bagian 5
Angin Musim Semi
DI tepi Sungai Takase, Akemi mencuci sepotong kain sambil menyanyikan lagu yang dipelajarinya di Kabuki Okuni. Setiap kali ia menarik kain berpola kembang itu, tercipta bayangan bunga ceri yang terbang berputar-putar.
Angin cinta
Menyentak-nyentak lengan kimonoku.
Oh, lengan jadi terasa berat!
Apakah angin cinta itu berat?
Jotaro berdiri di atas tanggul. Matanya yang lincah mengamati pemandangan, dan ia tersenyum ramah, dan ia tersenyum ramah. "Bagus nyanyinya, Bi," serunya.
"Apa?" tanya Akemi. Ia memandang anak yang seperti orang cebol mengenakan pedang kayu panjang dan topi anyaman besar itu.
"Kamu siapa?" tanyanya. "Dan apa maksudmu memanggilku Bibi? Aku masih muda!"
"Baik, gadis manis! Bagaimana kalau begitu?"
"Diam kamu!" kata Akemi tertawa. "Kau masih terlalu kecil buat merayu. Lebih baik kau buang ingusmu."
"Saya cuma mau tanya sedikit."
"Oh, oh!" teriak Akemi ketakutan. "Kainku!"
"Sebentar saya ambilkan."
Jotaro mengejar kain itu dari tepi sungai, kemudian memancingnya dari air dengan pedangnya. Paling tidak, pedang ini bisa dipakai buat keadaan seperti ini, demikian pikirnya. Akemi mengucapkan terima kasih, lalu bertanya, apa yang hendak ditanyakan Jotaro.
"Apa ada warung teh di sekitar sini yang namanya Yomogi?"
Oh, ya, itu rumahku, di sana itu."
"Oh, senang sekali aku mendengarnya! Lama sekali aku mencarinya."
"Kenapa? Kamu datang dari mana?"
"Dari jalan itu," jawab Jotaro sambil menuding tak jelas.
"Dari mana itu kira-kira?"
Jotaro ragu-ragu. "Aku sendiri tidak begitu yakin."
Akemi terkikik. "Tak apalah. Tapi kenapa kamu tertarik pada warung teh kami?"
"Saya mencari orang yang namanya Hon'iden Matahachi. Orang Perguruan Yoshioka bilang, kalau saya pergi ke Yomogi, saya akan menemukannya."
“Dia tidak di situ."
"Bohong!"
"Tidak. Betul. Dulu dia memang tinggal dengan kami, tapi dia sudah pergi beberapa waktu lalu."
"Ke mana?"
"Aku tidak tahu."
"Tapi orang serumahmu pasti ada yang tahu."
"Tidak. Ibuku juga tidak tahu. Dia minggat."
"Oh." Anak itu memerosotkan badannya dan menatap air dengan gelisah. "Sekarang apa yang mesti kulakukan?" keluhnya.
"Siapa yang menyuruhmu kemari?"
"Guruku."
"Siapa gurumu?"
"Namanya Miyamoto Musashi."
"Apa kamu membawa surat?"
"Tidak," kata Jotaro sambil menggeleng.
"Bagus sekali kamu jadi suruhan! Tak tahu dari mana datang, dan tidak membawa surat pula."
"Tapi saya membawa pesan."
"Pesan apa itu? Barangkali orang itu tak akan kembali lagi, tapi kalau dia kembali akan kusampaikan pesanmu itu."
"Saya kira tak boleh saya mengatakannya. Ya, kan?"
"Jangan tanya aku. Putuskan olehmu sendiri."
"Kalau begitu, barangkali juga boleh. Dia bilang ingin sekali bertemu dengan Matahachi. Dia minta saya menyampaikan pada Matahachi bahwa dia akan menanti di jembatan besar Jalan Gojo tiap pagi, dari hari pertama sampai hari ketujuh tahun baru nanti. Matahachi mesti menjumpai dia di sana, di salah satu hari itu."
Akemi pecah ketawanya, tak dapat dikendalikan lagi. "Tak pernah aku mendengar pesan seperti itu! Jadi, maksudmu, sekarang dia mengirim pesan, minta Matahachi menjumpainya tahun depan? Gurumu itu mestinya sama anehnya dengan kamu! Ha, Ha!"
Sikap mencemooh tampak pada wajah Jotaro, dan bahunya tegang karena marah. "Apanya yang lucu?"
Akhirnya Akemi berhasil menghentikan tawanya. "Jadi, sekarang kamu marah, ya?"
"Tentu saja. Saya minta tolong dengan sopan, tapi kamu ketawa seperti orang gila."
"Maaf, aku betul-betul minta maaf. Aku tak akan ketawa lagi. Dan kalau Matahachi kembali, akan kusampaikan pesan itu kepadanya.
"Janji?"
"Ya, aku bersumpah." Sambil menggigit bibir untuk menghindari senyum, Akemi bertanya, "Siapa namanya tadi? Orang yang menyuruhmu menyampaikan pesan itu?"
"Ingatanmu tidak begitu baik rupanya. Namanya Miyamoto Musashi."
"Bagaimana kamu menuliskan Musashi itu?" Jotaro mengambil bilah bambu, lalu mengguratkan dua huruf di pasir.
"Lho, itu huruf-huruf yang bunyinya Takezo!" ucap Akemi.
"Namanya bukan Takezo, tapi Musashi."
"Ya, tapi bisa juga dibaca Takezo."
"Kamu keras kepala rupanya, ya?" decap Jotaro sambil melemparkan bilah bambu itu ke sungai.
Akemi menatap tajam-tajam huruf-huruf di pasir itu, dan tenggelam dalam renungan. Akhirnya ia menengadah memandang Jotaro, mengamat-amatinya dari kepala sampai jari kaki, lalu tanyanya dengan suara lembut,
"Apa ini bukan Musashi dari daerah Yoshino di Mimasaka?"
"Ya. Saya dari Harima. Dia dari Kampung Miyamoto di Provinsi Mimasaka, tak jauh dari sana."
"Apa orangnya tinggi, kelihatan jantan? Dan apa bagian atas kepalanya tidak dicukur?"
"Ya. Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Aku ingat dia pernah cerita, ketika masih kecil dia bisulan di puncak kepalanya. Kalau dia mencukurnya seperti biasa dilakukan samurai, akan kelihatan bekas lukanya yang buruk."
"Pernah cerita? Kapan?"
"Oh, sudah lima tahun lalu."
"Jadi, kamu sudah begitu lama kenal guru saya?"
Akemi tidak menjawab. Kenangan hari-hari itu membangkitkan kenikmatan di dalam hatinya, hingga bicara pun jadi sukar. Yakin dari berita kecil vang disampaikan anak itu bahwa Musashi adalah Takezo, ia jadi tercengkeram hasrat untuk bertemu Musashi kembali. Ia sudah melihat cara hidup ibunya, dan ia juga sudah melihat Matahachi semakin memburuk perkembangannya. Sejak semula ia lebih menyukai Takezo. Dan semenjak itu semakin yakin ia akan benarnya pilihan atas Takezo. Ia gembira karena masih sendiri. Takezo. Ia begitu lain dari Matahachi.
Sering kali ia mengambil sikap tidak menghanyutkan diri dengan para leaki yang selalu minum di warung tehnya. Ia mencemooh mereka dan terus berpegang teguh pada gambarannya tentang Takezo. Jauh di lubuk hatinya ia selalu bermimpi akan menemukan Takezo kembali. Takezo, hanya Takezo-lah kekasih di dalam hatinya, ketika ia menyanyikan lagu-lagu cinta untuk dirinya sendiri.
Karena tugasnya selesai, Jotaro berkata, "Nah, lebih baik saya pergi sekarang. Kalau kamu bertemu dengan Matahachi, betul-betullah sampaikan apa yang sudah saya katakan tadi." Ia pergi, menderap sepanjang puncak tanggul sempit itu.
Kereta sapi itu penuh bermuatan karung-karung yang barangkali berisi betas, kacang merah, atau hasil bumi setempat yang lain. Di puncak tumpukan ada tulisan yang menyatakan bahwa barang itu sumbangan kaum Budhis yang setia untuk Kofukuji yang agung di Nara. Jotaro kenal kuil itu karena namanya identik dengan Nara.
Wajah Jotaro menyala menyatakan kegembiraan kanak-kanaknya. Dikejarnya kendaraan itu, lalu naiklah ia ke atasnya. Jika ia menghadap ke belakang, masih ada cukup ruangan untuk duduk. Dan sebagai tambahan kenikmatan, ada pula karung-karung buat bersandar.
Di kiri-kanan jalan, bukit-bukit landai terselimut barisan semak teh yang rapi. Pohon-pohon ceri mulai berbunga, dan para petani sudah membajak gerst-sejenis gandum. Mereka pasti berharap agar tahun itu ladang terhindar dari pijakan para serdadu dan kuda. Perempuan-perempuan berlutut di pinggir kali, mencuci sayur-sayuran. Jalan raya Yamato terasa damai.
"Untung sekali!" pikir Jotaro sambil bersandar dan bersantai. Karena enaknya tempat itu, ia selalu tergoda untuk tidur, tapi ia harus berpikir dua kali. Karena takut kereta akan sampai di Nara selagi ia masih tidur, maka ia merasa bersyukur setiap roda kereta menggilas batu dan berguncang. Itu membantu matanya tetap terbuka. Tak ada yang lebih menyenangkan baginya daripada berjalan terus seperti ini menuju tujuannya.
Di luar sebuah kampung, Jotaro dengan malas meraih dan memetik selembar daun dari pohon kamelia. Diletakkannya daun itu di atas lidahnya dan mulailah ia menyiulkan sebuah lagu.
Kusir kereta menoleh ke belakang, tapi tidak melihat apa-apa. Karena siulan terus juga berbunyi, ia menoleh ke kiri, kemudian ke kanan, dan berkali-kali lagi. Akhirnya dihentikannya kereta, dan pergilah ia memutar ke belakang. Melihat Jotaro, ia marah bukan kepalang. Pukulan tinju yang dijatuhkannya demikian keras, hingga anak itu berteriak kesakitan.
"Apa kerjamu di sini?" gertaknya.
"Tak apa-apa, kan?"
"Enak saja kau!"
"Kenapa? Bapak kan tidak menariknya sendiri?"
"Oh, bajingan kurang ajar kamu!" seru tukang kereta sambil melontarkan Joraro ke tanah, seperti bola. Jotaro terpelanting dan kemudian terguling ke pangkal sebatang pohon. Kereta berjalan kembali, bunyi rodanya gemeretak, seakan-akan menertawakannya.
Ketika Jotaro sadar kembali, ia mulai mencari-cari dengan teliti di tanah sekitarnya. Ia sadar tabung bambu berisi jawaban dari Perguruan Yoshioka untuk Musashi hilang. Tadi barang itu Ia gantungkan di leher dengan seutas tali, tapi sekarang lenyap.
Ketika anak itu sangat kebingungan dan sedikit demi sedikit melebarkan wilayah pencariannya, seorang perempuan muda berpakaian perjalanan berhenti memperhatikannya; ia bertanya, "Kamu kehilangan sesuatu, ya?"
Jotaro memandang wajahnya yang sebagian tertutup topi bertepi lebar, mengangguk, dan kembali mencari.
"Kamu kehilangan uang?"
Karena terlampau asyik, Jotaro tidak begitu memperhatikan pertanyaan itu, dan hanya memperdengarkan gerutuan tak senang.
"Apa tabung bambu yang panjangnya kira-kira satu kaki dan bertali?" Jotaro tersentak. "Ya! Bagaimana Kakak bisa tahu?"
"Jadi, kamulah yang diteriak-teriaki kusir-kusir dekat Mampukuji tadi, karena mengganggu kuda mereka!"
"Ah-h-h... ya "
"Waktu kamu ketakutan dan lari, tali itu tentunya putus. Tabung itu jatuh di jalan, dan samurai yang sedang bicara dengan kusir-kusir tadi itu mengambilnya. Lebih baik kamu kembali menanyakan kepadanya."
"Betul begitu?"
"Tentu."
"Terima kasih."
Tapi baru saja ia hendak berlari, perempuan muda itu memanggilnya. "Tunggu! Tak perlu kamu kembali ke sana. Kulihat samurai itu berjalan kemari. Itu, yang memakai hakama lapangan." Ia menuding orang itu.
Jotaro berhenti dan menanti dengan mata terbuka lebar.
Samurai itu seorang lelaki yang mengesankan, berumur sekitar empat puluh tahun. Segala sesuatu yang ada padanya sedikit lebih besar dan yang biasa-tingginya, jenggotnya yang hitam legam, bahunya yang lebar, dadanya yang padat. la mengenakan kaus kaki kulit dan sandal jerami, dan apabila berjalan langkah-langkahnya yang mantap seakan memadatkan tanah. Dari pandangan sekilas, Jotaro merasa pasti bahwa orang itu prajurit besar yang mengabdi kepada salah seorang daimyo yang sangat penting, dan ia takut menyapanya.
Untunglah samurai itu yang bicara dulu memanggilnya. "Apa bukan kamu anak nakal yang menjatuhkan tabung bambu ini di depan Mampukuji?" tanvanva.
"Oh, betul! Tuan menemukannya!"
"Apa tak bisa kamu mengucapkan terima kasih?"
"Maaf. Terima kasih, Tuan!"
"Aku yakin ada surat penting di dalamnya. Kalau tuanmu menyuruh kamu, jangan kamu berhenti sepanjang jalan mengganggu kuda, membonceng-bonceng, atau bermalas-malas di pinggir jalan."
"Ya, Tuan. Apa Tuan melihat isinya?"
"Sudah sewajarnya, kalau kita menemukan sesuatu, kita memeriksanya dan mengembalikannya kepada pemiliknya, tapi aku tidak merusak meterai surat itu. Sekarang, sesudah barang itu di tanganmu lagi, coba periksa dan lihat, apa masih baik keadaannya."
Jotaro membuka tutup tabung dan melihat ke dalamnya. Puas karena surat itu masih ada, digantungkannya tabung itu kembali ke lehernya, dan ia bersumpah tak akan melepaskannya untuk kedua kali.
Perempuan muda itu tampak sama puasnya dengan Jotaro.
"Baik sekali Tuan telah menemukan barang itu," katanya kepada si samurai, untuk memperbaiki sikap Jotaro yang tidak mampu menyatakan terima kasih dengan baik.
Samurai berjenggot itu mulai berjalan lagi bersama mereka berdua. "Apa anak itu bersamamu?" tanyanya kepada perempuan itu.
"Oh, tidak. Belum pernah saya bertemu dengan dia."
Samurai itu tertawa. "Kupikir tadi kamu dan dia pasangan yang agak aneh. Anak itu seperti setan kecil yang lucu; apalagi ada kata 'Penginapan' pada topinya."
"Barangkali kepolosan kanak-kanaknya itu yang membuat dia begitu menarik. Saya suka dia juga." Sambil menoleh kepada Jotaro, ia bertanya, "Mau ke mana kamu?"
Karena berjalan bersama kedua orang itu, semangat Jotaro naik lagi. "Saya akan pergi ke Nara, ke Kuil Hozoin." Sebuah benda panjang sempit yang terbungkus kain brokat emas dan tersimpan dalam obi gadis itu menarik perhatiannya. Sambil memperhatikannya, ia berkata, "Saya lihat Kakak membawa tabung surat juga. Hati-hati, jangan Kakak hilangkan."
"Tabung surat? Apa maksudmu?"
"Itu, dalam obi Kakak."
Gadis itu pun tertawa. "Ini bukan tabung surat, tolol! Ini suling."
"Suling?" Dengan mata menyala-nyala karena rasa ingin tahu, tanpa malu-malu Jotaro melongokkan kepala ke pinggang gadis itu untuk memeriksa benda tersebut. Tiba-tiba suatu perasaan aneh datang kepadanya. Ia mundur dan seperti mengamat-amati gadis itu.
Anak-anak pun mempunyai selera terhadap kecantikan wanita, atau setidak-tidaknya mengerti secara naluriah, apakah wanita itu murni atau tidak. Jotaro terkesan sekali akan kecantikan gadis itu, dan ia menghargainya. Terasa olehnya sebagai keberuntungan tak terukir bahwa sekarang ia berjalan bersama orang yang begitu molek. Hatinya pun berdentum, dan ia merasa pusing.
"Oh. Suling... Apa Bibi bisa main suling?" tanyanya. Kemudian, karena ingat akan reaksi Akemi terhadap kata "Bibi" itu, ia cepat-cepat mengubah pertanyaannya, "Siapa nama Kakak?"
Gadis itu tertawa dan melemparkan pandangan senang kepada si samurai lewat kepala anak itu. Prajurit yang seperti beruang itu ikut tertawa, memperlihatkan barisan giginya yang putih kuat di belakang jenggotnya.
"Kamu anak baik, kan? Kalau kamu ingin tahu nama orang lain, yang sopan adalah kamu menyebutkan dulu namamu."
"Nama saya Jotaro."
Jawaban ini menimbulkan ketawa lebih banyak lagi.
"Itu tidak adil!" teriak Jotaro. "Tuan menyuruh saya menyebutkan nama saya, tapi saya belum tahu nama Tuan. Siapa nama Tuan?"
"Namaku Shoda," kata samurai itu.
"Itu tentunya nama keluarga. Lalu nama Tuan yang lain apa?"
"Terpaksa aku minta diizinkan hanya menyebut nama itu."
Dengan berani Jotaro menoleh kepada gadis itu, dan katanya, "Sekarang giliran Kakak. Kami sudah menyebutkan nama kami. Kurang sopan kalau Kakak tidak menyebutkan nama Kakak."
"Nama saya Otsu."
"Otsu?" Jotaro mengulang. la kelihatan puas sebentar, tapi kemudian mengoceh lagi. "Kenapa ke mana-mana Kakak menyimpan suling dalam obi?"
"Oh, aku butuh suling ini buat mencari makan."
"Jadi, Kakak ini pemain suling?"
"Sebetulnya aku tidak yakin apa ada pemain suling profesional, tapi uang yang kudapat dengan main suling ini bisa buat melakukan perjalanan-perjalanan jauh macam ini. Bolehlah kamu menyebut itu pekerjaanku."
"Apa musik yang Kakak mainkan seperti musik yang sudah saya dengar di Gion dan Kuil Kamo? Musik untuk tari-tarian suci?"
"Tidak."
"Apa musik buat jenis tarian yang lain-misalnya Kabuki?"
"Tidak."
"Kalau begitu, musik jenis apa?"
"Oh, lagu-lagu biasa saja."
Sementara itu si samurai bertanya-tanya dalam hati mengenai pedang kayu panjang milik Jotaro itu. "Apa yang kamu pasang di pinggangmu itu?" tanyanya.
"Apa Tuan tak kenal pedang kayu kalau Tuan melihatnya? Saya pikir Tuan ini samurai."
"Ya, aku memang samurai. Cuma aku heran melihat pedang begitu kamu bawa. Kenapa kamu membawanya?"
"Saya mau belajar ilmu pedang."
"Oh, jadi kamu belajar sekarang? Apa kamu sudah punya guru?"
"Punya."
"Apa dia yang akan menerima surat itu?" „
Ya. "
"Kalau dia itu gurumu, tentunya dia ahli yang sejati."
"Dia sama sekali tidak sebaik itu."
"Apa maksudmu?"
"Semua orang bilang dia lemah."
"Apa kamu tidak keberatan punya guru lemah?"
"Tidak. Saya juga tidak pandai main pedang, jadi tak ada bedanya."
Samurai itu hampir tak dapat menahan rasa geli. Mulutnya menggetar, seakan hendak pecah menjadi senyuman, tetapi matanya tetap muram. "Apa kamu sudah mempelajari beberapa teknik?"
"Belum bisa dikatakan begitu. Saya belum lagi belajar apa-apa."
Tawa samurai itu pun akhirnya pecah berderai-derai, "Bicara dengan kamu ini bikin jalan lebih pendek. Lalu, Nona sendiri man pergi ke mana?"
"Ke Nara, tapi tepatnya Nara bagian mana, saya belum tahu. Ada seorang ronin yang sudah sekitar satu tahun saya cari, dan karena menurut pendengaran saya banyak ronin berkumpul di Nara sekarang ini, saya punya rencana ke sana, walaupun saya akui, tidak banyak berita yang terdengar."
Jembatan Uji mulai tampak. Di bawah tepi atap sebuah warung teh, seorang tua yang sangat sopan memegang sebuah ketel teh besar. Ia sedang melayani para langganan yang duduk berkeliling di bangku. Melihat Shoda, ia menyalaminya dengan hangat, "Senang sekali bertemu dengan anggota Keluarga Yagyu!" serunya. "Silakan masuk, silakan!"
"Kami mau istirahat sebentar di sini. Bisa sediakan kue manis buat anak ini?"
Jotaro tetap berdiri, sementara teman-temannya duduk. Baginya duduk dan beristirahat itu membosankan. Begitu kue datang, ia segera mengambilnya dan larilah ia ke bukit rendah di belakang warung teh.
Sambil menghirup teh, Otsu bertanya kepada orang tua itu. "Apa Nara masih jauh dari sini?"
"Masih. Orang yang cepat jalannya pun barangkali takkan sampai lebih jauh dari Kizu sebelum matahari terbenam. Anak perempuan seperti Anda mesti menginap di Taga atau Ide."
Shoda pun segera menyambung. "Nona ini sudah beberapa bulan mencari seseorang. Tapi terpikir juga oleh saya, apa menurut Bapak cukup aman hari-hari ini, kalau seorang wanita muda mengadakan perjalanan sendiri ke Nara, sedangkan dia belum tahu akan menginap di mana?"
Mendengar pertanyaan itu, orang tua itu membelalakkan matanya. "Oh, bahkan bermaksud saja jangan!" katanya pasti. Sambil menoleh ke Otsu, ia mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah, dlan katanya, "Lupakan keinginan itu sama sekali. Kalau Nona yakin ada teman untuk tinggal di sana, itu lain soal. Kalau tidak, Nara bisa jadi tempat yang sangat berbahaya."
Pemilik warung menuangkan secangkir teh untuk diri sendiri, lalu bercerita kepada mereka mengenai apa yang diketahuinya tentang keadaan Nara. Rupanya kebanyakan orang mendapat kesan bahwa ibu kota lama itu tempat yang tenang, damai, di mana banyak kuil berwarna-warni dan rusarusa jinak-sebuah tempat yang tidak terganggu oleh perang atau kelaparan. Padahal kenyataannya kota itu tidak lagi seperti itu. Sesudah Pertempuran Sekigahara, tak tahulah orang, berapa banyak ronin dari pihak yang kalah telah datang bersembunyi di sana. Kebanyakan anggota partisan Osaka dari Tentara Barat dan Osaka, samurai-samurai yang kini tak punya penghasilan dan sedikit saja punya harapan akan memperoleh pekerjaan lain. Dengan semakin berkembangnya kekuasaan ke-shogun-an Tokugawa dari tahun ke tahun, disangsikan apakah para pelarian itu akan dapat lagi memperoleh penghidupan terang-terangan dengan pedangnya.
Menurut perkiraan kebanyakan orang, 120.000 atau 130.000 orang samurai kehilangan jabatannya. Sebagai pemenang, orang-orang Tokugawa menyita tanah-tanah milik yang seluruhnya menghasilkan 33 juta gantang padi tiap tahun. Walau jika dihitung juga tuan-tuan tanah feodal yang semenjak itu diizinkan menetap kembali dengan gaya yang lebih sederhana, maka setidak-tidaknya ada delapan puluh daimyo dengan penghasilan seluruhnya sekitar dua puluh juta gantang yang telah dicabut hak miliknya. Kalau dihitung untuk setiap lima ratus gantang padi ada tiga samurai yang telah dihentikan dari tempat kerjanya dan dipaksa bersembunyi di berbagai provinsi lain-terhitung keluarga dan pesuruhnya-maka jumlah mereka seluruhnya tidak akan kurang dari 100.000 orang.
Wilayah sekitar Nara dan Gunung Koya penuh kuil, karena itu sukar bagi angkatan bersenjata Tokugawa untuk mengadakan perondaan. Juga, karena merupakan tempat sembunyi yang ideal, para pelarian berbondongbondong bergerak ke sana.
"Misalnya," kata orang tua itu, "Sanada Yukimura yang terkenal itu bersembunyi di Gunung Kudo, lalu Sengoku Soya kabarnya berada di luar Horyuji, dan Ban Dan'emon di Kofukuji. Banyak lagi yang dapat saya sebutkan." Semua itu orang-orang yang punya nama, orang-orang yang akan dibunuh dengan seketika kalau mereka menunjukkan diri. Satu-satunya harapan mereka untuk masa depan adalah kalau perang pecah lagi.
Menurut pendapat orang tua itu, keadaan tidak begitu jelek kalau hanya para ronin terkenal itu yang menyembunyikan diri, karena mereka semua sedikit banyak punya prestise dan dapat hidup sendiri dengan keluarganya. Tetapi yang mempersulit keadaan adalah para samurai miskin yang berkeliaran di jalan-jalan belakang kota; keadaan mereka demikian sulit, hingga kalau bisa pedang pun akan mereka jual. Setengahnya lalu mulai berkelahi, berjudi, atau mengganggu ketenteraman, dengan harapan kerusakan yang mereka datangkan itu akan membuat angkatan bersenjata Osaka bangkit dan mengangkat senjata. Kota Nara yang dahulu tenang itu kini berubah menjadi sarang penjahat nekat. Untuk gadis manis seperti Otsu, pergi ke sana sama halnya dengan menuangkan minyak ke kimono dan menceburkan dirt ke dalam api. Tergerak oleh ceritanya sendiri, pemilik warung teh menutup ceritanya dengan minta amat sangat pada Otsu untuk mengubah maksudnya.
Otsu kini merasa ragu-ragu dan duduk diam sebentar. Kalau sekiranya ada sedikit saja petunjuk bahwa Musashi kemungkinan berada di Nara, tak akan ia berpikir panjang mengenai bahayanya. Tapi sayangnya la betul-betul tak punya alasan untuk terus. la sekadar berjalan ke arah Nara-tak ada bedanya dengan pengembaraannya ke berbagai tempat lain, semenjak Musashi meninggalkannya di Jembatan Himeji.
Melihat kebingungan pada wajahnya, Shoda berkata, "Tadi kaubilang namamu Otsu, bukan?"
"Ya."
"Nah, Otsu, aku memang ragu-ragu mengatakan ini, tapi kenapa tidak kau batalkan saja maksudmu pergi ke Nara itu, dan sebagai gantinya kau pergi denganku ke tanah Koyagyu?" Karena merasa wajib memberikan keterangan lebih banyak tentang dirinya, dan meyakinkan Otsu bahwa maksudnya itu terhormat, ia melanjutkan, "Nama lengkapku Shoda Kizaemon, dan aku mengabdi kepada Keluarga Yagyu. Kebetulan tuanku yang sudah berumur delapan puluh tahun tidak lagi aktif. Dia menderita kebosanan luar biasa. Ketika kau berkata kau hidup dari main suling, terpikir olehku, akan senang sekali dia kalau kamu ada di dekatnya dan sekali-sekali main untuknya. Apa kau suka kerja begitu?"
Orang tua itu segera menimpali dengan pernyataan setuju. "Kamu lebih baik ikut dia," desaknya. "Barangkali kamu tahu, yang dipertuan dari Koyagyu yang sudah tua itu adalah Yagyu Muneyoshi yang agung. Sesudah pensiun, ia memakai nama Sekishusai. Segera setelah ahli warisnya, Munenori, yaitu Yang Dipertuan dari Tajima, pulang dari Sekigahara, dia langsung dipanggil ke Edo dan ditunjuk menjadi instruktur dalam rumah tangga shogun. Tidak ada keluarga yang lebih besar di Jepang ini daripada Keluarga Yagyu. Diundang ke Koyagyu saja sudah merupakan kehormatan. Jangan sampai tidak diterima tawaran itu!"
Mendengar bahwa Kizaemon adalah pejabat dalam Keluarga Yagyu yang termasyhur itu, Otsu merasa beruntung, karena besar dugaannya, orang itu bukanlah samurai biasa. Namun ia merasa sukar menjawab tawaran itu.
Melihat Otsu masih juga diam, Kizaemon bertanya, "Tak suka kamu ke sana?"
"Bukan itu soalnya. Tak ada tawaran lain yang lebih baik dari itu. Cuma saya takut, nanti permainan saya tidak cukup baik untuk orang seperti Yagyu Muneyoshi."
"Jangan panjang-panjang kamu memikirkan soal itu. Keluarga Yagyu itu lain sekali dengan daimyo lain. Khususnya Sekishusai, dia ahli upacara minum teh yang berselera sederhana, tenang. Dia akan lebih terganggu oleh sifat malu-malumu itu daripada bayanganmu bahwa kamu kurang terampil."
Otsu sadar bahwa pergi ke Koyagyu lebih memberikan harapan, berapa pun kecilnya, daripada berkeliaran tanpa tujuan ke Nara. Sejak meninggalnya Yoshioka Kempo, Keluarga Yagyu dianggap banyak orang sebagai eksponen terbesar dalam seni perang di negeri ini. Dapat dipahami kalau para pemain pedang dari seluruh negeri akan datang ke pintu gerbangnya; di situ bahkan akan ada daftar tamu. Alangkah bahagianya kalau dalam daftar itu dapat ia temukan nama Miyamoto Musashi!
Terutama karena memikirkan kemungkinan itu, ia berkata riang, "Kalau menurut pendapat Tuan tak ada halangan apa-apa, saya mau ke sana."
"Kamu mau? Bagus sekali! Terima kasih sekali.... Hmm, tapi aku ragu, apa seorang perempuan dapat jalan sejauh itu sebelum malam datang. Apa kamu bisa naik kuda?"
"Bisa."
Kizaemon membungkuk ke bawah tepi atap dan mengangkat tangan ke arah jembatan. Tukang kuda yang menanti di sana datang berlari-lari membawa kuda; Kizaemon menyuruh Otsu naik ke atasnya, sedangkan ia sendiri berjalan di sampingnya.
Jotaro melihat mereka dari bukit di belakang warung teh, dan serunya, "Apa sudah mau berangkat?
"Ya, kami berangkat."
"Tunggu saya!"
Mereka sudah setengah jalan menyeberang Jembatan Uji ketika Jotaro menyusul. Kizaemon bertanya kepadanya, apa yang dilakukannya tadi, dan Jotaro menjawab bahwa di sebuah semak di bukit itu terdapat banyak orang sedang main. la tidak tahu nama permainan itu, tapi kelihatannya menarik.
Tukang kuda tertawa. "Itu ronin-ronin jembel yang sedang berjudi. Mereka tak punya cukup uang untuk makan, karena itu mereka memikat musafir untuk main dengan mereka dan mengakali segala milik mereka. Memalukan!"
"Oh, jadi mereka itu berjudi untuk mata pencaharian?" tanya Kizaemon.
"Yang berjudi itu termasuk yang baik-baik," jawab tukang kuda. "Banyak lagi lainnya yang menjadi tukang culik dan peras. Mereka begitu kasar, sampai tak ada orang yang dapat berbuat sesuatu untuk menghentikan mereka."
"Kenapa Yang Dipertuan daerah ini tidak menangkap atau mengusir mereka?"
"Jumlah mereka terlalu banyak-jauh lebih banyak daripada yang dapat dihadapi. Kalau semua ronin dari Kawachi, Yamato, dan Kii bergabung jadi satu, mereka bisa lebih kuat daripada pasukan Yang Dipertuan sendiri."
"Saya dengar Koga juga penuh dengan mereka itu."
"Ya. Mereka datang dari Tsutsui. Mereka bertekad bertahan terus sampai perang berikutnya."
"Bapak ini begitu terus bicaranya tentang ronin," sela Jotaro, "tapi di antara mereka tentunya ada orang-orang yang baik."
"Betul," kata Kizaemon menyetujui.
"Guru saya seorang ronin!"
Kizaemon tertawa, dan katanya, "Maka itu kamu membela mereka. Cukup setia juga kamu.... Kaubilang akan pergi ke Hozoin tadi, ya? Apa di sana gurumu tinggal?"
"Saya tidak tahu betul, tapi dia bilang, kalau saya pergi ke sana, orang akan menunjukkan pada saya, di mana dia."
"Apa gaya gurumu itu?"
"Saya tidak tahu."
"Kamu muridnya, tapi kamu tak tahu gayanya?"
"Tuan," sela tukang kuda, "ilmu pedang itu sekarang cuma iseng-iseng. Semua orang mempelajarinya. Kita dapat bertemu dengan lima atau sepuluh orang dari mereka yang berkeliaran di jalan ini setiap hari. Itu semua karena jauh lebih banyak ronin yang mengajar dibanding dahulu."
"Itu cuma sebagian sebabnya."
"Mereka tertarik, karena entah dari mana mereka itu mendengar, bahwa jika orang cakap bermain pedang, daimyo akan berlomba-lomba menyewanya dengan bayaran empat atau lima ribu gantang setahun."
"Jalan pintas untuk menjadi kaya, ya?"
"Tepat. Mengerikan kalau kita memikirkannya. Coba, anak sekecil ini pun sudah pegang pedang kayu. Barangkali dia mengira bahwa dia hanya harus belajar memukul orang dengan pedang itu untuk menjadi manusia sejati. Kita melihat banyak orang macam itu, dan sedihnya, akhir-akhirnya kebanyakan mereka itu akan kelaparan."
Kemarahan Jotaro sekilas bangkit. "Apa ini? Coba, kalau berani mengatakan begitu!"
"Coba dengar! Masih seperti kutu membawa cungkil gigi, tapi sudah membayang-kan dirinya prajurit besar."
Kizaemon tertawa. "Hei, Jotaro, jangan marah, nanti kamu kehilangan tabung bambu lagi."
"Tidak lagi! Tak usah menguatirkan saya!"
Mereka berjalan terus. Jotaro merajuk diam. Yang lain-lain memandang matahari yang pelan-pelan tenggelam. Akhirnya mereka sampai di pangkalan perahu tambangan di Sungai Kizu.
"Di sini kita berpisah. Nah, sebentar lagi gelap, jadi lebih baik kamu buru-buru. Dan jangan buang waktu di jalan."
"Otsu?" kata Jotaro, yang mengira Otsu akan pergi bersamanya.
"O ya, aku lupa bilang tadi," kata Otsu. "Aku sudah memutuskan pergi dengan Tuan ini ke puri di Koyagyu." Jotaro tampak terenyak. "Jaga baik-baik dirimu," kata Otsu tersenyum.
"Mestinya sudah sejak tadi aku tahu bakal sendiri lagi." Ia memungut sebuah batu dan dilemparkannya batu itu bersilantar di permukaan air.
"Tapi kita akan bertemu lagi hari-hari ini. Rumahmu jalanan, sedangkan aku sendiri banyak jalan."
Jotaro kelihatan tak ingin bergerak. "Tapi siapa yang Kakak cari itu?" canyanya. "Orang macam apa?"
Tanpa menjawab, Otsu melambaikan selamat berpisah.
Jotaro berlari sepanjang tepi sungai, lalu melompat ke tengah perahu tambangan kecil. Ketika perahu yang menjadi merah warnanya oleh matahari petang itu sudah setengah jalan menyeberangi sungai, ia menoleh ke belakang. Masih dapat ia mengenali kuda Otsu dan Kizaemon di jalan Kuil Kasagi. Mereka berada di lembah, di sisi bagian sungai yang tiba-tiba menyempit, dan sedikit demi sedikit ditelan oleh awal bayang-bayang gunung.
Hozoin
MURID seni bela diri umumnya mengenal Hozoin. Yang berani menganggap dirinya murid serius, tapi menganggap tempat itu sama saja seperti kuil-kuil yang lain, sudah cukup untuk dianggap penipu. Tempat itu juga terkenal di antara penduduk setempat, sekalipun aneh juga bahwa hanya sedikit orang yang kenal Gudang Shosoin yang justru lebih penting karena koleksi benda-benda seni kuno yang tak ternilai harganya.
Kuil itu terletak di Bukit Abura, di tengah hutan kriptomeria yang luas dan lebat. Pendeknya, itulah tempat tinggal jin-jin. Di sini pula terdapat sisa-sisa kebesaran zaman Nara-reruntuhan sebuah kuil, yaitu Kuil Ganrin'in, dan reruntuhan rumah mandi umum raksasa yang dibangun oleh Ratu Komyo untuk orang miskin. Tetapi sekarang yang tertinggal dari semua itu hanyalah serakan batu pondasi yang mengintip dari balik lumut dan rerumputan.
Musashi tidak mengalami kesulitan mencari arah Bukit Abura, tapi begitu sampai di sana ia berdiri memandang ke sekitar dengan kagumnya, karena di sana terdapat kuil-kuil lain yang bersarang di tengah hutan. Pohon-pohon kriptomeria telah menempuh musim dingin dengan selamat, dan kini bermandikan hujan awal musim semi. Warna daun-daunnya sedang gelap-gelapnya. Bersamaan dengan tibanya senja, di atas pepohonan itu tampak lekuk-lekuk feminin Gunung Kasuga. Gunung-gunung di kejauhan masih terang oleh sinar matahari.
Sekalipun di antara kuil-kuil itu tak ada yang mirip dengan yang dicarinya, Musashi mendatangi setiap gerbang untuk memeriksa papan namanya. Pikiran Musashi demikian penuh oleh Hozoin, hingga ketika ia melihat papan nama Kuil Ozoin, mula-mula ia salah baca, karena hanya huruf pertama, yaitu "0", yang berlainan. Walaupun kemudian ia segera menyadari kesalahannya, pergi juga ia ke dalam untuk melihat. Ozoin rupanya milik Sekte Nichiren. Sepanjang pengetahuannya, Hozoin adalah kuil Zen yang tak ada hubungan-nya dengan Nichiren.
Selagi ia berdiri di sana, seorang biarawan muda yang baru kembali ke Ozoin melewatinya dan menatapnya penuh curiga.
Musashi melepas topi, dan katanya, "Boleh saya bertanya?"
"Tentang apa?"
"Kuil ini namanya Ozoin?"
"Ya, seperti yang tertulis di papan itu."
"Kata orang, Hozoin ada di Bukit Abura. Betul?"
"Di belakang kuil ini. Anda mau ke sana buat bertanding?"
"Ya."
"Kalau begitu dengarkan nasihat saya: Lupakan saja."
"Kenapa?"
"Berbahaya. Saya bisa mengerti kalau orang yang dilahirkan pincang pergi ke situ untuk diluruskan kakinya, tapi saya tak melihat alasannya kalau orang yang anggota badannya baik dan lurus mesti pergi ke sana untuk dikutungi."
Biarawan itu tegap tubuhnya, agak lain daripada biarawan Nichiren biasa. Menurut biarawan itu, jumlah calon prajurit telah mencapai angka yang oleh Hozoin pun sudah dianggap mengganggu. Kuil itu tempat suci untuk cahaya Hukum Sang Budha, seperti ditunjukkan oleh namanya. Perhatian utamanya terletak pada agama. Seni bela diri hanya sampingan, demikianlah kira-kira.
Kakuzenbo In'ei, kepala biara yang dulu, sering kali mengunjungi Yagyu Muneyoshi. Karena hubungannya dengan Muneyoshi dan dengan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, teman Muneyoshi, kepala biara itu tertarik pada seni bela diri dan akhirnya mulai belajar ilmu pedang sebagai pelengah waktu. Lalu ia mengembangkan cara-cara baru dalam menggunakan lembing, dan sepengetahuan Musashi inilah yang menjadi cikal-bakal Gaya Hozoin yang sangat dihargai orang.
In'ei sekarang berumur delapan puluh empat tahun dan sudah sepenuhnya pikun. Ia hampir tidak pernah menjumpai siapa pun. Pada waktu menerima tamu pun ia sudah tidak dapat melakukan percakapan. Ia hanya duduk dan membuat gerakan-gerakan yang tak dapat dimengerti dengan mulutnya yang sudah ompong. Kelihatannya ia tidak dapat menangkap apa pun yang dikatakan orang kepadanya. Soal lembing sudah dilupakannya sama sekali.
"Jadi, begitulah," simpul biarawan itu sesudah menjelaskan semuanya, "tak banyak faedahnya Anda pergi ke sana. Anda barangkali tak dapat bertemu dengan gurunya, dan kalaupun Anda bertemu dengannya, tak dapat Anda mempelajari sesuatu." Sikap kasar orang itu menunjukkan bahwa ia ingin Musashi lekas pergi.
Walaupun sadar dianggap enteng oleh orang itu, Musashi mendesak terus. "Saya sudah mendengar tentang In'ei, dan saya tahu bahwa yang Anda katakan itu benar. Tapi saya mendengar juga bahwa seorang pendeta yang namanya Inshun telah mengambil alih kedudukannya dan menggantikannya. Orang bilang dia masih belajar, tapi dia sudah paham semua rahasia Gaya Hozoin. Menurut yang saya dengar, walaupun dia sudah punya banyak murid, tidak pernah dia menolak memberikan pelajaran pada siapa pun yang datang kepadanya."
"Oh, Inshun," kata biarawan itu dengan nada menghina. "Tak ada apa-apanya desas-desus itu. Inshun sebetulnya murid kepala biara Ozoin. Sesudah In'ei mulai memperlihatkan tanda-tanda ketuaan, kepala biara kami merasa sayang jika reputasi Hozoin tersia-sia begitu saja. Karena itu dia mengajarkan pada Inshun rahasia-rahasia permainan lembing yang pernah dia pelajari dari In'ei, dan kemudian dia atur pula agar Inshun menjadi kepala biara."
"Oh, begitu," kata Musashi.
"Tapi Anda masih juga ingin ke sana?"
"Yah, sudah sejauh ini saya pergi...."
"Tentu."
"Tadi Anda bilang tempatnya di belakang ini. Lebih baik memutar ke kiri atau ke kanan?"
"Tak perlu memutar. Jauh lebih cepat jalan terus lewat kuil kami ini. Takkan salah lagi."
Sesudah mengucapkan terima kasih kepadanya, Musashi berjalan melewati dapur kuil itu ke belakang pekarangan. Di situ terdapat gudang kayu, gudang empleng kacang, dan kebun sayur-sayuran yang luasnya sekitar satu ekar, mirip sekali dengan wilayah di sekitar rumah seorang petani kaya. Di sebelah kebun itu ia melihat Hozoin.
Selagi berjalan di tanah lunak di antara baris-baris lobak, rades, dan bawang, ia lihat di satu sisi seorang tua yang sedang mencangkuli sayursayuran. Sambil membungkuk mencangkul, ia memandang baik-baik lempengan cangkulnya. Yang kelihatan oleh Musashi pada orang itu hanyalah sepasang alisnya yang putih saiju. Kecuali dentang cangkul yang mengenai batu-batuan, keadaan betul-betul sepi.
Musashi menyimpulkan bahwa orang tua itu biarawan Ozoin. la hampir berbicara, tapi orang tua itu rupanya demikian tenggelam dalam pekerjaannya, hingga rasanya kurang sopan mengganggunya.
Namun ketika Musashi berlalu tanpa mengucapkan sesuatu, tiba-tiba sadarlah ia bahwa orang itu sedang menatap kakinya dari sudut matanya. Walaupun orang itu tidak bergerak ataupun berbicara, Musashi merasa diserang dengan kekuatan yang mengerikan-suatu kekuatan yang seperti kilat membelah awan. Ini bukan mimpi di siang bolong. Ia benar-benar merasakan kekuatan misterius itu menghunjam tubuhnya, dan ia meloncat ketakutan ke udara. Seluruh tubuhnya terasa panas, seolah-olah baru saja lolos dari pukulan pedang atau tombak yang mematikan.
Ketika ia menoleh, dilihatnya punggung yang bungkuk itu masih menghadapnya dan cangkul itu masih juga meneruskan iramanya yang tak terputus-putus. "Apa arti semua ini?" demikian ia terheran-heran, kagum oleh kekuatan yang baru saja menyerangnya.
Akhirnya sampailah ia di depan Hozoin, namun rasa ingin tahunya masih belum reda. Sambil menanti munculnya seorang pembantu, ia berpikir, "Inshun mestinya masih muda. Biarawan muda itu tadi mengatakan In'ei sudah pikun dan sudah lupa sama sekali akan tombak, tapi aku ingin tahu..." Kejadian di halaman itu masih terus menghantui pikirannya.
Ia berseru dua kali lagi, tapi jawaban satu-satunya yang diperolehnya adalah gema dari pepohonan di sekitar. Melihat ada sebuah gong besar di samping pintu masuk, ia memukulnya. Hampir seketika itu juga teriakan jawaban terdengar dari dalam kuil.
Seorang pendeta datang ke pintu. Orangnya besar dan berotot. Sekiranya ia salah seorang prajurit pendeta Gunung Hiei, pasti ia komandan batalion. Karena dari hari ke hari terbiasa menerima kunjungan orang-orang seperti Musashi, ia hanya melontarkan pandangan selintas, dan katanya, "Anda shugyosha?"
"Ya."
"Ada keperluan apa ke sini?"
"Saya ingin bertemu dengan Guru."
Pendeta itu berkata, "Silakan masuk," dan memberikan isyarat ke kanan pintu masuk; maksudnya secara tak langsung adalah supaya Musashi membasuh kakinya dulu. Di situ terdapat sebuah tong penuh air yang disalurkan lewat pipa bambu. Di kanan-kirinya terdapat sekitar sepuluh pasang sandal yang usang dan kotor.
Musashi mengikuti pendeta itu menyusuri lorong yang lebar dan gelap, dan dipersilakan masuk ke kamar tunggu. Di situ ia diminta menanti. Bau dupa mengambang di udara. Lewat jendela ia dapat melihat daun-daun lebar pohon pisang. Selain sikap kasar si raksasa yang telah mengantarnya masuk itu, menurut penglihatan Musashi tak ada suatu pun yang menunjukkan bahwa ada yang luar biasa di kuil yang satu ini.
Ketika muncul kembali, pendeta itu menyerahkan daftar tamu dan kotak tinta kepadanya. Katanya, "Silakan tulis nama Anda, di mana Anda pernah belajar, dan gaya apa yang Anda gunakan." Bicaranya seolah-olah sedang mengajar seorang anak.
Judul buku tamu itu: "Daftar Orang-orang yang Mengunjungi Kuil Ini untuk Belajar Pramugara Hozoin." Musashi membuka buku itu dan memperhatikan nama-nama di dalamnya. Masing-masing ditulis di bawah tanggal berkunjungnya seorang samurai atau murid. Menuruti gaya masukan yang terakhir, Musashi menuliskan keterangan yang diminta, tanpa menyebutkan nama gurunya.
Pendeta itu tentu saja sangat tertarik pada hal ini.
Jawaban Musashi sama dengan yang pernah diberikannya di Perguruan Yoshioka. la belajar menggunakan pentung dengan pimpinan ayahnya, "tapi tidak terlalu rajin mempelajarinya." Karena ada maksud belajar dengan sungguh-sungguh, maka ia berguru pada segala yang ada di alam semesta ini, demikian juga contoh-contoh yang diberikan oleh para pendahulu di negeri ini. Ia menutupnya dengan mengatakan, "Saya masih dalam taraf belajar."
"Mm. Anda barangkali sudah tahu, tapi semenjak zaman guru kami yang pertama, Hozoin terkenal di mana-mana karena permainan tombaknya. Pertarungan di sini berlangsung kasar, dan tidak ada perkecualian. Sebelum Anda melanjutkan, barangkali lebih baik Anda membaca dulu apa yang tertulis di awal buku tamu itu."
Musashi mengambil buku itu, membukanya, dan membaca persyaratan yang tadi ia lewati. Bunyinya: Karena saya datang kemari dengan tujuan belajar, maka saya membebaskan kuil dari segala tanggung jawab, manakala saya mendapat cedera badaniah ataupun terbunuh.
"Saya setuju," kata Musashi sambil menyeringai sedikit—memang itu sudah sewajarnya bagi orang yang berniat menjadi prajurit.
"Baiklah. Silakan."
Dojo itu besar sekali. Para biarawan tentunya telah mengorbankan sebuah ruangan kuliah atau bangunan besar lain untuk membuat dojo itu. Belum pernah Musashi melihat tiang-tiang yang demikian besar kelilingnya, dan ia juga melihat bekas-bekas cat, kertas emas, dan cat dasar Cina putih pada kerangka lubang angin. Semua itu hal-hal yang tidak biasa ditemukan dalam ruang latihan biasa.
Ia bukan tamu satu-satunya di situ. Lebih dari sepuluh calon prajurit duduk di kamar tunggu. Di situ ada juga murid pendeta yang sama jumlahnya. Disamping itu ada beberapa samurai yang hanya menjadi peninjau. Semuanya dengan saksama memperhatikan dua pemain tombak yang sedang melakukan latihan pertandingan. Tak seorang pun melontarkan pandangan kepada Musashi, ketika ia duduk di sebuah sudut.
Menurut papan pemberitahuan di dinding, jika seseorang ingin bertarung dengan tombak bertulang, tantangan akan diterima, tetapi para murid yang kini duduk di lantai itu hanya menggunakan tongkat latihan dari kayu ek panjang. Namun pukulan di sini bisa terasa sangat sakit, bahkan bisa juga mematikan.
Salah seorang yang berlatih terlontar ke udara dan berjalan terpincangpincang kembali ke tempat duduk. Kalah. Musashi melihat pahanya membengkak sampai sebesar batang pohon. Orang itu tak dapat lagi duduk, dan menjatuhkan diri dengan susah payah pada sebelah lututnya. Kakinya yang luka dijulurkannya ke depan.
"Berikutnya!" terdengar panggilan orang yang duduk di lantai, seorang pendeta yang sikapnya angkuh luar biasa. Lengan jubahnya diikatkan ke belakang, dan seluruh tubuhnya-kaki, tangan, bahu, dan bahkan dahinya seolah terdiri atas otot-otot menggelembung. Tongkat kayu ek yang dipegangnya tegak lurus itu panjangnya paling tidak sepuluh kaki.
Satu orang yang agaknya salah seorang dari yang datang hari itu menyam-butnya. la mengikat lengan kimononya dengan tali kulit dan berjalan menuju tempat latihan. Pendeta berdiri tak bergerak ketika si penantang pergi ke dinding, memilih tombak-kampak, dan datang menghadapinya. Mereka membungkuk seperti kebiasaan, tapi baru saja mereka selesai menghormat, si pendeta sudah memperdengarkan raungan anjing liar, dan bersamaan dengan itu ia menjatuhkan tongkatnya sekuat-kuatnya ke tengkorak si penantang.
"Berikutnya," serunya, kembali pada posisi semula.
Selesai sudah. Penantangnya sudah kalah. Ia belum mati, tapi mengangkat kepala dari lantai pun ia sudah tak sanggup. Dua murid si pendeta keluar dan menyeretnya pergi pada lengan dan pinggang kimononya. Di lantai yang ditinggalkannya berceceran ludah bercampur darah.
"Berikutnya!" seru si pendeta lagi, tetap dengan wajah masam.
Semula Musashi mengira orang itu Inshun, guru generasi kedua, tapi orang-orang yang duduk di sekitarnya mengatakan bukan. Orang itu Agon, salah seorang murid senior yang dikenal sebagai "Tujuh Pilar Hozoin". Mereka bilang Inshun sendiri tidak pernah bertarung, karena para penantang selalu dapat dijatuhkan oleh salah seorang dari mereka ini.
"Tidak ada lagi?" lenguh Agon yang memegang tombak latihannya mendatar.
Pramugara berotot itu pun mencocokkan daftar tamu dengan wajah orang-orang yang sedang menanti. Ia menunjuk seorang di antaranya.
"Tidak, jangan hari ini.... Saya datang lagi nanti."
"Bagaimana kalau Anda?"
"Kalau Anda tidak keberatan."
"Apa pula itu artinya?"
"Artinya, saya sedia bertarung."
Semua mata menatap Musashi ketika ia bangkit. Agon yang congkak itu telah menyingkir dari lantai dan waktu itu sedang bercakap-cakap dan tertawa bersemangat dengan sekelompok pendeta, tapi ketika penantang baru muncul, pandangan bosan tampak kembali pada wajahnya. Katanya malas, "Gantikan saya."
"Teruskan saja," desak mereka. "Tinggal seorang lagi."
Agon mengalah, lalu berjalan acuh tak acuh ke tengah lantai. Ia mencengkeram tongkat kayu hitam mengilat itu, yang agaknya sudah dikenalnya betul. Dengan cepat ia mengambil sikap menyerang, membelakangi Musashi, dan menyerang ke jurusan lain.
"Yah-h-h!" Sambil memekik seperti burung garuda yang sedang berang, ia menderas ke arah dinding belakang dan dengan bengis menghunjamkan tombaknya ke bagian dinding yang dipergunakan untuk berlatih. Papan-papan di situ baru saja diganti, tapi sekalipun kayu baru itu liar, lembing Agon yang tidak bermata logam itu langsung melesak tembus.
"Yow-w-w!" Pekik kemenangannya menggema seram di seluruh ruangan ketika ia mencabut tombaknya dan mulai menari, bukan berjalan, kembali mendekati Musashi. Uap mengepul dari tubuhnya yang terselimut Ia mengambil posisi agak jauh. Ia menatap penantang terakhir itu dengan galak. Musashi maju bersenjatakan pedang kayu. Ia berdiri diam, kelihatan sedikit heran.
"Siap!" teriak Agon.
Terdengar tawa kering di luar jendela. Satu suara mengatakan, "Agon, jangan tolol! Lihat, orang bebal, lihat! Bukan papan yang kamu hadapi."
Tanpa mengendurkan sikapnya, Agon memandang ke jendela. "Siapa kamu?" lenguhnya.
Tawa itu terdengar terus, kemudian tampak di ambang jendela kepala mengilat dan sepasang alis seputih salju, seakan-akan keduanya itu digantungkan di sana oleh seorang pedagang barang antik.
"Tak baik buatmu, Agon. Kali ini tidak. Biarkan saja orang itu menanti sampai lusa, jika Inshun sudah kembali."
Musashi yang juga menoleh ke jendela itu, melihat bahwa wajah di jendela itu wajah orang tua yang tadi dilihatnya ketika menuju Hozoin. Tapi baru saja ia sadar, kepala itu sudah lenyap.
Peringatan orang tua itu hanya berpengaruh pada genggaman senjata Agon yang agak mengendur, tapi begitu matanya bertatap pandang dengan mata Musashi, ia menyumpah ke arah jendela yang kini kosong dan melupakan nasihat yang diterimanya.
Sementara Agon mengetatkan genggaman tombaknya, Musashi bertanya untuk basa-basi, "Anda siap?"
Basa-basi ini malah membikin Agon meradang. Otot-ototnya seperti baja, dan bila ia melompat, lompatannya bukan main ringannya. Kelihatan seolah kedua kakinya berada di lantai dan di udara sekaligus, menggeletar seperti cahaya bulan di atas gelombang samudra.
Musashi berdiri diam sepenuhnya, atau begitulah kelihatannya. Tak ada yang aneh pada sikapnya. Ia memegang pedang lurus ke depan dengan kedua belah tangannya, tapi karena hadannya sedikit lebih kecil dari lawannya dan tidak begitu berotot, ia tampak hampir biasa saja. Perbedaan terbesar adalah pada matanya. Mata Musashi setajam mata burung, sedangkan biji matanya seperti batu koral terang bergurat darah.
Agon menggelengkan kepala, barangkali untuk mengibaskan keringat yang mengucur dari dahinya, barangkali untuk mengibaskan kata-kara peringatan orang tua itu. Apakah kata-kata itu masih menempel? Apakah ia mencoba membuangnya ke luar pikirannya? Apa pun alasannya, ia tampak terganggu sekali. Berulang-ulang ia mengganti posisi dalam usaha memancing Musashi, tetapi Musashi tetap tak bergerak.
Sergapan yang dilancarkan Agon diiringi pekik tajam. Dalam sedetik yang menentukan itu Musashi menangkis dan sekaligus melancarkan serangan balasan.
"Apa yang terjadi?"
Para rekan pendeta Agon bergegas maju ke depan dan mengerumuninya dalam bentuk lingkaran hitam. Dalam suasana kacau-balau itu, beberapa orang menginjak tombak latihan dan jatuh tertelungkup.
Seorang pendeta bangkit berdiri, tangan dan dadanya berlumuran darah, dan serunya, "Obat! Ambil obat! Cepat!"
"Kalian tidak membutuhkan obat lagi." Itu ucapan orang tua yang masuk dari pintu depan dan cepat menilai keadaan. Wajahnya masam. "Kalau obat dapat menyelamatkannya, tidak akan aku mencoba menghentikannya tadi. Goblok!"
Tak seorang pun memperhatikan Musashi. Karena tak ada lagi yang bisa dikerjakannya, Musashi berjalan ke pintu depan dan mengenakan sandalnya. Orang tua itu mengikutinya.
"Hai!" katanya.
Sambil menoleh Musashi menjawab, "Ya?"
"Saya mau bicara sedikit dengan Anda. Masuklah lagi."
Ia mengantar Musashi ke sebuah kamar di belakang ruangan latihan, sebuah sel sederhana persegi empat. Pintu merupakan satu-satunya jalan ke luar.
Sesudah mereka duduk, orang tua itu berkata, "Sebetulnya lebih layak kalau Kepala Biara datang menyambut Anda, tapi dia sedang dalam perjalanan, dan baru kembali dalam dua atau tiga hari ini. Jadi, saya bertindak atas namanya."
"Oh, Bapak sungguh baik hati," kata Musashi membungkukkan kepala. "Saya berterima kasih atas latihan baik yang saya terima hari ini, tapi saya minta maaf atas terjadinya musibah tadi...."
"Kenapa? Hal seperti itu memang kadang-kadang terjadi. Anda harus siap menerimanya sebelum Anda mulai bertarung. Tak usah itu menggelisahkan Anda."
"Bagaimana luka Agon?"
"Dia terbunuh seketika," kata orang tua itu. Embusan napasnya terasa seperti angin dingin pada wajah Musashi.
"Dia mati?" Lalu kepada diri sendiri Musashi berkata, "Jadi, terjadi lagi sekarang." Sekali lagi pedang kayunya membunuh orang. Ia memejamkan mata. Dalam hati ia menyerukan nama Sang Budha, seperti yang biasa dilakukannya dahulu dalam kejadian serupa.
"Anak muda!"
"Ya, Pak."
"Apa namamu Miyamoto Musashi?"
"Betul."
"Siapa gurumu belajar seni bela diri?"
"Saya tak pernah punya guru dalam arti biasa. Ayah saya mengajari saya menggunakan pentung ketika saya masih kecil. Sejak itu saya mengambil sejumlah pelajaran dari samurai yang lebih tua di berbagai provinsi. Saya juga menghabiskan sejumlah waktu mengitari pedesaan, belajar di gunung-gunung dan sungai-sungai. Saya menganggap semua itu guru juga."
"Kamu rupanya memiliki sikap yang tepat. Tapi kamu begitu kuat! Terlalu amat kuat!"
Merasa sedang dipuji, wajah Musashi memerah, dan katanya, "Oh, tidak! Saya masih belum matang. Saya masih selalu berbuat kesalahan."
"Bukan itu yang kumaksud. Kekuatanmu itulah yang menjadi masalah. Kau mesti mengendalikannya, mesti lebih lemah."
"Bagaimana?" tanya Musashi bingung.
"Kau ingat, tadi kau lewat kebun sayur tempat aku bekerja?"
"Ya."
"Ketika melihatku, kau melompat menyingkir, bukan?"
"Ya."
"Kenapa begitu?"
"Wah, saya bayangkan waktu itu Bapak bisa menggunakan cangkul Bapak sebagai senjata dan menghantam kaki saya. Juga, walaupun perhatian Bapak kelihatannya terpusat ke tanah, seluruh tubuh saya terasa terpaku oleh pandangan Bapak. Saya merasa ada hawa pembunuhan dalam pandangan Bapak, seakan-akan Bapak sedang mencari tempat lemah dalam tubuh saya untuk diserang."
Orang tua itu tertawa. "Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Kau masih lima puluh kaki jauhnya dariku, tapi sudah kutangkap apa yang dinamakan 'hawa pembunuh' itu di udara. Kurasakan itu di ujung cangkulku. Demikian kuat semangat juang dan ambisimu, sehingga muncul dalam setiap langkah yang kau ambil. Waktu itu aku merasa harus siap mempertahankan diri.
"Kalau yang lewat itu cuma salah seorang dari petani desa ini, aku sendiri tak akan lebih dari seorang tua yang sedang mengurus sayur-sayuran. Benar, kau merasakan sikap permusuhanku, tapi itu hanya pantulan sikapmu sendiri. "
Jadi, Musashi benar, ketika ia menduga orang itu bukan orang biasa, sekalipun mereka belum bersapa kata. Sekarang ia merasakan pendeta itu guru, dan ia sendiri murid. Sikapnya kepada orang tua bungkuk itu menjadi hormat.
"Saya mengucapkan terima kasih atas pelajaran yang Bapak berikan. Boleh saya menanyakan nama Bapak dan kedudukan Bapak di kuil ini?"
"Oh, aku bukan dari Kuil Hozoin. Aku Kepala Biara Ozoin. Namaku Nikkan."
"Oh."
"Aku teman lama In'ei, dan karena dia mempelajari seni tombak, kuputuskan untuk belajar bersamanya. Tapi belakangan aku punya pikiran lain. Sekarang tidak pernah lagi kusentuh senjata itu."
"Jadi, Inshun yang jadi kepala biara ini murid Bapak."
"Ya, dapat dianggap demikian. Tapi kaum pendeta tidak seharusnya menggunakan senjata, dan rasanya sayang bahwa Hozoin jadi terkenal justru karena seni bela dirinya, bukan karena semangat keagamaannya. Namun ada yang merasa sayang sekali kalau Gaya Hozoin itu lenyap. Karena itu aku mengajarkannya kepada Inshun. Tak ada orang lain lagi yang kuajari."
"Kalau demikian, saya ingin tahu, apakah Bapak mengizinkan saya tinggal di kuil Bapak sampai Inshun kembali?"
"Apa kau berniat menantangnya?"
"Yah, selama saya berada di sini, ingin saya melihat bagaimana guru terkemuka itu memainkan tombak."
Nikkan menggeleng mencela.
"Itu buang-buang waktu. Tak ada yang bisa dipelajari di sini."
"Apa betul demikian?"
"Sudah kaulihat seni tombak Hozoin tadi, ketika menghadapi Agon. Apa lagi yang perlu disaksikan? Kalau ingin belajar lebih banyak, perhatikan aku. Pandang mataku."
Nikkan menaikkan bahunya, memajukan sedikit kepalanya, dan menatap Musashi. Matanya seolah-olah melompat dari ceruknya. Sementara Musashi ganti memandangnya, biji mata Nikkan bersinar, mula-mula dengan nyala warna merah merjan, lalu berangsur-angsur berubah menjadi biru langit yang bening. Cahaya mata itu membakar dan menumpulkan pikiran Musashi. Ia melengos. Tawa Nikkan pun berderai-derai seperti derak papan sekering tulang.
Ia baru mengendurkan pandangannya ketika seorang pendeta muda masuk dan berbisik kepadanya. "Bawa sini," perintahnya.
Segera pendeta muda itu kembali membawa baki dan wadah nasi dari kayu yang bulat bentuknya. Nikkan menyendok nasi dari wadah itu dan memasukkannya ke dalam mangkuk, lalu memberikannya kepada Musashi.
"Kusuguhkan nasi, teh, dan acar. Sudah biasa bagi Hozoin menyuguhkannya pada semua orang yang datang kemari untuk belajar, karena itu tak usah merasa telah merepotkan. Mereka membuat acarnya sendiri yang disebut acar Hozoin, yaitu mentimun yang diisi kemangi dan cabe merah. Kau akan merasakannya enak juga."
Sementara Musashi mengambil sumpit, ia merasa mata Nikkan yang tajam itu terarah lagi kepadanya. Tapi kali ini tak dapat ia menyatakan apakah daya tembus mata itu berasal dari dalam diri si pendeta, ataukah jawaban atas sesuatu yang ia keluarkan sendiri. Baru ia menggigit acar itu, ada perasaan mencengkamnya bahwa tinju Takuan hendak menghantamnya lagi, atau barangkali tombak di dekat ambang pintu itu yang hendak melayang ke arahnya.
Ketika ia sudah menghabiskan semangkuk nasi dengan teh dan dua acar, Nikkan bertanya, "Mau lagi?"
"Tidak, terima kasih. Sudah cukup banyak."
"Bagaimana rasa acarnya?"
"Enak sekali, terima kasih."
Sesudah pergi pun sengatan cabe merah di lidah itulah yang terutama mengingatkan Musashi kepada rasa acar itu. Dan itu tidak merupakan satusatunya sengatan yang dirasakannya, karena ia meninggalkan tempat itu dengan keyakinan bahwa bagaimanapun ia sudah kalah. "Aku kalah," demikian gerutunya ketika ia berjalan pelan-pelan melintasi rumpun kriptomeria. "Aku sudah diungguli!" Dalam cahaya remang-remang terlihat olehnya bayang-bayang sekejap melintasi jalannya. Bayang-bayang segerombolan kecil rusa yang ketakutan oleh langkah kakinya.
"Kalau bicara soal kekuatan fisik, aku menang, tapi aku tinggalkan tempat itu dengan perasaan kalah. Kenapa? Apa aku menang secara lahir, hanya untuk kalah secara batin?"
Tiba-tiba, karena ingat Jotaro, ia memutar langkah kembali menuju Hozoin, di mana lampu-lampu masih menyala. Ia menyebutkan namanya dan pendeta yang berjaga di pintu melongokkan kepala, dan katanya sambil lalu, "Ada apa? Ada yang lupa?"
"Ya. Besok atau lusa akan datang satu orang mencari saya kemari. Kalau dia datang, saya mohon disampaikan kepadanya bahwa saya tinggal di daerah Kolam Sarusawa. Dia harus menanyakan saya di rumah-rumah penginapan yang ada di sana."
"Baik."
Karena jawaban itu acuh tak acuh, Musashi merasa perlu menambahkan, "Yang datang itu anak lelaki. Namanya Jotaro. Dia masih kecil, karena itu tolong disampaikan pesan ini baik-baik kepadanya."
Musashi kembali menempuh jalan yang tadi ditempuhnya sambil menggerutu, "Ini bukti aku kalah. Aku bahkan lupa meninggalkan pesan untuk Jotaro. Aku dikalahkan oleh kepala biara tua itu!" Kekesalan Musashi berlanjut terus. Walaupun ia sudah menang melawan Agon, namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya, yaitu kementahan yang dirasakannya di hadapan Nikkan. Bagaimana mungkin ia menjadi pemain pedang besar, yang terbesar dari semuanya? Itulah persoalan yang terus merundungnya siang dan malam. Pertemuan hari ini telah membuatnya betul-betul murung.
Selama sekitar dua puluh tahun terakhir ini, wilayah antara Kolam Sarusawa dan bagian hilir Sungai Sai telah dibangun dengan mantapnya. Di sana sekarang terdapat bangunan campur aduk, rumah-rumah penginapan, dan toko-toko baru. Baru-baru ini Okubo Nagayasu datang memerintah kota itu atas nama Keluarga Tokugawa dan mendirikan kantor-kantor pemerintahan di dekat sana. Di tengah kota berdiri bangunan milik seorang Cina yang kabarnya adalah turunan Lin Ho-ching. Usahanya berjualan bakpau maju pesat, dan waktu itu sedang berlangsung perluasan tokonya ke arah Kolam Sarusawa.
Musashi berhenti di tengah hutan lampu di daerah paling ramai. Ia bingung di mana mesti tinggal. Ada banyak rumah penginapan di sana, tapi ia harus hati-hati mengeluarkan uang. Lagi pula ia ingin memilih tempat yang tidak terlampau jauh dari jalan yang banyak ditempuh orang, agar Jotaro dapat menemukannya dengan mudah.
Ia baru saja makan di kuil, tapi ketika tercium olehnya bau bakpau itu, ia merasa lapar lagi. Ia masuk toko itu, duduk dan memesan satu piring penuh. Ketika pesanan datang, ia melihat bahwa nama Lin dicetakkan di bagian bawah kue. Berlainan dengan acar pedas di Hozoin, rasa kue itu dapat dinikmatinya dengan senang.
Gadis yang menuangkan tehnya bertanya sopan, "Di mana Tuan mau menginap malam ini?"
Karena tidak kenal daerah itu, Musashi segera memanfaatkan kesempatan tersebut dengan menjelaskan keadaan dirinya dan sekalian minta nasihatnya. Gadis itu mengatakan bahwa salah seorang sanak pemilik toko itu mempunyai rumah pondokan. Di situ Musashi akan diterima dengan senang hati. Tanpa menantikan jawaban Musashi lagi, gadis itu sudah menderap pergi. Ia kembali lagi bersama seorang wanita yang masih agak muda. Alisnya yang dicukur menunjukkan bahwa ia sudah menikah; agaknya ia istri pemilik toko.
Rumah pondokan itu terdapat di lorong yang tenang, tidak jauh dari restoran. Agaknya itu tempat tinggal biasa yang kadang-kadang menerima tamu. Si nyonya tak beralis itu mengantar Musashi, mengetuk pintu pelanpelan, kemudian menoleh kepada Musashi, dan katanya pelan, "Ini rumah kakak perempuan saya, jadi tak usah susah-susah memberi tip atau apa pun."
Pelayan keluar dari rumah, dan kedua orang itu saling berbisik beberapa waktu lamanya. Pelayan merasa puas dan mengantar Musashi ke lantai kedua.
Kamar dan perlengkapan kamar itu terlalu baik untuk sebuah rumah penginapan biasa, hingga Musashi merasa sedikit kurang enak. Ia heran, kenapa rumah sebaik itu menerima tumpangan. Maka ia bertanya kepada pelayan, tapi yang ditanya hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa. Sesudah makan, Musashi mandi dan pergi tidur, tapi persoalan itu masih terus terpikir olehnya, sampai ketika ia hampir tertidur.
Pagi berikutnya ia mengatakan kepada pelayan itu, "Akan ada orang datang mencari saya. Apa keberatan kalau saya menginap sehari-dua hari sampai dia datang?"
"Tentu saja tidak," jawab pelayan tanpa bertanya lagi kepada nyonya rumah, yang segera datang sendiri berkunjung.
Nyonya rumah itu wanita berpakaian apik berumur sekitar tiga puluh tahun, berkulit indah, dan lembut. Ketika Musashi mencoba memuaskan rasa ingin tahunya dan bertanya kenapa nyonya itu menerima orang menginap, ia menjawab sambil tertawa, "Kalau mau terus terang, saya janda-suami saya dulu aktor No, namanya Kanze. Saya takut kalau tak ada lelaki di rumah ini. Maklum, banyak ronin yang kurang berpendidikan di sekitar sini." Ia selanjutnya menjelaskan bahwa jalan-jalan penuh toko minuman dan pelacur. Banyak di antara samurai miskin tidak cukup puas dengan barang-barang hiburan itu. Mereka memeras keterangan dari pemudapemuda setempat dan menyerang rumah-rumah yang tak ada lelakinya. Operasi ini mereka namakan "kunjungan pada para janda."
"Dengan kata lain," kata Musashi, "Nyonya menerima orang seperti saya ini supaya saya dapat bertindak selaku pengawal, betul?"
"Yah," kata nyonya itu tersenyum, "seperti saya katakan tadi, di rumah ini tak ada lelaki. Saya harap Tuan dapat merasa bebas tinggal di sini, selama Tuan suka."
"Saya mengerti sepenuhnya. Saya harap Nyonya merasa aman, selama saya di sini. Hanya ada satu hal yang saya minta. Saya menantikan seorang tamu, karena itu apakah Nyonya dapat memasang tanda yang memuat nama saya di luar gerbang sana?"
Janda itu sama sekali tidak keberatan mengumumkan kepada orang banyak, bahwa ada lelaki di rumahnya, maka dengan patuhnya ia menuliskan nama "Miyamoto Musashi" pada secarik kertas yang kemudian ditempelkannya di tiang gerbang.
Jotaro tidak muncul hari itu, tapi hari berikutnya Musashi menerima kunjungan rombongan tiga samurai. Ketiganya memaksa masuk, walaupun diprotes oleh pelayan. Mereka langsung naik dan masuk ke kamar Musashi. Musashi segera tahu bahwa mereka sebagian dari orang-orang yang hadir di Hozoin ketika la membunuh Agon. Duduk di lantai mengitarinya, seolah-olah mereka telah mengenalnya sepanjang hidupnya, mereka mencurahkan kata-kata jilatan.
"Tak pernah saya melihat yang seperti itu dalam hidup saya," kata yang seorang. "Saya yakin belum pernah hal semacam itu terjadi di Hozoin. Bayangkan saja! Seorang tamu tak dikenal datang, dan begitu saja dia langsung melumpuhkan salah satu dari Tujuh Pilar. Dan bukan orang biasa yang dilumpuhkannya, tapi Agon yang mengerikan itu sendiri. Sekali bentak saja dia sudah muntah darah. Jarang ada pemandangan seperti itu!"
Yang lain melanjutkan dengan nada yang sama. "Semua orang yang kami kenal bicara tentang itu. Semua ronin bertanya-tanya, siapa orang yang namanya Miyamoto Musashi ini. Hari itu hari buruk buat nama baik Hozoin."
"Ya, Anda tentu pemain pedang terbesar di negeri ini!"
"Dan masih begitu muda lagi!"
"Tak sangsi lagi. Dan Anda akan menjadi lebih baik lagi nantinya."
"Kalau Anda tidak keberatan, saya ingin bertanya, kenapa dengan kecakapan Anda yang demikian Anda hanya jadi ronin? Suatu pemborosan bakat bahwa Anda tidak mengabdi kepada seorang daimyo!"
Mereka berhenti agak lama hanya waktu menghirup teh dan melahap kue dengan rakusnya, hingga remah-remahnya berceceran ke pangkuan mereka dan ke lantai.
Malu mendapat pujian demikian melimpah, Musashi mengalihkan pandangan dari kanan ke kiri, dan sebaliknya. Untuk sementara ia mendengarkan saja dengan muka tenang, karena menurut pikirnya lambat atau cepat semangat mereka itu akan menurun. Tapi ketika mereka tidak memperlihatkan tanda-tanda akan mengubah pokok pembicaraan, ia mengambil prakarsa dengan menanyakan nama mereka.
"O, maaf, nama saya Yamazoe Dampachi. Saya mengabdi kepada Yang Dipertuan Gamo," kata yang pertama.
Orang yang di sebelahnya berkata, "Saya Otomo Banryu. Saya menguasai Gaya Bokuden, dan saya banyak punya rencana untuk masa depan."
"Saya Yasukawa Yasubei," kata orang ketiga sambil tertawa kecil. "Saya belum pernah jadi apa-apa kecuali ronin, seperti ayah saya."
Musashi heran, kenapa mereka membuang waktu untuk omongan yang tak ada artinya itu. Jelaslah ia tidak akan mengetahui sesuatu kalau ia tidak bertanya, karena itu ketika pembicaraan berhenti lagi, ia berkata, "Saya kira Anda sekalian datang kemari karena ada urusan dengan saya."
Mereka pura-pura terkejut mendengar apa yang dikemukakan Musashi, tapi segera mereka membenarkan bahwa mereka memang datang untuk apa yang mereka anggap sebagai misi yang sangat penting. Sambil maju cepat ke depan, Yasubei berkata, "Memang kami ada urusan dengan Anda. Begini, kami punya rencana mengadakan 'hiburan' umum di kaki Gunung Kasuga, dan kami ingin bicara dengan Anda soal itu. Ini bukan permainan atau hal lain serupa itu. Kami ingin mengadakan serangkaian pertandingan yang akan memberikan pelajaran pada rakyat tentang seni bela diri, dan sekaligus memberikan kesempatan pada mereka untuk bertaruh."
Ia melanjutkan bahwa arena sudah didirikan, dan prospeknya kelihatannya baik sekali. Namun mereka merasa butuh orang lain, karena kalau hanya mereka bertiga, samurai yang betul-betul kuat kemungkinan akan datang dan mengalahkan mereka semua. Itu berarti uang yang mereka peroleh dengan susah payah akan hilang percuma. Mereka menyimpulkan, Musashi yang paling tepat bagi mereka. Kalau ia mau menggabungkan diri dengan mereka, mereka tidak hanya akan membagi dengannya keuntungan mereka, melainkan juga membayar makanan dan penginapan Musashi selama pertandingan berlangsung. Dengan cara itu, ia dapat dengan mudah memperoleh uang cepat, untuk perjalanannya yang akan datang.
Musashi senang juga mendengar bujukan mereka itu, tapi segera kemudian ia lelah, dan tukasnya, "Kalau itu yang Anda sekalian inginkan, tak ada yang mesti dibicarakan. Saya tidak tertarik."
"Kenapa tidak?" tanya Dampachi. "Kenapa tidak tertarik?"
Watak muda Musashi meletus. "Saya bukan penjudi!" katanya berang. "Dan saya makan dengan sumpit, bukan dengan pedang saya!"
"Apa itu?" mereka bertiga memprotes, karena terhina oleh sindiran Musashi. "Apa maksud Anda dengan itu?"
"Jadi, kalian tak mengerti, orang-orang sinting? Saya ini samurai, dan saya bermaksud tetap menjadi samurai, biarpun saya akan kelaparan karena itu. Sekarang enyah dari sini!"
Mulut salah seorang dari orang-orang itu memerot menjadi mata kayu yang keji, sedangkan seorang lagi menjadi merah karena marah, dan serunya, "Kamu pasti akan menyesal!"
Mereka tahu benar bahwa mereka bertiga jadi satu pun bukan tandingan Musashi. Tapi untuk menyelamatkan muka, mereka tinggalkan tempat itu dengan ribut, memberengut, dan berusaha keras menimbulkan kesan bahwa urusan dengan Musashi belum selesai.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, bulan tampak putih dan sedikit berawan. Nyonya rumah yang masih muda berusaha menyuguhkan makanan yang enak dan sake yang baik mutunya kepada Musashi, karena ia merasa bebas dari kekuatiran selama Musashi diam di sana. Musashi makan di bawah bersama keluarga, dan dalam acara makan itu ia minum sampai setengah mabuk.
Kembali ke kamarnya, ia menggeletakkan diri di lantai. Segera kemudian pikirannya pun terhenti pada Nikkan.
"Sungguh memalukan," katanya pada diri sendiri.
Musuh-musuh yang telah dikalahkannya, bahkan juga yang sampai terbunuh atau setengah terbunuh, selalu menghilang dari pikirannya seperti buih. Tapi ia tidak dapat melupakan siapa pun yang berhasil lebih baik daripada dirinya, atau dalam hal ini siapa pun yang rasanya mengunggulinya. Orang-orang seperti itu terus menetap dalam pikirannya seperti roh yang hidup, dan ia selalu berpikir kapan dapat mengalahkan mereka.
"Memalukan!" ulangnya.
Ia mencengkeram rambutnya dan memeras otak bagaimana caranya mengungguli Nikkan, bagaimana caranya menghadapi pandangan yang menakutkan itu tanpa mengelak. Dua hari lamanya persoalan itu menggerogotinya. Bukan ia ingin mencelakakan Nikkan, tapi ia sangat kecewa terhadap dirinya sendiri.
"Apa betul diriku kurang baik?" tanyanya sedih kepada diri sendiri. Karena selama ini belajar ilmu pedang tanpa guru, ia kurang bisa menilai kekuatannya sendiri secara objektif. Tak bisa tidak, ia ragu, seperti yang dipancarkan pendeta tua itu.
Nikkan mengatakan ia terlampau kuat, sehingga harus belajar menjadi lebih lemah. Inilah yang membuat pikirannya terus bekerja keras, karena ia tidak dapat menduga maknanya. Apakah kekuatan itu bukan dasar terpenting seorang prajurit? Apakah bukan itu yang membuat seorang prajurit unggul atas prajurit lain? Bagaimana bisa Nikkan menyebutnya sebagai suatu kekurangan?
"Barangkali," pikir Musashi, "bangsat tua itu mempermainkan diriku. Barangkali dia memandang mudanya umurku, dan memilih bicara berteka-teki untuk membingungkan aku dan menyenangkan hatinya sendiri. Dan sesudah aku pergi, dia tertawa senang. Mungkin saja."
Pada waktu-waktu seperti ini, Musashi bertanya-tanya apakah bijaksana membaca segala macam buku di Puri Himeji itu. Sebelum itu tak pernah ia susah-susah memikirkan persoalan, tapi sekarang, apabila sesuatu terjadi, tidak dapat ia beristirahat sebelum ditemukannya penjelasan yang memuaskan kecerdasannya. Dahulu ia hanya bertindak atas dasar naluri, sekarang ia harus memahami setiap hal-hal kecil, sebelum dapat menerimanya. Dan ini tidak hanya mengenai seni pedang, tapi juga mengenai cara memandang manusia dan masyarakat.
Benar, kenekatan di dalam dirinya sudah dijinakkan. Namun Nikkan mengatakan ia "terlalu kuat". Musashi menyimpulkan bahwa yang dibicarakan Nikkan bukan kekuatan fisik, melainkan semangat juang liar yang menyertai kelahirannya. Apakah pendeta itu benar-benar dapat memahaminya, ataukah hanya menduga-duga?
"Pengetahuan yang berasal dari buku itu tidak ada gunanya buat prajurit," demikian ia meyakinkan dirinya kembali. "Kalau orang terlalu menggubris apa yang dipikirkan atau dilakukan orang lain, bisa lambat tindakannya. Sekiranya Nikkan sejenak saja menutup mata dan salah langkah, dia pasti ambruk dan jatuh berantakan!"
Bunyi langkah kaki di tangga mengganggu renungannya. Pembantu muncul diiringi Jotaro yang kulitnya jadi lebih hitam lagi oleh debu yang menempel pada badannya selama perjalanan, tapi rambutnya yang seperti rambut peri itu putih oleh debu. Musashi benar-benar senang mendapat hiburan dengan datangnya teman kecilnya itu. Ia menyambut si anak dengan tangan terbuka.
Anak itu menjatuhkan diri ke lantai dan langsung meluruskan kedua kakinya yang kotor. "Oh, capeknya!" keluhnya.
"Apa sulit menemukan aku?"
"Sulit! Hampir saya putus asa. Sudah di seluruh tempat saya mencari!"
"Apa kamu tidak bertanya di Hozoin?"
"Ya, tapi mereka bilang tidak kenal Kakak sama sekali."
"Oh, mereka kenal betul!" Mata Musashi menyipit. "Bahkan khusus kukatakan pada mereka, kamu bisa menemukan aku dekat Kolam Sarusawa. Tapi baiklah, aku senang kamu sudah melakukan semua itu."
"Ini jawaban dari Perguruan Yoshioka itu." Jotaro menyerahkan tabung bambu itu kepada Musashi. "Saya tak dapat menemukan Hon'iden Matahachi, jadi saya minta orang di rumahnya menyampaikan pesan kepadanya."
"Bagus. Sekarang pergi mandi sana. Nanti mereka kasih kamu makan di bawah."
Musashi mengeluarkan surat itu dari tabungnya dan membacanya. Isinya menyatakan bahwa Seijuro mengharapkan berlangsungnya "pertandingan kedua". Jika Musashi tidak muncul seperti dijanjikan tahun berikutnya, dapat disimpulkan bahwa ia sudah kehilangan nyali. Kalau itu terjadi, Seijuro pasti akan menjadikan Musashi bahan tertawaan di Kyoto. Omongan besar ini disampaikan dengan tulisan tangan kaku yang agaknya dibuat orang lain, bukan Seijuro.
Musashi merobek-robek surat itu menjadi sobekan-sobekan kecil dan membakarnya, maka remah-remah hangus itu pun berterbangan ke udara, seperti kupu-kupu hitam.
Seijuro bicara tentang "pertandingan", padahal jelas yang terjadi akan lebih lagi. Yang akan terjadi adalah pertarungan sampai mati. Tahun depan, akibat surat yang menghina ini, siapakah di antara kedua jago itu yang akan menjadi abu?
Musashi menganggap sudah sewajarnya seorang prajurit harus puas dengan hidup dari hari ke hari, dan tak pernah tahu di waktu pagi apakah ia akan terus hidup menyaksikan jatuhnya malam. Namun demikian, agak resah juga ia memikirkan bahwa tahun yang akan datang kemungkinan ia akan benar-benar mati. Begitu banyak hal yang masih ingin ia lakukan. Pertama-tama ia menyimpan keinginan menyala-nyala untuk menjadi pemain pedang besar. Dan bukan itu saja. Sebegitu jauh, demikian pikirnya, ia belum melakukan satu pun dari hal-hal yang biasa dilakukan orang dalam perjalanan hidupnya.
Pada umurnya sekarang, sebetulnya terlalu pagi ia punya pikiran ingin memiliki pegawai sendiri dalam jumlah besar, yang akan menuntun kudakudanya atau membawa burung elangnya, seperti Bokuden dan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise. Ia ingin juga memiliki rumah yang pantas, dengan istri yang baik dan pelayan-pelayan setia. Ia ingin menjadi tuan yang baik dan menikmati kehangatan dan kesenangan hidup keluarga. Dan tentu saja, sebelum hidup menetap, diam-diam ingin juga ia mengalami percintaan menyala-nyala. Selama beberapa tahun berpikir semata-mata tentang Jalan Samurai, ia tetap perjaka, dan itu bukan tidak wajar. Namun terpesona juga ia melihat sebagian wanita di jalan-jalan Kyoto dan Nara. Dan yang menyenangkannya itu bukan hanya nilai-nilai keindahan mereka; mereka juga menggetarkannya secara fisik.
Pikirannya pun melayang kepada Otsu. Sekalipun gadis itu sekarang merupakan makhluk masa lalu yang jauh, ia merasa sangat terikat kepadanya. Beberapa kali sudah, ketika ia kesepian atau sedang gundah, kenangan samar-samar saja tentang gadis itu sudah dapat menyegarkannya kembali.
Tak lama kemudian angan-angan itu buyar. Jotaro datang kembali, sudah mandi, kenyang, dan bangga karena sudah melaksanakan kewajiban dengan berhasil. Tak lama sesudah bersila dan mengatur tangan di pangkuan, ia pun menyerah kepada lelah. Segera saja ia tertidur dengan nyenyaknya, mulutnya ternganga. Musashi menidurkannya ke tempat tidur.
Pagi tiba. Anak itu bangun bersama burung layang-layang. Musashi pun bangun pagi, karena ia bermaksud meneruskan perjalanan.
Ketika ia sedang berpakaian, janda itu muncul, dan katanya dengan nada menyesali, "Anda rupanya buru-buru akan pergi." la membawa pakaian, yang kemudian diberikannya kepada Musashi. "Saya jahit pakaian ini untuk Anda sebagai hadiah perpisahan-sebuah kimono dengan jubah pendek. Tak tahulah saya, apa Anda menyukainya, tapi saya harap Anda memakainya."
Musashi memandang heran. Pakaian itu terlalu mahal baginya, padahal ia tinggal di situ hanya selama dua hari. Ia mencoba menolaknya, tetapi janda itu berkeras. "Tidak, Anda mesti menerimanya. Dan lagi pakaian ini tidak begitu luar biasa. Saya banyak punya kimono lama dan pakaian No peninggalan suami saya. Barang-barang itu tak ada gunanya buat saya. Lebih baik kalau Anda memilikinya. Saya harap betul, Anda tidak menolak. Saya sudah mengubahnya, supaya cocok untuk Anda, jadi kalau Anda tidak menerimanya, akan sia-sia saja kerja saya."
Ia pergi ke belakang Musashi dan mengangkat kimono itu supaya Musashi dapat memasukkan tangannya. Selagi mengenakan kimono itu, tahulah Musashi bahwa bahan sutranya dari mutu yang baik sekali, dan ia merasa lebih malu lagi dari sebelumnya. Jubah tak berlengan itu bagus sekali. Tentunya diimpor dari Cina. Kelimannya dari kain brokat emas, lapisannya dari kain krep sutra, dan tali pengikatnya terbuat dari kulit dicelup warna ungu.
"Kelihatan cocok sekali untuk Anda!" ucap janda itu.
Jotaro tampak iri, dan tiba-tiba katanya kepada janda itu, "Saya sendiri mau Ibu kasih apa?"
Janda itu tertawa. "Seharusnya kamu sudah senang mendapat kesempatan mengikuti tuanmu yang gagah."
"Ah," gerutu Jotaro, "siapa yang mau kimono lama?"
"Apa ada yang sungguh kamu inginkan?"
Anak itu lari ke dinding kamar tunggu dan mencopot topeng No dari sangkutannya, katanya, "Ya, ini!" Ia mendambakan barang itu sejak pertama kali mengamatinya malam sebelumnya, dan kini ia membelaikan topeng itu dengan mesranya ke pipi.
Musashi kagum akan selera bagus anak itu. Ia sendiri merasa topeng itu mengagumkan buatannya. Sukar diketahui siapa pembuatnya, tapi umurnya tentulah sudah dua atau tiga abad, dan jelas pernah dipakai dalam pertunjukan-pertunjukan No. Wajah yang diukir sangat halus itu wajah jin perempuan. Tetapi kalau biasanya topeng jenis ini dicat titik-titik warna biru mengerikan, maka topeng ini adalah wajah gadis cantik dan anggun.
Yang ganjil padanya hanyalah karena salah satu ujung mulutnya melengkung tajam ke atas, mengerikan sekali. Jelaslah bukan wajah khayalan yang diciptakan sang seniman, melainkan potret perempuan gila yang nyata dan hidup, yang cantik namun penuh pesona.
"Oh, itu tak boleh kamu miliki," kata janda itu tegas, berusaha merebut topeng tersebut.
Jotaro menghindari jangkauan janda itu dan mengenakan topeng itu pada kepalanya dan menari sekeliling kamar sambil berseru-seru melawan, "Apa guna topeng ini buat Ibu? Sudah jadi milik saya sekarang. Akan saya ambil!"
Musashi berusaha juga menangkapnya, karena ia merasa kaget dan malu oleh kelakuan muridnya, tetapi Jotaro memasukkan topeng itu ke dalam kimononya, lalu turun tangga, dikejar janda itu. Janda itu memang tertawa, sama sekali tidak marah, tapi jelas kelihatan ia tidak ingin berpisah dengan topeng itu.
Sebentar kemudian Jotaro kembali naik tangga pelan-pelan. Musashi duduk menghadap pintu, siap mencacinya sehebat-hebatnya. Tapi ketika masuk, anak itu berteriak, "Booo!" dan menyorongkan topeng itu ke hadapannya. Musashi sangat terkejut; otot-ototnya menjadi tegang dan lututnya beralih-alih letak tanpa disadarinya.
Ia tidak tahu kenapa kelakar Jotaro menimbulkan akibat sedemikian padanya. Tapi ketika mengawasi topeng itu dalam cahaya remang-remang, mulailah ia memahaminya. Si pengukir telah memasukkan sesuatu yang sifatnya setani dalam ciptaannya. Senyuman bulan sabit yang disertai lengkungan ke atas pada bagian kiri wajah putih itu sungguh angker, mengandung setan.
"Kalau mau berangkat, mari kita berangkat," kata Jotaro.
Tetap duduk, Musashi berkaca, "Kenapa belum kamu kembalikan topeng itu? Buat apa kamu barang macam itu?"
"Tapi dia bilang, boleh saya ambil! Dia berikan pada saya."
"Bohong! Turun sana, dan kembalikan padanya."
"Tapi dia sudah memberikannya pada saya! Waktu mau saya kembalikan, dia bilang, kalau saya memang ingin sekali, boleh saya memilikinya. Cuma dia pesan supaya saya merawatnya baik-baik. Tadi saya janji akan merawatnya."
"Mau kuapakan kamu!" Musashi merasa malu, karena pertama ia menerima kimono itu, dan kemudian topeng yang agaknya sangat dihargai janda itu. Ingin ia berbuat sesuatu untuk membalasnya, tetapi janda itu rupaya tidak butuh uang-apalagi uang dalam jumlah kecil yang dapat disisihkan Musashi-sedangkan di antara miliknya yang tak seberapa itu tak ada yang sesuai untuk hadiah. Ia turun tangga untuk meminta maaf atas kekurangajaran Jotaro dan mencoba mengembalikan topeng itu.
Namun janda itu mengatakan, "Tidak. Makin saya timbang, makin terpikir oleh saya bahwa saya lebih bahagia tanpa topeng itu. Lagi pula dia ingin sekali memilikinya.... Tak usahlah begitu keras terhadap dia."
Musashi menduga topeng itu memiliki makna tertentu bagi si janda, maka ia sekali lagi berusaha mengembalikannya, tetapi kali itu Jotaro sudah mengenakan sandal jeraminya dan sudah berada di luar, menanti dekat gerbang dengan pandangan puas. Karena sudah ingin pergi, Musashi mengalah pada kebaikan janda itu dan menerima hadiahnya. Kata janda muda itu, ia lebih berat melihat Musashi pergi daripada kehilangan topeng itu, dan beberapa kali ia minta kepada Musashi untuk datang kembali dan tinggal di sana, kapan saja ia berada di Nara.
Musashi sedang mengikatkan tali sandalnya ketika istri pembuat kue bakpau itu datang berlari-lari. "Oh," kata nyonya itu kehabisan napas, "saya senang sekali Anda belum berangkat. Anda tak bisa pergi sekarang. Saya minta Anda balik ke atas. Mengerikan!" Suara perempuan itu gemetar, seakan-akan ada setan yang menakutkan hendak menyerangnya.
Musashi selesai mengikatkan sandalnya, dan tenang-tenang mengangkat kepala, "Ada apa? Apa yang mengerikan?"
"Pendeta-pendeta Hozoin mendengar bahwa Anda akan berangkat hari mi. Lebih dari sepuluh orang membawa tombak dan mengendap menanti Anda di Dataran Hannya."
"Oh?"
"Ya, dan Kepala Biara, Inshun, ikut juga dengan mereka. Suami saya kenal salah seorang pendeta itu dan sudah bertanya kepadanya apa yang sedang terjadi. Pendeta mengatakan orang yang tinggal di sini beberapa hari terakhir ini, yaitu orang yang namanya Miyamoto, akan meninggalkan Nara hari ini, dan para pendeta akan mencegatnya di jalan."
Wajah perempuan itu mengerinyut takut. Ia berusaha meyakinkan Musashi bahwa meninggalkan Nara pagi itu sama saja dengan bunuh diri. Dengan sangat ia minta Musashi untuk menanti sampai malam berikutnya. Menurut pendapatnya, akan lebih aman kalau Musashi mencoba pergi diam-diam hari berikutnya.
"Ya," kata Musashi datar. "Jadi, menurut Ibu, mereka bermaksud menemui saya di Dataran Hannya?"
"Saya tidak tahu pasti di mana, tapi mereka pergi ke jurusan itu. Beberapa penduduk mengatakan yang ikut tidak hanya pendeta. Mereka bilang banyak ronin ikut juga berkumpul. Katanya mereka akan menangkap Anda dan mengembalikan Anda ke Hozoin. Apa Anda bicara jelek tentang kuil itu, atau menghina mereka, entah bagaimana caranya?"
"Tidak."
"Nah, mereka bilang, pendeta-pendeta itu naik darah karena Anda sudah menyewa orang untuk memasang banyak poster dengan sajak-sajak yang isinva menertawakan Hozoin. Menurut mereka, itu berarti Anda bergendang paha, karena sudah membunuh seorang dari mereka."
"Saya tidak melakukan hal-hal seperti itu. Semua itu kekeliruan."
"Nah, kalau itu kekeliruan, tak perlu Anda pergi ke sana dan terbunuh karenanya."
Dengan dahi bercucuran keringat Musashi memandang ke langit, merenung, dan teringatlah ia betapa marah ketiga ronin itu ketika ia menolak tawaran bisnis mereka. Barangkali merekalah sumber segalanya ini. Rasanya tidak mengherankan jika orang seperti mereka lalu memasang poster-poster yang sifatnya menghina dan kemudian menyebarkan kepada orang banyak bahwa dialah yang melakukan itu.
Mendadak sontak la berdiri. "Saya pergi sekarang," katanya.
Ia menyandangkan tas perjalanannya ke punggung, mengambil topi anyaman, dan sambil menghadap kedua perempuan itu ia mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati mereka. Ketika ia berjalan menuju gerbang, janda itu mengikutinya sambil menangis dan memohon kepadanya agar tidak pergi.
"Kalau saya menginap semalam lagi," jelasnya, "pasti akan timbul kesulitan di rumah Ibu. Saya tak ingin hal itu terjadi. Ibu sudah begitu baik pada saya."
"Saya tak peduli," desak janda itu. "Anda lebih aman di sini."
"Tidak, saya pergi sekarang. Jo! Ucapkan terima kasih pada Ibu."
Dengan patuhnya anak itu membungkuk dan melakukan hal yang disuruhkan kepadanya. Ia kelihatannya patah semangat, tapi bukan karena menyesal akan berangkat. Memang Jotaro belum betul-betul kenal Musashi. Di Kyoto ia mendengar bahwa tuannya itu lemah dan pengecut. Pikiran bahwa jago-jago tombak jahat Hozoin akan menyerang Musashi itulah yang sangat mematahkan semangatnya. Hatinya yang masih muda itu penuh kemurungan dan firasat.
bersambung>>>
0 komentar:
Posting Komentar