"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Rabu, 15 Agustus 2012

Cerita Novel Musashi Bag. 24



Kegilaan Tadaaki

Osugi bukan orang yang bisa berputus asa akibat kesedihan dan kekecewaan yang luar biasa, karena baktinya sebagai seorang ibu tidak berbalas. Tetapi di sini, sementara serangga-serangga mendengung di tengah tumbuhan lespedeza dan elalia, dan sungai besar mengalir pelan ke hilir, perasaannya tergugah oleh nostalgia dan kefanaan hidup ini.

"Nenek di rumah, ya?" terdengar suara kasar di tengah udara malam yang tenang itu.

"Siapa itu?" seru Osugi.

"Saya dari Hangawara. Banyak sayuran segar datang dari Katsushika. Majikan menyuruh saya membawakan untuk Nenek."

"Yajibei memang selalu penuh perhatian."

Osugi waktu itu sedang duduk menghadap meja pendek. Lilin menyala di sampingnya, dan ia memegang kuas tulis. Ia sedang menyalin kitab Sutra tentang Cinta Agung Orangtua. Ia sudah pindah ke rumah sewa kecil di daerah Hamacho yang jarang penduduknya, dan di situ ia hidup cukup nyaman, mengobati orang yang sakit dan nyeri dengan moxa. Ia sendiri tak lagi punya keluhan fisik. Sejak permulaan musim gugur, ia sudah merasa muda kembali.

"Apa ada pemuda datang menengok Nenek sore tadi?"

"Maksudmu untuk mendapat pengobatan dengan moxa?"

"Mm. Dia datang menemui Yajibei. Rupanya ada soal penting yang akan disampaikannya. Dia tanya di mana Nenek tinggal sekarang, dan kami memberitahukannya."

"Berapa umurnya?"

"Dua puluh tujuh atau dua puluh delapan, saya kira."

"Bagaimana kelihatannya?"

"Agak bulat mukanya. Tidak begitu tinggi badannya."

"Mm, siapa ya...."

"Nada bicaranya mirip Nenek. Saya pikir barangkali dia datang dari tempat yang sama. Nah, saya mesti pergi. Selamat malam."

Ketika langkah kaki orang itu menghilang, bunyi-bunyi serangga terdengar kembali seperti bunyi hujan gerimis. Osugi meletakkan kuasnya dan menatap lilin. Pikirannya melayang ke masa mudanya, ketika orang menafsirkan isyarat yang ada dalam lingkaran cahaya lilin. Orang-orang yang ditinggal di rumah tak dapat mengetahui keadaan suami, anak, atau saudaranya yang pergi berperang, atau bagaimana nasib mereka sendiri yang tak tentu itu di masa depan. Lingkaran cahaya terang diartikan sebagai tanda keberuntungan, bayangan keunguan diartikan sebagai petunjuk bahwa ada yang telah meninggal. Kalau nyalanya berbunyi berkeretak seperti bunyi daun pinus terbakar, artinya orang yang mereka harap-harapkan pasti akan datang.

Osugi sudah lupa bagaimana menafsirkan pertanda-pertanda itu, tapi malam ini lingkaran cahaya gembira yang indah beraneka warna seperti pelangi itu menyarankan akan datang sesuatu yang indah.

Mungkinkah itu Matahachi: Tangannva menjangkau kuas, tapi ia menariknya kembali. Ia seakan sudah kesurupan dan lupa akan diri dan sekelilingnya. Sejam-dua jam berikutnya, ia hanya memikirkan wajah anaknya yang seakan mengapung terus dalam kegelapan kamarnya itu.

Bunyi gemeresik di pintu belakang menyadarkannya dari lamunan. Ia bertanya pada dirinya, apakah ada musang yang sedang merusak dapurnya, karenanya ia mengambil lilin dan pergi untuk memeriksanya.

Karung sayuran ada di dekat meja cuci. Di atas karung terdapat benda putih. Benda itu diambilnya, dan terasa berat-seberat dua keping emas. Di kertas putih yang dipakai membungkusnya, ditulis oleh Matahachi, Saya masih belum berani menghadap Ibu. Maafkan saya kalau enam bulan lagi Ibu saya telantarkan. Saya tinggalkan surat ini tanpa masuk.

Seorang samurai, dengan mata memancarkan nafsu membunuh, menerobos rumput tinggi untuk menghampiri dua lelaki yang berdiri di tepi sungai. Terengah-engah ia berseru, "Hamada, diakah itu?"

"Bukan," keluh Hamada. "Salah." Tapi matanya berkilau-kilau ketika ia terus meninjau keadaan sekitar.

"Aku yakin dia."

"Bukan. Itu tukang perahu."

"Kau yakin?"

"Waktu kukejar, dia masuk perahu di sana itu."

"Itu tidak berarti dia tukang perahu."

"Sudah kuperiksa."

"Mesti kuakui, orang itu cepat kakinya."

Mereka meninggalkan sungai, dan kembali melintasi perladangan Hamacho. "Matahachi... Matahachi!"

Semula suara itu hampir tak lebih keras dari bisik sungai, tapi ketika kemudian diulang-ulang dan menjadi tak mungkin ditafsirkan lain lagi, mereka berhenti dan saling pandang keheranan.

"Ada orang memanggilnya! Bagaimana mungkin?"

"Kedengarannya seperti perempuan tua."

Dipimpin Hamada, mereka cepat mencari suara itu sampai ke sumbernya, dan ketika Osugi mendengar jejak langkah mereka, ia berdiri mendapatkan mereka.

"Matahachi? Apa di antara kalian..."

Mereka mengepung Osugi dan melipat tangannya ke belakang.

"Apa yang kalian lakukan ini?" Wajahnya menggelembung seperti ikan buntal yang sedang marah. Teriaknya, "Siapa pula kalian ini?"

"Kami murid Perguruan Ono."

"Aku tak kenal orang yang namanya Ono."

"Kau tak pernah dengar nama Ono Tadaaki, guru shogun?"

 "Tak pernah."

"Ah, orang tua...

"Tunggu. Mari kita lihat, apa yang dia ketahui tentang Matahachi."

"Aku ibunya."

"Kau ibu Matahachi penjual semangka itu?"

"Apa maksudmu, babi? Penjual semangka? Matahachi itu keturunan Keluarga Hon'iden, dan Hon'iden keluarga penting di Provinsi Mimasaka. Kalian mesti tahu, Keluarga Hon'iden abdi-abdi berpangkat tinggi pada Shimmen Munetsura, penguasa Benteng Takeyama di Yoshino."

"Cukup sudah," kata satu orang.

"Apa yang mesti kita lakukan?"

"Angkat dia dan bawa."

"Sandera? Kaupikir akan ada hasilnya?"

"Kalau ini ibunya, dia akan datang menjemput ibunya."

Osugi menggagahkan dirinya yang kurus kering itu dan memberontak seperti macan betina yang tersudut, tapi sia-sia.



Karena bosan dan kecewa dalam beberapa minggu terakhir ini, Kojiro jadi terbiasa banyak tidur, siang ataupun malam. Waktu itu ia sedang berbaring menelentang, sambil menggerutu sendiri dan mendekapkan pedang ke dadanya.

"Ini bisa bikin Galah Pengering menangis. Pedang macam ini, dan pemain pedang macam diriku... melapuk di rumah orang lain!" Terdengar detak keras dan kilasan logam. "Tolol!"

Senjata itu menebas dalam gerak lengkung besar di atasnya, kemudian menyelinap kembali ke dalam sarungnya, seperti makhluk hidup.

"Bagus!" teriak seorang pelayan dari ujung beranda. "Bapak sedang melatih teknik pukulan dengan posisi telentang?"

"Jangan bodoh," dengus Kojiro. Ia membalikkan badan dan menelungkup, memungut dua bintik kecil, dan menjentikkannya ke arah beranda. "Bikin ribut saja di sini."

Mata pelayan itu membelalak. Serangga yang mirip ngengat itu, kedua sayap halus dan tubuhnya yang kecil terbelah rapi menjadi dua.

"Kau mau memasang tilam bantalku?" tanya Kojiro.

"Oh, tidak! Maafl Ada surat buat Bapak."

Tanpa tergesa-gesa, Kojiro membuka surat itu dan mulai membaca. Sementara membaca, ekspresi gembira merayapi wajahnya. Menurut Yajibei, Osugi hilang sejak malam kemarin. Kojiro diminta datang segera untuk merundingkan satu tindakan.

Surat itu menerangkan secara agak panjang-lebar, bagaimana mereka mengetahui tempat Osugi. Yajibei mengirim semua orangnya untuk mencari, namun isi pokok persoalan itu adalah pesan yang ditinggalkan Kojiro di Donjiki. Pesan itu telah dicoret, dan di sampingnya ditulis: Kepada Sasaki Kojiro: Orang yang menahan ibu Matahachi adalah Hamada Toranosuke dari Keluarga Ono.

"Akhirnya!" kata Kojiro. Perkataan itu keluar dari dalam tenggorokannya. Pada waktu menyelamatkan Matahachi, ia curiga kedua samurai yang telah dirobohkan itu ada hubungannya dengan Perguruan Ono.

Ia mendecap, katanya. "Tepat seperti yang kunanti" Sambil berdiri di beranda, ia menengadah ke langit malam. Awan banyak, tapi sepertinya tidak akan turun hujan.

Sebentar kemudian, ia sudah mengendarai kuda beban, menyusuri jalan raya Takanawa. Sampai di rumah Hangawara, hari sudah larut. Sesudah mengajukan pertanyaan kepada Yajibei sampai sekecil-kecilnya, ia memutuskan untuk menginap di sana dan bertindak pagi harinya.



Ono Tadaaki memperoleh nama baru, tak lama sesudah Pertempuran Sekigahara. Namanya masih Mikogami Tenzen ketika ia diundang datang ke perkemahan Hidetada untuk memberikan kuliah tentang ilmu pedang, dan kuliah itu diberikannya dengan mutu tinggi. Disamping memperoleh limpahan nama itu, ia memperoleh penunjukan sebagai pengikut langsung Keluarga Tokugawa dan hadiah tempat tinggal baru di Bukit Kanda, di Edo.

Karena dari bukit itu pemandangan ke Gunung Fuji bagus sekali, maka ke-shogun-an menetapkannya sebagai daerah kediaman para abdi dari Suruga, provinsi tempat gunung Fuji terletak.

"Ada yang bilang rumah itu ada di Lereng Saikachi," kata Kojiro.

Ia dan satu orang Hangawara ada di puncak bukit itu. Jauh di dalam lembah di bawah sana, mereka melihat Ochanomizu, bagian sungai yang kabarnya menjadi sumber air untuk teh shogun.

"Bapak tunggu di sini," kata pengawal Kojiro. "Akan saya periksa, sampai di mana kita." Sebentar kemudian, ia kembali dengan keterangan bahwa mereka sudah melewatinya.

"Tapi seingatku kita belum melewati tempat guru shogun."

"Saya juga tak melihat. Saya pikir dia punya rumah besar macam Yagyu Munenori. Tapi rumahnya adalah yang sudah tua dan kita lihat di sebelah kanan tadi. Saya dengar rumah itu tadinya milik penjaga kandang shogun."

"Hal itu tak perlu diherankan. Ono cuma punya penghasilan seribu lima ratus gantang, sedangkan sebagian besar penghasilan Munenori sudah diperoleh sejak zaman nenek moyangnya."

"Itu dia," kata pengawal sambil menuding.

Kojiro berhenti untuk memeriksa susunan bangunan yang ada. Tembok tanah yang sudah tua memanjang ke belakang, dari bagian tengah lereng bukit, menuju semak-semak di atas bukit. Pekarangan itu tampaknya besar sekali. Dari gerbang yang tidak berpintu, ia dapat melihat bangunan besar di sebelah rumah utama, yang menurut taksirannya adalah dojo dan sebuah ruang tambahan yang jelas merupakan bangunan yang dibuat belakangan.

"Kau boleh kembali sekarang," kata Kojiro. "Dan katakan pada Yajibei, kalau aku tidak kembali dengan nyonya tua itu pada malam hari, berarti aku terbunuh."

"Baik, Pak." Orang itu cepat lari menuruni Lereng Saikachi. Beberapa kali la berhenti untuk menoleh.

Kojiro tak mau membuang-buang waktu untuk mendekati Yagyu Munenori. Selama itu tak ada jalan untuk mengalahkannya dan merebut kemuliaannya, karena Gaya Yagyu adalah gaya yang sesungguhnya dipakai oleh Keluarga Tokugawa. Hal itu saja sudah menjadi alasan bagi Munenori untuk menolak menghadapi ronin ambisius. Tadaaki-lah yang cenderung menghadapi tantangan.

Dibandingkan dengan Gaya Yagyu, Gaya Ono lebih praktis. Tujuannya bukan untuk memamerkan keterampilan dengan seluas-luasnya, melainkan untuk membunuh. Kojiro belum pernah mendengar ada yang berhasil menyerang Keluarga Ono dan mempermalukan mereka. Kalau Munenori pada umumnya dianggap lebih terhormat, maka Tadaaki dianggap lebih kuat.

Semenjak datang di Edo dan mempelajari keadaan, Kojiro sudah berketetapan akan mengetuk gerbang Ono.

Numata Kajuro melayangkan pandang dari jendela kamar dojo. Sekaligus matanya melayang ke dalam ruangan, mencari Toranosuke. Ketika dilihatnya orang itu ada di tengah ruangan, sedang memberikan pelajaran pada seorang murid muda, ia berlari ke sampingnya, dan dengan suara rendah berkata, "Dia di sini! Itu di sana, di halaman depan!"

Toranosuke, yang memegang pedang kayu, berseru kepada murid itu, "Siap!" Kemudian ia maju mendesak ke depan. Langkah-langkah kakinyabergema tajam di lantai. Begitu kedua orang itu sampai di sudut utara, murid itu terjungkir balik dan pedang kayunya melayang ke udara.

Toranosuke menoleh, katanya, "Siapa yang kausebut tadi? Kojiro?"

"Ya, dia sudah di dalam gerbang. Sebentar lagi pasti sampai di sini."

"Jauh lebih cepat dari yang kuharapkan. Menyandera nyonya tua itu memang gagasan bagus."

"Apa rencanamu sekarang? Siapa yang akan memyambutnya? Yang menyambut mestinya orang yang siap untuk segalam-a. Kalau dia punya keberanian datang kemari sendiri, berarti dia bisa membuat gerakan kejutan."

"Bawa dia masuk dojo. Aku akan menvambutnya sendiri. Kalian semua tinggal di belakang diam-diam."

"Setidaknya jumlah kita banyak di sini," kata Kajuro. Ia menoleh ke sekitar, dan bangkitlah semangatnva memandang wajah orang-orang tegap seperti Kamei Hyosuke, Negoro Hachikuro, dan Ito Magobei. Masih ada sekitar dua puluh orang lagi. Mereka memang tidak mengerti jalan pikiran Kojiro, tapi mereka semua tahu kenapa Toranosuke menginginkannya datang ke sini.

Seorang dari dua orang yang telah dibunuh Kojiro dekat Donjiki adalah kakak Toranosuke. Sekalipun si kakak itu hanya sampah, dan di perguruan tidak banyak dihargai orang, namun kematiannya mesti dibalaskan karena hubungan darah.

Sekalipun masih muda dan kecil penghasilannya, Toranosuke seorang samurai yang mesti diperhitungkan di Edo. Seperti Keluarga Tokugawa, semula ia datang dari Provinsi Mikawa, dan keluarganya tergolong yang tertua di antara pengikut warisan shogun. Ia juga seorang dari "Empat Jenderal dari Lereng Saikachi": tiga yang lain adalah Kamei, Negoro, dan Ito. Ketika Toranosuke pulang kemarin malam dengan membawa Osugi, orang sependapat bahwa ia mencapai keberhasilan yang patut dicatat. Sekarang sukar bagi Kojiro untuk tidak memperlihatkan muka. Orang-orang itu sudah bersumpah bahwa kalau ia muncul, mereka akan memukulinya setengah mati, memotong hidungnya, dan menggantungnya pada sebatang pohon di tepi Sungai Kanda, agar menjadi tontonan orang banyak. Tapi mereka sama sekali tak yakin ia akan datang. Mereka bertaruh tentang itu, dan sebagian besar bertaruh ia takkan datang.

Mereka berkumpul di ruangan utama dojo, membiarkan lantai bagian tengah terbuka, dan menanti dengan gelisah.

Beberapa waktu kemudian, satu orang bertanva kepada Kajuro, "Kau yakin yang kaulihat itu Kojiro?"

"Yakin betul!"

Mereka duduk dalam susunan mengesankan. Wajah mereka kaku sekali, kemudian memperlihatkan tanda-tanda tegang. Sebagian dari mereka takut kalau keadaan itu berlangsung terlalu lama, mereka akan menjadi korban ketegangan mereka sendiri. Tepat ketika titik ledak mereka makin mendekat, detak cepat sandal terdengar berhenti di luar kamar pakaian, dan wajah seorang murid lain yang bersijingkat muncul di jendela.

"Hei, dengar! Tak ada gunanya menunggu di sini. Kojiro takkan datang."

"Apa maksudmu? Kajuro baru saja melihatnya."

"Ya, tapi dia langsung pergi ke rumah itu. Bagaimana dia mendapat izin, aku tidak tahu, tapi sekarang dia di kamar tamu, bicara dengan guru."

"Guru," gema orang banyak itu tergagap.

"Betul yang kauomongkan itu?" tanya Toranosuke. Wajahnya hampir-hampir memperlihatkan kekuatiran. Dugaannya sangat kuat bahwa jika soal kematian kakaknya diselidiki, akan ketahuan bahwa ia bermaksud melakukan sesuatu yang tidak baik. Ia menyembunyikan kenyataan itu sewaktu menceritakan peristiwanya pada Tadaaki. Dan kalau gurunya tahu ia sudah menculik Osugi, itu bukanlah karena ia sendiri yang menyampaikannya kepada gurunya.

"Kalau kau tak percaya, lihat sendiri."

"Brengsek!" rintih Toranosuke.

Teman-temannya bukannya bersimpati kepadanya, melainkan jengkel melihat sikap ragunya.

Kamei dan Negoro menasihati teman-temannya untuk tetap tenang, sementara mereka akan pergi untuk mengetahui situasi, tapi baru saja mereka mengenakan zori, seorang gadis menarik berkulit kuning langsat berlari ke luar rumah. Melihat bahwa gadis itu Omitsu, mereka seketika berhenti, dan yang lain-lain tumpah ke pintu.

"Hei, kalian semua!" teriak Omitsu dengan suara serak dan resah. "Lekas datang! Paman dan tamu itu sudah menghunus pedang. Di halaman. Mereka berkelahi!"

Walaupun Omitsu secara resmi dianggap sebagai kemenakan Tadaaki, orang banyak membisikkan bahwa sebetulnya ia anak Ito Ittosai dengan seorang gundik. Menurut bisikan orang, karena Ittosai adalah guru Tadaaki, maka Tadaaki terpaksa setuju merawat gadis itu.

Ungkapan rasa takut yang tampak pada matanya betul-betul lain daripada yang lain. "Saya dengar Paman dan tamu itu bicara... suara mereka makin lama makin keras... dan yang kemudian saya ketahui... saya kira Paman tidak dalam bahaya, tapi..."

Keempat jenderal itu serentak memperdengarkan lengkingan, dan langsung berlari ke halaman yang dipisahkan dari pekarangan luar oleh pagar hidup. Yang lain menyusul mereka di pintu gerbang yang terbuat dari bambu anyam.

"Gerbang terkunci."

"Tak bisa kau mendobraknya?"

Tapi ternyata dobrakan tidak diperlukan. Pintu gerbang ambruk oleh berat badan samurai yang mendesaknya. Ketika gerbang itu ambruk, suatu daerah luas, dengan latar belakang sebuah bukit, terhampar di depan mata  mereka. Tadaaki dengan pedang Yukihira-nya yang setia dipegang setinggi mata, berdiri di tengah. Di seberangnya, pada jarak cukup jauh, berdiri Kojiro dengan Galah Pengering yang besar, menjulang di atas kepalanya. Matanya memancarkan api.

Suasana gawat itu rupanya merupakan penghalang yang tidak kelihatan. Untuk orang yang terdidik dalam tradisi keras golongan samurai, kekhidmatan mengerikan yang menyelimuti pihak-pihak yang bertarung, dan martabat pedang yang sudah terhunus untuk membunuh itu, tidak dapat lagi dilanggar. Sekalipun para murid meluap, namun untuk sesaat mereka menahan diri tidak bergerak ataupun melampiaskan emosi.

Tapi kemudian, dua-tiga orang dari mereka mulai bergerak ke belakang Kojiro.

"Balik, kalian!" teriak Tadaaki marah. Suaranya kasar mengerikan, sama sekali bukan suara kebapakan yang biasa mereka dengar, dan itu menghentikan semua gerakan para murid.

Orang cenderung menduga umur Tadaaki sepuluh tahun lebih muda daripada sebenarnya, yaitu lima puluh empat atau lima puluh lima tahun, dan tinggi badannya rata-rata, padahal sesungguhnya tinggi badannya kurang dari itu. Rambutnya hitam, tubuhnya kecil, tapi kekar, dan sama sekali tidak tampak kekakuan atau kekikukan dalam gerak kaki dan lengannya yang panjang-panjang itu.

Kojiro belum lagi melakukan pukulan—lebih tepat dikatakan belum dapat melakukannya.

Namun demikian, Tadaaki seketika itu juga terpaksa menghadapi kenyataan. Ia berhadapan dengan pemain pedang hebat. "Orang ini macam Zenki!" pikirnya sambil menggigil tanpa terasa.

Zenki adalah pemain pedang terakhir yang dihadapinya, yang memiliki jangkauan dan ambisi sehebat ini. Dan peristiwa itu terjadi sudah lama, ketika Tadaaki masih muda, ketika ia mengadakan perjalanan dengan Ittosai dan menjalani hidup sebagai shugyosha. Zenki, anak seorang tukang perahu di Provinsi Kuwana, adalah murid senior Ittosai. Ketika Ittosai makin tua, Zenki mulai merendahkannya, bahkan menyatakan bahwa Gaya Itto adalah penemuannya sendiri.

Tingkah Zenki membuat Ittosai sedih sekali, karena semakin mahir ia memainkan pedang, semakin banyak ia menimbulkan kerugian kepada orang lain. "Zenki," sesal Ittosai, "adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Kalau aku memandangnya, terlihat olehku monster yang mewujudkan segala sifat jelek yang pernah kupunyai. Memandang dia, aku jadi benci pada diriku sendiri."

Tapi ironisnya, Zenki sudah berjasa besar pada Tadaaki yang masih muda waktu itu—sebagai contoh yang buruk—dengan mendorongnya mencapai prestasi-prestasi yang lebih tinggi daripada yang mungkin waktu itu. Akhirnya Tadaaki berbenturan dengan anak ajaib itu di Koganegahara, Shimosa, dan membunuhnya. Karena itu Ittosai menghadiahinya ijazah Gaya Itto, dan memberikan kepadanya buku pelajaran rahasia.

Satu kekurangan Zenki adalah kemampuan teknisnya dicemarkan oleh kurangnya pendidikan. Tidak demikian halnya Kojiro. Kecerdasan dan pendidikannya jelas kelihatan dalam permainan pedangnya.

"Aku tak dapat memenangkan perkelahian ini," pikir Tadaaki, padahal sama sekali ia tidak merasa lebih rendah dari Munenori. Sesungguhnya, penilaiannya mengenai keterampilan Munenori tidaklah terlalu tinggi.

Selagi menatap lawannya yang memesona itu, ada kebenaran lain lagi yang segera disadarinya. "Waktu rupanya sudah lama berlalu bagiku," pikirnya sedih.

Mereka berdiri tanpa gerak. Tak sedikit pun kelihatan perubahan. Padahal, baik Tadaaki maupun Kojiro, sudah mengerahkan tenaga vital mereka dengan jumlah mengerikan. Beban fisiologisnya mengambil bentuk keringat yang mencurah deras dari dahi mereka, udara yang mendesah lewat lubang hidung mereka yang mengembang, dan kulit mereka yang berubah warna menjadi putih, kemudian kebiruan. Memang sebentar lagi agaknya akan terjadi gerakan, namun kedua pedang tetap terpentang dan teguh.

"Aku menyerah," kata Tadaaki, dan tiba-tiba mundur beberapa langkah. Mereka berdua memang sepakat, ini takkan merupakan perkelahian habis-habisan. Masing-masing dapat menarik diri dan mengaku kalah.

Tapi, sambil meloncat seperti binatang buruan, Kojiro mulai memainkan Galah Pengering-nya dengan pukulan ke bawah, disertai kekuatan dan kecepatan angin kisaran. Tadaaki merunduk tepat pada waktunya, namun gelungnya terlontar ke atas dan putus. Tadaaki sendiri, sambil mengelak, melancarkan balasan cemerlang dan berhasil menyayat sekitar enam inci lengan kimono Kojiro.

"Pengecut!" seru para murid. Wajah mereka menyala karena berang. Memanfaatkan penyerahan lawannya sebagai pembuka serangan, berarti Kojiro telah melanggar etika samurai.

Maka semua murid, tanpa kecuali, menghampiri Kojiro.

Kojiro menjawab dengan terbang secepat burung kasa ke pohon jujube besar di ujung halaman, dan menyembunyikan diri di belakang batangnya.

Matanya bergerak-gerak dengan kecepatan menakutkan.

"Anda lihat?" teriaknya. "Anda lihat siapa yang menang?"

"Mereka yang melihatnya," kata Tadaaki. "Mundur!" perintahnya kepada orang-orang, sambil menyarungkan pedang dan kembali ke beranda kamar belajarnya.

Ia memanggil Omitsu dan minta gadis itu mengikat rambutnya. Sementara Omitsu mengikat rambutnya, Tadaaki menarik napas. Dadanya berkilat-kilat oleh aliran keringat.

Sebuah pepatah lama teringat olehnya: mudah mengungguli seorang pendahulu, tapi sukar menghindari untuk diungguli seorang pengganti. Selama ini ia menikmati buah dari latihan keras di masa mudanya, dan merasa senang karena tahu Gaya Itto yang dikuasainya tidak kurang ampuhnya dari Gaya Yagyu. Tapi, sementara itu, masyarakat melahirkan jenius-jenius baru, seperti Kojiro. Kesadaran itu datang sebagai guncangan pahit, namun ia bukan jenis orang yang akan mengabaikan saja hal itu.

Ketika Omitsu selesai dengan tugasnya, kata Tadaaki, "Berikan air kepada tamu muda kita itu untuk berkumur, dan antar dia kembali ke kamar tamu."

Wajah para murid di seputar Tadaaki tampak putih karena terguncang. Sebagian menahan air mata, sebagian lagi menatap benci pada guru mereka.

"Kita berkumpul di dojo," kata Tadaaki. "Sekarang." Dan ia sendiri mendahului pergi.

Tadaaki mengambil tempat di kursi yang ditinggikan di depan, dan diam-diam memperhatikan tiga baris pengikutnya yang duduk menghadapinya.

Akhirnya ia menunduk, dan katanya pelan, "Aku kuatir aku pun sudah tua. Kalau aku menoleh ke belakang, terasa olehku, masa terbaikku sebagai pemain pedang adalah ketika aku mengalahkan Zenki. Pada waktu perguruan ini dibuka dan orang mulai bicara tentang kelompok Ono di Lereng Saikachi, serta menyebut Gaya Itto tak terkalahkan, waktu itu aku sudah melewati puncakku sebagai pemain pedang."

Suara Tadaaki menjadi lebih mantap, dan ia memandang langsung wajah-wajah mereka yang mencerminkan keraguan dan ketidakpuasan. "Menurut pendapatku, hal ini bisa terjadi pada semua orang. Umur kita merangkak terus, sementara kita tidak memperhatikannya. Masa berubah. Para pengikut mengungguli para pemimpin. Angkatan baru membuka jalan baru.... Memang demikian seharusnya, karena dunia ini maju hanya melalui perubahan. Namun, di bidang permainan pedang, hal ini tidak boleh terjadi. Jalan Pedang harus merupakan jalan yang tidak mengizinkan orang menjadi tua. Ittosai.... Entah apakah beliau masih hidup. Bertahun-tahun aku tidak mendengar berita tentang guruku itu. Sesudah peristiwa di Koganegahara, beliau mencukur rambutnya dan mengundurkan diri ke pegunungan. Tujuan beliau, menurut beliau, adalah mempelajari pedang, mempraktekkan Zen, mencari jalan hidup dan man, mendaki puncak tertinggi pencerahan yang sempurna.

"Sekarang ini datang giliranku. Sesudah peristiwa hari ini, aku tidak dapat lagi menegakkan kepala di hadapan guruku.... Aku menyesal bahwa yang kutempuh bukan hidup yang lebih baik."

"G-guru" sahut Negoro Hachikuro. "Bapak mengatakan kalah, tapi kami tak percaya Bapak kalah melawan orang macam Kojiro dalam keadaan normal, biarpun dia masih muda. Ada yang salah dalam kejadian hari ini."

"Ada yang salah?" Tadaaki menggelengkan kepala dan mendecap. "Tak ada yang salah. Kojiro masih muda. Tapi bukan karena itu aku kalah. Aku kalah karena waktu sudah berubah."

"Apa artinya itu?"

"Dengarkanlah, dan lihat." Dari memandang Hachikuro, ia memandang wajah-wajah diam yang lain. "Akan kucoba bicara sangat singkat, karena Kojiro menantiku. Aku minta kalian mendengarkan baik-baik, pikiran-pikiran dan harapan-harapanku untuk masa yang akan datang."

Kemudian ia mengatakan pada mereka bahwa sejak hari itu, ia akan mengundurkan diri, tidak dalam arti yang biasa, melainkan mengikuti jejak Ittosai dan pergi mencari pencerahan agung.

"Itulah harapan besarku yang pertama," katanya pada mereka.

Selanjutnya ia minta kemenakannya, Ito Magobei, untuk mengurus putra tunggalnya, Tadanari. Magobei juga diperintahkan melaporkan kejadian hari ini kepada ke-shogun-an, dan menjelaskan bahwa Tadaaki telah memutuskan untuk menjadi pendeta Budha.

Kemudian katanya, "Aku tidak menyesali benar kekalahanku menghadapi orang yang lebih muda. Yang sungguh merisaukan dan membuatku malu adalah bahwa pejuang-pejuang baru seperti Sasaki ini justru muncul di tempat lain, dan tak seorang pun pemain pedang sekaliber dia muncul di tengah Perguruan Ono. Kupikir aku tahu mengapa demikian. Sebagian besar dari kalian adalah pengikut shogun karena keturunan. Kalian membiarkan status kalian menguasai diri. Sesudah sedikit saja mendapat latihan, kalian sudah mulai menganggap diri kalian ahli dalam 'Gaya Itto yang tak terkalahkan'. Kalian terlalu puas diri."

"Tapi sebentar, Pak," protes Hyosuke dengan suara gemetar. "Itu tak adil. Tidak semua kami ini malas dan sombong. Tidak semuanya kami melalaikan pelajaran."

"Tutup mulut!" Tadaaki menatapnya dengan ganas. "Kelonggaran sikap pada murid adalah cermin kelonggaran sikap gurunya. Aku mengakui aibku sendiri sekarang, dan aku menghukum diriku sendiri.

"Tugas kalian adalah membuang sikap longgar itu, untuk membuat Perguruan Ono menjadi pusat, di mana bakat pemuda dapat berkembang dengan benar. Perguruan ini harus menjadi medan latihan masa depan. Kalau tidak demikian, tindakanku meninggalkan tempat ini dan membuka jalan bagi pembaruan itu tidak ada artinya."

Akhirnya ketulusan pernyataan itu mulai ada hasilnya. Para siswa menekurkan kepala dan merenungkan kata-kata Tadaaki. Masing-masing menimbang-nimbang kekurangannya sendiri.

"Hamada!" kata Tadaaki.

Toranosuke menjawab, "Ya, Pak," tapi jelas kelihatan ia terkejut. Mendapat tatapan mata Tadaaki yang dingin itu, pandangan matanya pun jatuh ke lantai.

"Berdiri!"


"Ya, Pak," kata Toranosuke tanpa berdiri. "Berdiri! Sekarang juga."

Toranosuke bangkit berdiri. Yang lain-lain memandang diam.

"Kau kukeluarkan dari perguruan ini." Tadaaki berhenti bicara agar kata-katanya mengendap. "Tapi kuharap suatu saat nanti kau memperbaiki cara-caramu, belajar disiplin dan memahami makna Seni Perang. Barangkali pada waktu itulah kita akan bersama lagi sebagai guru dan murid. Sekarang keluar!"

"G-guru, tapi kenapa? Seingat saya, tak ada alasan untuk saya diperlakukan seperti ini."

"Kau tak ingat karena kau tak mengerti Seni Perang. Kalau kaupikirkan lama-lama dan saksama, kau akan melihatnya."

"Bapak, sampaikanlah pada saya. Saya tak bisa pergi sebelum Bapak sampaikan itu." Urat-urat nadi di dahinya menggelembung.

"Baik. Sifat pengecut adalah kelemahan paling memalukan yang dapat dituduhkan pada seorang samurai. Seni Perang mengingatkan kita dengan tegas untuk menjauhinya. Ada peraturan keras di perguruan ini, bahwa orang yang bersalah karena perbuatan pengecut harus dikeluarkan.

"Namun demikian, Hamada Toranosuke, kaubiarkan waktu berlalu beberapa minggu sesudah kematian saudaramu, dan baru kau menantang Sasaki Kojiro. Sementara itu, kau mencoba membalas dendam kepada penjual semangka yang tak berarti. Dan kemarin kautahan ibu tua orang itu, dan kaubawa dia kemari. Apa kelakuan itu kaunamakan kelakuan samurai?"

"'Tapi Bapak kurang mengerti. Saya lakukan itu buat menarik keluar Kojiro." Ia hendak melancarkan pembelaan yang bersemangat, tapi Tadaaki menukasnya.

"Itulah justru yang kumaksud dengan sifat pengecut itu. Kalau mau melawan Kojiro, kenapa kau tidak langsung saja pergi ke rumahnya? Kenapa tidak kaukirimkan pesan untuk menantangnya? Kenapa tidak kaunyatakan namamu dan tujuanmu?"

"Y y-yah, sudah terpikir juga oleh saya hal-hal itu, tapi..."

"Terpikir? Tak ada yang menghalangimu berbuat demikian. Tapi kau memilih tipu muslihat pengecut, supaya orang-orang lain membantumu memikat Kojiro kemari, agar dapat kau menyerangnya beramai-ramai. Kalau diperbandingkan, sikap Kojiro itu sangat mengagumkan." Tadaaki berhenti berbicara. "Dia datang sendiri untuk bertemu denganku pribadi. Dia menolak berurusan dengan seorang pengecut, dan dia menantangku dengan alasan: tingkah buruk seorang murid, berarti tingkah buruk gurunya.

"Hasil pertarungan pedangnya dengan pedangku itulah yang mengungkapkan kejahatan memalukan. Dan sekarang, dengan rendah hati aku mengakui kejahatan itu."

Ruangan jadi hening seperti kuburan.

"Nah, Toranosuke, kalau kaurenungkan, apa kau masih percaya bahwa dirimu seorang samurai tanpa malu?"

"Maafkan saya."

"Keluar."

Dengan mata menunduk, Toranosuke berjalan mundur sepuluh langkah, dan berlutut di lantai dengan tangan di depan, siap membungkuk.

"Saya mengharapkan kesehatan yang sebaik-baiknya untuk Bapak... juga untuk yang lain-lain," suaranya terdengar muram.

Ia bangkit dan berjalan dengan sedih meninggalkan dojo.

Tadaaki berdiri. "Aku juga harus meninggalkan dunia ini." Terdengar suara sedu-sedan tertahan. Kata-katanya yang terakhir itu tegas, namun penuh rasa cinta. "Kenapa mesti murung? Hari kalian sudah datang. Terserah pada kalian, bagaimana mengatur agar perguruan ini maju menuju zaman baru yang penuh kehormatan. Mulai sekarang, bersikaplah rendah hati, kerja keras, dan coba dengan segala kekuatan untuk mengembangkan semangat kalian."

Tadaaki kembali ke kamar tamu. Wajahnya sama sekali tidak resah, ketika ia diam-diam duduk dan berbicara pada Kojiro. Sesudah meminta maaf karena memaksa Kojiro menanti, katanya, "Baru saja saya usir Hamada. Saya nasihatkan kepadanya untuk mengubah tingkah lakunya, dan mencoba memahami makna sesungguhnya disiplin samurai. Tentu saja saya bermaksud melepaskan wanita tua itu. Anda ingin membawanya sekarang, atau kemudian saya atur kepulangannya?"

"Saya puas dengan tindakan Tuan. Dia bisa pulang bersama saya." Kojiro bergerak seakan hendak bangkit. Tapi pertarungan itu telah menguras tenaganya, dan saat menanti sesudahnya itu terasa luar biasa panjang baginya.

"Jangan pergi dulu," kata Tadaaki. "Semua sudah berlalu, dan marilah sekarang kita minum dulu secangkir. Yang lalu biarlah lalu." Sambil menepukkan tangan, ia memanggil, "Omitsu! Bawa sake kemari."

"Terima kasih," kata Kojiro. "Saya mengucapkan terima kasih atas undangan Bapak." Ia tersenyum, dan katanya dengan munafik, "Saya tahu sekarang, kenapa Ono Tadaaki dan Gaya Itto demikian terkenal." Padahal ia sama sekali tidak menghormati Tadaaki.

"Kalau bakat-bakat alamnya dikembangkan menurut jalan yang benar," pikir Tadaaki, "dunia akan tunduk di bawah kakinya. Tapi kalau dia menempuh jalan keliru, berarti Zenki lain lagi yang lahir."

"Sekiranya kau muridku..." Kata-kata itu sudah ada di ujung lidah Tadaaki. Tapi Tadaaki tidak mengucapkannya, melainkan hanya tertawa, dan menjawab jilatan Kojiro dengan rendah hati.

Di tengah percakapan mereka, nama Musashi disebut, dan Kojiro pun mengetahui bahwa Musashi dipertimbangkan untuk menjadi salah satu di antara orang-orang pilihan yang akan memberikan pelajaran kepada shogun.

Kojiro hanya mengucap, "Oh". Namun air mukanya memperlihatkan rasa tidak suka. Ia melayangkan pandang ke matahari terbenam, dan menegaskan bahwa sudah waktunya pergi.

Tak lama sesudah itu, Tadaaki menghilang dari Edo. Ia orang yang memiliki nama baik sebagai prajurit sederhana dan jujur, perwujudan dari ketulusan sifat tidak mementingkan diri sendiri, namun ia bukan orang yang memiliki keterampilan politik seperti Munenori. Orang-orang tidak habis pikir, kenapa orang yang jelas dapat melaksanakan segala yang diinginkannya itu mesti meninggalkan dunia. Mereka ingin tahu sebabnya, dan memberikan tafsiran sendiri-sendiri mengenai kepergiannya.

Kata mereka, akibat kegagalannya, Tadaaki kehilangan akal sehatnya.

Bersambung>>>
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive