bagian 14
SEIJURO tiba kembali di sekolah dalam keadaan murung. Ia sorongkan elangnya ke tangan seorang murid, dan dengan singkat ia perintahkan murid itu memasukkannya kembali ke sangkarnya.
"Kojiro tidak bersama Tuan?" tanya murid itu.
"Tidak, tapi aku yakin sebentar lagi dia datang."
Sesudah mengganti pakaian, Seijuro duduk di kamar tamu. Di seberang, halaman ada dojo besar yang sudah ditutup sejak latihan terakhir tanggal dua puluh lima. Selama setahun itu sekitar seribu orang murid pergi-datang. Dojo takkan dibuka lagi sampai datangnya masa latihan pertama Tahun Baru. Karena pedang-pedang kayu tak berbunyi, rumah jadi terasa sunyi dan dingin.
Seijuro ingin sekali berpasangan latihan dengan Kojiro, karena itu berulang-ulang ia bertanya kepada muridnya, apakah Kojiro sudah kembali. Tapi Kojiro tidak kembali, tidak juga malam itu, dan hari berikutnya.
Tamu-tamu lain, sebaliknya, datang dengan paksa, karena itu hari terakhir rahun ini, yaitu hari untuk membereskan semua rekening. Bagi orang-orang rang bergerak dalam bidang usaha, persoalannya adalah menagih sekarang atau menanti sampai pesta Bon musim panas berikut. Karena itu, tengah hari kamar depan penuh penagih rekening. Biasanya orang-orang itu memperlihatkan wajah patuh sepenuhnya di hadapan samurai, tapi kini kesabaran mereka sudah habis. Mereka mengambil sikap blak-blakan dan menggunakan istilah-istilah jelas.
"Apa tak bisa Bapak paling tidak membayar sebagian utang?"
"Bapak selalu bilang, orang yang bertugas sedang keluar, atau guru sedang pergi selama beberapa bulan ini. Apa Bapak kira Bapak bisa menangguhkan selamanya?"
"Berapa kali kami mesti datang kemari?"
"Pak Guru yang tua dulu langganan yang baik. Saya takkan mengatakan apa-apa kalau cuma untuk setengah tahun terakhir, tapi tengah tahun pun Bapak belum bayar. Oh, bahkan dari tahun lalu ada rekening-rekening yang tak terbayar!"
Beberapa orang dengan tak sabar mengetuk-ngetuk buku rekeningnya dan menyodorkannya ke bawah hidung murid itu. Mereka itu tukang kayu, tukang plester, tukang beras, pedagang sake, penjahit pakaian, dan macammacam warung teh di mana Seijuro makan dan minum dengan berutang. Tapi semua itu cuma kecil saja, dan tagihan mereka tidak seberapa dibandingkan dengan tagihan dari para lintah darat. Tanpa sepengetahuan kakaknya. Denshichiro meminjam uang tunai pada mereka.
Setengah lusin di antara orang-orang itu tetap duduk, menolak meninggalkan tempat.
"Kami mau bicara dengan Seijuro sendiri. Menghabiskan waktu saja bicara dengan murid-murid."
Seijuro menyendiri di belakang rumah. Pesannya hanyalah, "Katakan pada mereka, aku pergi." Denshichiro tentu saja takkan berada dekat-dekat rumah pada hari seperti itu. Wajah paling mencolok yang tidak kelihatan adalah wajah orang yang bertanggung jawab atas buku perguruan dan rekening rumah tangga, Gion Toji. Beberapa hari sebelumnya ia melarikan diri dengan Oko beserta semua uang yang telah dihimpunnya dalam perjalanan ke barat.
Tak lama kemudian, enam atau tujuh orang berjalan petentengan masuk, dipimpin Ueda Ryohei. Dalam keadaan demikian memalukan pun Ueda Ryohei tetap merasa bangga menjadi seorang di antara Sepuluh Pemain Pedang Keluarga Yoshioka. Dengan pandangan mengancam ia bertanya, "Apa yang terjadi di sini?"
Murid itu memberikan ikhtisar singkat, walaupun berusaha menyatakan bahwa menurut anggapannya penjelasan tidaklah perlu.
"Cuma itu?" tanya Ryohei mencela. "Jadi, ini cuma rombongan buaya duit? Apa bedanya? Toh akhirnya akan dibayar. Suruh orang-orang yang tak mau tunggu pembayaran itu masuk ruang latihan. Akan kubicarakan dengan mereka menurut bahasaku sendiri."
Mendengar ancaman ini tukang tagih rekening jadi sebal. Karena kejujuran Yoshioka Kempo dahulu dalam persoalan uang, belum lagi karena kedudukannya sebagai instruktur militer untuk para shogun Ashikaga, para penagih rekening sangat hormat pada Keluarga Yoshioka, mau menyembah-nyembah, mau meminjamkan barang dan segalanya, mau datang apabila dipanggil dan pergi apabila disuruh pergi, dan mau mengatakan ya mengenai segala soal. Tapi ada batasnya sampai berapa lama mereka mesti menjilat prajurit-prajurit kosong ini. Begitu mereka membiarkan dirinya digertak dengan ancaman seperti yang dilontarkan Ryohei, begitu kelas saudagar akan terusir dari dunia usaha. Padahal tanpa mereka, apa yang dapat dilakukan kaum samurai? Apa mereka menyangka dapat menjalankan segalanya itu sendiri?
Sementara mereka berdiri bergerombol sambil menggerutu, Ryohei menyatakan terang-terangan bahwa menurut anggapannya mereka itu cuma sampah. "Ya sudah, pulang kalian sekarang! Menggerombol di sini tak ada gunanya buat kalian."
Para saudagar terdiam, tapi tak bergerak meninggalkan tempat. "Usir mereka keluar!" teriak Ryohei.
"Pak, ini keterlaluan!"
"Apanya yang keterlaluan?" tanya Ryohei.
"Sama sekali tak bertanggung jawab!"
"Siapa bilang tak bertanggung jawab?"
"Tapi mengusir kami keluar itu tak bertanggung jawab!"
"Kalau begitu, kenapa kalian tidak pergi baik-baik? Kami sibuk di sini."
"Kami takkan mengemis di sini kalau ini bukan hari terakhir tahun ini. Kami butuh uang buat menutup utang-utang kami sendiri sebelum hari ini habis."
"Berat. Berat sekali. Sekarang pergi kalian!"
"Bukan begini cara memperlakukan kami!"
"Kupikir sudah cukup aku mendengar keluhan kalian!" Suara Ryohei menjadi marah lagi.
"Tak seorang pun akan mengeluh kalau Bapak mau bayar!"
"Sini!" perintah Ryohei.
"Si-siapa?"
"Siapa saja yang tak puas."
"Gila!"
"Siapa yang bilang begitu?"
"Saya tidak bicara tentang Bapak. Saya bicara tentang ke... adaan ini."
"Diam!" Ryohei mencekal rambut orang itu dan melemparkannya ke luar pintu samping.
"Ada lagi yang mau mengeluh?" geram Ryohei. "Takkan kubiarkan orang jembel macam kalian berada di rumah ini menuntut uang sesen dua sen. Takkan kubiarkan! Biarpun Tuan Muda ingin membayar kalian, akan kucegah dia melakukannya."
Melihat tinju Ryohei, para penagih rekening berlari serabutan ke luar gerbang. Tapi begitu mereka sampai di luar, penghinaan yang mereka lontarkan pada Keluarga Yoshioka bertambah hebat.
"Aku akan tertawa dan tepuk tangan nanti, kalau tanda 'Dijual' dipasang di tempat ini! Tunggulah, sebentar lagi akan terjadi."
"Ya, memang, kata orang tak lama lagi."
"Mana mungkin?"
Ryohei merasa senang sekali. Sambil tertawa memegang perutnya, ia pergi ke belakang rumah. Murid-murid lain pergi bersamanya ke ruang tempat Seijuro membungkuk ke anglo, sendirian dalam diam.
"Tuan Muda," kata Ryohei, "Tuan begitu diam. Apa ada yang terjadi?"
"Oh, tidak," jawab Seijuro, sedikit riang melihat para pengikutnya yang paling setia. "Sebentar lagi tiba harinya, ya?" katanya.
"Ya," Ryohei membenarkan. "Itu sebabnya kami datang menjumpai Tuan. Apa tidak kita tentukan waktu dan tempatnya dan memberitahukan pada Musashi?"
"Ya, kukira begitu," kata Seijuro termenung. "Tempatnya... di mana tempat yang baik? Bagaimana kalau lapangan Rendaiji di utara kota?"
"Bagus juga... dan waktunya?"
"Sebelum hiasan Tahun Baru diturunkan, atau sesudahnya?"
"Makin cepat makin baik. Jangan kasih kesempatan pengecut itu menyelinap lari."
"Bagaimana kalau hari kedelapan?"
"Hari kedelapan itu kan ulang tahun meninggalnya Empu Kempo?"
"Betul kalau begitu, bagaimana kalau hari kesembilan? Jam tujuh pagi: Cocok, kan?"
"Bagus, kita pasang pengumuman di jembatan malam ini."
"Bagus!"
"Apa Anda sudah siap?" tanya Ryohei.
"Sudah lama aku siap," jawab Seijuro yang memang tak mungkin menjawab lain. Ia sama sekali tak memikirkan kemungkinan kalah dari Musashi. Sesudah belajar di bawah pimpinan ayahnya sejak kecil, dan sesudah selalu menang melawan siapa pun di perguruan, bahkan dengan yang paling tua dan paling terlatih sekalipun, ia tak dapat membayangkan terkalahkan oleh orang udik yang masih muda dan tak berpengalaman itu.
Namun keyakinannya itu tidaklah mutlak. Ia merasakan adanya rona ketidakpastian. Ia tidak mencari sebab kekurangyakinannya itu pada kegagalannya melaksanakan Jalan Samurai, tapi menganggapnya disebabkan oleh kesulitan-kesulitan pribadi belum lama ini. Salah satu kesulitan itu. barangkali yang terbesar, adalah Akemi. Ia merasa kurang senang semenjak di Sumiyoshi. Ketika Gion Toji lari diam-diam, mengertilah ia bahwa kanker keuangan dalam rumah tangga Yoshioka telah mencapai tahap kritis.
Ryohei dan lain-lainnya kembali membawa pesan untuk Musashi yang ditulis di papan yang baru dipotong.
"Beginikah yang Anda maksud?" tanya Ryohei. Bunyi huruf-huruf yang masih basah mengilat itu sebagai berikut:
Jawaban-Menjawab permintaan Anda untuk mengadakan pertandingan, dengan ini saya sebutkan waktu dan tempatnya. Tempat: Lapangan Rendaiji. Waktu: Jam tujuh pagi, hari kesembilan bulan pertama. Saya ucapkan sumpah suci bahwa saya akan datang.
Kalau karena sesuatu alasan Anda tidak memenuhi janji Anda, saya anggap menjadi hak saya untuk menertawakan Anda di depan umum.
Kalau saya melanggar perjanjian ini, semoga hukuman dewa-dewa jatuh pada saya! Seijuro, Yoshioka Kempo II dari Kyoto. Dibuat pada hari terakhir/tahun 1605.
Kepada ronin dari Mimasaka, Miyamoto Musahi.
Sesudah membacanya, Seijuro berkata, "Baik." Pengumuman itu membuat-nya merasa lebih santai, barangkali karena itulah untuk pertama kali ia sadar bahwa dadu sudah dilemparkan.
Pada waktu matahari terbenam, Ryohei mengepit tanda pengumuman itu dan berjalan bangga bersama sejumlah murid lain untuk memasangnya di Jembatan Besar Jalan Gojo.
Di kaki Bukit Yoshida, orang yang dimaksud dalam pengumuman itu berjalan melewati daerah samurai keturunan bangsawan tapi tidak kaya. Mereka cenderung konservatif, hidup biasa-biasa saja, dan tidak melakukan sesuatu yang istimewa.
Musashi berjalan dari gerbang yang satu ke gerbang lain, memeriksa papan-papan nama yang ada. Akhirnya ia berhenti di tengah jalan, kelihatannya tak mau atau tak bisa melihat lebih jauh lagi. Ia sedang mencari bibinya, satu-satunya sanak yang masih hidup di luar Ogin.
Suami bibinya adalah samurai yang bekerja dengan gaji kecil pada Keluarga Konoe. Semula Musashi menyangka mudah menemukan rumah dekat Bukit Yoshida itu, tapi segera ia paham bahwa sukar sekali membedakan rumah yang satu dengan yang lain. Kebanyakan ruimah itu kecil dan dikelilingi pohon-pohonan. Gerbang-gerbangnya tertutup rapat seperti i:ijing. Cukup banyak juga gerbang yang tak berpapan nama.
Karena kurang pasti tentang tempat yang dicarinya, ia enggan bertanya. Mereka tentunya sudah pindah," pikirnya. "Lebih baik aku tidak mencari lagi, ia kembali ke pusat kota. Kota waktu itu berselimut kabut yang memantulkan lampu-lampu pasar akhir tahun. Sekalipun waktu itu malam Tahun Baru, jalan-jalan di pusat kota masih berdengung oleh bunyi kesibukan orang banyak.
Musashi menoleh, melihat seorang perempuan yang baru saja lewat ke arah berlawanan. Paling sedikit tujuh atau delapan tahun ia tidak melihat bibinya, tapi ia yakin perempuan itu bibinya, karena ia mirip dengan gambaran yang diciptakannya tentang ibunya. Ia mengikutinya dari jarak dekat dan memanggilnya.
Perempuan itu menatapnya penuh kecurigaan sesaat dua saat. Keterkejutannya sangat tercermin dalam matanya yang mengeriput oleh hidup yang membosankan, dengan anggaran belanja kecil bertahun-tahun lamanya. "Engkau Musashi, anak Munisai, kan?" tanyanya akhirnya.
Musashi heran, kenapa perempuan itu memanggilnya Musashi, bukan Takezo. Tapi yang betul-betul menggundahkan adalah kesan bahwa perempuan itu tidak menerimanya dengan baik. "Ya," demikian jawabnya. "saya Takezo dari keluarga Shimmen."
Perempuan itu memandangnya dari kaki sampai rambut, tanpa mengucapkan "oh" atau "ah" yang biasa diucapkan orang, dan tidak menyatakan betapa Musashi sudah besar dan betapa berlainan wajahnya dari sebelumnya. "Kenapa kau datang kemari?" tanyanya dingin, dengan agak menguji.
"Saya datang tanpa maksud khusus. Kebetulan saja saya ada di Kyoto. Saya pikir alangkah senang ketemu Bibi." Melihat mata dan garis rambut bibinya, ia ingat ibunya. Sekiranya masih hidup, pasti ibu setinggi perempuan ini, dan suara bicaranya pun serupa.
"Engkau bermaksud menengok aku?" tanya bibinya tak percaya.
"Ya. Maaf, begini tiba-tiba."
Bibinya mengibaskan tangan di depan muka, sebagai tanda tak perlu minta maaf. "Nah, engkau sudah bertemu denganku, jadi tak ada urusan lagi. Pergilah!"
Merasa dipermalukan oleh penerimaan yang dingin ini, Musashi marah, "Kenapa Bibi mengatakan itu, padahal Bibi baru melihat saya? Kalau Bibi menyuruh saya pergi, saya akan pergi, tapi saya tak mengerti sebabnya. Apakah saya melakukan sesuatu yang tidak Bibi sukai? Kalau memang, demikian, setidak-tidaknya katakanlah."
Bibinya kelihatan enggan berterus terang. "Ya, berhubung kau sudah di sini, bagaimana kalau kau datang ke rumah kami dan menjumpai pamanmu. Tapi kau tahu sendiri, orang macam apa dia, jadi jangan kecewa dengan apa yang mungkin dikatakannya. Aku bibimu dan karena engkau datang menegok kami, aku tak ingin kau pergi dengan perasaan berat."
Sambil menyenangkan diri sedikit dengan ucapan bibinya itu, Musashi berjalan bersamanya ke rumah bibinya, kemudian menanti di kamar depan sementara bibinya mengabari suaminya. Lewat shoji ia dapat mendengar suara pamannya yang asmatis menggerutu. Nama paman itu Matsuo Kaname.
"Apa?" tanya Kaname dengan jengkel. "Anak Munisai di sini? Memang itu yang kutakutkan. Akhirnya dia muncul. Maksudmu dia di sini, di rumah ini? Kau membiarkannya masuk tanpa tanya aku dulu?"
Cukup sudah. Tapi ketika Musashi berseru mengucapkan selamat berpisah kepada bibinya, Kaname berkata, "Kau di sini, ya?" dan membuka pintu. Ia bukannya mengerutkan kening lagi, tapi menunjukkan sikap benci sebenci-bencinya, seperti sikap yang ditunjukkan orang kota kepada sanak dari desa yang tidak mandi, seakan-akan seekor sapi masuk rumah dan menginjakkan kakinya ke atas tatami.
"Kenapa engkau datang kemari?" tanya Kaname.
"Kebetulan saja saya ada di kota ini. Saya cuma ingin melihat keadaan Paman."
"Bohong!"
"Paman?"
"Kau boleh bohong semaumu, tapi aku tahu apa yang kaulakukan. Kau mendatangkan banyak kesulitan di Mimasaka, membuat banyak orang membencimu, mengaibkan nama keluargamu, dan kemudian lari. Apa tidak benar begitu?"
Musashi tercengang.
"Bagaimana mungkin kau bisa begitu tak tahu malu mengunjungi sanak keluarga?"
"Saya minta maaf atas segala yang telah saya perbuat," kata Musashi. "Tapi saya betul-betul bermaksud menebusnya, demi leluhur saya dan desa saya."
"Rasanya kau tak bisa pulang. Yah, tangan mencencang bahu memikul. Munisai tentu menangis dalam kuburnya."
"Rasanya saya sudah cukup lama di sini," kata Musashi. "Saya pergi sekarang."
"Jangan!" kata Kaname marah. "Kau tinggal saja di sini! Kalau kau mondar-mandir sekitar tempat ini, sebentar saja kau akan mendapat kesulitan. Perempuan tua tukang bantah dari Keluarga Hon'iden itu muncul di sini kira-kira setengah tahun lalu. Baru-baru ini beberapa kali dia datang. Dia terus bertanya pada kami apa kamu datang kemari, dan mencoba mengetahui dari kami di mana kamu berada. Dia menguntitmu terus dengan nafsu balas dendam yang mengerikan."
"Oh, Osugi. Dia pernah kemari?"
"Betul. Aku mendengar semua tentangmu dari dia. Kalau kau bukan sanakku, pasti kuikat kau dan kuserahkan padanya, tapi karena keadaan... Paling tidak, tinggallah kau di sini sekarang. Sebaiknya kau meninggalkan tempat ini tengah malam. Jadi, takkan ada kesulitan dengan bibimu dan aku."
Sungguh memalukan bahwa bibi dan pamannya menelan setiap patah kata dalam fitnah Osugi. Dengan perasaan betul-betul seorang diri, ia duduk diam menatap lantai. Akhirnya bibinya kasihan kepadanya dan menyuruhnya pergi ke kamar lain untuk tidur.
Musashi menjatuhkan diri ke lantai dan mengendurkan sarung pedangnya. Sekali lagi ia merasa bahwa di dunia ini tak ada tempat ia bergantung, kecuali diri sendiri.
Ia merenung. Barangkali benar, justru karena pertalian darahlah paman dan bibinya menerimanya dengan terus terang dan keras. Kalau tadi ia begitu marah, hingga ingin meludah di pintu dan pergi, maka sekarang ia mengambil sikap lebih toleran. Ia ingatkan dirinya bahwa penting ia melepaskan mereka dari segala dakwaan.
Musashi memang terlalu naif, hingga tak dapat menilai secara tepat orang-orang yang ada di sekitarnya. Sekiranya ia sudah kaya dan terkenal, perasaannya mengenai sanak keluarganya pasti mengena. Sekarang ini begitu saja ia masuk dari tengah udara dingin, dengan kimono kotor dan gombal, padahal malam itu malam Tahun Baru. Mengingat itu, tidak mengherankan bahwa bibi dan pamannya tidak menunjukkan keakraban kekeluargaan.
Hal itu segera menyadarkan Musashi. Ia membaringkan badan dalam keadaan lapar, dan merasa akan mendapat tawaran makan. Ia memang mencium bau makanan yang sedang dimasak dan mendengar dentingdenting pinggan-mangkuk di dapur, tapi tak seorang pun mendekati kamarnya. Kelap-kelip api dalam anglo tidak lebih besar dari seekor kunangkunang.. Tak lama kemudian ia menyimpulkan bahwa lapar dan dingin itu nomor dua. Yang paling penting sekarang tidur, karena itu ia segera menidurkan diri.
Ia terbangun sekitar empat jam kemudian oleh dentang lonceng kuil yang menandakan habisnya tahun lama. Tidur membuat badannya sehat. Ketika ia bangkit, terasa lelahnya lenyap. Pikirannya segar dan jernih.
Di dalam dan di sekitar kota, lonceng besar berdentam-dentam dengan irama lambat dan anggun, menandai berakhirnya kegelapan dan dimulainya terang. Seratus delapan dentangan untuk seratus delapan angan-angan hidup, dan setiap dentangan merupakan seruan kepada lelaki maupun perempuan untuk mengenangkan kesia-siaan cara hidup mereka.
Musashi bertanya-tanya pada diri sendiri, berapa banyak orang yang pada malam itu dapat mengatakan, "Aku benar. Aku sudah melakukan apa yang harus kulakukan. Aku tidak menyesal." Baginya sendiri, setiap dentang lonceng yang menggema itu membangkitkan getar sesal yang dalam. Ia tak dapat menampilkan apa pun kecuali hal-hal salah yang dilakukannya tahun lalu-tahun sebelumnya dan tahun sebelum itu pun, atau seluruh tahun yang telah lewat itu, semuanya membawa penyesalan baginya. Tak satu tahun pun tanpa penyesalan. Ya, boleh dikata tak satu hari pun tanpa penyesalan.
Menurut pandangannya yang terbatas atas dunia ini, tampaknya apa pun yang diperbuat orang, segera kemudian akan mereka sesali. Orang misalnya mengambil istri dengan maksud menjalani hidup bersama, tapi sering kemudian ia berubah pikiran. Kita dapat dengan mudah memaafkan perubahan pikiran pada perempuan, tapi perempuan jarang memperdengarkan keluhan, sedangkan lelaki sering. Berapa kali ia pernah mendengar lelaki memperolok-olok istrinya, seolah istri itu sandal buangan yang usang.
Musashi memang tidak punya masalah perkawinan, tapi ia menjadi korban angan-angan, dan sesal bukanlah perasaan yang asing baginya. Pada saat ini pun ia menyesal sekali telah datang ke rumah bibinya. "Sekarang pun," demikian ratapnya, "aku tak bebas dari rasa ketergantungan. Aku selalu mengatakan pada diriku bahwa aku harus berdiri di atas kaki sendiri dan menjaga diri sendiri. Tapi kemudian tiba-tiba aku mundur dan bertopang kepada orang lain. Ini sungguh dangkal! Sungguh bodoh!
"Tahulah aku apa yang mesti kulakukan!" pikirnya. "Aku mesti mengambil sikap dan menuilskannya."
Ia membuka bungkusan shugyosha-nya dan mengeluarkan buku tulis yang terbuat dari lembar-lembar kertas lipat empat dan diikat dengan kertas gulung. Ia biasa menggunakannya untuk mencatat pikiran-pikiran yang datang kepadanya selama pengembaraannya, termasuk ungkapan-ungkapan Zen, catatan tentang ilmu bumi, nasihat-nasihat untuk diri sendiri, dan kadang juga sketsa kasar tentang hal-hal menarik yang dilihatnya. Dibukanya buku tulis itu di hadapannya, dikeluarkannya kuas, dan dipandangnya kertas putih itu.
Ia menulis: Aku takkan menyesali apa pun.
Sering memang ia menuliskan sikap yang diambilnya. Menurutnya, dengan menuliskannya pun ia dapat merasakan lega sedikit. Ia mesti mengulang-ulangnya untuk diri sendiri tiap pagi dan malam, seperti orang membaca kitab suci. Akibatnya ia selalu mencoba memilih kata-kata yang mudah diingat dan dibaca, seperti sajak.
Lalu sejenak ia menatap apa yang telah ditulisnya itu dan mengubahnya dengan: Aku takkan menyesali perbuatan-perbuatanku.
Ia menggumamkan kata-kata itu pada diri sendiri, tapi masih terasa kurang memuaskan, dan mengubahnya lagi: Aku takkan melakukan sesuatu yang akan kusesali.
Puas dengan usahanya yang ketiga, ia memainkan kuasnya. Sekalipun ketiga kalimat itu ditulis dengan maksud sama, dua kalimat pertama bisa saja berarti ia takkan menyesal, entah ia berbuat benar atau salah, sedangkan kalimat ketiga menekankan tekadnya untuk bertindak demikian rupa, hingga tak perlu lagi kritik diri.
Musashi mengulangi ketetapan hati itu pada diri sendiri, karena sadar bahwa itu suatu cita-cita yang takkan dapat tercapai kalau ia tidak mendisiplin hati dan pikirannya semampu-mampunya. Namun demikian, berjuang untuk mencapai tingkat di mana tak ada tindakannya yang akan menimbulkan penyesalan merupakan jalan yang harus ia tempuh. "Pada suatu hari nanti aku akan mencapai cita-cita itu!" demikian sumpahnya. Ia benamkan sumpah itu ke dasar hatinya, seperti membenamkan pancang.
Shoji di belakangnya menggeser terbuka dan bibinya menjenguk Dengan suara menggeletar di sekitar akar giginya, bibinya berkata, "Sudah kuduga sebelumnya! Ada yang mengatakan padaku, tak perlu aku menerimamu di sini, dan sekarang apa yang kutakutkan itu betul-betul terjadi. Osugi datang mengetuk dan melihat sandalmu di gang masuk. Dia yakin kamu ada di sini dan mendesak aku menyerahkanmu kepadanya! Dengar itu! Kamu bisa mendengar-nya dari sini. Oh, Musashi, apa yang akan kaulakukan?"
"Osugi? Di sini!" tanya Musashi, enggan mempercayai telinganya. Tapi benar tak ada yang salah. Ia mendengar suara Osugi yang parau itu menerobos celah-celah seperti angin dingin, suara itu tertuju pada Kaname, dengan nada paling kaku dan paling congkak.
Osugi datang ketika dentang-dentang lonceng tengah malam baru saja berhenti dan bibi Musashi baru saja akan pergi menimba air bersih untuk Tahun Baru. Bibi itu gelisah oleh bayangannya sendiri bahwa Tahun Barunya akan kacau oleh pertumpahan darah yang tak suci, karena itu la tidak berusaha menyembunyikan kesal hatinya.
"Larilah kamu secepat-cepatnya," mohonnya. "Pamanmu masih menahannya dengan mengatakan kamu tidak datang kemari. Menyelinaplah, selagi ada waktu." Ia pungut topi dan bungkusan Musashi, dan ia antar Musashi ke pintu belakang. Di situ ia telah meletakkan kaus kaki kulit suaminya beserta beberapa pasang sandal jerami.
Sambil mengikatkan sandal, Musashi berkata tersipu-sipu, "Saya sebetulnya benci mengganggu orang, tapi apa tak bisa Bibi berikan pada saya semangkuk bubur? Saya belum makan apa pun malam ini."
"Ini bukan waktu makan! Tapi inilah, ambil ini! Dan pergi sana!" Ia ulurkan lima kue betas dengan secarik kertas putih.
Musashi menerimanya dengan girang dan mengangkatnya ke depan dahi sebagai tanda terima kasih. "Selamat tinggal," katanya.
Ia susuri jalanan yang licin oleh es pada hari pertama Tahun Baru yang gembira itu dengan sedih, seperti seekor burung musim dingin yang bulunya berterbangan ke langit hitam.
Rambut dan kuku-kukunya terasa membeku. Yang tampak olehnya hanyalah napasnya sendiri yang putih, yang cepat membeku pada bulu halus sekitar mulutnya. "Dingin," katanya keras. Tujuh Neraka Beku pasti tak sedingin ini! Kalau biasanya ia mengibaskan rasa dingin begitu saja, kenapa pagi ini ia rasakan dingin sehebat ini?
Dan ia menjawab pertanyaannya sendiri, "Tidak hanya tubuhku. Jiwaku pun dingin. Berarti belum dapat diatur dengan baik. Demikianlah adanya. Aku masih ingin bergayut pada daging hangat, seperti bayi, dan aku terlalu cepat menyerah pada sentimentalitas. Karena aku sendirian, aku merasa kasihan pada diri sendiri dan iri kepada orang-orang yang punya rumah bagus dan hangat. Dalam hal aku merasa hina dan tak berarti! Kenapakah aku tak bisa berterima kasih atas kebebasan dan kemerdekaan untuk pergi ke mana kusuka? Kenapakah aku tak dapat berpegang pada cita-cita dan harga diri?"
Sementara menikmati keunggulan nilai kemerdekaan, kakinya yang sakit bertambah hangar, bahkan sampai ujung-ujung jarinya, dan napasnya berubah menjadi uap. "Seorang pengembara tanpa cita-cita dan tanpa rasa syukur kepada kebebasan yang dimilikinya tidak lebih dari seorang pengemis! Perbedaan besar antara seorang pengemis dan pendeta pengembara menurut Saigyo terletak di dalam hati!"
Tiba-tiba ia melihat kilau putih di bawah kakinya. Ia menginjak lapisan es rapuh. Tanpa diketahuinya, sejak tadi la berjalan menuju tepi Sungai Kamo yang membeku. Sungai maupun langit masih hitam, dan di timur belum lagi tampak bayangan fajar. Kakinya berhenti berjalan. Bagaimanapun, kaki itu telah membawanya dengan selamat melintasi kegelapan Bukit Yoshida. Sekarang keduanya enggan berjalan terus.
Di balik tanggul ia kumpulkan ranting-ranting, pecah-pecahan kayu dan apa saja yang dapat terbakar, kemudian ia menggoreskan batu api. Membuat nyala kecil yang pertama itu menuntut kerja keras dan kesabaran, tapi akhirnya sejumlah daun kering mulai menyala. Dengan ketekunan seorang tukang kayu, ia dapat mengonggokkan bilah-bilah kayu dan cabang-cabang kecil. Pada taraf tertentu, api dengan cepat menyala, dan ketika angin bertiup ia menjilat pembuatnya, hampir-hampir membakar wajahnya.
Musashi mengeluarkan kue betas pemberian bibinya dan membakarnya satu per satu dalam nyala api. Kue itu menjadi cokelat dan membengkak seperti gelembung, mengingatkannya pada perayaan Tahun Baru di masa kecilnya. Kue itu tidak memiliki rasa lain kecuali rasanya sendiri, karena memang tidak digarami atau digulai.
Ketika ia mengunyahnya, terasa olehnya nasi putih itu sebagai rasa dunia nyata di sekitarnya. "Aku merayakan Tahun Baru sendiri," pikirnya bahagia. Sesudah menghangatkan muka dengan nyala api dan mengisi mulutnya, maka dunia pun terasa agak menarik.
"Ini perayaan Tahun Baru yang bagus! Kalau seorang pengembara seperti aku memiliki lima biji kue nasi yang baik, mestinya surga memberikan kemungkinan pada tiap orang untuk merayakan Tahun Baru dengan caranya masing-masing. Di sini ada Sungai Kamo yang akan kuajak minum merayakan Tahun Baru. Tiga puluh puncak Gunung Higashiyama itulah hiasan pinusku! Aku mesti membasuh tubuhku dan menantikan sinar matahari pertama."
Di tepi sungai yang membeku itu ia buka obi-nya, ia lepas kimono dan pakaian dalamnya, kemudian ia mencemplungkan diri ke air, membasuh diri seluruhnya sambil berkecipak seperti burung air.
Ia sedang berdiri di tepi sungai sambil menggosok kulitnya kuat-kuat, ketika cahaya fajar pertama memecah dari balik awan dan jatuh hangat ke punggungnya. Ia memandang ke arah api dan tampaklah seseorang berdiri di tanggul di atas api itu. Seorang musafir yang berbeda dalam umur dan penampilan, dan terbawa kemari oleh nasib. Osugi.
Perempuan tua itu melihatnya juga, dan dalam hatinya berseru, "Dia di sini! Perusuh itu di sini!" Dilanda perasaan gembira sekaligus takut, hampir saja ia jatuh pingsan. Ia ingin memanggil Musashi, tapi suaranya tertahan. Tubuhnya gemetar dan tak mau tunduk pada perintahnya.
Secara mendadak ia duduk dalam bayangan sebatang pinus kecil.
"Akhirnya!" ucapnya gembira. "Akhirnya kutemukan dia! Jisim Paman Gon yang memimpinku menemukan dia." Dalam tas yang bergantung di pinggangnya ia simpan sebagian tulang Paman Gon dan sejumlah rambutnya.
Tiap hari, semenjak kematian Paman Gon, ia bicara dengan orang mati itu. "Paman Gon," katanya, "biarpun kau sudah mati, aku tak merasa sendirian. Kau bersamaku. Aku bersumpah takkan kembali ke desa sebelum menghukum Musashi dan Otsu. Dan kau masih bersamaku sekarang. Boleh saja kau mati, tapi jisimmu selalu di sampingku. Kita akan bersama selamanya. Pandanglah ke atas lewat rerumputan kepadaku, dan perhatikan! Tak bakal aku membiarkan Musashi pergi tanpa hukuman!"
Paman Gon baru seminggu meninggal, tapi Osugi sudah berketetapan akan setia kepadanya, sampai ia sendiri nanti berubah menjadi abu. Beberapa hari terakhir itu Ia melipatgandakan usaha pencarian dengan kehebohan Kishimojin yang dahsyat. Sebelum tunduk pada sang Budha, Kishimojin telah membunuhi anak-anak lain untuk memberi makan anaknya sendiri kabarnya jumlahnya sampai lima ratus, atau seribu, atau sepuluh ribu.
Kabar nyata pertama yang didengar Osugi adalah omongan orang di jalan bahwa segera akan terjadi pertarungan antara Musashi dan Yoshioka Seijuro. Kemudian, malam sebelumnya ia berada di tengah orang-orang yang merubung papan pengumuman yang terpasang di Jembatan Besar Jalan Gojo. Sungguh peristiwa itu membesarkan hatinya! Ia membaca papan itu berulang kali sambil berpikir. "Jadi, ambisi Musashi itu akhirnya menguasainya. Oh, mereka akan membuatnya seperti badut. Yoshioka akan membunuhnya. Oh! Kalau hal itu terjadi, bagaimana mungkin aku menghadapi orang di desa? Aku bersumpah aku sendirilah yang akan membunuhnya. Aku harus mendahului Yoshioka dan membawa wajah menangis itu pulang ke rumah, menjinjingnya pada rambutnya supaya orang-orang desa dapat melihatnya!" Kemudian ia berdoa kepada dewa-dewa, bodhisatwa, dan para leluhur, agar mereka membantunya.
Karena marah dan sengit, ia meninggalkan rumah Matsuo dengan kecewa. Pulang menyusuri Sungai Kamo, semula la menyangka cahaya itu api unggun seorang pengemis. Tanpa suatu sebab khusus ia berhenti di tanggul dan menanti. Ketika dilihatnya seorang lelaki telanjang berotot muncul dari sungai tanpa memedulikan dingin, tahulah ia bahwa orang itu Musashi.
Karena Musashi tidak berpakaian, itulah saat yang paling baik untuk menangkapnya dengan kejutan dan memotongnya, tetapi hatinya yang tua dan mengering itu tak tega berbuat demikian.
Ia mengatupkan tangan dan mengucapkan doa syukur, seolah-olah telah membawa kepala Musashi. "Sungguh aku bahagia! Terima kasihku atas pertolongan dewa-dewa dan bodhisatwa, bahwa sekarang aku melihat Musashi di depan mataku. Ini tak mungkin sekadar kebetulan! Keyakinanku yang tak pernah kendur kini mendapat berkah. Musuh diserahkan ke tanganku!" Ia menyembah surga, karena ia percaya sepenuhnya bahwa sekarang tibalah baginya saat terbaik untuk menyempurnakan tugasnya.
Batu-batuan sepanjang tepi air kelihatan mengapung di atas tanah satu demi satu ketika cahaya menimpanya. Musashi mengenakan kimono, mengikatkan obi erat-erat, dan memasangkan kedua pedangnya. Ia bersujud diam kepada dewa-dewa langit dan bumi.
Jantung Osugi melompat ketika ia berbisik, "Sekarang!"
Tepat pada waktu itu Musashi melompat berdiri. Dengan gesitnya ia melompati air dan berjalan cepat menyusuri tepi sungai. Osugi buru-buru berjalan menyusur tanggul, berusaha tidak memancing perhatian Musashi.
Atap-atap dan jembatan-jembatan kota mulai membentuk garis-garis putih dalam kabut pagi, tapi di atas sana bintang-bintang masih melayanglayang di angkasa, dan daerah sepanjang kaki Gunung Higashiyama masih sehitam tinta. Ketika Musashi sampai jembatan kayu di Jalan Sanjo, ia lewat di bawahnya dan muncul kembali di puncak tanggul di seberangnya. Ia berjalan dengan langkah lelaki, panjang-panjang. Beberapa kali Osugi sudah begitu dekat, hingga dapat memanggil Musashi, tapi ia menahan diri.
Musashi iahu la ada di belakang. Tapi ia pun tahu bahwa jika ia menoleh ke belakang, Osugi akan menyerangnya, dan terpaksalah ia menghadiahi perempuan itu dengan pameran cara bertahan, tanpa melukainya. "Lawan yang mengerikan!" pikirnya. Sekiranya ia masih Takezo dulu di desa, tak akan ia memikirkan yang lain kecuali merobohkannya dan menghantamnya sampai muntah darah. Sekarang tentu saja tak dapat lagi ia berbuat demikian.
Sebetulnya ia lebih punya hak membenci perempuan itu daripada sebaliknya, tapi ia ingin perempuan itu sadar bahwa perasaan terhadap dirinya hanya berlandaskan salah pengertian besar. Ia yakin bahwa kalau ia dapat menjelaskan duduk perkaranya, tidak akan lagi perempuan itu bertahun-tahun lamanya menyimpan dendam kesumat, tapi kecil kemungkinannya Musashi dapat meyakinkannya sekarang, kecuali kalau ia menjelaskannya seribu kali. Hanya ada satu kemungkinan. Walaupun keras kepala, Osugi pasti percaya kepada Matahachi. Kalau anaknya sendiri menceritakan dengan tepat apa yang telah terjadi sebelum dan sesudah Sekigahara, mungkin ia tak lagi menganggap Musashi musuh Keluarga Hon'iden, apalagi orang yang melarikan calon istri anaknya.
Kini ia mendekati jembatan di daerah yang pada akhir abad dua belas berkembang pesat, yaitu ketika Keluarga Taira berada di puncak kejayaannya. Sesudah peperangan di abad lima belas pun daerah itu tetap merupakan salah satu bagian Kyoto yang paling padat penduduknya. Matahari baru saja mulai menyinari bagian depan rumah-rumah dan kebun. Tanda-tanda bekas sapuan malam sebelumnya masih kelihatan, tapi pada waktu sepagi itu tak satu pintu pun terbuka.
Osugi dapat menandai jejak kaki Musashi di lumpur. Jejak kaki itu pun dibencinya.
Seratus meter lagi, kemudian lima puluh.
"Musashi!" jerit perempuan tua itu. Sambil mengepalkan tinju ia menjulurkan kepalanya dan berlari mengejar. "Setan jahat kamu!" serunya. "Apa kamu tak punya telinga?"
Musashi tidak menoleh.
Osugi terus berlari. Sekalipun sudah tua, tekadnya yang tak kenal maut memberikan keberanian dan kelelakian kepada langkah-langkahnya. Musashi terus membelakanginya, gelisah menimbang-nimbang cara bertindak.
Tiba-tiba perempuan itu melompat ke hadapannya dan menjerit, "Berhenti!" Bahunya yang lancip dan tulang rusuknya yang tipis kerempeng bergeser. Sesaat la berdiri dengan napas terengah-engah sambil mengumpulkan ludah di mulut.
Musashi tak menyembunyikan sikap pasrahnya. Katanya dengan sikap tak acuh sebisanya, "Oh, kalau tak salah ini Nyonya Hon'iden! Apa kerja Ibu di sini?"
"Anjing biadab kamu! Kenapa pula aku tak di sini? Aku yang mestinya bertanya. Aku sudah membiarkanmu lepas di Bukit Sannen, tapi hari ini akan kumiliki kepalamu itu!" Lehernya yang kurus kering mengingatkan Musashi kepada jago aduan, dan suaranya yang menggeletar, yang seakan hendak melontarkan giginya yang merongos keluar dari mulut itu, lebih mengerikan daripada teriakan perang.
Rasa takut Musashi kepada perempuan tua itu berakar dalam kenangan masa kanak-kanaknya, ketika Osugi menangkap basah ia dan Matahachi melakukan suatu kenakalan di rumpun buah mulberi atau di dapur Hon'iden. Waktu itu ia berumur delapan atau sembilan tahun, masa ketika mereka berdua selalu saja melakukan kenakalan. Dan ia masih ingat dengan jelas, bagaimana waktu itu Osugi memaki-makinya. Waktu itu ia lari ketakutan dan perutnya terasa mual. Kenangan ini membuatnya menggigil. Ia sudah menganggap perempuan itu tukang sihir tua yang bikin benci dan gampang marah. Sekarang pun ia benci pada Osugi karena pernah mengkhianatinya, sewaktu ia pulang ke desa dari Sekigahara. Tapi aneh, ia juga sudah terbiasa menganggap wanita itu sebagai orang yang takkan pernah dapat dihadapinya dengan baik. Hanya bersama berlalunya waktu, perasaan terhadap perempuan itu menjadi lunak.
Pada Osugi, sebaliknya yang terjadi. Ia tak dapat melepaskan gambaran tentang Takezo sebagai anak nakal yang menjengkelkan dan tak bisa diatur. Ia mengenalnya sejak bayi. Seorang anak yang selalu meler hidungnya dan kepalanya luka-luka. Tangan dan kakinya begitu panjang, hingga kelihatan tidak normal. Bukannya ia tak sadar akan jalannya waktu, bahwa ia sudah tua sekarang. Ia sadar. Dan Musashi sudah dewasa. Tapi ia tak dapat mengatasi dorongan hatinya untuk memperlakukan Musashi sebagai anak melarat yang jahat. Apabila terpikir olehnya betapa anak kecil ini telah mempermalukannya, kontan ia berniat membalas dendam! Soalnya bukanlah sekadar membersihkan diri di hadapan orang desa. Ia mesti melihat Musashi masuk kubur sebelum ia sendiri mengakhiri hidupnya.
"Tak ada gunanya bicara!" pekiknya. "Serahkan kepalamu, atau siapsiaplah merasakan pedangku! Siap kamu, Musashi!" Ia menghapus bibirnya dengan jari, meludah ke tangan kiri, dan mencekal sarung pedangnya.
Ada peribahasa tentang seekor belalang betina yang menyerang kereta kaisar. Tentunya peribahasa itu diciptakan orang untuk melukiskan Osugi yang pucat pasi itu, yang menyerang Musashi dengan kakinya yang kurus panjang. Ia tampak benar-benar seperti seekor belalang betina. Matanya, kulitnya, cara berdirinya yang aneh, semuanya sama. Musashi berdiri waspada memperhatikan gerak Osugi, seperti terhadap anak yang sedang bermain. Bahu dan dadanya tampak tak terkalahkan, seperti kereta besi yang kekar.
Walaupun situasinya tampak ganjil, ia tidak dapat tertawa, karena tiba-tiba ia merasa sangat kasihan. "Tunggu dulu, Nek!" mohonnya sambil menangkap siku perempuan itu sedikit, namun erat.
"A... pa pula ini!" teriak Osugi. Tangannya yang tak berdaya dan giginya gemetar karena terkejut. "P-p-pe-ngecut!" gagapnya. "Kaupikir kau bisa men-cegahku? Empat puluh Tahun Baru lebih banyak telah kulihat daripada yang sudah kaulihat, karena itu tak bisa kau memperdayakan aku. Terima hukumanmu!" Warna kulit Osugi seperti warna tanah liat merah, sedangkan suaranya penuh kenekatan.
Sambil mengangguk bersemangat, Musashi berkata, "Saya mengerti; saya tahu perasaan Nenek. Memang Nenek menyimpan semangat juang Keluarga Hon'iden. Saya lihat Nenek memiliki darah yang sama dengan leluhur Keluarga Hon'iden, yang dengan berani pernah mengabdi pada Shimmen Munetsura."
"Lepaskan aku...! Takkan kudengarkan jilatan orang yang semuda cucuku." "Tenanglah. Kurang tepat kalau orang setua Nenek bersikap kasar. Ada yang mau saya katakan."
"Pernyataan terakhir sebelum menemui ajalmu?"
"Tidak; saya mau menjelaskan."
"Aku tak ingin penjelasan apa pun darimu!" Perempuan tua itu menegakkan diri setinggi-tingginya.
"Nah, kalau begitu saya cuma akan mengambil pedang Nenek itu. Nanti, kalau Matahachi muncul, biar dia yang menjelaskan segalanya pada Nenek."
"Matahachi?"
"Ya. Saya sudah kirim pesan padanya musim gugur lalu."
"Oh, begitu."
"Saya minta dia menjumpai saya di sini pagi Tahun Baru ini."
"Bohong!" jerit Osugi sambil menggelengkan kepala dengan hebatnya. "Kamu mesti malu, Musashi. Apa kamu bukan anak Munisai? Apa dia tidak mengajarkan padamu, bahwa kalau tiba waktunya untuk mati, kau mesti mati seperti lelaki? Ini bukan waktunya bermain kata-kata. Seluruh hidupku ada di belakang pedang ini, dan aku mendapat dukungan dewa-dewa dan bodhisatwa. Kalau kau berani menghadapinya, hadapilah!" Ia berusaha meloloskan tangannya dari Musashi, sambil teriaknya, "Hidup sang Budha." Ia mencabut pedang dan mencengkeramnya dengan kedua tangan, lalu menerjang dada Musashi.
Musashi mengelak. "Tenang, Nek, tenanglah!"
Musashi menepuk punggungnya sedikit, Osugi menjerit dan berpusing menghadapi Musashi. Sambil bersiap menyerang ia menyerukan nama Kannon. "Puji bagi Kannon Bosatsu!" Ia menyerang lagi.
Ketika melewati Musashi, Musashi menangkap pergelangan tangannya. "Kalau Nenek terus begini, Nenek cuma akan bikin capek diri sendiri. Lihat, jembatan ada di sana. Ayolah kita sama-sama ke sana."
Osugi memutar kepalanya, menyeringai, dan mengerutkan bibir. "Fui!" Ia meludah dengan segala kekuatannya yang masih tinggal.
Musashi melepaskannya dan menyingkir sambil menggosok mata kirinya. Mata itu terasa terbakar, seolah telah terkena bunga api. Ia pandang tangan yang dipakainya menggosok mata itu. Tak ada darah di situ, tapi ia tak dapat membuka mata. Melihat ia sedang lengah, Osugi menyerang lagi dengan kekuatan baru, sambil menyerukan lagi nama Kannon. Dua kali, tiga kali ia mengayunkan pedang ke arah Musashi.
Ketika pedang terayun ketiga kalinya, Musashi hanya membungkukkan badan sedikit dari pinggang, karena sibuk dengan matanya. Pedang memotong lengan kimononya dan menggores lengannya.
Potongan lengan kimono itu jatuh, hingga Osugi mendapat kesempatan melihat darah pada lapisan putih. "Aku sudah melukainya!" jeritnya gembira meluap-luap, dan terus mengayun-ayunkan pedang membabi buta. Ia merasa bangga, seolah-olah telah menumbangkan sebatang pohon besar sekali tebas. Sama sekali tak mengurangi kegembiraannya bahwa Musashi tidak balik membalas. Terus juga ia meneriakkan nama Kannon dari Kiyomizudera dan menyerukan dewa untuk turun ke bumi.
Dengan suara hiruk-pikuk luar biasa ia berlari-lari sekitar Musashi, menyerangnya dari depan dan belakang. Musashi sendiri tidak berbuat lain kecuali mengubah-ubah letak tubuhnya untuk menghindari tebasan.
Matanya mengganggunya dan lengannya terkena goresan. Walaupun melihat datangnya tebasan, ia tak dapat bergerak cepat untuk menghindar. Belum pernah sebelumnya orang sampai melompatinya atau melukainya biarpun sedikit. Karena ia tidak melayani serangan Osugi secara sungguh-sungguh, tidak pernah terlintas dalam pikirannya siapa akan menang dan siapa kalah.
Tapi bukankah sudah ia biarkan dirinya terluka, karena tidak melayani secara sungguh-sungguh? Menurut Seni Perang, betapapun kecilnya luka itu jelas ia kalah. Keyakinan perempuan tua itu dan ujung pedangnya menunjukkan pada semua orang bahwa Musashi belum matang.
"Aku salah," demikian pikirnya. Sadar bahwa bersikap pasif itu bodoh. Ia pun melompat menghindari pedang yang menyerangnya, kemudian menampar punggung Osugi dengan keras, hingga perempuan itu terguling dan pedang terlepas dan tangannya.
Dengan lengan kiri, Musashi memungut pedang itu, dan dengan tangan kanan diangkatnya Osugi ke dalam lekuk lengannya.
"Turunkan aku!" jerit Osugi menggapai-gapai. "Apa tak ada dewa-dewa? Tak ada bodhisatwa? Aku sudah melukainya sekali! Apa dayaku, Musashi! Jangan permalukan aku macam ini! Potong kepalaku! Bunuh aku sekarang!"
Musashi bungkam seribu bahasa. Ia menyusuri jalan setapak sambil mengepit perempuan yang meronta-ronta itu. Sementara itu Osugi terus memprotes dengan suara seraknya, "Inilah peruntungan perang! Ini nasib! Kalau memang ini kehendak dewa-dewa, aku takkan bersikap pengecut!... Kalau Matahachi mendengar Paman Gon dan aku terbunuh dalam usaha balas dendam, pasti bangkit marahnya dan akan dia balaskan dendam kami berdua. Itu obat mujarab untuknya. Musashi, bunuh aku. Bunuh aku sekarang! ... Ke mana kamu pergi? Mau kautambahkan lagi aib pada ajalku? Berhenti! Potong kepalaku sekarang!"
Musashi tidak juga menghiraukannya, tapi ketika sampai di jembatan ia mulai bertanya-tanya dalam hati, apa yang mesti ia lakukan terhadap perempuan itu.
Kemudian datanglah ilham. Ketika turun ke sungai, ditemuinya di situ sebuah perahu tertambat di salah satu tiang jembatan. Pelan-pelan diturunkannya perempuan itu ke dalamnya. "Nah, sekarang Nenek mesti sabar dan tinggal di sini sebentar. Matahachi sebentar lagi datang."
"Apa maumu?" teriak Osugi, mencoba menepiskan tangan Musashi dan sekaligus tikar-tikar gelagah di dasar perahu itu. "Apa bedanya, Matahachi datang ke sini atau tidak? Dan kenapa kaubilang dia akan datang? Aku tahu apa yang akan kaulakukan. Kau tak puas kalau hanya membunuhku; kau mau menghinaku juga!"
"Terserah Nenek. Tak lama lagi Nenek akan lihat kebenaranmya."
"Bunuh aku!"
"Ha, ha, ha!"
"Apa yang lucu? Kau takkan sulit memotong leher tua ini dengan sekali tebas!"
Karena tak ada cara yang lebih baik, Musashi pun mengikatkannya ke bagian lunas perahu yang menyembul ke atas air. Kemudian dimasukkannya pedang perempuan itu ke dalam sarungnya dan diletakkan baik-baik di sampingnya.
Begitu Musashi pergi, Osugi mengejeknya, katanya, "Musashi! Menurutku kau ini tak mengerti Jalan Samurai! Baik, kemari, akan kuajari kamu."
"Nanti."
Musashi mulai mendaki tanggul, tapi Osugi demikian hebohnya, hingga terpaksa ia kembali dan menimbunkan beberapa tikar gelagah di atasnya.
Matahari merah besar menyala-nyala di atas Gunung Higashiyama. Musashi memandang terpesona ketika matahari itu naik dan merasakan cahayanya menembus ke dalam dirinya. la pun jadi termenung. Pikirnya, hanya sekali setahun matahari barn ini naik, membikin cacing ego yang mengikat manusia pada pikiran-pikiran kerdilnya mencair dan menghilang oleh cahaya yang luar biasa. Dan Musashi dipenuhi kegembiraan karena masih hidup. Ia berseru gembira di tengah fajar merekali itu, "Aku masih muda!"
Jembatan Besar di Jalan Gojo
"LAPANGAN RENDAIJI... hari kesembilan bulan pertama...."
Membaca kata-kata itu membuat darah Musashi menggelegak.
Namun perhatiannya terganggu oleh rasa nyeri tajam dan menikam pada mata kirinya. Ketika ia mengangkat tangan setinggi kelopak mata, kelihatan ada jarum kecil menancap pada lengan kimononya, dan ketika lebih saksama diperhatikannya ternyata ada empat atau lima lagi bersarang seperti potongan-potongan es kena cahaya pagi.
"Oh, ini dia!" serunya sambil mencabut satu di antaranya dan mengamatamatinya. Besarnya seperti jarum jahit kecil, tapi tak berlubang, dan bentuknya bukan bulat, tapi segi tiga. "Anjing perempuan!" katanya jijik sambil menatap ke arah perahu. "Aku sudah dengar tentang jarum semburan macam ini, tapi siapa sangka perempuan jelek tua itu yang menembakkannya? Sungguh nyaris."
Rasa ingin tahu seperti biasa muncul. Ia kumpulkan jarum-jarum itu satu demi satu, kemudian ia sisipkan baik-baik dalam kerahnya, dengan maksud mempelajarinya kemudian. Ia mendengar bahwa di antara para prajurit terdapat dua aliran yang berlawanan mengenai senjata kecil ini. Yang satu berpendapat bahwa jarum itu dapat dengan efektif dipergunakan sebagai alat penangkis dengan menyemburkannya ke wajah lawan, sedangkan yang lain menyatakan bahwa itu omong kosong.
Golongan pendukung senjata itu menyatakan bahwa cara yang sudah sangat tua dalam menggunakan jarum itu dikembangkan dari permainan para penjahit dan pemintal yang pindah dari Tiongkok ke Jepang pada abad enam atau tujuh. Sekalipun tidak dianggap sebagai alat penyerang, menurut mereka senjata itu dipergunakan sampai zaman ke-shogun-an Ashikaga sebagai alat persiapan untuk melindungi diri terhadap lawan.
Pihak lain bahkan sampai menyatakan tak pernah ada teknik kuno dalam hal itu, sekalipun mereka membenarkan semburan jarum itu pernah dipergunakan untuk permainan. Mereka membenarkan, orang-orang perempuan mungkin saja bermain-main dengan itu, tapi mereka tetap menolak bahwa semburan jarum dapat dikembangkan sampai taraf dapat menimbulkan luka. Mereka juga menyatakan bahwa air ludah memang dapat menahan panas, dingin, atau keasaman tertentu, tapi sedikit saja dapat menahan rasa nyeri akibat jarum yang menusuk bagian dalam mulut. Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja bahwa dengan latihan yang cukup, orang dapat menyimpan jarum-jarum dalam mulutnya tanpa merasa sakit dan meluncurkannya dengan lidah, dengan ketepatan dan kekuatan tinggi. Itu cukup untuk membutakan orang.
Orang-orang yang tak percaya membantah. Mereka berpendapat bahwa sekalipun jarum itu dapat disemburkan dengan keras dan cepat, kemungkinan untuk dapat melukai seseorang sangat minim.
Bagaimanapun, menurut mereka bagian wajah yang lemah terhadap serangan itu hanyalah mata, sedangkan kemungkinan jarum itu mengenai mata tidak begitu besar, biarpun dalam kondisi paling menguntungkan. Dan kerusakan yang ditimbulkannya tidaklah berarti.
Mendengar banyak argumentasi pada waktu yang berlain-lainan, Musashi cenderung memihak orang-orang yang menyangsikannya. Tapi sesudah mendapat pengalaman sendiri, ia pun sadar bahwa penilaiannya terlampau tergesa-gesa dan bahwa penggal-penggal pengetahuan yang diperoleh secara sembarangan saja dapat terbukti sangat penting dan bermanfaat.
Jarum-jarum itu tidak mengenai biji matanya, tapi matanya kini berair. Ketika ia sedang meraba-raba pakaiannya untuk mencari sesuatu yang dapat dipergunakannya mengeringkannya, didengarnya bunyi kain disobek. Dan ketika ia menoleh, dilihatnya seorang gadis sedang merobek secarik kain merah dari lengan baju dalamnya.
Akemi datang berlari kepadanya. Rambutnya tidak ditata untuk perayaan Tahun Baru dan kimononya acak-acakan. Ia mengenakan sandal, tapi tanpa kaus. Musashi menyipitkan mata memandang kepadanya dan bergurnam. Walau gadis itu tidak asing baginya, tapi tak dapat ia mengenali wajahnya.
"Ini aku, Takezo... eh, Musashi," kata Akemi ragu-ragu sambil menawarkan kain merah itu. "Matamu kelilipan, ya? Jangan gosok. Bisa lebih sakit. Pakai ini."
Musashi menerima kebaikannya tanpa mengatakan sesuatu, lalu menutup matanya dengan kain itu. Kemudian ia menatap wajah Akemi dengan saksama.
"Kau tak ingat aku?" tanya Akemi tak percaya. "Kau harus ingat!" Wajah Musashi betul-betul kosong.
"Harus!"
Sikap diam Musashi itu membobol tanggul penahan emosi Akemi yang sudah lama terpendam. Jiwanya yang sudah demikian terbiasa dengan kesedihan dan kekejaman itu telanjur bergayut pada harapan terakhir ini, dan kini fajar sudah menyingsing, karena itu semuanya jadi tak lebih dari khayal yang telah diciptakannya sendiri. Di dalam dadanya terbentuk gumpalan keras, dan terdengarlah ia tercekik. Sekalipun ia menutup mulut dan hidung untuk menindas sedu-sedannya, namun bahunya menggeletar tak terkendalikan lagi.
Caranya memandang sewaktu menangis itu mengingatkan Musashi kepada sikap gadis polos di zaman Ibuki. Ketika itu anak itu menggantungkan giring-giring pada obi-nya. Musashi melingkarkan tangannya ke bahu yang tipis dan lemah itu.
"Kamu Akemi, tentu saja. Ya, aku ingat. Bagaimana kau bisa sampai di sini? Apa yang terjadi dengan ibumu?" Pertanyaan-pertanyaan Musashi itu seperti mata kail, dan yang paling berat adalah penyebutan nama Oko, yang dengan sendirinya mengingatkannya pada teman lamanya. "Apa kau masih tinggal dengan Matahachi? Dia mestinya datang kemari pagi ini. Apa kebetulan kau tidak bertemu dengannya?"
Setiap patah kata itu menambah penderitaan Akemi. Di dalam pelukan Musashi, tak ada lagi yang diperbuatnya selain menggeleng-gelengkan kepala sambil menangis.
"Apa Matahachi takkan datang?" tanya Musashi lagi. "Apa yang terjadi dengannya? Bagaimana aku bisa mengerti, kalau kamu cuma menangis?"
"Dia... dia... dia takkan datang. Dia tak pernah... tak pernah terima pesan-mu." Dan Akemi pun menekankan wajahnya ke dada Musashi dan kembali menangis mengejang-ngejang.
Ia ingin mengatakan... bercerita... tapi setiap gagasan mati dalam otaknya yang demam. Bagaimana ia dapat menceritakan kepada Musashi nasib ngeri yang dideritanya karena ibunya? Bagaimana mungkin ia mengutarakannya dalam kata-kata, apa yang telah terjadi di Sumiyoshi atau pada hari-hari sesudah itu?
Jembatan itu bermandikan matahari Tahun Baru, dan semakin banyak orang berlalu lalang. Gadis-gadis berkimono baru cemerlang pergi melakukan sembahyang Tahun Baru di Kuil Kiyomizudera. Laki-laki berpakaian jubah resmi mulai melakukan kunjungan Tahun Baru. Hampir tersembunyi di tengah mereka itu ada Jotaro dengan rambut awut-awutan seperti biasa. Hampir sampai tengah jembatan, baru ia melihat Musashi dan Akemi.
"Apa pula ini?" tanyanya pada diri sendiri. "Kupikir dia bersama Otsu. Tapi itu bukan Otsu!" Ia berhenti dan wajahnya berubah.
Ia betul-betul terpukau. Sebetulnya tidak apa-apa, kalau tak ada orang memperhatikan. Tapi di sana mereka beradu dada dan saling peluk di jalan ramai. Seorang lelaki dan seorang perempuan saling dekap di depan umum? Itu tak kenal malu. Ia tak dapat percaya bahwa orang dewasa dapat berlaku demikian memalukan, lebih-lebih sensei-nya sendiri yang dipujanya. Jantung Jotaro berdentam hebat. Ia merasa sedih dan sekaligus sedikit cemburu. Dan marah, begitu marah, hingga ia ingin memungut batu dan melempar mereka.
"Aku pernah melihat perempuan itu," pikirnya. "Ah... ya, dialah yang menyampaikan pesan Musashi untuk Matahachi. Ya... dia itu gadis warung teh, jadi tak heran. Tapi bagaimana pula mereka bisa saling kenal? Rasanya ini mesti kusampaikan pada Otsu!"
Ia menengok ke sana kemari di jalan itu, mengintai dari susuran jembatan, tapi tak ada tanda-tanda Otsu.
Malam kemarin, karena yakin akan bertemu Musashi hari berikutnya, Otsu mengeramasi rambutnya dan tetap jaga sampai jam-jam pertama Tahun Baru karena menata rambutnya secara layak. Kemudian ia mengenakan kimono hadiah Keluarga Karasumaru, dan sebelum fajar ia pergi memberikan penghormatan ke Kuil Gion dan Kiyomizudera, dan akhirnya pergi ke Jalan Gojo. Jotaro ingin mengawaninya, tapi ia menolak.
Menurut Otsu, pada hari biasa tidak apalah, tapi hari ini Jotaro akan merupakan gangguan. "Kamu diam di sini," katanya. "Pertama, aku mau bicara dengan Musashi sendiri. Kamu boleh pergi ke jembatan sesudah hari terang, tapi tak perlu buru-buru. Dan jangan kuatir; aku berjanji akan menantimu di sana dengan Musashi, waktu kamu datang."
Jotaro lebih dari sekadar jengkel. Tidak hanya ia merasa sudah cukup dewasa untuk memahami perasaan Otsu, ia pun menghargai perasaan saling tertarik antara lelaki dan perempuan. Pengalaman berguling-guling di jerami dengan Kocha di Koyagyu itu belum luntur dari kenangannya; sekalipun begitu, aneh baginya bahwa seorang perempuan dewasa seperti Otsu pergi ke sana kemari bermuram durja dan menangisi seorang lelaki.
Walau sudah berusaha setengah mati, ia tak dapat menemukan Otsu. Sementara ia sedang resah itu, Musashi dan Akemi pergi ke ujung jembatan, agaknya supaya tidak tampak terlalu mencolok. Musashi melipatkan lengan dan bersandar pada susuran jembatan. Akemi berdiri di sampingnya, memandang ke sungai. Mereka tidak melihat Jotaro ketika ia menjelinap lewat di sisi lain jembatan itu.
"Kenapa begini lama? Berapa lama orang bisa berdoa buat Kannon?" Sambil menggerutu, Jotaro berjingkat dan menatapkan pandangan ke ujung Jalan Gojo.
Sekitar sepuluh langkah dari tempat berdirinya terdapat empat atau lima pohon liu yang tak berdaun. Sering kali kawanan bangau putih berkumpul sepanjang sungai itu, mencari ikan, tapi hari ini tak seekor pun kelihatan. Seorang pemuda berkuncung panjang bersandar pada cabang pohon liu yang menjulur ke tanah seperti naga yang sedang tidur.
Di jembatan, Musashi mengangguk ketika Akemi berbisik bergairah kepadanya. Akemi membuang jauh-jauh harga dirinya dan sedang bercerita kepada Musashi tentang segalanya, dengan harapan dapat meyakinkan Musashi agar menjadi miliknya seorang. Sukarlah meneliti, apakah kata-kata yang diucapkannya menembus telinga Musashi. Musashi memang terkadang mengangguk, tapi pandangan matanya bukan pandangan seorang kekasih yang sedang mengucapkan kata-kata manis kosong kepada kekasihnya.
Sebaliknya biji matanya bersinar tanpa warna dan tanpa panas, dan terpusat terus pada sesuatu. Akemi tak menyadari ini. Karena tenggelam sepenuhnya, ia sampai tercekik sedikit ketika mencoba menguraikan perasaan yang dikandungnya.
"Nah," demikian keluhnya, "sudah kuceritakan padamu semua yang bisa kuceritakan. Tak ada sama sekali yang kusembunyikan." Sambil beringsut mendekati Musashi, katanya prihatin, "Empat tahun sudah lewat sejak Sekigahara itu. Tubuh dan jiwaku sudah berubah." Kemudian sambil mencucurkan air mata, "Tapi tidak! Aku tidak betul-betul berubah. Perasaanku padamu tak berubah sedikit pun. Aku yakin betul. Kau mengerti, Musashi? Mengerti bagaimana perasaanku?"
"Mm. Mm."
"Cobalah kau mengerti! Aku sudah menceritakan segalanya. Aku bukan bunga liar yang tanpa dosa seperti ketika kita pertama bertemu di kaki Gunung Ibuki. Aku cuma perempuan biasa yang sudah diperkosa.... Tapi kesucian itu persoalan tubuh atau pikiran? Apa seorang perawan yang berpikiran cabul itu suci?... Aku sudah kehilangan keperawanan gara-gara... tak dapat aku menyebut namanya, tapi gara-gara lelaki tertentu, tapi hatiku masih murni."
"Mm. Mm."
"Apa kau tidak menyimpan rasa tertentu padaku? Tak bisa aku menyimpan rahasia kepada orang yang kucintai. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, apa yang akan kukatakan, ketika aku melihatmu. Haruskah aku mengatakan semuanya atau tidak? Tapi kemudian jelas soalnya buatku. Tak dapat aku menipumu, biarpun aku menghendakinya. Kuharap kau mengerti! Katakanlah! Katakan kau memaafkan aku. Atau, apa menurut pendapatmu aku tercela?"
"Mm. Ah....
"Kalau kupikirkan hal itu lagi, aku jadi begitu marah!" Akemi pun menurunkan wajahnya ke susuran jembatan. "Oh, malu aku memintamu mencintaiku. Aku tak punya hak berbuat begitu. Tapi... tapi... dalam hatiku aku masih perawan. Aku masih menilai cinta pertamaku ini seperti sebutir mutiara. Aku belum kehilangan kekayaan itu, dan aku tak mau, tak peduli aku menjalani hidup macam apa, atau ke tengah laki-laki macam apa aku tercebur!"
Tiap helai rambut di kepalanya bergetar bersama sedu-sedannya. Di bawah jembatan tempat jatuhnya air matanya, sungai yang berkilauan dalam matahari Tahun Baru itu mengalir terus seperti impian Akemi tentang keabadian harapan.
"Mm. Mm." Kepedihan cerita Akemi sering kali mendapat anggukan dan sambutaan suara rendah, tapi mata Musashi tetap terpusat pada titik di kejauhan. Ayahnya pernah mengatakan, "Kau ini tidak seperti aku. Mataku hitam, sedang matamu cokelat tua. Orang bilang, kakekmu, Hirata Shogen, matanya cokelat mengerikan, jadi barangkali kau meniru dia." Pada waktu itu, dalam sinar matahari yang mencondong, mata Musashi seperti batu koral murni tak bercacat.
"Tentunya dia," pikir Sasaki Kojiro, orang yang bersandar pada pohon liu itu. Berkali-kali ia mendengar tentang Musashi, tapi inilah untuk pertama kali ia melihatnya.
Musashi bertanya-tanya, "Siapa gerangan orang itu?"
Semenjak mata mereka beradu, diam-diam mereka menyelidik. Masingmasing menaksir dalamnya semangat pihak lain. Dalam melaksanakan Seni Perang, kata orang, kita harus mengukur kemampuan musuh dari ujung pedangnya. Justru inilah yang dilakukan kedua orang itu. Mereka seperti pegulat yang saling mengukur lawan sebelum akhirnya saling cekam. Dan masing-masing punya alasan untuk memandang lawan dengan penuh kecurigaan.
"Aku tak suka," pikir Kojiro, mendidih darahnya oleh perasaan tak suka. Ia merawat Akemi sejak menyelamatkannya dari Gunung Amida yang rusak itu. Percakapan intim antara Akemi dan Musashi mengesalkannya. "Barangkali dia jenis orang yang biasa memangsa perempuan-perempuan tak berdosa. Dan Akemi! Akemi tak mengatakan tadi ke mana perginya, tapi sekarang dia ada di sana, menangis di bahu seorang lelaki!" Sedang ia sendiri ada di sini karena mengikutinya.
Nada permusuhan dalam mata Kojiro itu tidak hilang begitu saja. Musashi menyadari terjadinya konflik sesaat yang khas itu, yaitu konflik kemauan yang timbul apabila seorang shugyosha bertemu dengan shugyosha lain. Dan tak ada keraguan pula bahwa Kojiro merasakan semangat menantang yang terlontar dari ekspresi Musashi.
"Siapa dia gerangan?" pikir Musashi lagi. "Kelihatannya dia memang jagoan. Tapi kenapa ada pandangan dengki pada matanya? Lebih baik aku mengamatinya."
Kehebatan kedua lelaki itu bukan bersumber pada mata mereka, tapi pada inti diri mereka. Kembang api seperti akan meloncat dari biji mata mereka. Dilihat dari penampilannya, Musashi tampak setahun atau dua tahun lebih muda dari Kojiro, tapi mungkin juga sebaliknya. Apa pun kenyataannya, mereka berdua memiliki kesamaan: keduanya dalam umur yang ditandai rasa sok, yaitu bahwa mereka merasa yakin tahu segala yang mesti diketahui mengenai politik, masyarakat, Seni Perang, dan semua persoalan lain. Seperti anjing galak yang menggeram apabila melihat anjing galak lainnya, demikianlah Musashi maupun Kojiro. Secara naluriah masing-masing tahu bahwa pihak lain berbahaya.
Kojiro-lah yang pertama melepaskan pandangannya, dan itu dilakukannya disertai gerutu kecil. Musashi yakin sekali bahwa ia menang, sekalipun ia merasakan ada nada ejekan dalam profil Kojiro. Lawan menyerah kepada pandangan matanya, kepada daya kemampuannya, dan ini membuat Musashi merasa bahagia.
"Akemi," katanya sambil meletakkan tangan ke bahu Akemi.
Akemi masih tersedu-sedu. Wajahnya menempel di susuran jembatan. la tak menjawab.
"Siapa lelaki di sana itu? Dia kenal kamu, kan? Maksudku pemuda yang tampak seperti calon prajurit itu. Siapa dia?"
Akemi diam saja. Sampai waktu itu, ia belum melihat Kojiro. Ketika melihatnya, wajahnya yang bengkak oleh air mata itu menjadi bingung. "Oh... maksudmu orang jangkung di sana itu?"
"Ya. Siapa dia?"
"Oh, dia... anu... dia... aku tidak begitu kenal dia."
"Tapi kamu kenal dia, kan?"
"Ya, ya."
"Bawa pedang sebesar dan sepanjang itu, dan pakaiannya memikat perhatian orang-tentunya dia merasa sudah pemain pedang besar! Bagaimana kamu bisa kenal?"
"Beberapa hari lalu," kata Akemi cepat, "aku digigit anjing, dan darah tak mau berhenti, karena itu aku pergi ke dokter, dan di situ kebetulan dia tinggal. Dia merawatku beberapa hari ini."
"Dengan kata lain, kamu tinggal serumah dengan dia?"
"Ya, ya, aku memang tinggal di sana, tapi itu tak ada artinya. Tak ada apa-apa antara kami." Bicaranya lebih tegas sekarang.
"Kalau begitu, kukira kamu tak banyak tahu tentang dia. Apa kamu tahu namanya?"
"Namanya Sasaki Kojiro. Dipanggil juga Ganryu."
"Ganryu?" Musashi pernah mendengar nama itu.. Walaupun nama itu tidak terlalu terkenal, tapi dikenal oleh para prajurit di sejumlah provinsi.
Ternyata ia lebih muda dari yang pernah dibayangkan Musashi, dan ia memandang orang itu lagi sekarang.
Kemudian terjadilah sesuatu yang ganjil. Sepasang lesung pipit muncul di pipi Kojiro.
Musashi membalas senyumnya. Namun komunikasi diam ini tidaklah penuh sinar perdamaian dan persahabatan, seperti senyum yang dipertukarkan oleh sang Budha dan muridnya Ananda selagi mereka meremas bunga dengan jemari mereka. Dalam senyuman Kojiro terasa cemooh menantang dan unsur ironi.
Sementara itu, senyuman Musashi tidak hanya bersifat menerima tantangan Kojiro, melainkan juga menyampaikan kehendak yang dashyat untuk bertempur.
Akemi terperangkap di antara dua orang yang berkemauan keras itu. Ia
hendak mulai mencurahkan perasaannya kembali, tapi sebelum terlaksana,
Musashi sudah menyatakan, "Nah, Akemi, kupikir lebih baik kamu kembali ke tempat penginapanmu dengan orang itu. Sebentar lagi aku akan datang menemuimu. Jangan kuatir."
"Betul-betul kamu akan datang?"
"Ya, tentu."
"Nama penginapan itu Zuzuya, di depan biara Jalan Rokujo!"
"Baik."
Sikap sambil lalu dalam jawaban Musashi itu kurang memuaskan Akemi. Ia tarik tangan Musashi dari susuran jembatan dan ia pilin penuh perasaan di belakang lengan kimononya. "Kamu betul-betul akan datang, kan? Janji?"
Jawaban Musashi tenggelam dalam ledakan tawa yang memekakkan telinga. "Ha, ha, ha, ha, ha! Oh! Ha, ha, ha, ha! Oh..." Kojiro membalikkan punggungnya dan pergi baik-baik, membawa kegembiraannya yang tak terkendalikan itu.
Jotaro memandang masam dari ujung sana, pikirnya, "Tak ada yang seaneh itu!" Ia sendiri muak dengan dunia ini, terutama dengan gurunya yang seenaknya, dan juga dengan Otsu.
"Ke mana pula perginya Otsu?" tanyanya lagi sambil melangkah marah ke arah kota. Baru saja beberapa langkah, terlihat wajah Otsu yang putih di antara roda-roda kereta sapi di pangkalan jalan itu. "Itu dia!" teriaknya. Karena tergesa-gesa hendak menangkap Otsu, ia tertumbuk ke hidung sapi.
Lain dari biasanya, hari itu Otsu mengenakan sedikit gincu. Riasannya masih sedikit amatir, tapi baunya enak, sedangkan kimononya merupakan setelan musim semi yang manis, dengan sulaman pola putih dan hijau pada latar belakang merah muda. Jotaro mendekap dari belakang. Ia tak peduli tindakannya mengacaukan rambut Otsu atau mengotorkan pupur putih di lehernya.
"Kenapa Kakak sembunyi di sini? Berjam-jam aku menunggu. Ayo ikut aku, cepat!"
Otsu tak menjawab.
"Ayo, sekarang juga!" mohonnya sambil mengguncang-guncangkan bahu Otsu. "Musashi ada di sini juga. Lihat, Kakak dapat melihat dari sini. Aku marah juga sama dia, tapi biar bagaimana ayolah. Kalau kita tidak buru-buru, dia akan pergi!" Ia pegang pergelangan Otsu dan mencoba menarik Otsu berdiri, tapi ia lihat tangan Otsu basah. "Wah! Kakak menangis?"
"Jo, sembunyilah di belakang kereta ini seperti aku. Ayolah!"
"Kenapa?"
"Tak usah tanya kenapa."
"Nah, inilah..." Jotaro melontarkan kemarahannya. "Inilah yang kubenci pada perempuan. Mereka suka bikin hal-hal yang aneh! Kakak selalu bilang ingin ketemu Musashi, dan di mana-mana nangis mencari dia. Tapi sekarang, ketika dia ada di depan mata, Kakak putuskan sembunyi. Malahan Kakak suruh aku sembunyi! Apa tidak aneh? Ha-oh, ketawa pun aku tak bisa."
Kata-kata itu menyengat seperti cambuk. Sambil mengangkat matanya yang merah bengkak, Otsu berkata, "Jangan kamu bicara begitu, Jotaro. Aku mohon. Dan jangan kejam padaku juga!"
"Kenapa menuduh aku kejam? Apa yang kulakukan?"
"Diamlah. Dan rundukkan badan di sini denganku."
"Aku tak mau. Ada tahi sapi di tanah itu. Kakak tahu sendiri, kata orang, kalau kita nangis pada Tahun Baru, burung gagak pun akan menertawakan kita."
"Oh, aku tak peduli. Aku cuma..."
"Nah, kalau begitu aku akan menertawakan Kakak! Tertawa macam samurai beberapa menit lalu itu. Ini ketawaku yang pertama pada Tahun Baru. Cocok buat Kakak?"
"Ya. Tertawalah! Tertawalah keras-keras!"
"Tidak bisa," kata Jotaro sambil menghapus hidungnya. "Berani bertaruh, aku tahu apa soalnya. Kakak cemburu, karena Musashi bicara dengan perempuan itu."
"Bukan... bukan itu! Sama sekali bukan!"
"Memang! Aku tahu, memang itu. Perbuatan itu bikin aku marah juga. Tapi kan masih banyak alasan lain untuk datang dan bicara dengannya? Kakak kan belum mengerti apa-apa."
Otsu tidak memperlihatkan tanda-tanda akan berdiri, tapi Jotaro menyentakkan pergelangannya demikian keras, hingga akhirnya ia terpaksa berdiri.
"Berhenti!" teriak Otsu. "Sakit! Jangan dendam begitu. Kaubilang aku tak mengerti apa-apa, padahal kau sama sekali tak mengerti perasaanku."
"Aku tahu betul apa yang Kakak rasakan. Kakak cemburu!"
"Bukan hanya itu."
"Diamlah. Ayo pergi!"
Otsu keluar dari belakang kereta, walau enggan. Anak itu menariknya, dan kaki Otsu mencakar-cakar tanah. Jotaro terus menarik-narik dan menjulurkan leher, melihat ke arah jembatan. "Lihat!" kata Jotaro. "Akemi tak ada lagi."
"Akemi? Siapa itu Akemi?"
"Gadis yang diajak bicara Musashi tadi.... Nah, nah! Musashi pergi sekarang. Kalau tak dikejar, dia bisa hilang." Jotaro melepaskan Otsu dan berjalan ke arah jembatan.
"Tunggu!" teriak Otsu sambil melontarkan pandangan ke jembatan, untuk mendapatkan kepastian bahwa Akemi tidak terlihat lagi. Setelah yakin bahwa saingannya benar-benar sudah pergi, ia tampak puas sekali dan dahinya tidak mengerut lagi. Tapi ia kembali ke belakang kereta untuk mengeringkan matanya yang bengkak dengan lengan kimono, merapikan runbut, dan meluruskan kimono.
"Cepat, Otsu!" seru Jotaro tak sabar. "Musashi turun ke sungai. Ini bukan waktunya berdandan!"
"Ke mana?"
"Turun ke sungai. Saya tak tahu kenapa, tapi dia ke sana." Keduanya berlari bersama ke ujung jembatan. Sambil meminta-minta maaf, Jotaro merintis jalan di tengah orang banyak, menuju susuran jembatan.
Musashi masih berdiri dekat perahu tempat Osugi menggeliat-geliat mencoba membebaskan diri dari ikatan.
"Maaf, Nek," katanya, "tapi rupanya Matahachi takkan datang sama sekali. Saya berharap dapat ketemu dengannya tak lama lagi dan mencoba mengobarkan keberanianya. Sementara itu, Nenek sendiri mesti mencoba menemukannya dan membawanya pulang sebagai anak yang baik. Itu cara yang jauh lebih baik untuk menyatakan rasa terima kasih Nenek kepada leluhur, daripada mencoba memotong kepala saya."
Ia selipkan tangannya ke bawah tikar, dan dengan pisau kecil diputuskannya talinya.
"Kau bicara terlalu banyak, Musashi! Aku tak butuh nasihatmu! Susun pikiranmu yang bodoh itu, apa yang mau kaulakukan. Kau mau bunuh aku atau dibunuh?"
Nadi-nadi biru cemerlang muncul di seluruh wajah Osugi ketika ia meronta melepaskan diri dari bawah tikar, tapi ketika ia berdiri, Musashi sudah menyeberang sungai, melompat-lompat seperti kodok menyeberangi karang dan beting. Dalam waktu singkat ia sudah mencapai seberang dan mendaki puncak tanggul.
Jotaro melihatnya dan berteriak, "Lihat, Otsu! Itu dia!" Anak itu langsung turun tanggul dan Otsu mengikuti.
Bagi Jotaro yang cekatan, sungai dan pegunungan tak berarti apa-apa, tetapi Otsu yang mengenakan kimono bagus itu tiba-tiba berhenti di tepi sungai. Musashi tak kelihatan sekarang, tapi Otsu berdiri di situ, menjeritkan namanya berulang-ulang dengan sekuat paru-parunya.
"Otsu!" terdengar jawaban dari tempat yang tak diduga-duga. Osugi tak sampai seratus kaki dari situ.
Ketika Otsu melihat siapa orang itu, ia berteriak, sesaat menutup wajahnya dan lari.
Perempuan tua itu tak membuang-buang waktu, dan mengejar. Rambutnya yang putih melambai-lambai oleh angin. "Otsu!" jeritnya dengan suara yang dapat membelah air Sungai Kamo. "Tunggu! Aku ingin bicara denganmu!"
Perempuan tua yang curiga sifatnya itu mulai mereka-reka sendiri dalam pikirannya tentang hadirnya Otsu. Ia yakin Musashi mengikatnya karena Musashi hendak bertemu dengan gadis itu dan tak ingin kelihatan olehnya. Kemudian, demikian pikirnya, kata-kata Otsu menyinggung perasaannya dan Musashi meninggalkannya. Tidak sangsi lagi, itulah sebabnya Otsu memanggil Musashi kembali.
"Gadis itu tak dapat diperbaiki lagi!" katanya. Kebenciannya pada Otsu jadi lebih besar lagi daripada kebenciannya pada Musashi. Di dalam pikirannya, Otsu sudah sah menjadi menantunya, tak peduli apakah perkawinan sudah berlangsung atau belum. Janji sudah diberikan, dan kalau calon istri ini membenci anaknya, mestinya la membenci juga mertuanya sendiri.
"Tunggu!" jeritnya lagi, hingga mulutnya terbuka lebar dari telinga kiri ke telinga kanan.
Kerasnya jeritan itu mengagetkan Jotaro yang waktu itu berada di sampingnya, maka dicengkeramnya perempuan itu, dan pekiknya, "Kamu mau apa, tukang sihir tua?"
"Menyingkir kamu!" teriak Osugi menepiskan Jotaro.
Jotaro tidak tahu siapa perempuan itu dan kenapa Otsu lari melihatnya, tapi ia merasa bahaya mengancam darinya. Sebagai anak Aoki Tanzaemon dan murid satu-satunya Miyamoto Musashi, ia tak mau disingkirkan dengan siku kurus seorang perempuan tua jelek.
"Oh, kau tak boleh memperlakukan aku begitu!" Dikejarnya perempuan tua itu dan hinggaplah ia di punggungnya.
Osugi cepat mengibaskannya, dan sambil memitingnya dijatuhkannya tamparan keras beberapa kali. "Setan kecil kamu! Ini pelajaran buat orang yang suka mengganggu!"
Sementara Jotaro berjuang melepaskan diri, Otsu berlari terus dengan pikiran kacau. Ia masih muda, dan seperti kebanyakan oang muda, ia masih penuh harapan dan tidak terbiasa menangisi nasibnya yang sial. Ia melahap setiap hari baru, seakan-akan cahaya itu bunga-bunga di kebun Yang disinari matahari. Kesedihan dan kekecewaan memang menjadi kenyataan hidup, rapt semuanya itu tidak membebaninya terlalu lama. Begitu pula ia tak dapat membayangkan kesenangan yang sepenuhnya terpisah dari rasa pedih.
Tapi hari ini ia dipaksa melepaskan optimismenya, bukan satu kali, melainkan dua kali. Kenapa ia sampai datang kemari pagi ini? Demikianlah ia bertanya pada diri sendiri.
Tak ada air mata atau kemarahan yang dapat menghilangkan guncangan itu. Sepintas-lintas terpikir olehnya untuk bunuh diri, kemudian dikutuknya semua lelaki sebagai pembohong kejam. Berganti-ganti ia berang dan sengsara, benci kepada dunia, benci kepada diri sendiri, terlalu tak berdaya untuk mencari kelegaan dalam air mata ataupun berpikir dengan jelas tentang segala sesuatu. Darahnya mendidih karena cemburu, dan kegoyahan yang ditimbulkannya membuat ia mencaci diri sendiri atas begitu banyak kekurangan yang ia miliki, termasuk tak adanya sikap tenang pada waktu ini. Berulang-ulang ia menyuruh dirinya tetap tenang dan sedikit demi sedikit ia menekan berbagai dorongan dari bawah tabir harga dirt yang sewajarnya dimiliki kaum perempuan.
Selama gadis asing itu berada di samping Musashi, Otsu tidak dapat bergerak. Tapi ketika Akemi pergi, kesabarannya habis. Otsu merasa harus bertemu Musashi dan mencurahkan segala yang dirasakannya. Sekalipun tidak tahu di mana harus memulai, ia sudah memutuskan untuk membukakan hatinya dan menceritakan segalanya kepada Musashi.
Tetapi hidup ini penuh dengan kecelakaan kecil. Satu langkah keliru saja—salah hitung kecil yang dibuat di tengah gejolak peristiwa—dapat mengubah bentuk persoalan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun mendatang. Justru karena membiarkan Musashi lepas dari pandangan sedetik itu maka Otsu dapat ditemukan Osugi. Pada pagi Tahun Baru yang mulia ini, kebun kegembiraan Otsu dilanda kawanan ular.
Ini sama dengan mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Dalam banyak mimpinya yang kacau ia sudah bertemu dengan wajah Osugi yang menatap jahat, dan inilah kini kenyataan telanjang itu.
Sesudah berlari beberapa ratus meter, Otsu kehabisan napas sama sekali. Ia berhenti dan menoleh ke belakang. Untuk sesaat napasnya berhenti sama sekali. Osugi yang berada sekitar seratus meter dari situ sedang memukuli dan mengayun-ayunkan Jotaro ke kiri dan ke kanan.
Jotaro melawan, menendang tanah, menendang udara, sekali-sekali memukul kepala penangkapnya.
Otsu melihat bahwa sebentar lagi Jotaro berhasil menarik pedang kayunya. Dan bila demikian, pasti perempuan itu akan menghunus pedang pendeknya dan takkan menyesal menggunakannya. Pada saat itu, Osugi bukan orang yang akan menunjukkan belas kasihan. Jotaro bahkan bisa terbunuh.
Otsu dalam keadaan sulit luar biasa. Jotaro mesti diselamatkan, tapi ia tak berani mendekati Osugi.
Jotaro memang berhasil meloloskan pedang kayu dari obi-nya, tapi tidak berhasil meloloskan kepalanya dari cengkeraman Osugi yang seperti catok itu. Segala tendangan dan ayunan tangannya hanya merugikan dirinya, karena semua menambah keyakinan diri perempuan tua itu.
"Anak bandel!" teriaknya menghina. "Apa yang mau kaulakukan? Niru kodok?" Giginya yang merongos membuat bibirnya tampak seperti bibir kelinci, tetapi air mukanya memperlihatkan kemenangan tersembunyi. Selangkah demi selangkah ia mengingsut mendekati Otsu.
Melihat gadis yang ketakutan itu, sifat liciknya tampil. Dalam sekejap terpikir olehnya bahwa ia menempuh jalan yang salah. Sekiranya lawannya itu Musashi, kecohan takkan mempan. Musuh di depannya sekarang Otsu—yang halus, yang polos—yang barangkali dapat dibuat percaya akan segalanya, asalkan disampaikan dengan lemah lembut dan dengan nada tulus. Pertama ia mesti diikat dengan kata-kata, demikian pikir Osugi, dan kemudian dipanggang untuk makan malam.
"Otsu!" panggilnya dengan nada betul-betul pedih. "Kenapa kau lari? Apa yang membuatmu lari begitu melihatku? Kau lari juga waktu di dimaafkan, tapi masih ada Matahachi yang mesti dipertimbangkan. Apa kau tak mau bertemu lagi dengannya dan bicara dengannya? Sejak dia lari dengan perempuan lain atas kemauan sendiri, menurutku dia takkan minta kamu kembali padanya. Sebetulnya aku tak suka dia melakukan sesuatu yang hanya mementingkan diri sendiri, tapi..."
"Apa?"
"Apa setidaknya kamu tak mau bertemu dengannya? Nanti, kalau kalian sudah berdua, akan kuceritakan padanya bagaimana duduk perkaranya. Dengan begitu, aku dapat menunaikan tugasku sebagai ibu. Aku akan merasa sudah melaksanakan segalanya semampuku."
"Saya mengerti," jawab Otsu. Dari pasir di sampingnya, seekor kepiting kecil merangkak ke luar, lalu bergegas lari ke belakang batu. Jotaro menangkapnya, kemudian pergi ke belakang Osugi dan menjatuhkannya ke atas kepalanya.
Kata Otsu, "Tapi biar bagaimana, saya merasa sesudah terjadi semua peristiwa itu, lebih baik saya tidak bertemu Matahachi."
"Aku bersamamu. Apa tidak lebih baik untukmu kalau kamu bertemu dengannya dan mengutarakan segalanya?"
"Ya, tapi..."
"Nah, kalau begitu lakukanlah itu. Kukatakan ini demi masa depanmu sendiri."
"Kalau saya setuju... bagaimana kita bisa bertemu dengan Matahachi. Apa Nenek tahu di mana dia?"
"Aku dapat cepat menemukan dia. Cepat sekali... kau tahu, baru-baru ini aku bertemu dengannya di Osaka. Lagi ngumbar napsu, dan ditinggalkannya aku di Sumiyoshi. Tapi biasanya kalau dia berbuat seperti itu, dia akan menyesal. Tak lama lagi dia pasti muncul di Kyoto mencariku."
Otsu merasa kurang enak, karena menurutnya Osugi berbohong. Tapi hanyut juga ia oleh rasa sayang orang tua itu kepada anaknya yang brengsek. Namun yang menyebabkan ia menyerah sepenuhnya adalah keyakinan bahwa yang diusulkan Osuugi itu benar dan wajar.
"Bagaimana kalau saya pergi membantu Nenek mencari Matahachi." demikian tanyanya.
"Oh, kau mau?" teriak Osugi, menggenggam tangan gadis itu.
"Ya, saya pikir saya mesti pergi."
"Baiklah, ikutlah denganku sekarang ke penginapan. Uh! Apa ini?" Sambil berdiri ia meraba belakang kerahnya dan menangkap kepiting itu.
Ia gemetar, serunya, "Oh, bagaimana dia bisa sampai di sini?" Ia mengulurkan tangannya, kemudian mengibaskan kepiting itu dari jari-jarinya.
Jotaro yang berada di belakangnya menahan gelaknya, tapi Osugi tak dapat dikibuli. Dengan mata menyala ia menoleh dan menatap Jotaro. "Perbuatanmu itu, aku yakin!"
"Bukan aku. Aku tidak melakukannya." Jotaro lari mendekati tanggul menyelamatkan diri, dan serunya, "Otsu, Kakak akan pergi dengan dia ke penginapan, ya?"
Sebelum Otsu dapat menjawab sendiri, Osugi sudah mengatakan, "Ya, dia ikut aku. Aku tinggal di penginapan dekat kaki Bukit Sannen. Selamanya aku tinggal di sana jika datang di Kyoto. Kami tak butuh kamu. Kembalilah kau ke tempatmu sendiri."
"Baik, aku tinggal di rumah Karasumaru. Kakak datang ke sana juga, kalau sudah selesai urusannya."
Waktu itu Otsu merasakan denyutan kekuatiran. "Jo, tunggu!" Ia berlari cepat naik tanggul, karena enggan melepaskan Jotaro pergi. Karena takut gadis itu akan mengubah pikiran dan melarikan diri, Osugi cepat mengikutinya, tapi beberapa saat lamanya Otsu dan Jotaro sempat sendirian.
"Kupikir aku mesti pergi dengan dia," kata Otsu. "Tapi aku akan datang ke tempat Yang Dipertuan Karasumaru, begitu ada kesempatan. Jelaskan semuanya pada mereka dan mohonlah tinggal di sana sampai aku selesai dengan urusanku."
"Jangan kuatir. Aku akan menunggu Kakak."
"Cari Musashi selama kau menunggu, ya?"
"Nah, ke situ lagi Kakak ini maunya! Waktu Kakak menemukan dia, Kakak sembunyi. Dan sekarang Kakak menyesal. Jangan Kakak bilang aku tidak memperingatkan."
Osugi datang dan berdiri di antara keduanya. Ketiganya berjalan kembali ke jembatan. Pandangan Osugi yang seperti jarum itu berulang-ulang menghujam ke arah Otsu. Ia tak berani mempercayai gadis itu. Walau tak sedikit pun menduga bencana yang menghadangnya, namun Otsu merasa sudah terperangkap.
Sampai di jembatan, matahari sudah tinggi di atas pohon liu dan pinus, jalan-jalan sudah penuh orang-orang yang berbondong-bondong merayakan Tahun Baru, Satu gerombolan besar di antaranya berkerumun di depan papan yang terpasang di Jembatan.
"Aku tak pernah dengar tentang dia."
"Tentunya jagoan boleh juga, kalau berani menghadapi orang-orang Yoshioka. Menarik juga untuk ditonton."
Otsu berhenti dan memandang, Osugi dan Jotaro juga berhenti dan memandang sambil mendengarkan bisik-bisik orang yang memantul-mantul pelan di sana-sini. Seperti riak-riak air yang digerakkan ikan-ikan mino di bering, nama Musashi menyebar ke tengah orang banyak itu.
bersambung >>>
0 komentar:
Posting Komentar