Setan-Setan Gunung
"BAIKLAH, saya sampaikan dengan terus terang. Saya tak ingin merepotkan Anda. Keramahtamahan Anda sangat saya hargai, dan itu cukup."
"Baik, Pak. Bapak sungguh baik budi," jawab pendeta itu.
"Saya cuma ingin beristirahat. Itu saja." "Oh, silakan, silakan."
"Nah, sekarang saya harap Anda mau memaafkan kekasaran saya," kata samurai itu sambil seenaknya berbaring miring, dan mengganjal kepalanya yang sudah ubanan dengan lengannya.
Tamu yang baru datang di Kuil Tokuganji itu adalah Nagaoka Sado, tangan kanan Yang Dipertuan Hosokawa Tadaoki dari Buzen. Ia bukan orang yang punya banyak waktu untuk urusan pribadi, tapi pada kesempatan-kesempatan seperti peringatan tahunan meninggalnya ayahnya, ia selalu datang, dan biasanya ia bermalam, karena kuil itu sekitar dua puluh mil jauhnya dari Edo. Untuk ukuran orang berpangkat seperti dirinya, perjalanannya itu ia lakukan dengan sederhana saja, kali ini hanya diiringi dua samurai dan seorang pelayan pribadi yang masih muda. Untuk dapat sebentar saja meninggalkan bangunan Hosokawa itu, ia mesti membuat-buat alasan. Jarang ia mendapat kesempatan melakukan sesuatu yang ia senangi, maka ketika ia dapat melakukannya, seperti sekarang ini, ia dengan sungguh-sungguh menikmati sake buatan setempat, sambil mendengarkan kodok-kodok berbunyi. Sebentar saja ia sudah dapat melupakan segalanya-masalah-masalah pemerintahan dan kebutuhan yang tak henti-hentinya untuk menyesuaikan diri dengan nuansa peristiwa sehari-hari.
Sesudah makam malam, si pendeta lekas-lekas membereskan pinggan mangkuk, dan pergi. Sado mengobrol iseng dengan para pelayannya yang duduk di dekat dinding. Hanya wajah mereka yang tampak dalam cahaya lampu.
"Mau rasanya berbaring terus di sini, dan masuk Nirwana, seperti sang Budha," kata Sado malas.
"Tapi hati-hati, jangan sampai Bapak pilek. Udara malam lembap."
"Ah, sudahlah. Beberapa pertempuran sudah dialami badan ini dengan selamat. Dia akan sanggup menghadapi sendiri satu-dua bersin. Tapi coba cium bau kembang masak itu! Harum sekali, ya?"
"Saya tak mencium apa-apa."
"Tidak? Kalau indra penciummu begitu lemah... apa kau yakin kau sendiri tidak pilek?"
Sementara mereka sibuk dengan kelakar yang kelihatannya ringan ini, tiba-tiba kodok-kodok berhenti berbunyi, dan seseorang berteriak keras, "Setan kau! Apa kerjamu di sini, mengawas-awasi kamar tamu?"
Seketika pengawal Sado berdiri.
"Ada apa?"
"Siapa di sana?"
Sementara mata tajam mereka menyelidiki halaman, detap kaki-kaki kecil kedengaran menjauh ke arah dapur.
Seorang pendeta masuk dari beranda, membungkuk, dan katanya, "Maaf atas gangguan ini. Cuma seorang dari anak-anak sini. Tak perlu kuatir."
"Anda yakin?"
"Tentu. Dia tinggal beberapa mil dari sini. Ayahnya dulu kerja sebagai tukang kuda, sampai meninggalnya baru-baru ini. Kakeknya kabarnya seorang samurai. Tiap kali anak itu melihat samurai, dia berhenti untuk melihat, dan menggigit jari."
Sado duduk. "Anda jangan terlalu keras dengan dia. Kalau dia ingin menjadi samurai, bawa dia masuk. Kita keluarkan gula-gula, dan kita bicarakan soal itu."
Waktu itu Iori sudah sampai dapur. "Hei, Nek," teriaknya. "Saya kehabisan jewawut. Isi dong ini." Karung yang disodorkannya pada perempuan tua yang sudah keriput dan kerja di dapur itu barangkali bisa muat setengah gantang.
Perempuan itu membalas dengan teriakan. "Jaga lidahmu, pengemis! Bicaramu seakan kami berutang padamu."
"Dan lagi berani-berani amat kau ini!" kata seorang pendeta yang sedang mencuci piring. "Pendeta kepala kasihan padamu, karena itu kami beri kau makanan, tapi jangan kurang ajar. Kalau kau minta bantuan, mesti sopan."
"Saya tidak mengemis. Saya berikan pada pendeta kantung peninggalan ayah saya. Dalam kantung itu ada uang, dan banyak jumlahnva."
"Kau kira berapa banyak dapat ditinggalkan seorang tukang kuda yang hidup di desa itu?"
"Mau kasih jewawut sama saya atau tidak?"
"Nah, begitu lagi. Coba lihat dirimu itu. Kau memang sinting, mau saja menerima perintah-perintah ronin tolol itu. Dari mana pula asal orang itu? Siapa dia? Kenapa dia mesti makan makananmu?"
"Sama sekali bukan urusanmu."
"Huh. Mencangkul terus di tanah tandus, di mana takkan mungkin timbul ladang atau kebun atau apa pun! Seluruh desa menertawakan kalian."
"Siapa yang minta nasihatmu?"
"Apa pun penyakit yang ada dalam kepala ronin itu, pasti menular. Apa yang kalian temukan di sana itu-satu kuali emas, macam dalam dongeng. Kau ini masih plonco, tapi sudah menggali kuburanmu sendiri."
"Tutup mulutmu, dan beri aku jewawut. Jewawut! Sekarang!"
Pendeta masih menggoda Iori beberapa menit lagi, dan tiba-tiba suatu benda dingin berlumpur mengenai wajahnya. Mata si pendeta melotot, kemudian tahulah ia benda apa itu—seekor kodok berkutil. Ia menjerit dan menyerbu ke arah anak itu, tapi ketika ia berhasil mencengkeram leher baju si anak, pendeta lain datang menyatakan bahwa anak itu diminta masuk ruangan samurai.
Pendeta kepala sudah mendengar juga keributan itu, dan bergegas ke dapur. "Apa dia sudah bikin apa-apa yang mengganggu tamu kita?" tanyanya cemas.
"Tidak. Sado baru saja mengatakan ingin bicara dengannya, dan mau memberinya gula-gula."
Pendeta kepala buru-buru menggandeng tangan Iori dan membawanya langsung ke ruangan Sado.
Iori dengan malu-malu duduk di samping sang pendeta, dan Sado bertanya, "Berapa umurmu?"
"Tiga belas."
"Kau ingin menjadi samurai, ya?"
"Betul," jawab Iori sambil mengangguk-angguk bersemangat.
"Ya, ya. Bagaimana kalau kau pindah tinggal di rumahku? Mula-mula kau mesti membantu melakukan pekerjaan rumah tangga, tapi nanti akan kubikin kau magang samurai."
Iori menggelengkan kepala, tanpa kata-kata. Sado mengira sikap demikian itu disebabkan rasa malu, dan ia meyakinkan anak itu bahwa tawarannya sungguh-sungguh.
Iori melontarkan pandangan marah, katanya, "Saya dengar Bapak mau memberi saya gula-gula. Mana gula-gula itu?"
Dengan wajah pucat, pendeta kepala menampar pergelangan tangannva.
"Jangan marahi dia," kata Sado dengan nada memarahi. Ia memang suka pada anak-anak, dan cenderung untuk selalu menuruti kemauan mereka. "Dia benar. Seorang lelaki mesti memenuhi janjinya. Ambilkan gula-gula itu."
Ketika gula-gula itu dibawa masuk, Iori mulai menjejalkannya ke dalam kimononya.
Sado heran juga, tanyanya, "Kau tidak memakannya di sini?"
"Tidak. Guru saya menanti saya di rumah."
"Oh? Kau punya guru?"
Iori tak mau susah-susah menjawab. Ia meloncat dari ruangan dan merighilang ke kebun.
Sado merasa tingkah laku Iori itu menarik sekali. Tapi tidak demikian halnya dengan pendeta kepala. Ia membungkuk ke lantai dua-tiga kali sebelum pergi ke dapur, mengejar Iori.
"Di mana anak kurang ajar itu?"
"Dia ambil karung jewawut itu, dan pergi."
Mereka mendengarkan sebentar, tapi yang mereka dengar tak lain dari bunyi lengkingan yang tidak selaras. Iori sudah memetik daun sebuah pohon, dan mencoba memainkan satu lagu. Tapi rupanya di antara beberapa lagu yang dikenalnya, tak ada yang dapat dimainkan dengan baik. Lagu kerja tukang-tukang kuda terlalu lambat, sedangkan lagu-lagu pesta Bon terlalu rumit. Akhirnya ia memainkan saja lagu yang mirip dengan musik tari suci di tempat suci setempat. Ini cocok sekali untuknya, karena ia menyukai tari-tarian itu. Kadang-kadang dulu ayahnya membawanya melihat tari-tarian itu.
Sekitar setengah jam ke Hotengahara, di tempat bertemunya dua aliran air menjadi sebuah sungai, tiba-tiba ia terkejut. Daun itu terloncat dari mulutnya, disertai semprotan ludah, dan ia melompat ke rumpun bambu di samping jalan.
Di atas sebuah jembatan sederhana, berdiri tiga atau empat orang, sedang terlibat dalam percakapan rahasia. "Mereka!" seru Iori lirih.
Ancaman yang pernah didengarnya mendering lagi dalam telinganya yang ketakutan. Apabila para ibu di daerah ini memarahi anak-anaknya, mereka terbiasa mengatakan, "Kalau kau nakal, setan-setan gunung akan turun mengambilmu." Terakhir kali setan-setan gunung itu benar-benar datang adalah pada musim gugur dua tahun yang lalu.
Sekitar tiga puluh kilometer dari situ, di Pegunungan Hitachi, ada sebuah tempat suci yang dipersembahkan kepada dewa gunung. Berabad-abad sebelumnya, penduduk begitu takut pada dewa itu, hingga desa-desa bergiliran memberikan sesaji tahunan berupa padi dan perempuan kepadanya. Apabila tiba giliran sebuah desa, maka penduduk desa itu mengumpulkan persembahan dan berarak-arak membawa obor ke tempat suci itu. Kemudian, setelah ketahuan bahwa dewa itu hanya seorang manusia, mereka menjadi lalai memberikan persembahan.
Selama berlangsungnya perang saudara, apa yang dinamakan dewa gunung itu mulai mengumpulkan persembahan dengan paksa. Tiap dua atau tiga tahun, gerombolan perampok bersenjatakan tombak-kapak, tombak berburu, kapak-apa saja yang dapat menimbulkan rasa takut dalam hati penduduk yang damai-turun mula-mula ke satu desa, kemudian ke desa lain, membawa pergi segala yang memenuhi selera mereka, termasuk istri-istri orang dan anak-anak gadis. Kalau korban memberikan perlawanan, penjarahan pun disertai pembantaian.
Karena serbuan terakhir mereka masih tergambar jelas dalam kenangannya, Iori menyembunyikan diri di semak-semak. Kelompok yang terdiri atas lima bayangan datang berlari melintas ladang ke jembatan. Kemudian, di tengah kabut malam itu, datang kelompok lain yang lebih kecil, menyusul kelompok lain lagi, sampai jumlah bandit itu mencapai antara empat puluh dan lima puluh orang.
Iori menahan napas dan memperhatikan baik-baik, sementara mereka bersoal jawab tentang tindakan yang akan mereka ambil. Segera kemudian mereka mencapai kesepakatan. Pemimpin mereka mengeluarkan perintah dan menuding ke arah desa. Orang-orang itu menyerbu ke sana, seperti kawanan belalang.
Tak lama kemudian, kabut malam penuh oleh suara ingar-bingarburung, binatang ternak, kuda, lolongan manusia, tua maupun muda.
Iori cepat mengambil keputusan untuk meminta bantuan dari samurai yang ada di Kuil Tokuganji, tapi begitu ia meninggalkan persembunyian bambu itu, terdengar teriakan dari jembatan, "Siapa di sana?" Ia tak melihat bahwa dua orang ditinggalkan untuk berjaga di jembatan. Dengan napas terengah-engah ia berlari sekencang-kencangnya, tapi kedua kakinya yang pendek itu bukan tandingan untuk dua orang dewasa.
"Ke mana kau pergi?" teriak orang yang pertama menangkapnya.
"Siapa kau?"
Iori bukannya menangis seperti bayi yang akan membuat orang-orang itu lengah, tapi sebaliknya mencakar-cakar memberontak, melawan tangan-tangan kuat yang memenjarakannya.
"Dia melihat kita semua. Dia akan melapor."
"Kita pukuli saja sampai babak belur, lalu kita buang ke sawah."
"Aku ada pikiran yang lebih baik."
Mereka membawa Iori ke sungai, mereka lemparkan ke bawah, kemudian mereka sendiri menyusul melompat, dan mereka ikatkan Iori ke salah satu tiang jembatan.
"Nah, di situ dia akan aman." Kedua bajingan itu naik kembali ke pos mereka di jembatan.
Lonceng kuil berdentang-dentang di kejauhan. Iori ketakutan melihat nyala api yang membubung di atas desa itu membuat sungai menjadi merah darah. Suara bayi menangis dan perempuan-perempuan melolong terdengar makin lama makin dekat. Kemudian terdengar roda-roda berkeracak naik jembatan. Setengah lusin bandit menggiring kereta-kereta sapi dar kuda-kuda yang bermuatan barang rampasan.
"Sampah kotor!" teriak satu suara lelaki.
"Kembalikan istriku!"
Perkelahian di atas jembatan itu singkat, tapi ganas. Orang-orang memekik dan logam berdentangan, jeritan melangit, dan sesosok mayat berlumuran darah mendarat di kaki Iori. Tubuh lain tercebur ke sungai, memerciki wajahnya dengan darah dan air. Satu demi satu para petani jatuh dari jembatan, enam orang semuanya. Tubuh-tubuh itu naik ke permukaan dan mengapung turun menghilir, tapi satu orang yang belum mati benar mencengkeram buluh dan mencakar tanah, hingga ia dapat mengangkat setengah badannya dari air.
"Hei!" teriak Iori. "Lepaskan tali ini. Saya akan minta tolong. Akan saya usahakan supaya Bapak bisa balas dendam." Kemudian suaranya berubah jadi teriakan. "Ayo! Lepaskan saya. Saya mesti selamatkan desa itu." Tapi orang itu tak bergerak.
Iori mendesak ikatannya dengan seluruh tenaganya, dan akhirnya ia berhasil mengendurkannya sedikit, hingga dapat memerosotkan badan dan menendang bahu orang itu.
Wajah yang menoleh kepadanya itu bernoda lumpur dan darah kental. Matanya pudar, tak paham.
Orang itu merangkak dengan penuh kesakitan, mendekat. Dengan sisa tenaganya la lepaskan simpul tali. Ketika tali terlepas, ia rebah dan mati.
Iori memandang hati-hati ke jembatan, dan menggigit bibir. Di atas sana terdapat lebih banyak tubuh orang. Tapi ia beruntung. Sebuah roda gerobak terperosok ke dalam papan yang sudah lapuk. Para perampok menariknya keluar dalam keadaan tergesa-gesa, dan tidak melihat Iori meloloskan diri.
Karena sadar tidak akan bisa sampai ke kuil, Iori berjingkat menyusur bayangan pepohonan, sampai akhirnya tiba di tempat yang cukup dangkal untuk diseberangi. Ketika sampai di seberang sana, ia sudah berada di ujung Hotengahara. Ia tempuh jarak satu kilometer lagi ke pondoknya, seakan-akan kilat sedang menyambar-nyambar tumitnya.
Ketika sudah menghampiri bukit tempat berdirinya pondok, ia lihat Musashi berdiri di luar, memandang langit. "Cepat ikut!" teriak Iori.
"Ada apa?"
"Kita mesti pergi ke desa."
"Apa api itu di sana?"
"Ya, setan-setan gunung itu datang lagi."
"Setan?... Bandit, ya?"
"Ya, paling tidak empat puluh orang jumlahnya. Kita mesti menyelamatkan orang desa."
Musashi masuk ke dalam pondok, dan keluar lagi membawa kedua pedangnya.
Sementara ia mengikatkan sandalnya, Iori berkata, "Ikuti saya. Akan saya tunjukkan jalannya."
"Jangan. Kau tinggal di sini."
Iori tak dapat mempercayai telinganya.
"Terlalu berbahaya."
"Tapi saya tidak takut."
"Kau bisa menghalangi."
"Tapi Bapak tidak tahu jalan terdekat ke sana!"
"Api itu bisa jadi penunjukku. Sekarang jadilah anak baik, dan tinggal saja di sini."
"Baik, Pak." Iori mengangguk patuh, tapi dengan perasaan sangat was-was. Ia menolehkan kepala ke arah desa, dan memandang muram ketika Musashi melejit ke arah nyala merah itu.
Bandit-bandit mengikat para tawanan perempuan yang merintih dan menjerit dalam satu barisan, dan menarik mereka tanpa kenal ampun ke jembatan.
"Jangan lagi berkaok-kaok!" teriak seorang bandit. "Seperti tak bisa jalan saja. Ayo jalan!"
Ketika perempuan-perempuan itu bertahan, bajingan-bajingan itu mendera mereka dengan cambuk. Seorang perempuan jatuh, menyeret jatuh yang lain-lain. Seseorang menangkap tali itu dan memaksa mereka berdiri kembali. Bentaknya, "Anjing-anjing kepala batu! Apa yang kalian rintihkan? Mau saja kalian tinggal di sini, kerja macam budak sepanjang hidup, cuma demi secuwil jewawut? Coba lihat diri kalian itu, cuma kulit pembalut tulang. Kalian bisa jauh lebih makmur, kalau mau bersenang-senang dengan kami.
Mereka pilih salah satu binatang yang tampaknya lebih sehat dan penuh bermuatan barang rampasan, mereka ikatkan tali itu padanya, lalu mereka cambuk pantat binatang itu keras-keras. Tali pun mengencang dengan tibatiba, dan jeritan-jeritan membelah udara ketika perempuan-perempuan itu disentakkan lagi ke depan. Yang terjatuh terseret terus, wajah mereka menggaruk-garuk tanah.
"Berhenti!" jerit seorang. "Tanganku bisa lepas!"
Gelombang tawa parau melanda kawanan perampok itu.
Tapi pada saat itu, kuda dan perempuan-perempuan itu mendadak berhenti.
"Ada apa?... Oh, ada orang di depan!"
Semua mata ditajamkan untuk melihat.
"Siapa di sana?" raung seorang bandit.
Bayangan tenang yang berjalan ke arah mereka itu membawa pedang. Bandit-bandit yang sudah tajam mencium bau, dengan seketika dapat mengenali bau yang mereka cium—darah yang menetes-netes dari pedang.
Orang-orang yang ada di depan mundur dengan kikuk, dan Musashi menaksir kekuatan musuhnya. Dua belas orang, semuanya berotot keras dan tampak kasar. Sesudah sadar kembali dari guncangan awal, mereka menyiapkan senjata dan mengambil jurus bertahan. Satu orang berlari ke depan, membawa kapak. Seorang lagi, yang membawa tombak berburu. mendekat dari arah diagonal sambil merunduk rendah, mengancam rusuk Musashi. Orang yang memegang kapak maju pertama.
"A-w-w-k!" Kedengaran seperti menggigit lidah sendiri sampai putus. orang itu menggeliat hebat, kemudian roboh.
"Kalian tak kenal aku?" suara Musashi mendering tajam. "Aku pelindung rakyat, utusan dewa yang mengawasi desa ini." Detik itu juga ia menangkap tombak yang diarahkan kepadanya, menyentakkannya dari tangan pemiliknya, dan membantingnya keras ke tanah. Dengan cepat ia menyerbu ke tengah gerombolan bajingan itu, sibuk menangkis tusukan-tusukan yang datang dari segala penjuru. Tapi, sesudah serangan pertama yang dilancarkan selagi mereka masih berkelahi dengan penuh keyakinan, tahulah Musashi apa yang bakal terjadi. Persoalannya bukan jumlah, tapi kekompakan dan kontrol diri lawan.
Melihat bahwa satu demi satu rekan mereka berubah menjadi peluru yang menyemburkan darah, bandit-bandit itu segera mengundurkan diri, makin lama makin jauh, akhirnya panik dan kehilangan segala kemampuan untuk menyusun diri.
Selagi berkelahi pun Musashi dapat menarik pelajaran, memanfaatkan pengalaman yang kelak menuntunnya kepada metode khusus untuk dipergunakan pihak lemah terhadap pihak kuat. Ini adalah pelajaran berharga, yang tidak dapat diperoleh dalam perkelahian dengan musuh tunggal.
Kedua pedangnya masih berada dalam sarungnya. Bertahun-tahun ia berlatih menguasai seni menangkap senjata lawan dan membalikkannya untuk menyerang. Sekarang ia melaksanakan teori itu dalam praktek, merebut pedang dari orang pertama yang dihadapinya. Alasannya bukan karena pedangnya, yang ia anggap sebagai jiwanya sendiri itu, terlampau bersih untuk dinodai darah perampok biasa. Ia hanya bertindak praktis: untuk melawan persenjataan yang beraneka ragam itu, pedang bisa rompal, bahkan bisa patah.
Ketika lima atau enam orang yang masih selamat melarikan diri ke arah desa, Musashi mengambil waktu semenit-dua menit untuk beristirahat dan mengatur napas, dengan perkiraan mereka akan datang kembali membawa bala bantuan. Kemudian ia bebaskan perempuan-perempuan itu, dan ia perintahkan mereka yang masih bisa berdiri untuk membantu yang lain.
Sesudah mengucapkan beberapa patah kata untuk menghibur dan menyemangati mereka, ia mengatakan bahwa tergantung pada mereka sendiri untuk menyelamatkan orang tua, anak-anak, dan suami mereka.
"Kalian akan merana kalau kalian tetap hidup, sedangkan mereka tewas, kan?" tanyanya.
Terdengar bisik-bisik setuju.
"Kalian sebetulnya punya kekuatan untuk melindungi diri dan menyelamatkan yang lain-lain. Tapi kalian tidak tahu bagaimana menggunakan kekuatan itu. Karena itulah kalian menjadi korban bandit-bandit itu. Kita mesti mengubah keadaan ini. Akan kubantu kalian menggunakan kekuatan yang kalian miliki. Yang pertama-tama mesti dilakukan, persenjatai diri kalian."
Ia suruh mereka mengumpulkan senjata yang bertebaran itu, dan membagikannya satu-satu pada semua perempuan.
"Sekarang ikut aku, dan lakukan seperti kuperintahkan. Kalian tak perlu takut. Coba yakinkan diri kalian, bahwa dewa daerah ini ada di pihak kalian."
Ketika ia pimpin perempuan-perempuan itu menuju desa yang terbakar, orang-orang lain yang juga menjadi korban, muncul dari balik bayangan pepohonan dan menggabungkan diri dengan mereka. Sebentar kemudian, kelompok itu sudah berkembang menjadi pasukan kecil yang jumlahnya hampir seratus orang. Para perempuan mendekap orang-orang yang mereka cintai sambil berurai air mata. Anak-anak perempuan dipersatukan kembali dengan orangtuanya, istri-istri dengan suaminya, ibu-ibu dengan anak-anaknya.
Semula, ketika perempuan-perempuan menceritakan bagaimana Musashi menghadapi bandit-bandit itu, orang-orang lelaki hanya mendengarkan dengan wajah bengong, tak percaya bahwa itulah ronin goblok dari Hotengahara itu. Ketika mereka mempercayainya, rasa terima kasih mereka tak disembunyikan lagi, sekalipun ada kesulitan dalam hal dialek.
Sambil menoleh kepada kaum pria, Musashi minta mereka mencari senjata. "Apa pun bisa digunakan, bahkan tongkat yang cukup berat dan baik, atau sebatang bambu yang masih baru."
Tak seorang pun membantah atau bertanya tentang perintah-perintahnya.
Musashi bertanya, "Berapa orang bandit semuanya?"
"Sekitar lima puluh."
"Berapa rumah di desa itu?"
"Tujuh puluh."
Musashi memperhitungkan, barangkali seluruhnya ada tujuh atau delapan ratus orang. Biarpun orang tua dan anak-anak tidak dimasukkan, perampok masih kalah jauh jumlahnya, sepuluh lawan satu.
Ia tersenyum geram, karena penduduk desa yang damai itu tadinya percaya tak ada jalan lain kecuali mengangkat tangan dengan putus asa. Ia tahu bahwa jika tidak dilakukan suatu tindakan, kekejian itu akan berulang. Malam itu ia ingin melaksanakan dua hal: menunjukkan pada orang-orang desa, bagaimana melindungi diri sendiri, dan mengusahakan agar para perampok itu pergi untuk selamanya.
"Pak," teriak seorang lelaki yang baru saja datang dari desa. "Mereka sedang jalan ke sini."
Walaupun sekarang orang-orang desa sudah bersenjata, berita itu membuat mereka gelisah. Terlihat tanda-tanda mereka ragu dan akan lari.
Untuk mengembalikan keyakinan mereka, Musashi berkata keras, "Tak ada yang perlu dikuatirkan. Aku sudah menduga. Kuminta kalian bersembunyi di kedua sisi jalan, tapi pertama-tama dengarkan perintahku." Ia berbicara cepat tapi tenang, dan dengan singkat mengulangi beberapa hal yang mesti ditekankan. "Kalau mereka sampai di sini, akan kubiarkan mereka menyerangku. Kemudian aku akan pura-pura lari. Mereka akan mengejarku. Kalian-kalian semua-tinggal di tempat kalian. Aku tak butuh bantuan apa-apa.
"Tapi sebentar kemudian mereka akan kembali. Nah, waktu mereka kembali, serang! Bikin suara ribut, bikin mereka terkejut. Pukul lambung mereka, kaki dan dada meraka-mana saja yang tak terlindung. Habis melayani rombongan pertama itu, kalian sembunyi lagi, dan tunggu yang berikutnya. Lakukan terus begitu, sampai mereka semua mati."
Belum lagi ia selesai mengucapkan kata-kata itu dan para petani menyebar, kaum perusak itu muncul. Dari pakaian dan tiadanya kerja sama pada mereka, Musashi menduga kekuatan tempur mereka itu masih primitif, seperti pada zaman dahulu, ketika orang masih berburu dan menangkap ikan untuk hidup. Nama Tokugawa tak ada artinya bagi mereka, begitu pula nama Toyotomi. Pegununganlah tempat kediaman suku mereka. Orang-orang desa itu bertugas menyediakan makanan dan perbekalan bagi mereka.
"Berhenti!" perintah satu orang yang ada di depan kawanan. Jumlah mereka sekitar dua puluh orang, sebagian memegang pedang kasar, sebagian lagi lembing, satu membawa kapak perang, yang lain tombak berkarat. Dengan latar belakang nyala api, tubuh mereka tampak seperti bayang-bayang setan sehitam jelaga.
"Apa ini orangnya?"
"Ya, itu dia orangnya."
Musashi berdiri menghadang, sekitar dua puluh meter di hadapan mereka. Mereka bingung, dan mulai meragukan kekuatan sendiri. Untuk sesaat tak seorang pun dari mereka bergerak.
Tapi itu hanya berlangsung sebentar. Mata Musashi yang menyala-nyala mulai menyeret mereka ke arahnya, tanpa dapat ditawar lagi.
"Kau bajingan mau mencoba menghalangi jalan kami?"
"Betul!" raung Musashi sambil menangkap pedang dan menyerbu ke tengah mereka. Maka berkumandanglah suara seru, diikuti keributan angin pusaran. Tak mungkin lagi melihat gerakan masing-masing orang. Suasana jadi seperti kerumunan semut yang berputar-putar.
Sawah di satu sisi jalan dan tanggul yang dibarisi pepohonan dan semak belukar di sisi yang lain itu baik sekali untuk Musashi, karena memberikan semacam perlindungan, tapi sesudah bertempur sebentar, ia melakukan pengunduran diri secara strategis.
"Lihat."
"Bangsat itu lari!"
"Kejar dia!"
Mereka mengejarnya sampai sudut terjauh ladang terdekat, dan di situ ia membalik dan menghadapi mereka kembali. Karena tak ada apa pun di belakangnya, kedudukannya kelihatan lebih buruk, tapi ia terus memaksa lawan-lawannya bertahan dengan bergerak cepat ke kiri dan ke kanan. Kemudian, bila ada yang membuat gerakan keliru, Musashi segera menghantamnya.
Sosok tubuhnya yang hitam seakan melenting dan tempat yang satu ke tempat lain, sementara darah menyembur di depannya, tiap kali ia berhenti. Bandit-bandit yang tidak terbunuh jadi terlalu bingung untuk berkelahi, sedangkan Musashi sendiri semakin dahsyat pukulannya. Pertempuran ini lain dengan pertempuran di Ichijoji. Ia tidak merasa berdiri di perbatasan antara hidup dan mati. Ia sudah mencapai tingkat di luar dirinya, sementara tubuh dan pedangnya terus bekerja, tanpa mesti berpikir secara sadar. Para penyerang melarikan diri tunggang-langgang.
Bisikan berantai terdengar di antara orang-orang desa. "Mereka datang." Kemudian sekelompok dari mereka melompat keluar dari persembunyian dan menyerang dua-tiga bandit pertama, dan membunuh mereka hampir tanpa kesukaran. Para petani masuk kembali ke dalam kegelapan, dan proses itu berulang lagi, sampai semua bandit berhasil dihadang dan dibunuh. Ketika jumlah mayat dihitung, keyakinan orang desa meningkat.
"Ternyata mereka tidak begitu kuat," satu orang berkata megah.
"Tunggu! Ini datang satu lagi."
"Hajar dia!"
"Hai, jangan serang. Ronin itu!"
Dengan sedikit saja kekacauan, mereka membariskan diri sepanjang jalan, seperti serdadu yang sedang diperiksa oleh jenderalnya. Semua mata tertuju kepada pakaian Musashi yang basah oleh darah, dan pedangnya yang juga mengucurkan darah. Pedang itu rompal di selusin tempat. la buang pedang itu, dan ia pungut sebatang lembing.
"Kerja kita belum selesai," katanya. "Cari senjata buat kalian sendiri, dan mari ikut aku. Dengan menyatukan kekuatan, kalian dapat mengusir kaum perusak itu dari desa dan menyelamatkan keluarga kalian."
Tak seorang pun ragu-ragu. Perempuan dan anak-anak pun mendapat senjata dan ikut serta.
Kerusakan yang menimpa desa tidak seluas yang mereka takutkan, karena kediaman mereka terpisah satu sama lain. Tetapi ternak yang ketakutan menimbulkan keributan baru, dan ada seorang bayi yang menangis keras. Letusan-letusan keras terdengar dari tepi jalan. Di situ api menjalar ke sebuah rumpun bambu yang masih hijau.
Bandit-bandit tidak kelihatan di mana pun.
"Di mana mereka?" tanya Musashi. "Rasanya aku mencium bau sake. Di mana ada banyak sake terkumpul?"
Orang desa demikian sibuk melihat api, hingga tak seorang pun mencium bau itu, tapi seorang dari mereka berkata, "Tentunya di rumah kepala Dia punya bertong-tong sake."
"Kalau begitu, kita cari mereka di sana," kata Musashi.
Sementara mereka maju, lebih banyak lagi orang keluar dari persembunyian dan menyatukan diri dengan barisan mereka. Musashi puas melihat berkembangnya semangat kesatuan.
"Nah, di sana," kata satu orang sambil menuding sebuah rumah besar yang dikelilingi tembok tanah.
Sementara para petani menyusun diri, Musashi memanjat tembok dan memasuki benteng bandit-bandit itu. Pemimpinnya dan wakil-wakil terpentingnya menyembunyikan diri dalam kamar berlantai tanah. Mereka sedang meneguk sake dan memperhatikan gadis-gadis muda yang mereka tawan.
"Jangan bingung!" teriak sang pemimpin marah, dengan dialek gunung yang kasar. "Dia cuma satu orang. Tak perlu aku sendiri yang turun tangan. Kalian semua hadapi dia." Ia sedang memarahi seorang bawahan yang berlari masuk membawa berita kekalahan di luar desa itu.
Ketika pemimpin mereka terdiam, yang lain-lain mulai mendengar ributnya suara marah di luar tembok, dan mulailah mereka bergerak gelisah. Sambil menjatuhkan daging ayam yang baru setengah dimakan dan mangkuk-mangkuk sake, mereka bangkit berdiri dan secara naluriah menjangkau senjata. Kemudian mereka berdiri, menatap pintu masuk ke kamar itu.
Musashi menggunakan lembingnya sebagai galah, melompat lewat jendela samping yang tinggi, dan mendarat langsung di belakang si pemimpin. Orang itu memutar badan, tapi seketika itu juga ia sudah tertembus lembing. Dengan memperdengarkan bunyi "A-w-r-g" mengerikan, ia mencekal lembing yang bersarang di dadanya dengan kedua tangan. Dengan tenang Musashi melepaskan lembing itu, dan rebahlah orang itu ke tanah, sementara mata lembing dan gagangnya mencuat dari punggungnya.
Orang kedua yang menyerang Musashi terampas pedangnya. Musashi membelah tubuhnya, kemudian menebaskan pedang itu ke kepala orang ketiga, dan menusukkannya ke dada orang keempat. Yang lain-lain lari tunggang-langgang ke pintu. Musashi melemparkan pedang itu ke arah mereka, dan sebagai kelanjutan gerak itu, ia mencabut lembing dari tubuh si pemimpin.
"Jangan bergerak!" teriaknya. Ia menyerang dengan lembing yang dipegang mendatar, dan memisahkan para bandit itu menjadi dua, seperti air ditempa galah. Ini memberikan kepadanya cukup ruang untuk secara efektif menggunakan senjata panjang itu. Sekarang lembing diayunkannya dengan penuh kecekatan, untuk mencoba daya lenting gagangnya yang terbuat dari kayu ek hitam itu. Ia memukul ke samping, menebas ke bawah, dan menusuk tanpa kenal ampun ke depan.
Bandit-bandit yang mencoba keluar dari gerbang terhalang jalannya oleh orang-orang desa yang bersenjata. Beberapa orang memanjat dinding. Waktu mereka turun ke tanah, kebanyakan langsung dibunuh di tempat. Dari beberapa orang yang selamat meloloskan diri, hampir seluruhnya mendapat luka yang membikin cacat.
Untuk sesaat udara penuh pekik kemenangan orang-orang muda maupun tua, lelaki maupun perempuan. Ketika gejolak kemenangan yang pertama itu mereda, suami-istri, orang tua, dan anak-anak pun saling mendekap dan mengucurkan air mata kegembiraan.
Di tengah adegan gembira luar biasa, seseorang bertanya, "Bagaimana kalau mereka datang lagi?"
Tiba-tiba suasana jadi diam penuh pertanyaan.
"Mereka takkan kembali," kata Musashi tegas. "Takkan kembali ke desa ini. Tapi jangan terlampau yakin. Urusan kalian menggunakan bajak, bukan pedang. Kalau kalian terlalu bangga dengan kemampuan tempur kalian, hukuman yang akan dijatuhkan dari langit kepada kalian akan lebih buruk daripada gempuran setan-setan gunung mana pun."
"Sudah kalian ketahui apa yang terjadi?" tanya Nagaoka Sado pada kedua samurai itu, ketika mereka kembali ke Kuil Tokuganji. Di kejauhan, di sebelah sana ladang dan paya, ia dapat melihat cahaya api di desa itu semakin surut.
"Semuanya sudah tenang sekarang."
"Apa kalian usir bandit-bandit itu? Berapa banyak kerusakan yang ditimbulkan pada desa?"
"Orang-orang desa sudah membunuh semuanya, kecuali beberapa orang sebelum kami sampai di sana. Yang lain-lain lari."
"Aneh." Ia tampak tekejut, karena jika hal itu benar, ada gagasan yang hendak dilaksanakannya mengenai cara memerintah di daerah tuannya sendiri.
Sewaktu meninggalkan kuil hari berikutnya, ia mengarahkan kudanya ke desa itu. Katanya, "Sebetulnya ini di luar jalur, tapi mari kita lihat."
Seorang pendeta ikut serta untuk menunjukkan jalan. Selagi berjalan. Sado berkata, "Tubuh-tubuh sepanjang tepi jalan itu kelihatannya seperti bukan para petani yang memotong," dan ia minta lebih banyak perincian kepada samurainya.
Penduduk desa tidak jadi tidur, melainkan kerja keras mengubur mayat dan membersihkan reruntuhan kebakaran besar itu. Tapi ketika melihat Sado dan kedua samurai itu, mereka lari ke dalam rumah dan menyembunyikan diri.
"Bawa seorang dari orang-orang desa itu kemari, dan mari kita coba mengetahui apa yang terjadi," katanya kepada si pendeta.
Orang yang datang bersama si pendeta memberikan uraian cukup terperinci tentang peristiwa yang terjadi malam itu.
"Sekarang mulai dapat diterima akal," kata Sado mengangguk. "Siapa nama ronin itu?"
Petani yang tak pernah mendengar nama Musashi itu menelengkan kepala. Ketika Sado mendesak bertanya, si pendeta berkeliling beberapa waktu lamanya, dan kembali dengan membawa keterangan yang dibutuhkan.
"Miyamoto Musashi?" tanya Sado sambil merenung. "Apa dia yang dikatakan guru oleh anak lelaki itu?"
"Betul. Dari caranya mencoba menggarap petak tanah gurun di Hotengahara, penduduk desa menduga dia agak sinting."
"Aku ingin ketemu dia," kata Sado, tapi kemudian teringat olehnya pekerjaan yang menantinya di Edo. "Tapi tak apalah, lain kali saja aku bicara dengannya, kalau aku kemari lagi." Ia memutar kudanya dan meninggalkan petani itu berdiri di tepi jalan.
Beberapa menit kemudian, ia berhenti di depan gerbang kepala desa. Di situ tergantung sebuah papan yang masih baru, dengan tulisan tinta mengilap, Peringatan untuk Penduduk Desa: Bajakmu adalah Pedangmu. Pedangmu adalah Bajakmu. Selagi kerja di ladang, jangan lupa serbuan luar. Selagi memikirkan serbuan luar, jangan lupa ladangmu. Segala hal mesti berimbang dan terpadu. Yang paling penting, jangan melawan Jalan Pergantian Generasi.
"Hmm. Siapa yang menulis ini?"
Kepala desa akhirnya keluar, dan kini membungkuk ke tanah di depan Sado. "Musashi," jawabnya.
Sambil menoleh pada si pendeta, kata Sado, "Terima kasih Anda sudah membawa kami kemari. Sayang sekali saya tak dapat menjumpai Musashi, tapi sekarang memang tak ada waktu. Saya akan kembali tak lama lagi."
Tanam Pertama
PENGELOLAAN tempat semayam Hosokawa yang indah di Edo, demikian juga pelaksanaan kewajiban-kewajiban perdikan untuk shogun, dipercayakan pada seorang lelaki yang baru berumur dua puluh lebih sedikit—Tadatoshi, anak tertua daimyo Hosokawa Tadaoki. Sang ayah, seorang jenderal ternama yang juga mempunyai nama baik sebagai penyair dan ahli upacara teh, lebih suka tinggal di perdikan Kokura yang besar di Provinsi Buzen, Pulau Kyushu.
Sekalipun Nagaoka Sado dan sejumlah abdi terpercaya lain ditugaskan membantu orang muda itu, tidak berarti bahwa pemuda itu tidak mampu. Ia tidak hanya diterima sebagai teman oleh pengikut-pengikut kuat yang paling dekat dengan shogun, melainkan telah memantapkan diri sebagai pengelola yang berpandangan jauh dan penuh semangat. Sesungguhnya ia lebih cocok dengan suasana perdamaian dan kemakmuran dibandingkan dengan generasi yang lebih tua, yang terdidik dalam peperangan berkepanjangan.
Waktu itu Sado sedang berjalan menuju lapangan kuda. "Apa kau sudah melihat Tuan Muda?" tanyanya pada samurai magang yang datang menghampirinya.
"Saya kira beliau ada di tempat latihan panahan."
Sementara Sado menyusuri jalan setapak yang sempit itu, ia dengar suara bertanya, "Boleh saya bicara dengan Anda?"
Sado berhenti, dan muncullah di hadapannya Iwama Kakubei, seorang pengikut yang disegani orang karena kelihaian dan kepraktisannya. "Apa anda akan bicara dengan Yang Dipertuan?" tanyanya.
"Ya."
"Kalau Anda tidak terburu-buru, ada soal kecil yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Bagaimana kalau kita duduk di sana?" Sementara mereka melewati beberapa anak tangga yang menuju sebuah beranda sederhana. Kakubei berkata, "Saya ingin minta pertolongan, kalau Anda ada kesempatan selagi berbicara dengan beliau. Ada satu orang yang ingin saya usulkan kepada Tuan Muda."
"Orang yang ingin mengabdi pada Keluarga Hosokawa?"
"Ya. Saya tahu, macam-macam orang datang pada Anda mengajukan permohonan seperti itu, tapi orang ini lain dari yang lain."
"Apa dia hanya tertarik pada soal keamanan dan penghasilan?"
"Sama sekali tidak. Dia ada hubungan keluarga dengan istri saya. Dia tinggal dengan kami sejak datang dari Iwakuni beberapa tahun lalu, karena itu saya kenal dia benar."
"Iwakuni? Keluarga Kikkawa menguasai Provinsi Suo sebelum Pertempuran Sekigahara. Apa dia salah seorang ronin mereka?"
"Bukan. Dia anak seorang samurai desa. Namanya Sasaki Kojiro. Dia masih muda, tapi terlatih dalam Gaya Tomita dari Kanemaki Jisai, dan dia mempelajari teknik menarik pedang dengan kecepatan kilat dari Yang Dipertuan Katayama Hisayasu dari Hoki. Dia bahkan sudah menciptakan gayanya sendiri, yang disebutnya Ganryu." Kakubei berbicara terus, menguraikan secara terperinci berbagai perbuatan luar biasa dan prestasi Kojiro.
Sado tidak benar-benar mendengarkan. Pikirannya kembali pada kunjungannya yang terakhir ke Tokuganji. Sekalipun hanya sedikit yang ia saksikan dan ia dengar, ia merasa yakin bahwa Musashi adalah orang yang tepat untuk Keluarga Hosokawa, namun ia bermaksud menjumpainya dulu secara langsung sebelum mengajukannya kepada tuannya. Sementara itu satu setengah tahun sudah berlalu, dan ia belum juga memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Hotengahara.
Ketika Kakubei selesai bicara, Sado berkata, "Akan saya lakukan apa yang saya bisa," dan meneruskan perjalanan ke tempat latihan panahan.
Tadatoshi sedang sibuk bertanding dengan beberapa pengikut yang seumur dengannya, tapi tak seorang pun dari mereka merupakan tandingan berat baginya. Tembakan-tembakannya tepat mengenai sasaran, dan dilaksanakan dengan gaya yang mulus. Sejumlah abdi menyinggungnya karena sedemikian sungguh-sungguh ia menggeluti panahan. Menurut mereka, pada abad senapan dan lembing sekarang, pedang maupun busur tidak lagi banyak manfaatnya dalam pertarungan yang sebenar-benarnya. Atas pendapat ini, ia hanya menjawab samar-samar, "Anak panah saya ini tertuju pada jiwa."
Abdi-abdi Hosokawa sangat menghormati Tadatoshi, dan mau kiranya bekerja di bawah pemuda ini dengan penuh semangat, sekalipun seandainya ayahnya yang mereka junjung bukanlah orang yang menonjol prestasinya. Pada waktu ini, Sado menyesali janji yang baru saja ia berikan pada Kakubei. Tadatoshi bukan orang yang dapat dengan mudah diusuli calon-calon abdi.
Sambil menghapus keringat dari wajahnya, Tadatoshi berjalan melewati beberapa samurai muda, dengan siapa ia bercakap-cakap dan tertawa. Melihat Sado, ia berseru, "Bagaimana kalau mencoba satu kali, orang tua?"
"Kebiasaan saya, saya hanya bertanding melawan orang-orang dewasa," jawab Sado.
"Jadi, Anda masih mengira kami ini anak-anak kecil, biarpun kami sudah bergelung?"
"Apa Anda sudah lupa Pertempuran Yamazaki? Dan Benteng Nirayama: Saya mendapat pujian karena prestasi saya di medan perang, lho! Disamping itu, yang saya ikuti adalah panahan sejati, bukan..."
"Ha, ha. Maaf saya sudah menyebut hal itu. Tak ada maksud saya supaya Anda memulai soal itu lagi." Yang lain-lain ikut tertawa. Tadatoshi mengeluarkan tangan dari lengan kimononya, dan berubah serius, tanyanya. "Anda datang untuk membicarakan sesuatu?"
Sesudah membicarakan sejumlah soal rutin, akhirnya Sado berkata. "Kakubei mengatakan dia punya samurai yang akan diusulkan pada Anda.
Untuk sesaat mata Tadatoshi memandang jauh. "Saya kira yang dibicarakannya itu Sasaki Kojiro. Sudah beberapa kali nama itu disebutkan."
"Kenapa tidak Anda panggil orang itu dan Anda lihat?"
"Apa dia benar-benar hebat?"
"Apa Anda tak hendak melihat sendiri?"
Tadatoshi mengenakan sarung tangan dan menerima sebatang anak panah dari seorang pembantu. "Akan saya lihat orang Kakubei itu," katanya. "Tapi saya ingin juga melihat ronin yang Anda sebutkan itu, Miyamoto Musashi.
"Ya."
"Oh, jadi Anda masih ingat?"
"Masih. Anda yang rupanya sudah lupa."
"Sama sekali tidak. Tapi karena begini sibuk, tak ada kesempatan saya untuk pergi ke Shimosa."
"Oh, kalau menurut pendapat Anda, Anda sudah menemukan orang yang tepat, Anda mesti meluangkan waktu. Saya heran, Sado, bahwa Anda menunda soal yang begitu penting, sampai ada soal lain yang mengharuskan Anda ke sana. Anda tidak seperti biasanya."
"Maaf. Terlalu banyak orang yang mencari kedudukan. Saya pikir Anda sudah melupakannya. Dan saya kira saya mesti mengemukakannya lagi."
"Memang Anda mesti mengemukakannya lagi. Tak mesti saya menerima usulan orang lain, tapi saya ingin melihat, siapa saja yang menurut Bapak Tua Sado cocok. Mengerti?"
Sado meminta maaf lagi sebelum meninggalkan tempat itu. Ia langsung pulang ke rumahnya sendiri, dan tanpa macam-macam lagi memerintahkan orang memasang pelana kudanya, lalu berangkatlah ia ke Hotengahara.
"Apa ini bukan Hotengahara?"
Sato Genzo, pembantu Sado, menjawab, "Saya kira memang begitu. Ini bukan tempat liar. Di mana-mana ada sawah sekarang. Tempat yang dulu hendak mereka kembangkan itu tentunya lebih dekat pegunungan.
Mereka sudah jauh melewati Tokuganji, dan segera akan sampai jalan raya ke Hitachi. Waktu itu sudah larut sore. Bangau-bangau putih yang berkecipak di tengah sawah menyebabkan air kelihatan seperti tepung. Sepanjang tepi sungai, dan dalam bayangan bukit-bukit kecil, tumbuh berpetak-petak rami dan gandum yang mengombak.
"Lihat ke sana itu, Pak," kata Genzo.
"Ada apa?"
"Rombongan petani."
"Betul juga. Kelihatannya mereka membungkuk satu per satu ke tanah, ya?"
"Kelihatannya seperti upacara agama."
Genzo menyentakkan kendalinya, dan menyeberangi sungai lebih dulu untuk meyakinkan bahwa Sado dapat mengikuti dengan aman.
"Hei, yang ada di sana itu!" seru Genzo.
Petani-petani itu tampak terkejut, kemudian membubarkan diri dari lingkaran dan menghadapi para tamu. Mereka berdiri di depan sebuah pondok kecil, dan Sado melihat bahwa barang yang disembah sebelum itu adalah sebuah tempat suci kecil dari kayu, tak lebih besar dari sangkar burung. Seluruhnya terdapat sekitar lima puluh orang. Rupanya mereka dalam perjalanan pulang kerja, karena semua peralatan sudah mereka cuci.
Seorang pendeta maju ke depan, katanya, "Oh, kalau tak salah, Pak Nagaoka Sado. Sungguh kejutan yang menyenangkan!"
"Dan Anda dari Tokuganji, ya? Saya yakin Anda yang dulu mengantar saya ke desa itu, sesudah serbuan bandit-bandit."
"Betul, apa Bapak datang berkunjung ke kuil?"
"Kali ini tidak. Saya akan langsung kembali. Apa boleh saya bertanya, di mana saya dapat bertemu dengan ronin yang namanya Miyamoto Musashi itu?"
"Dia tak lagi di sini. Dan dia pergi mendadak sekali."
"Pergi mendadak sekali? Kenapa begitu?"
"Suatu hari, bulan lalu, penduduk desa memutuskan untuk berlibur dan merayakan kemajuan yang sudah dicapai di sini. Bapak dapat melihat sendiri, betapa hijaunya sekarang daerah ini. Nah, pagi harinya, Musashi dan anak yang bernama Iori itu lenyap." Pendeta itu menoleh sekeliling, seakan-akan setengah berharap Musashi akan muncul dari langit.
Atas desakan keras dari Sado, pendeta itu bercerita sampai sekecil-kecilnya. Sesudah desa itu memperkuat pertahanannya di bawah pimpinan Musashi, para petani begitu bersyukur ada harapan akan hidup damai, hingga mereka praktis mendewakannya. Bahkan orang-orang yang pernah paling kejam mengejek-ejeknya, datang membantu proyek pembangunan.
Musashi memperlakukan mereka semua dengan adil dan sama rata, pertama-tama dengan meyakinkan mereka bahwa tidak ada gunanya hidup seperti binatang. Kemudian ia mencoba meyakinkan mereka, betapa pentingnya mengerahkan usaha lebih banyak lagi, supaya anak-anak mereka berkesempatan hidup lebih baik. Ia katakan pada mereka, untuk menjadi manusia sejati, mereka harus bekerja demi keturunan mereka.
Dengan empat puluh atau lima puluh orang desa yang setiap hari menyingsingkan lengan baju, di musim gugur mereka berhasil mengendalikan banjir. Datang musim dingin, mereka membajak. Pada musim semi, mereka menimba air dari parit-parit pengairan yang baru, dan menanam benih padi. Awal musim panas, padi tumbuh pesat, sedang di ladang kering, rami dan gandum sudah setinggi satu kaki. Tahun mendatang, panen akan berlipat dua, dan tahun sesudah itu tiga kali lipat.
Orang-orang desa mulai mampir ke pondok Musashi untuk menyatakan hormat dan berterima kasih secara tulus. Kaum perempuan juga datang membawa sayur-sayuran. Pada hari perayaan itu, orang-orang lelaki datang membawa guci-guci besar berisi sake, dan semua ambil bagian dalam tarian suci dengan iringan genderang dan suling.
Ketika penduduk desa berkumpul di sekitarnya, Musashi meyakinkan mereka bahwa yang berjasa bukanlah kekuatannya, tapi kekuatan mereka. "Yang saya lakukan cuma menunjukkan pada kalian, bagaimana menggunakan tenaga yang kalian punyai."
Kemudian ia ajak pendeta ke sini dan ia katakan, sesungguhnya ia prihatin melihat orang-orang desa itu mengandalkan diri pada seorang pengembara seperti dia. "Tanpa saya," katanya, "mereka mesti memiliki keyakinan pada diri sendiri dan menjaga kesetiakawanan." Ia kemudian mengeluarkan patung Kannon yang telah ia pahat sendiri, dan memberikannya kepada pendeta.
Pagi hari sesudah perayaan itu, desa heboh.
"Dia hilang!"
"Tak mungkin!"
"Ya, dia lenyap. Pondok itu kosong."
Karena sangat sedih, tak seorang pun dari para petani pergi ke ladang hari itu. Mendengar itu, pendeta mencela mereka dengan tajam karena sikap mereka yang tak kenal terima kasih. Ia mendesak mereka untuk ingat akan apa yang telah diajarkan kepada mereka, dan secara halus membujuk mereka untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dimulai.
Kemudian penduduk desa membangun tempat suci kecil dan meletakkan patung Kannon yang mereka hargai itu di dalamnya. Mereka menyatakan hormat kepada Musashi, pagi dan petang, dalam perjalanan pulang-pergi ke sawah.
Sado mengucapkan terima kasih kepada pendeta atas penjelasan itu, tapi menyembunyikan kenyataan bahwa ia sendiri merasa sedih sesedih-sedihnya.
Ketika kudanya membawanya kembali menempuh kabut petang akhir musim semi, terpikir olehnya dengan perasaan tak enak, "Mestinya aku tidak menangguhkan kedatanganku. Aku lalai dalam menjalankan tugas. dan sekarang aku gagal memenuhi permintaan tuanku."
Lalat-Lalat
DI pinggir timur Sungai Sumida, di mana jalan dari Shimosa bertemu dengan cabang jalan raya Oshu, berdiri pintu rintangan besar dengan gerbang yang mengesankan. Suatu bukti nyata kokohnya kekuasaan Aoyama Tadanari, hakim baru Edo.
Musashi ikut antre, dan menganggur menanti giliran. Iori di sampingnya. Ketika ia melewati Edo tiga tahun yang lalu, memasuki atau meninggalkan kota itu mudah sekali. Dari jarak sejauh ini, ia dapat melihat bahwa di kota itu terdapat jauh lebih banyak rumah daripada sebelumnya, sebaliknya lebih sedikit tempat-tempat terbuka.
"Hei, ronin. Giliranmu."
Dua pejabat yang mengenakan hakama kulit mulai menggeledah Musashi dengan penuh ketelitian, sedang pejabat ketiga menatapnya dan mengajukan pertanyaan.
"Apa urusan Anda di ibu kota?"
"Tak ada yang khusus."
"Tak ada urusan khusus, ya?"
"Ya, saya seorang shugyosha. Saya kira, dapat dikatakan urusan saya adalah belajar menjadi samurai."
Orang itu terdiam. Musashi menyeringai. "Di mana Anda dilahirkan?"
"Di desa Miyamoto, daerah Yoshino, Provinsi Mimasaka."
"Majikan Anda?"
"Tak punya."
"Siapa yang menyediakan uang perjalanan Anda?"
"Tidak ada. Saya mengukir patung dan membuat lukisan. Kadang-kadang saya menukarkannya dengan makanan dan penginapan. Sering kali saya tinggal di kuil. Sekali-sekali saya memberi pelajaran main pedang. Dengan berbagai cara, saya dapat hidup."
"Anda datang dari mana?"
"Dua tahun terakhir, saya bertani di Hotengahara, Shimosa. Tapi sudah saya putuskan bahwa saya takkan melakukannya selama hidup, karena itu saya datang kemari."
"Anda punya tempat kediaman di Edo? Tak seorang pun boleh masuk kota, kalau tidak punya sanak keluarga atau tempat tinggal."
"Punya," jawab Musashi seketika itu juga. Ia mengira, jika ia mengemukakan keadaan sebenarnya, percakapan itu takkan ada akhirnya. "Siapa?"
"Yagyu Munenori, Yang Dipertuan dari Tajima." Mulut pejabat itu ternganga.
Musashi merasa bersyukur melihat reaksi orang itu. Bahaya tertangkap karena berbohong tidak begitu menggelisahkannya. Ia merasa bahwa Keluarga Yagyu pasti sudah mendengar tentang dirinya dari Takuan. Rasanya kurang kemungkinannya mereka merasa tak kenal dengannya, jika ditanya. Bahkan ada kemungkinan sekarang ini Takuan ada di Edo. Kalau demikian halnya, Musashi akan mendapat jalan untuk memperkenalkan diri. Memang sudah terlambat untuk melakukan pertarungan dengan Sekishusai, tapi ia ingin sekali bertarung dengan Munenori, pengganti ayahnya dalam Gaya Yagyu dan juga guru pribadi shogun.
Nama yang disebutnya itu seperti mendatangkan keajaiban. "Ya, ya," kata pejabat itu bersahabat. "Kalau Anda punya hubungan dengan Keluarga Yagyu, saya minta maaf telah mengganggu Anda. Seperti tentunya Anda ketahui, di jalan ini ada segala macam samurai. Kami mesti sangat hati-hati terhadap orang yang kelihatannya seorang ronin. Anda tahu sendiri, itu perintahnya." Sesudah beberapa pertanyaan formal lagi, katanya, "Anda boleh jalan sekarang." Ia sendiri mengawal Musashi ke gerbang.
"Pak," tanya Ion ketika mereka sudah berada di sisi kota, "kenapa mereka begitu hati-hati menghadapi ronin, bukan yang lain?"
"Mereka berhati-hati terhadap mata-mata musuh."
"Siapa mata-mata tolol yang begitu bodohnya mau datang ke sini sebagai ronin? Pejabat-pejabat itu tolol benar, pertanyaan-pertanyaan mereka juga! Mereka bikin kita ketinggalan kapal sekarang."
"Sst! Mereka bisa mendengarmu. Jangan kuatir soal kapal tambang itu. Kita bisa mengagumi Gunung Fuji, sementara menanti kapal berikut. Apa kau tahu bahwa kita bisa melihatnya dari sini?"
"Lalu kenapa? Kita dapat juga melihatnya dari Hotengahara."
"Betul, tapi dari sini lain."
"Lain bagaimana?"
"Fuji tak pernah sama. Dia tampak berlainan tiap hari, tiap jam."
"Buat saya sama saja."
"Tidak bisa. Dia berubah-ubah, tergantung waktu, cuaca, musim, tempat dari mana kau melihatnya. Dan dia berlainan juga, tergantung orang yang memandangnya, tergantung hatinya."
Iori tidak terkesan oleh ucapan itu. Ia memungut batu pipih dan meluncurkannya di permukaan air. Sesudah beberapa menit lamanya menghibur diri dengan cara itu, ia kembali mendapatkan Musashi dan tanyanyal "Apa kita betul-betul akan pergi ke rumah Yang Dipertuan Yagyu?"
"Mesti kupikirkan dulu hal itu."
"Tapi Bapak mengatakan begitu pada pengawal, kan?"
"Ya. Aku bermaksud pergi ke sana, tapi soal itu tidak begitu mudah. Dia seorang daimyo."
"Mestinya dia itu penting sekali, ya? Saya ingin jadi orang penting macam itu, kalau sudah besar."
"Penting?"
"Ya."
"Mestinya kau memasang cita-cita yang lebih tinggi dari itu."
"Maksud Bapak?"
"Lihat Gunung Fuji itu."
"Saya takkan seperti Gunung Fuji."
"Daripada kau ingin ini atau itu, lebih baik jadikan dirimu raksasa yang diam tak bergerak-gerak. Seperti gunung. Jangan buang waktu buat mencoba memesona orang. Kalau kau bisa menjadi orang yang pantas dihormati orang banyak, mereka akan menghormatimu, biarpun kau tidak melakukan sesuatu."
Kata-kata Musashi itu tak sempat mengendap, karena justru waktu itu Iori berseru, "Lihat, kapal datang," dan ia berlari mendahului naik kapal.
Sungai Sumida penuh dengan kontras, di sana-sini lebar, di tempat-tempat lain sempit, di sini dangkal, dan di sana dalam. Pada waktu banjir, ombak yang membasahi tepi-tepinya berwarna lumpur. Kadang-kadang muaranya membengkak menjadi dua kali lebarnya yang biasa. Lokasi penyeberangan kapal tambang itu sebetulnya merupakan ceruk di dalam teluk.
Langit terang, air jernih. Ketika menoleh ke samping, Ion melihat kelompok-kelompok ikan kecil yang tak terhitung jumlahnya berlomba ke sana kemari. Di antara bebatuan ia melihat juga sisa-sisa sebuah topi baja tua yang sudah berkarat. Sama sekali tidak ia dengarkan percakapan orang di sekitarnya.
"Bagaimana pendapatmu? Apakah akan tetap damai seperti sekarang?"
"Aku sangsi."
"Barangkali kau benar. Cepat atau lambat akan terjadi pertempuran. Aku tidak mengharapkan, tapi apa lagi yang dapat terjadi?"
Para penumpang lain menyimpan saja pikiran mereka dan menatap air dengan wajah masam, karena takut seorang pejabat yang mungkin menyamar akan mendengar ucapan mereka, lalu menghubungkannya dengan para pembicara itu. Mereka yang bersedia menanggung risiko itu rupanya mendapat kenikmatan dari bermain api dengan mata dan telinga hukum yang ada di mana-mana.
"Kita dapat mengatakan dari cara mereka memeriksa tiap orang, bahwa kita menghadapi peperangan. Baru-baru ini saja mereka mengadakan pemeriksaan keras macam itu. Dan banyak kita dengar bisik-bisik tentang mata-mata di Osaka."
"Kita dengar juga tentang pencuri-pencuri yang masuk rumah-rumah daimyo itu, biarpun mereka mencoba menyembunyikannya. Tentunya memalukan sekali bahwa mereka dirampok, padahal mereka pelaksana hukum dan ketertiban."
"Kalau orang mau menempuh risiko macam itu, tentulah sasarannya bukan sekadar uang. Mereka itu tentunya mata-mata. Tak ada bajingan biasa yang berani berbuat begitu."
Ketika menoleh ke sekitar, baru Musashi tersadar bahwa kapal itu mengangkut berbagai golongan masyarakat Edo. Seorang penebang pohon dengan pakaian kerja berlumur serbuk gergaji, dua geisha murahan yang kemungkinan datang dari Kyoto, satu-dua bajingan berbahu lebar, sekelompok penggali sumur, dua pelacur yang terang-terangan bertingkah kenes, seorang pendeta, seorang biarawan pengemis, dan seorang ronin lain seperti dirinya.
Ketika kapal sampai di daerah Edo dan semua penumpang turun, seorang lelaki pendek gempal memanggil Musashi. "Hei, ronin! Ini milikmu ketinggalan." Ia mengulurkan sebuah kantung brokat kemerahan yang sudah demikian tua, hingga kotoran yang menempel di situ seolah bersinar lebih terang daripada benang emas yang masih tinggal.
Musashi menggelengkan kepala, katanya, "Bukan milik saya. Mestinya milik penumpang lain."
Tapi Iori menyahut, "Itu saya punya!" dan segera merampas kantung tersebut dari tangan orang itu, lalu memasukkannya ke dalam kimononya.
Orang itu menjadi marah. "Apa pula kau, menyerobot macam itu? Bawa sini! Dan kalau sudah, kau mesti membungkuk tiga kali, sebelum kau mendapatkan kantung itu kembali. Kalau tidak, kau mesti dilempar ke sungai."
Musashi mencampuri dengan meminta orang itu memaafkan kekasaran Iori, sebab anak itu masih muda.
"Lalu siapa kau ini?" tanya orang itu kasar. "Saudara? Atau majikan? Siapa namamu?"
"Miyamoto Musashi."
"Apa?" seru bajingan itu sambil menatap tajam wajah Musashi. Sebentar kemudian, ia berkata pada Iori, "Kau lebih balk hati-hati dari sekarang." Kemudian ia membalik, seakan mau melarikan diri.
"Sebentar," kata Musashi.
Kelembutan nada bicaranya membuat orang itu terkejut. Ia memutar badan, tangannya memegang pedang. "Apa maumu?"
"Siapa namamu?"
"Apa gunanya buatmu?"
"Kau tanya namaku. Untuk kesopanan, kau mesti menyebutkan namamu."
"Aku orang Hangawara. Namaku Juro."
"Baik. Kau boleh pergi," kata Musashi mendorongnya.
"Aku takkan lupa!" Juro terhuyung beberapa anak tangga, sebelum akhirnya berdiri tegak dan melarikan diri.
"Sudah setimpal buat pengecut itu," kata Iori. Puas karena sudah dibela, ia menengadah dengan sikap kagum ke wajah Musashi dan mendekatkan diri kepadanya.
Selagi mereka berjalan masuk kota, Musashi berkata, "Iori, kau mesti sadar, hidup di sini tidak seperti hidup di desa. Di sana tetangga kita cuma rubah dan bajing. Di sini banyak orang. Kau mesti lebih hati-hati dengan kelakuanmu."
"Ya, Pak."
"Kalau orang banyak hidup bersama dengan serasi, bumi ini bisa serasa surga," sambung Musashi sungguh-sungguh. "Tapi tiap orang memiliki segi baik dan buruknya. Ada masanya yang keluar cuma kejelekan itu. Lalu dunia bukan menjadi surga, tapi neraka. Kau mengerti kata-kataku ini?"
"Ya, saya pikir begitu," kata Iori, yang sekarang lebih tunduk.
"Ada sebabnya kenapa kita mempunyai tata krama dan sopan santun. Keduanya itu menjaga agar kita tidak mengutamakan kejelekan, dan memajukan ketertiban sosial. Inilah tujuan undang-undang pemerintah." Musashi berhenti. "Caramu bertindak tadi... itu memang soal kecil, tapi sikapmu itu bagaimanapun membuat orang marah. Aku sama sekali tak senang dengan itu."
"Baik, Pak."
"Aku belum tahu, ke mana kita pergi sekarang. Tapi di mana pun kita berada, lebih baik kau ikuti peraturan dan bertindak sopan."
Anak itu mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali dan membungkuk kaku sedikit. Mereka terus berjalan dalam diam.
"Apa Bapak bisa membawakan kantung uang saya ini? Saya tak mau kehilangan lagi."
Musashi menerima kantong brokat kecil itu, memeriksanya baik-baik, kemudian memasukkannya ke dalam kimononya. "Apa ini peninggalan ayahmu itu?"
"Ya, Pak. Saya menerimanya kembali dari Tokuganji awal tahun ini. Pendeta tidak mengurangi uang itu. Bapak bisa memakainya sebagian, kalau perlu."
"Terima kasih," kata Musashi ringan. "Akan kujaga uang itu."
"Dia punya bakat yang tidak kupunyai," renung Musashi, ingat dengan sesal hati akan sikap masa bodohnya terhadap keuangan pribadi. Kebijaksanaan anak itu mengajarkan kepadanya makna ekonomi. Ia menghargai kepercayaan anak itu, dan dari hari ke hari ia makin suka pada Iori. Ingin sekali ia melaksanakan tugas membantu anak ini mengembangkan kecerdasan alamiahnya.
"Di mana kau ingin menginap malam ini?" tanyanya.
Iori sudah memandang lingkungannya yang baru itu dengan penuh rasa ingin tahu, dan ujarnya, "Saya lihat banyak kuda di sana. Kelihatannya seperti pasar kota ini." Bicaranya seakan ia baru bertemu dengan teman yang lama hilang di negeri asing.
Mereka telah sampai di Bakurocho. Di sana terdapat berbagai-macam warung teh dan penginapan yang melayani orang-orang yang pekerjaannya berkaitan dengan kuda, penjual, pembeli, kusir gerobak, tukang kuda, macam-macam pelayan rendahan. Kelompok-kelompok kecil orang bertawarmenawar dan mengoceh dengan dialek campur aduk, tapi yang paling menonjol adalah bahasa Edo yang kedengaran tajam dan marah.
Di tengah rakyat jelata itu, tampak seorang samurai berpendidikan yang sedang mencari kuda yang baik. Dengan wajah tak puas, katanya, "Mari pulang. Tak ada yang lain di sini, kecuali kuda tua. Tak ada yang pantas diajukan pada Yang Dipertuan."
Dengan langkah besar-besar, orang itu berjalan di antara binatang-binatang itu, dan tiba-tiba saja sudah berhadap-hadapan dengan Musashi; ia mengedip, undur selangkah dengan keheranan, "Anda Miyamoto Musashi, kan?"
Musashi memandangnya sebentar, kemudian menyeringai. Orang itu adalah Kimura Sukekuro. Sekalipun kedua orang itu hampir beradu pedang di Benteng Koyagyu, sikap Sukekuro ramah-tamah. Kelihatan ia tidak menyimpan dendam akibat pertemuan sebelumnya.
"Betul-betul tak saya sangka dapat bertemu Anda di sini," katanya. "Apa sudah lama Anda di Edo?"
"Saya baru datang dari Shimosa," jawab Musashi. "Bagaimana dengan tuan Anda? Sehat?"
"Ya, terima kasih, tapi tentu saja, seumur Sekishusai itu... Saya tingggal dengan Yang Dipertuan Munenori. Anda mesti datang berkunjung. Dengan senang saya akan memperkenalkan Anda. Dan, ada hal lain lagi." Ia melontarkan pandang penuh arti, dan tersenyum. "Kami menyimpan harta cantik milik Anda. Anda harus datang selekasnya."
Sebelum Musashi dapat bertanya, apa yang dimaksud dengan "harta cantik" itu, Sukekuro sudah membungkuk sedikit dan cepat-cepat pergi, diikuti oleh pembantunya.
Tamu-tamu yang tinggal di penginapan-penginapan murah di Bakurocho kebanyakan adalah pedagang kuda dari provinsi-provinsi lain. Musashi memutuskan mengambil kamar di sana, dan bukan di bagian lain kota itu, yang tarifnya kemungkinan besar lebih tinggi. Seperti penginapan-penginapan lain, penginapan yang dipilihnya itu memiliki sebuah kandang besar, begitu besar, hingga kamar-kamar di situ lebih kelihatan sebagai tambahan saja. Namun sesudah kerja keras di Hotengahara, penginapan kelas tiga ini masih terasa mewah juga olehnya.
Tapi, walaupun merasa sejahtera di penginapan itu, Musashi melihat bahwa lalat-lalat yang ada di situ sangat mengganggunya, dan ia mulai mengomel.
Pemilik penginapan mendengarnya mengomel. "Akan saya tukar kamar Anda," katanya menawarkan. "Di tingkat dua, lalat tidak begitu banyak."
Tapi begitu pindah, Musashi merasa matahari barat langsung menyorot kepadanya, dan ia ingin mengomel lagi. Beberapa hari sebelum itu, matahari sore masih merupakan sumber kegembiraan, cahaya terang harapan yang menganugerahkan kehangatan kepada padi dan menandakan akan datangnya cuaca baik keesokan harinya. Soal lalat, apabila keringatnya menarik mereka selagi bekerja di ladang, ia hanya menganggap mereka sedang melaksanakan pekerjaan, sama seperti dirinya. Ia bahkan menganggap lalat-lalat itu sebagai kawan sesama makhluk. Kini, sesudah menyeberangi sungai lebar dan menerjunkan diri dalam kancah simpang-siur kota, ia merasakan panas matahari itu sebagai hal yang tidak menyenangkan, dan lalat-lalat sebagai hal yang menjengkelkan.
Nafsu makan menyebabkannya lupa akan hal-hal yang tak mengenakkan. Ia memandang Iori, dan ia pun melihat gejala-gejala kelesuan dan kerakusan yang sama pada wajah anak itu. Tak begitu mengherankan, karena rombongan di kamar sebelah telah memesan satu kuali besar makanan yang masih mengepul, dan sekarang mereka sedang melahapnya dengan rakus sekali, diiringi percakapan, tawa, dan minuman.
Mi soba, itulah yang ia inginkan! Di desa, kalau orang menginginkan soba, ia mesti menanamnya dahulu di awal musim semi, mengamat-amatinya sewaktu berkembang pada musim panas, mengeringkan bijinya pada musim gugur, dan menumbuk tepungnya pada musim dingin. Baru ia dapat membuat soba Mi. Tapi di sini, orang tinggal menepukkan tangan, dan makanan terhidang.
"Iori, bagaimana kalau kita memesan soba?"
"Baik," terdengar jawaban penuh minat.
Pemilik penginapan datang dan mengambil pesanan mereka. Sambil menunggu, Musashi menopangkan sikunya ke ambang jendela dan meneduhi matanya. Di sudut seberang jalan ada papan bertulisan: Di sini jiwa digosok. Zushino Kosuke, Ahli Gaya Hon'ami.
Iori melihatnya juga. Sesaat ia memperhatikan dengan bingung. Katanya, "Papan itu mengatakan 'Jiwa digosok'. Usaha apa itu?"
"Nah, di situ disebutkan juga orang itu bekerja dengan Gaya Hon'ami, jadi kukira dia tukang gosok pedang. Rasanya perlu juga aku minta pedangku digosok."
Soba itu lambat datangnya, karenanya Musashi membaringkan badan di tatami untuk tidur. Tetapi suara-suara di kamar sebelah meningkat dan berubah menjadi pertengkaran. "Iori," katanya sambil membuka sebelah matanya, "coba suruh orang-orang sebelah itu sedikit tenang."
Hanya shoji yang memisahkan kedua kamar itu, tapi Iori bukannya membuka shoji, melainkan pergi ke lorong. Pintu menuju kamar lain itu terbuka. "Jangan ribut-ribut!" teriaknya. "Guru saya mau tidur."
"Ha?" Percekcokan tiba-tiba berhenti. Orang-orang itu menoleh dan menatapnya dengan marah.
"Kau omong apa, anak cebol?"
Sambil cemberut karena mendapat sebutan itu, Iori berkata, "Kami pindah ke atas karena di bawah banyak lalat. Sekarang kalian teriak-teriak, sampai dia tak bisa istirahat!"
"Kau ini jalan sendiri apa disuruh tuanmu?"
"Disuruh."
"Begitu, ya. Tapi buat apa aku membuang-buang waktu bicara dengan bajingan kecil macam kau? Bilang sama tuanmu sana, Kumagoro dari Chichibu akan kasih jawaban nanti. Pergi sana!"
Kumagoro adalah orang yang kasar luar biasa, sedangkan dua-tiga orang lainnya lebih kecil darinya. Karena takut ancaman yang tercermin pada mata mereka, Iori cepat mundur. Sementara itu, Musashi sudah jatuh tertidur. Karena tak hendak mengganggunya, Iori duduk di dekat jendela.
Tak lama kemudian, salah seorang pedagang kuda itu membuka celah dalam shoji dan mengintip Musashi. Terdengar tawa riuh, diiringi kata-kata keras mengejek.
"Dia pikir siapa dia itu, berani-berani mencampuri rombongan kita? Ronin goblok! Tak ketahuan pula dari mana datangnya. Datang saja nyelonong, dan lagaknya macam pemilik tempat ini."
"Terpaksa kita kasih pelajaran sama dia."
"Ya, mesti kita kasih pelajaran, biar dia tahu, siapa pedagang kuda dari Edo ini."
"Omongan saja tak bakal bikin jelas. Mari kita seret dia ke luar dan kita tuang seember kencing kuda ke mukanya."
Kumagoro angkat bicara. "Tunggu. Biar aku yang tangani. Aku mesti dapat permintaan maaf tertulis dari dia, atau kita basuh mukanya dengan kencing kuda. Nikmati sana sake-mu. Serahkan semua padaku."
"Oh, bagus," kata satu orang ketika Kumagoro mengencangkan obi sambil menyeringai yakin.
"Saya minta maaf," kata Kumagoro sambil membuka shoji. Tanpa berdiri lebih dulu, ia masuk kamar Musashi, sambil berlutut.
Soba yang terdiri atas enam porsi dalam kotak pernis akhirnya datang. Musashi sudah duduk, dan sedang menggunakan sumpit untuk porsi pertama.
"Lihat, mereka masuk," Iori berbisik, sambil bergerak sedikit menyingkir.
Kumagoro duduk di kiri belakang Iori, bersila, sikunya diletakkan di atas lutut. Sambil mencerca seru, katanya, "Kau bisa makan nanti. Jangan sembunyikan takutmu dengan duduk memainkan makanan."
Musashi menyeringai, tapi tidak memperlihatkan tanda-tanda sedang mendengarkan. Ia gerakkan soba dengan sumpitnya untuk memisah-misahkan untaian mi, kemudian ia angkat segumpal, dan ia lahap dengan bunyi sedotan meriah.
Nadi di dahi Kumagoro hampir menggelembung. "Turunkan mangkuk itu!" katanya marah.
"Dan siapa kau ini?" tanya Musashi ringan, tapi tak bergerak untuk menuruti permintaan orang itu.
"Kau tak tahu siapa aku? Orang di Bakurocho yang tak pernah dengar namaku cuma sampah dan orang-orang buta-tuli."
"Aku memang sedikit tuli. Bicaralah dan sebutkan siapa kau, dan dari mana."
"Aku Kumagoro dari Chichibu, pedagang kuda terbaik di Edo. Kalau anak-anak melihatku datang, mereka begitu takut, sampai tak bisa nangis."
"Oh, begitu. Jadi, kau berdagang kuda?"
"Tentu. Aku menjual kuda kepada para samurai. Lebih baik kauingat itu, kalau kau punya urusan denganku."
"Kalau begitu, aku punya urusan apa denganmu?"
"Kau menyuruh anak ini mengeluh soal suara kami. Kaupikir di mana kau itu? Ini bukan penginapan kesukaan daimyo, yang enak, tenang, dan semuanya itu. Kami, pedagang kuda, suka suara!"
"Aku mengerti."
"Kalau begitu, kenapa kaucoba bertengkar dengan rombongan kami? Aku menuntut permintaan maaf."
"Permintaan maaf?"
"Ya, tertulis! Kau bisa mengalamatkannya pada Kumagoro dan teman-teman. Kalau tidak kudapat permintaan maaf itu, akan kami keluarkan kau dan kami beri kau satu-dua pelajaran."
"Yang kaukatakan itu menarik juga."
"Huh!"
"Maksudku, caramu bicara itu menarik juga."
"Hentikan omong kosong itu! Kami akan dapat permintaan maaf atau tidak? Ha?" Suara Kumagoro sudah berubah dari geraman menjadi raungan, dan keringat di dahinya yang merah tua berkilat-kilat dalam matahari petang. Tampak ia sudah siap untuk meledak. Ia buka dadanya yang berbulu, dan ia keluarkan belati dari kantung depannya.
"Nah, putuskan! Kalau aku tidak segera mendengar jawabanmu, kau akan mendapat kesulitan besar." Ia lepaskan silangan kakinya dan ia pegang belati itu tegak lurus di samping kotak pernis, dengan ujung menyentuh lantai.
Terpaksa Musashi menahan rasa gembiranya, dan katanya, "Lalu bagaimana aku mesti menjawabnya?"
Ia turunkan mangkuk, lalu ia ulurkan sumpit, mengambil bintik hitam dari soba yang ada di dalam kotak, dan membuangnya ke luar jendela.
Sambil terus diam, ia ulurkan lagi sumpitnya dan ia ambil bintik hitam lain lagi, kemudian yang lain lagi.
Kumagoro terbelalak. Napasnya terhenti.
"Banyak sekali mereka ini, ya?" ujar Musashi asal saja. "Nah, Iori, sana cuci sumpit ini, yang bersih."
Ketika Iori keluar, Kumagoro diam-diam menghilang, kembali ke kamarnya sendiri, dan dengan suara tertekan ia menceritakan pada temantemannya pemandangan mustahil yang baru saja disaksikannya. Semula ia salah mengira bintik-bintik hitam dalam soba itu kotoran, tapi kemudian ia sadar bahwa bintik-bintik itu adalah lalat hidup. Lalat itu demikian cekatan ditangkap, hingga tak sempat lagi meloloskan diri. Dalam beberapa menit saja, ia dan teman-temannya pun memindahkan pesta kecil mereka ke kamar yang lebih terpisah, dan ketenangan pun bertakhta.
"Nah, lebih enak sekarang, kan?" kata Musashi kepada Iori. Keduanya saling menyeringai.
Begitu mereka selesai makan, matahari sudah terbenam dan bulan bersinar pudar di atas atap toko "penggosok jiwa".
Musashi berdiri dan meluruskan kimononya. "Kupikir ada baiknya kubawa pedangku ke sana," katanya.
Ia ambil senjata itu, tapi ketika ia hendak berangkat, pemilik penginapan sudah setengah jalan mendaki tangga yang menghitam itu, serunya, "Surat buat Tuan."
Heran karena orang begitu cepat mengetahui tempat ia berada, Musashi turun, menerima surat itu, tanyanya, "Apa pembawanya masih di sini?"
"Tidak. Dia langsung pergi."
Di sampul surat hanya tertulis kata Suke, yang menurut dugaan Musashi singkatan untuk Kimura Sukekuro. Ketika dibukanya, bunyinya, Saya sudah menyampaikan kepada Yang Dipertuan Munenori bahwa saya bertemu Anda pagi tadi. Rupanya beliau senang mendengar kabar tentang Anda, sesudah begitu lama tak ada kabar. Beliau memerintahkan saya menulis surat dan bertanya, kapan Anda dapat mengunjungi kami.
Musashi terus menuruni anak tangga selebihnya, dan pergi ke kantor untuk meminjam tinta dan kuas. Ia duduk di sudut, dan ia tulis di belakang surat Sukekuro, Dengan senang hati saya akan mengunjungi Yang Dipertuan Munenori, kapan saja beliau bersedia bertarung dengan saya. Sebagai prajurit, tak ada maksud lain pada saya untuk mengunjunginya. Ia tanda tangani surat itu dengan "Masana", nama resmi yang jarang dipergunakannya.
"Iori," panggilnya dari bawah tangga. "Kau mau aku suruh?"
"Baik, Pak."
"Sampaikan surat ini pada Yang Dipertuan Yagyu Munenori."
"Baik, Pak."
Pemilik penginapan mengatakan tiap orang tahu di mana Yang Dipertuan Munenori tinggal, tapi ia memberikan petunjuk juga. "Ikuti saja jalan utama itu, sampai kau bertemu jalan raya. Lalu ikuti jalan itu sampai Nihombashi. Lalu belok ke kiri, dan ikuti sungai sampai kau mencapai Kobikicho. Itulah tempatnya, tak salah lagi."
"Terima kasih," kata Iori yang sudah mengenakan sandal. "Saya yakin dapat menemukannya." Ia senang mendapat kesempatan pergi, terutama karena tujuannya adalah rumah seorang daimyo. Tanpa berpikir lagi, ia pun cepat berjalan sambil mengayunkan tangan dan menegakkan kepala dengan bangga.
Ketika Musashi melihatnya membelok, pikirnya, "Anak itu sedikit terlalu yakin akan dirinya."
Penggosok Jiwa
"SELAMAT malam," seru Musashi.
Dalam rumah Zushino Kosuke tak ada hal yang menunjukkan bahwa rumah itu rumah usaha. Di depan tak ada jeruji seperti terdapat di kebanyakan toko, dan tidak ada barang yang dipajang. Musashi berdiri di gang berlantai tanah yang menuju samping kiri rumah. Di sebelah kanannya terdapat bagian lantai yang ditinggikan, ditutup tatami, dan disekat dari kamar di sebelahnya.
Orang yang tidur di tatami, dengan tangan di atas peti besi, mirip dengan guru Tao yang pernah dilihat Musashi dalam sebuah lukisan. Wajah kurus panjang itu berwarna keabu-abuan, seperti warna tanah liat. Pada wajah itu, Musashi tidak melihat ketajaman otak yang menurutnya biasa dipunyai pandai pedang.
"Selamat malam," ulang Musashi, sedikit lebih keras.
Akhirnya suaranya menembus ketumpulan Kosuke, dan tukang itu mengangkat kepalanya pelan sekali, hingga seolah baru terbangun dari tidur berabad-abad lamanya.
Sambil menghapus ludah dari dagunya dan duduk tegak, tanyanya lesu. "Bisa saya tolong?" Kesan Musashi, orang macam itu bisa membuat pedang atau jiwa jadi lebih tumpul. Namun ia ulurkan juga senjatanya, dan ia jelaskan kenapa ia datang.
"Coba saya lihat." Bahu Kosuke menegak tangkas. Ia letakkan tangan kiri ke lutut, dan ia ulurkan tangan kanan untuk mengambil pedang, dan bersamaan dengan itu membungkukkan kepala ke arah pedang.
"Makhluk aneh," pikir Musashi. "Dia hampir tidak mengakui hadirnya seorang manusia, tapi membungkuk sopan pada pedang."
Sambil menggigit secarik kertas, Kosuke pelan-pelan menghunus pedang itu dari sarungnya. Ia dirikan pedang itu tegak lurus di depannya, dan ia periksa dari gagang sampai ujung. Matanya berkilau-kilau terang, mengingatkan Musashi pada mata kaca dalam patung Budha dari kayu.
Kosuke memasukkan kembali senjata itu ke dalam sarungnya dan memandang Musashi dengan nada bertanya. "Silakan duduk," katanya sambil mundur memberikan tempat, dan menawarkan bantalan pada Musashi. Musashi melepaskan sandal dan melangkah masuk kamar.
"Apa pedang ini sudah beberapa angkatan menjadi milik keluarga Anda?"
"Oh, tidak," kata Musashi. "Pedang ini bukan karya pandai pedang terkenal atau yang setarafnya."
"Anda sudah menggunakannya dalam pertempuran, atau Anda membawanya untuk tujuan biasa?"
"Saya belum menggunakannya dalam pertempuran. Tak ada yang khusus dengan pedang ini. Paling-paling yang dapat kita katakan tentangnya, lebih baik daripada tak ada sama sekali."
"Hm." Sambil memandang langsung mata Musashi, Kosuke bertanya, "Lalu mau digosok bagaimana pedang ini?"
"Mau digosok bagaimana? Maksud Anda?"
"Anda menghendaki ditajamkan, supaya dapat memotong dengan baik?"
"Namanya saja pedang. Makin bagus dapat memotong, makin baik."
"Saya kira memang begitu," kata Kosuke sependapat, disertai keluhan putus asa.
"Apa ada yang aneh? Urusan pandai pedang menajamkan pedang supaya dapat memotong dengan baik, kan?" Sambil bicara, Musashi menatap wajah Kosuke dengan sikap ingin tahu.
Orang yang menyatakan dirinya penggosok jiwa itu menampik senjata Musashi, dan katanya, "Tak ada yang bisa saya lakukan untuk Anda. Bawa pedang ini pada orang lain."
Aneh sekali orang ini, pikir Musashi. Tak bisa ia menyembunyikan kekesalannya, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Kosuke sendiri hanya mengatupkan bibirnya erat-erat, tak mau memberikan penjelasan. .
Selagi mereka masih duduk diam saling pandang, seorang lelaki dari sekitar tempat itu melongokkan kepala ke pintu. "Kosuke, apa kau punya joran? Ada banjir sekarang, dan ikan berlompat-lompatan. Kalau kaupinjami aku joran, kita bagi dua nanti hasilnya."
Kosuke jelas menganggap orang itu sebagai beban lain lagi yang tak mau ia tanggung. "Pinjam saja di tempat lain," jawabnya parau. "Aku tak percaya manfaat pembunuhan, dan aku tak punya alat pembunuh di rumahku."
Orang itu pun lekas pergi, sementara Kosuke tampak lebih uring-uringan daripada sebelumnya.
Orang lain barangkali sudah mundur dan pergi, tapi karena rasa ingin tahunya, Musashi tak juga pergi. Ada yang menarik pada orang ini, bukan akal atau kecerdasannya, tapi kebaikan alamiahnya yang masih asli, seperti kebaikan guci sake Karatsu atau cambung teh Nonko. Seperti halnya barang keramik yang biasanya mengandung cacat akibat kedekatan pada tanah, Kosuke pun memiliki sejenis luka pada pelipisnya yang setengah botak, yang ditutupnya dengan salep.
Musashi berusaha menyembunyikan rasa tertariknya yang semakin bertambah, katanya, "Kenapa Anda tak mau menggosok pedang saya? Apa mutunya begitu jelek, hingga Anda tak dapat menajamkannya?"
"Tentu saja bukan. Anda pemiliknya. Anda dan saya tahu, pedang ini pedang Bizen yang betul-betul bagus. Saya juga tahu, Anda ingin menajamkannya untuk tujuan memotong orang."
"Tapi apa salahnya?"
"Itulah yang dikatakan mereka semua, apa salahnya minta saya menajamkan pedang, supaya dapat memotong dengan lebih baik? Kalau pedang itu dapat memotong, mereka bahagia."
"Tapi orang yang membawa pedangnya untuk digosok, dengan sendirinya ingin... "
"Tunggu dulu." Kosuke mengangkat tangan. "Butuh waktu untuk menjelaskan ini. Pertama, saya ingin Anda melihat sekali lagi tanda di depan toko saya."
"Tertulis di situ 'jiwa digosok', atau paling tidak, begitulah saya kira. Apa ada cara lain untuk membaca huruf-huruf itu?"
"Tidak. Anda lihat di situ, tak ada kata yang menyatakan menggosok pedang. Urusan saya menggosok jiwa-jiwa samurai yang datang ke sini, bukan pedangnya. Orang tak mengerti, tapi itulah yang diajarkan pada saya, ketika saya belajar menggosok pedang."
"Oh, begitu," kata Musashi, meskipun ia belum begitu mengerti.
"Karena saya mencoba mematuhi ajaran-ajaran guru saya, saya menolak menggosok pedang milik samurai yang kesenangannya membunuh orang."
"Dalam hal itu, Anda betul. Tapi apa boleh saya mengetahui, siapa guru Anda itu?"
"Namanya tertulis di papan itu juga. Saya belajar pada Keluarga Hon'ami, di bawah pengawasan Hon'ami Koetsu sendiri." Kosuke membidangkan dadanya dengan bangga ketika mengucapkan nama gurunya itu.
"Menarik. Kebetulan saya pernah berkenalan dengan guru Anda dan ibunya yang baik sekali, Myoshu." Selanjutnya Musashi menceritakan bagaimana ia berjumpa dengan mereka di ladang dekat Rendaiji, dan kemudian tinggal beberapa hari lamanya di rumah mereka.
Kosuke kaget, dan memperhatikan Musashi baik-baik sebentar. "Apa kebetulan Anda ini yang bikin heboh besar di Kyoto beberapa tahun lalu, dengan mengalahkan Perguruan Yoshioka di Ichijoji? Miyamoto Musashi namanya, saya yakin."
"Itu memang nama saya." Wajah Musashi memerah sedikit.
Kosuke bergerak sedikit ke belakang dan membungkuk hormat, katanya, "Maafkan saya. Mestinya saya tidak menguliahi Anda. Sama sekali saya tak menduga, bahwa saya sedang berbicara dengan Miyamoto Musashi yang terkenal."
"Tak usah itu dipikirkan lagi. Kata-kata Anda itu mengandung pelajaran. Watak Koetsu tampak dalam pelajaran-pelajaran yang diajarkannya pada murid-muridnya."
"Saya yakin Anda tahu Keluarga Hon'ami mengabdi kepada para shogun Ashikaga. Dari waktu ke waktu, mereka juga dipanggil untuk menggosok pedang-pedang kaisar. Koetsu selalu mengatakan bahwa pedang Jepang diciptakan bukan untuk membunuh atau melukai orang, tapi untuk mempertahankan kekuasaan kaisar dan melindungi bangsa, untuk menundukkan setan-setan dan mengusir kejahatan. Pedang adalah jiwa samurai. Samurai membawa pedang bukan untuk tujuan lain selain mempertahankan martabatnya sendiri. Pedang adalah peringatan yang selalu hadir bagi penguasa untuk berusaha mengikuti Jalan Hidup. Sudah sewajarnya kalau tukang yang menggosok pedang harus juga menggosok semangat pemain pedang."
"Benar sekali," kata Musashi mengiakan.
"Koetsu mengatakan bahwa melihat pedang yang baik, berarti melihat sinar suci, melihat semangat perdamaian dan ketenangan bangsa int. Dia benci menyentuh pedang yang jelek. Berdekatan saja bisa membuatnya muak."
"Begitu. Maksud Anda, apakah terasa sesuatu yang jahat dalam pedang saya?"
"Tidak, sama sekali tidak. Saya cuma sedikit kesal. Semenjak datang di Edo, saya sudah menggarap sejumlah senjata, tapi tak ada seorang pun di antara pemiliknya yang punya bayangan tentang makna sejati pedang. Saya kadang-kadang merasa jiwa mereka itu perlu digosok. Yang mereka pikirkan cuma bagaimana menyobek-nyobek orang atau membelah kepalanya, topi baja, dan segalanya itu. Mengesalkan sekali. Itu sebabnya saya memasang papan baru beberapa hari yang lalu. Tapi rupanya tak banyak juga hasilnya."
"Dan saya pun datang untuk meminta hal yang sama, ya? Saya mengerti perasaan Anda."
"Yah, itu sudah suatu permulaan. Persoalan dengan Anda mungkin akan sedikit berbeda. Tapi terus terang, ketika melihat pedang Anda, saya sungguh terguncang. Semua torehan dan noda itu diakibatkan oleh daging manusia. Tadinya saya pikir Anda cuma ronin tak berarti juga, yang bangga karena telah melakukan sejumlah pembunuhan tak berujung-pangkal."
Musashi menundukkan kepala. Kata-kata itu suara Koetsu, yang keluar dari mulut Kosuke. "Saya ucapkan terima kasih atas pelajaran ini," katanya. "Saya sudah membawa pedang sejak masih kanak-kanak, tapi belum pernah saya benar-benar memikirkan semangat yang bersemayam di dalamnya. Di masa depan, saya akan memperhatikan apa yang Anda katakan ini."
Kosuke tampak puas sekali. "Kalau demikian, akan saya gosokkan pedang Anda. Atau barangkali mesti saya katakan sebagai orang di bidang ini, saya merasa mendapat hak istimewa dapat menggosok jiwa seorang samurai seperti Anda."
Senja menghilang, dan lampu-lampu telah dinyalakan. Musashi memutuskan sudah waktunya pergi.
"Tunggu," kata Kosuke. "Apa Anda punya pedang lain, sementara saya menggarap yang ini?"
"Tidak. Saya cuma punya satu pedang panjang itu."
"Kalau demikian, bagaimana kalau Anda mengambil gantinya? Saya takut tak ada yang baik sekali di antara pedang yang saya miliki, tapi silakan melihat."
Ia mengantar Musashi masuk kamar belakang, dan di situ ia keluarkan beberapa bilah pedang dari dalam lemari, dan ia jajarkan di atas tatami. "Anda boleh ambil mana saja di antara semua pedang ini," katanya menawarkan.
Walaupun dengan rendah hati pandai pedang itu telah mengingkari, tapi sesungguhnya semua senjata itu memiliki mutu sangat bagus. Musashi mengalami kesulitan dalam memilih kumpulan pedang yang memesona itu, tapi akhirnya la pilih satu, dan ia pun segera jatuh cinta kepadanya. Dengan menggenggamnya saja, ia sudah dapat merasakan pengabdian pembuatnya. Ketika ia mencabut pedang itu dari sarungnya, terasa bahwa kesannya itu benar. Pedang itu sungguh hasil karya pertukangan yang indah, yang barangkali berasal dari zaman Yoshino di abad empat belas. Karena sangsi kalau-kalau pedang itu terlalu anggun baginya, dibawanya pedang itu ke dekat cahaya dan diperiksanya, dan ia merasa tangannya enggan melepaskannya lagi.
"Boleh saya ambil ini?" tanyanya. Tak dapat ia memaksa dirinya menggunakan kata "pinjam".
"Anda sungguh bermata ahli," ujar Kosuke, sementara ia menyingkirkan pedang-pedang lain.
Hanya sekali itu dalam hidupnya, Musashi tenggelam dalam ketamakan. Ia tahu, akan sia-sia ia menyebutkan ingin membeli pedang itu. Harganya pasti tidak terjangkau olehnya. Tapi ia tak dapat lagi menahan dirt.
"Saya kira Anda takkan mau mempertimbangkan menjual pedang ini pada saya, kan?" tanyanya.
"Kenapa tidak?"
"Berapa yang Anda minta?"
"Anda boleh ambil dengan harga pembeliannya."
"Berapa harga belinya?"
"Dua puluh keping emas."
Suatu jumlah yang hampir tak terbayangkan oleh Musashi. "Lebih baik saya kembalikan pedang ini," katanya ragu-ragu.
"Kenapa?" tanya Kosuke dengan pandangan heran. "Saya pinjamkan ini pada Anda, terserah Anda sampai kapan. Ambillah."
"Tidak, itu akan bikin saya merasa lebih tidak keruan lagi. Sekarang saja saya sudah begitu menginginkannya. Kalau saya memakainya hanya sementara waktu, nanti berpisah dengannya akan merupakan siksaan buat saya."
"Apa Anda betul-betul menyukainya?" Kosuke memandang pedang itu, kemudian kepada Musashi. "Baiklah, saya berikan pedang itu pada Anda, seperti semacam jodoh saja. Tapi saya mengharapkan hadiah yang pantas sebagai ganti."
Musashi jadi bingung, ia sama sekali tak punya apa-apa untuk ditawarkan.
"Saya mendengar dari Koetsu bahwa Anda suka mengukir patung. Saya merasa mendapat kehormatan, kalau Anda dapat membuatkan saya patung Kannon. Cukuplah itu untuk pembayar pedang."
Patung Kannon terakhir yang diukir Musashi adalah yang ditinggalkannya di Hotengahara. "Saya tak menyimpan apa-apa sekarang," katanya. "Tapi dalam beberapa hari, saya dapat mengukirnya untuk Anda. Jadi, saya boleh ambil pedang ini?"
"Tentu. Saya bukannya mengharapkan pembayaran sekarang juga. Dan omong-omong, daripada menginap di penginapan itu, apa tidak lebih baik kalau Anda tinggal dengan kami? Di sini ada satu kamar yang tidak kami gunakan."
"Oh, itu baik sekali," kata Musashi. "Kalau saya pindah besok, saya dapat langsung mulai membuat patung itu."
"Silakan melihat kamar itu sekarang," desak Kosuke yang juga senang dan bersemangat.
Musashi mengikutinya menyusuri gang luar. Di ujung gang itu terdapat tangga yang terdiri atas setengah lusin anak tangga. Terselip di antara lantai pertama dan kedua, tapi tidak termasuk yang pertama atau kedua, terdapat sebuah kamar berukuran delapan tikar. Lewat jendela, Musashi dapat melihat daun-daun pohon aprikot yang sarat oleh embun.
Kosuke menunjuk atap yang tertutup kulit-kulit tiram, katanya, "Di sana itu bengkel saya."
Seakan diundang oleh isyarat rahasia, istri pandai pedang datang membawa sake dan makanan kecil. Sesudah kedua orang itu duduk, perbedaan antara tuan rumah dan tamu seakan-akan menguap. Mereka bersantai dengan kaki diselonjorkan, dan saling membuka hati, lupa akan kendali yang biasanya dipaksakan oleh sopan santun. Pembicaraan dengan sendirinya tertuju pada pokok soal yang menjadi kegemaran mereka.
"Setiap orang bermulut manis tentang pedang," kata Kosuke. "Siapa saja bicara bahwa pedang adalah jiwa samurai. Mereka mengatakan bahwa pedang adalah satu dari tiga kekayaan suci negeri ini. Tetapi cara orang-orang itu memperlakukan pedang sungguh memalukan. Yang saya maksud adalah para samurai dan pendeta, begitu juga orang kota. Berturut-turut saya sudah mengunjungi tempat-tempat suci dan rumah-rumah tua, di mana pernah disimpan koleksi pedang-pedang indah. Bisa saya sampaikan pada Anda, bahwa situasinya sungguh mengejutkan."
Pipi Kosuke yang pucat itu kini kemerahan. Matanya menyala karena gairah, dan air ludah yang berkumpul di sudut-sudut mulutnya kadang-kadang menyemprot langsung ke wajah teman bicaranya.
"Hampir tak ada pedang terkenal dari masa lalu yang dipelihara dengan baik. Di Tempat Suci Suwa, Provinsi Shinano, ada lebih dari tiga ratus pedang. Pedang-pedang itu dapat digolongkan pusaka, tapi hanya lima pedang yang saya temukan tidak berkarat. Tempat Suci Omishima terkenal karena koleksi tiga ribu pedang yang berasal dari beberapa ratus tahun silam. Tapi, sesudah tinggal di sana sebulan, saya temukan hanya sepuluh yang dalam keadaan baik. Sungguh memuakkan!" Kosuke menarik napas, melanjutkan, "Soalnya, makin tua dan terkenal pedang itu, makin cenderung pemiliknya berusaha menyimpannya di tempat aman. Tapi akibatnya tak seorang pun dapat menjangkaunya untuk mengurusinya, dan pedang pun makin lama makin berkarat.
"Para pemilik pedang itu seperti orangtua yang melindungi anak-anaknya dengan penuh perasaan cemburu, hingga anak-anak itu tumbuh menjadi orang-orang tolol. Kalau anak, akan terus ada yang dilahirkan, jadi tak apaapa kalau ada sedikit yang bodoh. Tapi pedang..."
Ia berhenti untuk menelan ludah, kemudian mengangkat bahunya yang tipis lebih tinggi lagi, dan ujarnya dengan mata berkilau-kilau, "Kita sudah memiliki pedang-pedang terbaik yang pernah ada. Selama berlangsungnya perang saudara, pandai-pandai pedang sudah bertindak sembrono, bahkan ceroboh! Mereka lupa akan teknik, dan sejak itu pedang-pedang mengalami kemerosotan.
"Satu-satunya yang mesti kita lakukan adalah menjaga dengan lebih baik pedang-pedang masa lalu. Tukang-tukang sekarang boleh saja mencoba meniru pedang lama, tapi mereka takkan dapat menghasilkan pedang yang sama baiknya. Apa ini tidak bikin Anda marah?"
Sekonyong-konyong ia berdiri, dan katanya, "Coba saja lihat ini." Ia mengeluarkan pedang yang panjang luar biasa, dan ia letakkan untuk diperiksa tamunya. "Ini senjata yang indah sekali, tapi penuh dengan karat yang paling buruk jenisnya."
Jantung Musashi serasa melompat. Pedang itu, tak sangsi lagi, adalah Galah Pengering milik Sasaki Kojiro. Maka banjir kenangan pun melandanya.
Sambil mengendalikan emosinya, katanya tenang, "Betul-betul panjang, ya? Tentunya samurai hebat saja yang dapat menggunakannya."
"Saya pikir juga begitu," kata Kosuke menyetujui. "Tak banyak pedang macam ini." Ia ketuarkan pedang itu dari sarungnya, ia ulurkan bagian belakangnya kepada Musashi, dan ia serahkan pada gagangnya. "Coba lihat," katanya. "Pedang ini hebat sekali karatnya, di sini, dan di sini. Tapi dia tetap menggunakannya."
"Begitu."
"Pedang ini hasil kecakapan yang jarang ada. Barangkali ditempa di zaman Kamakura. Butuh kerja keras, tapi barangkali saya bisa merapikannya. Pada pedang-pedang kuno ini, karat hanya merupakan lapisan yang relatif tipis. Kalau pedang ini masih baru, takkan sanggup saya membersihkan kotorannya. Pada pedang-pedang baru, noda karat itu seperti luka jahat. Dia langsung memakan hati logam."
Musashi membalikkan kedudukan pedang itu, hingga bagian belakangnya mengarah pada Kosuke, dan berkata, "Boleh saya bertanya, apa pemilik pedang ini membawanya sendiri kemari?"
"Tidak. Saya kebetulan ada urusan di rumah Yang Dipertuan Hosokawa, dan salah seorang abdinya yang sudah tua, Iwama Kakubei, minta saya singgah di rumahnya dalam perjalanan pulang. Saya singgah, dan dia memberikan pedang ini untuk digarap. Katanya pedang ini milik tamunya."
"Kelengkapannya baik juga," ujar Musashi, sementara matanya masih tertuju pada senjata itu.
"Ini pedang tempur. Orang itu sampai sekarang biasa menaruhnya di punggung, tapi dia ingin menaruh di pinggang, karena itu saya diminta mencocokkan sarungnya. Orang itu tentunya besar sekali badannya. Kalau tidak, barangkali tangannya terlatih sekali."
Kosuke sudah mulai terpengaruh sake. Lidahnya mulai terasa sedikit tebal. Musashi memutuskan sudah tiba waktunya untuk pergi, dan ia pun pergi, tanpa banyak upacara lagi.
Hari ternyata lebih larut dari yang ia duga. Di sekitar tempat itu tak ada lampu. Begitu sampai di penginapan, ia meraba-raba dalam gelap, mencari tangga, dan naik ke tingkat dua. Dua kasur sudah dihamparkan, tapi keduanya kosong. Tidak hadirnya Iori membuatnya merasa tak enak, karena ia menduga anak itu tersesat di jalan-jalan kota besar yang tak dikenalnya ini.
Ia kembali turun dan membangunkan penjaga malam. "Dia belum pulang?" tanya orang itu, yang rupanya lebih heran daripada Musashi. "Saya pikir dia bersama Bapak tadi."
Karena tahu ia cuma akan menatap langit-langit sebelum Iori kembali, Musashi keluar menuju malam yang hitam kelam, dan berdiri melipat tangan di bawah tepian atap.
Bersambung>>>
0 komentar:
Posting Komentar