BAGIAN 2
Murka Janda Bangsawan
KELUARGA Matahachi, Hon'iden, anggota kebanggaan kelompok bangsawan desa yang masuk kelas samurai. Mereka juga mengerjakan tanah. Kepala sesungguhnya dari keluarga itu adalah ibu Matahachi, seorang perempuan yang sangat keras kepala bernama Osugi. Sekalipun sudah hampir enam puluh tahun umurnya, tiap hari ia memimpin keluarga dan petani penyewanya ke ladang dan bekerja sama kerasnya dengan mereka. Di musim tanam ia mencangkul ladang, dan sesudah panen la menebah butir-butirnya dengan menginjak-injaknya. Kalau senja memaksanya berhenti bekerja, ada saja yang dapat ditemukannya untuk disandangkan ke punggungnya yang bungkuk dan diangkutnya pulang ke rumah. Sering kali yang dipanggulnya adalah ikatan daun murbei yang demikian banyak, hingga tubuhnya yang hampir melipat dua itu nyaris tidak kelihatan. Pada malam hari, biasanya ia dapat ditemui sedang mengurus ulat sutranya.
Sore pada hari pesta bunga itu, Osugi menghentikan kerjanya di petak kebun murbei ketika melihat cucu lelakinya yang masih ingusan berlari-lari telanjang kaki melintas ladang.
"Dari mana kamu, Heita?" tanyanya tajam. "Dari kuil, ya?"
"He-eh."
"Otsu ada di sana?"
"Ya," jawab anak itu girang. Napasnya masih terengah-engah. "Dan dia pakai obi yang bagus sekali. Dia membantu pesta."
"Kamu bawa pulang teh manis dan mantra pengusir hama, tidak?"
"Tidak."
Mata perempuan tua yang biasanya tersembunyi di antara lipatan dan kerut-kerut itu kini terbelalak karena jengkel. "Kenapa tidak?"
"Otsu bilang, tidak usah repot dengan hama-hama itu. Dia bilang, saya mesti lari pulang dan mengatakan pada Nenek." "Mengatakan apa?"
"Takezo, dari seberang kali. Otsu bilang melihat dia di pesta."
Suara Osugi turun satu oktaf. "Betul? Betul-betul dia melihatnya, Heita?"
"Ya, Nek."
Tubuh kekar itu pun seperti lumpuh seketika, dan matanya menjadi kabur oleh air mata. Pelan-pelan ia menoleh, seakan-akan berharap melihat anak lelakinya berdiri di belakangnya. Ketika tak dilihatnya seorang pun, ia pun memutar badannya kembali. "Heita," katanya sekonyong-konyong, "ambili daun murbei ini."
"Nenek mau ke mana?"
"Pulang. Kalau Takezo kembali, Matahachi pasti pulang juga."
"Saya ikut."
"Tak usah. Jangan nakal, Heita."
Wanita tua itu pun enyah, meninggalkan anak kecil itu sendirian, seperti anak yatim. Rumah pertanian yang dikitari pohon ek tua berbonggolbonggol itu adalah rumah yang besar. Osugi melewatinya saja dan berlari langsung ke lumbung, di mana anak perempuannya dan beberapa petani penyewa sedang bekerja. Masih di kejauhan ia sudah berseru pada mereka dengan agak histeris.
"Apa Matahachi sudah pulang? Apa dia sudah di sini?"
Orang-orang itu terkejut, dan memandangnya seakan-akan la telah kehilangan akal. Akhirnya seorang dari mereka mengatakan "belum", tapi perempuan tua itu seperti tidak mendengarnya. Seakan-akan, karena sudah terlalu lelah, la menolak menerima jawaban "belum". Ketika mereka terus memperlihatkan pandangan kosong, ia pun mulai menyebut mereka semua dungu, dan ia menjelaskan apa yang telah didengarnya dari Heita. Kalau Takezo kembali, Matahachi pasti kembali juga. Kemudian ia pun kembali berperan sebagai komandan tertinggi. Diperintahkannya mereka pergi ke semua arah untuk menemukan Matahachi. la sendiri tinggal di rumah, dan tiap kali dirasanya ada orang mendekat, ia berlari ke luar dan bertanya apakah mereka belum menemukan anaknya.
Pada waktu matahari terbenam, masih dengan semangat tinggi ia meletakkan lilin di depan tanda peringatan nenek moyang suaminya. la duduk seperti patung. Karena semua orang masih melakukan pencarian, tak ada makan malam di rumah itu. Ketika malam tiba dan masih juga belum ada berita, Osugi pun akhirnya bergerak. Seperti sedang kesurupan ia keluar pelan-pelan dari rumah, menuju gerbang depan. Di sana ia menanti, tersembunyi dalam kegelapan. Bulan bersinar menembus ranting-ranting pohon ek, sedangkan pegunungan yang membayang di depan dan di belakang rumah terselimut kabut putih. Bau harum kembang pit mengambang di udara.
Waktu pun mengapung lewat tanpa terasa. Sesosok tubuh terlihat mendekat, menyusuri sisi luar kebun pit. Melihat bayangan Otsu, Osugi pun memanggilnya, dan gadis itu berlari. Sandalnya yang basah berdetap-detap berat di tanah.
"Otsu! Orang bilang kau melihat Takezo. Betul?"
"Ya, saya yakin. Saya melihatnya di tengah orang banyak di luar kuil."
"Kau tidak lihat Matahachi?"
"Tidak. Saya lari ke luar untuk menanyai Takezo, tapi ketika saya memanggil, dia melompat seperti kelinci ketakutan. Saya lihat matanya sesaat, kemudian dia hilang. Sejak dulu dia memang aneh, tapi saya tak bisa mengerti, kenapa dia lari seperti itu."
"Lari?" tanya Osugi keheranan. la mulai bertanya-tanya pada dirinya, dan semakin ia bertanya, semakin terbentuk kecurigaan yang mengerikan di dalam otaknya. Menjadi jelaslah baginya bahwa anak lelaki Shimmen, si bangsat Takezo yang sempat dibencinya karena memikat Matahachi yang sangat disayanginya untuk pergi perang, sekali lagi telah berbuat sesuatu yang tidak baik.
Akhirnya berkatalah ia mengancam, "Bangsat! Barangkali dia sudah meninggalkan Matahachi yang malang mati entah di mana, kemudian mencuri-curi pulang dalam keadaan sehat walafiat. Pengecut!" Osugi pun mulai gemetar karena berang, dan suaranya meninggi menjadi jeritan, "Tidak bisa dia sembunyi dariku!"
Otsu tetap tenang. "Ah, saya pikir dia tak akan berbuat begitu. Biarpun dia harus meninggalkan Matahachi, pasti dia menyampaikan pesan untuk kita, atau paling tidak tanda mata dari dia." Kata-kata Otsu terdengar gemetar karena tuduhan perempuan tua yang tergesa-gesa itu.
Namun Osugi waktu itu sudah yakin benar akan pengkhianatan Takezo. la menggeleng-gelengkan kepala dengan mantapnya, dan berkata lagi, "Ah, dia tak akan berbuat begitu! Aku kenal iblis itu! Dia tidak sebaik itu. Matahachi mestinya tak perlu bergaul dengannya."
"Nek...," kata Otsu meredakan.
"Apa?" bentak Osugi yang sama sekali tidak reda marahnya.
"Saya pikir, kalau pergi ke rumah Ogin, kita mungkin menemukan Takezo di sana."
Kemarahan perempuan tua itu pun mereda sedikit. "Barangkali kau benar. Ogin kakak perempuannya, dan memang tak seorang pun di kampung ini yang akan menerima Takezo."
"Kalau begitu, mari kita melihat ke sana. Berdua saja."
Osugi menolak keras. "Tak ada alasan untukku ke sana. Dia tahu adiknya yang menyeret anakku pergi perang, tapi tak pernah sekali pun dia datang minta maaf atau menunjukkan sikap hormat. Sekarang pun, ketika Takezo datang, dia tidak memberitahu aku. Kenapa aku harus pergi mendatanginya? Itu merendahkan martabat. Aku tunggu dia di sini."
"Tapi ini bukan keadaan biasa," jawab Otsu. "Dan lagi, yang pokok sekarang menemui Takezo secepatnya. Kita mesti bertanya, apa yang sudah terjadi. Ayolah, Nek, kita pergi. Nenek tak perlu melakukan apa-apa. Saya yang melakukan semua formalitas, kalau Nenek mau."
Osugi menerima desakan Otsu dengan segan-segan. Tentu saja ia sama inginnya dengan Otsu untuk mengetahui apa yang terjadi, tapi lebih baik ia mati daripada mengemis pada seorang Shimmen.
Rumah Ogin kira-kira satu mil jauhnya. Sebagaimana keluarga Hon'iden, keluarga Shimmen adalah bangsawan desa, clan kedua keluarga itu berasal dari wangsa Akamatsu beberapa generasi sebelumnya. Mereka menempati kedua tepi sungai yang berhadapan, dan diam-diam mereka selalu mengakui hak hidup masing-masing pihak. Hanya sampai di situlah keakraban mereka.
Sampai di gerbang depan, mereka mendapati gerbang itu terkunci. Pepohonan demikian lebat, hingga tak mungkin terlihat cahaya lampu rumah. Otsu hendak berjalan memutar ke pintu belakang, tapi Osugi mogok.
"Rasanya tidak pantas kalau kepala keluarga Hon'iden masuk rumah keluarga Shimmen dari pintu belakang. Itu menurunkan derajat."
Melihat Osugi tak hendak beranjak, Otsu melanjutkan berjalan ke pintu belakang sendirian. Akhirnya lampu pun muncul di sebelah dalam gerbang. Ogin sendiri yang keluar menyambut perempuan tua itu, yang tiba-tiba berubah dari seorang perempuan buruk pembajak ladang menjadi seorang wanita bangsawan besar dan menyapa nyonya rumah dengan nada-nada tinggi.
"Maafkan saya mengganggu Nona pada waktu seperti ini, tetapi urusan saya ini betul-betul tak bisa ditangguhkan. Nona sangat bermurah hati telah datang dan menyilakan saya masuk!" la pun cepat melewati Ogin dan langsung masuk rumah, dan seperti utusan dewa-dewa ia pun segera menuju tempat yang paling terhormat di dalam ruangan itu, di depan ceruk. la duduk dengan angkuhnya. Tubuhnya diapit perkamen yang tergantung dan satu karangan bunga. la pun berkenan mendengarkan katakata sambutan yang setulus-tulusnya dari Ogin.
Basa-basi telah berakhir, lalu Osugi langsung pada persoalan. Senyuman palsunya lenyap ketika ia menatap perempuan muda di depannya. "Saya mendengar kabar, setan kecil rumah ini sudah merangkak pulang. Saya minta dia dibawa kemari."
Walaupun lidah Osugi terkenal tajam, kedengkian yang tak disembunyisembunyikan ini terdengar bagai guncangan bagi Ogin yang halus.
"Siapa yang Ibu maksud dengan 'setan kecil' itu?" tanya Ogin, jelas menahan diri.
Seperti bunglon, Osugi pun mengubah taktiknya. "Oh, lidah saya sudah tergelincir tadi," katanya sambil tertawa. "Itulah nama yang diberikan orang kampung kepadanya. Saya ketularan orang-orang itu. 'Setan kecil' itu Takezo. Dia bersembunyi di sini, bukan?"
"Ah, tidak," jawab Ogin yang benar-benar terkejut. Karena malu mendengar adiknya disebut demikian, ia pun menggigit bibirnya.
Dan karena kasihan kepadanya, Otsu pun menjelaskan bahwa ia telah melihat Takezo dalam pesta. Kemudian, untuk meluruskan perasaan-perasaan yang sudah terganggu, ia pun menambahkan, "Aneh juga, bukan, bahwa dia tidak langsung datang ke sini?"
"Tapi betul dia tidak datang," kata Ogin. "Ini pertama kali saya mendengarnya. Tapi kalau dia kembali seperti Ibu katakan itu, saya yakin dia akan mengetuk pintu sebentar lagi."
Osugi yang duduk resmi di bantalan lantai, dan kakinya tersimpuh rapi, melipat tangan di pangkuan. Dengan gaya seorang mertua yang sedang meradang ia pun melancarkan badai umpatan.
"Apa artinya semua ini? Jadi, apa kau ingin aku percaya kau belum dengar berita tentang dia? Apa kau tidak tahu, akulah ibu anak yang telah diseret pergi perang oleh pemuda sampah itu? Apa kau tidak tahu, Matahachi itu ahli waris dan anggota terpenting keluarga Hon'iden? Adikmu yang membujuk anakku pergi dan terbunuh. Kalau anakku mati, berarti adikmu yang membunuhnya, dan kalau dirasanya dia dapat pulang diamdiam sendiri dan beres semuanya..."
Cukup lama perempuan tua itu berhenti untuk mengatur napas, kemudian matanya menyala kembali dalam keberangan. "Lalu kau sendiri bagaimana? Sejak dia jelas berbuat tak pantas dengan pulang diam-diam sendirian, kenapa kau yang menjadi kakak perempuannya tidak lekas menyuruhnya datang padaku? Aku muak dengan kalian berdua. Memperlakukan seorang perempuan tua tanpa sopan sama sekali. Kalian pikir siapa aku ini?"
Dan sesudah menelan napas sekali lagi, ia pun berkaok-kaok kembali. "Kalau Takezo memang pulang, bawa Matahachi padaku. Kalau tak bisa, paling tidak suruh setan kecil itu ke sini sekarang, untuk menjelaskan padaku apa yang terjadi dengan anak kesayanganku dan di mana dia sekarang-sekarang juga!"
"Bagaimana saya bisa melakukan itu? Dia tak ada di sini."
"Bohong besar!" jerit Osugi. "Kau pasti tahu di mana dia!"
"Saya sudah bilang tidak tahu!" protes Ogin. Suaranya bergetar dan matanya basah oleh air mata. la pun membungkuk, mengharap setengah mati ayahnya masih hidup.
Tiba-tiba dari pintu yang terbuka ke beranda terdengar bunyi berderak, diikuti bunyi kaki berlari.
Mata Osugi berkilat, dan Otsu mulai berdiri, tetapi bunyi berikutnya yang terdengar adalah pekikan yang menegakkan bulu roma. Suara manusia yang mirip sekali dengan lolongan binatang.
Seorang lelaki berteriak, "Tangkap dia!"
Kemudian terdengar bunyi lebih banyak kaki, lalu lebih banyak lagi, berlarian di sekitar rumah, diiringi kertak ranting-ranting dan gemeresik pohon bambu.
"Itu Takezo!" teriak Osugi. la melompat berdiri, menatap Ogin yang berlutut, dan menyemburkan kata-kata. "Aku tahu dia di sini!" katanya garang. "Itu sama terangnya dengan hidung di mukamu. Tak mengerti aku, kenapa kau mencoba menyembunyikan dia dariku, tapi ingatlah, aku tak akan melupakannya."
la pun menuju pintu dan mendorongnya dengan keras. Tapi apa yang dilihatnya di luar membuat wajahnya yang sudah pucat itu menjadi lebih putih lagi. Seorang pemuda yang mengenakan pelindung kaki telentang di tanah, mati. Darah segar masih mengalir dari mata dan hidungnya. Melihat tengkoraknya yang berantakan, pastilah ia dibunuh dengan satu hantaman pedang kayu.
"Ada... ada... ada orang mati di situ!" katanya terbata-bata.
Otsu membawa lampu ke beranda dan berdiri di samping Osugi yang membelalak ketakutan ke arah mayat itu. Bukan mayat Takezo atau Matahachi, tapi mayat samurai yang tidak mereka kenali.
Osugi berbisik, "Siapa yang melakukan ini?" Sambil menoleh cepat kepada Otsu, ia berkata, "Ayo kita pulang, sebelum terlibat."
Otsu tak dapat memaksa dirinya pergi. Perempuan tua itu sudah mengucapkan banyak kata keji. Akan terasa tidak adil bagi Ogin, kalau la pergi sebelum memberikan salep kepada luka-luka itu. Kalaupun Ogin berdusta, menurut perasaan Otsu, ia tentunya punya alasan yang baik. Karena merasa harus tinggal untuk menyenangkan hati Ogin, maka Otsu pun mengatakan kepada Osugi bahwa la akan menyusul kemudian.
"Semaumulah," bentak Osugi sambil bersiap-siap pergi.
Dengan sopan Ogin menawarkan lentera, tapi Osugi menolak keras. "Ketahuilah, kepala keluarga Hon'iden belum begitu pikun hingga membutuhkan lampu untuk berjalan." la pun melipat keliman kimononya, meninggalkan rumah itu dan berjalan tegap menempuh kabut yang menebal.
Tidak jauh dari rumah itu, seorang lelaki menyuruhnya berhenti. Pedangnya terhunus, dan tangan serta kakinya terlindung zirah. Ia jelas samurai profesional yang tidak bisa ditemukan di kampung itu.
"Ibu kan baru datang dari rumah Shimmen?" tanyanya.
"Ya, tapi...”
"Apa Ibu anggota keluarga Shimmen?"
"Tentu saja bukan!" bentak Osugi sambil mengibaskan tangan sebagai tanda protes. "Saya kepala keluarga samurai di seberang kali."
"Jadi, Ibu ini ibu Hon'iden Matahachi yang pergi dengan Shimmen Takezo ke Medan Sekigahara?"
"Ya, tapi anak saya pergi ke sana bukan karena ingin. Dia diperdaya setan kecil itu."
"Setan?"
"Itu... si Takezo!"
"Saya dengar Takezo itu tidak begitu disukai di kampung ini."
"Disukai? Menggelikan. Belum pernah kau melihat penjahat seperti dia! Tak dapat kaubayangkan kesulitan yang kami alami dalam keluarga, sejak anak saya bergaul dengan dia."
"Anak Ibu itu barangkali meninggal di Sekigahara. Saya..."
"Matahachi! Meninggal?"
"Eh, sebetulnya saya tidak begitu yakin. Tapi barangkali akan menjadi hiburan sedikit bagi Ibu dalam kesedihan Ibu, kalau saya katakan, saya akan melakukan segala yang mungkin untuk membantu Ibu membalas dendam."
Osugi memandang ragu-ragu. "Siapa Anda ini?"
"Saya dari garnisun Tokugawa. Sesudah pertempuran, kami pergi ke Puri Himeji. Atas perintah pimpinan saya, saya membuat rintangan di perbatasan Provinsi Harima untuk menyaring semua orang yang lewat.
"Takezo yang berasal dari rumah itu," sambungnya sambil menunjuk, "sudah menembus rintangan dan lari ke Miyamoto. Kami mengejarnya sampai tempat ini. Dia memang cukup ulet. Kami mengira sesudah beberapa hari berjalan dia akan ambruk, tapi sampai sekarang kami belum dapat menyusulnya. Tapi dia takkan dapat terus begitu selamanya. Kami akan menangkapnya."
Dengan mengangguk-angguk sadarlah Osugi sekarang, kenapa Takezo tidak muncul di Shippoji, dan yang lebih penting lagi, ia sadar bahwa Takezo barangkali tidak pulang ke rumah, karena itulah tempat pertama yang akan digeledah tentara. Tapi sementara itu, karena Takezo melakukan perjalanan sendirian, kemarahan Osugi tidak mereda. Berita kematian Matahachi pun tidak dipercayainya.
"Saya tahu, Takezo bisa sekuat clan selicik binatang liar," katanya malu-malu. "Tapi saya tak percaya samurai sekaliber Anda sulit menangkapnya."
"Nah, terus terang, itulah pendapat saya semula. Tapi jumlah kami tak banyak, dan dia baru saja membunuh seorang anak buah saya."
"Izinkanlah perempuan tua ini memberikan sedikit nasihat pada Anda." Sambil membungkuk ia pun membisikkan sesuatu ke telinga samurai itu. Kata-katanya agaknya sangat menyenangkan.
Samurai itu mengangguk-angguk tanda setuju, dan dengan bersemangat berkata, "Gagasan bagus! Hebat!"
"Jangan tanggung-tanggung melaksanakan tugas itu," dorong Osugi sambil berangkat pulang.
Tak lama sesudahnya, samurai itu mengumpulkan kelompoknya yang terdiri atas empat belas atau lima belas orang di belakang rumah Ogin. Sesudah ia memberikan keterangan ringkas, mereka pun melompati dinding, mengepung rumah, dan memblokir semua pintu keluar. Lalu beberapa orang serdadu menyerbu ke dalam rumah, meninggalkan jejak-jejak berlumpur. Mereka masuk ke kamar dalam, di mana dua perempuan muda sedang duduk berkabung, menghapus-hapus wajah yang berurai air mata.
Menghadapi serdadu-serdadu itu Otsu ketakutan dan pucat lesi. Namun Ogin yang bangga menjadi anak Munisai tetap tak gentar. Dengan mata tenang dan tajam, la tatap dengan berangnya para penyerbu itu.
"Bajingan! Binatang!" geramnya. Karena tak ada sasaran nyata bagi kemarahannya, ia pun mengayunkan pedang ek hitamnya hingga mendecit di udara, menebas cabang sebuah pohon besar. Getah putih yang memancar dari luka pohon itu mengingatkannya akan air susu ibu yang sedang menyusui. la berdiri dan pandangannya nyalang. Tanpa ibu tempatnya mengadu, yang ada di dunia ini hanya kesepian. Kali-kali kecil yang mengalir cepat dan bukit-bukit yang berombak-ombak di tempat tinggalnya sendiri pun seperti mengejek, bukan memberikan hiburan.
"Kenapa semua orang kampung memusuhiku?" tanyanya. "Begitu melihatku, langsung mereka lapor pada pengawal di gunung. Dan cara mereka lari waktu melihatku itu, seperti aku ini orang gila saja."
Sudah empat hari ia bersembunyi di Pegunungan Sanumo. Kini, lewat tabir kabut tengah hari, ia dapat melihat rumah ayahnya, rumah yang didiami kakak perempuannya sendirian. Kuil Shippoji bersarang di bukit di bawahnya. Atapnya muncul dari antara pepohonan. la tahu bahwa ia tidak dapat mendekati satu pun dari kedua tempat itu. Ketika ia memberanikan diri mendekati kuil itu pada hari lahir sang Budha, ia telah membahayakan hidupnya, sekalipun kuil itu penuh orang. Ketika didengarnya namanya dipanggil orang, tidak ada pilihan lagi baginya kecuali melarikan diri. Disamping ingin menyelamatkan lehernya sendiri, ia tahu kalau ia ditemukan orang di sana, Otsu pun akan mendapat kesulitan.
Malam itu, ketika diam-diam ia pergi ke rumah kakak perempuannya, kebetulan sekali ibu Matahachi ada di sana. Sejenak ia hanya berdiri di luar, mencoba mengarang-ngarang penjelasan di mana Matahachi berada, tapi ketika sedang mengawasi kakak perempuannya lewat celah pintu, serdadu-serdadu melihatnya. Sekali lagi ia terpaksa lari tanpa mendapat kesempatan bicara dengan siapa pun. Sejak itu, tampak dari tempat perlindungannya di pegunungan, samurai Tokugawa mencari-cari secara gencar sekali. Mereka merondai setiap jalan yang mungkin ditempuhnya, dan orang kampung bergabung membentuk kelompok-kelompok pencari, menjelajahi pegunungan.
la bertanya-tanya bagaimana kiranya pendapat Otsu tentangnya. Ia mulai curiga Otsu pun telah memusuhinya. Karena merasa orang sekampungnya sendiri menganggapnya musuh, ia pun jadi serba sulit.
Pikirnya, "Sukar sekali mengatakan pada Otsu alasan sebenarnya tunangannya tidak pulang. Barangkali sebaiknya kusampaikan pada perempuan tua itu.... Betul! Kalau kujelaskan semua itu kepadanya, dia nanti dapat pelanpelan menyampaikannya pada Otsu. Sesudah itu tak ada lagi alasanku untuk berkeliaran di sini."
Setelah membulatkan tekad, Takezo pun kembali berjalan, tapi ia tahu, ia tak boleh mendekati kampung sebelum gelap. Dengan sebuah karang besar ia pecahkan karang lain menjadi pecahan-pecahan kecil, lalu ia lemparkan sebuah di antaranya ke burung yang sedang terbang. Burung itu jatuh, dan belum lagi selesai mencabuti bulunya ia sudah membenamkan gigi-giginya yang setengah kelaparan ke daging yang masih mentah dan hangat itu. Sambil melahap burung, ia mulai lagi berjalan. Tapi tiba-tiba ia mendengar jeritan tertahan. Memang, siapa saja yang melihatnya selalu berlari menghindar penuh ketakutan melintasi hutan. Marah karena dibenci dan ditakuti, dikejar-kejar tanpa alasan, ia pun berteriak, "Tunggu!" Dan ia mulai berlari, seperti seekor macan tutul mengejar mangsa yang kabur.
Orang itu bukanlah tandingan Takezo, dan dengan mudah terkejar. Ternyata ia penduduk kampung yang datang ke pegunungan untuk membuat arang. Takezo tahu orang itu, walau tidak kenal. Takezo mencengkeram kerahnya dan menyeretnya kembali ke tempat terbuka.
"Kenapa kau lari? Apa kau tidak kenal aku? Aku seorang dari kalian, Shimmen Takezo dari Miyamoto. Tak bakal aku memakanmu hidup-hidup. Kau tahu kan, tidak sopan lari begitu saja dari orang yang dikenal tanpa mengucapkan salam!"
"Y y-y-y-ya, Tuan!"
"Duduk!"
Takezo melepaskan cengkeramannya dari lengan orang itu, tapi makhluk malang itu hendak lari, hingga terpaksa Takezo menendang pantatnya dan berbuat seolah-olah hendak memukulnya dengan pedang kayunya. Orang itu merangkak-rangkak di tanah seperti anjing, menguik-nguik sambil tangannya memegangi kepala.
"Jangan bunuh saya!" jeritnya mengiba-iba.
"Jawab saja pertanyaan-pertanyaanku."
"Akan saya jawab semuanya-tapi jangan bunuh saya! Saya punya istri dan keluarga."
"Tak ada yang mau membunuhmu. Apa betul bukit-bukit ini penuh serdadu?"
"Ya."
"Apa mereka mengawasi Kuil Shippoji juga?"
"Ya."
"Apa orang kampung memburuku lagi hari ini?"
Diam.
"Kau seorang dari mereka?"
Orang itu mendadak berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepala seperti orang bisu-tuli
"Tidak, tidak, tidak!"
"Cukup!" teriak Takezo. Dan sambil mencengkeram erat leher orang itu, ia pun bertanya, "Bagaimana dengan kakak perempuanku?"
"Kakak perempuan mana?"
"Kakak perempuanku, Ogin, dari Keluarga Shimmen. Jangan pura-pura bodoh. Kau tadi janji akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Aku tak 1amdak menyalahkan orang kampung yang mencoba menangkapku. Samurai yang memaksa mereka, tapi aku yakin mereka tak akan mengapa-apakan kakak perempuanku. Apa anggapanku ini keliru?"
Orang itu pun memberikan jawaban yang terlampau polos. "Saya tidak tahu apa-apa soal itu. Sama sekali tidak tahu."
Takezo cepat mengangkat pedangnya ke atas kepala orang itu, siap memukul. "Awas! Kedengarannya mencurigakan. Ada yang sudah terjadi dengan dia, kan? Jangan pura-pura lagi, atau kuhancurkan tengkorakmu!"
"Tunggu! Jangan! Saya akan bicara! Akan saya katakan semuanya!"
Dengan tangan terlipat tanda memohon, pembuat arang itu gemetaran dan ia bercerita bahwa Ogin telah ditawan, dan bahwa telah disebarkan perintah di kampung, yang isinya setiap orang yang memberikan makanan atau perlindungan kepada Takezo otomatis akan dianggap anteknya. la mengatakan bahwa tiap hari para serdadu mengerahkan orang kampung ke pegunungan, dan tiap keluarga diminta menyediakan seorang pemuda dua hari sekali untuk keperluan itu.
Keterangan tersebut membuat Takezo tegak bulu romanya. Bukan karena takut, melainkan marah. Untuk meyakinkan diri bahwa yang didengarnya benar ia pun bertanya, "Tuduhan apa yang dijatuhkan atas kakak perempuanku?" Matanya berkilat-kilat oleh air mata.
"Tak seorang pun dari kami tahu soal itu. Kami takut pada Kepala Distrik. Kami cuma melakukan apa yang diperintahkan, itu saja."
"Di mana mereka menahan kakakku?"
"Desas-desusnya mereka menahan dia di benteng Hinagura, tapi saya tidak tahu apa itu betul."
"Hinagura...," ulang Takezo. Matanya pun menoleh ke jajaran pegunungan yang menandai perbatasan provinsi. Tulang punggung pegunungan itu telah diwarnai bayang-bayang awan petang yang kelabu.
Takezo membiarkan orang itu pergi. Melihat orang itu bergegas pergi karena senang hidupnya yang tak berarti itu selamat, perut Takezo pun bergolak memikirkan sifat pengecut manusia-sifat pengecut yang telah memaksa samurai mengusik seorang wanita malang tak berdaya. la senang kini seorang diri lagi. la harus berpikir.
Segera kemudian ia mengambil keputusan. "Aku harus menyelamatkan Ogin, itu harus. Kakakku yang malang. Akan kubunuh mereka semua, kalau mencelakakan dia." Sesudah memilih arah tindakannya, ia pun berjalan tegak ke arah kampung dengan langkah-langkah jantan.
Beberapa jam kemudian, kembali Takezo mencuri-curi mendekati Shippoji. Lonceng malam baru saja berhenti berdentang. Hari sudah gelap dan cahaya lampu kelihatan menyorot dari kuil itu sendiri, juga dari dapur dan petak-petak pendeta, di mana orang nampaknya mondar-mandir.
"Kalau saja Otsu keluar," pikirnya.
Ia pun meringkukkan badan tanpa bergerak-gerak di bawah lorong tinggi beratap, tapi tak berdinding, yang menghubungkan kamar-kamar pendeta dengan kuil utama. Bau makanan yang sedang dimasak mengambang di udara, menimbulkan bayangan tentang nasi dan sop mengepul. Beberapa hari terakhir ini ia tidak makan apa-apa kecuali daging burung mentah dan umbut rumput. Perutnya kini berontak. Kerongkongannya terasa panas ketika getah lambungnya naik, pahit rasanya, dan dalam kesengsaraan itu ia pun menghirup napas keras-keras.
"Apa itu?" terdengar suara.
"Barangkali kucing," jawab Otsu yang keluar membawa baki makan malam dan mulai menyeberang lorong, tepat di atas kepala Takezo. Takezo mencoba memanggilnya, tapi ia begitu mual, hingga tak berhasil memperdengarkan suara jelas.
Ternyata nasib baik, karena justru saat itu suara lelaki tepat di belakang Otsu terdengar bertanya, "Mana jalan ke kamar mandi?"
Orang itu mengenakan kimono pinjaman dari kuil, diikat dengan sabuk sempit, di mana tergantung handuk kecil. Takezo mengenalnya sebagai salah seorang samurai dari Himeji. Jelas ia berpangkat tinggi, cukup tinggi, hingga dapat menginap di kuil dan menghabiskan waktu malamnya dengan makan dan minum sekenyang-kenyangnya, selagi anak buahnya dan orang kampung harus menjelajahi sisi-sisi gunung siang-malam, mencari si pelarian.
"Kamar mandi?" kata Otsu. "Mari saya tunjukkan."
la menurunkan baki dan mengantar orang itu menyusuri lorong. Tibatiba samurai itu menghampirinya dan merangkul Otsu dari belakang.
"Bagaimana kalau ikut aku ke kamar mandi?" sarannya garang.
"Hentikan! Lepaskan saya!" teriak Otsu, tapi orang itu membalikkan badan Otsu, memegang wajahnya dengan kedua tangannya yang besar dan menyapukan bibirnya ke pipi Otsu.
"Apa salahnya?" bujuknya. "Apa kau tak suka lelaki?"
"Hentikan! Tak boleh begitu!" protes Otsu yang tak berdaya. Serdadu ini pun menutupkan tangannya ke mulut Otsu.
Lupa akan bahaya, Takezo melompat ke lorong seperti kucing, dan mendaratkan tinjunya ke kepala orang itu dari belakang. Pukulan itu keras. Sekejap tak berdaya, samurai itu pun jatuh telentang, tapi masih terus berpegangan pada Otsu. Otsu mencoba melepaskan diri dan genggamannya dan memperdengarkan jeritan nyaring. Orang yang terjatuh itu berteriak, "Itu dia! Itu Takezo! Dia di sini! Ayo tangkap dia!"
Dari dalam kuil terdengar derap kaki dan raungan suara orang. Lonceng kuil mulai memberikan isyarat bahaya bahwa Takezo telah ditemukan, dan dari hutan berbondong-bondong orang mulai berkumpul di pekarangan kuil. Tapi Takezo sudah pergi, dan tak lama kemudian kelompok-kelompok pencari sekali lagi dikirimkan untuk menjelajahi perbukitan Sanumo. Takezo sendiri hampir tidak ingat bagaimana ia menyelinap lewat jaring yang dengan cepat mengetat itu. Ketika pengejaran sedang sengit-sengitnya, ia sudah berdiri di tempat jauh, di pintu masuk dapur besar berlantai kotor milik keluarga Hon'iden.
Melongok ke dalam rumah berpenerangan suram itu ia berseru, "Nenek!" "Siapa?" terdengar jawaban serak. Osugi berjalan pelan keluar dari kamar belakang. Diterangi dari bawah oleh lentera kertas yang dipegangnya, wajah Osugi yang sudah berkeriput itu memucat melihat tamunya. "Kau!" teriaknya.
"Ada berita penting yang mau saya sampaikan pada Nenek," kata Takezo buru-buru. "Matahachi tidak mati, dia masih segar bugar. Dia tinggal bersama seorang perempuan. Di provinsi lain. Itu saja yang dapat saya sampaikan, karena cuma itu yang saya tahu. Saya minta Nenek menyampaikan berita ini pada Otsu. Saya tak bisa menyampaikannya sendiri."
Dengan perasaan puas luar biasa karena telah bebas dari berita yang menjadi beban baginya, ia segera pergi, tapi perempuan itu memanggilnya kembali.
"Mau pergi ke mana kau sekarang?"
"Saya mesti masuk ke benteng Hinagura, menyelamatkan Ogin," jawab Takezo sedih. "Sudah itu saya akan pergi entah ke mana. Saya cuma mau menyampaikan pada Nenek dan keluarga Nenek, juga pada Otsu, bahwa tidak saya biarkan Matahachi mati. Selain itu, tak ada alasan lagi bagi saya untuk tinggal di sini."
"0, begitu." Osugi memindahkan lentera dari tangan yang satu ke tangan yang lain untuk mengulur waktu. Kemudian ia memberi isyarat pada Takezo, "Kau pasti lapar, kan?"
"Berhari-hari saya tidak mendapat makanan yang pantas."
"Kasihan! Tunggu! Aku sedang masak tadi, sebentar lagi aku kasih kamu makan malam yang hangat dan enak. Buat hadiah selamat jalan. Dan lagi apa kau tak ingin mandi selagi aku menyiapkan makanan?" Takezo tak bisa bicara.
"Tak usah terkejut begitu. Takezo, keluargamu dan keluarga kami selalu berdampingan sejak wangsa Akamatsu. Menurut pendapatku, kau seharusnya, jangan meninggalkan tempat ini, tapi yang pasti tak akan kubiarkan kau pergi tanpa diberi makan enak dan cukup!"
Sekali lagi Takezo tak dapat menjawab. la mengangkat sebelah tangannya dan menghapus matanya. Sudah begitu lama tak seorang pun bersikap begitu baik kepadanya. Sesudah menjadi orang yang selalu curiga dan tidak mempercayai siapa saja, tiba-tiba sekarang ia teringat bagaimana rasanya diperlakukan sebagai manusia.
"Lekas sana ke kamar mandi," desak Osugi dengan nada seorang nenek. "Bahaya sekali berdiri di sini-orang bisa melihatmu. Akan kuambilkan kimono dan pakaian dalam Matahachi untukmu. Sekarang tenang-tenang saja dan mandilah yang baik."
la pun menyerahkan lentera itu pada Takezo dan menghilang ke belakang rumah. Hampir pada waktu itu juga menantu perempuannya meninggalkan rumah, lari melintasi halaman dan hilang ditelan malam.
Dari kamar mandi, di mana lentera itu berayun-ayun, terdengar suara air berkecipak.
"Nah, bagaimana?" seru Osugi riang. "Cukup panas?"
"Cukup! Saya menjadi orang baru," sahut Takezo.
"Tenang-tenang saja dan hangatkan badanmu. Nasi belum matang."
"Terima kasih. Kalau saya tahu begini macamnya, mestinya saya datang lebih cepat. Saya yakin Nenek akan menerima saya!" la bicara lagi dua-tiga kali, tapi suaranya tenggelam oleh bunyi air, dan Osugi tidak menjawab. Tak lama kemudian menantu itu muncul kembali di gerbang, kehabisan napas. la diikuti serombongan samurai dan barisan sukarela. Osugi keluar rumah, menyambut mereka dengan bisikan.
"0, jadi Ibu suruh dia mandi. Cerdik sekali," kata salah seorang dari mereka dengan kagum. "Ya, itu bagus sekali! Pasti kena dia kali ini!" Sesudah memecah diri menjadi dua kelompok, orang-orang itu pun merunduk dan bergerak hati-hati seperti kelompok katak ke arah api yang menyala terang di bawah kamar mandi.
Ada sesuatu-sesuatu yang tak dapat dijelaskan-menggelitik naluri Takezo, dan ia mengintip lewat celah pintu. Maka tegaklah bulu romanya. "Aku dijebak!" pekiknya. Ia telanjang bulat, dan kamar mandi itu pun kecil. Tak ada waktu untuk berpikir.
Di luar pintu ia melihat gerombolan orang bersenjata tongkat, lembing, dan pentung, namun ia tak gentar. Rasa takut apa pun yang mungkin dimilikinya hapus oleh rasa berangnya terhadap Osugi.
"Baik, bajingan-bajingan, awas," geramnya.
Ia sudah tak peduli lagi dengan banyaknya mereka. Dalam keadaan itu, seperti dalam keadaan yang lain-lain juga, satu-satunya yang menurutnya barns dilakukan adalah menyerang daripada diserang. Ketika calon-calon penangkapnya sedang mengatur langkah di luar, dengan tiba-tiba ia tendang pintu sampai terbuka dan ia pun melompat ke udara, disertai teriakan perang yang menakutkan. Dalam keadaan masih telanjang clan rambut terburai ke sana kemari, ia tangkap dan rebut tangkai lembing pertama yang ditusukkan kepadanya, hingga pemiliknya terpental ke semak-semak. Senjata itu digenggamnya erat-erat, lalu ia menyerang ke sekitarnya seperti gasing yang berpusing. Begitu saja diayunkannya senjata itu dan dihantamkannya pada siapa saja yang datang mendekat. Ia mengambil pelajaran dari Sekigahara bahwa cara ini amat sangat efektif bagi orang yang kalah dalam jumlah. Tangkai lembing sering dapat lebih jitu dipergunakan daripada matanya.
Para penyerang terlambat sadar bahwa mereka telah membuat kesalahan besar, karena tidak dari semula mengirim tiga-empat orang menyerbu kamar mandi. Kini mereka hanya dapat berteriak saling menyemangati. Namun jelas mereka telah lumpuh.
Sekitar sepuluh kali senjata Takezo mengenai tanah, dan senjata itu patah. Maka ia pun mengambil karang besar dan melontarkannya kepada orang-orang yang sudah memperlihatkan tanda-tanda mundur itu.
"Lihat, dia lari masuk rumah!" seru seorang dari mereka, hampir bersamaan dengan keluarnya Osugi dan menantu perempuannya dari rumah ke halaman belakang.
Dengan suara ingar-bingar Takezo mengacak-acak seluruh rumah. Pekiknya, "Mana pakaian saya? Kembalikan pakaian saya!"
Di tempat itu berserakan pakaian kerja, juga lemari kimono yang besar. Tapi Takezo tidak memperhatikannya. la hanya menajamkan matanya dalam cahaya lampu samar-samar untuk menemukan pakaiannya sendiri yang compang-camping. Akhirnya dilihatnyaa pakaian itu di sudut dapur, dicengkeramnya dengan sebelah tangan, dan begitu memperoleh pijakan kaki di atas tungku tanah yang besar, ia pun merangkak keluar dari jendela kecil yang tinggi. Ketika la merangkak ke atas, para pengejarnya yang sudah sama sekali bingung itu tinggal mengutuk dan saling menyesali, karena gagal menjerat Takezo.
Berdiri di tengah atap, tanpa tergesa-gesa Takezo mengenakan kimononya. Disobeknya sedikit kain ikat pinggang dengan giginya dan diikatnya rambutnya yang masih basah ke belakang, dekat pada pangkalnya, dan demikian erat hingga alisnya dan sudut-sudut matanya tertarik.
Langit musim semi penuh dengan bintang. ۩
Seni Perang
PENCARIAN yang dilakukan setiap hari di pegunungan berlangsung terus, dan kerja pertanian pun mengendur. Orang kampung tak dapat mengerjakan ladangnya atau merawat ulat sutranya. Papan-papan besar dipasang di depan rumah kepala kampung dan di setiap persimpangan: pengumuman hadiah besar bagi siapa saja yang berhasil menangkap atau membunuh Takezo. Juga imbalan memadai untuk informasi apa pun yang bisa menghasilkan tertangkapnya Takezo. Pemberitahuan itu ditandatangani secara resmi oleh Ikeda Terumasa, yang dipertuan di Puri Himeji.
Di kediaman Hon'iden berkecamuk suasana panik. Osugi dan keluarganya mengunci gerbang utama dan merintangi semua jalan masuk. Mereka ketakutan setengah mati, jangan-jangan Takezo datang membalas dendam. Para pencari, dengan petunjuk pasukan Himeji, menyusun rencana-rencana baru untuk menjerat pelarian itu. Tapi ternyata usaha mereka tidak membawa hasil.
"Dia membunuh satu orang lagi!" seru satu orang kampung. "Di mana? Siapa kali ini?"
"Seorang samurai. Belum jelas siapa."
Mayat itu ditemukan di dekat jalan setapak di luar kampung. Kepalanya tergeletak dalam rumpun rumput yang tinggi, kedua kakinya mencuat ke langit dalam kedudukan tak wajar. Orang kampung terus datang-pergi dan berkasak-kusuk antarsesamanya. Mereka ketakutan, tapi sangat ingin tahu. Tengkorak orang itu hancur, jelas akibat hantaman salah satu papan tanda hadiah. Papan itu tergeletak melintang di tubuh yang basah oleh darah. Orang-orang yang melongo melihat pemandangan itu, tidak dapat tidak, membaca daftar hadiah yang dijanjikan itu. Beberapa orang tertawa muram melihat ironi mencolok itu.
Wajah Otsu mengerut pucat ketika ia muncul dari tengah-tengah kerumunan. Menyesal karena telah melihat, ia pun bergegas menuju kuil dan mencoba menghapus gambaran wajah orang mati yang terus terbayang di depan matanya. Di kaki bukit ia berpapasan dengan kapten yang menginap di kuil dan lima-enam anak buahnya. Mereka telah mendengar pembunuhan yang mengerikan itu dan sedang dalam perjalanan untuk menyelidikinya. Melihat gadis itu, sang kapten menyeringai.
"Dari mana kau, Otsu?" tanyanya dengan sikap akrab menyenangkan."
"Belanja," jawab Otsu pendek. Tanpa melirik orang itu, la pun bergegas mendaki anak tangga kuil. Otsu sejak semula tidak suka kepadanya. Kumisnya seperti tali. Itu yang paling tidak disukainya. Tapi sejak malam orang itu mencoba memaksanya, melihatnya saja sudah membuat ia jijik.
Takuan sedang duduk di depan ruang utama, bermain dengan seekor anjing kampung. Otsu bergegas lewat agak jauh dari situ untuk menghindari binatang kotor itu, ketika Takuan melihatnya clan memanggil, "Otsu, ada surat buatmu."
"Buat saya?" tanya Otsu tak percaya.
"Ya, kau sedang pergi ketika pesuruh datang, karena itu dia tinggalkan surat itu padaku." Dikeluarkannya sebuah gulungan kecil dari lengan kimononya dan diserahkannya pada Otsu. Katanya, "Kau kelihatan kurang sehat. Ada apa?"
"Saya mual. Tadi saya lihat orang mati menggeletak di rumput. Matanya masih terbuka, dan darah..."
"Kau tak perlu melihat hal-hal seperti itu. Tapi kalau melihat keadaan sekarang, terpaksa kau mesti menutup mata kalau pergi ke mana-mana. Hari-hari ini aku selalu bertemu mayat. Ha! Padahal tadinya kudengar kampung ini seperti surga kecil!"
"Kenapa Takezo membunuh orang?"
"Supaya mereka tidak membunuhnya, tentu saja. Mereka tak punya alasan sama sekali untuk membunuhnya, jadi kenapa pula dia mesti membiarkan mereka?"
"Takuan, saya takut!" kata Otsu memohon. "Apa yang mesti kita lakukan kalau dia datang kemari?"
Mendung gelap bergumpal-gumpal di atas pegunungan. Otsu menerima surat misterius itu clan pergi menyembunyikan diri di kamar tenun. Pada alat tenun terpasang secarik kain kimono lelaki yang belum selesai. Sejak tahun lalu selalu ia menggunakan waktu luangnya dengan memintal benang sutra untuk pakaian itu. Itu untuk Matahachi. la merasa senang bahwa nantinya dapat menjahit semua bagian kain itu menjadi satu kimono lengkap. la menenun setiap helainya dengan sangat cermat, seakan-akan menenun itu sendiri mendekatkan Matahachi padanya. la ingin pakaian itu kekal selamanya.
Sambil duduk di depan alat tenun, ia menatap surat itu dengan saksama. "Siapa yang mengirim?" bisiknya pada diri sendiri. la merasa surat itu tentunya ditujukan pada orang lain. Berulang kai ia baca alamatnya untuk mencari kesalahannya.
Surat itu jelas sudah menempuh jalan panjang sebelum sampai kepadanya. Bungkusannya sudah sobek-sobek dan lusuh, penuh dengan noda bekas jari dan titik air hujan. Ketika segelnya dibuka, yang jatuh ke pangkuannya bukannya satu, melainkan dua surat. Yang pertama ditulis seorang wanita yang tak dikenal, seorang wanita yang sudah agak tua, begitulah terkanya cepat.
Saya menulis hanya untuk membenarkan apa yang tertulis dalam surat satunya. Karenanya saya tidak akan berbicara terperinci.
Saya sudah kawin dengan Matahachi dan menerimanya dalam keluarga saya. Meskipun begitu, dia rupanya masih memikirkan Anda. Saya kira, salahlah kalau kita membiarkan saja hal itu. Karena itu Matahachi dengan ini mengirimkan penjelasan, dan saya memberikan kesaksian atas kebenaran penjelasan itu.
Harap lupakan Matahachi.
Hormat saya, Oko
Surat satunya berisi tulisan cakar ayam Matahachi dan berisi penjelasan panjang yang menjemukan, mengenai semua alasan kenapa ia tidak mungkin pulang. Intinya tentu saja permintaan agar Otsu melupakan pertunangan dengannya dan agar menemukan suami lain. Matahachi menambahkan, karena "sukar" baginya menulis langsung kepada ibunya tentang persoalan itu, ia akan berterima kasih apabila Otsu mau membantu. Kalau Otsu kebetulan bertemu dengan ibunya, ia diminta menyampaikan bahwa Matahachi masih hidup dan sehat, serta tinggal di provinsi lain.
Otsu merasa sumsum tulang punggungnya berubah menjadi es. la duduk terpukau, terlampau terguncang untuk dapat berteriak atau sekadar mengedip. Kuku-kuku jarinya yang memegang surat itu berubah sewarna dengan kulit orang mati yang dilihatnya kurang dari sejam sebelumnya.
Jam-jam berlalu. Semua orang di dapur mulai bertanya-tanya di mana gerangan Otsu. Kapten yang diserahi tugas melakukan pencarian merasa puas dapat memerintahkan orang-orangnya yang kelelahan itu tidur di hutan, tapi ketika ia sendiri kembali ke kuil pada senja hari, ia pun menuntut kenikmatan yang sesuai dengan statusnya. Air mandi harus dipanaskan sepantasnya. Ikan segar dari kali harus disiapkan menurut petunjuk-petunjuknya, dan satu orang harus mengambil sake mutu terbaik dari salah satu rumah kampung. Banyak sekali pekerjaan harus dilakukan untuk menyenangkan orang itu, dan sebagian besar pekerjaan itu jatuh pada Otsu. Karena Otsu menghilang, makan malam si kapten terlambat.
Takuan pun pergi mencarinya. la sama sekali tidak memikirkan si kapten. Yang dikhawatirkannya adalah Otsu. Bukan kebiasaan gadis itu untuk pergi tanpa memberitahu. Sambil memanggil-manggil namanya, biarawan itu melintasi pekarangan kuil dan melewati kamar tenun beberapa kali. Karena pintu kamar itu tertutup, tak mau la bersusah-susah melihat ke dalam.
Beberapa kali pendeta kuil keluar lorong tinggi dan berseru kepada Takuan, "Belum juga ketemu? Mestinya di sini-sini saja." Tapi lama kelamaan ia pun bingung, dan serunya, "Cepat temukan dia! Tamu kita bilang tak bisa minum sake kalau bukan Otsu yang menuangkan."
Pembantu kuil disuruh menuruni bukit untuk mencari Otsu sambil membawa lentera. Hampir bersamaan waktunya dengan keberangkatan pembantu itu, Takuan pun akhirnya membuka pintu kamar tenun.
Apa yang dilihatnya di dalam sungguh mengejutkannya. Otsu terkulai di atas alat tenun, jelas dalam keadaan dirundung kesedihan. Karena tak ingin mengganggu, Takuan diam saja memandang kedua surat yang kusut dan sobek di tanah. Surat itu telah diinjak-injak seperti sepasang boneka jerami.
Takuan memungutnya. "Apa ini bukan yang dibawa pesuruh hari ini?" tanyanya lembut. "Kenapa kau tidak menyimpannya?"
Otsu menggeleng lesu.
"Semua orang sudah setengah gila mengkhawatirkanmu. Aku sendiri sudah mencari ke mana-mana. Ayo pulang, Otsu. Aku tahu kau enggan, tapi kau betul-betul harus kerja. Yang jelas, kau mesti melayani Kapten. Pendeta tua itu sudah hilang akal."
"Kepala saya... kepala saya sakit," bisik Otsu. "Bapak, apa tak bisa mereka meliburkan saya... malam ini saja?"
Takuan mengeluh. "Otsu, aku pribadi berpendapat kau tak usah menghidangkan sake untuknya malam ini atau malam kapan pun. Tapi pendeta itu lain pendapatnya. Dia manusia dari dunia ini. Dia bukan orang yang dapat merebut rasa hormat atau dukungan daimyo bagi kuilnya lewat kebesaran jiwa semata-mata. Dia percaya bahwa dia mesti menghidangkan anggur dan makanan agar Kapten senang selalu." Takuan menepuk punggung Otsu. "Lagi pula, dia sudah menerima dan membesarkanmu, jadi kau berutang budi padanya. Kau tak boleh tinggal terlalu lama di sini."
Dengan enggan Otsu pun menurut. Ketika Takuan membantunya berdiri, ia menengadahkan wajahnya yang basah oleh air mata kepada Takuan dan berkata, "Saya akan pergi, asal Bapak berjanji menemani saya."
"Aku tidak keberatan, tapi si Jenggot Jarang tua itu tak suka padaku. Tiap kali aku melihat kumis konyol itu, aku jadi ingin sekali mengatakan bahwa kumis itu lucu sekali. Aku tahu perasaan itu kekanak-kanakan, tapi ada beberapa orang yang memang begitu pengaruhnya terhadapku."
"Tapi sava tak mau ke sana sendirian!"
"Tapi Pendeta ada di sana, kan?"
"Ya, tapi dia selalu pergi kalau saya datang."
"Hmmm. Itu kurang baik juga. Baiklah, aku akan mengawanimu. Sekarang jangan pikirkan lagi, dan basuh mukamu."
Ketika akhirnya Otsu muncul di petak pendeta, kapten yang sudah membongkok mabuk itu jadi gembira. la meluruskan topinya yang dari tadi sudah sangat miring. la jadi sangat riang dan berkali-kali minta dituangkan sake lagi. Segera kemudian mukanya jadi merah padam, dan sudut-sudut matanya yang melotot itu mulai turun.
Sekalipun demikian, tidak sepenuhnya ia merasa senang, dan sebabnya adalah hadirnya satu orang yang tidak dikehendakinya di kamar itu. Di sebelah lampu, Takuan duduk membungkuk seperti pengemis buta, asyik membaca buku yang terbuka di atas lututnya.
Biarawan itu dikira pembantu pendeta, dan si kapten menudingnya sambil berteriak, "Hei, yang di sana itu!"
Takuan terus juga membaca, sampai Otsu menyodoknya. Ia mengangkat matanya yang kosong dan memandang ke sekitar, katanya, "Kapten memanggil saya?"
Kapten menjawab pedas, "Ya, kamu! Aku tak ada urusan denganmu. Pergi dari sini!"
"Oh, tapi saya tidak keberatan di sini," jawab Takuan polos. "Oh, tidak keberatan, ya?"
"Sama sekali tidak," kata Takuan dan kembali membaca buku.
"Tapi aku keberatan," gertak si kapten. "Rasa sake jadi rusak karena ada orang membaca."
"Oh, maaf," jawab Takuan bernada ejekan. "Saya ini sungguh tidak sopan. Kalau begitu, akan saya tutup buku saya."
"Melihat buku itu saja aku sudah jengkel."
"Baiklah. Akan saya minta Otsu menyingkirkannya."
"Bukan... bukan itu, tapi kau sendiri, goblok! Kau ini bikin rusak suasana."
Wajah Takuan menjadi sungguh-sungguh. "Wah, kalau begitu sulit juga, ya. Soalnya karena saya bukan Wuk'ung yang suci dan dapat mengubah diri menjadi kepulan asap, atau menjadi serangga, lalu hinggap di baki Kapten,"
Leher kapten yang merah itu pun menggembung dan matanya melotot. la jadi tampak seperti ikan buntal. "Keluar kamu, bodoh! Enyah dari mukaku!"
"Baik," kata Takuan tenang sambil membungkuk. Sambil memegang tangan Otsu ia pun berkata pada gadis itu, "Tamu bilang dia lebih suka seorang diri. Cinta kesendirian adalah tanda kebijaksanaan. Kita tak boleh mengganggunya lagi. Ayo."
"Kenapa... kenapa, kamu... kamu..."
"Ada apa rupanya?"
"Siapa bilang Otsu mesti pergi denganmu, orang pandir jelek?"
Takuan pun melipat kedua tangannya. "Sudah bertahun-tahun saya memperhatikan, tidak banyak pendeta atau biarawan yang tampan. Tapi samurai juga begitu, saya kira. Anda sendiri, umpamanya."
Mata si kapten hampir saja melompat dari ceruknya, "Apa!"
"Apa Kapten sudah mengamati kumis Kapten? Maksud saya, apa Kapten sungguh-sungguh menyediakan waktu untuk menatapnya dan menilainya secara objektif?"
"Anak haram jadah!" teriak Kapten seraya mengambil pedang yang tersandar di dinding. "Jaga dirimu!" Takuan berdiri, dan sambil memandang Kapten dengan sebelah matanya ia pun bertanya tenang, "Hmm. Bagaimana saya mesti menjaga diri saya sendiri?"
Kapten pun memekik sambil memegang pedangnya yang masih tersarung,
"Sudah cukup aku diejek. Sekarang giliranmu menerima akibatnya!"
Takuan jadi tertawa. "Itu berarti Kapten mau memenggal kepala saya? Kalau begitu, lupakan saja. Membosankan sekali."
"Ha?"
"Membosankan. Tak bisa saya membayangkan hal yang lebih membosankan daripada memenggal kepala seorang biarawan. Kepala itu akan jatuh begitu saja ke lantai dan menggeletak di situ menertawakan Kapten. Itu bukan prestasi besar. Apa gunanya buat Anda?"
"Hah," geram Kapten, "kalau begitu aku puas bila bisa membungkam mulutmu. Biar sukar buatmu melanjutkan bualan kurang ajar!" Dengan keberanian yang biasa dimiliki orang hanya karena memegang senjata, ia pun tertawa terbahak-bahak jelek sekali dan maju dengan sikap mengancam.
"Kapten!"
Tingkah laku Takuan yang asal saja itu membuatnya demikian berang, hingga tangannya yang memegang sarung pedang bergetar hebat. Otsu menengahi kedua orang itu, berusaha melindungi Takuan.
"Apa pula bicara Bapak ini?" katanya dengan maksud mengendurkan perasaan dan melambatkan tindakan. "Bukan begitu caranya bicara dengan prajurit. Coba sekarang katakan Bapak menyesal," mohonnya. "Ayolah, minta maaf pada Kapten."
Tapi Takuan sama sekali tidak mundur.
"Minggir, Otsu. Aku tak apa-apa. Apa kaupikir akan kubiarkan diriku dipenggal oleh orang tolol macam ini? Memang dia mengepalai berpuluh orang yang terampil bersenjata, tapi dua puluh hari dibuangnya hanya untuk menemukan tempat seorang pelarian yang sudah kecapekan dan setengah kelaparan. Kalau dia tak punya cukup akal buat menemukan Takezo, akan mengherankan sekali kalau dia dapat mengalahkanku!"
"Jangan bergerak!" perintah Kapten. Mukanya membengkak menjadi warna lembayung ketika ia bergerak menarik pedangnya. "Minggir, Otsu! Biar kupotong pembantu pendeta bermulut besar ini menjadi dua!"
Otsu menjatuhkan diri ke kaki Kapten dan memohon, "Kapten cukup punya alasan untuk marah, tapi saya minta Kapten bersabar. Dia orang yang tidak begitu beres. Bicaranya memang begitu dengan semua orang. Dia tidak bermaksud apa-apa, sungguh!" Air mata bercucuran dari matanya.
"Apa katamu, Otsu?" kata Takuan keberatan. "Tak ada yang salah dengan otakku, dan aku bukannya melucu. Aku hanya mengemukakan kebenaran, tapi rupanya orang tak suka mendengarnya. Dia tolol, makanya kusebut dia tolol. Apa maumu aku berdusta?"
"Lebih baik jangan kauulangi," guntur samurai itu.
"Aku akan bicara sesukaku. Memang rasanya tak ada bedanya buat kalian para serdadu, berapa pun waktu yang kalian hamburkan buat mencari Takezo. Tapi itu beban luar biasa buat petani. Apa kalian menyadari apa yang kalian lakukan terhadap mereka? Mereka tak bisa makan kalau kalian teruskan ini. Barangkali malahan tak terpikir oleh kalian, bagaimana mereka terpaksa menelantarkan sama sekali kerja ladangnya untuk mengikuti perburuan angsa liar kalian yang berantakan itu. Dan tanpa upah pula! Sungguh memalukan!"
"Jangan sembarangan kamu, pengkhianat. Itu fitnah besar terhadap pemerintah Tokugawa!"
"Bukan pemerintah Tokugawa yang kukritik, tapi pejabat-pejabat birokrat seperti kamu yang berdiri antara daimyo dan rakyat jelata ini, yang bisa saja mencuri upah yang mestinya mereka terima. Satu hal lagi, kenapa kau bermalas-malasan di sini malam ini? Siapa yang memberimu hak bersantai pakai kimono yang manis dan enak, nyaman dan hangat, mandi seenaknya dan minum sake sebelum tidur dengan layanan seorang gadis manis? Apa itu yang kausebut mengabdi kepada atasan?"
Kapten itu bungkam.
"Apa bukan tugas samurai untuk mengabdi kepada atasan dengan jujur dan tak kenal lelah? Apa bukan tugas Kapten menunjukkan kebajikan kepada rakyat yang membanting tulang demi daimyo? Coba lihat diri sendiri, Kapten! Kau menutup mata pada kenyataan bahwa kau menarik para petani dari kerja yang menghasilkan makanan mereka sehari-hari. Kau bahkan tidak memikirkan sama sekali anak buahmu. Kau mestinya melakukan misi resmi, tapi apa yang kaulakukan? Setiap ada kesempatan, kaulahap makanan dan minuman orang lain yang diperoleh dengan susah payah, clan kaugunakan kedudukanmu untuk mendapat penginapan yang paling menyenangkan. Aku berani mengatakan, kau adalah contoh korupsi yang klasik. Kauselimuti diri dengan kekuasaan atasanmu untuk menghamburkan tenaga rakyat jelata, untuk tujuan-tujuan pribadimu sendiri."
Kini Kapten sudah demikian terpesona, hingga tak dapat menutup mulutnya yang menganga. Takuan mendesak terus.
"Sekarang cobalah potong kepalaku dan kirimkan kepada Yang Dipertuan Ikeda Terumasa! Percayalah, dia akan kaget. Barangkali dia akan berkata, 'Hai, Takuan! Jadi, hanya kepalamu yang datang menghadap hari ini? Di mana bagian badanmu yang lain?'
"Pasti kau berminat mengetahui bahwa Yang Dipertuan Terumasa dan aku biasa bersama-sama ambil bagian dalam upacara minum teh di Myoshinji. Kami berdua pun berkali-kali mengobrol lama dan hangat di Daitokuji, Kyoto."
Kegarangan si Jenggot Jarang menguap dalam sekejap. Mabuknya pun sudah sedikit berkurang, sekalipun tampaknya ia masih belum dapat menilai apakah yang dikatakan Takuan itu benar atau tidak. la tampak lumpuh, dan tidak tahu mau bertindak bagaimana.
"Pertama-tama, lebih baik kau duduk dulu," kata biarawan itu. "Kalau kaupikir aku bohong, aku senang bisa pergi bersamamu ke puri dan menghadap Yang Dipertuan sendiri. Sebagai hadiah, aku bisa membawakannya tepung soba lezat, yang bisa dibikin orang sini. Beliau suka sekali tepung itu.
"Tapi tak ada yang lebih capek, dan tak ada yang paling tidak kusukai daripada mendatangi seorang daimyo. Dan lagi, kalau orang-orang yang menjadi korban tindakanmu di Miyamoto kebetulan datang selagi kami mengobrol sambil minum teh, aku tak dapat berbohong. Kejadiannya barangkali akan berakhir dengan kau bunuh diri gara-gara ketidakmampuanmu.
"Sudah dari semula kukatakan supaya jangan mengancamku, tapi kalian para prajurit ini memang sama saja. Kalian tak pernah berpikir tentang konsekuensi. Dan inilah kekurangan kalian yang terbesar.
"Sekarang turunkan pedang itu; akan kuceritakan hal lain."
Kapten yang sudah tak berdaya itu pun menurut.
"Kau tentu kenal dengan buku Seni Perang karangan Jenderal Sun-tzu, yang merupakan karya klasik Cina tentang strategi militer? Aku yakin prajurit setarafmu kenal sekali dengan buku yang demikian penting. Aku menyebutnya karena aku ingin memberikan satu pelajaran yang menggambarkan salah satu prinsip utama buku itu. Aku mau menunjukkan kepadamu bagaimana menangkap Takezo tanpa kehilangan lagi anak buah atau menyebabkan orang kampung mendapat kesulitan lebih dari yang sudah kauberikan. Ini ada hubungannya dengan kerja resmimu, karena itu kau mesti benar-benar memperhatikannya." la menoleh pada sang gadis. "Otsu, tolong tuangkan secangkir sake lagi untuk Kapten."
Kapten itu lelaki umur empat puluhan, kira-kira sepuluh tahun lebih tua daripada Takuan, tapi jelas dari wajah mereka waktu itu bahwa kekuatan watak tak ada urusannya dengan umur. Cacian lisan Takuan telah merendahkan orang yang lebih tua itu, dan keangkuhannya pun menguap.
Dengan takut-takut ia berkata, "Tidak, saya tak mau lagi sake. Saya minta Anda memaafkan saya. Saya tak tahu sama sekali bahwa Anda teman Yang Dipertuan Terumasa. Maaf, saya telah berlaku terlalu kasar." la jadi begitu tertekan, hingga tampak menggelikan, tapi Takuan menahan diri untuk tidak lebih memojokkannya lagi.
"Mari kita lupakan saja. Yang ingin kubicarakan adalah bagaimana menangkap Takezo. Itulah yang harus Anda lakukan untuk melaksanakan perintah dan menjaga kehormatan Anda sebagai samurai."
"Ya."
"Tentu saja aku juga tahu bahwa buat Anda tidak penting berapa lama dibutuhkan untuk menangkap orang itu. Bukankah makin lama waktu itu, makin lama Anda bisa tinggal di kuil ini, makan, dan mengerling Otsu?"
"Saya minta jangan membawa-bawa lagi soal itu. Terutama di depan Yang Dipertuan." Serdadu itu pun tampak seperti seorang anak yang akan menangis.
"Aku bersedia menganggap seluruh peristiwa ini sebagai rahasia. Tapi kalau pencarian di pegunungan sepanjang hari itu berjalan terus, para petani akan mengalami kesulitan besar. Tidak hanya para petani, tetapi juga penduduk kampung terlalu limgung dan ketakutan untuk melakukan pekerjaan yang biasa. Menurut penglihatanku, kesulitannya adalah Anda tidak menggunakan strategi yang sewajarnya. Bahkan menurut pendapatku Anda tidak menggunakan strategi sama sekali. Apa betul anggapanku, bahwa Anda tidak mengenal Seni Perang?"
"Saya malu mengakuinya, tapi memang demikian."
"Nah, Anda harus merasa malu. Karena itu tak akan kaget kalau aku sebut Anda tolol. Anda bisa saja seorang pejabat, tapi menyedihkan sekali, Anda orang yang tidak berpendidikan dan sama sekali tidak efektif. Tapi tak ada gunanya membikin pusing Anda. Aku hanya akan mengusulkan sesuatu. Aku pribadi menawarkan diri untuk menangkap Takezo dalam tiga hari."
"Anda menangkap dia?"
"Apa Anda kira aku berkelakar?"
"Tidak, tapi..."
"Tapi apa?"
"Tapi kalau dihitung tenaga bantuan dari Himeji dan semua petani serta prajurit itu, lebih dari dua ratus orang sudah menjelajahi pegunungan itu hampir tiga minggu lamanya."
"Aku paham betul."
"Dan karena sekarang ini musim semi, Takezo beruntung. Banyak yang bisa dimakan pada musim ini."
"Kalau begitu, apa Anda merencanakan untuk menunggu sampai turun saiju? Kira-kira delapan bulan lagi?"
"Tidak, saya pikir tak bisa."
"Tentu saja tidak bisa. Justru karena itu aku menawarkan diri menangkapnya untuk Anda. Aku tidak membutuhkan bantuan; aku dapat melakukannya sendiri. Tapi pikir-pikir, barangkali aku akan membawa serta Otsu. Ya, kami berdua cukuplah."
"Anda main-main saja, kan?"
"Diam dulu! Apa menurut Anda, Takuan Soho menghabiskan seluruh waktunya buat bikin lelucon?"
"Maaf."
"Seperti kukatakan tadi, Anda tidak mengenal Seni Perang, padahal menurut pendapatku, itulah sebab terpenting kegagalan Anda yang memalukan. Sebaliknya, mungkin saja aku hanya seorang pendeta sederhana, tapi aku memahami Sun-tzu. Sekarang tinggal satu syarat lagi. Kalau Anda tak setuju, aku terpaksa duduk lagi dan melihat saja Anda terus membuat kesalahan besar, sampai salju jatuh, dan barangkali juga kepala Anda."
"Apa syaratnya?" tanya Kapten hati-hati.
"Kalau aku berhasil membawa pulang pelarian itu, akulah yang menentukan nasibnya."
"Apa maksud Anda?" Kapten menarik-narik kumisnya. Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Bagaimana mungkin ia bisa yakin biarawan aneh ini tidak akan menipunya? Walau ia bicara lancar, ada kemungkinan ia sama sekali tidak waras. Mungkinkah ia teman Takezo, seorang anteknya? Mungkinkah ia tahu di mana orang itu bersembunyi? Tapi kalaupun tidak tahu-rasanya memang tidak-apa salahnya memberinya kesempatan, sekadar untuk melihat apakah ia berhasil dengan rencana gilanya. Setidak-tidaknya barangkali ia dapat memetik hasil pada saat terakhir. Dengan pikiran itu, Kapten mengangguk tanda setuju. "Baiklah kalau begitu. Kalau Anda menangkapnya, Anda dapat memutuskan apa hukumannya. Tapi bagaimana kalau Anda tidak dapat menemukannya dalam tiga hari?"
"Aku akan gantung diri pada pohon kriptomeria di kebun itu."
Pagi harinya pembantu kuil dengan wajah sangat gelisah berlari ke dapur. Terengah-engah ia berseru, "Apa Takuan sudah gila? Saya dengar dia berjanji mencari Takezo sendiri!"
Mata orang-orang di dapur terbelalak. "Tidak!"
"Tidak, sungguh-sungguh gila!"
"Bagaimana dia akan menangkapnya?"
Jawaban-jawaban konyol clan ketawa mengejek pun terdengar, tapi terdengar juga bisikan terpendam yang mengandung kekhawatiran.
Ketika berita itu sampai ke telinga pendeta kuil, ia mengangguk bijaksana dan mengatakan bahwa mulut manusia itu pintu bencana. Tetapi yang betul-betul paling khawatir adalah Otsu. Hanya sehari sebelumnya surat selamat tinggal Matahachi melukainya. Lukanya lebih perih dibanding berita kematiannya. Ia mempercayai tunangannya itu, dan bahkan bersedia menenggang Osugi yang dahsyat itu sebagai mertua tukang perintah, demi Matahachi. Kepada siapa ia harus berpaling kini?
Bagi Otsu yang sudah tercebur dalam kegelapan dan keputusasaan, Takuan merupakan titik terang dalam hidup ini. Sinar harapannya yang terakhir. Sehari sebelumnya, ketika ia menangis sendirian di kamar tenun, ia mengambil pisau tajam dan mengiris-iris sampai lumat kain kimono yang sungguh-sungguh telah disulami jiwanya. la juga sudah bermaksud menghunjamkan bilah tajam itu ke dalam tenggorokannya. la sangat tergoda untuk melakukan hal itu, namun munculnya Takuan akhirnya membuyarkan maksud itu dari kepalanya. Takuan menghiburnya dan meyakinkannya agar setuju menuangkan sake, clan Takuan akhirnya menepuk punggungnya. Ia masih dapat merasakan hangatnya tangan kokoh biarawan itu ketika membimbingnya ke luar kamar tenun.
Dan sekarang Takuan membuat perjanjian yang sinting.
Otsu tidak begitu memedulikan keselamatannya sendiri. Yang lebih dipedulikannya adalah kemungkinan satu-satunya teman di dunia ini akan hilang juga karena usul tololnya. la merasa putus asa dan sangat tertekan. Akal sehatnya menyatakan aneh kalau ia dan Takuan dapat menemukan tempat Takezo dalam waktu sesingkat itu.
Takuan bahkan sudah berani bertukar sumpah dengan si Jenggot Jarang di hadapan altar Hachiman, dewa perang. Ketika Takuan kembali, Otsu menegurnya dengan keras karena sikapnya yang terburu-buru itu, tetapi Takuan berkeras tak ada yang mesti dikhawatirkan. Katanya, tujuannya adalah meringankan beban kampung, mengamankan kembali lalu lintas di jalan raya, dan mencegah berlangsungnya terus pemborosan hidup manusia. Mengingat jumlah nyawa yang dapat diselamatkan kalau Takezo bisa cepat ditangkap, nyawanya sendiri tidaklah begitu penting. Takuan pun meminta agar Otsu beristirahat sebanyak-banyaknya menjelang malam hari berikutnya, saat mereka berangkat. Otsu harus ikut tanpa mengeluh, dan percaya penuh padanya. Otsu sudah terlampau bingung untuk menolak, lagi pula pilihan untuk tinggal di kuil clan selalu gelisah lebih buruk lagi dibanding dengan pergi.
Petang hari berikutnya Takuan masih tidur bersama kucing di sudut bangunan utama kuil. Wajah Otsu cekung. Baik pendeta, pesuruh, maupun pembantu pendeta mencoba meyakinkannya untuk tidak pergi. "Pergi saja sembunyi," itulah nasihat praktis mereka, tapi karena alasan-alasan yang hampir tak dapat dimengertinya sendiri, Otsu sama sekali tidak tergerak untuk berbuat demikian.
Matahari tenggelam dengan cepat, dan bayang-bayang malam yang pekat mulai menyelimuti celah-celah jajaran gunung yang menandai alur Sungai Aida. Kucing melompat turun dari emperan kuil, dan akhirnya Takuan sendiri keluar ke beranda. Seperti si kucing, ia pun meregangkan anggota badannya sambil menguap lebar.
"Otsu," panggilnya, "lebih baik kita berangkat sekarang."
"Sudah saya kemasi semuanya-sandal jerami, tongkat, pembalut kaki, obat-obatan, kertas minyak polonia."
"Ada yang kamu lupa."
"Apa? Senjata? Apa kita mesti bahwa pedang atau lembing, atau yang lain?"
"Tentu saja tidak! Aku mau bawa bekal makanan."
"0, maksud Bapak beberapa kotak makan siang?"
"Bukan, makanan yang enak. Aku mau bawa nasi, bumbu kacang, clan... o, ya, sedikit sake. Apa saja yang enak bolehlah. Aku juga butuh kuali. Pergi ke dapur sana, bikin bungkusan yang besar. Dan bawa pikulan."
Pegunungan dekat tempat itu kini lebih hitam dibanding pernis yang paling hitam, sedangkan pegunungan yang di kejauhan lebih pucat daripada mika. Waktu itu musim semi sudah hampir usai, angin berbau wangi dan hangat. Bambu bergaris dan tumbuhan jalar wistaria menjerat kabut. Makin jauh Takuan dan Otsu meninggalkan kampung, pegunungan dengan dedaunan yang berkilat-kilat lemah oleh cahaya suram makin tampak seakan bermandikan hujan petang hari. Mereka berjalan beriringan menembus kegelapan, masing-masing memikul ujung pikulan bambu yang digantungi bungkusan yang terikat baik-baik.
"Malam yang bagus buat jalan-jalan, ya?" kata Takuan sambil menoleh ke belakang.
"Rasanya kurang begitu indah," gerutu Otsu. "Ke mana kita pergi?"
"Aku belum tahu," jawab Takuan, tampak berpikir sedikit, "tapi mari kita jalan lebih jauh lagi sedikit."
"Saya sih tidak keberatan jalan."
"Apa kau capek?"
"Tidak," jawab gadis itu, tapi pikulan itu jelas menyakitinya, karena setiap kali ia memindahkannya dari bahu satu ke bahu lain.
"Di mana saja orang-orang ini? Tak seorang pun kulihat."
"Kapten tidak memperlihatkan muka di kuil sepanjang hari tadi. Saya berani bertaruh, dia menyuruh pulang para pencari, supaya kita dapat sendirian saja tiga hari ini. Pak Takuan, bagaimana caranya menangkap Takezo?"
"0, jangan khawatir. Cepat atau lambat dia akan muncul."
"Tapi dia belum pernah menemui siapa pun. Kalau nanti dia muncul, apa yang akan kita lakukan? Sesudah diburu orang banyak begitu lama, tentunya dia nekat sekarang. Dia berjuang demi hidupnya, dan dia sangat kuat. Memikirkan itu saja kaki saya sudah gemetar."
"Hati-hati! Awas kakimu!" seru Takuan tiba-tiba.
"Oh!" teriak Otsu ketakutan, langkahnya langsung terhenti. "Ada apa? ' Kenapa Bapak bikin takut saya?"
"Jangan khawatir. Bukan Takezo. Aku cuma mau mengingatkan kamu supaya jalan yang balk. Banyak wistaria dan perangkap semak sepanjang pinggir jalan ini."
"Apa para petani itu yang memasangnya di sini buat menangkap Takezo?" "He-eh. Tapi kalau kita tidak hati-hati, kita yang akan masuk kedalamnya."
"Takuan, kalau Bapak bicara soal itu, saya jadi gugup dan tak bisa melangkah."
"Apa yang kau khawatirkan? Kalaupun kita terperangkap, aku yang lebih dulu Tak perlu kau menyusulku." la menyeringai pada Otsu. "Menurutku, sia-sia saja mereka menempuh banyak kesulitan." Sesudah diam sekejap, ia pun menambahkan, "Otsu, apa menurutmu jurang ini tidak makin sempit?"
"Tak tahulah saya, tapi sisi belakang Sanumo sudah kita lewati beberapa waktu lalu. Ini tentunya Tsujinohara."
"Kalau begitu, kita terpaksa jalan sepanjang malam ini."
"Ah, saya bahkan tak tahu ke mana kita ini. Kenapa bicara soal jalan pada saya?"
"Mari kita turunkan beban ini sebentar." Habis meletakkan bungkusan itu ke tanah, Takuan pergi menuju karang yang berdekatan.
"Bapak mau ke mana?"
"Mau buang air."
Seratus kaki di bawah Takuan, kali-kali kecil yang bergabung menjadi Sungai Aida mengguntur dari batu ke batu. Bunyi itu menderu menuju dirinya, memenuhi telinganya, dan menembus seluruh dirinya. Sambil buang air kecil, ia memandang ke langit, seakan-akan menghitung-hitung bintang. "Oh, nikmat rasanya!" katanya bersuka hati. "Aku menyatu dengan alam semesta, atau alam semesta menyatu denganku?"
Akhirnya ia kembali dan jelasnya, "Ketika di sana tadi, aku membuka-buka Buku Perubahan, dan sekarang aku tahu pasti tindakan apa yang akan kita ambil. Sudah jelas sekarang."
"Buku Perubahan? Bapak tidak membawa buku."
"Bukan yang tertulis, tapi yang ada dalam diriku. Buku Perubahan asli milikku sendiri. Dia ada dalam hati, atau perut, atau di tempat lain. Ketika berdiri di sana tadi, aku memikirkan letak tanah, penampilan air, dan keadaan langit. Kemudian aku menutup mata, dan ketika aku membukanya, ada yang mengatakan, 'Pergi ke gunung di sana itu." la menunjuk ke puncak yang dekat.
"Maksud Bapak, Gunung Takateru?"
"Aku tidak tahu namanya. Pokoknya, yang setengahnya dataran terbuka." "Orang menyebutnya padang rumput Itadori."
"0, jadi ada namanya?"
Ketika mereka sampai, padang rumput itu ternyata sebuah dataran kecil yang melandai ke tenggara dan memberikan pemandangan indah daerah sekitar. Para petani biasa menggiring kuda dan lembunya ke sana untuk merumput, tapi malam itu tak seekor binatang pun kelihatan atau terdengar. Ketenangan di situ hanya terpecahkan oleh angin musim semi yang hangat membelai rerumputan.
"Kita berkemah di sini," ucap Takuan. "Takezo, musuh itu, akan jatuh ke tanganku tepat seperti Jenderal Ts'ao dari Wei jatuh ke tangan Ch'u-ko K'ung-ming."
Ketika mereka sudah menurunkan beban, Otsu bertanya, "Apa yang kita lakukan di sini?"
"Duduk," jawab Takuan mantap.
"Bagaimana kita bisa menangkap Takezo kalau hanya duduk di sini?" "Dengan jaring pun kita dapat menangkap burung terbang tanpa mesti terbang sendiri."
"Tapi kita belum memasang jaring sama sekali. Apa Bapak yakin tidak kesurupan rubah atau yang lain?'
"Kalau begitu, mari bikin api. Rubah takut api, jadi kalau aku kesurupan, aku bisa lekas bebas."
Mereka mengumpulkan kayu kering, dan Takuan membuat api. Semangat Otsu tampak naik.
"Api yang baik membuat gembira orang, betul tidak?"
"Yang jelas menghangatkan. Tapi, apa kau sedang sedih?"
"Oh, Takuan, Bapak sudah lihat sendiri bagaimana perasaan saya selama ini. Dan saya rasa tak ada orang yang betul-betul suka menginap di pegunungan seperti ini. Apa yang akan kita lakukan, seandainya sekarang ini turun hujan?"
"Dalam perjalanan ke atas tadi, aku melihat gua dekat jalan. Kita dapat berteduh di sana sampai hujan berhenti."
"Itulah barangkali yang dilakukan Takezo pada malam hari dan kalau udara buruk. Mestinya banyak tempat macam itu di seluruh gunung ini. Di situ barangkali dia menyembunyikan diri selama ini."
"Barangkali. Dia sebetulnya tidak begitu cerdik, tapi tentunya dia cukup cerdik untuk berteduh dalam gua jika hujan."
Otsu jadi tercenung. "Pak Takuan, kenapa orang kampung begitu benci pada Takezo?"
"Para penguasa itu yang membuat mereka membencinya. Otsu, mereka itu orang-orang sederhana. Mereka takut kepada pemerintah; begitu takutnya, sampai kalau pemerintah yang menitahkan, akan mereka halau orang-orang sekampungnya, bahkan juga sanak mereka sendiri."
"Jadi, menurut Bapak, mereka cuma berkepentingan melindungi diri sendiri."
"Sebetulnya bukan salah mereka. Mereka itu sama sekali tak berdaya. Kau mesti memaafkan mereka karena mendahulukan kepentingan sendiri, karena ini masalah mempertahankan diri. Yang mereka kehendaki sebetulnya cuma sekadar tidak diganggu."
"Tapi bagaimana dengan samurai? Kenapa mereka ribut mempersoalkan orang tak penting macam Takezo?"
"Karena dia lambang kekacauan, orang di luar hukum. Mereka harus menjaga ketenangan. Sesudah perang Sekigahara, Takezo selalu merasa dikejar-kejar musuh. Kesalahan besar pertamanya adalah menerobos rintangan di perbatasan. Dia mestinya menggunakan otaknya sedikit, kabur malam hari atau menyamar. Apa saja. Tapi Takezo tidak begitu! Dia merasa harus masuk dan membunuh seorang pengawal, dan kemudian membunuhi orang-orang lain lagi. Sesudah itu ya seperti bola salju yang menggelinding. Dia harus terus membunuh untuk melindungi hidupnya sendiri. Tapi dialah yang memulai. Seluruh keadaan yang tak menguntungkan itu akibat satu hal saja: Takezo sama sekali tak punya akal sehat."
"Apa Bapak membencinya juga?"
"Aku jijik! Aku tidak menyukai kebodohannya! Kalau aku penguasa di provinsi ini, akan kubikin dia menanggung hukuman paling buruk yang dapat kutemukan. Sesungguhnya, untuk pelajaran bagi orang banyak, akan kusuruh orang mempreteli anggota badannya. Bagaimanapun, dia tak lebih dari binatang liar, kan? Penguasa provinsi tidak boleh bermurah hati pada orang-orang macam Takezo, walaupun dia sendiri bagi sejumlah orang tak lebih dari seorang bajingan. Tindakannya merugikan hukum dan ketertiban, dan itu tidak baik, terutama pada masa-masa yang tak menentu ini."
"Selama ini saya selalu menganggap Bapak orang baik, tapi di dasar hati ternyata Bapak sangat keras. Saya tak menyangka Bapak mengurusi hukumhukum daimyo itu."
"Memang. Yang baik harus diganjar dan yang jahat harus dihukum, dan aku datang kemari justru dengan kekuasaan untuk melaksanakannya."
"Oh, apa itu?" teriak Otsu sambil meloncat bangun dari tempatnya dekat api. "Apa Bapak tidak dengar? Kedengaran bunyi gemeresik, seperti langkah-langkah kaki, di pohon-pohon sana itu?"
"Langkah-langkah kaki?" Takuan pun bersikap waspada. Tapi sesudah mendengarkan baik-baik beberapa saat lamanya, pecahlah tawanya. "Ha, ha! Itu kan cuma beberapa ekor monyet. Lihat!" Dan tampaklah bayangan seekor monyet besar dan monyet kecil yang berayun-ayun di antara pepohonan.
Otsu kelihatan lega, dan duduk kembali. "Uh, saya setengah mati ketakutan!"
Selama beberapa jam berikutnya, keduanya hanya duduk diam menatap api. Tiap kali api akan mati, Takuan mematahkan ranting-ranting kering dan membakarnya.
"Otsu, apa yang kaupikirkan?"
"Saya?"
"Ya, kamu. Meski sering melakukannya, tapi sebetulnya aku benci percakapan dengan diri sendiri."
Mata Otsu sudah bengkak oleh asap. Sambil menengadah ke langit berbintang, Ia berkata lirih, "Saya pikir aneh sekali dunia ini. Semua bintang di kegelapan kosong di sana itu.... Tidak, bukan itu maksud saya. Malam telah penuh. Merangkum segala-galanya. Kalau Bapak memandang bintang-bintang itu lama-lama, kelihatan mereka bergerak. Bergerak pelan, pelan. Kesimpulannya tak bisa lain bahwa seluruh dunia ini bergerak. Saya merasakannya. Sedangkan diri saya hanya satu rink kecil di dalam semua itu-satu titik yang dikendalikan oleh kekuatan mengagumkan yang tak dapat saya lihat. Bahkan selagi saya duduk di sini sambil merenung, nasib saya pun berubah sedikit demi sedikit. Pikiran saya terasa berputar-putar dalam lingkaran."
"Kau tidak bicara yang sebenarnya!" kata Takuan tajam. "Pikiran-pikiran itu memang betul masuk kepalamu, tapi ada pikiran lain yang jauh lebih khusus di otakmu."
Otsu diam.
"Aku minta maaf telah melanggar rahasia pribadimu, Otsu. Aku telah membaca surat-surat yang kauterima itu."
"Betul? Tapi laknya tidak rusak!"
"Aku membacanya sesudah melihatmu di kamar tenun itu. Ketika kaubilang tidak membutuhkannya, kumasukkan surat itu dalam lengan bajuku. Kupikir sikapku itu keliru, tapi kemudian ketika aku ada di kamar kecil, kukeluarkan surat-surat itu dan kubaca, sekadar membuang waktu."
"Bapak jelek! Bagaimana mungkin Bapak melakukan itu! Dan buat membuang waktu pula!"
"Untuk alasan apa sajalah. Tapi setidak-tidaknya sekarang aku tahu, apa yang bikin banjir air mata itu. Apa yang bikin kau kelihatan setengah mati waktu itu. Dengarkan, Otsu, kupikir kau beruntung. Lama-kelamaan kupikir lebih baik jalannya peristiwa justru seperti sekarang. Kaupikir aku jelek? Lihatlah dia!"
"Apa maksud Bapak?"
"Matahachi itu, dulu maupun sekarang, tak kenal tanggung jawab. Kalau kau kawin dengan dia, dan kemudian suatu hari dia mengejutkanmu dengan surat seperti itu, apa yang akan kaulakukan? Tak usahlah kaukatakan, aku kenal kau. Kau akan menceburkan diri ke laut dari karang yang terjal. Aku senang semua itu sudah lewat sebelum sampai di situ."
"Wanita tidak berpikir seperti itu."
"Betul begitu? Bagaimana pikiran mereka?"
"Saya marah betul. Rasanya ingin menjerit!" Dan dengan marahnya ia pun menarik lengan kimononya dengan giginya. "Suatu hari nanti akan saya temukan dia! Saya bersumpah, pasti saya temukan! Saya tak akan berhenti, sebelum saya mengatakan langsung padanya pendapat saya tentang dia. Termasuk tentang perempuan Oko itu."
Air mata Otsu bercucuran karena marahnya. Takuan menatapnya dengan bergumam samar-samar, "Sudah mulai, ya?"
Otsu tampak tercengang. "Apa?"
Takuan menatap tanah, seperti sedang menyusun pikirannya. Kemudian katanya, "Otsu, aku betul-betul mengharapkan bahwa kau, lebih dari orang-orang lain, terhindar dari hal-hal yang jahat dan sikap muka dua di dunia ini. Kuharap dirimu yang manis dan polos itu dapat melewati semua tahap kehidupan tanpa cela dan tanpa luka." Tapi kelihatannya angin nasib sudah sepenuhnya gila? Kadang-kadang orang yang tidak begitu beres otaknya dianggap jenius oleh orang lain. Takuan kemungkinan orang semacam itu. Otsu mulai merasa yakin akan hal ini.
Tenang seperti biasanya, biarawan itu terus memandang kosong ke api. Akhirnya ia bergumam, seakan-akan baru melihatnya, "Sudah larut sekarang, ya?"
"Tentu saja! Sebentar lagi fajar," sambar Otsu dengan nada getir yang memang disengaja. Kenapa ia mempercayai orang gila yang mau bunuh diri ini?
Tanpa menghiraukan tajamnya jawaban Otsu, Takuan berkomat-kamit, "Aneh, ya?"
"Apa yang dikomat-kamitkan?"
"Aku baru saja menyadari bahwa Takezo harus segera muncul."
"Ya, tapi barangkali dia tidak merasa kalian berdua punya janji." Melihat wajah biarawan yang tegang itu, Otsu pun melunak. "Apa betul menurut Bapak dia akan muncul?"
"Tentu saja!"
"Tapi kenapa dia mau langsung masuk perangkap?"
"Ah, tidak persis begitu. Soalnya, hanya sifat manusia, itu saja. Manusia hatinya tidak kuat, mereka itu lemah. Kesendirian bukan alamnya, terutama kalau kesendirian itu disertai pengepungan tentara clan pengejaran dengan pedang. Kau bisa saja menganggap itu wajar, tapi aku akan heran sekali kalau Takezo bisa menolak godaan untuk mendatangi kita clan menghangatkan diri dekat api."
"Apa itu bukan sekadar impian? Dia barangkali sama sekali tidak di dekat-dekat sini."
Takuan menggelengkan kepala dan katanya, "Bukan, ini bukan sekadar impian. Ini malahan bukan teoriku sendiri. Ini milik seorang ahli strategi." Ia berbicara demikian yakin, hingga Otsu jadi merasa puas bahwa penolakan Takuan itu demikian pastinya.
"Aku perkirakan Shimmen Takezo berada dekat sekali di sini, tapi belum lagi bisa memutuskan, kita ini kawan atau lawan. Anak malang itu barangkali sedang dilanda keraguan, dan dia sedang bergelut dengannya, tak dapat maju atau mundur. Dugaanku dia sedang bersembunyi di dalam bayangan kegelapan sekarang ini, memandang kita dengan mencuri-curi, dan bertanya-tanya habis-habisan, apa yang harus dilakukannya. 0, begini. Coba kemarikan suling yang kausimpan dalam obi-mu itu."
"Suling bambu saya?"
"Ya, biar kumainkan sebentar."
"Tidak. Tak mungkin. Tak pernah saya mengizinkan siapa pun menyentuhnya."
"Kenapa?" desak Takuan.
"Tak peduli kenapa!" teriak Otsu sambil menggeleng.
"Apa ruginya kalau aku memainkannya? Suling bertambah baik kalau imainkan. Aku tak akan merusaknya."
"Tapi...." Dan Otsu pun mencengkeramkan tangan kanannya kuat-kuat ke suling dalam obi-nya.
Ia selalu menyimpan suling itu dekat tubuhnya, dan Takuan tahu betapa berharga barang itu untuknya. Namun tak pernah Takuan membayangkan bahwa Otsu akan menolak meminjamkannya.
"Betul, aku tak akan merusakkannya, Otsu. Sudah berlusin-lusin suling aku mainkan. Ayolah, aku pegang saja."
"Tidak."
"Apa pun yang terjadi?"
"Apa pun yang terjadi."
"Keras kepala!"
"Biar saya keras kepala."
Takuan pun mengalah. "Nah, kalau begitu kamulah yang memainkannya. Mainkanlah untukku sedikit."
"Itu pun saya tak mau."
"Kenapa?"
"Karena saya akan menangis, dan saya tak dapat main suling kalau saya menangis."
"Hmm." Takuan berpikir. la merasa kasihan akan sifat gigih bercampur keras kepala yang khas anak yatim. Tapi ia pun sadar akan kehampaan yang ada dalam hati mereka yang tegar itu. Menurutnya hati itu sudah ditakdirkan untuk mati-matian merindukan apa yang tidak bisa diperolehnya, merindukan cinta orangtua yang tidak pernah mereka kenyam.
Otsu selalu merindukan orangtua yang tidak pernah dikenalnya dan mereka pun merindukannya, tapi ia tak mengenal cinta asli orangtua. Suling itulah satu-satunya barang peninggalan orangtuanya baginya, satu-satunya gambaran yang pernah ia punyai tentang mereka. Ketika ia belum lagi cukup umur untuk melihat cahaya matahari, dan ditinggalkan seperti anak kucing telantar di emperan Kuil Shippoji, suling itu bukan sekadar gambaran tentang ibu dan ayah yang tak pernah dilihatnya, tetapi juga . merupakan suara mereka.
"Jadi, dia menangis kalau memainkannya!" pikir Takuan. "Tidak heran dia begitu enggan meminjamkannya pada orang lain, malahan juga memainkannya sendiri." Dan ia pun merasa kasihan pada Otsu.
Pada malam ketiga ini, untuk pertama kali bulan indah berkilau-kilau di langit, dan sekali-sekali larut di balik awan berkabut. Angsa liar yang selalu bermigrasi ke Jepang pada musim gugur dan pulang pada musim semi kini tampak dalam perjalanan kembali ke utara. Kadang-kadang suara kuak mereka terdengar di telinga kedua orang itu dari tengah awan-awan.
Bangun dari lamunannya, Takuan berkata, "Apinya mati, Otsu. Masukkan sedikit kayu lagi.... Nah, ada apa? Ada yang tidak beres?"
Otsu tidak menjawab.
"Apa kau menangis?"
Otsu tetap diam.
"Maaf aku telah mengingatkan masa lalu padamu. Bukan maksudku mengganggumu."
"Tidak apa-apa," bisik Otsu. "Mestinya saya tak boleh begitu keras kepala. Ambillah suling ini dan mainkanlah." la pun mengeluarkan suling itu dari obi-nya dan mengulurkannya pada Takuan lewat atas api. Suling itu terbungkus dalam kain brokat yang sudah tua dan aus. Kainnya sobek-sobek, talinya rantas, namun masih tampak keanggunan yang antik.
"Boleh kulihat?" tanya Takuan.
"Ya, lihatlah. Saya tidak keberatan lagi."
"Tapi kenapa tidak kaumainkan sendiri? Lebih baik aku mendengarkan saja. Aku duduk saja di sini seperti ini." la memutar ke samping dan memelukkan tangannya ke lutut.
"Baiklah. Saya tidak begitu pandai," kata Otsu merendah, "tapi akan saya coba."
la berlutut dengan sikap formal di atas rumput, menegakkan leher kimononya dan membungkuk ke arah suling yang terletak di depannya. Takuan tidak bicara apa-apa lagi. Yang ada hanyalah alam semesta yang besar dan diam terselimut malam. Tubuh biarawan yang seperti bayangan itu tampak seperti batu karang yang telah berguling turun dari sisi bukit dan menetap di dataran.
Otsu, wajahnya yang putih menoleh sedikit ke samping, meletakkan barang pusaka yang dipujanya itu ke bibir. la membasahi pipit suling clan membulatkan jiwa untuk bermain. la tampak berbeda dari Otsu yang biasanya. Otsu yang mewakili kekuatan dan keluhuran seni. Ia menoleh pada Takuan. Dengan santun sekali lagi ia mengingkari bahwa ia cakap bermain. Takuan mengangguk acuh tak acuh.
Suara basah suling mulai mengalun. Jemari pipih gadis itu menari di atas ketujuh lubang alat musik tersebut. Buku-buku jarinya tampak seperti kurcaci yang sedang tenggelam dalam tarian lambat. Terdengar bunyi, rendah, seperti gemericik kali kecil. Takuan merasa dirinya berubah menjadi air mengalir yang berkecipak menyusuri jurang, dan bermain-main di tempat yang dangkal. Ketika nada-nada tinggi terdengar, ia merasa semangatnya terembus ke langit, meloncat-loncat bersama awan-awan. Bunyi bumi dan gaung langit bercampur dan berubah menjadi rintihan sayu angin yang berembus melintas pepohonan cemara, meratapi ketidakabadian dunia ini.
Ia asyik mendengarkan dengan mata tertutup. Takuan pun teringat akan legenda Pangeran Hiromasa yang sedang bercengkerama pada suatu malam terang bulan di Gerbang Suzaku, Kyoto, sambil memainkan sulingnya, diselarasi oleh suling lain. Pangeran mencari-cari pemain suling itu, dan menemukannya di tingkat atas gerbang itu. Mereka bertukar suling dan bermain musik bersama sepanjang malam. Baru kemudian pangeran itu mengetahui bahwa teman bermainnya itu setan dalam bentuk manusia.
--Setan pun tergerak hatinya oleh musik," pikir Takuan, "apalagi manusia yang punya lima macam nafsu, betapa dalam dia akan terpengaruh bunyi suling yang dimainkan gadis cantik ini!" Ia ingin menangis, tapi air matanva tidak keluar. Wajahnya terbenam lebih dalam lagi di antara lututnya, yang secara tak sadar dipeluknya lebih erat lagi.
Ketika cahaya api sedikit demi sedikit surut, pipi Otsu berubah jadi merah tua. la begitu menyatu dalam musiknya, hingga sukar membedakannya dari alat musik yang dimainkannya.
Apakah ia sedang memanggil ibu dan ayahnya? Apakah bunyi-bunyi yang mendaki langit itu betul-betul melantunkan, "Di manakah engkau!" Apakah jeritan ini tidak tercampur rasa benci yang sangat dari seorang perawan yang ditinggalkan dan dikhianati lelaki tak setia?
Otsu agaknya sudah mabuk oleh musik dan tenggelam dalam emosinya. Napasnya mulai menunjukkan tanda-tanda lelah. Butir-butir keringat muncul di dahi, di sekitar anak rambutnya. Air mata menuruni wajahnya. Sekalipun terputus-putus oleh sedu sedan tertahan, terasa lagu itu bagai berlanjut terus untuk selamanya.
Dan tiba-tiba terlihat gerakan di rumput. Jaraknya tidak lebih dari lima atau enam meter dari api. Terdengar seperti binatang yang sedang melata. Kepala Takuan mendongak. la memandang langsung ke benda hitam itu. Diam-diam ia mengangkat tangan clan melambaikan salam.
"Hai, kamu yang di sana! Tentu dingin rasanya di tengah embun. Datanglah ke dekat api sini dan hangatkan badanmu. Ke sinilah, clan mari kita bicara."
Otsu terkejut dan berhenti bermain. Katanya, "Pak Takuan, apa Bapak bicara sendiri lagi?"
"Apa kau tidak lihat?" tanya Takuan sambil menuding. "Takezo ada di sana tadi, beberapa waktu lamanya. Dia mendengarkan kau main suling."
Otsu menoleh, kemudian sambil menjerit ia melemparkan sulingnya ke sosok hitam itu. Memang itu Takezo. la melompat seperti kijang yang terperanjat dan lari.
Takuan sama kagetnya seperti Takezo karena jeritan Otsu. la merasa seakan-akan jaring yang dengan hati-hati direntangkannya telah sobek clan ikan pun lolos. la melompat dan memanggil sekuat paru-parunya, "Takezo! Berhenti!"
Di dalam suara itu terasa ada kekuatan yang perkasa, kekuatan yang memerintah, yang tidak dapat begitu saja diabaikan. Pelarian itu berhenti seakan terpaku di tanah, dan menoleh ke belakang, sedikit terpesona. la memandang Takuan dengan mata curiga.
Biarawan itu tidak bicara. Disilangkannya tangannya pelan-pelan ke dada. Ditatapnya Takezo semantap tatapan Takezo padanya. Kedua orang itu tampaknya bahkan menyatu dalam tarikan napas mereka.
Sedikit demi sedikit di sudut-sudut mata Takuan muncul kerut-merut yang menandai mulainya senyuman bersahabat. la membuka lipatan tangannya dan memberikan isyarat kepada Takezo. Katanya, "Kemarilah!"
Mendengar kata-kata itu, Takezo mengedip. Wajahnya yang gelap memperlihatkan ekspresi aneh.
"Kemarilah," desak Takuan, "dan kita dapat saling tukar pikiran." Menyusul sunyi penuh tanda tanya.
"Di sini banyak makanan. Malahan kami juga punya sake. Kami bukan musuhmu. Datanglah ke dekat api ini. Mari kita bicara." Sunyi lagi.
"Takezo, apa kau tidak membuat kesalahan besar? Ada tempat yang menyediakan api, makanan, dan minuman, bahkan juga simpati manusia. Tapi kau berkeras menyeret dirimu ke dalam neraka pribadimu sendiri. Kau mengukuhi pandangan yang cukup menyesatkan tentang dunia ini. Tapi aku tak akan berdebat lagi denganmu. Dalam keadaanmu sekarang, memang hampir tidak dapat kau mendengar suara akal sehat. Sudahlah, datang ke dekat api sini. Otsu, panaskan kentang rebus yang kaubuat tadi. Aku pun sudah lapar."
Otsu meletakkan kuali di atas api, dan Takuan meletakkan guci sake di dekat api untuk menghangatkannya. Adegan penuh kedamaian ini menghapuskan rasa takut Takezo, dan ia beringsut mendekat. Ketika hampir berada di atas mereka, ia berhenti dan tegak diam, agaknya terhambat oleh semacam rasa malu di dalam dirinya.
Takuan menggelindingkan sebuah batu karang ke dekat api clan menepuk punggung Takezo. "Duduklah di sini," katanya.
Takezo mendadak duduk. Otsu tidak dapat memandang langsung kepada teman bekas tunangannya itu. la merasa seolah-olah berada di dekat binatang liar tak terantai.
Sambil membuka tutup kuali, Takuan berkata, "Rupanya sudah matang." la tusukkan ujung sumpitnya ke kentang, ia keluarkan kentang itu, clan ia masukkan ke dalam mulutnya. la mengunyah lahap, katanya, "Manis sekali dan empuk. Mau coba sedikit, Takezo?"
Takezo mengangguk dan untuk pertama kali ia menyeringai, memperlihatkan sederetan gigi yang sempurna putihnya. Otsu memasukkan kentang ke dalam mangkuk clan memberikannya kepada Takezo. Takezo sekali-sekali mengembus makanan yang masih panas itu dan melahapnya dengan suapan besar-besar. Tangannya gemetar dan giginya gemerincing mengenai tepi mangkuk. Karena lapar yang luar biasa, geletar itu tidak terkendalikan lagi. Mengerikan.
"Enak, ya?" tanya biarawan itu sambil meletakkan sumpitnya. "Bagaimana kalau mencoba sake?"
"Saya tak mau sake."
"Tidak suka?"
"Saya tak mau sekarang." Sesudah sekian lama berkeliaran di pegunungan, ia takut sake akan membuatnya sakit.
Segera ia berkata dengan cukup sopan, "Terima kasih untuk makanan ini. Saya merasa hangat sekarang." "Apa sudah cukup?"
"Sudah, terima kasih." Ketika mengembalikan mangkuk kepada Otsu, ia bertanya, "Kenapa kau datang kemari? Kemarin malam kulihat juga apimu."
Pertanyaan Takezo itu mengejutkan Otsu, clan ia tak siap dengan jawaban, tetapi Takuan menyelamatkannya dengan langsung mengatakan, "Terus terang saja, kami datang kemari untuk menangkapmu."
Takezo tidak memperlihatkan sikap kaget secara khusus, sekalipun agaknya ia ragu-ragu menerima ucapan Takuan itu demikian saja. la diam saja dan menundukkan kepala. Kemudian ganti la memandang kedua orang itu.
Takuan menyadari bahwa waktu untuk bertindak sudah tiba. Sambil berputar langsung menghadap Takezo ia pun berkata, "Bagaimana pendapatmu? Kalau kau akan ditangkap, apa tidak lebih baik kalau kau diikat dengan ikatan Hukum Budha? Peraturan daimyo itu hukum dan Hukum Budha pun hukum, tapi dari antara dua itu, ikatan Budha-lah yang lebih lembut dan berperi- kemanusiaan."
"Tidak, tidak!" kata Takezo, menggeleng-geleng marah.
Takuan melanjutkan dengan nada lunak. "Dengar dulu sebentar. Aku mengerti bahwa engkau bertekad untuk bertahan sampai mati, tapi pada akhirnya apa engkau bisa betul-betul menang?"
"Apa maksudmu, aku dapat menang itu?"
"Maksudku, apakah engkau dapat berhasil bertahan terhadap rakyat yang membencimu, terhadap hukum provinsi, dan terhadap musuhmu terbesar, dirimu sendiri?"
-Aku tahu aku sudah kalah," rintih Takezo. Wajahnya berubah penuh kesedihan, dan matanya basah. "Akhirnya aku akan terbunuh, tapi sebelumnva akan kubunuh dulu perempuan Hon'iden tua itu dan serdadu-serdadu Himeji, juga semua orang yang kubenci! Akan kubunuh orang sebanyak vang aku bisa!"
"Dan apa yang hendak kaulakukan untuk kakak perempuanmu?"
„Ha …”
"Ogin. Apa yang akan kaulakukan untuknya? Dia dikurung di benteng Hinagura!"
Takezo tak dapat menjawab, sekalipun sebelumnya ia berketetapan untuk membebaskan kakaknya.
"Apa engkau tidak mesti mulai memikirkan nasib wanita yang baik itu? Sudah demikian banyak yang dilakukannya untukmu. Dan bagaimana dengan kewajibanmu melanjutkan nama ayahmu. Shimmen Munisai? Apa engkau sudah lupa bahwa nama itu berasal dari keluarga Hirata, bahkan selanjutnya dari wangsa Akamatsu dari Harima yang terkenal itu?"
Takezo menutup mukanya dengan kedua tangannya yang hitam dan kini berkuku panjang itu. Bahunya yang tajam mencuat ke atas ketika berguncang bersama gemetarnya tubuhnya yang kurus. la tersedu-sedu sedih. "Aku... aku... tidak tahu. Apa... apa bedanya sekarang ini?"
Melihat itu, Takuan tiba-tiba mengepalkan tinjunya clan menghantam keras-keras rahang Takezo.
"Sinting!" guntur suara biarawan itu.
Karena terkejut, Takezo pun terhuyung-huyung oleh pukulan itu, tapi sebelum sempat pulih dari pukulan itu ia sudah menerima pukulan lain di sisi lain.
"Orang bebal tak bertanggung jawab! Orang bodoh tak kenal terima kasih. Karena ayah-ibumu dan nenek moyangmu tak ada di sini untuk menghukummu, akulah yang melakukannya atas nama mereka. Terimalah ini!" Biarawan itu pun memukulnya lagi, kali ini hingga Takezo jatuh ke tanah. "Sakit?" tanyanya sengit.
"Ya, sakit," rengek pelarian itu.
"Bagus. Kalau sakit, artinya kau masih punya sedikit darah manusia dalam nadimu. Otsu, berikan ke sini tali itu. Nah, tunggu apa lagi? Bawa ke sini tali itu! Takezo sudah tahu aku akan mengikatnya. Dia sudah siap. Ini bukan tali kekuasaan, tapi tali cinta. Tidak ada alasan bagimu untuk takut atau kasihan padanya. Cepat berikan tali itu!"
Takezo diam menelungkup di tanah, tidak berusaha bergerak. Takuan pun dengan mudah menduduki punggungnya. Kalau mau melawan, bisa saja Takezo menendang Takuan ke udara, seperti bola kertas kecil. Mereka berdua pun tahu itu. Namun Takezo hanya terbaring pasif, kaki dan tangannya terulur, seakan-akan akhirnya ia menyerah pada suatu hukum alam yang tak kelihatan.
0 komentar:
Posting Komentar