam latihan dapat mereka gunakan dalam perkelahian yang sebenarnya.

Sementara mereka maju menyebar, Musashi melompat mundur dan berdiri siap menantikan serangan muslihat. Letih dan sedikit pusing oleh pertarungan sebelumnya, dicengkeramnya gagang pedangnya erat-erat. Gagang pedang itu lengket oleh darah kental, campuran darah dan keringat mengaburkan pandangannya, tapi ia bertekad untuk mati dengan cemerlang, kalau memang ia harus mati.

Tetapi sungguh ia heran, serangan itu tidak juga datang. Para pendeta bukannya melakukan serangan yang memang dinanti-nantikan itu ke arahnya, melainkan menyerang bekas sekutunya seperti anjing gila. Mereka mengejar para ronin yang telah melarikan diri dan menyerang mereka tanpa kenal ampun, sementara para ronin menjerit-jerit memprotes. Para ronin yang tak menduga itu sia-sia saja mencoba mengerahkan para jago tombak agar melawan Musashi. Mereka diiris, ditusuk, ditikam mulutnya, dibelah dua, atau dibantai, sampai tak seorang pun di antaranya tetap hidup. Pembunuhan besar-besaran itu betulbetul sempurna dan sekaligus menunjukkan sifat haus darah.

Musashi tak percaya akan matanya. Kenapa para pendeta itu menyerang pendukung mereka? Dan kenapa demikian kejam? Baru beberapa saat sebelumnya ia berkelahi seperti binatang liar. Sekarang hampir tak dapat ia menahan diri melihat kebuasan para pendeta itu dalam menyembelih ronin. Setelah sesaat lamanya berubah menjadi seekor binatang yang tak berpikiran, sekarang ia pulih kembali pada keadaannya yang biasa, setelah melihat orangorang lain mengalami perubahan juga. Pengalaman itu membuatnya sadar.

Kemudian sadarlah ia bahwa tangan dan kakinya ditarik-tarik orang. Dan ketika ia melihat ke bawah, tampak olehnya Jotaro sedang mengucurkan air mata puas. Dan untuk pertama kali waktu itu la merasa santai.

Setelah pertempuran berakhir, Kepala Biara mendekatinya, lalu berkata dengan sikap sopan dan mulia, "Tentu Anda Miyamoto. Suatu kehormatan bertemu dengan Anda." Kepala Biara itu jangkung dan berwajah cerah. Musashi agak terpengaruh oleh kehadirannya, juga oleh sikapnya yang tenang. Dengan sedikit bingung ia hapus pedangnya dan la sarungkan, tapi sesaat lamanya tak dapat ia mengucapkan kata-kata.

"Izinkan saya memperkenalkan diri," sambung pendeta itu. "Saya Inshun, Kepala Biara Hozoin."

"Jadi, Andalah ahli tombak itu," kata Musashi.

"Sayang saya tak ada ketika Anda mengunjungi kami baru-baru ini. Saya juga merasa malu bahwa murid saya, Agon, memperlihatkan perkelahian yang demikian jelek."

Menyayangkan perbuatan Agon? Musashi merasa barangkali telinganya perlu dibersihkan. Ia tetap diam sesaat lamanya, karena sebelum ia dapat memutuskan cara yang cocok untuk menjawab nada sopan Inshun itu, ia harus menghapuskan dahulu kekacauan dalam pikirannya. Ia masih belum dapat mengerti kenapa para pendeta itu kemudian melawan para ronin tak dapat ia mencari jawaban yang masuk akal. Ia bahkan sedikit heran bahwa dirinya masih hidup.

"Ayolah," kata kepala biara itu, "bersihkan sebagian darah itu. Anda butuh istirahat." Inshun mengantarnya ke dekat api, sedangkan Jotaro menguntit di belakang.

Para pendeta menyobek-nyobek secarik kain katun lebar menjadi potongan-potongan kecil dan menghapus lembing mereka. Berangsur-angsur mereka semua berkumpul di sekitar api, duduk bersama Inshun dan Musashi, seolah-olah tak suatu pun yang aneh telah terjadi. Dan mereka mulai mengobrol.

"Lihat ke sana," kata seseorang, menunjuk ke atas.

"Aaa, gagak-gagak sudah mencium bau darah. Sudah berkaok-kaok mencari mayat mereka."

"Kenapa burung-burung itu tidak turun?"

"Mereka akan turun nanti, begitu kita pergi. Dan mereka akan berebutan melahap makanan besar itu."

Olok-olok mengerikan itu berlangsung terus dengan nada santai serupa. Musashi memperoleh kesan bahwa ia tak akan mendapatkan keterangan apa pun, kecuali kalau ia bertanya. Ia memandang Inshun, dan katanya, "Tadi saya pikir Anda dan orang-orang Anda datang kemari untuk menyerang saya, dan saya sudah bertekad mengirim sebanyak-banyaknya dari antara Anda sekalian ke negeri orang mati. Tak mengerti saya, kenapa Anda sekalian memperlakukan saya seperti ini."

Inshun tertawa. "Nab, kami memang tak perlu menganggap Anda sekutu, tapi tujuan kami yang sebenarnya hari ini adalah sedikit 'bersih rumah'."

"Anda namakan semua ini 'bersih rumah'?"

"Betul," kata Inshun sambil menuding ke arah kaki langit. "Tapi saya pikir lebih baik kita menanti dan mempersilakan Nikkan menjelaskan pada Anda. Saya yakin titik hitam di tepi dataran itu dia."

Pada saat itu juga, di sisi lain dataran itu berkatalah seorang penunggang kuda kepada Nikkan, "Anda cepat sekali berjalan kalau melihat umur Anda."

"Bukan saya yang cepat. Anda yang lambat."

"Anda lebih gesit daripada kuda."

"Kenapa tidak? Saya lelaki."

Pendeta tua yang berjalan kaki sendiri itu melangkah menyamai para penunggang kuda yang sedang maju ke arah asap api. Kelima penunggang kuda itu pejabat.

Ketika rombongan itu mendekat, para pendeta saling berbisik, "Itu Guru Tua." Mereka membenarkan, mundur mengambil jarak yang sesuai, dan membariskan diri dengan penuh upacara, seakan-akan menghadapi suatu acara suci, untuk menyambut Nikkan dan pengiringnya.

Yang pertama dikatakan Nikkan adalah, "Sudah kalian urus semuanya?"

Inshun membungkuk dan menjawab, "Seperti Bapak perintahkan." Kemudian ia menoleh kepada para pejabat, "Terima kasih atas kedatangan Tuan-tuan."

Para samurai melompat turun satu demi satu dari kuda. Pimpinan mereka menjawab, "Tak apa-apa. Terima kasih, Anda sekalian sudah melaksanakan kerja hebat.... Mari kita periksa, kawan-kawan."

Para pejabat berjalan ke sana kemari memeriksa mayat-mayat dan membuat beberapa catatan. Kemudian pimpinannya kembali ke tempat berdirinya Inshun. "Akan kami kirim kemari orang dari kota untuk membersihkan semua ini. Anda sekalian boleh merasa bebas meninggalkan segalanya ini sebagaimana adanya." Dengan itu kelima orang tersebut menaiki kembali kuda mereka dan pergi.

Nikkan memberitahu para pendeta bahwa tenaga mereka tidak diperlukan lagi. Mereka membungkuk dan meninggalkan tempat itu diam-diam. Inshun mengucapkan selamat tinggal pada Nikkan dan Musashi, lalu meninggalkan tempat itu.

Begitu orang-orang itu berangkat, terdengarlah hiruk-pikuk besar. Burung-burung gagak turun, mengepak-ngepakkan sayap dengan riangnya.

Sambil menggerutu karena bunyi ribut itu, Nikkan berjalan ke sisi Musashi, dan katanya ringan saja, "Maafkan kalau saya sudah melukai hati Anda beberapa hari lain."

"Sama sekali tidak. Bapak sudah berbuat baik sekali. Sayalah yang harus berterima kasih." Musashi berlutut dan membungkuk dalam-dalam di depan pendeta tua itu.

"Bangkitlah," perintah Nikkan. "Padang ini bukan tempat untuk membungkuk."

Musashi bangkit berdiri.

"Apakah pengalaman di sini memberikan pelajaran kepadamu?" tanya pendeta itu.

"Saya bahkan tidak begitu mengerti, apa yang sudah terjadi ini. Apa Bapak dapat menceritakannya pada saya?"

"Dengan senang hati," jawab Nikkan. "Para pejabat yang baru pergi tadi itu bekerja di bawah Okubo Nagayasu yang baru-baru ini dikirim kemari untuk memerintah Nara. Mereka masih asing dengan daerah ini, dan para ronin mengambil keuntungan dari asingnya mereka itu dengan tempat inimencegati musafir yang tak berdosa, memeras, berjudi, melarikan perempuan, memasuki rumah-rumah janda-menimbulkan segala macam kesulitan. Pemerintah tak dapat mengendalikan mereka, tapi mereka sudah tahu bahwa ada sekitar lima belas pentolannya, termasuk Dampachi dan Yasukawa.

"Kau tahu Dampachi dan pengikutnya tak suka padamu. Karena takut menyerangmu sendiri, mereka membuat rencana yang menurut mereka jitu. Para pendeta Hozoin-lah yang berkelahi untuk mereka. Pernyataan-pernyataan fitnah tentang kuil yang dituduhkan padamu itu pekerjaan mereka. Begitulah juga poster-poster itu. Mereka berjanji segalanya akan dilaporkan padaku, agaknya dengan perkiraan aku bodoh."

Mendengar itu Musashi tertawa.

"Maka kupertimbangkan hal itu sebentar," kata Kepala Biara, "dan terpikir olehku, ini kesempatan ideal untuk mengadakan 'bersih rumah' di Nara. Kubicarakan rencana itu dengan Inshun. Dia setuju menjalankan, dan sekarang semua orang pun senang-para pendeta, para pejabat, juga burung-burung gagak itu. Ha, ha!"

Ada satu orang lagi yang senang bukan buatan. Cerita Nikkan itu telah menghapuskan sama sekali segala kesangsian dan rasa takut Jotaro, dan anak itu gembira luar biasa. Ia menyanyikan lagu populer karangannya sendiri, sambil menari-nari seperti burung yang mengepak-ngepakkan sayapnya:

 Bersih rumah, oh, Bersih rumah!

 Mendengar suaranya yang tak dibuat-buat ini, Musashi dan Nikkan menoleh memandangnya. Jotaro waktu itu mengenakan topengnya sambil tersenyum ajaib clan menudingkan pedang kayunya ke tubuh-tubuh yang berserakan. Sambil sekali-sekali melayangkan pukulan ke arah burungburung, ia melanjutkan:

 Ya, ya, burung gagak, Sekali-sekali

Memang perlu bersih rumah

Tidak hanya di Nara.

Memang kebiasaan alam

Membikin baru semuanya.

Supaya musim semi dapat naik dari bumi.

Kami bakar dedaunan.

Kami bakar ladangan.

Terkadang kami butuhkan salju turun.

Terkadang kami butuhkan bersih rumah.

Wahai, kalian, burung gagak!

Berpestalah! Dan memilihlah!

Sop langsung dari ceruk mata.

Juga sake merah pekat.

Tapi jangan  terlalu banyak.

Sebab kalian bisa mabuk.



"Sini, Nak!" seru Nikkan tajam.

"Ya, Pak," Jotaro berdiri diam memandang wajah Kepala Biara.

"Jangan seperti orang tolol. Ambilkan beberapa batu."

"Macam ini?" tanya Jotaro, memungut sebuah batu yang terletak dekat kakinya dan mengacungkannya.

"Ya, macam itu. Ambil yang banyak!"

"Baik, Pak!"

Anak itu mengumpulkan batu-batu. Nikkan duduk dan menuliskan kata-kata Namu Myoho Renge-kyo, doa suci sekte Nichiren, pada tiap batu itu. Kemudian ia berikan batu-batu itu kembali pada anak itu dan ia perintahkan anak itu menyebarkannya di antara mayat-mayat. Sementara Jotaro melakukan suruhannya, Nikkan mengatupkan kedua tangannya dan menyanyikan bagian dari Sutra Bunga Teratai.

Selesai melakukan hal itu, ia menyatakan, "Doa itu akan melindungi mereka. Sekarang kalian berdua bisa jalan terus. Aku kembali ke Nara." Dan sama mendadaknya dengan waktu ia datang, ia pun berangkat dengan kecepatan hebat, seperti kebiasaannya, sebelum Musashi sempat mengucapkan terima kasih atau membuat janji untuk bertemu lagi dengannya.

Sesaat Musashi hanya menatap tubuh yang makin menjauh itu, kemudian tiba-tiba ia melesat mengejarnya, "Bapak Pendeta!" panggilnya. "Apa tak ada yang Bapak lupakan?" Ia menepuk-nepuk pedangnya selagi mengatakan itu.

"Apa?" tanya Nikkan.

"Bapak belum memberikan petunjuk, dan karena tak ada jalan untuk mengetahui kapan kita akan bertemu lagi, saya akan senang jika mendapat sedikit nasihat dari Bapak."

Mulut Kepala Biara yang tak bergigi itu memperdengarkan tawa terbahakbahak yang terkenal itu. "Jadi, kamu belum mengerti?" tanyanya. "Satu satunya yang harus kuajarkan padamu adalah kamu terlalu kuat. Kalau kamu terus juga membanggakan dirimu dengan kekuatanmu, kamu tak akan hidup sampai umur tiga puluh. Hari-hari ini mudah sekali kamu terbunuh. Pikirkan itu, dan putuskan sendiri bagaimana membawa diri nanti."

Musashi diam.

"Kamu sudah melaksanakan sesuatu hari ini, tapi belum baik, sama sekali belum. Karena kamu masih muda, tak dapat aku menyatakan kamu benar, tapi suatu kesalahan besar kalau kamu menyangka Jalan Samurai itu hanya terdiri atas pameran kekuatan.

"Tapi aku sendiri cenderung memiliki kesalahan yang sama, karena itu aku tidak berhak bicara padamu tentang soal ini. Kamu mesti mempelajari jalan yang ditempuh oleh Yagyu Sekishusai dan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise. Sekishusai dulu guruku, dan Yang Dipertuan Koizumi gurunya. Kalau kamu mencontoh mereka dan mencoba mengikuti jalan yang sudah mereka tempuh, kamu bisa mencapai kebenaran."

Suara Nikkan tidak kedengaran lagi. Musashi, yang selama itu memandang ke tanah dan tenggelam dalam pemikiran, menengadah. Pendeta tua itu sudah menghilang.

 

Tanah Perdikan Koyagyu

  

LEMBAH Yagyu terletak di kaki Gunung Kasagi di sebelah timur Laut Nara. Di awal abad ketujuh belas, tempat itu merupakan wilayah kediaman masyarakat kecil yang sejahtera. Ia terlalu besar untuk dilukiskan sebagai kampung semata-mata, namun tidak cukup berpenduduk atau ramai untuk dapat disebut kota. Tentu saja ia dapat disebut Kampung Kasagi, tetapi penduduk tempat itu sendiri menyebutnya Kambe Demesne, sebuah nama yang diwarisi dari zaman tanah perdikan.

Di tengah masyarakat kecil itu berdiri Wisma Utama, sebuah puri yang menjadi lambang kemantapan pemerintah maupun pusat budaya daerah itu. Kubu-kubu batu, yang mengingatkan orang kepada benteng kuno, mengelilingi Wisma Utama. Rakyat wilayah itu, demikian juga nenek moyang Yang Dipertuan, hidup senang di sana semenjak abad kesepuluh. Penguasa yang sekarang seorang tuan tanah desa yang baik. Ia menyebarkan kebudayaan di antara rakyatnya, dan sepanjang waktu siap melindungi wilayahnya dengan taruhan nyawa. Namun, bersamaan dengan itu, secara hati-hati ia menghindari keterlibatan serius dalam perang dan permusuhan antara tuan-tuan feodal di daerah-daerah lain. Singkatnya tempat itu merupakan tanah perdikan yang damai dan diperintah dengan cara yang bagus.

Di sini orang tidak melihat tanda-tanda kekurangan atau kemerosotan moral yang ada hubungannya dengan samurai bebas. Wilayah ini sama sekali tidak mirip dengan Nara, di mana kuil-kuil kuno yang ternama dalam sejarah dan kesusastraan rakyat dibiarkan telantar. Unsur-unsur yang mengganggu tidak dibiarkan memasuki kehidupan masyarakat.

Lingkungan itu sendiri memang tak kenal keburukan. Gunung-gunung dalam jajaran Kasagi tidak kurang indahnya pada waktu senja dibandingkan pada waktu matahari terbit. Airnya murni dan bersih. Orang bilang air itu air ideal untuk membuat teh. Kembang prem Tsukigase tidak jauh turnbuhnya dari tempat itu, dan burung-burung bulbul menyanyi dari musim melelehnya salju sampai musim datangnya angin ribut berguntur. Suaranya sejernih kristal, seperti jernihnya air sungai gunung.

Seorang penyair pernah menuliskan bahwa di tempat lahirnya seorang pahlawan, pegunungan, dan sungai-sungai biasanya segar dan jernih. Jika tak ada pahlawan dilahirkan di Lembah Yagyu, maka kata-kata penyair itu kosong saja kiranya. Tetapi tempat ini memang tempat kelahiran para pahlawan. Tak ada bukti yang lebih meyakinkan daripada para Yang Dipertuan Yagyu sendiri. Di rumah besar itu, para pegawai pun orang-orang bangsawan. Banyak di antara mereka yang asalnya petani, tapi kemudian jadi menonjol karena pertempuran, kemudian menjadi pembantu yang setia dan cakap.

Yagyu Muneyoshi Sekishusai yang kini mengundurkan diri itu berdiam di sebuah rumah pegunungan kecil, tak berapa jauh di belakang Wisma Utama. Ia tidak lagi memperlihatkan minat kepada pemerintahan setempat, dan tidak memedulikan pula siapa yang waktu itu memegang kekuasaan langsung. Ia punya sejumlah anak dan cucu yang terampil, juga pegawai-pegawai yang dapat dipercaya untuk membantu dan membimbing mereka. Selanjutnya ia dapat dengan bebas menganggap bahwa rakyat diperintah dengan sebaik-baiknya, sama dengan ketika ia yang mengurusnya.

Musashi datang ke daerah itu sekitar sepuluh hari sesudah terjadi pertempuran di Dataran Hannya. Di perjalanan ia telah menyaksikan barang-barang peninggalan zaman Kemmu. Ia menginap di penginapan setempat dengan maksud bersantai sementara, baik fisik maupun mental.

Dengan pakaian tidak resmi, pada suatu hari ia keluar berjalan-jalan dengan Jotaro. "Mengagumkan," kata Musashi, sementara matanya mengembara memandang panenan di ladang dan para petani yang sedang bekerja. "Mengagumkan," ulangnya beberapa kali.

Akhirnya Jotaro bertanya, "Apanya yang mengagumkan?" Baginya yang paling mengagumkan adalah kenapa Musashi berbicara sendiri.

"Sejak meninggalkan Mimasaka, aku sudah mengunjungi Provinsi Settsu, Kawachi dan Izumi, Kyoto dan Nara, dan belum pernah aku melihat tempat seperti ini."

"Lalu kenapa? Apanya yang lain?"

"Pertama, di pegunungan ini banyak terdapat pohon."

Jotaro tertawa. "Pohon? Di mana-mana ada pohon. Betul, kan?"

"Ya, tapi di sini lain. Semua pohon di Yagyu ini tua. Ini berarti tidak pernah terjadi perang di sini, tidak ada pasukan musuh yang membakar atau menebangi hutan. Itu berarti juga tidak pernah terjadi kelaparan, setidak-tidaknya untuk waktu yang sangat lama."

"Hanya itu?"

"Tidak. Ladang di sini juga hijau, dan gandum yang baru tumbuh itu diinjak-injak bawahnya baik-baik untuk menguatkan akarnya dan membikin baik tumbuhnya. Dan dengar itu! Apa tidak kau dengar bunyi roda pemintalan? Bunyi itu seperti berasal dari tiap rumah. Dan apa tidak kau lihat bahwa kalau musafir lewat dengan pakaian yang baik, para petani tidak melihatnya dengan perasaan iri?"

"Ada lagi?"

"Seperti kaulihat, banyak gadis muda kerja di ladang. Ini berarti daerah ini makmur, dan hidup di sini normal. Anak-anak tumbuh sehat, orang tua diperlakukan cukup hormat, sedang pemuda dan pemudi tidak pergi ke tempat-tempat lain untuk mencari hidup yang tak menentu. Aku berani bertaruh yang dipertuan daerah ini kaya, sedangkan pedang dan senapan dalam gudang senjata tetap tergosok dan berada dalam keadaan sebaik-baiknya."

"Rasanya tak ada yang istimewa," keluh Jotaro.

"Betul, kukira kau tak akan tertarik."

"Dan lagi, Kakak datang kemari bukan untuk mengagumi pemandangan. Kakak mau melawan samurai dalam Keluarga Yagyu, kan?"

"Berkelahi itu bukan satu-satunya dalam Seni Perang. Orang-orang yang berpikir demikian dan sudah puas hanya karena bisa makan dan punya tempat untuk tidur, sebenarnya cuma gelandangan. Seorang pelajar yang serius jauh lebih berkepentingan melatih pikirannya dan mendisiplinkan semangatnya daripada sekadar mengembangkan keterampilan perang. Ia harus mempelajari segala macam hal—geografi, irigasi, perasaan rakyat, tingkah laku dan adat kebiasaan mereka, hubungan mereka dengan yang dipertuan di wilayah mereka. Dia ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam purl, tidak hanya yang terjadi di luarnya. Pokoknya, dia ingin pergi ke semua tempat yang dapat didatanginya clan mempelajari segala yang dapat dipelajarinya."

Musashi sadar bahwa kuliah ini barangkali hanya sedikit artinya bagi Jotaro, tapi ia merasa perlu bersikap jujur kepada anak itu, dan tidak hanya memberikan jawaban setengah-setengah. Ia tidak memperlihatkan ketidaksabaran mendengar banyaknya pertanyaan anak itu, maka selagi mereka berjalan itu ia terus memberikan jawaban-jawaban yang mengandung pemikiran dan serius.

Sesudah mereka melihat apa-apa yang bisa dilihat di bagian luar Puri Koyagyu, demikian Wisma Utama itu biasanya disebut orang, dan sesudah melihat dengan saksama segala sesuatu di sekitar lembah itu, mereka pulang ke penginapan.

Di tempat itu hanya terdapat sebuah penginapan, tapi penginapan itu besar. Jalan di situ bagian dari jalan raya Iga, dan banyak di antara orangorang yang berziarah ke Kuil Joruriji atau Kasagidera itu menginap di situ. Pada malam hari, sepuluh atau dua belas kuda beban selalu siap tertambat di pohon dekat pintu masuk atau di bawah tepi atap depan.

Pembantu yang mengikuti mereka ke kamar bertanya, "Sudah jalan-jalan, ya?" Kalau tidak melihat obi merahnya, orang bisa menyangkanya anak lelaki, karena ia mengenakan celana pendaki gunung. Tanpa menantikan jawaban lagi ia mengatakan, "Kalau mau, sekarang bisa terus mandi."

Musashi berangkat ke kamar mandi, sedangkan Jotaro yang merasa mendapat teman baru yang seumur dengannya lalu bertanya, "Siapa namamu?"

"Tidak tahu aku," jawab gadis itu. "Gila kamu, tidak tahu nama sendiri."

"Kocha."

"Lucu nama itu," Jotaro tertawa.

"Apanya yang lucu?" tanya Kocha sambil meninju Jotaro.

"Dia pukul aku!" pekik Jotaro.

 Dari pakaian yang terlipat di lantai kamar tamu, Musashi mengetahui bahwa di bak mandi ada orang-orang lain. Ia menanggalkan pakaiannya dan membuka pintu masuk kamar mandi yang beruap. Ada tiga orang sedang berbicara dengan riangnya, tapi ketika melihat tubuh Musashi yang berotot, mereka berhenti bicara, seakan-akan ada unsur asing telah menyerobot ke tengah mereka.

Musashi masuk ke dalam bak mandi umum itu sambil melenguh nikmat. Tubuh yang tingginya 180-an sentimeter itu menyebabkan air panas melimpah. Entah karena apa, hal itu mengejutkan ketiga orang lainnya. Seorang di antaranya langsung menatap Musashi, yang waktu itu sudah menyandarkan kepala ke tepi kolam dan menutup mata.

Berangsur-angsur mereka menyambung kembali percakapan yang terputus. Mereka membasuh diri di luar kolam. Kulit punggung mereka putih dan otot-otot mereka lentur. Agaknya mereka orang kota, karena cara bicaranya halus dan berbau kota.

"Siapa namanya-samurai dari Keluarga Yagyu itu?"

"Kalau tak salah, dia menyebut nama Shoda Kizaemon."

"Kalau Yang Dipertuan Yagyu mengirim pegawai untuk menyampaikan penolakan bertanding, tentunya dia tidak sebaik yang dikatakan orang."

"Menurut Shoda, Sekishusai sudah mengundurkan diri dan tak pernah lagi bertarung. Bagaimana pendapatmu, betul demikian, atau cuma mengarang-ngarang?"

"Ah, kupikir tidak betul. Yang jauh lebih mungkin adalah ketika dia mendengar anak kedua Keluarga Yoshioka menantangnya, dia memutuskan untuk tidak ambil risiko".

"Setidak-tidaknya dia cukup bijaksana dengan mengirim buah dan mengatakan dia berharap kita dapat menikmati persinggahan kita di sini."

Yoshioka? Musashi mengangkat kepala dan membuka mata. Ia sudah mendengar bahwa Denshichiro sedang mengadakan perjalanan ke Ise sewaktu ia singgah di Perguruan Yoshioka. Karenanya Musashi menyimpulkan ketiga orang itu sedang dalam perjalanan pulang ke Kyoto. Salah seorang dari mereka tentunya Denshichiro. Yang manakah?

"Aku kurang beruntung dengan acara mandi rupanya," pikir Musashi sedih. "Pertama, dulu Osugi menjebakku dengan mandi, dan sekarang, tanpa pakaian sama sekali, aku bertemu dengan salah seorang Yoshioka. Dia tentu sudah mendengar tentang apa yang terjadi di perguruannya. Kalau dia tahu namaku Miyamoto, pasti dia keluar dari pintu itu dan kembali seketika dengan pedang."

Tapi ketiga orang itu tidak memperhatikannya. Dari percakapan mereka diketahui, begitu tiba, mereka mengirim surat pada Keluarga Yagyu. Agaknya Sekishusai pernah punya hubungan dengan Yoshioka Kempo, dulu, ketika Kempo menjadi guru para shogun. Tak sangsi lagi, justru karena ini Sekishusai tidak membiarkan anak Kempo pergi tanpa menjawab suratnya, dan karena itu pula ia mengirimkan Shoda untuk melakukan kunjungan kehormatan ke penginapan.

Mengomentari sikap Sekishusai itu, pemuda-pemuda kota tersebut mengatakan bahwa Sekishusai "bijaksana", bahwa ia memutuskan untuk "tidak ambil risiko", dan bahwa ia tidak mungkin "sebaik yang dikatakan orang". Mereka rupanya puas sekali dengan diri mereka, tapi menurut Musashi mereka itu lucu. Berlawanan dengan apa yang sudah ia lihat di Puri Koyagyu dan keadaan penduduk daerah yang membikin iri hati itu, mereka bertiga rasanya tidak memiliki apa pun selain kefasihan bicara.

Hal itu mengingatkannya pada pepatah katak di dasar sumur, yang tak dapat melihat apa yang terjadi di dunia luar. Kadang-kadang ia merasa pepatah itu dapat berlaku sebaliknya. Anak-anak muda manja dari Kyoto ini punya kesempatan melihat apa yang terjadi di pusat segala sesuatu dan mengetahui apa yang terjadi di mana-mana. Tetapi yang terjadi pada mereka adalah: selagi mereka mengawasi lautan terbuka luas, di tempat lain, di dasar sumur yang dalam, ada seekor katak yang dengan mantap tumbuh makin lama makin besar clan kuat. Di sini, di Koyagyu, jauh dari pusat politik dan ekonomi negeri, para samurai tegap berpuluh-puluh tahun lamanya menempuh kehidupan pedesaan yang sehat dengan mempertahankan nilai-nilai kuno, memperbaiki segi-segi mereka yang lemah dan semakin kukuh kelebihannya. '

Bersama dengan berlalunya waktu, Koyagyu menghasilkan Yagyu Muneyoshi, seorang guru besar dalam seni bela diri, dan anaknya Yang Dipertuan Munenori dari Tajima, yang kegagahannya diakui oleh Ieyasu sendiri. Ada juga anak-anak Muneyoshi yang lebih tua, Gorozaemon dan Toshikatsu, yang terkenal di seluruh negeri karena keberaniannya, dan cucunya Hyogo Toshitoshi yang prestasi-prestasi luar biasanya menyebabkan ia dapat menduduki jabatan yang besar gajinya di bawah Jenderal Kato Kiyomasa dari Higo yang termasyhur. Dalam hal kemasyhuran dan nama baik, Keluarga Yagyu belum setara Keluarga Yoshioka. Tetapi dalam hal kecakapan, perbedaan itu hanyalah masa lalu. Denshichiro dan teman-temannya buta karena keangkuhan sendiri. Namun demikian, Musashi merasa sedikit kasihan pada mereka.

Ia pindah ke sudut tempat disalurkannya air ke dalam kamar itu. Ditanggalkannya ikat kepalanya, kemudian diambilnya segenggam tanah liat, dan mulailah ia menggosok kulit kepalanya. Itulah pertama kali selama berminggu-minggu ia bermewah-mewah dengan pencuci rambut yang baik.

Sementara itu, orang-orang Kyoto itu menyelesaikan mandi.

"Uh, enak."

"Memang enak. Bagaimana kalau kita panggil gadis-gadis buat menuangkan sake kita?"

"Gagasan bagus! Bagus, bagus!"

Ketiga orang itu selesai mengeringkan dirt dan pergi. Sesudah mandi, membasuh badan sepenuhnya, dan mengguyur badan lagi dengan air panas, Musashi mengeringkan badan, mengikat rambut, dan kembali ke kamarnya. Di sana ia temukan Kocha yang tampak seperti anak lelaki itu sedang menangis.

"Kenapa kamu?"

"Anak lelaki Tuan itu. Coba lihat, dia pukul saya!"

"Ah, bohong!" teriak Jotaro marah, dari sudut yang lain.

Musashi baru akan memakinya, Jotaro sudah memprotes, "Si tolol ini bilang Kakak lemah."

"Itu tak benar. Saya tidak bilang begitu."

"Kamu bilang!"

"Tuan, saya tidak bilang Tuan atau yang lain itu lemah. Anak bandel ini tadi membual bahwa Tuan pemain pedang terbesar di negeri ini, karena Tuan sudah membunuh berlusin-lusin ronin di Dataran Hannya, tapi saya katakan, di Jepang tak ada yang lebih baik bermain pedang daripada yang dipertuan daerah ini, lalu dia mulai menampar pipi saya."

Musashi tertawa. "Oh, begitu. Memang tak boleh dia melakukan itu, dan aku akan memarahinya. Kuharap kamu memaafkan kami. Jo!" katanya keras.

"Ya, Kak," kata anak itu, yang masih juga mendongkol.

"Pergi mandi sana!"

"Saya tak suka mandi!"

"Aku juga tak suka," kata Musashi bohong. "Tapi kamu begitu berkeringat, sampai bau."

"Saya akan mandi di sungai besok pagi."

Anak itu jadi semakin keras kepala, sesudah makin terbiasa dengan Musashi, tapi Musashi tidak begitu keberatan. Bahkan ia menyukai watak Jotaro itu. Akhirnya anak itu tidak jadi mandi.

Tak lama kemudian Kocha membawakan makan malam dengan baki. Mereka makan tanpa bicara. Jotaro dan pelayan saling pandang, sementara gadis itu menyediakan makanan.

Musashi sibuk memikirkan maksud pribadinya untuk menemui Sekishusai. Melihat kedudukannya yang rendah, barangkali usaha ini terlalu berlebihan, tapi kemungkinan, ya, kemungkinan saja, hal itu bisa.

"Kalau aku beradu senjata dengan seseorang," pikir Musashi, "haruslah dengan orang yang kuat. Ada manfaatnya membahayakan hidup ini, untuk melihat apakah aku dapat mengalahkan Yagyu yang bernama besar itu. Tak ada gunanya mengikuti Jalan Pedang jika aku tak punya keberanian mencoba."

Musashi sadar bahwa kebanyakan orang akan langsung menertawakannya, karena ia punya pikiran seperti itu. Walaupun bukan salah seorang daimyo penting, Yagyu pemilik puri. Anaknya dinas di istana shogun, dan seluruh keluarganya mendalami tradisi kelas prajurit. Di zaman baru yang sedang terbit ini, merekalah yang mengendarai puncak waktu.

"Ini merupakan ujian sejati," pikir Musashi yang sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi pertarungan, sekalipun ia sedang makan nasi.



Bunga Peoni

  

KEMULIAAN orang tua itu tumbuh bersama berlalunya waktu, hingga sekarang ia tak lain dari menyerupai derek megah. Sementara itu, ia mempertahankan penampilan dan tingkah laku samurai berpendidikan baik. Giginya masih lengkap dan matanya tajam luar biasa. "Aku akan hidup sampai seratus tahun," demikian sering kali ia meyakinkan semua orang.

Sekishusai sendiri percaya benar akan hal ini. "Keluarga Yagyu selamanya berumur panjang," demikian ia suka mengatakan. "Yang mati umur dua puluhan dan tiga puluhan biasanya terbunuh dalam pertempuran. Lainnya hidup sampai melebihi enam puluh tahun." Di antara peperangan yang tak terhitung jumlahnya, ia ambil bagian dalam beberapa perang besar, termasuk pemberontakan Miyoshi dan pertempuran-pertempuran yang menandai bangkit dan jatuhnya Keluarga Matsunaga dan Oda.

Sungguhpun misalnya Sekishusai tidak dilahirkan dalam keluarga seperti itu, jalan hidup dan terutama sikapnya setelah ia mencapai umur tua menyebabkan orang percaya bahwa ia akan dapat hidup sampai seratus tahun. Pada umur empat puluh tujuh, karena alasan-alasan pribadi ia memutuskan untuk meninggalkan peperangan. Semenjak itu belum ada yang dapat mengubah tekadnya. Ia menulikan telinga terhadap desakan shogun Ashikaga Yoshiaki, maupun permohonan yang berulang-ulang dari Nobunaga dan Hideyoshi untuk menggabungkan diri dengan mereka. Sekalipun ia hidup hampir dalam bayangan Kyoto dan Osaka, namun ia menolak untuk terlibat dalam pertempuran yang sering terjadi pada pusat-pusat kekuasaan dan intrik itu. Ia lebih suka tinggal di Yagyu, seperti beruang di dalam gua, dan ia merawat tanahnya yang berpenghasilan lima belas ribu gantang itu demikian rupa hingga nanti ia dapat menyerahkannya pada keturunannya dalam keadaan baik. Sekishusai pernah mengatakan, "Aku sudah berbuat sebaik-baiknya dengan berkukuh pada tanah ini. Pada zaman tidak menentu ini, ketika para pemimpin bangkit dan jatuh begitu cepat, hampir tak dapat dipercaya bahwa puri kecil ini berhasil tetap tegak secara lengkap."

Ini tidak dibesar-besarkan. Sekiranya ia dulu membantu Yoshiaki, ia mungkin menjadi korban Nobunaga, dan sekiranya ia dulu membantu Nobunaga, kemungkinan ia bertabrakan dengan Hideyoshi. Sekiranya ia menerima perlindungan Hideyoshi, hak miliknya mungkin dicabut oleh Ieyasu sesudah Pertempuran Sekigahara.

Ketajaman pandangannya yang dikagumi orang banyak itu memang merupakan satu faktor kelebihan, tetapi untuk dapat tetap tegak dalam zaman yang demikian bergolak, Sekishusai harus memiliki kekuatan dalam yang tidak dimiliki oleh samurai biasa pada zamannya. Mereka semua cenderung berpihak pada seseorang di suatu hari dan secara tak kenal malu meninggalkannya pada hari berikutnya, demi kepentingannya sendiri tanpa memikirkan kesopanan ataupun ketulusan—atau bahkan membantai sanak saudara sendiri yang mencampuri ambisi pribadi.

"Aku tak dapat berbuat seperti itu," ujar Sekishusai dengan sederhananya. Dan apa yang dikatakannya itu benar. Namun ia belum meninggalkan Seni Perang itu sendiri. Dalam ceruk kamar duduknya tergantung sajak yang ditulisnya sendiri. Bunyinya:

 Tak ada padaku cara cerdik

Buat menempuh hidup.

Aku hanya mengandalkan diri

Pada Seni perang.

Itu perlindungan terakhirku.

 Ketika diundang Ieyasu untuk mengunjungi Kyoto, mau tak mau Sekishusai merasa harus menerimanya dan keluar dari keterpencilan tenteram yang berpuluh tahun lamanya itu untuk melakukan kunjungan pertama ke istana shogun. Ia membawa serta anaknya yang kelima, Munenori, yang berumur dua puluh empat tahun, dan cucunya Hyogo yang waktu itu baru berumur enam belas. Ieyasu tidak hanya membenarkan prajurit tua yang patut dimuliakan itu dalam hal pemilikan tanah, tetapi memintanya menjadi guru dalam seni perang bagi Keluarga Tokugawa. Sekishusai menolak kehormatan itu dengan alasan umur, dan minta Munenori ditunjuk menggantikannya. Ieyasu setuju.

Warisan yang dibawa Munenori ke Edo itu lebih dari sekadar kecakapan hebat dalam seni bela diri, karena ayahnya juga menurunkan pengetahuan taraf tinggi dalam Seni Perang, yang memungkinkan seorang pemimpin memerintah dengan bijaksana.

Menurut Sekishusai, Seni Perang memang alat untuk memerintah rakyat, tetapi ia pun alat untuk mengendalikan diri. Ini dipelajarinya dari Yang Dipertuan Koizumi, yang sering dinamakan dewa pelindung rumah tangga Yagyu. Surat keterangan yang diberikan kepadanya oleh Yang Dipertuan Koizumi untuk membuktikan penguasaannya atas ilmu pedang Gaya Shinkage, selalu disimpan di sebuah rak kamar Sekishusai bersama empat jilid buku pegangan teknik militer yang dihadiahkan kepadanya oleh Yang Dipertuan. Pada ulang tahun meninggalnya Yang Dipertuan Koizumi, Sekishusai tak pernah lupa menghaturkan persembahan makanan bagi semua harta milik yang sangat berharga itu.

Di samping gambaran tentang teknik-teknik pedang tersembunyi Gaya Shinkage, buku pegangan itu berisi gambar-gambar ilustrasi, semuanya hasil tangan Yang Dipertuan Koizumi sendiri. Bahkan dalam masa pensiunnya pun, Sekishusai senang membuka-buka gulungan itu dan memeriksa isinya. Tidak henti-hentinya ia merasa kagum dapat menemukan betapa terampil gurunya memainkan kuas. Gambar-gambar itu menunjukkan orang-orang yang sedang bertarung dan bermain pedang dalam segala posisi dan langkah yang mungkin. Apabila Sekishusai memandang gambar-gambar itu, ia merasa para pemain pedang itu turun dari langit dan bergabung dengannya di rumah pegunungan yang kecil itu.

Yang Dipertuan Koizumi pertama kali datang ke Puri Koyagyu ketika Sekishusai berumur tiga puluh tujuh atau tiga puluh delapan tahun dan masih meluap-luap ambisi militernya. Yang Dipertuan bersama dua kemenakannya, Hikida Bungoro dan Suzuki Ihaku waktu itu sedang mengembara mencari ahli seni perang, dan pada suatu hari ia tiba di Hozoin. Itulah zaman ketika In'ei sering kali berkunjung ke Puri Koyagyu, dan In'ei pun menyampaikan pada Sekishusai tentang tamu itu. Itulah permulaan hubungan mereka.

Sekishusai dan Koizumi melakukan pertandingan tiga hari berturut-turut. Dalam pertandingan pertama Koizumi menyebutkan di mana ia akan menyerang, dan mulailah ia bertanding tepat sesuai yang dikatakannya.

Hari kedua terjadi hal yang sama. Karena harga dirinya terluka, pada hari ketiga Sekishusai memusatkan usahanya pada cara baru.

Melihat langkah baru itu, Koizumi hanya mengatakan, "Oh, itu tak bisa. Kalau Anda melakukan itu, saya akan melakukan ini." Tanpa berpanjang-panjang lagi ia pun menyerang dan mengalahkan Sekishusai untuk ketiga kalinya. Sejak hari itu Sekishusai meninggalkan pendekatan congkak atas ilmu pedang. Kemudian diingatnya bahwa pada kesempatan itulah pertama kali ia melihat Seni Perang sejati.

Atas desakan kuat Sekishusai, Yang Dipertuan Koizumi tinggal di Koyagyu selama enam bulan, dan selama itu Sekishusai belajar sepenuh hati bak seorang yang baru mulai. Ketika akhirnya mereka berpisah, Yang Dipertuan Koizumi mengatakan, "Jalan ilmu pedang saya masih belum sempurna. Anda masih muda, dan Anda mesti mencoba mengusahakannya sampai sempurna." Kemudian ia memberi Sekishusai sebuah teka-teki Zen: "Apakah artinya main pedang tanpa pedang?"

Bertahun-tahun lamanya Sekishusai merenungkannya, meninjaunya dari segala penjuru, dan akhirnya sampai pada jawaban yang memuaskan dirinya.

Ketika Yang Dipertuan Koizumi datang lagi berkunjung, Sekishusai menyambutnya dengan mata jernih tak terusik, dan menyarankan agar mereka bertanding. Yang Dipertuan memperhatikannya dengan saksama sesaat lamanya, kemudian katanya, "Jangan, akan sia-sia saja. Anda sudah menemukan kebenaran."

Kemudian ia menghadiahi Sekishusai surat keterangan dan buku pegangan empat jilid itu. Dengan ini lahirlah Gaya Yagyu. Pada gilirannya hal itu melahirkan cara hidup damai Sekishusai di umur tuanya.

Sekishusai tinggal di rumah pegunungan karena ia tidak lagi menyukai puri yang mencolok dengan segala hiasannya yang rumit itu. Sekalipun ia mencintai hidup mengasingkan diri menurut ajaran Tao, namun ia senang mendapat teman gadis yang dibawa Shoda Kizaemon untuk bermain suling baginya, karena gadis itu penuh perhatian, sopan, dan tidak pernah mengganggu. Tidak hanya dalam permainan suling ia amat menyenangkan, gadis itu juga menambahkan sentuhan kemudaan dan kewanitaan yang menyenangkan bagi rumah tangganya. Sekali-sekali gadis itu mengatakan hendak pergi dari situ, tetapi ia selalu memintanya tinggal sedikit lebih lama.

Sambil mengatur letak terakhir bunga peoni tunggal yang dimasukkannya dalam jambangan buatan Iga, Sekishusai bertanya kepada Otsu, "Bagaimana pendapatmu? Apa susunan bungaku cukup hidup?"

Otsu yang berdiri di belakang orang tua itu berkata, "Bapak tentunya pernah belajar keras merangkai bunga."

"Sama sekali tidak. Aku bukan bangsawan Kyoto, dan tak pernah aku belajar merangkai bunga atau upacara minum teh dengan pimpinan seorang guru."

"Tapi kelihatannya Bapak pernah belajar."

"Cara yang kugunakan untuk bunga sama dengan cara untuk pedang." Otsu tampak terkejut. "Apa betul Bapak menyusun bunga seperti menggunakan pedang?"

"Ya, Mengerti tidak, semua itu cuma soal semangat. Aku tidak menggunakan peraturan-misalnya bagaimana memilih bunga-bunga itu dengan ujung jari atau mencekiknya di leher. Soalnya cuma bagaimana menunjukkan semangat sewajarnya-bagaimana membuatnya tampak hidup, sama seperti waktu dipetik. Lihat itu! Bungaku sama sekali tidak mati."

Otsu merasa orang tua yang cermat ini telah mengajarkan banyak hal yang perlu ia ketahui, dan karena semua itu hanya diawali oleh pertemuan kebetulan saja di jalan raya, ia merasa sangat beruntung. "Akan kuajarkan padamu upacara minum teh," demikian katanya. Atau, "Bisa kau membuat sajak Jepang? Kalau bisa, coba ajarkan padaku gaya sajak istana. Man'yoshu memang bagus dan apik, tapi hidup di tempat terpencil ini, aku lebih suka mendengar sajak-sajak sederhana tentang alam."

Sebagai gantinya, gadis itu melakukan hal-hal kecil baginya, yang tak terpikirkan oleh orang lain. Misalnya ia senang sekali ketika gadis itu membuatkannya topi kain kecil seperti yang biasa dipakai tukang teh. Kini hampir sepanjang waktu ia mengenakan topi itu dan sangat menghargainya, seakan-akan tak ada barang yang lebih dari itu di mana pun. Permainan suling gadis itu pun sangat menyenangkan hatinya. Pada malam-malam terang bulan, bunyi sulingnya yang indah mengalun itu sering kali terdengar sampai ke puri.

Selagi Sekishusai dan Otsu bicara tentang susunan bunga, diam-diam Kizaemon datang di pintu masuk rumah pegunungan itu dan memanggil Otsu. Otsu keluar dan mempersilakan Kizaemon masuk, tapi Kizaemon ragu-ragu.

"Tolong sampaikan kepada Yang Dipertuan, aku baru saja kembali dari menjalankan perintah," katanya.

Otsu tertawa. "Oh, ini namanya terbalik."

"Kenapa?"

"Tuan kan abdi utama di sini. Saya cuma orang luar yang diundang bermain suling. Tuan jauh lebih dekat kepada beliau daripada saya. Apa tidak lebih baik Tuan menghadap langsung kepada beliau daripada lewat saya?"

"Kukira pendapatmu itu betul, tapi di rumah kecil ini kamu orang khusus. Sudahlah, sampaikan kepada beliau." Kizaemon senang dengan perubahan yang terjadi di situ. Ia melihat Otsu sangat disukai tuannya.

Hampir seketika itu juga Otsu kembali untuk mengatakan bahwa Sekishusai minta Kizaemon masuk. Kizaemon mendapati orang tua itu di kamar teh, mengenakan topi kain buatan Otsu.

"Jadi, kamu sudah kembali?" tanya Sekishusai.

"Ya. Saya sudah mendatangi mereka dan menyampaikan surat dan buah itu kepada mereka, seperti Tuan perintahkan.

"Apa mereka sudah pergi?"

"Belum. Begitu saya kembali di sini, seorang utusan datang dari penginapan, membawa surat. Isinya, karena mereka telah datang di Yagyu ini, tak hendak mereka pergi sebelum melihat dojo. Kalau mungkin, mereka akan datang besok. Mereka juga mengatakan ingin bertemu dengan Tuan dan menyatakan hormat mereka."

"Lancang benar orang tak tahu adat itu! Kenapa pula mereka begitu mengganggu?" Sekishusai tampak jengkel sekali. "Apa sudah kamu jelaskan bahwa Munenori ada di Edo, Hyogo di Kumamoto, dan tidak ada orang sama sekali di sini?"

"Sudah."

"Aku benci orang seperti itu. Sudah kukirim orang, menyatakan tak bisa menerima mereka, mereka tetap saja memaksa."

"Saya tak tahu apa..."

"Tampaknya anak-anak Yoshioka itu memang tak becus seperti yang dikatakan orang."

"Yang ada di Wataya itu Denshichiro. Bagi saya dia memang tidak mengesankan."

"Oh, aku heran kalau dia mengesankan. Ayahnya memang orang yang punya watak. Ketika aku pergi ke Kyoto bersama Yang Dipertuan Koizumi, kami bertemu dia dua-tiga kali dan minum sake bersama-sama. Kelihatannya keluarga itu merosot terus sejak itu. Orang muda itu rupanya menyangka karena dia anak Kempo, dia punya hak untuk tidak ditolak masuk sini, karena itu dia mendesakkan terus tantangannya. Dari sudut pandang kita, tak ada artinya menerima tantangannya, kemudian membiarkannya pergi membawa kekalahan."

"Denshichiro ini rupanya terlalu percaya diri. Kalau dia memang ingin sekali datang, barangkali saya sendiri yang akan melayani."

"Tidak, berpikir seperti itu saja pun jangan. Anak-anak orang terkenal itu biasanya terlalu tinggi menilai dirinya. Lagi pula, mereka itu cenderung mencoba dan memutar balik segala sesuatu untuk keuntungan sendiri. Kalau kamu hendak mengalahkannya, kamu mesti mengerti bahwa dia pasti akan mencoba menghancurkan nama baik kita di Kyoto. Tentang diriku, tak ada persoalan, tapi tak ingin aku membebani Munenori atau Hyogo dengan hal seperti itu."

"Kalau begitu, apa yang hendak kita lakukan?"

"Yang terbaik adalah kalau kita mencoba meredakan hatinya dan membuatnya merasa bahwa dia diperlakukan sesuai perlakuan terhadap anak satu keluarga besar. Barangkali keliru mengirim orang lelaki untuk bertemu dengannya." Sambil mengalihkan pandangan kepada Otsu, ia melanjutkan, "Kupikir perempuan lebih baik. Otsu kemungkinan orang yang tepat untuk itu."

"Baik," kata Otsu. "Apa saya mesti pergi sekarang?"

"Tidak, tak usah buru-buru. Besok pagi saja."

Sekishusai cepat menulis sepucuk surat sederhana, seperti surat yang ditulis seorang ahli upacara minum teh, dan menyerahkannya kepada Otsu, disertai sekuntum bunga peoni seperti yang ia susun dalam jambangan. "Berikan ini padanya, dan katakan kamu datang mewakili aku karena aku sedang pilek. Mari kita lihat apa jawabnya."



Pagi berikutnya Otsu mengenakan kerudung panjang. Walaupun kerudung sudah tidak model lagi di Kyoto, bahkan juga di lapisan masyarakat yang lebih tinggi, namun perempuan-perempuan kelas atas dan menengah di daerah masih menghargainya.

Di kandang kuda yang terletak di pekarangan luar puri itu, Otsu meminjam kuda.

Tukang kuda yang sedang sibuk bersih-bersih bertanya, "Oh, kamu pergi, ya?"

"Ya, saya harus pergi ke Wataya, disuruh Tuan."

"Saya temani?"

"Tak usah."

'Tak apa-apa?"

'Tentu saja tidak. Saya suka kuda. Kuda-kuda yang dulu biasa saya naiki di Mimasaka masih liar, atau hampir-hampir liar."

Ketika Otsu berkuda, kerudung cokelatnya yang kemerahan mengapung wrtiup angin di belakangnya. Ia dapat mengendarai kuda dengan baik; dengan sebelah tangan ia memegang surat dan bunga peoni yang sudah sedikit layu, dan dengan tangan lain mengendalikan kuda dengan terampilnya. Para petani dan pekerja di ladang melambaikan tangan kepadanya, karena dalam waktu yang singkat di sana itu Otsu sudah cukup dikenal oleh rakyat setempat. Memang, hubungan mereka dengan Sekishusai jauh lebih bersahabat daripada yang biasa terjadi antara tuan tanah dan para petani. Para petani di situ semuanya tahu bahwa seorang perempuan muda yang cantik datang untuk bermain suling bagi tuannya. Kekaguman serta rasa hormat kepadanya pun menjalar kepada Otsu.

Sesampai di Wataya, Otsu turun dan menambatkan kudanya ke pohon di halaman.

"Selamat datang!" kata Kocha menyambutnya. "Mau menginap?"

"Tidak, saya datang dari Puri Koyagyu membawa surat untuk Yoshioka Denshichiro. Dia masih di sini, bukan?"

"Silakan tunggu sebentar."

Dalam waktu singkat selama ditinggalkan Kocha itu, Otsu telah membikin suasana jadi sedikit hiruk di antara para musafir, yang waktu itu sibuk mengenakan legging dan sandal serta mengikatkan bawaannya ke punggung.

"Siapa itu?" tanya seorang.

"Menurutmu siapa yang akan dia temui?"

Kecantikan Otsu, dan keelokannya yang anggun dan jarang ditemui orang di pedesaan, membuat para tamu yang hendak pergi berbisik-bisik dan menatapnya dengan penuh perhatian, sampai kemudian ia mengikuti Kocha dan menghilang dari pandangan.

Denshichiro dan teman-temannya baru saja bangun, karena malam harinya mereka minum sampai larut. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa seorang utusan telah datang dari puri, mereka menyangka utusan itu adalah orang yang datang hari sebelumnya. Melihat Otsu membawa bunga peoni putih, mereka pun terkejut.

"Oh, maaf. Kamarnya berantakan."

Dengan wajah amat menyesal mereka meluruskan kimono dan duduk baik-baik, bersimpuh sedikit kaku.

"Silakan masuk, silakan masuk."

"Saya datang kemari diutus oleh Yang Dipertuan Puri Koyagyu," kata Otsu sederhana, sambil meletakkan surat dan bunga peoni itu di hadapan Denshichiro. "Saya persilakan membaca surat ini sekarang juga."

"Ah, ya.., ini suratnya? Ya, saya baca."

Ia membaca gulungan yang tidak lebih dari sekaki panjangnya itu. Surat ditulis dengan tinta tipis dan menyebarkan sedikit bau teh. Bunyinya: Maafkan saya, karena telah mengirimkan salam lewat surat dan bukannya menjumpai Anda sendiri, tapi sayang sekali saya sedang sedikit pilek. Saya pikir sekuntum bunga peoni yang putih bersih akan lebih menyenangkan bagi Anda daripada hidung ingusan seorang tua. Saya kirimkan bunga ini lewat tangan sekuntum bunga pula, dengan harapan bahwa Anda akan menerima maaf saya. Tubuh saya yang sudah sangat tua ini kini berada di luar kehidupan sehari-hari. Saya sangsi akan memperlihatkan muka. Mudah-mudahan Anda dapat tersenyum maklum kepada orang tua ini.

Denshichiro mendengus jijik dan menggulung surat itu. "Hanya ini?" tanyanya.

"Tidak, beliau juga mengatakan, meskipun ingin minum teh dengan Anda, beliau ragu-ragu mengundang Anda datang ke rumah, karena tak ada orang lain di sana kecuali prajurit-prajurit yang tak kenal enaknya teh. Karena Munenori berada di Edo, beliau merasa suguhan teh akan terasa kasar, sehingga bisa menimbulkan tawa di bibir orang-orang ibu kota kekaisaran. Beliau minta saya menyampaikan maaf kepada Anda, dan menyampaikan kepada Anda pula bahwa beliau berharap bertemu dengan Anda pada kesempatan lain nanti."

"Ha, ha!" ucap Denshichiro seraya memperlihatkan wajah curiga. "Kalau benar penangkapan saya, Sekishusai mengira yang kami inginkan adalah menyaksikan indahnya upacara minum teh. Terus terang saja, karena kami berasal dari keluarga samurai, kami tak tahu apa-apa tentang teh. Maksud kami sebenarnya adalah menanyakan secara pribadi kesehatan Sekishusai dan membujuk beliau untuk memberikan pelajaran ilmu pedang pada kami."

"Beliau mengerti benar soal itu, tentu saja. Tapi beliau sekarang sedang menghabiskan umur tuanya dengan menyendiri, dan kini beliau punya kebiasaan mengungkapkan banyak buah pikirannya dengan istilah-istilah upacara minum teh."

Dengan sikap muak yang tampak jelas sekali, Denshichiro menjawab, "Yah, beliau tidak memberikan pada kami pilihan lain kecuali menerima. Tolong sampaikan pada beliau, bahwa kalau kami datang lagi nanti, kami ingin bertemu dengan beliau." Dan dikembalikannya bunga peoni itu kepada Otsu.

"Anda tak suka ini? Beliau merasa bunga ini akan menggembirakan dalam perjalanan. Beliau mengatakan Anda dapat menggantungkannya di sudut joli Anda, atau kalau Anda naik kuda, menggantungkannya di sadel."

"Beliau maksudkan ini sebagai tanda mata?" Denshichiro menundukkan mata seakan-akan terhina, kemudian dengan wajah masam ia berkata, "Aneh! Sampaikan pada beliau, kami punya peoni sendiri di Kyoto!"

Kalau memang demikian perasaannya, tak ada gunanya mendesaknya menerima hadiah itu, demikian kesimpulan Otsu. Dengan janji akan menyampaikan pesan itu, Otsu meninggalkan tempat itu dengan berat, seberat kalau ia mesti membuka perban dari luka yang terbuka. Karena marah, tuan-tuan rumah itu hampir tidak melihat kepergian Otsu.

Begitu sampai di lorong rumah, Otsu tertawa pelan sendiri. Dipandangnya lantai hitam mengkilat yang menuju kamar tinggal Musashi, lalu ia membelok ke jurusan lain.

Kocha keluar dari kamar Musashi dan berlari mengejarnya.

“Mau pulang?” tanyanya.

“Ya, sudah selesai urusan saya.”

“Oh, cepat sekali, ya?” Melihat tangan Otsu, ia bertanya, “Apa itu bunga peoni? Saya baru tahu ada yang putih warnanya.”

“Ya. Ini dari halaman puri. Boleh ambil kalau kamu suka.”

”Oh, mau,” kata Kocha sambil mengulurkan tangan.

Sesudah berpisah dengan Otsu, Kocha pergi ke petak pembantu dan memperlihatkan bunga itu pada semua orang di sana. Karena tak seorang pun mengaguminya, dengan kecewa ia kembali ke kamar Musashi.

Musashi duduk di jendela sambil bertopang dagu. Ia memandang ke arah puri dan berpikir keras tentang tujuannya: bagaimana caranya agar, pertama, ia dapat bertemu dengan Sekishusai, dan kedua, mengalahkannya dengan pedang.

“Tuan suka bunga?” tanya Kocha ketika masuk.

“Bunga?”

Dan ditunjukkannya bunga peoni itu.

“Hmm, bagus ini.”

“Tuan suka?”

“Ya.”

“Ini namanya peoni, peoni putih.”

“Betul? Kenapa tidak kamu masukkan jambangan di sana itu?”

“Saya tak bisa menyusun bunga. Tuan saja yang menyusun.”

“Tidak, kamu saja. Lebih baik menyusunnya tanpa berpikir bagaimana jadinya.”

“Baik, saya akan ambil air,” kata Kocha sambil membawa jambangan itu keluar.

Secara kebetulan mata Musashi tertuju pada pangkal batang peoni yang terpapas. Kepalanya miring terkejut, walaupun belum dapat ia memastikan apa gerangan yang memikat perhatiannya itu.

Minat yang hanya sambil lalu itu telah berubah menjadi pemikiran asyik ketika Kocha kembali. Kocha meletakkan jambangan dalam ceruk kamar dan mencoba memasukkan bunga itu ke dalamnya, tapi kurang berhasil.

“Batangnya terlalu panjang,” kata Musashi. “Bawa kemari, biar kupotong. Nanti kalau kamu dirikan, akan tampak pantas.

Kocha membawa bunga itu dan menyampaikannya kepada Musashi. Belum lagi sadar akan apa yang terjadi, ia sudah melepaskan bunga itu dan mencucurkan air mata. Sungguh ajaib, karena dalam sekejap mata Musashi sudah menghunus pedang pendeknya, memekik keras, memotong pangkal bunga yang ada di antara kedua tangan Kocha, dan memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya. Bagi Kocha, kilas baja dan bunyi pedang yang mendetak masuk kembali ke dalam sarungnya itu seakan-akan terjadi serentak.

Tanpa mencoba menghibur gadis yang ketakutan itu, Musashi memungut potongan batang bunga yang telah diirisnya dan mulai membandingkan ujungnya dengan ujung yang lain. Ia tampak tenggelam sepenuhnya di situ. Akhirnya, ketika melihat gadis yang kebingungan itu, ia minta maaf dan membelai-belai kepalanya.

Selesai membujuk gadis itu agar tidak menangis lagi, ia bertanya, "Kamu tahu, siapa yang memotong bunga ini?"

"Tidak. Bunga ini pemberian orang."

"Siapa yang memberi?"

"Orang dari puri."

"Salah seorang samurai itu?"

"Tidak, seorang perempuan muda."

"Mm. Lalu kamu pikir bunga itu dari puri?"

"Ya, dia yang mengatakan."

"Maaf aku sudah bikin kamu takut tadi. Kalau kubelikan kamu kue nanti, mau kamu memaafkan aku? Biar bagaimana, bunga sudah bisa disusun sekarang. Coba masukkan dalam jambangan."

"Begini?"

"Ya, bagus itu."

Sebenarnya Kocha menyukai Musashi, tapi kilasan pedangnya itu membikin tubuhnya dingin sampai ke tulang sumsum. Ia meninggalkan kamar itu dan tak ingin kembali sampai tugas benar-benar memaksanya.

Musashi jauh lebih terpesona oleh potongan batang bunga yang delapan inci panjangnya itu daripada oleh bunga di ceruk kamar. Ia yakin potongan yang pertama tidak dibuat dengan gunting atau pisau. Batang bunga peoni itu lentur dan luwes, maka potongan itu hanya mungkin dilakukan dengan pedang, dan hanya hantaman yang sangat mantap saja dapat membuat irisan yang demikian bersih. Siapa pun yang telah melakukannya, bukanlah orang biasa. Sekalipun ia sendiri baru saja mencoba meniru potongan itu dengan pedangnya, waktu kedua ujung potongan itu dibandingkan, segera ia sadar bahwa potongan yang dilakukannya masih kalah jauh. Perbedaannya seperti patung Budha hasil ukiran ahli dan patung buatan tukang kebanyakan saja.

Ia bertanya pada diri sendiri, apa gerangan makna yang tersembunyi di situ. "Jika seorang samurai yang bekerja di kebun puri dapat melakukan potongan seperti itu, maka taraf Keluarga Yagyu tentunya lebih tinggi lagi daripada yang kuduga."

Dan tiba-tiba saja keyakinan dirinya buyar. "Aku sama sekali belum siap."

Namun selangkah demi selangkah ia pulih kembali dari perasaan itu. "Bagaimanapun, orang-orang Yagyu itu lawan yang layak. Kalaupun aku kalah nanti, aku dapat menjatuhkan diri ke kaki mereka dan menerima kekalahan dengan keanggunan. Aku toh sudah memutuskan bersedia menghadapi apa pun, termasuk mati." Sementara duduk memanas-manaskan keberaniannya, ia merasa dirinya jadi tambah bersemangat.

Tapi bagaimana ia bisa melakukannya? Biarpun seorang siswa sudah datang di ambang pintunya dan memperkenalkan diri baik-baik, belum tentu Sekishusai setuju bertanding. Pemilik penginapan itu cukup banyak bercerita. Dan karena Munenori maupun Hyogo tak ada di rumah, tak ada lagi yang mesti ditantang kecuali Sekishusai sendiri.

Sekali lagi ia mencoba mencari jalan untuk memperoleh izin masuk purl. Pandangan matanya kembali ke bunga di dalam ceruk kamar. Mulailah terbentuk di hadapan matanya bayangan seseorang, karena secara tak sadar ia diingatkan oleh bunga itu. Memandang wajah Otsu dalam mata pikirannya itu menenangkan semangatnya dan menyejukkan sarafnya.

Otsu sendiri sedang dalam perjalanan pulang ke Puri Koyagyu, ketika tiba-tiba didengarnya pekikan parau di belakangnya. Ia menoleh, dan kelihatan olehnya seorang anak muncul dari rumpun pohon di kaki sebuah batu karang. Anak itu jelas datang untuk menemui Otsu, tapi karena anak-anak di wilayah itu terlampau pemalu untuk menyapa seorang perempuan muda seperti dirinya, maka Otsu sengaja menghentikan kudanya, sekadar untuk memenuhi keingintahuannya.

Jotaro telanjang bulat. Rambutnya basah dan pakaiannya digulung bulat terkepit di ketiaknya. Tanpa malu, walaupun telanjang, ia berkata, "Anda kan Kakak yang main suling itu. Apa Kakak masih tinggal di sini?" Ia memandang kuda Otsu dengan sikap tak suka, kemudian langsung memandang Otsu.

"Kamu!" seru Otsu, sebelum akhirnya memalingkan muka karena malu. "Anak kecil yang menangis di jalan raya Yamato itu."

"Menangis? Saya tidak menangis!"

"Ya sudahlah. Sudah berapa lama kamu di sini?"

"Baru kemarin datang."

"Sendiri?"

"Tidak, dengan guru saya."

"O ya, betul. Kamu bilang sedang belajar seni pedang, kan? Lalu kenapa pakaianmu kamu tanggalkan?"

"Mana mungkin saya terjun ke sungai dengan pakaian lengkap?"

"Sungai? Tapi air sungai tentunya sedang membeku sekarang. Orang di sini bisa tertawa mendengar orang berenang musim begini."

"Bukan berenang; saya mandi. Guru saya bilang, keringat saya bau, karena itu saya ke sungai."

Otsu mendecap. "Di mana kamu tinggal?"

"Di Wataya."

"Lho, aku baru dari sana."

"Sayang sekali Kakak tidak bertemu kami. Bagaimana kalau kembali lagi dengan saya sekarang?"

"Tak bisa sekarang. Aku sedang disuruh."

"Kalau begitu, selamat berpisah!" kata Jotaro dan terus membalik untuk pergi.

"Jotaro, datanglah ke tempatku di puri sekali-sekali."

"Apa boleh saya datang?"

Baru saja Otsu mengucapkan kata-kata itu, ia sudah menyayangkannya, tapi katanya, "Ya, boleh, tapi jangan sampai kamu tampil seperti sekarang ini.

"Oh, kalau begitu pendapat Kakak, tak mau saya ke sana. Saya tak suka tempat-tempat yang orangnya cerewet."

Otsu merasa lega. Senyuman masih tampak pada wajahnya ketika ia mengendarai kudanya melewati gerbang puri. Sesudah mengembalikan kudanya ke kandang, ia pergi melapor ke Sekishusai.

Sekishusai tertawa, katanya, "Jadi, mereka marah! Bagus! Biar mereka marah. Tak ada yang bisa mereka perbuat dengan itu." Sejenak kemudian, seakan-akan teringat sesuatu, ia bertanya, "Apa bunga peoni itu kamu buang?"

Otsu menjelaskan bahwa bunga itu telah ia berikan kepada pembantu di penginapan, dan Sekishusai mengangguk setuju. "Apa anak Yoshioka itu memegang bunga itu dan melihatnya?" tanyanya.

"Ya. Ketika dia membaca surat itu."

"Lalu?"

"Dia cuma mengembalikannya pada saya."

"Dia tidak melihat batangnya?"

"Setahu saya tidak."

"Dia tidak memeriksanya atau mengatakan sesuatu tentangnya?"

"Tidak."

"Kalau begitu, memang sudah benar aku menolak bertemu dengan dia. Tak ada gunanya dia ditemui. Jadi, Keluarga Yoshioka itu boleh dikatakan sudah berakhir dengan matinya Kempo."



Dojo Yagyu dapat dengan tepat dilukiskan: megah. Dojo itu terletak di pekarangan luar puri, dan dibangun kembali kira-kira waktu Sekishusai berumur empat puluh tahun. Balok kekar yang dipergunakan untuk membangunnya memberikan kesan tak terhancurkan. Kilau kayu yang terbentuk bertahun-tahun lamanya itu mencerminkan kekerasan orangorang yang telah memperoleh latihan di situ. Bangunan itu pun cukup luas untuk dipakai sebagai barak para samurai di masa perang.

"Yang enteng! Bukan dengan ujung pedang! Dengan tekad, dengan tekad!" demikian Shoda Kizaemon meraungkan perintah-perintah marah kcpada dua pemain pedang yang bercita-cita tinggi. Shoda Kizaemon duduk di podium yang ditinggikan sedikit dan mengenakan jubah dalam dan hakama. "Sekali lagi! Tadi itu salah sama sekali!"

Sasaran cacian Kizaemon itu dua samurai Yagyu, yang sekalipun sudah setengah sadar dan mandi keringat, namun terus juga beradu. Langkahhngkah diambil, senjata disiapkan, dan keduanya bertemu lagi seperti api dengan api.

"A-o-o-oh!"

"Y-a-a-ah!"

Di Yagyu, para pemula tidak diizinkan menggunakan pedang kayu. Sebagai gantinya, mereka menggunakan tongkat yang dibuat khusus untuk Gaya Shinkage. Tongkat itu berupa kantong kulit panjang tipis yang diisi belahan-belahan bambu. Sebetulnya benda itu tongkat kulit tak bergagang dan tak berpelindung tangan. Tongkat ini kurang berbahaya dibandingkan dengan pedang kayu, namun masih dapat menghilangkan telinga atau mengubah hidung menjadi buah delima. Tidak ada batasan mengenai bagian tubuh mana yang dapat diserang oleh petarung. Merobohkan lawan dengan memukul kakinya mendatar diperbolehkan, dan tidak ada peraturan yang melarang melabrak orang yang sudah jatuh.

"Ya, terus begitu! Terus macam itu! Sama dengan yang tadi!" demikian Kizaemon mendorong para siswanya.

Kebiasaan yang berlaku di sini adalah tidak membiarkan orang meninggalkan tempat sebelum la hampir roboh. Para pemula diajar sangat keras, tidak pernah dipuji, dan dijadikan sasaran caci-maki yang tidak sedikit. Karena itu, rata-rata samurai tahu bahwa bekerja pada Keluarga Yagyu bukanlah sesuatu yang mesti diterima enteng. Para pendatang baru jarang bertahan lama, dan orang-orang yang kini bekerja pada Yagyu adalah hasil saringan yang sangat cermat. Prajurit biasa dan tukang kuda pun orang-orang yang sudah lanjut dalam mempelajari seni pedang.

Tak perlu disebutkan lagi, Shoda Kizaemon adalah pemain pedang yang sudah jadi dan telah menguasai Gaya Shinkage pada umur sangat muda. Di bawah pengawasan Sekishusai sendiri ia kemudian mempelajari rahasia-rahasia Gaya Yagyu. Semua itu ditambahnya dengan beberapa teknik pribadinya sendiri, dan kini ia dapat bicara dengan bangga tentang "Gaya Shoda Sejati".

Pelatih kuda Yagyu, Kimura Sukekuro, juga seorang ahli seperti halnya

Murata Yozo, yang walaupun dipekerjakan sebagai penjaga gudang, kabarnya

lawan tangguh Hyogo. Debuchi Magobei, seorang pejabat lain yang relatif

tak penting, mempelajari seni pedang sejak kanak-kanak dan dapat

menggunakan sebuah senjata yang perkasa. Yang Dipertuan Echizen telah

mencoba membujuk Debuchi untuk bekerja padanya, dan Keluarga Tokugawa

dari Kii telah mencoba memikat Murata pergi dari situ, namun kedua orang itu memilih tinggal di Yagyu, meskipun keuntungan materilnya lebih kecil.

Keluarga Yagyu yang kini mencapai puncak peruntungan itu sudah menghasilkan jajaran pemain pedang besar yang kelihatannya tanpa henti. Lagi pula, para samurai Yagyu belum diakui sebagai pemain pedang sebelum mereka membuktikan kesanggupannya menempuh cara hidup yang tak kenal ampun.

"Hei, yang di sana itu!" seru Kizaemon pada seorang pengawal yang lewat di luar. Ia rupanya terkejut melihat Jotaro yang berjalan mengikuti samurai.

"Halo!" seru Jotaro dengan seramah-ramahnya.

"Apa kerjamu dalam puri ini?" tanya Kizaemon tajam.

"Orang di pintu gerbang yang membawa saya masuk," jawab Jotaro sesuai dengan kenyataannya.

"Betul begitu?" Kemudian kepada pengawal, Kizaemon bertanya, "Kenapa kamu bawa dia kemari?"

"Dia bilang mau bertemu Tuan."

"Maksudmu, kamu bawa anak ini kemari atas kehendak dia sendiri? Hei, Nak!"

"Ya, Tuan."

"Ini bukan tempat main. Pergi kamu dari sini."

"Tapi saya datang bukan buat bermain. Saya bawa surat dari guru saya."

"Dari gurumu? Kamu pernah bilang, dia murid yang mengembara itu, kan?"

"Silakan Tuan lihat suratnya."

"Tak perlu."

"Kenapa? Apa Tuan tak bisa baca?"

Kizaemon mendengus.

"Nah, kalau Tuan bisa baca, silakan baca."

"Oh, anak bandel yang pintar sekali kamu. Sebabnya aku tak perlu membaca surat itu, karena aku sudah tahu isinya."

"Biar begitu, apa tidak lebih sopan kalau membacanya?"

"Murid di tempat ini meruap seperti nyamuk dan belatung. Kalau kusediakan waktu buat berlaku sopan pada mereka semua, takkan dapat aku melakukan yang lain. Tapi aku kasihan padamu, karena itu akan kusebutkan padamu apa isi surat itu. Baik? Isinya, penulis ingin diizinkan melihat dojo yang sangat indah di sini, ingin walaupun hanya sesaat bersenang-senang di bawah bayangan guru terbesar di negeri ini, dan untuk kepentingan semua pengikut yang akan menempuh Jalan Pedang, dia akan sangat berterima kasih mendapat pelajaran di sini. Kukira itulah kira-kira isi surat itu."

Mata Jotaro membundar. "Apa itu isi surat ini?"

"Ya. jadi tak perlu aku membacanya, kan? Biar begitu, jangan sampai dikarakan Keluarga Yagyu dengan darah dingin menolak orang-orang yang datang bertamu kepada mereka." Ia berhenti bicara, kemudian melanjutkan, seakan-akan sudah terlatih mengucapkan pidatonya. "Minta kepada penjaga di sana supaya menjelaskan padamu semuanya. Kalau murid datang ke rumah ini. dia masuk lewat gerbang utama, lalu terus ke gerbang tengah yang di sebelah kanannya ada bangunan yang namanya Shin'indo. Ada papan nama tergantung di bangunan itu. Kalau murid itu minta kepada pengurus di sana, dia bebas untuk beristirahat sebentar, dan di sana ada tempat untuk menginap semalam-dua malam. Kalau dia pergi, dia mendapat sedikit uang untuk bantuan dalam perjalanan. Sekarang, yang mesti kamu lakukan adalah memberikan surat itu kepada pengurus di Shin'indo-mengerti?"

"Tidak!" kata Jotaro. la menggelengkan kepala dan mengangkat bahu kanannya sedikit. "Coba Tuan dengar!"

"Ha?'

"Tuan tak boleh menilai orang lain dari penampilannya. Saya bukan anak pengemis!"

"Kuakui kamu punya kecakapan menggunakan kata-kata."

"Kenapa tidak Tuan lihat surat ini? Mungkin isinya lain sekali dari yang Tuan duga. Lalu apa yang akan Tuan lakukan nanti? Apa akan Tuan suruh saya memotong kepala Tuan?"

"Tunggu dulu!" Kizaemon tertawa. Wajah dan mulutnya yang merah di balik jenggotnya yang seperti paku itu tampak seperti bagian dalam buah berangan yang sudah pecah. "Tidak, kamu tak dapat memotong kepalaku."

 "Nah, kalau begitu Tuan lihatlah surat ini."

"Coba sini."

"Untuk apa?" Jotaro pun merasa menyesal telah melangkah demikian jauh.

"Aku kagum dengan tekadmu untuk tidak membiarkan pesan gurumu tak disampaikan. Aku akan membacanya."

"Kenapa pula tidak? Tuan pejabat paling tinggi dalam Keluarga Yagyu, kan?"

"Kamu pintar sekali menggunakan lidahmu. Kita harapkan, kamu dapat berbuat sama dengan pedangmu, kalau kamu besar nanti." Kizaemon melepaskan meterai surat itu, dan dengan diam ia baca pesan Musashi. Selagi membaca, wajahnya menjadi sunguh-sungguh. Selesai membaca ia bertanya, "Apa kamu bawa yang lain disamping surat ini?"

"Oh, ya, saya lupa! Saya mesti menyampaikan ini juga." Jotaro cepat-cepat mengeluarkan batang peoni dari dalam kimononya.

Tanpa mengatakan sesuatu, Kizaemon memeriksa kedua ujung batang itu. Wajahnya tampak agak heran. Ia tidak sepenuhnya dapat memahami makna surat Musashi.

Surat itu menjelaskan bahwa pelayan penginapan telah memberikan kepadanya sekuntum bunga yang katanya berasal dari puri, dan ketika ia memeriksa batang bunga itu, ia melihat bahwa potongan bunga itu dibuat oleh "orang yang bukan orang biasa". Surat menyatakan lagi: Sesudah memasukkan bunga itu ke dalam jambangan, saya merasa mendapatkan suatu semangat khusus darinya, dan saya merasa harus menemukan orang yang telah melakukan pemotongan itu. Persoalan ini bisa saja kelihatan remeh, tapi kalau Tuan tidak berkeberatan menyampaikan kepada saya, siapakah di antara anggota rumah tangga Tuan yang sudah melakukannya, saya akan sangat berterima kasih kalau Tuan mengirimkan balasannya lewat anak yang membawa surat int.

Hanya itu-tak ada disebutkan bahwa si penulis seorang murid, dan tak ada permintaan untuk bertanding.

"Aneh juga tulisan ini," pikir Kizaemon. Sekali lagi ia memandang batang peoni itu, dan sekali lagi ia memeriksa kedua ujungnya baik-baik, namun ia tak dapat membedakan apakah ujung yang satu berlainan dengan ujung yang lain.

"Murata!" panggilnya. "Coba lihat ini. Apa bisa kamu melihat beda antara potongan di kedua ujung batang ini? Apa barangkali yang satu tampak lebih tajam?"

Murata Yozo mengamat-amati batang bunga itu, tapi la terpaksa mengaku tidak melihat beda kedua potongan itu.

"Mari kita perlihatkan kepada Kimura."

Mereka pergi ke kantor di belakang bangunan itu dan mengajukan soal itu kepada rekan mereka di sana, yang sementara itu sama kagumnya dengan mereka. Debuchi yang kebetulan ada di kamar itu mengatakan, "Ini salah satu bunga yang dipotong oleh Yang Dipertuan sendiri kemarin dulu. Apa engkau tidak bersama beliau waktu itu, Shoda?"

"Tidak, aku memang melihat beliau mengatur bunga. Tapi aku tidak melihat beliau memotongnya."

"Nah, ini satu dari dua bunga yang beliau potong. Beliau masukkan yang satu ke jambangan di kamar beliau, dan yang lain beliau suruh Otsu bawa ke Yoshioka bersama surat."

"Ya, aku ingat," kata Kizaemon, ketika ia mulai membaca surat Musashi lagi. Tiba-tiba ia menengadah dengan mata kaget. "Surat ini ditandatangani oleh 'Shimmen Musashi'," katanya. "Apa menurutmu Musashi yang sudah membantu para pendeta Hozoin membunuh semua jembel di Dataran Hannya itu? Tentunya dia!"

Debuchi dan Murata berganti-ganti mengambil surat itu dan membacanya kembali. "Tulisannya memang berwatak," kata Debuchi.

"Ya," gumam Murata. "Kelihatannya dia luar biasa."

"Kalau apa yang dinyatakan surat itu benar," kata Kizaemon, "dan dia betul-betul dapat menyatakan bahwa batang ini sudah dipotong oleh seorang ahli, tentunya dia mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui. Guru Tua itu yang memotongnya sendiri, dan rupanya hal ini cukup jelas bagi orang yang matanya memang benar-benar dapat melihat."

Kata Debuchi, "Hm. Ingin aku bertemu dengannya.... Dengan begitu kita dapat mengecek soal itu, dan kita dapat juga meminta dia menceritakan peristiwa yang terjadi di Dataran Hannya." Namun Debuchi tak hendak melibatkan dirinya seorang, melainkan menanyakan pendapat Kimura. Kimura menyatakan bahwa karena mereka tidak pernah menerima shugyosha, maka tidak dapat mereka menerimanya sebagai tamu di ruangan praktek, namun tak ada alasan kenapa mereka tak dapat mengundangnya makan atau menikmati sake di Shin'indo. Bunga-bunga iris sudah berkembang di sana, katanya, dan bunga-bunga azalea liar mulai berkembang. Mereka bisa mengadakan pesta kecil dan bicara tentang seni pedang dan hal-hal lain seperti itu. Kemungkinan besar Musashi dengan senang hati datang, dan Yang Dipertuan pasti tidak keberatan kalau beliau mendengar tentangnya.

Kizaemon menepuk lututnya, dan katanya, "Saran yang baik sekali."

"Jadi, pesta buat kita juga," sambung Murata. "Mari kita kirimkan jawaban sekarang juga."

Selagi duduk menulis jawaban, Kizaemon berkata, "Anak itu ada di luar. Suruh dia masuk."

Beberapa menit sebelumnya Jotaro memang sudah menguap dan menggerutu. "Lamanya mereka itu." Sementara itu, seekor anjing hitam besar mencium baunya dan datang mengendusnya. Merasa mendapat teman baru, Jotaro bicara dengan anjing itu dan menarik telinganya supaya maju mendekat.

"Ayo kita bergulat," desaknya, kemudian merangkum anjing itu dan melemparkannya. Anjing suka dengan permainan itu. Jotaro menangkapnya lagi dan melemparkannya dua-tiga kali lagi.

Kemudian, sambil memegang kedua rahang anjing itu, Jotaro berkata, "Nah, menyalak sekarang!"

Perbuatan itu membuat si anjing marah. Sambil melepaskan diri ia gigit tepian kimono Jotaro dan ia tarik sekuat-kuatnya.

Kim giliran Jotaro yang jadi marah. "Kamu kira apa aku ini? Tidak boleh kamu lakukan itu!" serunya.

Ia menarik pedang kayunya dan mengancamnya ke kepala anjing. Anjing menganggapnya sungguh-sungguh dan mulai menyalak keras-keras, hingga menarik perhatian para pengawal. Sambil mengutuk, Jotaro menebaskan pedangnya ke kepala anjing. Kedengaran seperti pedang itu menghantam karang. Anjing meloncat ke punggung anak itu, menggigit obi-nya, dan menjatuhkan Jotaro ke tanah. Belum lagi Jotaro sempat berdiri, anjing itu sudah menyerangnya lagi, dan Jotaro dengan bingung mencoba melindungi wajahnya dengan kedua belah tangannya.

Ia mencoba meloloskan diri, tapi anjing itu terus menempelnya. Gema salaknya memantul-mantul melintasi pegunungan. Darah mulai mengalir dari antara jari-jari yang menutup muka Jotaro, dan segera kemudian lolongan kesakitan anak itu sudah mengalahkan lolongan si anjing.


bersambung >>>
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive