"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Senin, 13 Agustus 2012

Cerita Novel Musashi Bag. 7






bagian 7


Pembalasan Jotaro



KEMBALI di penginapan, Jotaro duduk di depan Musashi dengan wajah puas. Ia melaporkan sudah melaksanakan tugasnya. Beberapa goresan menyilangi muka anak itu, sedang hidungnya tampak seperti buah arbei masak. Tak sangsi lagi, ia pasti kesakitan, tapi karena ia tidak memberikan penjelasan, Musashi tidak mengajukan pertanyaan.

"Ini jawaban mereka," kata Jotaro sambil menyerahkan kepada Musashi surat Shoda Kizaemon serta menambahkan beberapa patah kata tentang pertemuannya dengan samurai itu. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa tentang anjing itu. Sementara ia bicara, luka-lukanya mulai berdarah lagi.

"Cukup sekian saja?" tanyanya.

"Ya, sekian saja. Terima kasih."

Musashi membuka surat Kizaemon, dan Jotaro menutup mukanya dengan tangan dan buru-buru meninggalkan kamar. Kocha memburunya dan mem perhatikan goresan-goresan di wajahnya dengan pandangan kuatir. "Kenapa mukamu itu?" tanyanya.

"Seekor anjing menyerangku."

"Anjing siapa?"

"Salah satu anjing di puri."

"Oh, apa bukan anjing Kishu yang besar hitam itu? Dia memang jahat. Aku yakin, biarpun kamu kuat, takkan dapat kamu menandinginya. Oh, dia sudah menggigit tukang-tukang rampas sampai mati!"

Walaupun hubungan mereka berdua tidak begitu balk, Kocha mengantar Jotaro ke kali dan menyuruhnya membasuh wajahnya. Kemudian ia pergi mengambil salep dan mengoleskannya ke wajah Jotaro. Jotaro bersikap sopan. Sesudah gadis itu selesai menolongnya, Jotaro membungkukan badan berulang-ulang untuk mengucapkan terima kasih.

"Hentikan angguk-angguk itu. Kamu kan lelaki, dan perbuatan itu lucu kelihatannya."

"Tapi aku menghargai sekali jasamu."

"Biar kita banyak berkelahi, tapi aku suka kamu," kata gadis itu mengaku.

"Aku suka kamu juga."

"Betul?"

Bagian-bagian wajah Jotaro yang tidak terkena salep berubah menjadi merah tua, dan pipi Kocha jadi manyala. Tak seorang pun kelihatan. Matahari bersinar lewat kembang persik merah muda.

"Tuanmu barangkali akan segera pergi, ya?" tanyanya dengan nada kecewa.

"Kami masih akan tinggal di sini sebentar," jawab Jotaro, berusaha meyakinkan Kocha.

"Aku ingin kamu bisa tinggal di sini setahun atau dua tahun."

Keduanya lalu masuk gubuk tempat menyimpan makanan kuda, dan di sana mereka berbaring telentang di atas jerami. Tangan mereka bersentuhan, dan rasa hangat menyengat tubuh Jotaro. Tanpa peringatan lagi ia menarik tangan Kocha dan menggigit jarinya.

"Ohh!"

"Sakit ya? Maaf."

"Tak apa-apa. Gigit sekali lagi."

"Kamu tidak keberatan?"

"Tidak, tidak, terus gigit lagi! Gigit lebih keras!"

Jotaro memenuhi permintaannya dan menyentak-nyentak jari-jari gadis itu seperti anak anjing. Jerami berhamburan menutupi kepala mereka, dan tak lama kemudian mereka sudah saling peluk, tanpa ada maksud lain, ketika ayah Kocha datang mencari anaknya. Ngeri melihat pemandangan itu, ekspresinya berubah keras, seperti wajah orang bijaksana dalam agama Kong-Hu-Cu.

"He, geblek, apa yang kalian lakukan ini? Kalian ini masih anak-anak!" Diseretnya mereka keluar pada tengkuknya, dan diberinya Kocha beberapa pukulan keras di pantat.

Seterusnya hari itu Musashi sedikit sekali bicara dengan orang lain. Ia duduk saja dengan tangan terlipat dan berpikir.

Sekali, di tengah malam, Jotaro terbangun, dan dengan mengangkat kepala sedikit ia mencuri pandang pada tuannya. Musashi berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka lebar, menatap langit-langit dengan pemusatan penuh.

Hari berikutnya pun Musashi tetap menyendiri. Jotaro ketakutan. Kemungkinan gurunya sudah mendengar tentang bagaimana ia main dengan Kocha di dalam gubuk. Namun Musashi tidak mengatakan apa-apa. Sorenya Musashi menyuruh anak itu minta kuitansi mereka dan bersiap-siap berangkat, dan juru tulis datang membawanya. Ketika ditanya apakah ia menghendaki makan malam, ia menjawab tidak.

Sambil berdiri menganggur di sudut kamar, Kocha bertanya, "Tuan tak akan pulang tidur malam ini?"

"Tidak. Terima kasih, Kocha, atas pelayanan yang balk. Aku yakin kami sudah banyak mengganggu. Selamat tinggal."

rom

"Jaga diri Tuan baik-baik," kata Kocha. Ia menutupkan tangannya ke muka, menyembunyikan air matanya.

Di pintu gerbang, kepala penginapan dan dua pelayan lain berbaris mengantar mereka. Sangat aneh bagi mereka bahwa kedua tamu itu berangkat tepat sebelum matahari tenggelam.

Sesudah berjalan sebentar, Musashi menoleh mencari Jotaro. Karena tidak melihat anak itu, ia kembali ke penginapan. Anak itu berada di bawah gudang, sedang mengucapkan selamat berpisah pada Kocha. Melihat Musashi mendekat, mereka cepat-cepat saling memisahkan diri.

"Selamat jalan," kata Kocha.

"Selamat tinggal," seru Jotaro sambil berlari ke sisi Musashi. Walaupun takut kepada mata Musashi, anak itu tak dapat tidak mencuri pandangnya ke belakang, sampai penginapan tidak kelihatan lagi.

Lampu-lampu mulai bermunculan dalam lembah itu. Musashi berjalan terus tanpa berkata-kata dan tidak sekali pun menoleh ke belakang. Jotaro mengikuti dengan murung.

Beberapa waktu kemudian Musashi bertanya, "Apa kita belum sampai?"

"Di mana?"

"Di gerbang utama Puri Koyagyu."

"Apa kita pergi ke puri itu?"

"Ya."

"Apa kita akan menginap di sana malam ini?"

"Tak tahu aku. Itu tergantung perkembangan nanti."

"Itu. Itu gerbangnya."

Musashi berhenti dan berdiri di depan gerbang, kedua kakinya dirapatkan. Di atas benteng yang ditumbuhi lumut, pohon-pohon besar memperdengarkan bunyi desir. Seberkas cahaya tunggal menyorot dari sebuah jendela persegi.

Musashi berseru, dan seorang pengawal muncul. Sambil menyerahkan surat dari Shoda Kizaemon ia berkata, "Nama saya Musashi, dan saya datang kemari atas undangan Shoda. Minta tolong disampaikan kepadanya, saya sudah datang."

Pengawal itu memang sudah menantinya. "Mereka sedang menanti Anda," katanya sambil memberikan isyarat kepada Musashi untuk mengikutinya.

Disamping fungsi-fungsi lainnya, Shin'indo merupakan tempat bagi para pemuda puri untuk mempelajari agama Kong-Hu-Cu. Tempat itu juga menjadi perpustakaan tanah perdikan tersebut. Kamar-kamar di sepanjang lorong yang menuju belakang bangunan itu semuanya didereti rak-rak buku. Sekalipun Keluarga Yagyu termasyhur berkat kecakapan militernya, namun Musashi dapat melihat bahwa puri itu menekankan sekali pendidikan. Segala sesuatu dalam puri kelihatan diliputi sejarah.

Dan segala sesuatu kelihatan terurus baik, kalau dinilai dari kerapian jalan dari gerbang sampai Shin'indo, sikap sopan santun pengawalnya, dan pemberian lampu yang cermat, damai, di sekitar menara utama.

Pada waktu memasuki sebuah rumah untuk pertama kali, kadang-kadang seorang tamu merasa sudah kenal baik dengan tempat itu dan para penghuninya. Musashi mendapat kesan itu sekarang, ketika ia duduk di lantai kayu dalam kamar besar yang ditunjukkan kepadanya oleh pengawal. Pengawal menyerahkan kepadanya bantalan bundar keras dari jerami, yang diterimanya dengan ucapan terima kasih, kemudian meninggalkannya sendiri. Di perjalanan, Jotaro ditinggalkan di kamar tunggu pembantu.

Pengawal kembali beberapa menit kemudian, dan mengatakan kepada Musashi bahwa tuan rumah akan segera datang.

Musashi menggeser bantal bundar itu ke sebuah sudut dan bersandar pada tiang. Dari cahaya lampu rendah yang bersinar ke halaman ia dapat melihat lilitan tanaman wisteria yang sedang berkembang, berwarna putih dan lembayung muda. Bau wisteria yang manis itu mengambang di udara. la kaget mendengar dengkung katak. Dengkung pertama tahun itu.

Air terdengar berkericik di suatu tempat di halaman. Sungai agaknya mengalir di bawah bangunan. Sesudah ia duduk tenang, terdengar olehnya bunyi air mengalir di bawah dirinya. Namun tak lama kemudian terasa olehnya bahwa bunyi itu datang dari langit-langit, dari dinding, bahkan dari lampu. Ia merasa sejuk dan santai. Namun jauh di dalam dirinya menindih suatu perasaan gelisah yang tak dapat ditekan. Itulah semangat juang yang tak terpuaskan, yang mengalir dalam nadinya, sekalipun dalam suasana setenang itu. Dari bantalan pada tiang itu ia memandang ke sekeliling dengan hati bertanya-tanya.

"Siapakah Yagyu itu?" tanyanya dengan mata menantang. "Dia pemain pedang, dan aku pun pemain pedang. Dalam hal ini kami sama. Tapi malam ini aku akan maju selangkah ke depan dan meninggalkan Yagyu di belakang."

"Maaf, kami membiarkan Anda menanti."

Shoda Kizaemon masuk ke kamar bersama Kimura, Debuchi, dan Murata.

"Selamat datang di Koyagyu," kata Kizaemon hangat.

Sesudah ketiga orang lain memperkenalkan diri, para pelayan mendatangkan berbaki-baki sake dan penganan. Sake di situ merupakan hasil rebusan sendiri, pekat, agak seperti sirup, dan dihidangkan dalam mangkukmangkuk besar gaya lama yang tinggi pegangannya.

"Di desa ini," kata Kizaemon, "tak banyak yang dapat kami suguhkan, tapi kami harap Anda kerasan."

Dengan penuh kehangatan, yang lain-lain pun mendorongnya untuk merasa senang dan tidak berkukuh pada upacara. Sesudah diajak, Musashi pun mau menerima sedikit sake, sekalipun ia tidak suka benar minuman itu. Bukannya ia membenci sake, melainkan karena ia masih terlalu muda untuk dapat menghargai kehalusan rasanya. Sake malam itu cukup lezat, tapi tidak begitu lekas mendatangkan akibat kepadanya.

"Kelihatannya Anda biasa juga minum," kata Kimura Sukekuro, dan menawarkan untuk mengisi lagi mangkuknya. "Omong-omong, saya mendengar bahwa peoni yang Anda tanyakan kemarin dipotong sendiri oleh Yang Dipertuan puri ini."

Musashi menepuk lututnya. "Memang sudah saya duga!" serunya. "Potongan itu bagus sekali!"

Kimura mendekat. "Yang ingin saya ketahui adalah, bagaimana Anda dapat mengatakan bahwa potongan batang lunak dan kecil itu dibuat oleh guru pemain pedang. Kami semua terkesan oleh kemampuan Anda melihatnva."

Karena belum tahu benar ke mana arah pembicaraan itu, Musashi berkata, sekadar memenangkan waktu, "Begitu, ya? Betul?"

"Ya, tak salah lagi!" kata Kizaemon, Debuchi, dan Murata hampir bersamaan.

"Kami sendiri tidak melihat ada hal khusus di situ," kata Kizaemon. "Dan kami sampai pada kesimpulan bahwa dibutuhkan seorang jenius untuk mengenali jenius yang lain. Kami berpendapat akan sangat membantu pendidikan kami di masa depan kalau Anda dapat menjelaskannya pada kami."

Sesudah menghirup sake lagi, Musashi berkata, "Ah, tak ada yang khusus di sini-itu cuma terkaan yang mengena."

"Ayolah, jangan merendahkan diri."

"Saya bukan merendahkan diri. Saya cuma merasa begitu sesudah melihat potongan batang itu."

"Merasa bagaimana?"

Keempat siswa senior Keluarga Yagyu itu mencoba menganalisis Musashi sebagai seorang manusia dan sekaligus mengujinya, seperti yang akan mereka lakukan juga terhadap orang asing lain. Mereka sudah mengamati fisiknya, mengagumi pembawaannya, dan ekspresi matanya. Tetapi cara Musashi memegang mangkuk sake dan sumpit itu bagaimanapun menunjukkan bahwa ia berpendidikan kampung, dan ini membuat mereka cenderung mengguruinya. Baru menghabiskan tiga atau empat mangkuk sake saja, wajah Musashi sudah jadi merah tembaga. Karena malu, dua-tiga kali ia menyentuh dahi dan pipinya. Sikap kekanak-kanakan ini membuat mereka tertawa.

"Tentang perasaan Anda itu," ulang Kizaemon, "apa tidak bisa Anda menceritakannya lebih banyak? Anda tahu gedung Shin'indo ini dibangun dengan sengaja untuk kediaman Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, kalau beliau sedang berkunjung. Ini gedung penting dalam sejarah seni pedang. Tempat yang cocok bagi kami untuk mendengar kuliah dari Anda malam ini."

Karena sadar bahwa memprotes sanjungan itu tak akan dapat meloloskan dirinya, Musashi memutuskan untuk mencebur sekalian.

"Kalau kita merasakan sesuatu, itu artinya kita merasakannya," katanya. "Betul-betul tak ada cara lain untuk menjelaskannya. Kalau Anda sekalian menghendaki saya memperlihatkan apa yang saya maksudkan itu, terpaksa Anda sekalian mencabut pedang dan menghadapi saya dalam pertarungan. Tak ada cara lain."

Asap lampu naik, sehitam tinta cumi-cumi, ke udara malam yang tenang itu. Dengkung katak terdengar lagi.

Kizaemon dan Debuchi, yang tertua di antara mereka, saling pandang dan tertawa. Sekalipun Musashi berbicara tenang, pernyataannya tentang keharusan mengujinya tidak dapat disangkal lagi merupakan tantangan, dan mereka memang menganggapnya demikian.

Tanpa menanggapi tantangan itu, mereka berbicara tentang pedang, kemudian tentang Zen, tentang peristiwa-peristiwa di provinsi-provinsi lain, tentang Pertempuran Sekigahara. Kizaemon, Debuchi, dan Kimura telah ambil bagian dalam pertempuran berdarah itu. Bagi Musashi, yang dalam pertempuran berdarah itu berada di pihak lawan, cerita-cerita mereka terdengar bagai kebenaran yang pahit. Tuan rumah tampaknya sangat menikmati percakapan itu, sedangkan Musashi merasa sangat terpesona mendengarkannya.

Namun demikian, ia sadar bahwa waktu berlalu dengan cepat, dan dalam hati ia tahu, kalau malam ini ia tidak bertemu dengan Sekishusai, ia tak akan bertemu dengannya untuk selamanya.

Kizaemon mengatakan sudah waktunya menghidangkan makanan terakhir, yaitu gerst campur nasi. Sake pun diundurkan.

"Bagaimana aku bisa bertemu dengannya?" pikir Musashi. Semakin lama semakin jelas baginya bahwa ia mungkin terpaksa harus menggunakan akal licik. Haruskah ia menyodok salah seorang dari tuan rumah itu supaya naik darah? Itu sukar kalau ia sendiri tidak sedang marah, karena itu dengan sengaja ia beberapa kali mengatakan tidak sependapat dengan apa yang mereka katakan, dan bicara dengan cara kasar dan kurang ajar. Mendengar itu, Shoda dan Debuchi memilih tertawa. Tak seorang pun dari keempat orang itu mau kena provokasi untuk melakukan sesuatu yang kurang pikir.

Maka akhirnya Musashi pun nekat. Ia tak dapat menerima kalau ia harus meninggalkan tempat itu tanpa melaksanakan maksudnya. Untuk memperoleh mahkota, ia menghendaki bintang kemenangan yang cemerlang, dan untuk sejarah, ia ingin orang mengetahui bahwa Musashi pernah berkunjung ke tempat itu, sudah pergi, dan sudah meninggalkan tanda pada Keluarga Yagyu. Dengan pedangnya sendiri ia ingin membuat Sekishusai, bapak agung seni perang yang disebut "naga kuno" itu, bertekuk lutut.

Apakah mereka sudah mengenalinya sepenuhnya? Baru saja ia memikirkan hal itu, tiba-tiba jalan peristiwa membelok tak terduga-duga.

"Kalian dengar?" tanya Kimura.

Murata keluar ke beranda, kemudian ketika masuk kamar kembali, katanva, "Taro menyalak-biasanya tidak begitu salaknya. Saya pikir ada yang tak beres."

Taro anjing yang bermasalah dengan Jotaro. Tak bisa dibantah bahwa salak anjing yang sepertinya datang dari lingkaran kedua puri itu sangat mengerikan. Kedengarannya terlalu keras dan mengerikan, kalau berasal hanya dari seekor anjing saja.

Debuchi berkata, "Lebih baik saya lihat. Maafkan saya, Musashi, pesta ini terganggu. Tapi barangkali ini penting. Silakan terus tanpa saya."

Baru saja ia pergi, Murata dan Kimura minta mengundurkan diri juga dan dengan sopan minta maaf kepada Musashi.

Salak anjing itu jadi semakin mendesak. Ia rupanya berusaha memberikan peringatan tentang adanya bahaya. Kalau salah satu anjing puri berbuat demikian, hampir merupakan tanda pasti bahwa sedang terjadi sesuatu yang tak menguntungkan. Memang kedamaian yang dinikmati negeri itu belumlah mantap sehingga seorang daimyo dapat mengendurkan kewaspadaannya terhadap tanah-tanah perdikan yang berdekatan. Masih ada prajurit-prajurit rusak yang suka melongok-longok untuk memuaskan ambisinya sendiri, juga mata-mata yang bergelandangan mencari sasaran empuk dan mudah dijadikan mangsa.

Kizaemon tampak sangat terganggu. Ia terus menatap cahaya lampu kecil yang tak menyenangkan, seolah-olah sedang menghitung gema suara yang tak wajar.

Akhirnya terdengar raungan panjang dan sedih. Kizaemon berkomat-kamit dan memandang Musashi.

"Mati dia," kata Musashi.

"Ya, dia dibunuh." Tak lagi dapat menahan diri, Kizaemon pun bangkit. "Saya tak bisa mengerti."

Ia berangkat, tapi Musashi menghentikannya, katanya, "Tunggu. Apa Jotaro, anak yang datang dengan saya itu, masih di kamar tunggu?"

Mereka pun menujukan pertanyaan itu kepada samurai muda di depan Shin'indo. Sesudah mencari-cari, samurai mengatakan bahwa anak itu tak ditemukan di mana pun.

Musashi menunjukkan wajah prihatin. Sambil menoleh pada Kizaemon, ia berkata, "Saya pikir, saya tahu apa yang sudah terjadi. Boleh saya pergi bersama Anda?"

"Tentu."

Sekitar tiga ratus meter dari dojo telah berkumpul sejumlah orang, dan beberapa obor dinyalakan. Di samping Murata, Debuchi, dan Kimura, ada sejumlah prajurit biasa dan pengawal, membentuk lingkaran hitam, semuanya berbicara dan berteriak-teriak.

Dari pinggir luar lingkaran itu Musashi mengintip ke tempat terbuka di tengah. Maka hatinya pun serasa terbang. Tepat seperti yang ditakutkannya, Jotaro ada di sana, berlumuran darah dan tampak seperti anak setantangannya memegang pedang kayu, giginya mengatup erat, dan bahunya naik-turun akibat napasnya yang berat.

Di sampingnya terbaring Taro, giginya menyeringai, kakinya terjulur. Matanya yang tak melihat lagi memantulkan cahaya obor. Darah mengucur dari mulutnya.

"Ini anjing Yang Dipertuan," kata seseorang sedih.

Seorang samurai mendekati Jotaro dan pekiknya, "Bajingan kecil kamu! Apa yang kau lakukan? Kau yang membunuh anjing ini?" Orang itu mengangkat tangannya dan menampar dengan berang, tapi dapat dielakkan Jotaro.

Sambil membidangkan bahunya, Jotaro berseru menantang, "Ya, saya yang melakukan!"

"Kamu mengaku?"

"Ada sebabnya!"

"Ha!"

"Saya cuma membalas dendam."

"Apa?" Semua orang heran mendengar jawaban Jotaro. Dan semuanya marah. Taro binatang kesayangan Yang Dipertuan Munenori dari Tajima. Bukan hanya itu, ia keturunan ras dari Raiko, anjing betina milik Yang Dipertuan Yorinori dari Kishu yang sangat disayanginya. Yang Dipertuan Yorinori secara pribadi memberikan anak anjing itu kepada Munenori, dan Munenori merawatnya sendiri. Pembantaian binatang itu sudah pasti akan diperiksa dengan tuntas, dan nasib dua orang samurai yang telah dibayar untuk mengurus anjing itu sekarang dalam bahaya.

Yang berhadapan dengan Jotaro itu seorang dari kedua samurai tersebut.

"Tutup mulut!" serunya sambil melayangkan tinjunya ke kepala Jotaro. Kali ini Jotaro tidak menghindar pada waktunya. Pukulan mendarat di sekitar telinganya.

Jotaro mengangkat tangan meraba lukanya. "Apa pula ini?" jeritnya.

"Kamu sudah membunuh anjing Tuan. Jadi, kamu tidak keberatan kalau aku memukul kamu juga sampai mati, kan? Dan memang itu yang akan kulakukan."

"Saya cuma membalas apa yang sudah dia perbuat. Kenapa saya dihukum? Orang dewasa mesti tahu, itu tidak betul!"

Menurut pandangan Jotaro, ia cuma membela kehormatannya dan membahayakan hidupnya dalam melakukan hal itu, karena luka yang kelihatan adalah aib besar bagi seorang samurai. Untuk membela harga diri, tidak ada pilihan lain kecuali membunuh anjing itu. Memang, bagaimanapun ia mengharapkan dipuji atas perbuatannya yang berani itu. Ia telah bertahan dan bertekad tidak akan mundur.

"Tutup mulutmu yang kurang ajar itu!" raung perawat anjing. "Aku tak peduli, biar kamu anak kecil, kamu sudah cukup besar untuk dapat membedakan anjing dan manusia. Macam apa pula itu—membalas dendam kepada binatang yang bodoh!"

Ia mencengkeram kerah Jotaro, memandang orang banyak untuk meminta persetujuan, dan menyatakan bahwa ia wajib menghukum pembunuh anjing itu. Orang banyak mengangguk diam sebagai pernyataan setuju. Keempat orang yang belum lama sebelumnya menjamu Musashi itu tampak sedih, tapi mereka tidak mengatakan apa-apa.

"Menyalaklah, Nak! Menyalak seperti anjing!" perawat anjing itu berteriak. Lalu ia ayunkan Jotaro berputar-putar pada kerahnya dan dengan pandangan muram ia jatuhkan Jotaro ke tanah. Kemudian ia ambil tongkat kayu ek dan ia hantamkan kuat-kuat ke tubuh anak itu.

"Kamu membunuh anjing itu, penjahat kecil. Sekarang datang giliranmu! Berdiri kamu, supaya dapat aku membunuhmu! Menyalaklah! Gigit aku!"

Jotaro mengatupkan giginya erat-erat, kemudian menopang dirinya dengan sebelah tangan dan berjuang menegakkan diri sambil memegang pedang kayunya. Air mukanya tidak meninggalkan ciri peri air, dan ekspresi wajahnya pun tetap saja ekspresi kanak-kanak, tapi lolongan yang keluar dari tenggorokannya terdengar sangat liar mengerikan.

Apabila seorang dewasa marah, sering ia menyesal di kemudian hari, tapi apabila kemarahan anak-anak sudah bangkit, ibunya sendiri yang melahirkannya ke dunia pun tak dapat menenteramkannya.

"Bunuh aku!" jeritnya. "Ayo, bunuh aku!"

"Nah, matilah kamu!" pekik perawat anjing mengamuk. Ia pun memukul.

Pukulannya bisa membunuh anak itu jika mengena, tapi pukulan itu tidak mengena. Bunyi berderak tajam bergema di telinga orang-orang yang berdiri menonton, dan pedang kayu Jotaro terbang ke udara. Tanpa pikir lagi ia menangkis pukulan perawat anjing itu.

Tanpa senjata ia menutup mata dan secara membuta menyerang tubuh bagian depan musuh itu dan menguncikan gigi ke obi-nya. Dengan anggapan bahwa hidup itu berharga, ia mencakar selangkangan si perawat anjing dengan kukunya, sedangkan si perawat anjing dengan sia-sia mengayun-ayunkan tongkatnya.

Musashi tetap diam, tangannya dilipatkan dan wajahnya tidak mengungkapkan sesuatu, namun pada waktu itu muncullah tongkat kayu ek lain. Orang kedua menderap ke tengah lingkaran dan sudah hendak memverang Jotaro dari belakang. Musashi bertindak. Tangannya turun, dan dalam sekejap ia sudah menerobos dinding manusia yang kokoh itu dan meloncat ke tengah medan.

"Pengecut!" pekiknya kepada orang kedua itu.

Sebuah tongkat kayu ek dan dua kaki itu membentuk sebuah relung di udara, dan mendarat jadi onggokan sekitar empat meter jauhnya.

Musashi memekik, "Dan sekarang giliranmu, setan kecil!" Ia mencengkeram obi Jotaro dengan kedua tangan, ia angkat anak itu ke atas kepala dan ia biarkan terus di sana. Sambil menoleh kepada perawat anjing yang waktu itu kembali menggenggam tongkatnya, ia mengatakan, "Saya sudah melihat semua ini dari permulaan, dan saya pikir Anda keliru menindaknya. Anak ini pembantu saya, dan kalau Anda mau memeriksa dia, Anda mesti memeriksa saya juga."

Dengan nada berapi-api, perawat anjing menjawab, "Baik. Kami periksa kalian berdua!"

"Bagus! Kami berdua akan menghadapi Anda. Nah, ini anaknya!"

Ia melemparkan Jotaro langsung kepada orang itu. Orang banyak pun menggagap kaget dan mundur selangkah. Apa orang itu sudah gila? Siapa pernah mendengar ada orang menggunakan manusia sebagai senjata pelawan manusia lain?

Perawat anjing memandang bengong ketika Jotaro melayang di udara dan membentur dadanya. Orang itu langsung rebah ke belakang, seolah-olah penopang yang mengganjalnya tiba-tiba diambil. Sukar dikatakan, apakah kepalanya yang telah membentur batu karang, atau tulang iganya yang patah, tapi ia menghantam tanah diiringi suara lolongan, dan langsung muntah darah. Jotaro melentingkan diri dari dada orang itu, berjungkir balik di udara, dan berguling seperti bola ke tempat yang jauhnya dua puluh atau tiga puluh kaki dari situ.

"Kalian lihat?" pekik satu orang.

"Siapa pula ronin gila ini?"

Perkelahian kini tidak lagi hanya melibatkan perawat anjing, samurai-samurai lain mulai memaki-maki Musashi. Kebanyakan mereka sudah tidak sadar bahwa Musashi tamu yang diundang, dan beberapa orang menyarankan untuk membunuhnya seketika itu juga dan di tempat itu juga.

"Nah," kata Musashi, "dengarkan, hai, kalian semua!"

Mereka menatapnya dengan saksama ketika ia mengambil pedang kayu Jotaro dan menghadapi mereka dengan wajah memberengut menakutkan.

"Kejahatan anak ini adalah kejahatan tuannya. Dan kami berdua siap membayarnya. Tapi pertama-tama, izinkan saya mengatakan ini: kami tidak bermaksud membiarkan diri kami dibunuh seperti anjing. Kami siap menghadapi kalian."

Jadi, ia bukannya mengakui kejahatannya dan menerima hukuman, melainkan menantang mereka! Kalau pada waktu itu Musashi minta maaf untuk Jotaro dan bicara membelanya, kalau sekiranya ia mau sedikit saja berusaha meredakan perasaan para samurai Yagyu yang sedang kacau itu, maka seluruh kejadian itu akan berlalu dengan damai. Tetapi sikap Musashi mencegah terjadinya hal itu. Ia rupanya sudah bertekad menciptakan gangguan yang lebih besar lagi.

Shoda, Kimura, Debuchi, dan Murata semuanya mengerutkan kening, tak habis-habis heran mereka. Orang sinting macam apakah yang telah mereka undang datang ke puri itu? Mereka menyesal bahwa Musashi tidak berakal sehat, dan berangsur-angsur mereka pun mengitari orang banyak itu, dengan mata menatap tajam kepada Musashi.

Orang banyak itu sudah menggelegak darahnya, kini ditambah lagi dengan tantangan Musashi.

"Dengarkan dia itu! Dia orang di luar hukum!"

"Dia mata-mata! Ikat dia!"

"Tidak, potong saja dia!"

"Jangan biarkan dia lari!"

Untuk sesaat lamanya tampak seolah Musashi dan Jotaro yang sudah kembali ke sisinya itu akan ditelan oleh lautan pedang, tetapi saat itu juga terdengar teriakan berwibawa. "Tunggu!"

Itulah suara Kizaemon, yang bersama Debuchi dan Murata berusaha mengendalikan orang banyak itu.

"Orang itu rupanya sudah merencanakan semua ini," kata Kizaemon. "Kalau kalian membiarkan dia menyesatkan kalian, dan kalian terluka atau terbunuh, kita terpaksa mempertanggungjawabkannya kepada Yang Dipertuan. Anjing itu memang penting, tapi tidak sepenting hidup manusia. Kami berempat akan mengambil alih tanggung jawab ini. Yakinlah bahwa tak ada hal buruk akan menimpa kalian, kalau nanti kami mengambil tindakan. Sekarang tenanglah, dan pulanglah."

Dengan enggan orang-orang itu bubar, meninggalkan keempat orang yang telah menjamu Musashi di Shin'indo itu. Sekarang persoalannya bukanlah tamu dengan tuan rumah, tetapi persoalan orang di luar hukum dengan para hakimnya.

"Musashi," kata Kizaemon, "maaf terpaksa saya sampaikan kepada Anda bahwa rencana Anda telah gagal. Saya kira ada orang yang menugaskan Anda memata-matai Puri Koyagyu ini atau sekadar menimbulkan kerusuhan, tapi saya kira rencana itu tidak berhasil."

Sementara mereka berempat mengepung Musashi, Musashi sadar bahwa tak ada di antara mereka yang bukan ahli pedang. Ia berdiri diam sambil menopangkan tangan ke bahu Jotaro. Dalam keadaan terkepung demikian, tidak akan dapat ia meloloskan diri, biarpun misalnya ia memiliki sayap.

"Musashi!" panggil Debuchi sambil mencabut sedikit pedangnya dari sarungnya. "Anda gagal. Yang pantas untuk Anda adalah bunuh diri. Anda mungkin seorang bajingan, tapi Anda sudah memperlihatkan keberanian luar biasa dengan datang di puri ini hanya berteman anak itu. Kita sudah berpesta bersama dalam suasana bersahabat, sekarang kami akan menanti, sementara Anda menyiapkan diri melakukan harakiri. Kalau Anda siap, Anda dapat membuktikan bahwa Anda seorang samurai sejati!"

Itu merupakan pemecahan ideal kiranya. Mereka tidak berkonsultasi dengan Sekishusai, dan jika Musashi mati sekarang, seluruh kejadian akan dikubur bersama badan Musashi.

Tetapi Musashi punya pikiran lain. "Anda mengira saya akan membunuh diri sendiri? Oh, itu keterlaluan! Saya tidak bermaksud untuk mati, tidak untuk waktu lama." Dan bahunya pun berguncang karena tertawa.

"Baiklah," kata Debuchi. Nadanya tenang, tetapi maknanya jelas seperti kristal. "Kami sudah mencoba memperlakukan Anda dengan pantas, tapi Anda justru mengambil keuntungan dari kami."

Kimura menyela, katanya, "Tak ada gunanya bicara lagi!"

Ia pergi ke belakang Musashi dan mendorongnya. "Jalan!" perintahnya.

"Jalan ke mana?"

"Ke sel!"

Musashi mengangguk dan mulai berjalan, tetapi ke arah yang dipilihnya sendiri, langsung menuju menara utama.

"Ke mana jalanmu ini?" teriak Kimura sambil melompat ke depan Musashi clan merentangkan tangan untuk menghalanginya.

"Ini bukan jalan ke sel. Sel ada di belakangmu. Balik!"

"Tidak!" teriak Musashi. Ia menunduk memandang Jotaro yang masih bergayut di sisinya. Disuruhnya Jotaro pergi duduk di bawah pohon pinus di halaman, di depan menara utama. Tanah di sekitar pohon-pohon pinus itu ditimbuni pasir putih yang digaruk baik-baik.

Jotaro melejit dari bawah lengan kimono Musashi dan bersembunyi di balik pohon. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah yang hendak diperbuat Musashi. Kenangan tentang keberanian gurunya di Dataran Hannya datang kembali padanya, dan tubuhnya membengkak karena gembira.

Kizaemon dan Debuchi mengambil posisi di kedua sisi Musashi clan mencoba menariknya ke belakang dengan menarik lengannya, tapi Musashi tak beranjak.

"Ayo!"

"Aku tak akan pergi!"

"Kau mau melawan?"

"Betul!"

Kimura kehilangan kesabaran dan mulai menarik pedangnya, tetapi temannya yang lebih senior, Kizaemon dan Debuchi, memerintahkannya untuk menahan diri.

"Apa pula ini? Mau ke mana kamu?"

"Mau bertemu Yagyu Sekishusai."

"Apa?"

Tidak terlintas dalam pikiran mereka bahwa pemuda tak waras itu punya maksud yang demikian tak masuk akal.

"Dan apa yang akan kaulakukan, kalau sudah bertemu dengan beliau?" tanya Kizaemon.

"Aku seorang pemuda, dan aku sedang belajar seni perang. Salah satu tujuanku dalam hidup ini adalah menerima pelajaran dari guru Gaya Yagyu."

"Kalau itu yang kauinginkan, kenapa kau tidak minta?"

"Bukankah Sekishusai tak pernah bertemu dengan siapa pun, dan tak pernah memberikan pelajaran kepada murid prajurit?"

"Betul."

"Kalau begitu, apa lagi yang bisa kuperbuat selain menantangnya? Memang aku sadar bahwa kalaupun aku menantangnya, barangkali dia menolak meninggalkan istirahatnya. Karena itu, sebagai gantinya aku menantang seluruh puri ini untuk bertempur."

"Bertempur?" kata keempat orang itu bersama-sama.

Dengan lengan masih dipegang oleh Kizaemon dan Debuchi, Musashi menengadah ke langit. Terdengar bunyi mengepak ketika seekor rajawali terbang ke arah mereka dari balik awan hitam yang menyelimuti Gunung Kasagi. Seperti kain kafan raksasa, bayangan burung itu menutupi bintangbintang dari pandangan mata, sebelum ia meluncur dengan ributnya dan turun ke atap gudang beras.

Bagi keempat pegawai itu, kata "bertempur" terdengar begitu melodramatis hingga patut ditertawakan, tetapi bagi Musashi kata itu cukup memadai untuk mengungkapkan pengertiannya mengenai apa yang bakal terjadi. Yang dibicarakannya bukan hanya pertandingan pedang yang harus diselesaikan dengan keterampilan teknik semata-mata. Yang dimaksudkan olehnya adalah perang total, di mana kedua pihak yang berperang memusatkan segenap jiwa dan kecakapannya dan nasib mereka ditentukan. Pertempuran antara dua tentara bisa saja lain bentuknya, tapi hakikatnya sama saja. Pertempuran sekarang ini sederhana saja. Satu orang lawan satu puri. Tekad Musashi dalam hal ini kelihatan dengan jelas dari teguhnya tumitnya menghunjam ke bumi. Tekad baja inilah yang membuat kata "bertempur" itu wajar diucapkan bibirnya.

Keempat orang itu merenungi wajah Musashi dan sekali lagi bertanyatanya, apakah Musashi masih memiliki akal sehat, biarpun sedikit.

Akhirnya Kimura menerima tantangan itu. Sambil menendang sandal jeraminya ke udara dan menyingsingkan hakama-nya ia berkata, "Bagus! Tak ada yang lebih kusukai daripada pertempuran! Tak dapat aku menyuguhkan dentam genderang atau dengung gong, tapi aku dapat menyuguhkan perkelahian. Shoda, Debuchi, dorong dia kemari." Kimura-lah yang pertama kali tadi menyarankan agar mereka menghukum Musashi, tapi kemudian ia mengendalikan diri dan berusaha bersabar. Sekarang ia sudah kehilangan kesabaran.

"Ayo dorong!" desaknya. "Biar aku yang membereskannya!"

Saat itu juga Kizaemon dan Debuchi menolakkan Musashi ke depan. Musashi terhuyung empat atau lima langkah ke arah Kimura. Kimura undur selangkah, mengangkat siku ke depan wajahnya, dan sambil menarik napas cepat ia menebaskan pedang ke arah sosok Musashi yang sedang terhuyung-huyung. Terdengar bunyi serupa bunyi pasir yang aneh ketika pedang itu mendesah di udara.

Saar itu juga terdengar pekikan, bukan dart Musashi, melainkan dari Jotaro yang waktu itu meloncat keluar dari tempatnya di belakang pohon pinus. Segengggam pasir yang dilemparkannya itulah sumber dari bunyi aneh itu.

Karena sadar bahwa Kimura menaksir jarak untuk dapat menebas dengan efektif, maka Musashi dengan sengaja menambah kecepatan langkahnya yang terhuyung itu, dan pada saat jatuhnya tebasan itu ia menjadi jauh lebih dekat kepada Kimura daripada yang diduga oleh Kimura. Pedang tidak menyentuh apa pun kecuali udara dan pasir.

Kedua pihak dengan cepat melompat mundur, dipisahkan oleh jarak tiga atau empat langkah. Di sana mereka berdiri, saling tatap penuh ancaman, dalam kediaman penuh ketegangan.

"Oh, ini pantas untuk ditonton," kata Kizaemon pelan.

Debuchi dan Murata tidak berada dalam wilayah pertempuran, tapi keduanya mengambil posisi baru dan menyiapkan langkah bertahan. Dan apa yang mereka lihat sampai sedemikian jauh, nyatalah bahwa Musashi seorang pejuang terampil. Caranya mengelak dan menyusun kembali posisi sudah meyakinkan mereka bahwa ia lawan setanding Kimura.

Pedang Kimura ditempatkan sedikit lebih rendah dari dadanya. Ia berdiri tak bergerak. Musashi sama diamnya, tangannya memegang gagang pedang, bahu kanan maju ke depan dan sikunya di atas. Matanya seperti dua batu putih yang digosok di tengah wajah yang kabur.

Untuk sesaat yang terjadi adalah pertempuran saraf. Tapi sebelum salah satu pihak bergerak, kegelapan sekitar Kimura seperti goyah, berubah, namun sukar dilukiskan. Segera kemudian jelaslah bahwa ia bernapas lebih cepat dan lebih gelisah daripada Musashi.

Bunyi gerutu pelan yang hampir tak terdengar dikeluarkan oleh Debuchi. Ia tahu sekarang bahwa apa yang dimulai sebagai sesuatu yang agak tak berarti itu akan berubah menjadi bencana besar. Ia yakin Kizaemon dan Murata pun mengerti hat ini. Tidak mudah mengakhiri semua itu.

Hasil pertarungan antara Musashi clan Kimura kini boleh dikatakan telah ditentukan, kecuali kalau langkah-langkah istimewa diambil. Walau enggan melakukan sesuatu yang dapat dinilai sebagai sikap pengecut, tapi mereka terpaksa bertindak untuk mencegah terjadinya bencana. Pemecahan terbaik adalah melepaskan diri mereka dari si penyerbu yang aneh dan tak punya keseimbangan ini secepat mungkin dan mencegah agar diri mereka tidak mendapat luka secara sia-sia. Di sini tidak diperlukan tukar kata. Mereka dapat saling berhubungan dengan baik sekali lewat mata.

Secara serentak mereka bertiga mengepung Musashi. Pada detik yang sama, pedang Musashi mengoyak udara seperti desing tali busur, dan pekik mengguntur memenuhi ruangan kosong. Pekik pertempuran itu tidak hanya keluar dari mulutnya, tapi dari seluruh tubuhnya, sedangkan dentang-dentang lonceng kuil yang tiba-tiba terdengar menggemakannya ke segala penjuru. Dari arah keempat lawannya yang tersusun di kedua sisinya, di depan dan di belakangnya, terdengar bunyi mereguk dan mendesis.

Musashi merasa benar-benar hidup. Darahnya terasa seperti mau meletus dari setiap pori-porinya, tapi kepalanya sendiri sedingin es. Inikah bunga seroja yang menyala, seperti dikatakan oleh orang-orang Budha? Yaitu panas yang teramat sangat bergabung dengan dingin yang teramat sangat, sintesa nyala api dan air?

Tak ada lagi pasir dihamburkan ke udara. Jotaro sudah menghilang. Angin bersiul turun dari puncak Gunung Kasagi; pedang-pedang yang digenggam erat berkilau bercahaya.

Satu lawan empat. Namun Musashi merasa tidak berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Ia sadar terjadinya pembengkakan pada urat-urat nadinya. Pada saat-saat seperti itu, kata orang pikiran tentang mati akan mendesakkan diri ke dalam otak, tapi pada Musashi tak ada sedikit pun pikiran tentang maut. Namun bersamaan dengan itu ia pun tidak merasa yakin akan mampu menang.

Angin terasa seperti bertiup melintasi kepalanya, menyejukkan otaknya, membikin terang pandangannya, sekalipun tubuhnya jadi bertambah pekat dan titik-titik keringat berminyak berkilau-kilau di dahinya.

Terdengar gemeresik pelan. Seperti sungut kumbang, pedang Musashi menyampaikan kepadanya bahwa orang yang di sebelah kin telah menggerakkan sebelah kakinya seinci dua inci. Ia pun melakukan penyesuaian dalam meletakkan senjatanya, dan sang musuh yang juga tanggap itu pun tidak membuat gerakan lebih lanjut untuk menyerang. Kelima orang itu membentuk tablo yang seakan-akan statis.

Musashi sadar bahwa makin lama hal ini berlangsung, makin kurang menguntungkan keadaan baginya. Ingin ia sebenarnyar agar lawan-lawannya bukan mengepungnya, tetapi menyebar dalam garis lurus-agar dapat dihadapinya satu per satu-tetapi ia tidak berhadapan dengan orang-orang amatir sekarang ini. Kenyataannya, sebelum salah seorang dari mereka mengubah kedudukan atas kehendak sendiri, tak dapat ia membuat gerakan. Satu-satunya yang dapat ia lakukan adalah menanti, dan berharap bahwa pada akhirnya salah seorang dari mereka akan mengambil langkah sementara yang keliru dan memberikan peluang kepadanya.

Lawan-lawan Musashi sebetulnya sedikit saja merasa enak memiliki keunggulan jumlah itu. Mereka tahu bahwa apabila seorang dari mereka memperlihatkan tanda sekecil apa pun bahwa mereka mengendurkan sikap, Musashi akan menyerang. Mereka mengerti bahwa Musashi bukanlah jenis orang yang biasa dijumpai di dunia ini.

Kizaemon pun tidak dapat membuat gerakan. "Aneh sekali orang ini!" pikirnya.

Pedang, manusia, tanah, dan langit-semuanya seperti sudah membeku jadi padat. Tetapi justru pada waktu itu ke tengah kediaman tersebut mengalun bunyi yang sama sekali tak diduga-duga, yaitu bunyi alunan suling yang ditiup angin.

Begitu nadanya menyerobot ke dalam telinga Musashi, ia lupa akan dirinya, lupa akan musuh, lupa akan hidup dan man. Jauh di dasar hatinya ia mengenali bunyi ini. Bunyi inilah yang telah memikatnya keluar dari persembunyian di Gunung Takateru dulu-bunyi yang telah menjatuhkannya ke tangan Takuan. Itulah suling Otsu, dan Otsu-lah yang memainkannya.

Batinnya menjadi lumpuh. Dari luar, perubahan itu hampir tidak dapat dilihat, tapi itu sudah cukup. Dengan memperdengarkan teriakan perang yang keluar dari pinggangnya, Kimura menerjang ke depan, lengan pedangnya seakan-akan menjelma enam atau tujuh kaki panjangnya.

Otot-otot Musashi menegang, dan darah seakan-akan menderas di dalam dirinya, menjurus kepada perdarahan. Ia yakin telah terluka. Lengan kimono kirinya tersobek dari bahu sampai pergelangan tangan, dan lengannya yang tiba-tiba kelihatan itu membuatnya menyangka bahwa ia terluka.

Untuk sesaat ia kehilangan penguasaan diri, dan ia pun menjerit menyerukan nama dewa perang. Ia melompat, tiba-tiba berpaling, dan melihat Kimura sudah menghuyung ke tempat tadi ia berdiri.

"Musashi!" seru Debuchi Magobei.

"Kau ini lebih pintar bicara daripada berkelahi!" ejek Murata ketika ia dan Kizaemon berusaha menghadang Musashi.

Tetapi Musashi waktu itu juga menendang tanah sekuat-kuatnya dan melompat demikian tinggi, hingga mengenai cabang-cabang bawah pepohonan pinus. Kemudian ia melompat berulang-ulang lagi, lenyap ke dalam gelap, dan tidak menoleh-noleh lagi.

"Pengecut!"

"Musashi!"

"Ayo berkelahi seperti lelaki!"   

Ketika Musashi sampai di tepi parit sekitar kuil dalam, terdengar gemeretak rerantingan, tapi sudah itu diam. Satu-satunya bunyi yang terdengar hanyalah alunan suara suling yang manis di kejauhan.

 

Burung-Burung Bulbul


TIDAK mungkinlah untuk mengetahui berapa lama air hujan yang ada di dasar parit yang dalamnya tiga puluh kaki itu dapat menggenang. Musashi menyuruk ke dalam pagar di dekat puncak parit clan meluncur cepat setengah jalan turun, lalu berhenti dan melemparkan sebuah batu. Karena tidak mendengar kecipak air, ia meloncat ke dasar pant, dan di situ ia berbaring telentang di rumput, tanpa membuat bunyi apa pun.

Sebentar kemudian tulang-tulang iganya sudah berhenti naik-turun clan detak nadinya kembali normal. Ketika keringat sudah menyejuk, ia mulai bernapas teratur kembali.

"Tak mungkin Otsu ada di Koyagyu ini!" katanya pada diri sendiri. "Telingaku tentunya salah.... Meskipun begitu, bukan tak mungkin juga dia di sini. Mungkin juga dia."

Sambil berdebat dengan dirinya, ia membayangkan mata Otsu di tengah bintang-bintang di atasnya, dan segera kemudian ia terbawa hanyut oleh kenangan: Otsu di celah perbatasan Mimasaka-Harima, mengatakan tidak dapat hidup tanpa dirinya dan tak ada lelaki lain baginya di dunia ini. Kemudian di Jembatan Hanada di Himeji, gadis itu mengatakan kepadanya telah menantinya hampir seribu hari, dan akan menanti sepuluh atau dua puluh tahun lagi-sampai ia tua dan putih rambutnya. Lalu minta dibawa serta, dan menyatakan bahwa ia dapat menahan kesukaran apa pun.

Perbuatan Musashi lari dari Himeji itu merupakan pengkhianatan. Oh, tentunya sesudah peristiwa itu gadis itu sangat membencinya! Oh, tentunya ia menggigit bibir dan mengutuk sifat lelaki yang tak dapat diduga-duga itu.

"Maafkan aku!" Kata-kata yang diukirnya di pagar jembatan itu kini keluar dari bibirnya. Air mata meleleh dari sudut-sudut matanya.

Terkejut ia mendengar teriakan dari puncak parit. Kedengarannya seperti, "Tak ada dia di sini." Tiga atau empat obor kayu pinus menyala di antara pepohonan, kemudian menghilang. Mereka tidak mengetahui tempatnya.

Ia jadi kecewa melihat dirinya menangis. "Apa yang kubutuhkan dari seorang perempuan?" katanya mengolok-olok dirinya, sambil menghapus mata dengan tangannya. Ia bangkit berdiri dan menengadah memandang sosok hitam Puri Koyagyu.

"Mereka sebut aku pengecut, dan katanya aku tak dapat berkelahi seperti lelaki! Tapi aku belum lagi menyerah, sama sekali belum menyerah! Aku tidak melarikan diri. Aku cuma melakukan gerak mundur taktis."

Hampir satu jam berlalu. Ia mulai berjalan pelan-pelan sepanjang dasar parit itu. "Bagaimanapun, tak ada gunanya bertempur dengan keempat orang itu. Bukan itu sasaranku. Kalau aku bertemu dengan Sekishusai sendiri, di situlah pertempuran dimulai."

Ia berhenti dan mulai mengumpulkan ranting-ranting jatuhan yang kemudian ia patah-patahkan menjadi bilah-bilah pendek dengan lututnya. Satu demi satu bilah-bilah itu ia masukkan ke celah-celah dinding batu dan ia gunakan sebagai tempat menapak, lalu memanjat ke luar parit.

Tak ia dengar lagi bunyi suling. Sesaat ia mendapat perasaan samar-samar bahwa Jotaro memanggilnya, tapi ketika ia berhenti dan mendengarkan lebih saksama, ternyata tidak ada sesuatu pun yang terdengar. Sebetulnya ia tidak begitu gundah memikirkan anak itu. Anak itu dapat menjaga dirinya. Barangkali ia kini sudah bermil-mil jauhnya. Tidak adanya obor lagi menunjukkan bahwa pencarian sudah dihentikan, setidaknya untuk malam itu.

Keinginan untuk menemukan dan mengalahkan Sekishusai sekali lagi menjadi nafsu yang mengendalikan semuanya, menjadi hantu utama yang terbentuk akibat hasratnya yang mahahebat untuk mendapat pengakuan dan kehormatan.

Ia sudah mendengar dari pemilik penginapan itu bahwa Sekishusai mundur bukan ke salah satu lingkaran puri, melainkan ke satu tempat terpencil di wilayah luar. Musashi berjalan terus menembus hutan dan lembah. Kadang-kadang ia merasa sudah tersesat di luar wilayah puri, tapi kemudian potongan pant, dinding batu, atau lumbung padi meyakinkannya kembali bahwa ia masih ada di dalam.

Sepanjang malam ia mencari, dipaksa oleh dorongan setani. ia bermaksud, kalau nanti menemukan rumah pegunungan itu, akan menerobos masuk sambil mengucapkan tantangannya. Tapi ketika jam demi jam berlalu, mau rasanya ia melihat hantu dalam bentuk Sekishusai.

Hari sudah mendekati fajar ketika ia berada di gerbang belakang puri. Di sebelah sana menjulang tebing, dan di atas tebing itu Gunung Kasagi. Ketika ia sudah hampir menjerit karena frustrasi, ia kembali mengayun langkah ke arah selatan. Akhirnya, di kaki lereng yang menjurus ke bagian tenggara purl, pepohonan yang bagus bentuknya dan rumput yang terawat balk pun menyatakan kepadanya bahwa ia telah menemukan tempat memencilkan diri itu. Terkaannya segera dibenarkan oleh sebuah gerbang beratap lalang dengan gaya yang disukai ahli upacara minum teh besar Sen no Rikyu. Di dalam sana ia melihat rumpun bambu yang terselimut kabut pagi.

Ketika mengintip lewat celah di pintu gerbang, ia melihat jalan itu berkelok-kelok melintasi rumpun pohon, mendaki bukit, seperti yang terdapat di tempat-tempat penganut Budha Zen menyendiri di pegunungan. Sesaat ia tergiur untuk melompati pagar, tetapi ia masih menahan diri. Ada sesuatu pada lingkungan itu yang menghambatnya berbuat demikian. Apakah karena perawatan penuh cinta yang telah diberikan pada daerah itu, ataukah karena ia melihat daun-daun bunga putih di tanah? Apa pun alasannya, kepekaan penghuni tempat itu menembusnya hingga gejolak perasaan Musashi mereda. Tetapi tiba-tiba terpikir olehnya penampilannya sendiri. Tentunya ia tampak seperti orang gelandangan sekarang, dengan rambut awut-awutan dan kimono berantakan.

"Tak perlu buru-buru," katanya pada diri sendiri, karena ia sekarang sadar bahwa tenaganya sudah habis. Ia mesti menguasai diri terlebih dahulu, sebelum menampilkan diri kepada tuan di dalam itu.

"Lambat atau cepat," pikirnya, "pasti seseorang datang ke gerbang ini. Dan itulah waktunya. Kalau dia masih menolak menemuiku sebagai murid pengembara, akan kupergunakan pendekatan lain." Ia duduk di bawah tepi atap gerbang, bersandar ke tiang, dan jatuh tertidur.

Bintang-bintang sedang memudar dan bunga-bunga aster putih berayunayun, ketika sebutir embun besar jatuh dengan dinginnya ke lehernya dan membangunkannya. Cahaya siang datang, dan ketika ia menggerakkan badan dari tidurnya, kepalanya dibasuh oleh angin pagi dan nyanyian burung bulbul. Tak ada lagi kelelahan yang tersisa ia merasa lahir kembali.

Ketika ia menggosok-gosok matanya dan menengadah, tampak olehnya matahari merah cemerlang naik di atas pegunungan. Ia bangkit. Panas matahari telah menghidupkan kembali semangatnya, dan tenaga yang tertimbun di dalam anggota badannya menghendaki kegiatan. Sambil meregangkan badan, ia berkata lirih, "Hari inilah harinya."

Ia lapar, dan entah kenapa ia teringat pada Jotaro. Barangkali ia telah memperlakukan anak itu terlalu kasar malam sebelumnya, tapi itu gerakan yang sudah diperhitungkannya, dan bagian dari latihan anak itu. Sekali lagi Musashi merasa yakin bahwa di mana pun Jotaro waktu itu, ia tidak berada dalam bahaya.

Ia mendengarkan suara sungai kecil yang mengalir menuruni sisi gunung, mengambil jalan memutar dalam pagar, mengitari rumpun bambu, dan kemudian muncul dari bawah pagar dalam perjalanan menuju wilayah puri bawah. Musashi membasuh wajah dan minum sekenyang-kenyangnya untuk ganti makan pagi. Air itu bagus, ya, bagus sekali, hingga Musashi membayangkan bahwa mungkin itulah alasan utama Sekishusai memilih tempat ini untuk mengundurkan diri dari dunia. Namun karena ia tak tahu apa-apa tentang seni upacara minum teh, tak terbayang olehnya bahwa air semurni itulah yang menjadi cita-cita setiap ahli upacara minum teh.

Ia basuh handuk tangannya di dalam sungai, dan sesudah menggosok tengkuk seluruhnya, ia membersihkan kotoran kukunya. Kemudian ia rapikan rambut dengan belati yang melekat pada pedangnya. Karena Sekishusai tidak hanya pemilik Gaya Yagyu, tetapi juga salah satu orang besar di negeri itu, Musashi bermaksud menampilkan diri sebaik-baiknya. Ia sendiri tidak lebih dari seorang prajurit tak bernama. Ia berbeda dari Sekishusai, seperti berbedanya bintang yang terkecil dengan bulan.

Ia menepuk-nepuk rambutnya dan meluruskan kerahnya, dan ia merasa mantap dalam hati. Pikirannya terang; ia bertekad mengetuk pintu gerbang itu sebagai tamu yang sah.

Rumah itu cukup jauh letaknya di atas bukit. Karena itu kemungkinan ketukan biasa tidak akan terdengar. Maka dicarinya alat pengetuk, kalau ada, dan terlihatlah olehnya sepasang tanda peringatan di kedua sisi gerbang. Keduanya ditulis dengan indah, dan tulisan yang berupa ukiran itu diisi dengan tanah liat kebiruan yang tampaknya seperti lapisan perunggu. Di sebelah kanan tertulis:

 Janganlah curiga, hai para penulis,

Akan dia yang menyukai purinya tertutup.

 Dan di sebelah kiri:

 Takkan kautemukan pemain pedang di sini, Hanya burung-burung bulbul muda di ladang.

 Sajak itu ditujukan kepada para "penulis", maksudnya para pejabat puri, namun maknanya lebih dalam dari itu. Orang tua itu menutup gerbangnya tidak hanya bagi para murid yang mengembara, tetapi juga bagi semua peristiwa dunia ini, bagi segala kemuliaan ataupun kesengsaraannya. Ia sudah meninggalkan sama sekali hasrat dunia, baik itu hasratnya sendiri maupun hasrat orang lain.

"Aku masih muda," pikir Musashi. "Terlalu muda! Orang ini ada di luar jangkauanku sama sekali."

Keinginan untuk mengetuk gerbang pun menguap. Ya, pikiran untuk menyerobot masuk mendatangi pertapa kuno itu kini terasa liar, dan ia merasa sangat malu terhadap diri sendiri.

Hanya bunga dan burung, angin dan bulan, yang akan memasuki gerbang ini. Sekishusai bukan lagi pemain pedang terbesar di negeri ini, bukan lagi penguasa tanah perdikan, tetapi orang yang telah kembali kepada alam, yang menolak kesia-siaan hidup manusia. Mengganggu rumah tangganya akan merupakan pelanggaran besar. Dan kehormatan apakah, dan jasa apakah, yang mungkin diperoleh dari mengalahkan orang yang sudah tidak menghargai kehormatan dan jasa?

"Bagus juga aku membaca ini," kata Musashi pada diri sendiri. "Kalau tidak, aku akan menjadikan diriku orang yang setolol-tololnya!"

Bersama dengan semakin tingginya matahari di langit, nyanyian burung bulbul mereda. Dari kejauhan di atas bukit terdengar bunyi langkah-langkah cepat. Agaknya karena takut mendengar bunyi ribut itu, sekelompok burung kecil mengangkasa. Musashi mengintip lewat gerbang, siapakah yang datang itu.

Ternyata Otsu.

Jadi, suling gadis itulah yang telah didengarnya! Haruskah ia menanti dan kemudian menjumpainya? Atau pergi saja? "Aku ingin bicara dengannya," pikirnya. "Aku harus!"

Keragu-raguan mencengkamnya. Jantungnya berdebar-debar dan keyakinan dirinya terbang.

Otsu berlari turun, hingga jaraknya tinggal beberapa meter saja dari tempatnya berdiri. Kemudian Otsu berhenti dan membalik, serta memperdengarkan teriakan terkejut.

"Kukira tadi dia ada di belakangku," gumamnya sambil menoleh ke sekitar. Kemudian ia berlari kembali ke atas bukit, dan serunya, "Jotaro! Di mana kamu?"

Mendengar suaranya, Musashi menjadi merah mukanya karena malu, dan mulailah ia berkeringat. Ia merasa muak karena telah kehilangan keyakinan. Tak dapat ia bergerak dari tempat sembunyinya di dalam bayangan pepohonan itu.

Beberapa waktu kemudian Otsu memanggil kembali, dan kali ini terdengar balasannya. "Saya di sini! Di mana Kakak?" seru Jotaro dari bagian atas rumpun.

"Di sini!" jawab Otsu. "Aku kan sudah bilang tadi, jangan pergi ke manamana."

Jotaro datang berlari-lari mendekati Otsu. "Oh, jadi Kakak di sini, ya?" serunya.

"Kan sudah kubilang kau ikut aku."

"Saya juga sudah ikut, tapi kemudian saya lihat ayam pegar, jadi saya mengejarnya."

"Mana bisa begitu, mengejar ayam pegar! Apa kamu lupa, mesti mencari orang penting pagi ini?"

"Ah, tapi saya tidak kuatir dengan dia. Dia bukan orang yang gampang terluka."

"Kedengarannya lain dengan kejadian tadi malam itu: kamu datang lari-lari ke kamarku dan langsung mau nangis saja."

"Ah, tidak betul, saya bukan mau menangis. Cuma semuanya itu begitu cepat, sampai tak tahu saya, apa yang mesti saya lakukan."

"Aku juga begitu, terutama sesudah kamu menyebut nama gurumu itu."

"Tapi bagaimana Kakak bisa kenal dengan Musashi?"

"Kami datang dari desa yang sama."

"Cuma itu?"

"Tentu saja cuma itu."

"Lucu. Saya tak mengerti, kenapa pula Kakak mesti menangis hanya karena ada orang sedesa datang ke sini."

"Tapi apa aku menangis lama?"

"Bagaimana bisa Kakak ingat semua yang saya lakukan, kalau Kakak tak bisa ingat apa yang Kakak lakukan sendiri? Tapi biar bagaimana, saya kira, saya cukup gentar juga. Kalau soalnya cuma empat orang biasa lawan guru saya, saya tak akan kuatir. Tapi kabarnya mereka semua itu jagoan. Ketika mendengar suling itu, saya pun ingat Kakak ada di puri ini, karena itu saya pikir kalau saya dapat minta maaf kepada Yang Dipertuan..."

"Kalau kamu memang mendengarku main suling, Musashi tentunya mendengar juga. Bahkan dia mungkin tahu yang main itu aku." Suara Otsu menjadi lunak. "Aku sedang memikirkan dia ketika aku main itu."

"Saya tak melihat apa pentingnya itu. Cuma, dari bunyi suling itu saya dapat mengira-ngira di mana Kakak berada."

"Tapi sungguh pertunjukan besar yang kamu lakukan-menyerbu rumah orang dan menjerit-jerit tentang 'pertempuran' yang sedang terjadi. Yang Dipertuan jadi terkejut juga."

"Tapi dia orang baik. Ketika saya katakan padanya saya sudah membunuh Taro, dia tidak mengamuk seperti yang lain-lain."

Tiba-tiba, karena sadar sedang membuang-buang waktu, Otsu bergegas pergi ke gerbang. "Kita bisa bicara lagi nanti," katanya. "Sekarang ada yang lebih penting dilakukan. Kita mesti mencari Musashi. Sekishusai malahan sudah melanggar peraturannya sendiri. Katanya dia mau menemui orang yang sudah melakukan apa yang kamu katakan itu."

Otsu tampak benar-benar riang, seperti bunga. Dalam matahari terang awal musim panas itu pipinya bersinar seperti buah masak. Ia mencium daun-daun muda, dan ia merasa kesegaran dedaunan itu mengisi paruparunya.

Musashi yang sedang bersembunyi di antara pepohonan memperhatikannya baik-baik clan mengagumi kesehatan tubuhnya. Otsu yang ia lihat sekarang ini lain sekali dengan gadis yang duduk patah hati di beranda Kuil Shippoji dan memandang dunia luar dengan mata kosong. Perbedaannya adalah karena waktu itu Otsu tak punya orang yang dicintai. Atau setidak-tidaknya, cinta yang dirasakannya waktu itu hanyalah samar-samar dan sukar dipegang. Waktu itu ia masih anak-anak yang sentimental, yang sadar benar akan keyatimannya dan merasa agak benci dengan kenyataan itu.

Sesudah mengenal Musashi dan mengaguminya, lahirlah cinta yang kini menetap di dalam dirinya dan memberikan arti pada hidupnya. Sepanjang tahun yang dihabiskannya untuk mengembara mencari Musashi, tubuh dai pikirannya membentuk keberanian untuk menghadapi apa pun.

Musashi cepat menangkap daya hidup Otsu yang baru dan membuatnya bertambah cantik itu, dan ingin ia membawa gadis itu ke suatu tempat, di mana mereka dapat berduaan saja, dan menceritakan semua kepadanya Betapa ia merindukan Otsu secara fisik. Ia ingin mengungkapkan bahwa jauh di dalam hatinya yang terbuat dari baja itu terdapat kelemahan. Ia ingin menarik kembali kata-kata yang diukirkannya di Jembatan Hanada itu. Kalau tidak ada orang yang tahu, ia dapat menunjukkan kepada Otst bahwa ia pun dapat bersikap mesra. Ia akan menyatakan kepada Otsu. Ia dapat mendekapnya, membelaikan pipinya ke pipi Otsu, mencurahkan air mata yang ingin ia tangiskan. Sekarang ia cukup kuat untuk mengaku bahwa semua perasaannya itu nyata.

Hal-hal yang dikatakan Otsu kepadanya di masa lampau kini kembal mengiang di telinganya, dan ia melihat betapa kejam dan buruknya ia menolak cinta yang sederhana dan terus terang seperti yang diungkapkan Otsu.

Ia memang merasa sengsara, namun ada sesuatu di dalam dirinya yang tidak dapat menyerah kepada segala perasaan itu, sesuatu yang menyatakan kepadanya bahwa itu salah. Dirinya terpecah menjadi dua: pertama, yang berseru kepada Otsu, dan kedua yang mengatakan kepadanya bahwa ia orang tolol. Ia tak bisa mengatakan, manakah dirinya yang sebenarnya Seraya memperhatikan dari balik pohon dan tenggelam dalam keraguan itu ia seperti melihat dua jalan di hadapanya, satu jalan terang, dan yang lain jalan gelap.

Karena tak tahu adanya Musashi, Otsu berjalan beberapa langkah meninggalkan gerbang. Dan ketika menoleh ke belakang, ia melihat Jotaro membungkuk mengambil sesuatu.

"Jotaro, apa yang kamu lakukan itu? Ayo cepat!"

"Tunggu!" seru Jotaro riang. "Lihat ini!"

"Ah, itu kan cuma gombal tua yang kotor! Buat apa itu?"

"Ini milik Musashi."       .

"Milik Musashi?" ucap Otsu sambil berlari kembali mendapatkan Jotaro.

"Ya, ini miliknya," jawab Jotaro seraya membeberkan handuk tangan itu untuk dilihat Otsu.

"Saya ingat ini. Ini dari rumah janda tempat kami menginap di Nara Lihat ini: ada gambar daun mapel celupan di sini, dan ada huruf yang bunyinya 'Lin'. Ini nama pemilik restoran bakpau di sana."

"Apa menurutmu Musashi ada di sini?" teriak Otsu sambil memandang bingung ke sekitarnya.

Jotaro berdiri tegak sampai hampir setinggi gadis itu, dan dengan sekuat suaranya ia memekik, "Sensei!"

Di tengah rumpun terdengar bunyi gemeresik. Tersengal Otsu memutai badan dan melejit ke arah pepohonan, diikuti anak itu.

"Ke mana Kakak pergi?" tanya Jotaro.

"Musashi baru saja lari!"

"Ke mana?"

"Ke situ."

"Saya tak melihat dia."

"Di rumpun pohon sana itu!"

Otsu melihat sosok tubuh Musashi, tetapi kegembiraan sekilas yang dirasakannya segera digantikan oleh keprihatinan, karena Musashi dengan cepat meningkatkan jarak yang memisahkan mereka. Otsu berlari mengejar dengan sekuat kakinya. Jotaro berlari mengikutinya, walau tidak yakin benar bahwa Otsu melihat Musashi.

"Kakak keliru!" pekik Jotaro. "Barangkali orang lain. Kenapa Musashi mesti lari?"

"Coba lihat itu!"

"Ke mana?"

"Ke sana!" Ia mengambil napas dalam-dalam, dan sambil mengerahkan suara sekuat-kuatnya ia menjerit, "Musashi!!" Tapi baru saja teriakan kalut itu keluar dari bibirnya, ia terhuyung jatuh. Jotaro menolongnya berdiri, tapi ia berteriak, "Kenapa kamu tidak memanggilnya juga? Panggil dia! Panggil dia!"

Jotaro bukannya melakukan yang disuruhkan Otsu, melainkan kelu karena terkejut, dan menatap wajah Otsu. Sudah pernah ia melihat wajah itu, dengan matanya yang merah, alis yang seperti jarum, serta hidung dan rahang yang seperti lilin. Itulah muka topeng! Topeng perempuan gila yang diberikan kepadanya oleh janda di Nara itu. Pada mulut Otsu tidak ada bengkokan aneh ke atas, tapi di luar itu keduanya serupa. Jotaro cepat menarik tangannya dan undur dengan ketakutan.

Otsu terus mencelanya. "Kita tak boleh menyerah! Dia tak akan kembali lagi kalau kita biarkan dia pergi sekarang! Panggil dia! Suruh dia kembali!"

Ada sesuatu yang menolak dalam diri Jotaro, tapi pandangan wajah Otsu menyatakan kepadanya, tak ada gunanya berdebat dengannya. Maka mereka berlari kembali, dan ia mulai berteriak juga sekuat-kuatnya.

Di sebelah hutan terdapat bukit rendah, dan sepanjang kaki bukit itu menghampar jalan belakang dari Tsukigase ke Iga. "Itu Musashi!" teriak Jotaro. Sampai di jalan tersebut, anak itu dapat dengan jelas melihat gurunya, tetapi Musashi sudah terlalu jauh di depan mereka, hingga tak dapat mendengar teriakan mereka.

Otsu dan Jotaro berlari sekuat kaki mereka sambil berteriak-teriak sampai parau. Jeritan mereka menggema melintasi peladangan. Di ujung lembah mereka tidak melihat Musashi lagi, karena ia lari langsung masuk kaki perbukitan yang berhutan lebat.

Mereka berhenti dan berdiri di sana, sedih, seperti anak-anak telantar. Awan putih menghampar kosong di atas mereka, sementara gemericik  sungai menambah kesepian mereka.

"Dia sudah gila! Dia tak berakal! Bagaimana mungkin dia meninggalkan saya seperti ini?" teriak Jotaro sambil mengentak-entakkan kakinya.

Otsu bersandar ke pohon berangan besar, dan air matanya mengucur sejadi-jadinya. Cintanya yang besar pada Musashi tak mampu menahan kepergian Musashi—walaupun untuk cinta itu ia bersedia mengorbankan segalanya. Ia heran, merasa kehilangan, dan marah. Ia tahu, apa tujuan hidup Musashi dan kenapa Musashi menghindari dirinya. Ia sudah tahu itu, sejak pengalaman di Jembatan Hanada. Namun ia tak bisa mengerti, kenapa Musashi menganggapnya penghalang antara dirinya dan cita-citanya. Kenapa tekadnya itu mesti dilemahkan oleh kehadirannya?

Ataukah itu cuma alasan? Apakah alasan sebenarnya karena Musashi tidak cukup mencintainya? Itulah yang barangkali lebih masuk akal. Namun... namun... Otsu mulai memahami Musashi ketika melihatnya terikat di pohon di Shippoji itu. Ia tak percaya bahwa Musashi orang yang bisa berbohong kepada perempuan. Kalau Musashi tak ada minat kepadanya, ia akan mengatakannya demikian, tapi kenyataannya di Jembatan Hanada Musashi mengatakan senang sekali kepadanya. Ia mengingat kembali katakata Musashi dengan sedihnya.

Sebagai anak yatim, sikap dingin tertentu mencegah dirinya mempercayai banyak orang, tapi sekali ia percaya pada seseorang, ia akan mempercayainya sepenuhnya. Pada waktu ini ia merasa tidak ada orang lain kecuali Musashi yang patut dibela atau diandalkannya. Pengkhianatan Matahachi telah mengajarkan kepadanya betapa seorang gadis harus berhati-hati dalam menilai lelaki. Tetapi Musashi bukanlah Matahachi. Ia telah memutuskan akan hidup untuk Musashi, apa pun yang terjadi, dan ia telah membulatkan tekad untuk tidak menyesal berbuat demikian.

Tapi kenapa Musashi tak dapat mengucapkan kata-kata, biarpun hanya sepatah? Ini sungguh terlalu berat untuk ditanggung. Daun-daun pohon berangan bergetar, seakan-akan pohon itu sendiri mengerti dan bersimpati.

Semakin marah, semakin ia tenggelam dalam cinta pada Musashi. Apakah itu nasib atau bukan, tidak dapat Ia mengatakannya, tetapi semangatnya yang dirobek-robek kesedihan menunjukkan bahwa tidak ada hidup sejati baginya di luar Musashi.

Jotaro memandang ke jalan, dan ucapnya, "Nah, ini datang seorang pendeta." Otsu tidak memperhatikannya.

Dengan semakin dekatnya siang, langit di atas berubah menjadi biru tua, transparan. Biarawan yang menuruni lereng di kejauhan itu tampak seperti turun dari atas awan dan tak ada hubungan apa pun dengan bumi ini. Ketika mendekati pohon berangan itu, ia memandangnya dan melihat Otsu.

"Lho, ada apa ini?" katanya. Mendengar suaranya, Otsu menengadah.

Dengan matanya yang bengkak dan lebar karena kagum ia berseru, "Takuan!" Dalam keadaannya sekarang ini, ia melihat Takuan Soho sebagai penyelamat. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah ia tidak sedang bermimpi.

Sekalipun melihat Takuan merupakan guncangan bagi Otsu, namun bagi Takuan menemukan Otsu tidak lebih daripada pembenaran atas sesuatu yang telah ia curigai. Kedatangannya bukan kebetulan, dan bukan pula keajaiban.

Takuan sudah lama menjalin hubungan persahabatan dengan Keluarga Yagyu. Perkenalannya dengan mereka bermula ketika ia masih seorang biarawan muda di Kuil Sangen'in, Daitokuji. Kewajibannya mencakup pembersihan dapur dan pembuatan empleng kacang.

Pada masa itu, Sangen'in yang dikenal dengan nama "Sektor Utara" Daitokuji termasyhur sebagai tempat berkumpul para samurai "luar biasa", artinya samurai yang mencurahkan perhatiannya kepada pemikiran filsafat tentang makna hidup dan mati, yaitu orang-orang yang merasakan perlunya mempelajari peristiwa-peristiwa kejiwaan maupun keterampilan teknik dalam seni perang. Kaum samurai yang bergerombol di sana lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan kaum biarawan Zen, dan salah satu hasilnya adalah kuil itu jadi dikenal sebagai wilayah pembibitan pemberontakan.

Di antara samurai yang sering datang ke sana adalah Suzuki Ihaku, saudara lelaki Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, Yagyu Gorozaemon, ahli waris Keluarga Yagyu, dan saudara lelaki Gorozaemon, yaitu Munenori. Munenori cepat menyukai Takuan, dan keduanya bersahabat semenjak itu. Sesudah beberapa kali mengadakan kunjungan ke Puri Koyagyu, Takuan berjumpa dengan Sekishusai dan menaruh rasa hormat yang besar kepada orang tua itu. Sekishusai pun menyukai biarawan muda ini, yang baginya mengesankan, karena memiliki banyak harapan di masa depan.

Baru-baru ini Takuan singgah beberapa waktu lamanya di Kuil Nansoji di Provinsi Izumi, dan dari sana ia mengirimkan surat menanyakan kesehatan Sekishusai dan Munenori. Dan ia telah menerima jawaban panjang dari Sekishusai, yang di antaranya berbunyi:

 Saya sangat beruntung akhir-akhir ini. Munenori sudah mendapat kedudukan dalam Keluarga Tokugawa di Edo, dan cucu saya yang telah meninggalkan pekerjaannya pada Yang Dipertuan Kato dari Higo, dan pergi belajar sendiri, banyak mendapat kemajuan. Saya sendiri sekarang memiliki tenaga seorang gadis muda dan cantik, yang tidak hanya dapat bermain suling dengan baik, tetapi juga berbicara dengan saya, dan bersama-sama kami menyiapkan teh, menyusun bunga, dan mengarang sajak. la menjadi kegembiraan dalam umur tua saya, menjadi bunga yang berkembang di rumah, yang kalau tidak berkat dirinya akan merupakan gubuk tua yang dingin dan layu. Karena ia mengatakan datang dari Mimasaka yang berdekatan dengan tempat kelahiran Anda dan dibesarkan di kuil yang bernama Shippoji, saya pikir Anda dan dia banyak memiliki persamaan. Menyenangkan luar biasa minum sake malam hari dengan iringan suling yang baik permainannya, dan karena Anda demikian dekat dengan tempat ini, saya harap Anda datang dan menikmati santapan ini bersama saya.

 Dalam keadaan bagaimanapun, sangat sukar bagi Takuan menolak andangan ini, tetapi dugaannya bahwa gadis yang dilukiskan dalam surat itu adalah Otsu, membuatnya bersungguh-sungguh menerimanya.

Ketika mereka bertiga berjalan menuju rumah Sekishusai, Takuan mengajukan banyak pertanyaan pada Otsu, dan Otsu menjawabnya tanpa bertele-tele. Ia menyampaikan kepada Takuan apa yang dilakukannya semenjak wrakhir kali mereka bertemu di Himeji dahulu, lalu apa yang telah terjadi pagi itu, dan akhirnya bagaimana perasaannya terhadap Musashi.

Takuan mendengarkan cerita Otsu yang menyedihkan itu sambil mengangguk-angguk sabar. Ketika Otsu selesai bercerita, ia mengatakan, "Kukira kaum perempuan mampu memilih jalan hidup yang mustahil bagi kaum lelaki. Menurut penangkapanku, kau menghendaki aku memberikan nasihat padamu tentang jalan yang harus kautempuh di masa depan."

"Oh, tidak."

"Nah.... "

"Saya sudah memutuskan apa yang akan saya perbuat."

Takuan memperhatikan dengan saksama. Otsu sudah berhenti berjalan dan kini memandang tanah. Ia kelihatan berada dalam lembah keputusasaan, namun ada suatu kekuatan dalam nada bicaranya, yang memaksa Takuan melakukan penilaian kembali.

"Sekiranya saya punya keraguan, sekiranya saya bermaksud menyerah," kata Otsu, "barangkali tak akan saya meninggalkan Shippoji. Saya masih bertekad menemui Musashi. Satu-satunya pertanyaan dalam pikiran saya adalah, apakah hal ini akan menimbulkan kesulitan baginya, dan apakah kalau saya terus hidup akan mendatangkan ketidakbahagiaan padanya. Kalau memang demikian, saya harus melakukan sesuatu untuknya."

"Dan apa itu artinya?"

"Tak dapat saya mengatakannya pada Bapak."

"Hati-hatilah, Otsu!"

"Terhadap apa?"

'Di bawah matahari yang terang riang ini dewa maut sedang menariknarikmu. "

"Sava... saya tak mengerti apa yang Bapak maksudkan."

"Kukira memang tak akan kamu mengerti, tapi itu karena dewa maut ncminjamkan tenaga kepadamu. Tolol kamu, Otsu, kalau kau mau mati, khususnva demi hal yang tak lebih dari cinta yang bertepuk sebelah rangan." kata Takuan tertawa.

Otsu menjadi marah kembali. Pikirnya, tak ada bedanya ini dengan udara kosong, karena Takuan tidak pernah jatuh cinta. Tak mungkin bagi orang yang tidak pernah jatuh cinta memahami apa yang dirasakannya. Baginya, mencoba menjelaskan perasaannya kepada Takuan sama saja dengan Takuan mencoba menjelaskan Budhisme Zen kepada orang pandir. Tapi seperti halnya terdapat kebenaran dalam Zen, entah yang pandir dapat memahaminya atau tidak, ada orang-orang yang bersedia mati demi cinta, entah Takuan dapat memahaminya atau tidak. Setidak-tidaknya bagi perempuan, cinta itu satu hal yang jauh lebih serius daripada teka-teki sulit seorang pendeta Zen. Bagi seorang yang dibuai oleh cinta yang bermakna hidup atau mati, tidak ada bedanya bunyi tepukan sebelah tangan. Sambil menggigit bibir, Otsu bersumpah tak akan mengatakan apa-apa lagi.

Takuan menjadi sungguh-sungguh. "Kau mestinya dilahirkan sebagai laki-laki, Otsu. Seorang lelaki yang memiliki kemauan seperti yang kaumiliki ini pasti dapat melaksanakan sesuatu demi kebaikan negeri."

"Jadi, apakah salah, seorang perempuan seperti saya ini hidup? Karena akan mendatangkan kerugian pada Musashi?"

"Jangan putar balikkan apa-apa yang kukatakan. Aku tidak bicara soal itu. Betapapun kamu mencintainya, dia masih lari, bukan? Dan aku berani mengatakan kamu tak akan dapat menangkapnya."

"Saya lakukan ini bukan karena saya senang melakukannya. Saya tak bisa berbuat lain. Saya mencintainya!"

"Coba, belum lama aku tidak melihatmu, dan melihatmu lagi kamu sudah berbuat seperti semua perempuan lain."

"Oh, jadi Bapak tidak lihat, ya? Baiklah, tak usah kita bicara lagi. Pendeta cemerlang seperti Bapak tak akan dapat memahami perasaan perempuan!"

"Tak bisa aku menjawab ini. Memang benar, perempuan bagiku merupakan teka-teki."

Otsu melengos, dan katanya, "Ayo pergi, Jotaro."

Takuan berdiri memperhatikan, sedangkan Otsu dan Jotaro menuruni jalan samping. Diiringi kerjapan alisnya yang sedih, biarawan itu sampai pada kesimpulan bahwa tak ada lagi yang dapat dilakukannya. Maka serunya kepada Otsu, "Apa kamu takkan mengucapkan selamat tinggal pada Sekishusai, sebelum pergi menuruti kehendak hati?"

"Saya akan mengucapkan selamat tinggal dalam hati. Beliau tahu, saya tak pernah bermaksud tinggal lama di sini."

"Jadi, kamu tak akan mempertimbangkannya kembali?"

"Mempertimbangkan apa?"

"Tinggal di Pegunungan Mimasaka itu indah, tapi di sini juga indah. Di sini damai dan tenang, dan hidup di sini sederhana. Daripada melihat kamu pergi memasuki dunia biasa dengan segala kesengsaraan dan kesulitannya, aku lebih suka melihatmu hidup dalam kedamaian, di tengah pegunungan dan sungai-sungai ini, seperti juga burung-burung bulbul yang kita dengar sedang menyanyi itu."

"Ha, ha! Terima kasih banyak, Pak!"

Takuan mengeluh, karena sadar bahwa ia tidak berdaya menghadapi perempuan muda yang berkemauan keras ini, yang demikian bertekad pergi membuta menempuh jalan yang telah dipilihnya. "Kamu boleh tertawa, Otsu, tapi jalan yang hendak kamu tempuh itu jalan kegelapan."

"Kegelapan?"

"Kamu dibesarkan di dalam kuil. Kamu mesti tahu, bahwa jalan kegelapan dan keinginan itu hanya menjurus pada kekecewaan dan kesengsaraan. Kekecewaan dan kesengsaraan yang tak bisa diselamatkan lagi."

"Tidak pernah ada jalan terang bagi saya, tidak ada, sejak saya lahir."

"Ah, ada, ada!" Takuan memasukkan tetesan daya terakhir ke dalam permohonan-nya, dan ia dekati gadis itu dan ia pegang tangannya. Ia ingin sekali agar gadis itu mempercayainya.

"Aku akan bicara dengan Sekishusai tentang itu," demikian ditawarkannya. "Tentang bagaimana kamu bisa hidup dan bahagia. Kamu bisa mendapatkan suami yang baik di Koyagyu, memiliki anak-anak, dan melakukan hal-hal yang juga dilakukan perempuan lain. Kamu akan membuat tempat ini lebih baik. Dan itu akan membuatmu lebih bahagia."

"Saya mengerti, Bapak berusaha membantu, tapi..."

"Cobalah! Kuminta kamu mencoba!"

Sambil menarik tangan gadis itu, ia memandang Jotaro, dan katanya, "Kamu juga, Nak!"

Jotaro menggelengkan kepala dengan tegas. "Saya tidak. Saya akan mengikuti guru saya."

"Nah, lakukanlah apa yang kamu suka, tapi setidak-tidaknya kembalilah ke puri mengucapkan selamat tinggal pada Sekishusai."

"Oh, saya lupa!" kata Jotaro terengah. "Topeng saya tertinggal di sana. Akan saya ambil dulu." Ia segera berlari, tak peduli dengan jalan kegelapan dan jalan terang itu.

Otsu berdiam diri di persimpangan. Takuan diam, dan kembali menjadi teman lama yang pernah dikenalnya. Takuan sudah mengingatkannya akan bahaya yang mengintai dalam hidup yang hendak ditempuhnya dan mencoba meyakinkannya bahwa ada jalan lain untuk menemukan kebahagiaan. Tapi Otsu tetap tak tergoyahkan.

Kemudian Jotaro kembali berlari-lari mengenakan topeng. Takuan mengerut melihatnya, dan secara naluriah merasa bahwa itulah wajah masa depan Otsu, wajah yang akan ia saksikan sesudah Otsu menanggung derita dalam perjalanan panjangnya menelusuri jalan kegelapan.

"Saya pergi sekarang," kata Otsu, dan melangkah meninggalkan Takuan. Jotaro bergayut pada lengan kimononya, katanya, "Ya, ayo pergi! Sekarang!"

Takuan menengadahkan mata ke awan-awan putih, meratapi kegagalannya. "Tak ada lagi yang dapat kuperbuat," katanya. "Sang Budha sendiri pun berputus asa menyelamatkan perempuan."

"Selamat tinggal, Pak," kata Otsu. "Saya nyatakan hormat kepada Sekishusai di sini, tapi saya mohon Bapak menyampaikan terima kasih saya dan ucapan selamat berpisah kepada beliau."

"Oh, aku bahkan mulai berpikir sekarang bahwa pendeta-pendeta adalah orang gila. Ke mana saja mereka pergi, mereka bertemu dengan orang-orang yang berduyun-duyun menuju neraka." Takuan mengangkat kedua tangannya, menjatuhkannya, dan katanya dengan sangat khidmat, "Otsu, kalau kau nanti mulai tenggelam dalam Enam Jalan Jahat atau Tiga Persimpangan, sebutlah namaku. Pikirkan diriku, dan panggillah namaku! Sementara ini, yang bisa kukatakan cuma, pergilah sejauh kau bisa, dan cobalah berhati-hati!"


 Bersambung >>>>
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive