"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Senin, 13 Agustus 2012

Cerita Novel Musashi Bag. 11





bagian 11

Berlalunya Seorang Pahlawan

  
"Paman Gon!"

" Apa? "

      "Paman capek?"

"Ya, sedikit."

"Kupikir begitu. Aku sendiri hampir mogok, tapi biara ini bagus sekali gedung-gedungnya, ya? Hei, apa ini bukan pohon jeruk yang disebut pohon rahasia Wakamiya Hachiman itu?"

"Rupanya."

Barangkali inilah barang pertama dari delapan puluh kapal upeti yang disampaikan Raja Silla kepada Maharani Jingu, ketika maharani itu menaklukkan Korea."

"Lihat kandang kuda-kuda suci itu! Apa bukan binatang yang elok itu? Pasti dia dapat nomor satu dalam pacuan kuda tahunan di Kamo."

"Maksudmu yang putih itu?"

"Ya. Hmm, apa bunyi papan nama itu?"

"Katanya, air rebusan kacang yang dicampur makanan kuda kalau diminum bisa menghentikan teriakan dan kerotan gigi malam hari. Apa kau mau sedikit?"

Paman Gon tertawa. "Jangan berbuat tolol macam itu!" Dan sambil menoleh ia bertanya, "Apa yang terjadi dengan Matahachi?"

"Rupanya ngeluyur."

"Oh, itu dia, istirahat dekat panggung tarian suci."

Wanita tua itu mengangkat tangan memanggil anaknya. "Kalau kita lewat jalan itu, kita dapat melihat Tori Agung yang asli, tapi mari kita pergi ke Lentera Tinggi."

Matahachi mengikuti dari belakang dengan malasnya. Semenjak ibunya menangkapnya di Osaka, ia selalu bersama mereka-jalan, jalan, dan sekali lagi jalan. Kesabarannya mulai menipis. Lima atau sepuluh hari melihat-lihat pemandangan mungkin bagus dan baik-baik saja, tapi ia takut memikirkan harus menyertai mereka membalas dendam. Sudah dicobanya meyakinkan mereka, bahwa berjalan bersama-sama seperti itu merupakan cara yang buruk. Lebih baik ia pergi mencari Musashi sendirian. Tapi ibunya tak hendak mendengarkan.

"Sebentar lagi Tahun baru," ujarnya. "Dan Ibu ingin kau menyambutnya bersama Ibu. Sudah lama kita tidak bersama-sama merayakan Tahun Baru, dan ini barangkali kesempatan kita yang terakhir."

Walaupun Matahachi tahu tak dapat menolak ibunya, ia telah membulatkan hati untuk meninggalkan mereka beberapa hari sesudah hari pertama Tahun Baru. Osugi dan Paman Gon barangkali kuatir takkan lama lagi hidup, karena itu mereka demikian tenggelam dalam agama, dan sedapat-dapatnya berhenti di setiap biara dan kuil dengan meninggalkan persembahan dan mengajukan permohonan panjang-panjang kepada para dewa dan Budha. Hampir seluruh hari ini mereka habiskan di Biara Sumiyoshi.

Matahachi sudah kalut oleh rasa bosan, ia berjalan menyeret kaki dan cemberut.

"Apa kamu tak bisa jalan lebih cepat?" tanya Osugi marah.

Langkah Matahachi tidak berubah. Ia jengkel sekali pada ibunya, sama seperti jengkel ibunya kepadanya, dan gerutunya, "Ibu ini terus saja menyuruhku cepat dan tunggu! Cepat dan tunggu, cepat dan tunggu!"

"Apa yang mesti Ibu lakukan pada anak lelaki macam kamu? Orang datang ke biara, sudah sewajarnya kalau dia berhenti dan berdoa kepada dewa-dewa. Belum pernah Ibu lihat kamu membungkuk kepada satu dewa atau Budha pun. Ingat-ingatlah kata-kata Ibu ini, kamu akan menyesal nanti. Kecuali itu, kalau kamu mau berdoa bersama kami, takkan lama kamu menunggu."

"Menjengkelkan!" geram Matahachi.

"Siapa yang menjengkelkan?" teriak Osugi berang.

Dua-tiga hari pertama segalanya semanis madu antara mereka, tapi begitu Matahachi sudah terbiasa dengan ibunya lagi, mulailah ia tersinggung oleh segala yang dilakukan dan dikatakan ibunya. Ia memperolok-olok Osugi setiap kali ada kesempatan. Apabila malam tiba dan mereka kembali ke rumah penginapan, Osugi menyuruh Matahachi duduk di depannya dan kemudian mengkhotbahinya, yang membuat Matahachi jadi lebih murung lagi.

"Bukan main pasangan ini!" keluh Paman Gon sendiri, sambil mencari-cari cara untuk meredakan kekesalan perempuan tua itu dan mengembalikan sedikit ketenangan pada wajah kemenakannya yang cemberut. Karena dirasanya akan terdengar khotbah lagi, ia bergerak memintasinya. "Oh," serunya riang. "Rasanya aku mencium bau enak! Orang menjual remis panggang di warung teh tepi pantai itu. Mari kita ke sana makan remis."

Baik ibu maupun anak tidak memperlihatkan kegairahan, tapi Paman Gon berhasil membawa mereka ke warung tepi laut yang dipasangi kerai gelagah tipis itu. Sementara kedua orang itu duduk seenak-enaknya di bangku luar, Paman Gon masuk dan keluar lagi membawa sake.

Sambil menawarkan mangkuk pada Osugi, katanya ramah, "Ini akan membikin Matahachi riang sedikit. Barangkali kau sedikit terlalu keras kepadanya."

Osugi memalingkan muka, tukasnya, "Aku tak ingin minum apa-apa."

Terjerat oleh sarang labah-labahnya sendiri, Paman Gon menawarkan mangkuk pada Matahachi. Matahachi masih marah-marah, dan segera mengosongkan tiga guci sake secepat-cepatnya, karena tahu benar hal itu akan membuat ibunya pucat kelabu. Ketika ia meminta guci keempat kepada Paman Gon, Osugi sampai pada batas kesabarannya.

"Sudah cukup kamu minum!" omelnya. "Ini bukan piknik, dan kita rancang kemari bukan untuk mabuk! Kamu juga jaga dirimu, Paman Gon! kamu lebih tua daripada Matahachi, mestinya tahu."

Paman Gon menjadi malu, seolah-olah ia sendiri yang minum, dan mencoba menyembunyikan wajahnya dengan menggosokkan tangan ke wajah itu. "Ya, kau benar," katanya menurut. Ia bangkit berdiri, lalu berjalan pergi beberapa langkah jauhnya.

Lalu semuanya terjadi dengan sangat seru. Matahachi sudah menyinggung sedalam-dalamnya cinta dan keprihatinan ibunya, rasa cinta yang dahsyat, walau rapuh. Osugi tak peduli lagi apakah harus menanti sampai mereka kembali ke rumah penginapan. Dimarahinya Matahachi dengan garang, tak peduli apakah orang lain mendengar atau tidak. Matahachi menatapnya dengan pandangan ingkar yang muram, sampai ibunya selesai.

"Baik," katanya. "Jadi, Ibu sudah menyimpulkan, aku orang dusun yang tak tahu terima kasih dan tak punya rasa hormat diri, kan? Betul?"

"Betul! Apa yang sudah kamu lakukan sampai sekarang, yang menunjukkan kamu punya rasa bangga atau hormat diri?"

"Ibu, aku bukan orang tak berharga seperti yang Ibu pikir, tapi Ibu takkan tahu soal itu."

"Oh, jadi Ibu tak bisa tahu? Coba dengar, Matahachi, tak seorang pun yang lebih mengenal anak daripada orangtuanya, dan kupikir hari kelahiranmu itulah hari buruk buat Keluarga Hon'iden!"

"Lebih baik Ibu tunggu dan lihat! Aku masih muda. Suatu hari nanti, kalau Ibu sudah mati dan dikubur, Ibu akan menyesal sudah mengatakan itu."

"Ha! Kuharap memang demikian, tapi aku sangsi apa akan bisa terjadi meski seratus tahun lagi. Sungguh menyedihkan, kalau dipikir-pikir."

"Kalau Ibu sedih sekali punya anak seperti aku, tak banyak lagi gunanya aku ada di sini. Aku pergi!" Mendidih karena marah, ia bangkit berdiri dan berjalan pergi dengan langkah-langkah panjang dan mantap.

Karena terkejut, perempuan tua itu mencoba memanggilnya kembali dengan suara bergetar memilukan. Tapi Matahachi tak menghiraukannya.

Paman Gon yang sebetulnya dapat berlari dan mencoba menghentikannya hanya berdiri memandang tajam ke laut, agaknya kepalanya disibukkan oleh pikiran-pikiran lain.

Osugi berdiri, kemudian duduk kembali. "Jangan mencoba menghentikannya," katanya sia-sia kepada Paman Gon. "Tak ada gunanya."

Paman Gon menoleh kepadanya, tapi bukan menjawab, melainkan mengatakan, "Gadis di sana itu aneh sekali gerak-geriknya. Tunggu di sini sebentar!" Belum habis kata-kata itu diucapkan, ia sudah melemparkan capingnya ke bawah tepi atap warung dan berlari secepat anak panah ke air.

"Goblok!!" teriak Osugi. "Ke mana kamu pergi? Matahachi..." Ia mengejar Paman Gon, tapi sekitar dua puluh meter dari warung itu kakinya terantuk gumpalan rumput laut dan ia jatuh tertelungkup. Sambil menggerutu marah ia bangun, wajah dan bahunya penuh dengan pasir. Ketika terlihat kembali Paman Gon, kedua matanya melotot seperti cermin.

"Hei, orang tua goblok! Ke mana kamu pergi? Sudah kehilangan akal, ya?" jeritnya. Ia begitu kalang kabut, hingga tampaknya ia sendiri sudah gila. Ia lari kencang-kencang mengikuti Paman Gon, namun terlambat. Paman Gon sudah masuk air sampai setinggi lutut, dan terus ke tengah.

Kelihatan la sudah hampir kesurupan, terselimut buih putih. Lebih jauh lagi di tengah laut kelihatan seorang gadis muda yang mati-matian berusaha masuk ke air dalam. Ketika Paman Gon pertama kali melihatnya, gadis itu masih berdiri dalam bayangan pohon-pohon pinus, memandang kosong ke laut, tapi kemudian tiba-tiba ia berlari menyeberang pasir dan masuk air, sementara rambutnya yang hitam berkibar di belakangnya. Air kini sudah sampai pinggangnya, dan dengan cepat ia mendekati titik terjal di dasar laut.

Sambil mendekatinya, Paman Gon berseru-seru kalut, tapi gadis itu terus dengan tekadnya. Tiba-tiba tubuhnya menghilang diiringi bunyi aneh, meninggal-kan pusaran di permukaan.

"Anak gila!" teriak Paman Gon. "Sudah nekat bunuh diri, ya?" Ia sendiri tenggelam ke bawah permukaan air, gelagapan.

Osugi berlari ke sana kemari di tepian. Ketika dilihatnya kedua orang itu tenggelam, jeritannya berubah menjadi seruan-seruan lantang minta tolong.

Sambil melambai-lambaikan tangan, berlari, dan jatuh-bangun ia memerintahkan orang-orang di pantai untuk menolong, seakan-akan merekalah penyebab terjadinya kecelakaan. "Selamatkan mereka, goblok! Cepat, kalau tidak mereka tenggelam."

Beberapa menit kemudian, beberapa nelayan membawa tubuh mereka dan meletakkannya di atas pasir.

"Bunuh diri karena cinta?" tanya seorang.

"Kau berkelakar?" kata yang lain tertawa.

Paman Gon berhasil mencekal obi gadis itu dan masih menggenggamnya, tapi baik ia maupun gadis itu sudah tidak bernapas lagi. Gadis itu menampilkan wajah aneh, karena sekalipun rambutnya kusut dan kacau, pupur dan lipstiknya tidak terhapus, dan ia tampak seakan masih hidup. Bahkan dengan giginya yang masih menggigit bibir bawah itu, mulutnya yang ungu seperti menampakan gerak tawa.

"Saya pernah melihat gadis ini," seseorang berkata.

"Apa bukan dia yang cari kerang di pantai belum lama ini?"

"Ya, betul! Dia tinggal di penginapan sana itu."

Dari arah rumah penginapan ada empat atau lima orang yang datang mendekat. Di antara mereka Seijuro yang dengan napas sesak menerobos kerumunan orang banyak itu.

"Akemi!" teriaknya. Wajahnya menjadi pucat, tapi ia berdiri saja.

"Apa bisa kita selamatkan dia?"

"Tidak bisa, kalau Tuan cuma berdiri melongo."

Para nelayan melepaskan cekalan Paman Gon, meletakkan kedua tubuh itu berdampingan. Mereka mulai menampar-nampar punggung kedua orang itu dan menekan-nekan perutnya. Akemi cepat sekali kembali bernapas. Karena ingin sekali menghindari tatapan mata para penonton, Seijuro menyuruh orang-orang dari rumah penginapan membawa Akemi pulang.

"Paman Gon! Paman Gon!" panggil Osugi dengan mulut di telinga orang tua itu, berurai air mata. Akemi dapat kembali hidup karena ia masih muda, tapi Paman Gon... Ia tidak hanya tua, tapi ia pun telah minum sake cukup banyak sebelum menyelamatkan gadis itu. Napasnya terhenti untuk selamanya. Seberapa banyak pun usaha Osugi tak akan dapat membukakan matanya kembali.

Para nelayan menyerah, "Orang tua itu telah pergi."

Osugi berhenti menangis cukup lama untuk berpaling kepada mereka, seakan-akan mereka musuh, bukan orang-orang yang telah membantu. "Apa maksud kalian? Kenapa dia mesti mati, sedangkan gadis muda itu dapat selamat?" Sikapnya menunjukkan seakan ia siap menyerang mereka secara fisik. Ditepiskannya orang-orang itu, dan katanya mantap, "Akan kuhidupkan dia kembali! Akan kutunjukkan pada kalian."

Dan mulailah ia mencoba membangunkan Paman Gon dengan segala cara yang dapat dipergunakannya. Tekadnya itu menimbulkan air mata orang-orang yang menyaksikannya. Beberapa orang itu tinggal membantunya. Namun ia bukannya menghargai bantuan mereka, malahan memerintah mereka melakukan ini-itu seperti tenaga sewaan. Ia mengeluh bahwa mereka tidak menekan dengan cara yang benar, bahwa yang mereka lakukan takkkan ada hasilnya, ia memerintah mereka membuat api, dan ia menyuruh mereka pergi mencari obat. Apa pun yang ia lakukan, ia kerjakan dengan air muka semasam-masamnya.

Bagi orang-orang di pantai itu, ia bukan sanak ataupun teman, melainkan sekadar orang asing, karena itu akhirnya orang yang paling bersimpati kepadanya pun menjadi marah.

"Siapa sih perempuan tua jelek ini?" geram satu orang.

"Hm! Tak tahu bedanya orang pingsan dan orang mati. Kalau dia bisa menghidupkannya lagi, biar saja."

Tak lama kemudian, tinggallah Osugi sendirian dengan mayat itu. Di tengah kegelapan yang mulai menyelimuti, kabut bangkit dari laut, dan yang tertinggal dari hari itu hanyalah barisan awan jingga di dekat kaki langit. Osugi membuat api dan duduk di dekatnya, memeluk tubuh Paman Gon erat-erat.

"Paman Gon. Oh, Paman Gon!" lolongnya.

Ombak laut menggelap. Ia mencoba dan mencoba lagi mengembalikan kehangatan tubuh yang telah mati itu. Pandangan wajahnya menunjukkan betapa ia berharap sebentar lagi Paman Gon membuka mulut dan bicara dengannya. Ia kunyah beberapa pil dari kotak obat dalam obi-nya dan ia pindahkan kunyahan itu ke mulut Paman Gon. Ia peluk Paman Gon dan ia guncang-guncangkan.

"Buka matamu, Paman Gon!" mohonnya. "Katakan sesuatu! Tak bisa kau pergi meninggalkan aku sendirian. Kita masih belum membunuh Musashi atau menghukum Otsu yang bejat itu."

Di dalam rumah penginapan, Akemi terbaring dalam tidur yang resah. Ketika Seijuro mencoba membetulkan letak kepalanya yang demam itu di atas bantal, ia menggumam mengigau. Untuk sesaat Seijuro duduk di sampingnya, diam seribu bahasa, wajahnya lebih pucat daripada wajah Akemi. Ketika mengetahui penderitaan yang telah ditimpakannya kepada gadis itu, ia pun menderita.

Ia sendiri yang dengan nafsu binatangnya memangsa gadis itu dan memuaskan birahinya. Sekarang ia duduk murung dan kaku, prihatin dengan denyut nadi dan napas gadis itu, dan berdoa semoga hidup yang untuk beberapa waktu lamanya meninggalkan gadis itu bisa dipulihkan kembali. Dalam satu hari yang singkat saja ia sekaligus menjadi binatang dan manusia yang berperasaan belas kasihan. Tetapi bagi Seijuro yang cenderung kepada ekstremitas, tingkah lakunya itu tidak terasa tidak konsisten.

Matanya sedih dan sikap mulutnya rendah hati. Ia menatap Akemi dan berbisik, "Cobalah tenang, Akemi. Bukan cuma diriku seorang. Kebanyakan lelaki memang begitu.... Kau segera akan mengerti, walaupun kau tentunya dikejutkan oleh kekerasan cintaku." Sukarlah ditentukan, apakah kata-kata ini benar-benar ditujukan kepada gadis itu ataukah dimaksudkan untuk menenang-kan dirinya sendiri. Tapi ia terus juga menyuarakan perasaan itu berulang-ulang.

Kegelapan dalam kamar itu pekat seperti tinta. Shoji yang tertutup kertas meredam bunyi angin dan ombak.

Akemi bergerak, kedua tangannya yang putih menyelinap keluar dari bawah selimut. Ketika Seijuro mencoba membetulkan letak selimut itu, Akemi meng-gumam, "Tanggal berapa ini?"

"Apa?"

"Berapa... berapa hari lagi... Tahun Baru?"

"Tinggal tujuh hari lagi. Kau pasti sembuh sebelum waktu itu, dan kita akan kembali ke Kyoto." Direndahkannya wajahnya ke Akemi, tapi Akemi menolak-nya dengan telapak tangan.

"Berhenti! Pergi! Aku tak suka padamu."

Seijuro menarik diri, tapi kata-kata setengah gila menyembur dari bibir Akemi.

"Orang tolol! Binatang!"

Seijuro tinggal diam.

"Kau binatang. Aku tak... aku tak ingin melihatmu."

"Maafkan aku, Akemi, maafkan!"

"Pergi dari sini! Jangan bicara padaku." Tangan Akemi melambai-lambai kacau dalam kegelapan. Seijuro menelan ludah dengan sedih, tapi terus juga me-mandanginya.

"Tanggal... tanggal berapa?"

Kali ini Seijuro tak menjawab.

"Apa ini belum Tahun Baru?... Antara Tahun Baru dan tanggal tujuh.... Tiap hari.... Dia bilang akan ada di jembatan.... Kabar dari Musashi.... Tiap hari.... Jembatan Jalan Gojo.... Tak lama lagi Tahun Baru.... Aku mesti kembali ke Kyoto.... Kalau aku pergi ke jembatan itu, dia akan ada di sana."

"Musashi?" tanya Seijuro heran.

Gadis yang sedang mengigau itu terdiam.

"Apa Musashi ini ... Miyamoto Musashi?"

Seijuro menatap wajah Akemi, tapi Akemi tidak mengatakan apa-apa lagi. Kelopak matanya yang biru menutup. Ia tidur lelap.

Daun-daun pinus kering mengetuk-ngetuk shoji. Seekor kuda meringkik. Cahaya muncul di seberang penyekat, dan suara seorang pelayan terdengar mengatakan, "Tuan Muda ada di sini."

Buru-buru Seijuro masuk kamar sebelah, dengan hati-hati menutup pintu di belakangnya. "Siapa?" tanyanya. "Aku di sini."

"Ueda Ryohei," terdengar jawabannya. Ryohei masuk dan duduk, masih dalam pakaian perjalanan lengkap dan penuh debu.

Selagi mereka bertukar salam, Seijuro bertanya dalam hati, apa gerangan yang menyebabkan orang itu datang. Karena seperti halnya Toji, Ryohei salah seorang siswa senior yang diperlukan di rumah, maka Seijuro takkan membawanya dalam perjalanan mendadak.

"Kenapa datang kemari? Ada yang terjadi sepeninggalku?" tanya Seijuro.

"Ya, dan saya harus minta Anda segera kembali."

"Ada apa?"

Ketika Ryohei memasukkan kedua tangannya ke dalam kimono dan meraba-raba, suara Akemi terdengar dari kamar sebelah. "Aku tak suka padamu!... Binatang!... Pergi!" Kata-kata yang diucapkan dengan jelas itu penuh nada takut. Siapa pun akan mengira ia sedang terjaga dan dalam bahaya besar.

Dengan terkejut Ryohei bertanya, "Siapa itu?"

"Oh, itu? Akemi jatuh sakit ketika pulang. Dia demam, sekali-sekali dia sedikit mengigau."

"Itu Akemi?"

"Ya, tapi tak apalah. Aku ingin mendengar kenapa kau datang."

Dari kantong perut di bawah kimononya akhirnya Ryohei mengeluarkan sepucuk surat dan menyerahkannya kepada Seijuro. "Ini," katanya tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, kemudian mendekatkan lampu yang telah ditinggalkan oleh pelayan itu ke sisi Seijuro. "Hmm. Dari Miyamoto Musashi."

"Ya!" kata Ryohei tegas.

"Kau sudah membukanya?"

"Ya. Saya sudah membicarakannya dengan yang lain-lain, dan kami memutus-kan bahwa kemungkinan surat ini penting, karena itu kami membuka dan mem-bacanya."

Seijuro bukannya membaca sendiri isi surat itu, melainkan bertanya sedikit ragu, "Apa katanya?" Walau tak seorang pun berani menyebutkan persoalan kepadanya, namun di balik pikiran Seijuro sudah lama bersarang wujud Musashi. Walau demikian, ia sudah hampir meyakinkan dirinya bahwa ia tak akan bertemu lagi dengan orang itu. Surat yang tiba-tiba datang, tepat sesudah Akemi menyebut nama Musashi itu, membuat tulang punggung Seijuro panas dingin.

Ryohei menggigit bibir, marah. "Akhirnya datang juga dia. Ketika dia pergi dengan omongan besar musim semi lalu, saya yakin dia takkan menjejakkan kaki lagi di Kyoto, tapi... coba Tuan bayangkan kesombongannya! Teruslah baca surat itu! Isinya tantangan, dan dia punya nyali pula menunjukkan tantangan pada seluruh Keluarga Yoshioka, dan menandatanganinya hanya dengan namanya sendiri. Dia pikir dia dapat menghadapi kita semua sendirian!"

Musashi tidak menuliskan alamat untuk balasan surat, dan dalam surat pun tak ada isyarat tentang tempat ia berada. Tapi ia tidak melupakan janji yang telah ia tulis kepada Seijuro dan murid-muridnya, dan dengan surat kedua ini dadu telah dilemparkan. Ia mengumumkan perang pada Keluarga Yoshioka. Pertempuran akan terjadi, dan ini akan merupakan pertempuran habis-habisan-pertempuran di mana para samurai akan bertarung sampai mati untuk menjaga kehormatan dan memurnikan keterampilan mereka dengan pedang. Musashi mempertaruhkan hidupnya dan menantang Perguruan Yoshioka untuk melakukan hal yang sama. Apabila tiba waktunya, kata-kata dan keterampilan teknik yang mahir pun akan sedikit saja artinya.

Sumber bahaya terbesar adalah bahwa Seijuro masih belum memahami kenyataan ini. Ia tidak melihat bahwa hari perhitungan sudah tiba, dan bahwa sekarang bukanlah saat untuk membuang-buang waktu dengan kesenangan-kesenangan kosong.

Ketika surat itu tiba di Kyoto, di antara murid yang lebih teguh ada perasaan muak terhadap cara hidup Tuan Muda yang tidak berdisiplin itu. Mereka menggerutu marah karena ia tidak hadir justru pada saat yang demikian menentukan. Mereka gusar oleh penghinaan yang dilontarkan oleh ronin tunggal ini, dan menyesal bahwa Kempo tidak lagi hidup. Sesudah banyak membincang-kannya, mereka sepakat untuk menyampaikan keadaan itu kepada Seijuro dan memutuskan bahwa Seijuro mesti segera kembali ke Kyoto. Namun ketika surat sudah disampaikan sekarang, ternyata Seijuro hanya meletakkannya di pangkuan dan tak bergerak membukanya.

Dengan perasaan jengkel yang tampak jelas, Ryohei bertanya, "Apa Anda tak merasa perlu membacanya?"

"Apa? Oh, ini?" tanya Seijuro kosong. Ia membuka gulungan surat itu dan membacanya. Jari-jarinya mulai menggeletar tak terkendalikan lagi, suatu tanda ketidakmantapan yang disebabkan bukan oleh bahasa dan nada keras tantangan Musashi, melainkan oleh perasaan lemah dan perasaan rendah pada dirinya sendiri. Kata-kata penolakan kasar Akemi menghancurkan harga dirinya sebagai samurai. Belum pernah ia merasa demikian tanpa daya. Surat Musashi sederhana dan langsung,



Apakah Anda dalam keadaan baik semenjak terakhir kali saya menyurati Anda. Sesuai dengan janji saya terdahulu, kini saya menulis untuk menanyakan di mana, pada hari apa, dan pada jam berapa kita akan bertemu. Saya tak punya pilihan khusus, dan saya bersedia melaksanakan pertandingan yang telah kita janjikan pada waktu dan tempat yang Anda tentukan. Saya mohon Anda memancangkan jawaban Anda di jembatan Jalan Gojo, sebelum hari ketujuh Tahun Baru.

Saya percaya Anda telah menggosok ilmu pedang Anda sebagaimana biasa. Saya sendiri merasa bahwa sampai batas-batas tertentu telah mencapai perbaikan.


                                                        
Seijuro menjejalkan surat itu ke dalam kimononya, dan berdirl.

"Aku akan kembali ke Kyoto sekarang," katanya.

Kata-kata ini diucapkannya lebih karena perasaan sudah demikian kalut, hingga ia tidak dapat lagi tinggal di tempat itu lebih lama; jadi, bukan karena ketabahan. Ia harus pergi dan segera mungkin melupakan seluruh hari mengerikan itu.

Disertai suasana hiruk-pikuk, pemilik rumah penginapan dipanggil dan diminta mengurus Akemi, suatu tugas yang diterimanya dengan perasaan enggan, sekalipun menerima uang Seijuro.

"Akan kupakai kudamu," kata Seijuro pada Ryohei. Dan seperti seorang bandit yang sedang melarikan diri, ia melompat ke pelana dan melarikan kuda itu kencang-kencang melintasi baris-baris pohon gelap, meninggalkan Ryohei yang mengikutinya dengan berlari setengah mati.



Galah Pengering

  
"PEMUDA yang membawa monyet? Ya, dia memang kemari belum lama ini."

"Apa Anda lihat, ke mana perginya?"

"Ke sana, ke arah Jembatan Nojin. Tapi dia tidak menyeberangi jembatan-sepertinya dia masuk bengkel pandai pedang."

Setelah berunding sebentar, murid-murid Yoshioka berangkat beramai-ramai, membuat orang yang memberikan keterangan itu menganga heran menyaksikan segala keributan tersebut.

Walaupun waktu itu sudah lewat saat tutup bagi toko-toko sepanjang Parit Timur, toko pedang masih buka. Seorang dari orang-orang itu masuk, mengadakan pembicaraan dengan magang toko, kemudian keluar sambil berseru, "Temma! Dia menuju Temma!" Dan ke sanalah mereka berduyunduyun.

Magang mengatakan bahwa ketika ia baru akan menutup daun jendela menjelang malam, seorang samurai berjambul panjang menurunkan monyet di dekat pintu depan, duduk di bangku dan minta bertemu dengan pandai pedang. Ketika kepadanya disampaikan bahwa pandai pedang sedang pergi, samurai itu mengatakan ingin menajamkan pedangnya, tapi pedang itu terlampau berharga untuk dipercayakan kepada orang lain di luar ahli pedang sendiri. Ia lalu mendesak minta melihat contoh-contoh karya pedang.

Magang dengan sopan memperlihatkan kepadanya beberapa bilah pedang, tapi sesudah mengamati, yang diperlihatkan samurai itu tak lebih dari sikap muak. "Rupanya Anda sekalian di sini cuma mengerjakan senjata-senjata biasa," katanya kering. "Saya tidak yakin apakah akan menyerahkan pedang saya pada Anda. Pedang saya terlampau bagus, karya seorang pandai pedang Bizen. Namanya Galah Pengering. Lihat? Sempurna sekali." Ia mengangkat pedangnya, dan jelas dengan perasaan bangga.

Tertarik akan bualan orang muda itu, si magang bergumam mengatakan bahwa satu-satunya ciri menonjol pedang itu adalah bentuknya yang panjang dan lurus. Samurai itu jelas sekali tersinggung karenanya, dan mendadak berdiri dan minta keterangan tentang bagaimana pergi ke pangkalan kapal tambangan Temma Kyoto.

"Akan saya rawatkan pedang saya di Kyoto," tukasnya. "Semua pandai pedang Osaka yang sudah saya kunjungi rupanya hanya mengurusi barang rombengan prajurit biasa. Maaf, telah mengganggu."

Ia berangkat dengan pandangan dingin.

Cerita magang itu semakin membikin berang mereka. Itu bukti baru mengenai apa yang mereka anggap kecongkakan luar biasa orang muda itu. Jelas bagi mereka, pengalaman memotong gelungan Gion Toji membikin si pembual itu lebih congkak daripada sebelumnya.

"Itu pasti orang yang kita cari!"

"Jadi, sudah kita temukan sekarang. Tertangkap dia sekarang."

Orang-orang itu melanjutkan pengejaran tanpa satu kali pun berhenti untuk beristirahat, sekalipun matahari mulai terbenam. Mendekati dermaga Temma, seorang dari mereka berseru, "Ketinggalan kita!" Yang dimaksud adalah kapal terakhir hari itu.

"Tidak mungkin."

"Kenapa kaupikir kita sudah ketinggalan?" tanya yang lain.

"Tidak lihat, ya? Di sana itu," kata orang yang pertama tadi, menuding dermaga. "Warung-warung teh sudah menumpuk bangkunya. Kapal tentunya sudah berangkat."

Untuk sesaat mereka semua berdiri terpaku, kehilangan semangat. Kemudian, ketika mereka bertanya lagi pada orang lain, ternyata samurai itu memang sudah naik kapal terakhir. Mereka juga mendapat keterangan, kapal itu baru saja berangkat dan untuk beberapa lama tidak akan berhenti di perhentian berikut, Toyosaki. Kapal-kapal yang berjalan mudik ke Kyoto umumnya pelan. Maka mereka punya waktu banyak untuk menyusul kapal tambangan itu di Toyosaki, walaupun tanpa bergegas.

Tahu akan hal ini, mereka memanfaatkan waktu dengan minum teh, makan kue betas, dan sedikit gula-gula murahan, sebelum berangkat dengan langkah cepat menempuh jalan sepanjang tepi sungai. Di hadapan sana, sungai tampak bagai seekor ular perak yang melenggok-lenggok ke kejauhan. Sungai Nakatsu dan Temma bergabung menjadi satu membentuk Sungai Yodo, di dekat percabangan ini cahaya berkelap-kelip di tengah sungai.

"Itu kapalnya!" seru seseorang.

Ketujuh orang itu bangkit semangatnya, dan segera mereka lupa akan udara dingin yang menembus kulit. Di ladang-ladang telanjang di tepi jalan, rumput merang kering yang tertutup embun beku berkilauan seperti pedang-pedang baja ramping. Angin seolah bermuatan es.

Ketika jarak antara mereka dan cahaya mengapung itu memendek, mereka dapat melihat kapal itu dengan sangat jelas. Tanpa pikir lagi, seorang dari mereka berteriak, "Hei, yang di sana itu! Kurangi kecepatan!"

"Kenapa?" terdengar balasan dari geladak.

Jengkel karena perhatian orang jadi tertuju pada mereka, teman-temannya mengumpat orang yang besar mulut itu. Namun kapal berhenti juga di perhentian berikut. Sungguh suatu kebodohan besar, lebih dulu memberikan peringatan. Karena sudah telanjur, semua sependapat bahwa langkah terbaik adalah menuntut penumpang itu seketika itu juga.

"Dia hanya sendirian. Jika kita tidak menantangnya sekarang juga, dia bisa curiga, melompat ke air, dan menyelamatkan diri."

Sambil berjalan mengikuti jalan kapal, sekali lagi mereka berseru pada orang-orang yang ada di atas kapal. Sebuah suara berwibawa, yang tak sangsi lagi suara Kapten, meminta keterangan apa yang mereka kehendaki.

"Rapatkan kapal ke tepi!"

"Apa? Apa kalian gila?" terdengar jawabannya, disertai tawa parau.

"Pinggirkan di sini!"

"Mustahil"

"Kalau begitu, kami tunggu Anda di perhentian berikut. Kami urusan dengan orang muda yang ada di kapal Anda. Pakai jambul  bawa monyet. Katakan padanya, kalau dia punya hormat, dia mesti menampakkan diri. Dan kalau Anda membiarkan dia pergi, akan kami seret kalian semua ke darat."

"Kapten, jangan jawab mereka!" mohon seorang penumpang.

"Apa pun yang mereka katakan, abaikan saja," yang lain menasihati. "Mari jalan terus ke Moriguchi. Di sana ada pengawal."

Kebanyakan penumpang berkumpul-kumpul ketakutan dan berbicara dengan suara ditekan. Orang yang berbicara dengan bebasnya kepada para samurai di pantai beberapa waktu lalu kini berdiri diam. Baginya dan bagi orang-orang lain, keselamatan mereka tergantung pada jarak antara kapal dan tepi sungai.

Ketujuh orang itu tetap berada dekat kapal dengan lengan baju disingsingkan dan tangan dilekatkan ke pedang. Sekali mereka berhenti mendengarkan, agaknya mengharapkan jawaban atas tantangan mereka, tapi mereka tak men-dengar sesuatu.

"Apa Anda tuli?" teriak seorang dari mereka. "Kami minta Anda menyampaikan kepada pembual muda itu supaya datang ke susuran."

"Maksud Anda, saya?" teriak sebuah suara dari kapal.

"Itu dia di sana, kurang ajar seperti biasanya!"

Orang-orang itu menudingkan jari dan memandang ke kapal, sedangkan celoteh pelan para penumpang semakin hiruk-pikuk. Mereka itu setiap saat dapat melompat ke geladak.

Orang muda berpedang panjang itu berdiri tegap di lambung kapal, giginya berkilauan seperti mutiara putih oleh pantulan sinar bulan. "Di kapal tak ada orang lain yang bawa monyet, jadi saya kira sayalah yang Anda cari. Siapa kalian, bromocorah malang? Gerombolan aktor lapar?"

Ketika adu teriak semakin menghebat, kapal mendekati tanggul Kema yang memiliki tiang-tiang tambatan dan juga gudang. Ketujuh orang itu berlari maju untuk mengepung tempat mendarat, tapi belum lagi mereka sampai di sana, kapal sudah berhenti di tengah sungai dan mulai berputar beberapa kali.

Wajah orang-orang Yoshioka jadi pucat kelabu. "Apa yang kaulakukan?"

"Kalian tak bisa tinggal di situ selamanya!"

"Sini kamu, atau kami akan datang ke situ."

Ancaman-ancaman terus berlangsung, sampai akhirnya haluan kapal mulai bergerak ke tepi. Sebuah suara meraung di udara dingin, "Tutup mulut, orang-orang goblok! Kami akan mendarat! Lebih baik siapkan diri kalian untuk mempertahankan diri."

Walaupun dicegah oleh penumpang-penumpang lain, orang muda itu tetap merebut galah orang kapal dan mendaratkan kapal tambangan itu. Ketujuh samurai segera berkerumun sekitar tempat yang akan disentuh haluan kapal, sementara tubuh yang menggerakkan kapal dengan galah itu semakin dekat dengan mereka. Tiba-tiba kecepatan kapal meningkat, dan orang muda itu menyerang mereka sebelum mereka mengetahuinya. Lunas kapal mencakar dasar sungai dan mereka undur serentak. Pada waktu itulah sebuah benda hitam bulat melayang melintasi gelagah dan menempelkan diri ke leher seorang di antara mereka. Sebelum mereka menyadari bahwa benda itu hanya seekor monyet, secara naluriah mereka semua mencabut pedang dan membabatkan ke udara kosong di sekitar mereka. Untuk menyembunyikan rasa malu, mereka saling meneriakkan perintah mendesak.

Dengan harapan akan terhindar dari keributan, para penumpang menggerombol di sebuah sudut kapal. Aniaya yang diderita ketujuh orang di tepi sungai itu membesarkan hati mereka, sekalipun agak menimbulkan tanda tanya, tapi tak seorang pun berani bicara. Kemudian secara serentak semua kepala menoleh diiringi suara menggagap. Orang muda itu menancapkan galahnya ke dalam sungai dan melompat melintasi rumput mendoang, gerakannya lebih ringan daripada monyet tadi.

Kejadian ini lebih mengacaukan lagi. Tanpa sempat menyusun diri kembali, orang-orang Yoshioka segera menyerang musuh mereka dalam satu barisan. Serangan demikian justru memberikan kedudukan menguntungkan bagi si orang muda untuk bertahan.

Orang pertama sudah maju terlampau jauh untuk dapat mundur kembali, dan barulah ia menyadari kebodohan langkahnya. Pada saat itu segala keterampilan perang yang pernah dipelajarinya tak ada gunanya. Yang dapat diperbuatnya hanyalah memeringiskan gigi dan secara ngawur mengayun-ayunkan pedang di depan dirinya.

Sadar akan keuntungan psikologis yang dimilikinya, sosok pemuda tampan itu seakan tampak makin besar. Tangan kanannya di belakang mernegang gagang pedang, dan sikunya mencongak di atas bahunya.

°Oh, jadi kalian dari Perguruan Yoshioka? Bagus. Saya memang merasa seperti sudah kenal kalian. Seorang dari kalian sudah berkenan mengizinkan saya memotong gelungannya. Rupanya itu tak cukup buat kalian. Apa kalian semua datang buat potong rambut? Kalau memang begitu, saya yakin dapat membantu kalian. Kebetulan sebentar lagi saya mesti menajamkan pedang ini, jadi sebaik-nya saya manfaatkan kesempatan ini."

Ketika kata-kata itu berakhir, Galah Pengering pun membelah udara, dan kemudian membelah tubuh pemain pedang terdekat yang merunduk.

Melihat kawannya terbantai demikian mudah, lumpuhlah otak mereka. Satu demi satu mereka mundur saling tunjang, seperti bola-bola yang saling ber-tumbukan. Dan mengambil keuntungan dari kedudukan mereka yang porak-poranda itu, si penyerang pun mengayunkan pedang ke samping, ke arah orang berikutnya, dan menjatuhkan pukulan demikian mantap hingga orang itu terjungkal ke rumput mendoang diiringi suara jeritan.

Orang muda itu membelalakkan mata kepada lima orang sisanya, yang sementara itu menyusun diri di sekitarnya bagai daun bunga. Mereka saling meyakinkan bahwa taktik mereka kali itu cukup aman, dan keyakinan mereka pulih, sampai-sampai berani mengejek orang muda itu lagi. Namun kali ini kata-kata mereka gemetar dan palsu.

Akhirnya, disertai teriakan keras, seorang dari mereka meloncat ke depan dan mengayunkan pedangnya. Ia yakin telah melakukan penebasan. Padahal ujung pedangnya masih dua kaki penuh jaraknya dari sasaran, dan kemudian mengakhiri gerak lengkungnya di sebuah batu karang dengan suara berdentang. Orang itu jatuh ke depan. Tubuhnya terbuka lebar untuk serangan.

Orang muda itu bukannya membantai mangsa yang demikian mudahnya. Ia melompat ke samping dan mengayunkan pedang ke arah orang berikut. Jeritan perang masih mendering di udara, tapi ketiga orang lain sudah angkat kaki seribu.

Dengan wajah kejam, orang muda itu berdiri memegang pedang dengan kedua tangannya. "Pengecut!" pekiknya. "Kembali ke sini dan ayo berkelahi! Apa ini Gaya Yoshioka yang kalian banggakan itu? Menantang seseorang, lalu melarikan diri? Tidak heran, Perguruan Yoshioka menjadi bahan tertawaan."

Bagi samurai mana pun yang punya harga diri, penghinaan seperti itu lebih buruk daripada diludahi, tetapi bekas-bekas pengejar orang muda itu sudah terlampau sibuk berlari dan tidak memperhatikannya.

Justru pada waktu itu dari sekitar tanggul terdengar dering giring-giring kuda. Sungai dan embun beku di ladang memantulkan cukup banyak cahaya bagi pemuda itu untuk melihat sosok tubuh di punggung kuda dan sosok tubuh lain berlari-lari di belakangnya. Sekalipun napas beku mengepulngepul dari lubang hidungnya, mereka kelihatan tidak memperhatikan dinginnya udara dan terus melaju ke depan. Ketiga samurai yang melarikan diri hampir saja bertumbukan dengan kuda, ketika penunggang kuda itu mendadak sontak mengekang kudanya.

Kenal akan ketiga orang itu, Seijuro memberengut berang. "Apa yang kalian lakukan di sini?" salaknya. "Ke mana kalian lari?"

"Oh... oh, Tuan Muda!" seorang dari mereka menggagap.

Ueda Ryohei yang muncul dari balik kuda itu menyerang mereka. "Apa artinya ini? Kalian mestinya mengawal Tuan Muda, gerombolan tolol! Rupanya kalian terlalu sibuk ribut sesudah minum lagi, ya?"

Ketiga orang itu dengan marah memuntahkan cerita tentang bagaimana mereka mempertahankan kehormatan Perguruan Yoshioka dan gurunya, dan betapa mereka mengalami kegagalan berhadapan dengan samurai muda yang seperti setan itu. Jadi, mereka bukannya berkelahi karena mabuk.

"Lihat itu!" teriak seorang dari mereka. "Dia datang kemari."

Mata-mata yang ketakutan memperhatikan musuh yang mendekat.

"Diam kalian!" perintah Ryohei dengan suara muak. "Terlalu banyak kalian bicara. Bagus sekali kalian melindungi kehormatan perguruan. Tak bakal kita bisa menebus dengan perbuatan macam itu. Minggir semua! Aku yang akan menghadapinya sendiri." Ia mengambil jurus menantang, dan menanti.

Pemuda itu menuju ke arah mereka. "Berhenti kalian, dan ayo berkelahi!" teriaknya. "Apa lari itu seni bela diri Yoshioka? Secara pribadi tak ingin saya membunuh kalian, tapi Galah Pengering saya masih haus. Karena kalian pengecut, paling sedikit yang dapat kalian lakukan adalah meninggalkan kepala kalian." Ia lari menyusur tanggul dengan langkah-langkah besar dan yakin, dan kelihatan akan melompati kepala Ryohei yang waktu itu sudah meludah ke tangan dan menggenggam kembali pedangnya penuh kemantapan.

Pada saat itulah pemuda itu terbang, sedangkan Ryohei mengeluarkan teriakan yang memekakkan telinga, mengangkat pedang ke atas jubah warna emas pemuda itu dan menebaskannya dengan ganas, tapi gagal.

Pemuda itu mendadak menghentikan gerakan, menoleh, dan teriaknya. "Apa ini? Orang baru?"

Ryohei terhuyung ke depan, terbawa oleh kecepatan ayunannya, dan pemuda itu menyapunya tanpa ampun lagi. Sepanjang hidupnya belum pernah Ryohei menyaksikan pukulan yang demikian hebat. Ia memang berhasil mengelakkan-nya pada waktunya, tapi terjungkal juga ia ke sawah. Untung baginya, karena tanggul itu cukup rendah dan sawah itu membeku. tapi ketika jatuh ia kehilangan senjatanya, dan dengan itu keyakinannya pula.

Ketika ia merangkak kembali ke atas, pemuda itu sedang bergerak dengan kekuatan dan kecepatan seekor macan yang sedang marah, memporak-porandakan ketiga murid itu dengan kilasan pedangnya dan sedang mendekati Seijuro.

Seijuro belum lagi merasa ngeri. Menurut pikirannya, segalanya akan berlalu sebelum ia sendiri terlibat. Tapi sekarang bahaya menyerang langsung dirimya dalam bentuk pedang yang tamak.

Terdorong oleh suatu ilham yang tiba-tiba datang, ia berteriak, "Ganryu! Tunggu!" ia lepaskan sebelah kakinya dari sanggurdi, ia naikkan ke pelana, dan berdirilah ia lurus-lurus. Kuda melompat ke depan, ke arah kepala pemuda itu, sedangkan Seijuro terbang ke belakang, mendarat dengan kedua kakinya sekitar tiga langkah jauhnya.

"Bukan main!" teriak orang muda itu kagum sekali, lalu mendekati Seijuro. "Biarpun kau musuhku, perbuatan tadi betul-betul bagus! Kau tentunya Seijuro sendiri. Jaga dirimu!"

Mata pedang panjang itu menjadi perwujudan semangat juang. Ia semakin mendekati Seijuro, namun sekalipun memiliki kelemahan-kelemahan, Seijuro adalah anak Kempo. Ia dapat menghadapi bahaya itu dengan tenang.

Kepada pemuda itu ia berkata yakin, "Kau Sasaki Kojiro dari Iwakuni. Benar seperti dugaanmu, aku Yoshioka Seijuro. Tak ada keinginanku berkelahi denganmu. Kalau benar-benar perlu, kita dapat mengundurkannya pada waktu lain. Sekarang ini aku cuma ingin mengetahui, apa sebab semua ini. Singkirkan pedangmu."

Ketika Seijuro menyebutnya Ganryu, pemuda itu jelas tidak mendengarnya. Tapi sekarang, disebut Sasaki Kojiro itu ia pun terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu siapa aku?" tanyanya.

Seijuro menampar paha. "Aku tahu! Aku cuma menduga, tapi dugaanku betul!" Kemudian ia maju ke depan, dan katanya, "Senang sekali bertemu denganmu. Aku sudah banyak mendengar tentangmu."

"Dari siapa?" tanya Kojiro.

"Dari teman seniormu, Ito Yagoro."

"Oh, jadi kau ini temannya?"

"Ya. Sampai musim gugur lalu dia memiliki tempat pertapaan di Bukit Kagura di Shirakawa, dan aku sering mengunjunginya di sana. Dia beberapa kali juga berkunjung ke rumahku."

Kojiro tersenyum. "Kalau begitu, ini tampaknya bukan pertemuan yang pertama lagi, ya?"

"Tidak. Ittosai agak sering menyebutmu. Dia mengatakan ada satu orang dari Iwakuni bernama Sasaki yang sudah mempelajari gaya Toda Seigen, dan kemudian belajar di bawah pimpinan Kanemaki Jisai. Dia mengatakan padaku, Sasaki murid termuda di perguruan Jisai, tapi suatu hari nanti akan menjadi satu-satunya pemain pedang yang dapat menantang Ittosai."

"Tapi aku masih belum mengerti, bagaimana bisa Anda mengetahui ini begitu cepat."

"Nah, Anda muda dan cocok dengan gambaran itu. Melihat Anda mengguna-kan pedang panjang itu, aku ingat Anda disebut juga Ganryu—'Pohon  Dedalu di Tepi Sungai'. Aku lalu mendapat firasat, tentu Anda-lah itu, dan aku benar."

Sementara Kojiro mencecap gembira, matanya menoleh memandang pedangnya yang masih berdarah, yang mengingatkan kepadanya bahwa telah terjadi perkelahian, dan itu membuatnya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mereka akan menyelesaikan urusan itu. Namun nyatanya ia dan Seijuro telah bertemu demikian baik, hingga saling pengertian pun segera tercapai, dan beberapa menit kemudian mereka sudah berjalan bahu-membahu seperti sahabat lama. Di belakang mereka berjalan Ryohei dan tiga murid yang kesal hati. Rombongan kecil itu berjalan menuju Kyoto.

Kojiro berkata, "Dari semula aku tak mengerti, gara-gara apa perkelahian itu tadi. Aku tak punya soal dengan mereka."

Pikiran Seijuro tertuju kepada tingkah laku Gion Toji baru-baru itu. "Aku muak dengan Toji," katanya. "Kalau aku kembali nanti, akan kupanggil dia supaya bercerita. Kuharap Anda tidak menganggap aku dendam terhadap Anda. Aku betul-betul malu melihat orang-orang perguruanku kurang baik disiplinnya."

"Nah, Anda sudah lihat sendiri, orang macam apa aku ini," jawab Kojiro. "Bicaraku terlalu besar, dan aku selalu siap berkelahi dengan siapa saja. Murid-murid Anda bukan satu-satunya orang yang mesti dipersalahkan. Bahkan kukira Anda mesti memberikan pujian pada mereka karena telah berusaha mempertahankan nama baik perguruan. Sayang mereka itu tidak seberapa sebagai pejuang, tapi setidak-tidaknya mereka sudah mencoba. Aku sedikit kasihan pada mereka."

"Aku yang mesti dipersalahkan," kata Seijuro polos. Wajahnya menampakkan rasa sakit yang sebenar-benarnya.

"Mari kita lupakan semuanya."

"Tak ada yang lebih menyenangkan bagiku."

Bersatunya kedua orang itu mendatangkan kelegaan pada yang lain-lain. Siapa menyangka bahwa anak lelaki yang tampan dan tumbuh lebih besar dari seharusnya ini Sasaki Kojiro yang besar, yang oleh Ittosai dipuji-puji? ("Keajaiban Iwakuni", begitulah yang dikatakannya). Tidak mengherankan kalau karena ketidaktahuannya, Toji tergoda untuk mempermainkannya sedikit. Dan tidak mengherankan bahwa akhirnya ia sendiri yang jadi tampak konyol.

Ryohei dan ketiga orang temannya menggigil kalau ingat betapa mereka hampir kena berondong Galah Pengering. Kini mata mereka telah terbuka. Melihat bidangnya bahu dan tegapnya punggung Kojiro itu mereka heran, bagaimana mungkin mereka telah berlaku demikian bodoh dengan menyepelekannya.

Tak lama kemudian, mereka sampai kembali di tempat perhentian kapal. Mayat-mayat sudah membeku, dan ketiga orang itu ditugaskan menguburnya, sedangkan Ryohei pergi mencari kuda. Kojiro pergi bersiul-siul memanggil monyetnya. Tiba-tiba monyet itu muncul entah dari mana dan melompat ke bahu tuannya.

Seijuro tidak hanya mendesak Kojiro datang ke perguruannya di Jalan Shijo dan tinggal di sana sejenak, tapi juga menawarkan kudanya. Kojiro menolak.

"Kurang baik," katanya. Sikap hormatnya tidak seperti biasa. "Aku cuma seorang ronin muda, sedangkan Anda guru sebuah perguruan besar, putra seorang terhormat, pemimpin beratus-ratus pengikut." Sambil memegang kendali, ia melanjutkan, "Silakan, Andalah yang naik. Aku memegang kendali ini saja. Lebih mudah jalan begini. Kalau memang tidak keberatan, aku menerima tawaran Anda tinggal dengan Anda sebentar di Kyoto."

Dengan sikap sopan santun yang sama, Seijuro berkata, "Nah, kalau begitu, aku naik sekarang, dan kalau kaki Anda lelah nanti, kita dapat bertukar tempat."

Seijuro merasa ada baiknya pemain pedang seperti Sasaki Kojiro itu berada di sampingnya, pada saat ia terpaksa bertarung dengan Miyamoto Musashi pada permulaan Tahun Baru.



 Gunung Rajawali

 PADA tahun 1550-an dan 1560-an, pemain-pemain pedang besar yang paling terkenal di Jepang Timur adalah Tsukahara Bokuden dan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, sedangkan saingannya di Honshu Tengah adalah Yoshioka Kempo dari Kyoto dan Yagyu Muneyoshi dari Yamato. Disamping itu ada Yang Dipertuan Kitabatake Tomonori dari Kuwana. seorang guru seni bela diri dan gubernur terkemuka. Lama sesudah ia meninggal, orang Kuwana masih berbicara tentang dirinya dengan rasa cinta, karena bagi mereka ia melambangkan hakikat pemerintahan yang baik dan kemakmuran.

Ketika Kitabatake masih belajar di bawah pimpinan Bokuden, yang terakhir ini menurunkan kepadanya Ilmu Pedang Tertinggi, yaitu rahasia tertinggi di antara jurus-jurus rahasia miliknya. Anak Bokuden, Tsukuhara Hikoshiro, mewarisi nama dan tanah milik ayahnya, tapi tidak mendapat warisan jurus rahasia itu. Itulah sebabnya mengapa Gaya Bokuden bukannya menyebar di timur, di mana Hikoshiro bergiat, melainkan di daerah Kuwana, di mana Kitabatake memerintah.

Konon, sesudah meninggalnya Bokuden, Hikoshiro datang ke Kuwana untuk mencoba memperdayakan Kitabatake agar membukakan jurus rahasia itu. "Ayah saya," demikian kabarnya ia mengatakan, "dahulu mengajarkannya pada saya, dan saya diberitahu bahwa dia mengajarkannya juga pada Anda. Belakangan ini saya bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah yang diajarkan pada kita itu bukan barang yang sama. Karena rahasia-rahasia tertinggi dalam aliran kita jadi kepentingan bersama, apakah tidak sebaiknya kita membandingkan apa yang telah kita pelajari?"

Kitabatake segera menyadari maksud kurang baik pewaris Bokuden itu. namun ia cepat menyetujui memberikan demonstrasi. Rahasia yang diketahui Hikoshiro waktu itu hanyalah bentuk luar Ilmu Pedang Tertinggi, dan bukan rahasia yang paling dalam. Maka Kitabatake tetap merupakan satu-satunya guru Gaya Bokuden sejati, dan untuk mempelajarinya para murid harus pergi ke Kuwana. Di sebelah timur, Hikoshiro menurunkan kulit kosong lancung keterampilan ayahnya sebagai ajaran yang asli: suatu bentuk tanpa inti.

Atau demikianlah setidak-tidaknya cerita yang disampaikan pada setiap musafir yang kebetulan menginjakkan kaki di daerah Kuwana. Bukan cerita yang jelek, karena cerita-cerita seperti itu memang beredar, dan karena didasarkan pada fakta, maka cerita itu lebih dapat diterima dan kurang ngawur dibandingkan lautan cerita rakyat setempat yang disampaikan orang untuk menegaskan kembali keunikan kota-kota dan provinsi-provinsi yang mereka cintai.

Musashi yang sedang menuruni Gunung Tarusaka dalam perjalanan dari kota Kuwana mendengar cerita itu dari tukang kudanya. Ia mengangguk, dan katanya sopan, "Betul begitu? Menarik sekali!" Waktu itu pertengahan bulan terakhir. Sekalipun iklim Ise relatif hangat, namun angin yang berembus dari Teluk Nako dingin menggigit.

Ia hanya mengenakan kimono tipis. Pakaian dalamnya dari katun dan jubah tak berlengan. Berarti pakaian yang terlalu tipis untuk ukuran mana pun. Dan lagi jelas tampak kotor. Wajahnya bukan lagi berwarna perunggu, melainkan hitam terbakar matahari. Di atas kepalanya yang termakan cuaca, topi anyamannya yang sudah aus dan berumbai tampak berlebihan. Sekiranya ia membuang barang itu di jalan, tak seorang pun akan bersusah payah memungutnya. Rambutnya yang sudah berhari-hari tak dicuci, diikat ke belakang, tapi tetap masih seperti sarang burung. Apa pun yang dilakukannya selama enam bulan terakhir itu, menyebabkan kulitnya tampak seperti kulit yang tersamak baik. Matanya bersinar seperti mutiara putih di tengah lingkungannya yang segelap arang.

Tukang kuda sudah kuatir semenjak membawa penunggang kuda yang acak-acakan itu. Ia sangsi apakah akan menerima upah, dan yakin tak akan mendapat muatan pulang dari tempat jauh di tengah pegunungan itu.

"Tuan," katanya agak takut-takut.

"Mm?"

"Kita akan sampai Yokkaichi sebelum tengah hari, dan sampai Kameyama petang hari. Sebelum sampai Desa Ujii, hari pasti sudah tengah malam."

"Mm."

"Tak apa-apa?"

"Mm." Musashi waktu itu lebih tertarik pada pemandangan teluk daripada berbicara, hingga tukang kuda itu tidak memperoleh jawaban lebih dari anggukan kepala dan kata "Mm" yang tak berisi pendapat itu.

Tukang kuda mencoba lagi. "Ujii tak lebih dari dukuh kecil sekitar delapan mil masuk pegunungan dari punggung Gunung Suzuka. Bagaimana ceritanya sampai Tuan pergi ke tempat macam itu?"

"Saya pergi untuk menemui seseorang."

"Tak ada siapa-siapa di sana, kecuali petani dan penebang kayu."

"Di Kuwana saya dengar ada satu orang yang pandai sekali main rantaipeluru-sabit."

"Saya kira Shishido."

"Itu dia. Namanya Shishido apa?"

"Shishido Baiken."

"Ya."

"Dia pandai besi, biasa bikin sabit besar. Saya ingat pernah mendengar dia mahir sekali bikin senjata itu. Apa Tuan belajar seni bela diri?"

"Mm."

"Oh, kalau begitu, daripada menemui Baiken, saya sarankan Tuan pergi ke Matsuzaka. Beberapa pemain pedang terbaik Provinsi Ise tinggal di sana."

"Siapa misalnya?"

"Misalnya, Mikogami Tanzen."

Musashi mengangguk. "Ya, saya pernah dengar." Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, dan ini memberikan kesan bahwa ia kenal betul kemampuan-kemampuan besar Mikogami.

Sampai kota kecil Yokkaichi, ia berjalan terpincang-pincang kesakitan menuju sebuah warung, dan di situ ia memesan makan siang dan duduk makan. Kura-kura sebelah kakinya terbalut, karena telapak kakinya luka bernanah. Itulah sebabnya ia memilih menyewa kuda dan bukan berjalan. Walaupun biasanya ia selalu berhati-hati dengan tubuhnya, beberapa hari sebelumnya, di kota pelabuhan ramai Narumi terinjak olehnya papan berpaku. Kakinya yang merah bengkak itu tampak seperti kesemek asin, dan sejak kemarin ia demam.

Menurut jalan pikirannya, ia bertempur dengan sebuah paku, dan paku itu menang. Sebagai murid bela diri, ia merasa malu membiarkan dirinya kena paku tanpa sadar. "Apa tak ada jalan buat melawan musuh macam itu?" tanyanya beberapa kali kepada dirinya. "Paku itu mencongak ke atas dan kelihatan jelas. Aku menginjaknya karena aku setengah tertidur-tidak, aku buta, karena semangatku belum lagi aktif di seluruh tubuhku. Lebih dan itu, aku membiarkan paku itu menembus dalam, dan ini terbukti gerak reflekku lamban. Sekiranya aku menguasai sepenuhnya diriku, pasti aku sudah melihat paku itu begitu sandalku menyentuhnya."

Persoalan yang dihadapinya adalah ketidakmatangan, demikian kesimpulannya. Tubuhnya dan pedangnya masih belum menjadi satu. Sekalipun kedua tangannya jadi semakin kuat dari hari ke hari, semangatnya dan bagian lain tubuhnya tidak selaras. Dalam kerangka pikiran yang mengecam diri pribadi ini, hal itu terasa olehnya sebagai kelainan yang melumpuhkan.

Namun demikian, ia tidak merasa membuang-buang waktu saja enam bulan lalu itu. Sesudah melarikan diri dari Yagyu, pertama-tama ia pergi ke Iga, kemudian ke jalan raya Omi, lalu menjelajahi Provinsi Mino dan Owari. Di setiap kota, di setiap ngarai gunung, ia berusaha menguasai Jalan Pedang yang sejati. Kadang-kadang ia merasa sudah mencapainya, tapi rahasianya tetap saja sukar ditangkap; sesuatu yang tak dapat ditemukan tersembunyi di kota ataupun di ngarai.

Tak ingat lagi ia, dengan berapa banyak prajurit ia telah berbentrokan. Jumlahnya berlusin-lusin dan semuanya pemain pedang yang terlatih baik dan dari kelas tinggi. Tidak sukar menemukan pemain-pemain pedang cakap. Yang sukar ditemukan adalah manusia sejati. Dunia ini memang penuh orang, bahkan terlalu penuh, tapi menemukan seorang manusia sejati tidaklah mudah. Selama perjalanannya, Musashi menjadi yakin akan hal itu, seyakin-yakinnya, sampai terasa menyakitkan dan semangatnya mengendur. Namun demikian, pikirannya selalu kembali kepada Takuan, karena tak sangsi lagi dialah pribadi yang otentik, yang unik.

"Kukira aku beruntung," pikir Musashi. "Setidaknya aku beruntung telah mengenal seorang manusia sejati. Aku harus membuat pengalaman mengenal dia itu membuahkan sesuatu."

Manakala Musashi memikirkan Takuan, sejenis rasa nyeri menyebar dari pergelangan tangannya ke seluruh tubuhnya. Perasaan itu aneh, suatu kenangan psikologis akan saat ia terikat erat pada cabang pohon kriptomeria, "Tunggulah!" sumpah Musashi. "Sebentar lagi akan kuikat Takuan di pohon itu juga, dan aku akan duduk di tanah, mengkhotbahkan jalan hidup sejati kepadanya!" Bukannya ia benci kepada Takuan atau punya hasrat membalas dendam. Ia cuma ingin menunjukkan bahwa taraf yang dapat dicapai seseorang melalui Jalan Pedang lebih tinggi daripada yang dapat dicapai dengan mempraktekkan Zen. Musashi tersenyum memikirkan kemungkinan bahwa pada suatu hari nanti ia akan ganti menguasai biarawan eksentrik itu.

Tentu saja bisa terjadi bahwa segala sesuatu tidak berlangsung tepat seperti yang direncanakan, tapi sekiranya ia memang mendapat kemajuan besar, dan sekiranya pada akhirnya ia dapat mengikat Takuan di atas pohon dan menguliahinya, apa yang dapat dikatakan oleh Takuan? Sudah pasti ia akan berteriak girang dan menyatakan, "Bagus sekali! Aku bahagia sekarang."

Tapi tidak, Takuan tak akan pernah bersikap langsung macam itu. Sebagai Takuan, ia akan tertawa dan katanya, "Bodoh kamu! Kau makin maju, tapi masih bodoh!"

Bagaimana persisnya kata-kata tidaklah menjadi persoalan benar. Persoalannya Musashi merasa, walaupun aneh, bahwa menghantam kepala Takuan dengan keunggulan pribadinya merupakan suatu keharusan, semacam utang terhadap biarawan itu. Khayalan itu cukup polos. Musashi telah menempuh jalannya sendiri, dan dari hari kehari ia menemukan betapa paniang dan sukarnya jalan menuju kemanusiaan sejati. Kalau sisi praktis dirinya mengingatkan ia betapa Takuan sudah jauh lebih lanjut menempuh jalan itu dibandingkan dengannya, maka khayalan itu pun lenyap.

Lebih mengguncangkan lagi apabila ia memikirkan betapa mentah dan tak layak dirinya dibandingkan dengan Sekhishusai. Memikirkan guru Yagyu tua itu membuatnya sinting dan sekaligus sedih. ia menjadi sadar sesadar-sadarnya akan ketidakmampuannya bicara tentang Jalan Kesempurnaan, tentang Seni Bela Diri atau yang lain lagi dengan penuh keyakinan.

Pada waktu-waktu seperti ini, dunia yang pernah dikiranya penuh orang bodoh itu kelihatannya besar menakutkan. Dan Musashi berkata pada diri sendiri bahwa hidup ini bukanlah soal logika. Pedang bukan logika. Yang penting bukan bicara atau berspekulasi, melainkan beraksi. Mungkin saja ada orang-orang lain yang sekarang ini jauh lebih besar daripadanya, tapi ia pun bisa menjadi besar!

Apabila kesangsian terhadap diri sendiri sudah mengancam akan menenggelamkannya, maka Musashi biasa langsung pergi ke pegunungan dan hidup dengan dirinya dalam kesendirian itu. Gaya hidupnya di sana tampak jelas dari penampilannya ketika kembali ke peradaban-pipinya secekung pipi rusa, tubuhnya penuh cakaran dan luka memar, rambutnya kering dan kaku karena berjam-jam tersiram air terjun dingin. Ia jadi demikian kotor akibat tidur di tanah, sehingga giginya yang putih seakan-akan tidak berasal dari dunia. Namun semua itu hanyalah permukaan semata. Di dalam, ia menyala penuh keyakinan, hampir-hampir keangkuhan. dan meledak-ledak dengan hasrat menjumpai lawan yang berarti. Dan pencarian ujian atas keberanian inilah yang selalu membawanya turun dari pegunungan.

Ia dalam perjalanannya sekarang karena ingin tahu apakah ahli rantaipeluru-sabit Kuwana itu memang cakap. Dalam sepuluh hari yang masih tersisa sebelum ia memenuhi janjinya di Kyoto, masih ada waktu untuk melihat apakah Shishido Baiken sungguh seorang manusia sejati, ataukah sekadar cacing pemakan nasi juga, yang demikian banyaknya menghuni bumi ini?

Larut malam barulah ia sampai di tujuannya, jauh di pegunungan itu. Sesudah mengucapkan terima kasih, dikatakannya bahwa tukang kuda itu bebas untuk pergi, tapi karena sudah larut, si tukang kuda lebih suka mengawani Musashi ke rumah yang dicarinya dan menginap di bawah tepi atap. Esok harinya ia akan dapat turun dari Celah Suzuka, dan jika beruntung ia dapat mengambil penumpang kembali di jalan. Bagaimanapun, cuaca waktu itu terlalu dingin dan gelap untuk mencoba kembali sebelum matahari terbit.

Musashi sependapat dengannya. Mereka berada di sebuah lembah yang tertutup tiga sisinya. Jalan mana pun terpaksa mendaki pegunungan yang tertimbun salju setinggi lutut. "Kalau begitu," kata Musashi, "ayolah ikut saya."

"Ke rumah Shishido Baiken?"

"Ya.."

"Terima kasih, Tuan. Mari kita lihat, apa kita dapat menemukannya."

Karena Baiken membuka bengkel, siapa pun di antara petani setempal dapat mengantar mereka ke rumahnya, tapi pada waktu malam seperti itu seluruh desa sedang tidur. Satu-satunya tanda kehidupan adalah bunyi godam yang secara teratur menghantam blok. Sesudah berjalan melintas, udara dingin mendekati bunyi itu, akhirnya mereka melihat cahaya.

Ternyata itu rumah pandai besi. Di depan terdapat timbunan logam tua: dan sisi bawah ujung atap hitam oleh asap. Atas perintah Musashi, tukang kuda membuka pintu dan masuk. Api menyala di dapur api dan seorang perempuan yang membelakangi api sedang menumbuk-numbuk kain.

"Selamat malam, Nyonya! Oh! Nyonya ada api. Bagus sekali!" Tukang kuda langsung menuju dapur api itu.

Perempuan itu terlompat karena tukang kuda yang mendadak masuk itu, dan menghentikan pekerjaannya. "Siapa pula ini?" tanyanya.

"Tunggu sebentar, saya jelaskan," kata tukang kuda sambil memanaskan kedua tangannya. "Saya membawa seseorang dari jauh untuk bertemu dengan suami Nyonya. Kami baru saja sampai. Saya tukang kuda dari Kuwana."

"Ya, tapi..." Perempuan itu memandang masam ke arah Musashi. Kerutan keningnya jelas menunjukkan bahwa ia sudah lebih dari cukup menjumpai shugyosha dan sudah tahu bagaimana menghadapi mereka. Dengan nada angkuh ia berkata kepada Musashi, seperti kepada anak kecil, "Tutup pintu! Bayiku bisa masuk angin kalau udara dingin itu masuk."

Musashi membungkuk dan mematuhi perintah itu. Kemudian ia duduk di atas tunggul pohon di samping dapur api dan mengamati sekitarnyadari daerah penuangan best yang menghitam sampai ruangan tempat tinggal yang berkamar tiga. Pada sebuah papan yang dipakukan ke dinding tergantung sekitar sepuluh senjata rantai-peluru-sabit. Ia perkirakan itulah senjatanya, karena terus terang saja, ia belum pernah melihatnya. Alasannya yang lain mengadakan perjalanan kemari adalah karena ia berpendapat seorang murid semacam dirinya haruslah berkenalan dengan segala jenis senjata. Maka berkilau-kilaulah matanya karena rasa ingin tahu.

Perempuan yang umurnya sekitar tiga puluh tahun dan agak manis itu meletakkan palunya dan kembali ke daerah tempat tinggal. Musashi mengira ia akan membawakan teh, tapi ternyata ia pergi ke tikar tempat tidur seorang bayi, lalu mengangkat anak itu dan menyusuinya.

Kepada Musashi ia berkata, "Kukira kau ini samurai muda lain lagi yang datang kemari buat dibikin berlumuran darah oleh suamiku. Kalau betul begitu, kamu beruntung. Suamiku sedang pergi, jadi kamu tak perlu kuatir cerbunuh." Ia tertawa riang.

Musashi tidak tertawa. Ia jengkel sekali. Ia datang ke desa terpencil ini bukan untuk dipermainkan oleh seorang perempuan. Menurut renungannya, semua perempuan cenderung keterlaluan melebihkan status suaminya. Perempuan ini lebih gawat daripada kebanyakan istri. Ia rupanya mengira suaminya orang terhebat di bumi ini.

Karena tak ingin melukai perasaannya, Musashi berkata, "Saya kecewa suami Nyonya tidak ada. Ke mana dia pergi?"

"Ke rumah Arakida."

"Di mana itu?"

"Ha, ha! Kamu sudah datang di Ise, tapi belum tahu Keluarga Arakida?"

Waktu itu bayi di dadanya mulai rewel, dan tanpa menghiraukan, tamunya, perempuan itu menyanyikan lagu buaian dalam logat setempat.



Tidurlah, tidurlah

Bayi tidur sungguh manis.

Bayi jaga dan nangis, itu nakal

Dan bikin ibunya nangis juga.



Karena menurut pikirannya, setidak-tidaknya ia bisa mempelajari sesuatu dari memperhatikan senjata-senjata pandai besi itu, Musashi bertanya, "Apa ini senjata yang digunakan begitu fasihnya oleh suami Nyonya?"

Perempuan itu menggerutu, dan ketika Musashi minta dibolehkan memeriksanya, ia mengangguk, dan menggerutu lagi.

Musashi menurunkan satu senjata dari sangkutannya. "Jadi, inilah macamnya," katanya, setengah pada diri sendiri. "Saya dengar orang banyak menggunakannya sekarang ini." Senjata di tangannya itu terdiri atas satu batang logam yang panjangnya 60 cm (yang dengan mudah dapat disimpan di dalam obi). Ujungnya memakai cincin tempat menyangkutkan rantai. Di ujung lain rantai itu terdapat peluru logam yang berat, yang cukup kokoh untuk memecahkan tengkorak manusia. Di lekuk yang dalam pada salah satu sisi batang logam itu tampak punggung pisau. Ketika ia menarik benda itu dengan kukunya, benda itu melenting ke samping, seperti mata sabit. Dengan senjata itu, tidaklah sukar memotong kepala lawan.

"Kukira begini memegangnya," kata Musashi seraya memegang sabit itu dengan tangan kiri dan rantai dengan tangan kanan. Sambil membayangkan seorang musuh di hadapannya, ia mengambil jurus dan menimbang-nimbang gerakan yang diperlukannya.

Perempuan itu mengalihkan matanya dari tempat tidur bayinya unruk memperhatikan, dan umpatnya, "Bukan begitu! Salah sekali!" Sambil menjejalkan buah dadanya kembali ke dalam kimononya, ia mendekat ke tempat Musashi berdiri. "Kalau kamu memegangnya begitu, orang yang bersenjata pedang bisa menebasmu tanpa kesulitan sama sekali. Pegang begini."

Ia merebut senjata itu dari tangan Musashi dan memperlihatkan padanya bagaimana cara berdiri. Musashi tak suka melihat seorang perempuan mengambil jurus tempur dengan senjata yang demikian brutal. la memandang dengan mulut menganga. Ketika menyusui bayinya tadi, perempuan itu tampak betul-betul seperti sapi, tapi sekarang sesudah siap tempur ia tampak gagah, bermartabat, dan, ya, bahkan cantik. Sementara memperhatikan, Musashi melihat bahwa pada pedang berwarna biru kehitaman seperti punggung ikan makerel itu terdapat tulisan yang bunyinya, "Gaya Shishido Yaegaki".

Perempuan itu mengambil jurus tersebut hanya sesaat. "Yah, kira-kira seperti itulah," katanya sambil melipatkan kembali pisau itu ke dalam gagangnya dan menggantungkan senjata itu ke sangkutannya.

Musashi ingin melihatnya menggunakan alat itu lagi, tapi perempuan itu jelas tak punya keinginan melakukannya. Sesudah membersihkan dinding, ia kembali sibuk dengan pekerjaan di dekat bak cuci. Ia mencuci pecah belah atau bersiap memasak sesuatu.

"Kalau perempuan ini dapat mengambil jurus demikian mengesankan," pikir Musashi, "suaminya tentunya benar-benar patut dilihat." Maka hampir tak sabar lagi ia ingin menjumpai Baiken, dan pelan-pelan ia bertanya kepada tukang kuda mengenai Keluarga Arakida. Sambil bersandar ke dinding dan menghangatkan diri pada panas api, tukang kuda menyatakan dengan suara gumam bahwa mereka itu keluarga yang ditugaskan mengawal Biara Ise.

Kalau ini benar, demikian pikir Musashi, tak akan sukar menemukan tempat mereka itu. Ia mengambil keputusan untuk mencarinya, lalu melingkarkan diri di tikar dekat api dan tidur.

Pagi-pagi, magang pandai besi itu bangun dan membuka luar bengkel. Musashi bangun juga dan minta kepada tukang kuda agar membawanya ke Yamada, kota terdekat dengan Biara Ise. Puas karena telah dibayar hari sebelumnya, tukang kuda segera menyetujui.

Petang hari mereka sudah sampai di jalan panjang berapit pohon yang menuju biara itu. Warung-warung teh di situ tampak sangat sepi, bahkan juga untuk musim dingin. Hanya sedikit orang berjalan, dan jalan itu sendiri dalam keadaan buruk. Sejumlah pohon yang tumbang oleh badai musim gugur masih menggeletak di tempat tumbangnya.

Dari rumah penginapan di Yamada, Musashi mengirim seorang pesuruh untuk bertanya ke rumah Arakida, apakah Shishido Baiken tinggal di sana. Jawaban yang datang menyatakan bahwa tentunya telah terjadi kekeliruan. Tak seorang pun yang namanya demikian ada di sana. Karena kecewa, Musashi mengalihkan perhatian kepada kakinya yang luka, yang dalam semalam itu sudah sangat membengkak.

Ia gusar karena tinggal beberapa hari lagi waktu yang tersisa baginya untuk berada di Kyoto. Dalam surat tantangan yang dikirimkannya kepada Sekolah Yoshioka dari Nagoya, ia menyerahkan pada mereka untuk memilih salah satu hari dalam minggu pertama Tahun Baru. Ia tak dapat menolak sekarang dengan alasan kaki sakit. Disamping itu, ia berjanji menjumpai Matahachi di jembatan Jalan Gojo.

Sepanjang hari berikutnya ia gunakan untuk menerapkan obat yang pernah didengarnya. Ampas tahu ia masukkan dalam kantong kain, ia peras sampai keluar airnya, dan ia rendam kakinya dalam air itu. Namun tak ada perbaikan. Bahkan lebih buruk lagi bahwa bau tahu itu memualkan. Sibuk mengurusi kakinya, ia mengeluh atas kebodohannya telah menyeleweng pergi ke Ise. Mestinya ia langsung ke Kyoto.

Malam itu kakinya ia bungkus di bawah selimut. Demamnya menanjak dan rasa nyerinya tak tertahankan lagi. Pagi berikutnya dengan putus asa ia cobakan resep-resep lain, termasuk mengoleskan obat seperti minyak pemberian pemilik rumah penginapan. Orang itu berani bersumpah bahwa keluarganya telah menggunakannya beberapa generasi. Namun bengkak tidak juga surut. Kakinya tampak seperti gumpalan tahu besar membengkak. dan rasanya sudah seberat balok kayu.

Pengalaman itu menyebabkan ia berpikir. Tidak pernah dalam hidupnya ia terbaring tiga hari lamanya. Selain bisul yang pernah dipunyainya di kepala semasa kanak-kanak, menurut ingatannya tak pernah ia sakit.

"Sakit adalah sejenis musuh yang paling jahat," demikian pikirnya. "Namun tak berdaya aku dalam genggamannya." Sampai sekarang ia menduga musuh-musuhnya akan selalu datang dari luar, maka kenyataan bahwa ia dibikin lumpuh oleh musuh dari dalam, baginya sungguh baru dan memaksanya untuk berpikir.

"Tinggal berapa hari lagi tahun ini?" demikian ia bertanya-tanya. "Tak bisa aku hanya tinggal di sini membuang-buang waktu!" Dalam keadaan terbaring dengan perasaan jengkel itu, tulang-tulang rusuknya terasa seperti menekan jantungnya dan dadanya terasa mengerut. ia tendang selimut dari kakinya yang bengkak. "Kalau menendang ini saja aku tak dapat, bagaimana bisa aku mengalahkan seluruh Keluarga Yoshioka?"

Ia membayangkan akan menghimpit dan mencekik setan di dalam dirinya. Ia memaksa dirinya duduk bersimpuh dalam gaya resmi. Sakit rasanya, sakit sekali. Hampir-hampir pingsan. Ia menghadap jendela, tapi dengan menutup mata.

Cukup lama waktu berlalu, sebelum akhirnya warna merah pada wajahnya mulai berkurang dan kepalanya mendingin sedikit. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah setan akan menyerah pada kegigihannya yang pantang menyerah itu.

Ketika membuka mata, tampaklah di hadapannya hutan sekitar Biara Ise. Di seberang pepohonan terlihat olehnya Gunung Mai, dan sedikit ke timur Gunung Asama. Menjulang di atas pegunungan di antara kedua gunung itu tampak sebuah puncak yang menatap dengan pandangan merendahkan kepada gunung-gunung di sekitarnya, dan menatap pula kepada Musash dengan kurang ajarnya.

"Itu burung rajawali," pikir Musashi, tanpa mengetahui bahwa namanva memang Gunung Rajawali. Penampilan puncak gunung yang congkak itu menyinggung perasaannya. Gayanya yang sombong itu mengejeknya, hingga semangat juangnya sekali lagi tergelitik. Maka terpikirlah olehnya Yagyu Sekishusai, pemain pedang tua yang mirip dengan puncak angkuh ini. Lama-kelamaan mulai kelihatan olehnya bahwa puncak itu memang Sekishusai yang sedang memandang kepadanya dan atas awan-awan, menertawakan kelemahan dan kekerdilannya.

Selagi memandang gunung itu, untuk sementara ia lupa akan kakinya, tapi segera kemudian rasa nyeri mendesak kembali ke dalam kesadarannya. Sekiranya ia hantamkan kakinya ke api bengkel pandai besi itu, pasti tak terasa sakit lagi, demikian pikirnya sedih. Tanpa dikehendakinya, ia tarik kaki yang besar bulat itu dari bawah dirinya dan ia tatap. Tak hendak ia menerima kenyataan bahwa kaki itu benar-benar sebagian dari dirinya.

Dengan suara keras ia panggil pesuruh. Ketika tidak cepat muncul, ia pukul tatami dengan tinjunya. "Di mana saja semua orang ini?" pekiknya. "Aku mau pergi dari sini! Mana rekening! Sediakan makanan-nasi gorengdan bawakan aku tiga pasang sandal jerami yang berat!"

Sebentar kemudian ia sudah ada di jalan, terpincang-pincang melewati lapangan pasar. Di situlah tentunya dilahirkan prajurit terkenal Tairo no Tadakiyo, pahlawan "Cerita Perang Hogen". Tapi sekarang sedikit saja yang mengingatkan orang bahwa tempat itu tempat lahir para pahlawan. Sekarang rempat itu lebih mirip bordil terbuka yang didereti warung-warung teh dan dikerumuni perempuan. Lebih banyak perempuan penggoda berdiri di sepanjang jalan itu daripada pohon. Mereka memanggil-maggil orang lewat dan mencekal lengan baju calon-calon korban yang lewat, sambil mencumbu, membujuk, dan menggoda. Untuk sampai ke biara itu, Musashi betul-betul harus berjuang melintasi mereka sambil merengut dan menghindari pandangan mereka yang tak sopan itu.

"Kenapa kakimu?"

"Apa mau saya obati?"

"Sini, biar saya gosoki!"

Mereka menarik-narik pakaiannya, mencengkeram tangannya, menggenggam tangannya.

"Lelaki tampan takkan sampai ke mana-mana dengan mengerutkan dahi macam itu!"

Musashi menjadi merah mukanya dan menghuyungkan diri dengan membuta. Sama sekali tak bisa ia bertahan terhadap serangan macam itu, dan ia minta maaf pada sebagian dan mereka, dan dengan sopan menyatakan menyesal pada yang lain. Semua itu hanya membikin perempuan-perempuan itu tertawa terkekeh-kekeh. Ketika seorang dari mereka mengatakan bahwa Musashi "semungil anak macan tutul!", serangan tangan-tangan putih itu menjadi gencar. Akhirnya ia tak peduli lagi dengan segala macam topeng harga diri, dan ia pun lari, bahkan ia tak mau berhenti memungut topinya ketika topi itu terlepas dari kepalanya. Maka suara-suara mengikik mengikutinya di antara pepohonan di luar kota itu.

Tidak mungkin bagi Musashi mengabaikan perempuan. Rangsangan yang ditimbulkan oleh tangan-tangan yang mencakar-cakar itu lama baru bisa reda. Ingatan tentang bau bedak putih yang tajam tentu saja sudah dapat membuat detak nadinya menggebu, dan usaha mental macam apa pun darinya takkan dapat menenangkannya. Itu ancaman yang lebih besar dibandingkan dengan musuh yang berdiri dengan pedang terhunus di hadapannya. Betul-betul ia tak tahu bagaimana mengatasinya. Belakangan, apabila tubuhnya menyala oleh birahi, sepanjang malam ia gelisah. Bahkan Otsu yang polos itu pun kadang-kadang menjadi khayalnya yang penuh nafsu.

Hari ini kakinya memaksanya melepaskan pikiran tentang perempuan, tapi melarikan diri dari mereka dalam keadaan hampir tak dapat berjalan itu sama saja dengan menyeberangi kancah logam cair panas. Setiap langkah yang diambilnya berarti tikaman derita di kepala, yang berasal dari telapak kaki. Bibirnya memerah, tangannya jadi selengket madu, dan bau rambutnya menyengat karena keringat. Mengangkat kaki yang luka itu saja menghabiskan seluruh tenaga yang dapat ia kerahkan. Kadang-kadang ia merasa seolah tubuhnya tiba-tiba akan pecah berantakan. Bukannya ia ber­khayal. Ia sudah tahu ketika meninggalkan rumah penginapan itu bahwa ini akan merupakan siksaan baginya, dan ia bermaksud mengatasinya. Bagaimanapun ia sudah berhasil tetap mengendalikan diri, walaupun tiap kali menyeret kaki sial itu ia mengutuk pelan.

Menyeberangi Sungai Isuzu dan memasuki pekarangan biara itu mendatangkan perubahan suasana yang menyenangkan. Ia merasakan suasana suci dalam tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, bahkan juga dalam suara burung-burung. Apakah itu, pada hakikatnya, tak dapat ia mengatakan, tapi ia ada di sana.

Ia rebah di akar sebatang pohon kriptomeria besar, sambil merintih pelan kesakitan dan memegangi kaki dengan kedua tangannya. Lama ia duduk di sana tak bergerak-gerak, seperti batu karang. Tubuhnya menyala demam, sekalipun kulitnya tersengat oleh angin dingin.

Kenapakah ia tiba-tiba bangkit dari tempat tidur dan melarikan diri dari rumah penginapan itu? Orang normal mana pun akan tetap tinggal di sana tenang-tenang, sampai kakinya terobati. Apakah itu tidak kekanak-kanakan. bahkan bodoh, bahwa seorang dewasa membiarkan dirinya dikuasai ketidaksabaran?

Namun bukan ketidaksabaran itu semata-mata yang menggerakkannya. Yang menggerakkannya adalah kebutuhan spiritual, dan kebutuhan yang sangat dalam. Kendati dilanda nyeri dan derita fisik, semangat Musashi pekat dan berdetak penuh daya hidup. Ia angkatkan kepala, dan dengan mata nyalang ia pandang kehampaan di sekitarnya.

Lewat rintihan pohon-pohon besar yang suram dan tak henti-hentinya terdengar di hutan suci itu telinga Musashi menangkap bunyi lain. Tidak berapa jauh, entah di mana, seruling dan buluh menyuarakan musik kuno, musik persembahan bagi para dewa, sementara suara anak-anak yang halus menvanyikan doa suci. Tertarik oleh bunyi damai ini Musashi mencoba berdiri. Sambil menggigit bibir ia memaksakan diri berdiri, walau tubuhnya yang enggan itu menolak setiap gerak. Sesudah mencapai dinding tanah gedung biara, diraihnya dinding itu dengan kedua tangan dan berusaha merayap dengan gerakan kepiting yang kaku.

Musik itu berasal dari bangunan yang agak lebih jauh letaknya. Seberkas cahaya bersinar lewat jendelanya yang berkisi-kisi. Wisma Para Perawan ini dihuni gadis-gadis muda yang mengabdi kepada dewa-dewa. Di sini mereka berlatih memainkan alat-alat musik kuno dan belajar menarikan tari-tarian suci yang diciptakan berabad-abad sebelumnya.

Musashi mendekati pintu belakang bangunan itu. Ia berhenti dan memandang ke dalam, tapi tak melihat seorang pun. Merasa lega karena tidak harus memberikan keterangan tentang dirinya, ia melepaskan pedang dan bungkusan dari punggungnya. Semua itu diikat bersama dan digantungkannya pada sangkutan di dinding dalam. Dalam keadaan tanpa beban itu ia letakkan kedua tangannya di pinggul dan ia berjalan terpincang-pincang kembali ke Sungai Isuzu.

Kira-kira sejam kemudian, bertelanjang bulat, ia pecahkan es di permukaan sungai dan ia ceburkan dirinya ke air dingin itu. Di sana ia diam, berkecipak, dan membasuh badan, mencelupkan kepala dan memurnikan diri. Untung tak seorang pun ada di sekitar. Pendeta yang lewat bisa-bisa menduga ia sudah gila dan mengusirnya.

Menurut legenda Ise, seorang pemanah bernama Nikki Yoshinaga dahulu kala menyerang dan menduduki sebagian wilayah Biara Ise. Merasa sudah mantap, ia memancing di Sungai Isuzu yang suci dan menggunakan burung elang pemburu untuk menangkap burung-burung kecil di hutan suci itu. Karena melakukan penjarahan yang melanggar kesucian ini, demikian kata legenda itu, ia menjadi gila sama sekali. Musashi yang berbuat seperti orang itu dapat dengan mudah dikira hantu orang gila itu.

Ketika akhirnya ia melompat ke atas batu, ia dapat melakukan lompatan itu dengan ringannya, seperti seekor burung kecil. Sementara ia mengeringkan diri dan mengenakan pakaian, helai rambut di sepanjang dahinya kaku menjadi kerat-kerat es.

Bagi Musashi, mencemplungkan diri ke sungai suci itu penting. Kalau tubuhnya tak dapat menahan dingin, bagaimana mungkin ia bertahan terhadap halangan-halangan yang lebih mengancam hidup? Dan pada saat ini persoalannya bukanlah kemungkinan masa depan yang abstrak, melainkan kemungkinan menghadapi Yoshioka Seijuro yang sangat nyata, beserta seluruh pengikutnya. Mereka akan mengerahkan setiap daya yang ada pada mereka terhadapnya. Mereka harus berbuat demikian untuk menyelamatkan muka. Mereka tahu bahwa mereka tak punya pilihan lain kecual membunuhnya, dan Musashi tahu bahwa untuk menyelamatkan nyawanya ia harus menggunakan muslihat.

Menghadapi kemungkinan seperti ini, samurai pada umumnya pasti akan bicara tentang "berkelahi dengan segala tenaga" atau "siap menghadapi maut", tapi menurut jalan pikiran Musashi semua itu omong kosong belaka. Memenangkan perkelahian hidup atau mati dengan segala kekuatan tidaklah lebih dari naluri binatang. Lagi pula, walau tidak kehilangan keseimbangan menghadapi mati merupakan keadaan mental yang tinggi tarafnya, sesungguhnya tidaklah begitu sukar menghadapi maut, kalau ia sudah tahu bahwa la harus mati.

Musashi tidak takut mati, tapi tujuannya memang mutlak, bukan sekadar hidup, dan ia mencoba membangun keyakinan untuk berbuat demikian. Biarlah orang lain gugur secara heroik, kalau itu cocok buat mereka. Musashi hanya mau membereskan pertempuran dengan kemenangan heroik.

Kyoto tidak jauh, tidak lebih dari tujuh puluh atau delapan puluh mil. Kalau ia dapat menjaga langkah, ia bisa sampai di sana dalam tiga hari. Namun waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan diri secara spiritual tidaklah dapat ditakar. Apakah secara mental ia sudah siap? Apakah pikiran dan semangatnya sudah benar-benar satu?

Musashi belum dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini secara positif. Ia merasa bahwa jauh di dalam dirinya terdapat kelemahan, yaitu karena ia tahu dirinya belum matang. ia sadar, dan itu mengecewakannya, bahwa ia belum mencapai taraf pikiran seorang guru sejati, bahwa ia masih jauh dari seorang manusia yang lengkap dan sempurna. Apabila ia membandingkan dirinya dengan Nikkan atau Sekishusai atau Takuan, tak dapat ia mengelak dari kebenaran sederhana ini: ia masih hijau! Analisis yang dilakukannya sendiri atas kemampuan dan sifat-sifat dirinya tidak hanya mengungkapkan kelemahan di beberapa bidang, melainkan juga kekurangan dalam bidang-bidang lain.

Tubuhnya bergetar ketika ia memekik, "Aku harus menang, aku harus menang!" Sambil berjalan terpincang-pincang memudiki Sungai Isuzu, ia memekik lagi agar semua pohon di hutan suci itu mendengar, "Aku harus menang!" Ia melintasi air terjun yang tenang dan beku, dan seperti manusia primitif ia merangkak ke atas batu-batu besar dan bersusah payah menerobos semak-semak rimbun di ngarai yang dalam, yang sebelumnya tak banyak ditempuh orang.

Wajahnya semerah wajah setan. Hanya dengan mengerahkan segala tenaga, baru ia dapat maju selangkah, itu pun dengan bergayut pada batu dan tumbuhan menjalar.

Di seberang tempat bernama Ichinose terdapat jurang yang panjangnya lima atau enam ratus meter, penuh dengan tebing terjal dan riam, hingga ikan forsel pun tak dapat melintasinya. Di ujungnya menjulang tebing yang hampir terjal. Orang bilang hanya monyet dan peri dapat memanjatnva.

Musashi memandang batu karang itu, dan katanya tanpa khayal, "Ini dia jalan ke Gunung Rajawali."

Ia gembira melihat tak ada rintangan tak tertembus di sini. Berpegangan pada tumbuhan menjalar yang kuat, ia mulai mendaki permukaan batu karang, setengah memanjat setengah berayun, seolah disangga oleh suatu gaya berat terbalik.

Sesampainya di puncak karang meledaklah pekik kemenangan darinya. Dari sana terlihat olehnya aliran sungai yang putih dan pesisir perak sepanjang pantai Futamigaura. Dan di hadapannya, di seberang belukar jarang yang berselimut kabut malam, tampak olehnva kaki Gunung Rajawali.

Gunung itu Sekishusai. Dulu ia tertawa ketika Musashi terbaring di tempat tidur, dan kini puncaknya melanjutkan ejekan itu. Maka semangat Musashi yang tak kenal menyerah betul-betul tersengat oleh keunggulan Sekishusai. Serangan itu menindasnya, menyeretnya mundur.

Berangsur-angsur terbentuklah tujuan dalam dirinya: mendaki sampai puncak dan melampiaskan dendam, menginjak-injak seenaknya kepala Sekishusai, untuk menunjukkan kepadanya bahwa Musashi dapat dan harus menang.

Majulah ia menentang perlawanan rumput liar, pohon, es—musuh-musuh yang mencoba mati-matian menyeretnya mundur. Setiap langkah, setiap napas, merupakan tantangan. Darahnya yang belum lama ini kedinginan kini mendidih dan tubuhnya mengepul ketika keringat yang keluar dari pori-porinya berjumpa dengan udara dingin. Musashi memeluk permukaan puncak yang merah warnanya itu sambil mencari-cari pijakan kaki. Setiap kali ia merasa sudah ada pijakan itu, batu-batu kecil menghujan, menimpa belukar di bawah. Seratus kaki, dua ratus, tiga ratus—ia kini di tengah awan-awan. Apabila awan-awan itu bersibak, dari bawah ia tampak seperti tergantung di awang-awang tanpa berat. Puncak gunung menatap dingin kepadanya.

Kini, setelah dekat ke puncak tertinggi, ia pegang teguh hidupnya tercinta. Satu saja gerakan keliru akan membuatnya melayang ke riam karang dan batu-batu besar. Napasnya terengah-engah, mendesir-desir, bahkan ia melahap udara dengan pori-porinya. Demikian pekat tegangan yang dialaminya, hingga jantungnya serasa akan naik dan meledak dari mulutnya. la hanya dapat memanjat beberapa kaki, lalu berhenti, beberapa kaki, lalu berhenti lagi.

Seluruh dunia terhampar di bawahnya: hutan besar yang memagari tempat suci, jalur putih yang tentunya sungai, Gunung Asama, Gunung Mae, kampung nelayan Toba, dan lautan terbuka luas. "Hampir sampai," pikirnya. "Sedikit lagi!"

"Sedikit lagi." Alangkah mudah dikatakan, tapi alangkah sukar dicapai! Karena "sedikit lagi" itulah yang membedakan pedang kemenangan dengan pedang yang kalah.

Karena bau keringat, ia mulai samar-samar merasa sedang bersarang di dada ibunya. Permukaan gunung yang kasar mulai terasa seperti kulit ibunya, dan ia jadi ingin sekali tidur. Tapi justru pada waktu itu sebutir batu di bawah ibu jari kakinya terlepas dan membuatnya sadar kembali. Ia mencari-cari pijakan lain.

"Ini dia! Hampir sampai!" Dengan kaki-tangan kejang dan sakit, kembali ia mencakar gunung itu. Kalau tubuh dan daya kemauannya melemah, demikian dikatakannya kepada dirinya, maka sebagai pemain pedang pasti pada suatu hari ia akan terbunuh. Di sinilah pertandingan akan ditentukan, dan Musashi tahu itu.

"Ini untukmu, Sekishusai! Untukmu, bajingan!" Dengan segala daya yang ada padanya ia kutuki raksasa-raksasa yang dihormatinya, para superman yang telah menyebabkannya datang kemari, para superman yang harus dan akan ditaklukkannya. "Satu untukmu, Nikkan! Dan untukmu, Takuan!"

Ia panjati kepala berhala-berhala itu, ia injak-injak dan ia tunjukkan pada mereka siapa yang terbaik di antara mereka. ia dan gunung itu kini satu, tapi seolah-olah heran melihat mahluk ini mencakarnya, gunung itu menggertak dan meludahkan longsoran batu kerikil dan pasir. Napas Musashi terhenti, seakan seseorang menepukkan tangan ke mukanya. Sementara ia bergayut pada batu karang itu, angin berembus, mengancam meniupnya bersama batu karang dan segalanya.

Kemudian tiba-tiba ia sudah tengkurap, matanya terpejam tak berani bergerak. Tapi dalam hatinya ia menyanyikan lagu kegembiraan meluap. Dan setelah meluruskan badan, ia memandang ke segala jurusan, dan cahaya fajar tiba-tiba tampak di tengah lautan awan putih di bawahnya.

"Berhasil! Aku menang!"

Begitu ia sadar telah mencapai puncak, begitu daya kemauannya yang sudah menegang itu mendetak seperti tali busur. Angin di puncak tertinggi menghujani punggungnya dengan pasir dan batu. Di sinilah, di perbatasan antara langit dan bumi, Musashi merasa bahwa kegembiraan yang tak terlukiskan membengkak memenuhi seluruh dirinya. Tubuhnya yang basah kuyup oleh keringat kini tersatukan dengan permukaan gunung. Semangat manusia dan gunung kini sedang melaksanakan karya cipta yang agung di keluasan alam tak terbatas di waktu fajar. Dan dalam selimut kegembiraan meluap yang surgawi itu, tidurlah ia dengan damai.

Ketika akhirnya ia mengangkat kepala, pikirannya pun semurni dan sejernih kristal. Mendadak ia ingin melompat dan melejit ke sana kemari seperti ikan mino di sungai.

"Tak ada apa pun lagi di atasku!" teriaknya. "Aku sekarang berdiri di atas kepala rajawali!"

Matahari pagi yang baru muncul menyinarkan cahaya kemerahan kepadanya dan kepada gunung itu, sementara ia merentangkan tangannya yang berotot dan liar ke langit. Ia pandang kakinya yang terhujam teguh ke puncak tertinggi, dan waktu itu tampak olehnya seolah seember penuh nanah kekuningan merembes dari kakinya yang cedera. Di tengah kemurnian angkasa yang mengitarinya, membubunglah napas kemanusiaan—napas manis kegelapan yang telah terhalau.

Bersambung >>>
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive