"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Senin, 13 Agustus 2012

Cerita Novel Musashi Bag. 8




bagian 8


Sasaki Kojiro



TEPAT di selatan Kyoto, Sungai Yodo melingkar mengelilingi sebuah bukit bernama Momoyama (daerah Puri Fushimi), kemudian mengalir terus melintasi Dataran Yamashiro ke arah benteng Puri Osaka, sekitar 20 mil ke sebelah barat daya. Sebagian karena hubungan air yang langsung ini, setiap gejolak politik di daerah Kyoto segera menimbulkan gemanya di Osaka. Sedangkan di Fushimi setiap patah kata yang diucapkan oleh seorang samurai Osaka, apalagi seorang jenderal Osaka, dianggap orang sebagai isyarat masa depan.

Di sekitar Momoyama sedang terjadi pergolakan, karena Tokugawa Ieyasu memutuskan mengubah cara hidup yang telah berkembang di zaman Hideyoshi. Puri Osaka yang dihuni oleh Hideyori dan ibunya, Yodogimi, masih terus berusaha bergayut pada sisa kekuasaan yang sudah pudar, tepat seperti matahari yang sedang terbenam berteguh pada keindahannya yang perlahan menghilang. Kekuasaan yang sebenarnya berada di Fushimi, yang dipilih Ieyasu sebagai tempat tinggalnya selama perjalanan-perjalanan jauhnya ke daerah Kansai. Perbenturan antara yang lama dan yang baru tampak di mana-mana. Itu kelihatan dari perahu-perahu yang hilir-mudik di sungai, dan tingkah laku orang-orang di jalan raya, dari lagu-lagu rakyat, dan dari wajah para samurai telantar yang mencari pekerjaan.



Puri Fushimi sedang dibetulkan. Batu-batu karang yang dimuntahkan dari perahu-perahu ke tepi sungai benar-benar menggunung. Kebanyakan batu itu besar, luasnya paling sedikit dua meter persegi dan tingginya sekitar satu meter. Batu-batu itu mendesis-desis terkena sinar matahari yang mendidih. Walaupun waktu itu musim gugur menurut kalender, panas yang membakar mengingatkan orang pada hari-hari terpanas setelah musim hujan di awal musim panas.



Pohon-pohon liu di dekat jembatan berkilauan putih. Seekor jangkrik melesat berkelok-kelok dari sungai ke sebuah rumah kecil di dekat tepi sungai. Atap-atap rumah di desa itu berwarna abu-abu kering, berdebu, kehilangan warna lembut cahaya lenteranya di waktu senja. Dalam panasnya tengah hari, dua pekerja yang beruntung mendapat istirahat setengah jam dari kerja yang mematahkan tulang punggung itu berbaring telentang di permukaan sebuah batu besar yang lebar, sambil mengobrol tentang soal yang sedang menjadi buah bibir setiap orang.

"Kau pikir akan ada perang lagi?"

"Kenapa tidak? Rasanya tak ada orang yang cukup kuat untuk memegang kontrol."

"Kupikir kau benar. Jenderal-jenderal Osaka tampaknya sedang mengumpulkan semua ronin yang dapat mereka temukan."

"Memang kupikir begitu. Barangkali tak boleh aku bicara keras-keras, tapi kudengar Keluarga Tokugawa sedang membeli senapan dan amunisi kapal-kapal asing."



"Kalau begitu, kenapa Ieyasu mengawinkan cucu perempuannya, Senhime, dengan Hideyori?"

"Mana aku tahu? Apa pun yang dia lakukan, kita boleh bertaruh, pasti ada alasannya. Orang-orang biasa macam kita ini tak mungkin tahu, apa yang ada dalam pikiran Ieyasu."



Lalat-lalat merubung kedua orang itu. Segerombolan lain merubung dua ekor sapi jantan tak jauh dari situ. Kedua ekor binatang itu masih terpasang pada gerobak balok yang kosong, bermalas-malasan di bawah sinar matahari, diam, tenang, dan berliur mulutnya.



Alasan sebenarnya kenapa kuil itu diperbaiki tidak diketahui oleh pekerja rendahan, yang mengira Ieyasu akan tinggal di situ. Padahal perbaikan itu merupakan satu tahap saja dalam program pembangunan besar-besaran, suatu bagian penting dari rencana pemerintahan Tokugawa. Kerja pembangunan besar-besaran dilaksanakan juga di Edo, Nagoya, Suruga, Hikone, Otsu, dan selusin kota kuil yang lain lagi. Tujuannya sebagian besar bersifat politik. Salah satu cara Ieyasu untuk mengendalikan para daimyo adalah memerintahkan mereka menangani proyek bangunan. Karena tak ada yang cukup kuat untuk menolak, cara ini membuat tuan-tuan feodal yang bersahabat terlampau sibuk untuk melunak, sekaligus memaksa para daimyo yang melawan Ieyasu di Sekigahara berpisah dengan sebagian besar peng­hasilan mereka. Tujuan lain pemerintah adalah memperoleh dukungan rakyat banyak, yang secara langsung atau tidak mendapat keuntungan juga dari pekerjaan umum yang besar itu.



Di Fushimi saja, hampir seribu pekerja dikerahkan memperluas gerigi batu di atas benteng. Akibatnya kota di sekitar kuil tiba-tiba dibanjiri para penjaja, pelacur, dan lalat langau—lambang-lambang kemakmuran. Masyarakat luas gembira dengan masa baik yang didatangkan Ieyasu, dan para pedagang mengkhayal bahwa di atas ini semua akan ada kesempatan buat terjadinya perang lagi—yang akan lebih menguntungkan. Barang-barang berlalu lintas dengan sibuknya, bahkan sekarang pun kebanyakan barangbarang itu berupa perbekalan militer. Sesudah menghitung dengan sipoa kolektifnya, para pengusaha besar menyimpulkan bahwa perbekalan militerlah yang paling menguntungkan.



Penduduk kota dengan cepat melupakan hari-hari yang tenang pada masa kekuasaan Hideyoshi. Sebagai gantinya, mereka berspekulasi tentang apa yang mungkin diperoleh di hari-hari mendatang. Bagi mereka tidak banyak bedanya siapa yang berkuasa. Selama mereka dapat memenuhi kebutuhan remehnya, tak ada alasan untuk mengeluh. Dalam hal ini pun Ieyasu tidak mengecewakan mereka, karena ia dapat menghamburkan uang seperti menyebarkan gula-gula kepada anak-anak. Memang bukan uangnya sendiri, melainkan uang orang-orang yang bisa menjadi musuhnya.



Dalam pertanian pun ia memperkenalkan sistem pengendalian baru. Tokoh-tokoh setempat tidak lagi diizinkan memerintah semaunya atau mengerahkan petani semaunya untuk kerja luar. Dari sekarang, para petani harus diperbolehkan menggarap tanahnya—dengan sedikit sekali mengerjakan yang lain. Mereka harus dibuat masa bodoh terhadap politik dan diajar mengandalkan diri pada kekuasaan yang ada.



Penguasa yang berbudi, menurut jalan pikiran Ieyasu, adalah orang yang tidak membiarkan para penggarap tanah mati kelaparan, sekaligus menjaga agar mereka tidak naik melebihi statusnya. Dengan kebijaksanaan inilah ia bermaksud mengabadikan kekuasaan Tokugawa. Baik orang kota, petani, maupun daimyo tidak sadar bahwa mereka dengan hati-hati sedang dijalinkan ke dalam sistem feodal yang akhirnya akan mengikat kaki dan tangan mereka. Tak seorang pun berpikir tentang apa yang bakal terjadi lima ratus tahun lagi. Tak seorang pun, kecuali Ieyasu.



Para pekerja di Puri Fushimi itu pun tidak memikirkan hari esok. Mereka hanya memiliki harapan sederhana. Yaitu sekadar melewati hari itu, makin cepat makin baik. Sekalipun mereka berbicara tentang perang dan tentang kapan perang bisa meletus, namun rencana-rencana besar untuk menjaga perdamaian dan meningkatkan kemakmuran tidak berhubungan sama sekali dengan mereka. Apa pun yang terjadi, tak mungkinlah keadaan mereka lebih buruk dari yang sekarang.



"Semangka? Ya, siapa beli semangka?" seru seorang anak perempuan petani yang setiap hari, di waktu seperti itu, biasa berkeliling. Begitu muncul, ia pun berhasil menjual semangka pada beberapa lelaki yang sedang mengadu mata uang di bawah bayangan batu besar. Dengan riangnya ia beralih dari satu gerombolan ke gerombolan lain sambil berseru, "Siapa lagi?"

"Kamu gila, ya? Kaukira kami punya uang buat semangka?"

"Sini! Saya sih mau saja—kalau tanpa bayar."

Kecewa karena keberuntungan awalnya terhenti, gadis itu mendekati seorang pekerja muda. yang sedang duduk di antara dua batu besar. Ia bersandar pada batu yang satu, dan kakinya menyandar pada batu lain, sedangkan tangannya merangkul lutut. "Semangka?" tanya gadis itu, walaupun tidak begitu menaruh harapan.

Pekerja itu kurus, matanya cekung, sedangkan kulitnya merah sehat terbakar matahari. Bayangan kelelahan menyamarkan usia mudanya. Namun demikian, teman-teman dekatnya masih mengenalnya. Dialah Hon'iden Matahachi. Dengan lesu ia menghitung beberapa keping mata uang kotor dalam telapak tangannya, lalu memberikannya kepada gadis itu.



Ketika ia menyandarkan diri kembali ke batu, kepalanya merunduk murung. Gerakan kecil itu saja sudah membuatnya kehabisan tenaga. Merasa mual, ia mencondongkan badan ke samping dan mulai meludah ke rumput. Sedikit pun tak ada lagi tenaganya untuk mengambil kembali semangka yang terjatuh dari pangkuannya. Dengan jemu ia memandang semangka itu, sedangkan matanya yang hitam tidak memperlihatkan tanda-tanda kekuatan ataupun harapan.



"Babi!" gumamnya lemah. Yang dimaksudkannya adalah orang-orang yang hendak dibalasnya: Oko, si Wajah Berpupur, dan Takezo, pemilik pedang kayu. Kekeliruannya yang pertama adalah pergi ke Sekigahara. Yang kedua, tunduk kepada janda yang menggairahkan itu. Sampailah ia pada keyakinan bahwa sekiranya bukan karena kedua peristiwa itu, ia sudah ada di rumahnya di Miyamoto sekarang, menjadi kepala Keluarga Hon'iden, menjadi suami seorang istri yang cantik, dan membikin iri seluruh kampung.



"Kukira Otsu pasti membenciku sekarang.... Apa gerangan yang sedang dia lakukan?" Dalam keadaan sekarang, kadang-kadang memikirkan bekas tunangannya itu merupakan hiburannya satu-satunya. Ketika sifat Oko yang sebenarnya akhirnya ia pahami, mulailah ia merindukan Otsu kembali. Dan semenjak ia berakal sehat, dan membebaskan diri dari Warung Teh Yomogi, semakin sering ia memikirkan Otsu.

Pada malam keberangkatannya, ia mengetahui bahwa Miyamoto Musashi yang meraih reputasi sebagai pemain pedang di ibu kota itu ternyata teman lamanya, Takezo. Guncangan keras ini segera disusul gelombang cemburu hebat.



Karena ingat akan Otsu, ia sudah berhenti minum, dan mencoba menanggalkan sifat malas dan kebiasaan buruknya. Tetapi mulanya ia tidak dapat menemukan pekerjaan yang cocok. Disumpahinya dirinya sendiri karena selama lima tahun tidak mengikuti arus perubahan, sementara selama itu seorang perempuan yang lebih tua menanggung hidupnya. Untuk sesaat kelihatan olehnya seolah sudah terlambat untuk mengadakan perubahan.



"Belum terlambat!" demikiari ia meyakinkan dirinya. "Umurku baru dua puluh dua. Aku dapat melakukan apa saja kalau aku mencoba!" Setiap orang bisa saja mengalami perasaan seperti itu, tapi dalam hal Matahachi, itu berarti menutup mata, meloncati jurang lima tahun lamanya, dan menjual tenaga sebagai buruh harian di Fushimi.



Di situ ia bekerja keras, membudakkan diri dengan tekun dari hari ke hari, sementara matahari menyengatnya dari musim panas sampai musim gugur. Agak bangga juga ia dapat bertahan di situ.

"Akan kutunjukkan pada semua orang!" demikian pikirnya, sekalipun sedang mau muntah. "Tak ada alasan, kenapa aku tak dapat memperoleh nama untuk diriku. Aku dapat melakukan apa saja yang dilakukan Takezo! Aku dapat melakukan lebih dari itu, dan akan kulakukan. Lalu aku akan melakukan pembalasan, biarpun sudah mengalami peristiwa dengan Oko. Yang kubutuhkan sekarang cuma sepuluh tahun."



Sepuluh tahun? Ia berhenti untuk menghitung, berapa sudah umur Otsu waktu itu. Tiga puluh satu! Apakah Otsu akan tetap sendiri, dan menunggunya selama itu? Sedikit kemungkinannya. Matahachi tak tahu sama sekali tentang apa yang belum lama itu terjadi di Mimasaka. Tak dapat ia mengetahui bahwa khayalannya kosong. Tapi sepuluh tahun—tak mungkin! Tak akan lebih dari lima atau enam tahun! Dalam jangka waktu itu ia sudah mencapai sukses. Pada waktu itu ia akan kembali ke kampung, meminta maaf kepada Otsu, dan membujuknya untuk kawin. "Itulah satu-satunya cara!" ucapnya. "Lima tahun, atau paling banyak enam tahun." Ia menatap semangka itu, dan kilas cahaya tampak kembali pada matanya.

Justru pada waktu itu salah seorang teman kerjanya berdiri di seberang batu besar di depannya. Sambil menopangkan siku ke puncak batu besar lebar itu, teman itu berseru, "Hei, Matahachi, apa yang kau gumamkan sendiri? Mukamu kelihatan hijau. Apa semangka itu busuk?"



Matahachi terpaksa menampakkan senyuman lemah, namun sekali lagi ia terserang gelombang pusing. Air liur keluar dari mulutnya ketika ia mengguncang-guncangkan kepalanya. "Ini bukan apa-apa, bukan apa-apa!" Sengal-nya. "Kukira terlalu banyak aku terkena panas matahari. Biar aku beristirahat di sini sekitar sejam."

Para penghela batu besar yang tegap-tegap itu mencemoohkan kelunglaiannya, walaupun dengan cara baik-baik saja. Salah seorang bertanya, "Kenapa kamu beli semangka kalau kamu tak bisa makan semangka?"

"Aku beli ini untuk kalian semua," jawab Matahachi. "Kukira itulah yang baik, karena aku tak bisa mengerjakan bagian kerjaku."

"Oh, bagus juga. Hei, kawan-kawan! Makan ini, Matahachi yang bayar."

Buruh-buruh pun memecahkan semangka itu di sudut batu dan menyerbu-nya seperti semut, membagi-bagi daging buah yang merah, manis menetes-netes itu. Begitu semangka habis, seseorang melompat ke atas batu dan pekiknya, "Kembali kerja, hei, kalian!"

Samurai yang bertugas keluar dari sebuah gubuk memegang cambuk. Bau keringatnya menyebar ke atas tanah. Segera kemudian terdengar lagu kerja para penghela batu di medan kerja itu, ketika sebuah batu raksasa dipindahkan dengan pengumpil-pengumpil besar ke atas gelindingan dan  diseret dengan tali-tali setebal lengan. Batu itu maju dengan berat dan lambat, seperti gunung yang bergeser.

Dengan ramainya pembangunan puri, lagu-lagu berirama ini pun berkembang biak. Sekalipun kata-katanya jarang dituliskan, tidak kurang dari Yang Dipertuan Hachisuka dari Awa, yang bertanggung jawab atas pembangunan Puri Nagoya, telah mencatat beberapa syairnya dalam sebuah surat. Yang Dipertuan, yang tentunya tak ada kesempatan biarpun cuma menyentuh bahan-bahan bangunan, jelas telah mengetahui syair-syair itu dari sebuah pesta. Karangan sederhana seperti di bawah ini menjadi semacam mode di tengah masyarakat, juga di antara para pekerja.



Dari Awataguchi kita menariknya

Menyeretnya batu demi batu-demi batu.

Buat Tuan Yang Mulia, Yang Dipertuan Togoro.

Ei, sa, ei, sa...

Tarik ya! Seret ya! Tarik ya! Seret ya!

Tuan kita bicara,

Kaki tangan kita gemetar.

Tapi kita setia padanya-sampai mati.

 Penulisnya berkomentar, "Semua orang, tua-muda, menyanyikan lagu ini, karena lagu ini bagian dari dunia mengambang yang kita tinggali!"

Kaum buruh di Fushimi tidak sadar akan gema sosial lagu-lagu ini, namun lagu-lagu mereka benar-benar mencerminkan semangat zaman. Lagu-lagu populer pada zaman merosotnya ke-shogun-an Ashikaga pada umumnya bersifat dekaden dan kebanyakan dinyanyikan secara pribadi, tetapi pada tahun-tahun makmur kekuasaan Hideyoshi, lagu-lagu bahagia dan gembira sering terdengar di tempat umum. Kemudian hari, ketika kerasnya kekuasaan Ieyasu mulai terasa, nada-nada itu kehilangan sebagian semangat gembiranya. Ketika kekuasaan Tokugawa menjadi lebih kuat, nyanyian yang spontan sifatnya cenderung memberikan tempat kepada musik yang digubah oleh para musisi yang mengabdi kepada para shogun.

Matahachi meletakkan kepalanya ke tangan. Kepala itu demam oleh suhu tinggi, dan nyanyian dengan kata-kata "tarik-ya" itu mendengung, mengiang di telinganya, seperti segerombolan lebah. Dalam keadaan seorang diri, kini ia menjadi murung.

"Tapi apa gunanya," rintihnya. "Lima tahun. Umpamanya aku kerja keras, apa untungnya itu untukku? Aku kerja sehari penuh, yang kudapat cuma cukup buat makan sehari. Kalau tidak kerja, aku tidak makan."

Waktu itu dirasanya ada orang berdiri di dekatnya, dan ia menengadah. Tampak olehnya seorang pemuda jangkung. Kepalanya tertutup topi anyaman kasar dalam-dalam, dan di pinggangnya tergantung satu bungkusan seperti yang biasa dibawa oleh shugyosha. Sebuah emblem dalam bentuk kipas bertulang baja yang setengah terbuka, menghiasi bagian depan topinya. Ia sedang memandang kerangka bangunan dengan penuh renungan dan sedang menaksir medannya.

Sesudah beberapa waktu, ia pun mendudukkan diri di samping sebuah batu yang lebar rata. Tinggi batu itu tepat sekali untuk meja tulis. Ditiupnya pasir di atas batu itu, termasuk juga iringan semut yang sedang berbaris di situ, kemudian sambil menopangkan kepala ke batu dengan sikunya, ia kembali mengamati baik-baik lingkungan sekitar. Sekalipun panas matahari menyengat langsung wajahnya, ia tetap tak bergerak, dan kelihatannya tak mempan oleh panas yang tak menyenangkan itu. Ia tidak melihat Matahachi yang waktu itu masih terlalu merana untuk peduli, apakah ada orang atau tidak di dekatnya. Orang lain tidak ada artinya sama sekali baginya. Ia duduk membelakangi pendatang itu dan sekali-sekali muntah.

Segera kemudian samurai itu tahu bahwa Matahachi sedang muntah.

"Hei," katanya. "Kenapa kamu?"

"Panas ini," jawab Matahachi.



"Kau sedang kurang sehat rupanya."

"Sebetulnya lebih baik dari biasanya, tapi saya pusing."

"Mau obat?" kata samurai itu sambil membuka kotak obat yang dipernis hitam dan menumpahkan pil-pil merah ke telapak tangannya. Ia mendekat dan memasukkan obat itu ke mulut Matahachi. "Sebentar lagi kau sembuh," katanya.



"Terima kasih."

"Apa kau mau istirahat lebih lama di sini?"

"Ya."

"Kalau begitu, aku mau minta tolong. Kasih tahu aku kalau nanti ada orang dating lemparkan saja kerikil atau yang lain."

Ia kembali ke batunya sendiri, duduk di situ, dan mengeluarkan kuas dari kantong tulisnya dan buku tulis dari kimononya. Ia buka alas di atas batu itu, dan mulailah ia menggambar. Di bawah tepi topinya, matanya bergerak ke sana kemari dari puri ke lingkungan terdekatnya, termasuk juga menara utama, benteng, pegunungan di latar belakang, sungai, dan kali-kali kecil.

Tepat sebelum Pertempuran Sekigahara, puri ini diserang oleh kesatuankesatuan Tentara Barat, dan dua pekarangannya, juga sebagian paritnya, menderita kerusakan besar. Sekarang benteng ini tidak hanya dibangun kembali, melainkan juga diperkuat, sehingga akan mengalahkan Benteng Hideyori di Osaka.

Calon prajurit itu membuat sketsa sepintas-lintas secara cepat, namun dengan perincian luas mengenai seluruh puri, dan pada halaman kedua ia mulai membuat diagram jalan-jalan dari belakang.

"Uh-Oh!" ujar Matahachi pelan. Entah dari mana datangnya, tapi tibatiba saja muncul inspektur proyek, yang kemudian berdiri di belakang pembuat sketsa itu, berpakaian setengah zirah dan mengenakan sandal jerami. Orang itu berdiri diam, seakan-akan menanti dilihat orang. Matahachi merasa bersalah karena tidak melihat pada waktunya, supaya dapat mem­berikan peringatan. Kini sudah terlambat.

Segera kemudian calon prajurit itu mengangkat tangan untuk mengusir lalat dari kerahnya yang berkeringat, dan waktu itulah tampak olehnya si pengganggu itu. Ia menengadah dengan mata terkejut, dan si inspektur menatap kembali dengan marahnya sebentar, kemudian mengulurkan tangan ke arah gambar. Calon prajurit itu menangkap pergelangan tangannya dan bangkit berdiri.

"Apa yang kamu lakukan ini?" serunya.

Inspektur mengambil buku tulis itu dan mengacungkannya tinggi-tinggi. "Aku mau lihat dulu," salaknya.

"Kau tak punya hak."

"Ini tugasku!"

"Mengganggu urusan orang lain itu tugasmu?"

"Kenapa? Apa tak boleh aku melihat?"

"Orang bebal macam kamu tak bakal mengerti."

"Kupikir lebih baik aku menyimpannya."

"He, jangan, jangan!" teriak calon prajurit itu hendak merebut buku tulisnya. Kedua orang itu tarik-menarik, dan buku tulis sobek menjadi dua.

"Awas kamu!" seru si inspektur. "Lebih baik kamu memberi penjelasan baik-baik. Atau kuadukan kau."

"Apa dasarnya? Apa kamu perwira?"

"Betul."

"Apa kelompokmu? Siapa komandanmu?"

"Bukan urusanmu. Tapi kau boleh tahu, aku punya perintah untuk menyelidiki siapa saja di tempat ini yang kelihatan mencurigakan. Siapa kasih kamu izin membuat sketsa?"

"Lho, aku sedang membuat telaah tentang puri-puri dan ciri-ciri geografisnya buat rujukan masa depan. Apa salahnya?"

"Tempat ini penuh mata-mata musuh. Mereka semua mengajukan alasan macam itu. Tak peduli siapa kamu. Kamu mesti menjawab beberapa pertanyaan. Ayo sini ikut aku!"

"Jadi, kau menuduhku penjahat?"

"Tutup mulutmu dan ikut aku."

"Oh, pegawai-pegawai bejat! Terlalu biasa kalian menakut-nakuti orang banyak, tiap kali kalian membuka mulut besar itu!"

"Diam kamu! Ayo ikut!"

"Jangan kau coba-coba denganku!" Calon prajurit itu tetap tak mau menyerah.

Nadi-nadi di dahinya menggelembung marah. Inspektur itu menjatuhkan belahan buku tulis tersebut, menginjaknya, dan menarik lembing kapaknya. Si calon prajurit melompat mundur selangkah, memperbaiki kedudukannya.

"Kalau kamu tak mau ikut dengan sukarela, terpaksa aku mengikat dan menyeret-mu," kata si inspektur.

Belum lagi kata-kata itu selesai diucapkan, lawannya sudah beraksi. Sambil melolong keras ditangkapnya leher inspektur itu dengan sebelah tangan, dan dengan tangan lain dicengkeramnya ujung bawah baju zirahnya, kemudian dibantingnya ke sebuah batu besar.

"Orang udik tak berguna!" jeritnya, tapi kata-kata itu kurang cepat waktunya untuk didengar si inspektur, karena kepala si inspektur sudah menganga di atas batu, seperti semangka. Matahachi berteriak ngeri sambil menutup muka dengan tangan untuk melindungi diri dari gumpalan-gumpalan benda encer merah yang melayang ke arahnya.

Sementara itu, si calon prajurit cepat kembali kepada sikap tenang sepenuhnya.

Matahachi sungguh terpesona. Mungkinkah orang itu sudah terbiasa mem-bunuh dengan cara brutal seperti itu? Ataukah sifat darah dingin itu sekadar akibat ledakan kemarahan? Karena gentar yang sehebat-hebatnya, Matahachi mulai mengucurkan keringat. Menurut terkaannya, orang itu belum lagi berumur tiga puluh. Wajahnya yang kurus dan terbakar matahari itu bopeng, dan kelihatannya tidak berdagu. Barangkali karena bekas luka pedang yang dalam dan mencekung aneh bentuknya.

Calon prajurit itu tidak terburu-buru melarikan diri. Ia mengumpulkan dahulu bagian-bagian buku tulisnya yang robek-robek. Kemudian ia menoleh ke sekitar tenang-tenang, untuk mencari topinya yang terbang ketika ia melaksanakan lemparan hebat tadi. Sesudah ditemukannya topi itu, ia mengenakannya dengan hati-hati di kepala, dan sekali lagi menyembunyikan mukanya yang mengerikan itu dari pandangan mata. Kemudian pergilah ia dengan langkah cepat dan semakin cepat, sampai akhirnya seolah-olah ia terbang bersama angin.

Seluruh peristiwa itu terjadi demikian cepat, hingga tak seorang pun dari beratus-ratus buruh yang ada di sekitar tempat itu, ataupun orang-orang yang mengawasi pekerjaan mereka, sempat melihatnya. Para pekerja melanjutkan kerja keras seperti lebah, sementara para pengawas yang bersenjatakan cambuk dan lembing kapak meneriakkan perintah-perintah ke punggung mereka yang berkeringat.

Namun ada sepasang mata khusus yang menyaksikan semua itu. Mata pengawas umum para tukang kayu dan pembelah kayu yang berdiri di puncak perancah tinggi, yang memungkinkannya meninjau seluruh wilayah tersebut. Melihat calon prajurit itu melarikan diri, ia meneriakkan perintah, dan sekelompok serdadu, yang semula minum teh di bawah perancah, segera bergerak.

"Ada apa?"

"Perkelahian lagi?"

Yang lain-lain mendengar seruan untuk memegang senjata, dan segera kemudian berkepul debu kuning di dekat gerbang kayu benteng yang memisahkan wilayah pembangunan dengan kampung. Teriakan-teriakan marah mengudara dari kerumunan orang banyak.

"Ada mata-mata! Mata-mata dari Osaka!"

"Tak mau juga mereka itu belajar."

"Bunuh dia! Bunuh dia!"

Para penghela batu, pengangkut tanah, dan lain-lainnya berteriak-teriak seakan-akan "mata-mata" itu musuh pribadinya, dan menyerbu ke arah samurai tak berdagu itu. Samurai itu berlari di belakang kereta sapi yang sedang keluar dari gerbang, dan mencoba menyelinap, tapi seorang penjaga melihatnya dan menjegalnya dengan tongkat berpaku.

Dari atas perancah pengawas terdengar teriakan, "Jangan lepaskan dia!"

Tanpa ragu-ragu lagi orang banyak itu menyerang si pelaku kejahatan, yang terus melawan seperti binatang kena perangkap. Ia merebut tongkat dari tangan penjaga, lalu menyerang si penjaga, dan dengan ujung senjata itu ia banting si penjaga dengan kepala di bawah. Setelah menjatuhkan empat atau lima orang lagi dengan cara seperti itu, ia menarik pedang besarnya dan mengambil sikap menyerang. Orang-orang yang hendak menangkapnya undur ketakutan, tapi ketika ia bersiap-siap menerobos lingkaran yang mengepungnya, hujan batu menimpanya dari segala jurusan.

Orang banyak melampiaskan kemarahan sepuas-puasnya. Sikap mereka lebih kejam lagi, karena rasa benci yang dalam terhadap semua shugyosha. Seperti umumnya orang kebanyakan, kaum buruh ini menganggap samurai pengembara tak berguna, tidak produktif, dan sombong.

"Hei, jangan seperti orang kasar bodoh!" teriak samurai yang sudah terkepung itu, mencoba menyuruh orang-orang itu berpikir dan menahan diri. Ia memang melawan mereka, tapi agaknya ia lebih suka mengumpat para penyerangnya daripada menghindari batu-batu yang dilontarkan kepadanya. Tidak sedikit para penonton yang tidak bersalah ikut terluka dalam perkelahian itu.

Kemudian dalam sekejap segalanya berlalu. Teriakan mereda, dan kaum buruh mulai kembali ke tempat kerja masing-masing. Dalam lima menit saja wilayah pembangunan yang luas itu kembali seperti keadaan semula, seakan-akan tak ada yang telah terjadi. Bunga-bunga api yang berterbangan dari berbagai alat pemotong, ringkik kuda yang sudah setengah kacau karena panas matahari, dan panas yang menumpulkan pikiran-semuanya kembali biasa.

Dua pengawal berdiri di samping tubuh yang jatuh itu, yang telah diikat dengan tali rami besar. "Sudah sembilan puluh persen mati," kata salah seorang pengawal, "jadi bisa kita tinggalkan dia di sini sampai hakim datang." Ia memandang ke sekitar, dan terlihatlah olehnya Matahachi. "He, kamu! Jaga orang ini. Biar dia mati, tak apa-apa."

Matahachi mendengar kata-kata itu, tapi kepalanya tidak dapat menangkap maksudnya atau makna peristiwa yang baru saja disaksikannya. Semua itu seperti mimpi buruk yang tampak oleh mata, terdengar oleh telinga, tapi tak dimengerti oleh otaknya.

"Hidup ini begini rapuh," pikirnya. "Beberapa menit yang lalu dia masih sibuk membuat sketsa. Sekarang dia sekarat. Padahal dia belum lagi tua."

Ia merasa kasihan kepada samurai tak berdagu itu. Kepalanya tergeletak miring di tanah, hitam oleh kotoran dan darah kental, dan mukanya masih memperlihatkan kemarahan. Tali itu mengikatkannya pada sebuah batu besar. Matahachi merasa heran, kenapa para pengawal mengambil tindakan berjaga-jaga demikian rupa, padahal orang itu sudah sedemikian dekat dengan maut, hingga mengeluarkan suara pun tak bisa. Barangkali juga ia sudah mati. Sebelah kakinya menyembul aneh dari tengah sobekan panjang hakama-nya, sedangkan tulang keringnya yang putih menyembul dari tengah daging yang merah tua. Darah merembes dari kulit kepalanya, dan tawon-tawon mulai terbang di sekitar rambutnya yang kusut. Semut-semut sudah hampir menutup kedua tangan dan kakinya.

"Orang sial," pikir Matahachi. "Kalau dia belajar sungguh-sungguh, pasti dia mempunyai ambisi besar dalam hidup. Ingin tahu juga, dari mana dia datang... dan apa orangtuanya masih hidup."

Matahachi tercengkam oleh kesangsian aneh. Apakah ia benar-benar meratapi nasib orang itu, ataukah ia prihatin dengan kekaburan masa depannya sendiri? "Untuk orang yang mempunyai ambisi," demikian pikirnya, "mestinya ada cara yang lebih baik untuk maju."

Waktu itu adalah abad yang memacu harapan orang muda, yang mendorong mereka untuk mendambakan suatu impian, melecut mereka untuk memperbaiki statusnya dalam hidup. Ya, abad ketika orang seperti Matahachi pun dapat berkhayal akan bangkit dari ketiadaan dan menjadi penguasa sebuah puri. Seorang prajurit yang berbakat sederhana dapat mencapai sukses hanya dengan mengadakan perjalanan dari kuil satu ke kuil lain, dan hidup dari kedermawanan para pendeta. Kalau beruntung, ia dapat diambil oleh salah seorang bangsawan daerah, dan jika lebih beruntung lagi ia dapat menerima penghasilan tetap dari seorang daimyo.

Namun, dari semua pemuda yang mulai dengan harapan-harapan tinggi itu, hanya satu dalam seribu yang benar-benar mengakhiri usahanya dengan menemukan kedudukan dengan pendapatan memadai. Selebihnya harus merasa puas dengan kepuasan yang dapat mereka peroleh dari pengetahuan bahwa cita-cita mereka sukar dan berbahaya.

Sementara Matahachi merenungkan samurai yang terbaring di depannya itu, seluruh jalan pikirannya mulai dirasa betul-betul bodoh olehnya. Ke manakah arah jalan yang ditempuh Musashi? Keinginan Matahachi untuk menyamai atau melebihi temannya semasa kanak-kanak memang belum mereda, tetapi melihat prajurit yang berlumur darah itu, Jalan Pedang pun jadi tampak sia-sia dan tolol.

Kengerian tiba-tiba menyadarkannya bahwa prajurit di depannya itu bergerak, dan urutan pikirannya pun tiba-tiba berhenti. Tangan orang itu menjulur seperti sirip penyu dan mencakar tanah. Dengan lemah ia mengangkat tubuhnya, menegakkan kepala, dan menarik tali tegang-tegang.

Hampir Matahachi tak percaya dengan matanya. Orang itu bergerak sedikit demi sedikit di tanah, menyeret batu karang seberat hampir dua ratus kilogram yang menjadi tambatan tali pengikatnya. Satu kaki, dua kaki—sungguh suatu peragaan kekuatan seorang manusia super! Tak seorang pun manusia berotot atau tukang hela batu yang dapat melakukan itu, sekalipun banyak orang menyombongkan diri memiliki kekuatan setara sepuluh atau dua puluh orang. Samurai yang terbaring di ambang kematian itu telah dikuasai oleh suatu kekuatan setani yang memungkinkan-nya jauh melebihi kekuatan manusia biasa.

Bunyi menggelegak terdengar dari tenggorokan orang sekarat itu. Ia mencoba mati-matian untuk berbicara, tetapi lidahnya sudah menjadi hitam dan kering, hingga tak mungkin baginya membentuk kata-kata. Napasnya terdengar sebagai desisan yang merongga terputus-putus. Matanya yang menonjol dari ceruknya memandang dengan nada memohon kepada Matahachi.

"To-lo-lo-ng..."

Sedikit demi sedikit mengertilah Matahachi bahwa orang itu mengatakan "tolong". Kemudian terdengar bunyi lain yang tak jelas ucapannya, dan Matahachi menangkapnya sebagai ucapan "saya minta". Namun mata orang itulah yang terutama berbicara. Di situlah terletak akhir air matanya dan kepastian mautnya. Kepalanya jatuh ke belakang dan napasnya berhenti. Maka lebih banyak lagi semut keluar dari dalam rumput untuk menjelajahi rambut yang memutih oleh debu itu. Sebagian di antaranya bahkan masuk ke dalam lubang hidungnya yang sudah tersumbat keringan darah, dan tampaklah oleh Matahachi, kulit di bawah kerah kimononya sudah berwarna biru kehitaman.

Apakah yang diinginkan orang itu darinya? Matahachi merasa dikejar-kejar oleh pikiran bahwa kini ia menanggung kewajiban. Samurai itu sudah mendatanginya ketika ia sakit, dan telah menunjukkan kebaikan hatinya dengan memberikan obat kepadanya. Kenapa nasib telah membutakan mata Matahachi, sedangkan seharusnya ia mengingat-kan orang itu akan datangnya sang inspektur? Apakah memang sudah ditakdirkan itu terjadi?

Matahachi mencoba-coba meraba bungkusan kain dalam obi orang mati itu. Isinya pastilah dapat mengungkapkan siapa orang itu dan dari mana ia datang. Matahachi menduga bahwa permintaan orang itu di waktu sekarat adalah agar tanda mata yang ada padanya disampaikan pada keluarganya.

Maka diambilnya bungkusan itu dan dimasukkannya cepat-cepat ke dalam kimononya sendiri.

Lalu ia bersoal-jawab dengan dirinya sendiri, apakah akan memotong sedikit rambut orang itu untuk disampaikan kepada ibunya, tapi ketika sedang menatap wajah yang mengerikan itu, ia dengar langkah-langkah kaki mendekat. Ditengoknya dari balik sebuah batu, dan tampak olehnya seorang samurai datang untuk mengambil mayat itu. Kalau tertangkap menyimpan milik orang mati itu, pasti ia mengalami kesulitan hebat. Maka ia mengendap rendah-rendah dan menyelinap dari bayangan batu yang satu ke bayangan batu yang lain dan meninggalkan tempat itu seperti seekor tikus ladang.

Dua jam kemudian ia tiba di toko manisan tempat ia tinggal. Istri pemilik toko sedang berada di samping rumah, membasuh diri dengan air tempayan. Mendengar Matahachi ada di dalam rumah, ia memperlihatkan sebagian kulitnya yang putih dari balik pintu samping, dan serunya, "Kamu itu, Matahachi?"

Matahachi menjawab dengan gerutuan keras, kemudian masuk cepat ke kamarnya sendiri dan mengambil kimono dan pedang dari lemari, kemudian ia  ikatkan handuk yang sudah digulung di sekitar kepalanya dan bersiapsiap mengenakan sandal lagi.

"Apa tidak gelap di situ?" seru perempuan itu.

"Tidak, saya bisa lihat dengan jelas."

"Akan saya bawakan lampu."

"Tak perlu. Saya akan pergi."

"Apa tidak mandi? "

"Tidak. Nanti saja."

Ia bergegas keluar menuju ladang dan cepat menghindar dari rumah jembel itu. Beberapa menit kemudian ia menoleh ke belakang, dan terlihat olehnya sekelompok samurai datang dari seberang padang miskantus. Tak sangsi lagi mereka datang dari puri. Mereka memasuki toko manisan itu dari depan dan belakang.

"Hampir saja aku celaka," pikirnya. "Tapi aku tidak mencuri sesuatu. Aku cuma mengambilnya untuk disimpan. Aku harus melakukannya. Dia minta betul aku melakukannya."

Menurut jalan pikirannya, selama ia mengakui barang-barang itu bukan miliknya, ia tidak merasa melakukan kejahatan. Tapi bersamaan dengan itu ia pun sadar bahwa ia tidak dapat lagi memperlihatkan diri di wilayah pembangunan itu.

Bunga miskantus tegak setinggi bahunya, dan tabir kabut petang mengambang di atasnya. Tak seorang pun dapat melihatnya dari kejauhan. Mudahlah ia menyelinap pergi dari situ. Tapi ke mana ia harus pergi? Suatu pilihan yang sukar. Lebih-lebih karena ia yakin benar bahwa keberuntungan terletak di satu jurusan dan nasib malang di jurusan lain.

Osaka? Kyoto? Nagoya? Edo? Ia tak punya seorang pun teman di tempat-tempat itu. Rasanya ingin ia melempar dadu untuk memutuskan ke mana akan pergi. Seperti halnya pada Matahachi, pada dadu semua adalah kemungkinan. Kalau angin bertiup, angin akan membawanya berembus.

Ia merasa makin jauh ia berjalan, makin dalam ia masuk ke rumpun miskantus. Serangga mendengung-dengung di sekitarnya, dan kabut yang turun melembapkan pakaiannya. Tepi pakaiannya yang basah melibat kakinya. Biji-biji rumput menempel ke lengan kimononya. Tulang keringnya gatal. Ingatan mengenai rasa muak yang dialaminya tengah hari itu kini hilang, tapi sekarang ia lapar bukan kepalang. Segera sesudah merasa jauh dari jangkauan para pengejarnya, ia pun mulai merasa sengsara karena harus berjalan.

Karena ingin menemukan tempat berbaring dan beristirahat, ia terus berjalan menempuh panjangnya ladang itu, dan di seberang sana tampak atap sebuah rumah. Ketika ia sudah lebih dekat, tampak bahwa pagar dan pintu gerbang rumah itu miring, agaknya dirusak badai yang belum lama menimpa. Atap rumah itu pun membutuhkan perbaikan. Namun rumah itu tadinya tentu milik satu keluarga berada, karena ada keanggunan tertentu, walaupun sudah layu. Ia membayangkan seorang wanita istana cantik, duduk di kereta bertabir mewah yang sedang mendekati rumah itu dengan langkah megah.

Ketika melintas gerbang yang tampak murung itu, tampak olehnya rumah utama dan rumah kecil yang terpisah itu sudah hampir terkubur rumput liar. Pemandangan di situ mengingatkannya pada sebagian sajak penyair Saigyo yang pernah ia pelajari di masa kanak-kanak:



Saya dengar ada kenalan saya tinggal di Fushimi, dan saya pergi berkunjung kepadanya, tetapi halamannya demikian tertutup semak! Saya bahkan tak dapat melihat jalannya. Sementara serangga-serangga menyanyi, saya pun menggubah sajak ini:



Menerobos rumput liar,

Kusembunyikan rasa senduku

Dalam lipatan lengan kimonoku.

Di halaman penuh embun

Serangga yang hina pun berlagu.



Hati Matahachi jadi menggigil. Ia meringkuk di dekat rumah itu sambil membisikkan kata-kata yang sudah lama dilupakannya itu.

Baru saja ia akan menyimpulkan rumah itu kosong, seberkas cahaya merah muncul dari dalam. Segera kemudian ia dengar ratapan merana shakuhachi, suling bambu yang biasa dimainkan pendeta pengemis apabila sedang mengemis di jalan-jalan. Ketika menengok ke dalam, didapatinya si pemain memang anggota kelas itu. Orang itu duduk di samping perapian. Api yang baru dinyalakannya bertambah terang, dan bayangan dirinya di dinding makin besar. Ia memainkan lagu sedih, ratapan tunggal mengenai kesendirian dan sendunya musim gugur, yang hanya dimaksud untuk telinga sendiri. Orang itu bermain sederhana saja, tanpa banyak kembang, hingga Matahachi mendapat kesan bahwa ia cuma menaruh sedikit rasa bangga pada permainannya sendiri.

Ketika lagu berhenti, pendeta itu mengeluh dalam dan mulai meratap.

"Orang bilang, kalau kita berumur empat puluh tahun, kita bebas dari godaan. Tapi cobalah lihat diriku ini! Empat puluh tujuh ketika kuhancurkan nama baik keluargaku. Empat puluh tujuh tahun! Dan masih saja aku tergoda angan-angan buruk dan kehilangan semuanya-pendapatan, kedudukan, nama baik. Bukan hanya itu. Telah kubiarkan anak lelakiku satusatunya mengurus diri sendiri di dunia yang brengsek ini.... Untuk apa? Cinta buta?

"Memalukan—tak dapat lagi aku menghadapi arwah istriku, juga anak lelakiku, di mana pun ia berada. Ha! Kalau orang berbicara bahwa kita menjadi bijaksana sesudah umur empat puluh, mestinya yang dibicarakan itu orang-orang besar, bukan orang-orang tolol seperti aku ini. Daripada menganggap diri bijaksana karena usia, lebih baik aku harus lebih berhati-hati. Sungguh gila tidak berhati-hati, kalau soalnya menyangkut perempuan."

Sambil menegakkan shakuhachi di depannya dan mengganjalkan kedua tangan pada pipinya, ia meneruskan, "Ketika urusan dengan Otsu itu terjadi, tak seorang pun mau memaafkan aku lagi. Sudah terlambat, terlambat."

Matahachi merangkak masuk kamar sebelah. Ia mendengarkan, tetapi jijik dengan apa yang dilihatnya. Pipi pendeta itu cekung, bahunya kelihatan lancip seperti bahu anjing liar, dan rambutnya tidak mengilat. Matahachi meringkuk diam-diam. Dalam cahaya api yang mengejap-ngejap, sosok tubuh orang itu menimbulkan khayalan tentang setan-setan malam.

"Oh, apa yang harus kuperbuat?" rintih pendeta itu lagi sambil mengangkat matanya yang cekung ke langit-langit. Kimononya polos dan kumal, tetapi ia mengenakan juga baju jubah hitam, yang menunjukkan bahwa ia pengikut guru Zen Cina, P'u-hua. Tikar buluh tempat ia duduk, yang digulungnya dan dibawanya ke mana saja ia pergi itu, barangkali satusatunya harta rumah tangganya-tempat tidurnya, tabirnya, dan dalam cuaca buruk, juga atapnya.

Pendeta itu memungut shakuhachi-nya dan berjalan dengan lesu ke luar rumah. Matahachi seperti melihat ada kumis menyerabut di bawah hidungnya yang kurus. "Sungguh orang aneh!" pikirnya. "Dia belum lagi tua, tapi berdirinya sudah begitu goyah." Karena dikiranya orang itu kurang waras, Matahachi merasa sedikit kasihan kepadanya.

Karena tiupan angin malam, nyala api dari ranting-ranting patah mulai membakar lantai. Matahachi masuk kamar kosong itu, menemukan kendi air, dan menuangkan isinya ke api. Sambil melakukan itu terpikir olehnya, alangkah cerobohnya pendeta itu.

Tak apa-apa kalau yang terbakar habis cuma rumah tua yang kosong itu. tapi bagaimana kalau yang terbakar itu kuil kuno dari zaman Asuka atau Kamakura? Matahachi merasakan gejolak kemarahan yang jarang terjadi padanya. "Justru karena orang-orang seperti dia itu kuil-kuil kuno di Nara dan Gunung Koya begitu sering hancur," pikirnya. "Pendeta-pendeta pengembara yang gila ini tak punya harta milik, tak punya keluarga. Mereka tak pernah berpikir, betapa besarnya bahaya api. Mereka bisa saja menyalakan api di ruang besar sebuah biara tua, di dekat lukisan dinding, hanya untuk menghangatkan bangkainya sendiri yang tak ada manfaatnya bagi siapa pun.

"Tapi ini ada yang menarik," gumamnya sambil menolehkan matanya ke arah ceruk kamar. Bukan pola anggun kamar ataupun sisa-sisa jambangan berharga yang memikat perhatiannya, melainkan sebuah kuali logam yang sudah hitam dan sebuah guci sake bermulut sumbing di sebelahnya. Di dalam kuali itu ada sedikit bubur nasi, dan ketika ia mengguncangkan guci itu, terdengar dari dalamnya suara gemericik gembira. Ia tersenyum lebar, merasa bersyukur atas nasib baiknya, namun kurang pikir tentang hak milik orang lain, seperti yang biasa terjadi pada orang lapar mana pun.

Cepat ia mengosongkan sake itu dengan beberapa tegukan panjang, kemudian mengosongkan isi kuali nasi dan mengucapkan selamat kepada dirt sendiri karena perutnya sudah kenyang.

Sambil mengangguk-angguk mengantuk di samping perapian, ia mendengar dengung serangga yang seperti hujan datang dari ladang gelap di luar—tidak hanya dari ladang, melainkan juga dari dinding, langit-langit, dan tikar tatami yang membusuk.

Tepat sebelum berlayar ke alam tidur, teringat olehnya bungkusan yang diambil-nya dari prajurit yang sekarat tadi. Ia bangun dan membukanya. Bungkusan itu berupa kain krep kotor yang dicelup dengan celupan kayu sappan merah tua. Isinya pakaian dalam yang sudah dicuci bersih, serta barang-barang yang biasa dibawa musafir. Ketika pakaian dibuka, ditemukannya sebuah benda yang ukuran dan bentuknya seperti gulungan surat, terbungkus dengan amat hati-hati dalam kertas minyak. Terdapat juga sebuah pundi-pundi yang seketika jatuh dari lipatan kain dengan denting nyaring. Pundi-pundi itu terbuat dari kulit bercelup warna lembayung. Isinya emas dan perak dalam jumlah demikian banyak, hingga tangan Matahachi gemetar ketakutan. "Ini uang orang lain, bukan uangku," demikian ia mengingatkan dirinya.

Ketika dibukanya kertas minyak yang membungkus barang yang panjang, tampak sebuah gulungan dililitkan pada sebuah gelindingan dengan kain brokat emas di ujungnya. Segera ia merasa bahwa gulungan itu mengandung rahasia penting. Dengan rasa ingin tahu yang besar diletakkannya gulungan itu di hadapannya, dan pelan-pelan dibukanya. Bunyinya,



SERTIFIKAT



Dengan sumpah suci saya bersumpah telah menurunkan kepada Sasaki Kojiro tujuh metoda rahasia seni pedang Gaya Chujo berikut ini:

Secara terang-terangan - gaya kilat, gaya roda, gaya bulat, gaya perahu mengapung.

Secara rahasia - Berlian, Olah Batin, Tak Terhingga.

Dikeluarkan di Kampung Jokyoji, Usaka Demesne, Provinsi Echizen, pada bari... bulan…



Kinemaki Jisai, murid Toda Seigen



Di atas secarik kertas yang agaknya ditambahkan kemudian, terdapat sebuah sajak.



Bulan yang memancarkan sinar

Ke air yang tiada

Dalam sumur yang belum digali

 Menghasilkan manusia

Tanpa bayangan ataupun bentuk

 Matahachi sadar bahwa ia memegang sertifikat yang diberikan kepada seorang murid yang telah mempelajari segala yang diajarkan gurunya, tetapi nama Kanemaki Jisai itu tak ada artinya sama sekali baginya. Ia pasti akan dapat mengenali nama Ito Yagoro, yang dengan nama Ittosai telah menciptakan gaya main pedang yang terkenal dan sangat dikagumi, tapi ia tidak tahu bahwa Jisai guru Ito. Ia pun tidak tahu bahwa Jisai seorang samurai yang baik sekali wataknya, yang telah menguasai Gaya Toda Seigen sejati dan  telah mengundurkan diri ke sebuah kampung terpencil untuk menghabiskan masa tuanya sebagai orang tak dikenal, dan sesudah itu menurunkan Metoda Seigen hanya kepada beberapa murid pilihan.

Matahachi membaca kembali nama pertama itu. "Sasaki Kojiro ini pasti samurai yang terbunuh di Fushimi hari ini," pikirnya. "Dia tentunya pemain pedang mahir yang patut mendapat hadiah surat keterangan untuk Gaya Chujo, apa pun macamnya gaya itu. Sungguh sayang dia mesti mati! Tapi aku jadi yakin sekarang. Betul sekali dugaanku. Dia tentunya ingin aku menyampaikan ini pada seseorang, barangkali orang yang berasal dari tempat kelahirannya."

Macahachi membacakan doa pendek kepada sang Budha untuk Sasaki Kojiro, kemudian berjanji pada diri sendiri bahwa bagaimanapun ia akan melaksanakan misinya yang baru ini.

Untuk menghilangkan rasa dingin, ia menghidupkan api kembali, kemudian membaringkan diri di dekat perapian. Segera ia jatuh tertidur.

Dari kejauhan terdengar bunyi shakuhachi pendeta tua itu. Lagu sedih yang agaknya mencari-cari sesuatu dan menyeru pada seseorang terus mendayu-dayu, sementara gelombang pedih mengalun di atas desir ladang.

bersambung>>>

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive