Pemuda Tampan
PULAU Awaji yang bermandikan matahari menghilang di kejauhan, berangsur-angsur digelapkan oleh kabut sore musim dingin. Kepak-kepak layar besar di tengah angin menenggelamkan bunyi ombak. Kapal yang beberapa kali sebulan berlayar antara Osaka dan Provinsi Awa di Shikoku itu sedang menyeberangi Laut Pedalaman dalam perjalanan ke Osaka. Sekalipun muatannya sebagian besar terdiri atas kertas dan bahan celup indigo, baunya yang khas menunjukkan bahwa ia membawa barang selundupan berupa tembakau. Pemerintah Tokugawa melarang rakyat mengisap, mencium, atau menguyahnya. Terdapat juga sejumlah penumpang di kapal itu. Sebagian besar pedagang yang sedang pulang atau untuk berdagang akhir tahun di Osaka.
"Bagaimana kabarnya? Saya berani bertaruh, banyak juga untungnya."
"Sama sekali tidak! Tiap orang bilang semua sedang menanjak di Sakai, tapi saya tak melihat buktinya."
"Saya dengar kurang tenaga kerja di sana. Saya dengar mereka butuh pandai meriam."
Percakapan di tengah kelompok lain adalah tentang bidang serupa.
"Saya sendiri mensuplai perlengkapan perang-tiang bendera, pakaian zirah, macam itulah. Tapi jumlahnya tak seberapa sekarang."
"Begitu, ya?"
"Ya, saya kira sekarang samurai-samurai itu tahu bagaimana berhitung."
"Ha, ha!"
"Dulu kalau penjarah pulang membawa rampasan, kita celup kembali atau cetak kembali barang-barang itu dan kita jual kembali kepada tentara. Kemudian, habis pertempuran berikutnya, barang itu akan kembali lagi, dan kita dapat mendandaninya dan menjualnya lagi."
Seorang lelaki memandang ke arah samudera dan memuji-muji kekayaan negeri-negeri di seberang. "Tak dapat lagi kita mendapat uang di dalam negeri. Kalau ingin benar-benar untung, kita mesti melakukan apa yang dilakukan oleh Naya 'Luzon' Sukezaemon atau Chaya Sukejiro. Masukilah perdagangan luar negeri. Memang riskan, tapi kalau kita beruntung, betulbetul tidak percuma."
"Ah,° kata orang yang lain, "biarpun keadaan kita tidak begitu baik hari-hari mi, dari pandangan samurai, kita masih beruntung. Kebanyakan mereka tidak kenal makanan yang baik. Kita bicara tentang kemewahan yang dapat dinikmati para daimyo, tapi cepat atau lambat mereka terpaksa mengenakan perlengkapan kulit dan bajanya, lalu terbunuh. Saya kasihan pada mereka. Begitu sibuk mereka memikirkan kehormatan dan tata krama prajurit, sampai tidak dapat lagi bersantai dan menikmati hidup."
"Apa tidak benar begitu? Kita mengeluh tentang masa yang buruk dan semua yang lain, padahal satu-satunya kemungkinan sekarang ini adalah menjadi saudagar."
"Anda benar. Setidaknya kita masih dapat melakukan apa yang kita inginkan."
"Yang mesti kita lakukan cuma berpura-pura membungkuk kepada samurai, dan sedikit uang cukuplah buat sebagian besar mereka itu."
"Kalau kita mau hidup di dunia ini, perlu juga kita bersenang-senang."
"Memang begitu juga pendapat saya. Kadang-kadang ingin saya bertanya kepada samurai, apa yang mereka peroleh dari hidup ini."
Permadani wol yang dihamparkan untuk duduk kelompok orang ini barang impor. Ini bukti bahwa mereka lebih kaya daripada penduduk lain. Sesudah kematian Hideyoshi, kemewahan zaman Momoyama sebagian besar telah beralih ke tangan para saudagar, bukan ke tangan samurai. Dan pada waktu waktu itu orang-orang kota yang kaya itu kota yang kaya adalah orang-orang yang memiliki perangkat minum sake yang anggun dan peralatan perjalanan yang indah dan mahal. Bahkan seorang pedagang kecil pun biasanya lebih kaya daripada seorang samurai yang upahnya lima ribu gantang padi setahun, padahal jumlah itu sudah dianggap pendapatan besar oleh kebanyakan samurai.
"Tak banyak yang bisa dilakukan dalam perjalanan-perjalanan begini, ya?"
"Memang tak banyak. Mari kita main kartu kecil-kecilan buat menghabiskan waktu."
"Boleh."
Tirai pun digantungkan, nyonya-nyonya dan pembantunya membawakan sake, dan orang-orang mulai main umsummo, sebuah permainan yang belum lama diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Portugis, dengan taruhan yang sukar dipercaya. Emas yang ada di meja sesungguhnya dapat menyelamatkan banyak desa dari bencana kelaparan, tetapi oleh para penjudi dilemparkan saja ke sana kemari seperti kerikil.
Di antara para penumpang terdapat beberapa orang yang bisa saja ditanya oleh para saudagar kaya itu, apa yang mereka peroleh dari hidup ini—seorang pendeta pengembara, beberapa ronin, seorang pendeta Kong Hu Cu, dan beberapa prajurit profesional. Kebanyakan mereka duduk di samping barang bawaan mereka dan memandang laut dengan sikap tak senang, menyaksikan awal permainan kartu yang penuh lagak itu.
Seorang pemuda memangku sesuatu yang bulat bentuknya, berbulu lebat, dan berkali-kali menyuruhnya, "Duduk yang tenang!"
"Bagus sekali monyet kecil Anda itu. Apa dia terlatih?" tanya penumpang lain.
"Ya."
"Kalau begitu, sudah lama juga Anda miliki?"
"Tidak, saya menemukannya belum lama ini di pegunungan antara Tosa dan Awa."
"Jadi, Anda menangkapnya sendiri?"
"Ya, tapi monyet-monyet yang lebih tua hampir saja merobek-robek saya, sebelum saya berhasil lari."
Sambil berbicara, pemuda itu terus sibuk menangkapi kutu binatang itu. Kalaupun tidak membawa monyet, pemuda itu pasti memikat perhatian orang, karena baik kimono maupun jubah merah pendek di atas kimononya itu betul-betul menarik perhatian. Rambut bagian depannya tidak bercukur, dan gelung rambutnya terikat pita ungu yang lain dari yang lain. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia masih kanak-kanak, tapi sekarang ini tak semudah dulu menyebut umur seseorang dari pakaiannya. Dengan naiknya Hideyoshi, pakaian pada umumnya telah lebih berwarna-warni. Tidak aneh lagi bahwa lelaki yang sudah berumur sekitar dua puluh lima tahun terus mengenakan pakaian seperti anak-anak umur lima belas atau enam belas tahun, dan membiarkan rambut di ubun-ubunnya tidak dipotong.
Kulit pemuda itu bercahaya penuh kebeliaan, bibirnya merah sehat, dan matanya terang. Di lain pihak, tubuhnya kokoh kekar dan kekerasan yang dewasa memancar dari alisnya yang lebat dan lengkungan ke atas di kedua sudut matanya.
"Kenapa pula kau ini menggeliat-geliat saja?" katanya tak sabaran sambil mengetuk-ngetuk tajam kepala monyet itu. Sikap polos yang diperlihatkannya waktu la mencari kutu binatang itu menambah kesan umur mudanya.
Status sosial pemuda itu juga sukar dipastikan. Karena sedang dalam perjalanan, ia mengenakan sandal jerami dan kaus kulit seperti yang dipakai semua orang. Jadi, dari situ tak dapat diambil sesuatu kesimpulan, dan ia kelihatan betul-betul kerasan di tengah pendeta pengembara, pemain boneka, para samurai compang-camping, dan para petani yang tak bercukur di kapal itu. Dengan mudah ia dapat diduga sebagai seorang ronin, namun ada sesuatu yang mengisyaratkan bahwa ia memiliki status lebih tinggi, yaitu senjata yang disandangnya di punggung dengan tali kulit. Senjata itu berupa pedang pertempuran yang panjang lurus, besar, dan buatannya amat indah. Hampir tiap orang yang berbicara dengan pemuda itu memuji bagusnya buatan pedang tersebut.
Gion Toji yang berdiri beberapa jauh dari situ pun terkesan oleh senjata itu. Sementara menguap dan berpikir bahwa di Kyoto pun tidak sering terlihat pedang yang demikian tinggi mutunya, ia semakin ingin tahu latar belakang pemiliknya.
Toji merasa bosan. Perjalanan yang telah empat belas hari itu sungguh menjengkelkan, melelahkan, dan lagi tak ada buahnya. Ia sudah rindu sekali berada lagi di tengah orang-orang yang dikenalnya. "Ingin tahu juga aku, apa pembawa surat itu tiba pada waktunya," renungnya. "Kalau tiba pada waktunya, dia pasti menjemputku di dermaga Osaka." Ia mencoba mengingat-ingat wajah Oko, untuk meringankan beban kebosanan yang dialaminya.
Alasan di balik perjalanannya itu adalah keadaan keuangan Keluarga Yoshioka yang goyah, akibat cara hidup Seijuro yang melebihi kemampuan. Keuarga itu tidak lagi kaya. Rumah di Jalan Shijo sudah digadaikan, dan sudah dalam bahaya disita oleh para saudagar kreditor. Yang lebih memburukkan keadaan adalah tunggakan-tunggakan akhir tahun yang sudah tak terhitung jumlahnya. Biarpun semua milik keluarga dijual, tidak akan tersedia cukup dana untuk menutup rekening yang sudah menimbun. Menghadapi keadaan ini, satu-satunya komentar Seijuro hanyalah, "Bagaimana ini bisa terjadi?"
Karena merasa dialah yang mendorong keroyalan tuan muda itu, Toji mengatakan bahwa persoalan itu mesti ia yang menangani. Ia berjanji, entah dengan cara bagaimana akan membereskan soal-soal itu.
Dengan mengerahkan otaknya, sampailah ia pada gagasan untuk membangun sekolah baru dan lebih besar di tanah kosong dekat Nishinotoin. Di situ jumlah siswa yang jauh lebih besar akan dapat ditampung. Menurutnya, sekarang ini bukan zamannya lagi untuk bersikap eksklusif. Dengan adanya segala macam orang yang berhasrat belajar seni perang dan para daimyo yang menginginkan sekali prajurit terlatih, maka sekolah yang lebih besar dan menghasilkan sejumlah besar pemain pedang terlatih akan memuaskan kepentingan semua pihak. Makin lama memikirkan hal itu, makin hanyut ia dalam pemikiran bahwa kewajiban suci sekolah itulah untuk mengajarkan Gaya Kempo kepada sebanyak mungkin orang.
Seijuro menulis surat edaran untuk maksud itu, dan dengan senjata itu Toji berangkat mengusahakan bantuan dari bekas-bekas siswa sekolah di daerah barat Honshu, Kyushu, dan Shikoku. Memang di berbagai wilayah feodal banyak orang pernah belajar di bawah pimpinan Kempo, dan sebagian besar dari mereka sekarang menjadi samurai dengan kedudukan yang membuat orang iri. Namun ternyata, walaupun Toji sungguh tulus dalam permohonannya, tidak banyak di antara mereka yang bersedia memberikan sokongan berarti atau berjanji akan memberikan uang sesuai dengan maklumat pendek itu. Sering benar jawabannya berbunyi, "Akan saya tulis nanti pada Anda soal ini", "Akan kita tinjau hal ini nanti, kalau saya berada di Kyoto lagi", atau lain lagi, yang bersifat sama juga, menghindar. Sokongan yang dibawa pulang Toji hanya sebagian kecil saja dari jumlah yang sebelumnya dibayangkannya.
Sebenarnya rumah tangga yang dalam bahaya itu bukanlah rumah tangga Toji sendiri, dan wajah yang muncul dalam pikirannya sekarang pun bukan wajah Seijuro, melainkan wajah Oko. Namun bahkan wajah Oko pun hanya dapat sekilas saja mengalihkan perhatiannya. Segera kemudian ia sudah seperti duduk di bara hangat kembali. Ia iri pada pemuda yang sedang mencari kutu monyetnya itu. Ia harus melakukan sesuatu untuk menghabis-kan waktu. Toji mendekat dan mencoba membuka percakapan.
"Halo, orang muda. Ke Osaka, ya?"
Tanpa mengangkat kepala, pemuda itu membuka matanya sedikit dan katanya, "Ya."
"Apa keluargamu tinggal di sana?"
"Tidak."
"Kalau begitu, tentunya kau dari Awa."
"Tidak, tidak juga dari sana." Kata-kata itu diucapkannya dengan sikap pasti.
Toji jadi terdiam untuk beberapa waktu, tapi kemudian mencoba lagi. "Pedangmu luar biasa kelihatannya," katanya.
Agaknya, karena senang senjatanya dipuji, si pemuda memperbaiki posisi duduknya menghadapi Toji dan menjawab ramah, "Ya, pedang ini sudah lama menjadi milik keluarga saya. Ini pedang pertempuran, tapi saya bermaksud mencari pandai pedang yang baik di Osaka untuk menyetelnya kembali, supaya mudah saya menariknya dari pinggang."
"Terlalu panjang, ya?"
"Tak tahulah. Panjangnya cuma semeter."
"Panjang sekali."
Sambil senyum si pemuda menjawab yakin, "Siapa saja harus dapat menggunakan pedang sepanjang ini."
"Memang pedang dapat dipakai, biar panjangnya semeter atau bahkan lebih," kata Toji mencela. "Tapi cuma orang ahli yang dapat memakainya dengan mudah. Saya lihat sekarang banyak orang terhuyung-huyung memakai pedang yang amat besar. Memang tampak mengesankan, tapi kalau sudah terdesak, mereka balik kanan dan lari. Gaya apa yang kaupelajari?" Dalam hal yang berkenaan dengan permainan pedang, Toji tak dapat menyembunyikan perasaannya bahwa ia lebih unggul daripada anak ini.
Pemuda itu melontarkan pandangan penuh tanya ke wajah Toji yang tampak puas diri, dan jawabnya, "Gaya Tomita."
"Tapi Gaya Tomita itu untuk pedang yang lebih pendek daripada pedang itu," kata Toji dengan gaya berwibawa.
"Oh, kalau saya mempelajari Gaya Tomita, tidak berarti saya harus mengguna-kan pedang pendek. Saya tak suka meniru. Guru saya menggunakan pedang pendek, jadi saya putuskan menggunakan pedang panjang. Dan itu menyebabkan saya dikeluarkan dari sekolah."
"Orang-orang muda seperti kalian rupanya bangga dengan sifat memberontak. Apa yang terjadi sesudah itu?"
"Saya tinggalkan Desa Jokyoji di Echizen, dan pergi menemui Kanemaki Jisai. Dia juga sudah meninggalkan Gaya Tomita, dan mengembangkan Gaya Chujo. Dia bersimpati pada saya, menerima saya sebagai muridnya, dan sesudah empat tahun saya belajar di bawah pimpinannya, dia mengatakan saya bisa jalan sendiri."
"Guru-guru desa memang semuanya gampang saja mengeluarkan sertifikat."
"Oh, Jisai tidak. Dia tidak seperti itu. Nyatanya, satu-satunya orang yang pernah diberinya sertifikat cuma Ito Yagoro Ittosai. Setelah saya memutuskan untuk jadi orang kedua yang secara resmi diberi sertifikat, saya betul-betul kerja keras. Tapi belum saya berhasil, tiba-tiba saya dipanggil pulang karena ibu saya akan meninggal."
"Di mana rumahmu?"
"Iwakuni, di Provinsi Suo. Sesudah pulang itu, tiap hari saya latihan di sekitar Jembatan Kintai dengan menebasi sayap burung layang-layang dan menetaki cabang pohon liu. Dengan itu saya mengembangkan teknik sendiri. Sebelum ibu saya meninggal, beliau memberikan pedang ini dan minta saya menjaganya betul, karena pedang ini buatan Nagamitsu."
"Nagamitsu? Ah, masa?"
"Memang tak ada tanda tangannya pada ujungnya, tapi selamanya pedang ini dianggap buatannya. Di tempat asal saya, ini pedang terkenal. Orang menamakannya Galah Pengering." Walaupun sebelumnya pemuda itu pendiam, namun dalam masalah yang disukainya ia dapat berbicara berpanjang-panjang, bahkan dengan sukarela ia memberikan keterangan. Sekali mulai, ia terus mengoceh, dengan sedikit saja memperhatikan reaksi pendengarnya. Dari situ, dan dari ceritanya tentang pengalaman-pengalamannya di masa lalu, tampak bahwa wataknya lebih kuat daripada yang bisa disimpulkan melalui seleranya berpakaian.
Pada suatu ketika, pemuda itu berhenti bicara sesaat lamanya. Matanya mendung dan merenung. "Ketika saya berada di Suo itu," gumamnya, "Jisai jatuh sakit. Ketika mendengar kabar itu dari Kusanagi Tenki, saya betul-betul sedih dan menangis. Tenki sudah belajar di sekolah itu lama sebelum saya, dan dia masih di sana ketika guru terbaring sakit di tempat tidur. Tenki kemenakannya, tapi Jisai mempertimbangkan pun tidak untuk memberikan sertifikat kepadanya. Sebaliknya, dia mengatakan pada kemenakannya itu akan memberikan sertifikat pada saya bersama buku metoda-metoda rahasia yang dimilikinya. Dia tidak hanya menginginkan saya menerimanya, melainkan juga berharap bertemu dengan saya dan memberikannya langsung pada saya." Mata orang muda itu pun basah oleh kenangannya.
Toji sama sekali tidak terkesan oleh pemuda tampan yang emosional itu, tapi berbicara dengannya lebih baik daripada sendirian dan merasa bosan. "Oh, begitu," katanya, berpura-pura menaruh minat besar. "Jadi, dia meninggal waktu engkau tak ada di tempat?"
"Ingin sekali saya pergi mendapatkannya begitu saya mendengar tentang sakitnya, tapi dia ada di Kozuke, beratus mil jauhnya dari Suo. Lagi pula. akhirnya ibu saya meninggal kira-kira pada waktu yang bersamaan, jadi tak mungkin saya berada di sampingnya sampai akhir hayatnya."
Awan-awan menyembunyikan matahari, membuat seluruh langit berwarna keabu-abuan. Kapal mulai oleng, dan buih air terbang ke kapal lewat bibir kapal.
Pemuda itu melanjutkan cerita sentimentalnya, yang intinya adalah bahwa ia telah menutup tempat semayam keluarganya di Suo, dan melalui suratmenyurat ia mempersiapkan diri bertemu dengan temannya Tenki pada musim semi, ketika siang dan malam sama lamanya. Kurang kemungkinannya bahwa Jisai yang tidak memiliki sanak dekat itu meninggalkan banyak kekayaan, tapi ia mempercayakan kepada Tenki sejumlah uang untuk orang muda itu, bersama sertifikat dan buku rahasia tersebut. Sebelum mereka berjumpa pada hari yang telah ditentukan di Gunung Horaiji di Provinsi Mikawa, di tengah jalan antara Kozuke dan Awa, Tenki diperkirakan sedang mengadakan perjalanan keliling untuk belajar. Orang muda itu sendiri berencana menghabiskan waktu di Kyoto untuk belajar dan melihat-lihat.
Selesai dengan ceritanya, ia menoleh kepada Toji dan tanyanya, "Anda dari Osaka?"
"Tidak, saya dari Kyoto."
Sejenak mereka berdua terdiam, terbawa oleh bunyi ombak dan layar.
"Jadi, kau punya rencana memasuki dunia ini lewat seni bela diri?" kata Toji. Pertanyaan itu sendiri cukup polos, namun pandangan mata Toji memperlihat-kan sikap meninggikan diri, mendekati sikap merendahkan. Sudah lama ia muak dengan pemain-pemain pedang muda sesat yang berkeliaran ke sana kemari membualkan sertifikat dan buku-buku rahasianya. Ia berpendapat tak mungkin ada sedemikian banyak ahli pedang yang mengembara berkeliling. Bukanlah ia sendiri hampir dua puluh tahun lamanya di Perguruan Yoshioka, dan bukankah ia masih seorang murid, sekalipun murid yang mempunyai banyak hak istimewa?
Pemuda itu beralih tempat duduk dan memandang dengan saksama ke arah air yang kelabu. "Kyoto?" gumamnya, kemudian menoleh lagi pada Toji, dan katanya, "Saya dengar ada orang yang namanya Yoshioka Seijuro di sana, anak tertua Yoshioka Kempo. Apakah dia masih aktif?"
Toji jadi ingin sedikit mempermainkannya. "Ya," jawabnya singkat. "Perguruan Yoshioka kelihatannya sekarang berkembang pesat. Sudah pernah engkau mengunjungi tempat itu?"
"Tidak, tapi kalau nanti sampai Kyoto, saya ingin bertanding dengan Seijuro, untuk melihat sampai seberapa kebolehannya."
Toji batuk-batuk untuk menekan tawanya. Cepat sekali ia membenci keyakinan diri orang muda yang kurang ajar itu. Tentu saja orang muda itu tidak mengetahui kedudukannya di perguruan tersebut. Kalau ia tahu, tak sangsi lagi ia pasti menyesali apa yang baru dikatakannya. Dengan wajah memerot dan nada menghinakan, Toji bertanya, "Dan kukira engkau menduga dapat pergi tanpa cedera?"
"Kenapa tidak?" tukas balik pemuda itu. Sekarang dialah yang ingin tertawa, dan tertawalah ia. "Yoshioka memiliki rumah besar dan banyak nama baik, jadi menurut bayangan saya Kempo tentunya seorang pemain pedang besar. Tapi kata orang tak seorang pun dari anak-anaknya bisa menyamai tarafnya."
"Bagaimana kau bisa demikian yakin, sebelum kau betul-betul berjumpa dengan mereka?"
"Itulah yang dikatakan oleh samurai dari provinsi-provinsi lain. Saya tak percaya dengan segala yang saya dengar, tapi hampir setiap orang rupanya menduga Keluarga Yoshioka akan berakhir dengan Seijuro dan Denshichiro."
Toji ingin sekali menyuruh pemuda itu menjaga lidahnya. Untuk sesaat bahkan terpikir olehnya akan membuka identitasnya, tapi menggawatkan keadaan pada taraf itu akan membuatnya tampak sebagai pihak yang kalah. Maka dengan seboleh-bolehnya menahan diri ia menjawab, "Rupanya sekarang provinsi-provinsi penuh orang yang serbatahu, maka aku tak heran kalau Keluarga Yoshioka disepelekan. Tapi cobalah engkau bercerita lebih banyak tentang dirimu. Tadi kau mengatakan sudah menemukan cara membunuh burung layang-layang pada sayapnya?"
"Ya, saya tadi mengatakannya."
"Dan kau melakukannya dengan pedang panjang besar itu?"
"Betul."
"Nah, kalau kau dapat melakukan itu, tentunya tak sukar bagimu menetak salah seekor camar laut yang menukik ke kapal ini."
Pemuda itu tidak segera memberikan jawaban. Mendadak sontak terpikir olehnya bahwa Toji punya maksud tak baik terhadapnya. Sambil menatap bibir Toji yang cemberut, katanya, "Saya dapat melakukannya, tapi saya pikir itu perbuatan bodoh."
"Nah," kata Toji dengan nada bergaya, "jika kau demikian hebat hingga dapat meremehkan Keluarga Yoshioka sebelum kau sendiri ke sana..."
"Oh, jadi saya sudah bikin kesal Anda, ya?"
"Tidak, sama sekali tidak," kata Toji. "Tapi tak seorang pun di Kyoto suka mendengar Perguruan Yoshioka disepelekan."
"Ha! Tapi saya bukannya menyampaikan pikiran saya sendiri tadi itu. Saya hanya mengulangi apa yang saya dengar."
"Orang muda!" kata Toji tajam.
"Apa?"
"Apa kau tahu artinya 'samurai setengah matang'? Demi masa depanmu, kuperingatkan kau. Kalau kau meremehkan orang lain, tidak bakal engkau sampai ke mana-mana. Kau membual tentang menetak burung layanglayang dan bicara tentang sertifikat Gaya Chujo, tapi lebih baik kau ingat bahwa tidak semua orang itu bodoh. Lebih baik kau melihat dulu baik-baik siapa yang kauajak bicara, sebelum kau membanggakan diri."
"Anda pikir kata-kata saya itu cuma bualan?"
"Ya, betul." Toji mendekat sambil membusungkan dadanya. "Tak seorang pun keberatan mendengar seorang muda membanggakan kemampuannya, tapi jangan-lah sampai keterlaluan."
Dan ketika orang muda itu tidak mengatakan sesuatu, Toji melanjutkan, "Dari permulaan tadi aku sudah mendengar kau membangga-banggakan diri, dan aku tidak keberatan. Tapi masalahnya adalah aku Gion Toji, murid utama Yoshioka Seijuro. Kalau sekali lagi kau mengeluarkan ucapan yang menghina Keluarga Yoshioka, terpaksa aku bertindak!"
Waktu itu mereka sudah menarik perhatian penumpang-penumpang lain. Toji yang telah menyatakan namanya dan mengagungkan statusnya berjalan dengan gayanya ke buritan kapal, menggeram tentang kekurangajaran para pemuda zaman sekarang. Pemuda itu mengikutinya tanpa mengatakan sesuatu, sedang-kan para penumpang ternganga dari jarak yang aman.
Toji sama sekali tidak merasa senang dengan keadaan itu. Oko menantinya apabila kapal masuk dermaga nanti, dan jika sekarang ia terlibat dalam perkelahian, ia akan mengalami kesulitan dengan para pejabat kemudian. Maka dengan menampakkan diri sesantai mungkin ia menelekan sikunya ke susuran kapal dan memandang penuh perhatian ke pusaran biru hitam yang terbentuk di bawah kemudi.
Pemuda itu menepuk punggungnya pelan. "Tuan," katanya dengan suara tenang yang tidak mengungkapkan kemarahan ataupun kebencian. Toji tidak menjawab.
"Tuan," ulang orang muda itu.
Tak dapat lagi menahan sikap masa bodohnya, Toji bertanya, "Apa maumu?"
"Tuan sudah menyebut saya seorang pembual di depan banyak orang yang tak dikenal, sedangkan saya punya kehormatan yang harus saya junjung. Saya merasa terpaksa melakukan apa yang sudah Tuan tantangkan pada saya untuk saya lakukan beberapa menit lalu, dan saya ingin Tuan menjadi saksinya."
"Apa yang kutantangkan untuk kaulakukan?"
"Tidak mungkin Tuan sudah lupa. Tuan tertawa ketika saya katakan saya dapat menetak sayap burung layang-layang, dan mendesak saya menebas burung camar."
"Hmm, jadi aku tadi usul begitu, ya?"
"Jika saya tebas seekor, apa itu akan meyakinkan Tuan bahwa saya tidak hanya omong?"
"Ya... ya, pasti."
"Baiklah, akan saya lakukan."
"Bagus sekali!" Toji tertawa mengejek. "Tapi jangan lupa, jika kau melakukan ini cuma demi kebanggaan dan kau gagal, kau akan benar-benar menjadi tertawaan."
"Akan saya terima kemungkinan itu."
"Aku tak punya maksud mencegahmu."
"Tapi Tuan mau jadi saksi?"
"Oh, dengan senang hati."
Pemuda itu mengambil posisi di atas lempeng timah di tengah dek belakang dan menggerakkan tangan ke pedangnya. Sambil melakukan itu, ia memanggil nama Toji. Toji menatap ingin tahu, dan bertanya apa yang dikehendaki pemuda itu. Dengan sikap sangat sungguh-sungguh pemuda itu berkata, "Suruh burung camar terbang turun di depan saya. Saya siap menebas burung-burung itu, berapa saja jumlahnya."
Toil tiba-tiba menyadari persamaan antara apa yang sedang terjadi itu dengan jalan cerita sebuah cerita lucu yang menurut kata orang diciptakan oleh pendeta Ikkyu. Pemuda itu berhasil menganggapnya seekor keledai. Dengan marah ia berseru, "Omong kosong apa pula ini? Kalau orang bisa membuat camar terbang di depannya, tentu saja dapat dia menebasnya."
"Laut menghampar beratus mil jauhnya, sedangkan pedang saya hanya satu meter panjangnya. Kalau burung-burung itu tidak mendekat, mana bisa sava menebasnya?"
Sambil maju beberapa langkah, Toji berkata senang, "Itu namanya Cuma mau mencoba menyelamatkan diri. Kalau tak bisa membunuh camar laut lewat sayap-sayapnya, katakan saja tak bisa, dan mintalah maaf."
"Oh, kalau saya bermaksud melakukan itu, tak akan saya berdiri menanti di sini. Kalau burung-burung itu tidak mendekat, akan saya tebas yang lain buat Tuan."
"Seperti misalnya...?"
"Cobalah maju lima langkah lagi. Akan saya tunjukkan pada Tuan."
Toji datang mendekat sambil menggeram, "Apa maksudmu sekarang?"
"Saya cuma ingin Tuan mengizinkan saya memanfaatkan kepala Tuankepala yang sudah Tuan pakai mendesak saya membuktikan bahwa saya bukan hanya membanggakan diri. Kalau Tuan pikir lebih masuk akal saya memenggal kepala itu daripada membunuh camar laut yang tak bersalah."
"Apa kau sudah gila?" teriak Toji. Secara refleks kepala Toji merunduk, karena justru pada saat itu pemuda itu mencabut pedang dari sarungnya dan mengayunkannya. Gerakan itu demikian cepat, hingga pedang yang panjangnya satu meter itu rasanya tak lebih besar dari sebuah jarum.
"A-a-apa?" teriak Toji sambil terhuyung ke belakang dan memegang kerahnya. Untunglah kepalanya masih ada, dan sejauh yang ia ketahui, ia sama sekali tidak cedera.
"Mengerti sekarang?" tanya pemuda itu sambil membalik, dan pergi di antara tumpukan bagasi.
Toji jadi merah padam karena malu. Ketika ia memandang ke bawah, ke arah bagian dek yang diterangi matahari, ia lihat sebuah benda yang tampak aneh, seperti sebuah sikat kecil. Suatu pikiran mengerikan bersarang di kepalanya, dan is meletakkan tangan ke atas kepalanya. Gelungan rambutnya sudah hilang! Gelungan yang sangat dibanggakannya-kebanggaan tiap samurai! Dengan wajah mengerikan ia menyapukan tangan ke atas kepalanya, dan ternyata pita yang mengikat rambutnya di belakang kepala sudah lepas. Rambut yang tadi terikat pita itu memburai di seluruh permukaan kepalanya.
"Bajingan!" Kemarahan yang tidak tanggung-tanggung melanda hatinya. Tahulah ia sekarang, pemuda itu tidak berbohong atau menyuarakan bualan kosong. Ia memang masih muda, tapi ia pemain pedang menakjubkan. Toji kagum bahwa orang yang masih begitu muda dapat begitu hebat, tapi hormat yang dirasakannya itu satu hal, sedangkan kemarahan dalam hatinya hal lain lagi.
Ketika mengangkat kepala dan melihat ke arah haluan, ia lihat pemuda itu sudah kembali ke tempat duduknya semula dan sedang mencari-cari sesuatu di dek. Jelas ia sedang lengah, dan Toji merasa bahwa kesempatan untuk membalas dendam tiba. Sambil meludahi gagang pedang ia cengkeram gagang itu erat-erat, dan ia menyelinap ke belakang penyiksanya. Ia tidak yakin apakah sasarannya cukup baik untuk memotong gelung rambut orang itu saja tanpa mesh mengikutsertakan kepalanya, tapi ia tak peduli. Dengan tubuh membengkak merah dan napas berat ia menabahkan diri untuk menyerang.
Tapi justru pada waktu itu timbul keributan di antara para saudagar yang sedang bermain kartu.
"Apa pula ini? Kartunya tak cukup!"
"Ke mana perginya?"
"Lihat sana!"
"Aku sudah lihat."
Ketika mereka sedang berteriak-teriak dan mengibas-ngibaskan permadani, seorang di antaranya kebetulan memandang ke atas.
"Di atas itu! Monyet itu yang mengambilnya!"
Senang dengan hiburan yang lain daripada yang lain itu, para penumpang lain semuanya memandang monyet yang waktu itu bertengger di puncak bang yang tingginya sepuluh meter.
"Ha, ha!" tawa seseorang. "Bukan main monyet itu—mencuri kartu, ya, mencuri kartu."
"Nah, dia menguyahnya sekarang."
"Bukan, sepertinya dia sedang membagikannya."
Selembar kartu melayang turun. Salah seorang saudagar mengambilnya, dan katanya, "Mestinya dia masih menyimpan tiga atau empat lembar lagi."
"Mesti ada yang naik mengambil kartu itu! Tak bisa kita main tanpa yang itu."
"Tak seorang pun mau memanjat."
"Bagaimana kalau Kapten sendiri?"
"Saya pikir dia dapat, kalau dia memang mau."
"Mari kita tawarkan uang kepadanya. Pasti dia mau."
Kapten mendengar usul itu, setuju menerimanya, dan mengambil uang itu, tapi agaknya ia merasa bahwa sebagai pemimpin di kapal itu pertamatama ia harus menentukan tanggung jawab atas kejadian tersebut. Berdiri di atas tumpukan muatan, ia berseru kepada para penumpang. "Milik siapa monyet itu? Saya persilakan pemiliknya maju ke muka."
Tak seorang pun menjawab, tapi sejumlah orang yang mengetahui bahwa monyet itu milik si pemuda tampan menjeling penuh harap kepadanya. Kapten sendiri mengetahui, maka naiklah darahnya melihat pemuda itu tidak menjawab. Sambil meninggikan lagi suaranya, katanya, "Apa pemiliknya tak ada di sini?... Kalau tak ada yang memiliki monyet itu, saya akan mengambilnya, tapi saya tak ingin ada keluhan nantinya."
Pemilik monyet bersandar pada sebuah muatan dan sedang berpikir keras. Beberapa penumpang mulai berbisik-bisik dengan sikap tak senang. Kapten memandang benci pada pemuda itu. Para pemain kartu menggerutu dengki, dan sebagian lagi mulai bertanya apakah orang itu bisu-tuli atau sekadar kurang ajar. Namun pemuda itu hanya sedikit mengubah kedudukannva ke sisi dan berbuat seolah-olah tak suatu pun terjadi.
Kapten berbicara lagi. "Rupanya monyet hidup di laut dan di darat. Seperti kita lihat, seekor di antaranya sudah datang ke tempat kita. Karena dia tak bertuan, saya kira kita dapat melakukan apa saja yang kita kehendaki. Para penumpang, jadilah saksi saya! Sebagai kapten, saya sudah mengimbau pemiliknya untuk menyatakan diri, tapi dia tak mau. Kalau nanti dia mengeluh menyatakan tidak mendengar saya, saya minta saudara-saudara berdiri di pihak saya!"
"Kami menjadi saksi Kapten!" teriak para saudagar yang waktu itu sudah hampir naik pitam.
Kapten menghilang turun dan masuk palka. Ketika muncul kembali, ia sudah memegang senapan dengan sumbu lambat yang sudah dinyalakan. Tapi ada keraguan dalam hati siapa pun bahwa Kapten siap menggunakanmya. Wajah orang-orang dialihkan dari Kapten ke pemilik monyet.
Monyet itu sedang menyenang-nyenangkan diri sepenuhnya. Di atas sana ira bermain dengan kartu itu dan melakukan segala yang dapat dilakukannya untuk menjengkelkan orang-orang di atas dek. Tiba-tiba ia memperlihatkan giginva, berceloteh, dan berlari ke ujung palang tiang, tapi sesudah sampai di sana rupanya tak tahu ia apa yang hendak dilakukannya.
Kapten mengangkat senapan dan membidik. Tapi, sementara salah seorang saudagar menarik lengan baju Kapten dan mendesaknya untuk menembak, pemilik monyet berseru, "Stop, Kapten!"
Kali ini giliran Kapten berpura-pura tidak mendengar. Ia menekan pelatuk, para penumpang menunduk sambil menutup telinga dengan tangan, dan senapan meletus dengan suara berdentam. Tetapi tembakan itu melenceng jauh. Pada detik terakhir, orang muda itu mendorong laras senapan dari kedudukannya.
Sambil memekik berang, Kapten mencekal dada orang muda itu. Untuk sesaat ia seperti hampir tergantung-gantung, karena sekalipun bertubuh kuat, ia pendek dibandingkan dengan pemuda tampan itu.
"Apa pula Tuan ini?" pekik si orang muda. "Tuan mau menembak monyet yang tak bersalah dengan mainan Tuan itu?"
"Betul."
"Tapi perbuatan itu tidak begitu baik, kan?"
"Saya sudah memberikan peringatan yang perlu!"
"Bagaimana Tuan melakukannya?"
"Apa kau tak punya mata dan telinga?"
"Diam! Saya penumpang di kapal ini. Dan lagi saya seorang samurai. Apa Tuan kira saya mau menjawab kalau cuma seorang kapten kapal berdiri di depan para penumpang kapal, lalu melenguh-lenguh seakan-akan dia majikan atau guru mereka?"
"Jangan kurang ajar kamu! Aku sudah mengulang peringatan tiga kali. Kau pasti mendengar. Biarpun kau tak suka dengan caraku bicara, kau toh dapat memperlihatkan iktikad baik pada orang-orang yang merasa terganggu oleh monyetmu?"
"Orang-orang mana? Yang Tuan maksud gerombolan pedagang yang sedang berjudi di belakang tirai itu?"
"Jangan omong besar kamu! Mereka membayar tiga kali lipat dari yang lain." '
"Itu sama sekali tak mengubah diri mereka-saudagar-saudagar yang rendah kelasnya dan tak kenal tanggung jawab, yang melempar-lemparkan emas di depan semua orang, minum sake, dan berbuat seolah-olah pemilik kapal. Saya sudah memperhatikan mereka, dan saya tak suka sama sekali pada mereka. Bagaimana kalau monyet itu betul-betul lari membawa kartu mereka? Saya tidak menyuruh berbuat demikian. Dia cuma menirukan apa yang mereka lakukan. Tak ada alasan saya untuk minta maaf!"
Orang muda itu memandang tajam-tajam kepada para saudagar kaya dan menujukan tawanya yang keras mencemooh ke arah mereka.
Kerang Pelipur Lara
PETANG hari, waktu kapal memasuki pelabuhan Kizugawa, disambut bau ikan yang meliputi segalanya. Lampu-lampu kemerahan berkelap-kelip di pantai dan ombak berdebur terus-menerus di latar belakang. Sedikit demi sedikit jarak antara suara-suara yang datang dari kapal dan suara-suara dari pantai memadu. Disertai kecipak air berwarna putih, jangkar pun dijatuhkan; tali-tali dilontarkan dan tangga diturunkan pada tempatnya.
Teriakan-teriakan bersemangat riuh bunyinya memenuhi udara.
"Apa putra pendeta Biara Sumiyoshi ada di kapal?"
"Apa ada pembawa surat?"
"Guru! Kami ada di sini, di sini!"
Seperti ombak, lentera-lentera kertas bertuliskan nama-nama berbagai penginapan melintasi dermaga menuju kapal, sementara para pencari pelanggan berlomba-lomba melakukan pekerjaannya.
"Siapa ke penginapan Kashiwaya!"
Orang muda tadi menerobos orang banyak dengan monyet bertengger di bahunya.
"Ke tempat kami, Tuan-tanpa bayar buat monyet."
"Tempat kami tepat di depan Biara Sumiyoshi yang cukup besar untuk peziarah. Tuan bisa dapat kamar yang indah, dengan pemandangan yang indah juga!"
Tak seorang pun datang menjemput pemuda itu. Ia berjalan langsung dari dermaga, tanpa memperhatikan para pencari pelanggan ataupun yang lainnya.
"Dia pikir siapa dirinya?" geram seorang penumpang. "Cuma karena tahu sedikit main pedang!"
"Oh, kalau aku bukan cuma rakyat biasa, tak bakal bisa dia pergi tanpa perkelahian."
"Tenanglah! Biar saja prajurit-prajurit itu menyangka mereka lebih baik daripada siapa pun. Selama dapat bergaya seperti raja, mereka bahagia. Tugas kita sebagai rakyat adalah membiarkan mereka mengambil bunga, sedangkan kita mengambil buahnya. Buat apa uring-uringan karena kejadian kecil hari ini?" Sambil bercakap-cakap seperti ini, para saudagar tetap mengurus agar barang mereka yang bergunung-gunung dihimpun dengan tertib, kemudian diturunkan, untuk akhirnya dijemput oleh kelompok manusia, lentera, dan kendaraan. Tak seorang pun dari mereka yang tidak segera dikelilingi beberapa perempuan yang penuh hasrat membantu.
Orang terakhir yang meninggalkan kapal adalah Gion Toji. Wajahnya mengungkapkan perasaan yang betul-betul tak enak. Tak pernah dalam hidupnya ia mengalami hari yang lebih tidak menyenangkan daripada hari itu. Kepalanya terbungkus kerudung untuk menyembunyikan gelungan yang hilang dengan cara sangat memalukan itu, tapi kain itu tak dapat menyembunyikan alisnya yang turun dan bibirnya yang cemberut.
"Toji! Aku di sini!" seru Oko. Sekalipun kepalanya juga terbungkus kerudung, wajah Oko terkena tiupan angin dingin selama menanti tadi, dan kerut-merutnya menampakkan diri dari balik pupur yang dimaksud untuk menyembunyikannya.
"Oko! Jadi, kau datang juga."
"Itu yang kauharapkan, bukan? Kau menulis, minta aku menunggumu di sini, kan?"
"Ya, tapi kupikir surat itu tidak sampai pada waktunya."
"Ada yang tidak beres? Kau tampak bingung."
"Tak apa-apa. Cuma sedikit mabuk laut. Ayo kita pergi ke Sumiyoshi, mencari penginapan yang baik."
"Jalan sini. Ada joliku menunggu."
"Terima kasih. Apa kau sudah pesan kamar buat kita?"
"Ya. Semua orang menunggu di penginapan."
Pandangan cemas melintasi wajah Toji. "Semua orang? Apa maksudmu? Kupikir cuma kita berdua yang akan menghabiskan hari-hari menyenangkan di satu tempat yang tenang. Kalau banyak orang di sana, aku tidak pergi."
Ia menolak naik joli, dan berjalan marah lebih dulu. Ketika Oko mencoba menjelaskan, ia menukasnya telak dan menyebutnya goblok. Segala kemarahan yang telah bertumpuk dalam dirinya di kapal kini meledak.
"Aku akan tinggal sendiri di mana saja!" lenguhnya. "Suruh joli itu pergi! Bagaimana mungkin kau begitu bodoh? Kau ini sama sekali tak mengerti diriku." Ia merenggutkan lengan kimononya dari Oko dan bergegas pergi.
Waktu itu mereka berada di pasar ikan, di samping daerah pelabuhan. Semua toko sudah tutup, dan sisik-sisik ikan yang bertebaran di jalan berkelipan seperti kerang-kerangan perak kecil. Karena di sana betul-betul tidak ada orang, maka Oko memeluk Toji, mencoba meredakar. kemarahannya.
"Lepaskan!" pekik Toji.
"Kalau kau pergi sendiri, orang-orang akan mengira ada sesuatu."
"Biar mereka mengira semaunya!"
"Oh, jangan bicara seperti itu!" mohon Oko. Pipinya yang sejuk menempel pada pipi Toji. Bau pupur dan rambutnya yang manis menyusupi diri Toji, dan berangsur-angsur kemarahan dan rasa frustrasinya mereda.
"Aku mohon," pinta Oko.
"Ini cuma karena aku begitu kecewa," kata Toji.
"Aku tahu, tapi kita masih akan punya kesempatan lain untuk bersama-sama."
"Tapi dua-tiga hari ini—aku betul-betul mengharapkannya."
"Aku mengerti."
"Kalau kau mengerti, kenapa kauseret ikut orang-orang itu? Itu karena perasaanmu terhadapku lain dengan perasaanku terhadapmu!"
"Sekarang kau mulai soal itu lagi," kata Oko mencela sambil menatap ke depan, dan tampak seakan air matanya akan mengalir. Tapi ia bukannya menangis, melainkan mencoba sekali lagi memaksa Toji mendengarkan penjelasannya. Ketika pembawa surat datang membawa surat Toji, tentu saja ia berencana untuk datang ke Osaka sendirian, tapi dasar nasib, malam itu juga Seijuro datang di Yomogi bersama enam atau tujuh orang muridnya, dan Akemi membocorkan pada mereka bahwa Toji akan datang. Seketika itu juga orang-orang itu memutuskan akan mengantar Oko ke Osaka dan minta Akemi datang bersama mereka. Akhirnya rombongan yang menginap di penginapan Sumiyoshi itu berjumlah sepuluh orang.
Toji terpaksa membenarkan bahwa dalam keadaan seperti itu tak banyak yang dapat diperbuat Oko, namun perasaan murungnya tidak juga membaik. Hari itu jelas bukan hari baik baginya, dan ia yakin bakal datang yang lebih buruk lagi. Satu hal, pertanyaan pertama yang akan dilontarkan kepadanya adalah tentang hasil kampanye keliling yang telah dilakukannya, dan ia merasa benci karena harus menyampaikan berita buruk pada mereka. Tapi yang jauh lebih ia takuti adalah bahwa ia terpaksa melepaskan kerudung dari kepalanya. Bagaimana mungkin ia memberikan penjelasan tentang hilangnya gelungan itu? Akhirnya ia menyadari bahwa tak ada jalan keluar, dan menyerahlah ia kepada nasib.
"Baiklah, baiklah," katanya, "aku pergi denganmu. Suruh joli itu kemari."
"Oh, aku sungguh bahagia!" seru Oko, lalu kembali ke dermaga.
Di rumah penginapan, Seijuro dan lain-lainnya sudah mandi, mengenakan kimono berlapis katun nyaman yang disediakan rumah penginapan, dan duduk menanti kembalinya Toji dan Oko. Beberapa waktu kemudian, ketika kedua orang itu tidak juga muncul, satu orang berkata, "Cepat atau lambat mereka berdua akan datang. Tak ada alasan untuk duduk di sini berpangku tangan."
Konsekuensi wajar dari pernyataan ini adalah pesanan sake. Semula mereka minum hanya untuk menghabiskan waktu, tapi segera kemudian kaki mereka mulai membujur dengan nikmatnya, dan mangkuk-mangkuk sake bergerak mondar-mandir lebih cepat. Tak lama kemudian, mereka semua sudah kurang-lebih melupakan Toji dan Oko.
"Apa tak ada gadis-gadis penyanyi di Sumiyoshi ini?"
"Ide bagus! Apa salahnya kalau kita panggil tiga atau empat gadis manis?"
Seijuro tampak ragu-ragu, tapi kemudian satu orang menyarankan agar ia dan Akemi mengundurkan diri ke kamar lain, di mana suasananya lebih tenang. Tindakan yang tidak terlalu halus untuk menyingkirkannya itu mendatangkan senyum sayu di wajahnya, tapi bagaimanapun ia senang juga meninggalkan tempat itu. Akan jauh lebih menyenangkan berada sendirian dalam kamar dengan Akemi dan kotatsu hangat, daripada minum dengan gerombolan orang kasar ini.
Segera sesudah ia keluar dari ruangan, pesta pun dimulai dengan sesungguhnya, dan tak lama kemudian beberapa gadis penyanyi dari kelas yang oleh penduduk setempat dikenal sebagai "kebanggaan Tosamagawa" muncul di kebun di luar kamar. Suling dan shamisen yang mereka bawa sudah tua, bermutu rendah, dan sudah aus karena sering dipakai.
"Kenapa Tuan-tuan begini ribut?" tanya seorang di antara perempuan itu lancang. "Tuan-tuan datang kemari untuk minum atau bercekcok?"
Orang yang menganggap dirinya pimpinan menyahut, "Jangan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tolol. Tak ada orang mengeluarkan uang untuk berkelahi! Kami panggil kalian kemari supaya kami dapat minum dan bersenang-senang."
"Nah," kata gadis itu dengan bijaksana, "saya senang mendengar itu, tapi saya harap betul Tuan-tuan sedikit tenang."
"Oh, kalau itu yang kaukehendaki, bagus! Mari kita nyanyikan lagu-lagu."
Untuk menghormati hadirnya wanita di tempat itu, beberapa tulang kering yang berambut pun ditarik masuk ke balik ujung kimono, dan beberapa tubuh yang menggeletak menegakkan diri. Musik dimulai, semangat meningkat, dan pesta berkembang pesat. Pesta sedang berjalan sehebat-hebatnya ketika seorang gadis muda masuk memberitahukan bahwa orang lelaki yang tiba dengan kapal dari Shikoku itu telah datang dengan temannya.
"Apa katanya? Ada orang datang?"
"Ya, dia bilang orang yang namanya Toji datang."
"Hebat! Bagus sekali! Toji tua yang baik itu datang... Siapa itu Toji?"
Masuknya Toji dengan Oko sama sekali tidak mengganggu acara itu, bahkan sesungguhnya mereka berdua diabaikan. Setelah dibuat berpikir bahwa mereka semua berkumpul demi meyakinkan Toji bahwa semua itu diadakan untuk dia, Toji jadi muak.
Ia panggil kembali gadis yang mengantar mereka dan minta dibawa ke kamar Seijuro. Tapi ketika mereka sedang masuk ke gang, si biang keladi vang berbau sake datang terhuyung-huyung dan merangkulkan tangannya ke leher Toji.
"Hei, Toji!" katanya dengan nada malas. "Baru kembali? Kau tentunya bersenang-senang dengan Oko entah di mana, selagi kami duduk menunggu di sini. Itu mestinya tak boleh kamu lakukan!"
Toji mencoba melepaskan orang itu dari dirinya, tapi sia-sia. Orang itu menariknya ke dalam kamar, dan Toji meronta-ronta. Dalam perjalanan, orang itu menginjak sebuah-dua buah baki, menendang beberapa guci sake, kemudian jatuh ke lantai bersama Toji pula.
"Kerudungku!" sengal Toji. Tangannya cepat memegang kepalanya, tapi terlambat. Sambil jatuh, si biang keladi telah menyambar kerudung itu dan kini ia menggenggamnya. Semua mata memandang langsung ke tempat bekas gelungan Toji, diiringi napas tersengal bersama.
"Apa yang terjadi dengan kepalamu?"
"Ha, ha, ha! Cukuran baru rupanya!"
"Di mana kaudapatkan itu?"
Wajah Toji menjadi merah padam. Sambil memungut kerudungnya dan mengembalikannya ke tempatnya, ia menggagap, "Ah, tak apa-apa. Aku punya bisul."
Tanpa kecuali, semua orang tertawa terbahak-bahak.
"Dia bawa pulang bisul untuk oleh-oleh!"
"Tutup tempat yang busuk itu!"
"Jangan cuma bicara. Tunjukkan pada kami!"
Dari lelucon ringan itu jelaslah bahwa tak seorang pun percaya pada Toji, tapi pesta berjalan terus, dan tak seorang pun bicara lagi tentang gelungan itu.
Pagi berikutnya persoalan sudah lain sama sekali. Pukul sepuluh, kelompok yang sama sudah berkumpul di pantai di belakang rumah penginapan, dalam keadaan sudah tidak mabuk dan tenggelam dalam pembicaraan yang sangat serius. Mereka duduk melingkar, sebagian dengan dada dibidangkan, sebagian lagi dengan tangan disilangkan, tapi semuanya tampak muram.
"Dari segi mana pun, buruk keadaannya."
"Tapi persoalannya, apakah benar begitu?"
"Aku mendengar dengan telingaku sendiri. Apa kau mau menyebutku pembohong?"
"Kita tak dapat membiarkan hal itu berlalu tanpa melakukan sesuatu. Kehormatan Perguruan Yoshioka sedang dipertaruhkan. Kita harus bertindak!"
"Tentu saja, tapi apa tindakan kita?"
"Nah, sekarang ini masih belum terlambat. Kita harus menemukan orang yang membawa monyet itu dan memotong gelungannya. Kita harus menunjukkan kepadanya bahwa bukan hanya kebanggaan Gion Toji yang tersangkut di sini. Ini persoalan yang menyangkut martabat seluruh Perguruan Yoshioka! Ada yang keberatan?" Biang keladi yang mabuk semalam itu kini menjadi letnan yang gagah berani, yang mendorong orang-orangnya memasuki pertempuran.
Ketika terbangun pagi itu, mereka memesan air hangat untuk mandi, untuk menghilangkan sisa mabuk mereka. Dan ketika mereka berada di tempat mandi, seorang saudagar masuk. Tanpa mengetahui siapa mereka, ia bercerita tentang apa yang telah terjadi di kapal. Ia sampaikan pada mereka cerita lucu tentang pemotongan gelungan itu dan ia akhiri ceritanya dengan mengatakan, "Samurai yang kehilangan rambutnya itu menyatakan diri sebagai murid terkemuka Keluarga Yoshioka di Kyoto. Pendapat saya, kalau memang benar demikian, keadaan Keluarga Yoshioka itu tentunya lebih buruk lagi dari yang dapat dibayangkan orang."
Murid-murid Yoshioka cepat bebas dari mabuknya dan pergi mencari murid senior yang sulit diatur itu, untuk ditanyai tentang kejadian tersebut. Tapi segera mereka temukan bahwa Toji sudah bangun lebih pagi, berbicara sepatah dua patah kata dengan Seijuro, kemudian langsung berangkat dengan Oko ke Kyoto sesudah makan pagi. Hal ini membenarkan tepatnya cerita itu, namun daripada mengejar Toji si pengecut, mereka memutuskan lebih masuk akal menemukan pemuda tak dikenal yang membawa monyet itu dan membersihkan nama baik Yoshioka.
Dalam sidang perang di tepi pantai itu mereka menyepakati sebuah rencana, lalu bangkit berdiri, mengibaskan pasir yang menempel di kimono, dan mulai beraksi.
Tidak jauh dari sana, Akemi yang bertelanjang kaki bermain di tepi air, memunguti kerang laut satu demi satu, tapi langsung membuangnya kembali. Sekalipun waktu itu musim dingin, matahari bersinar hangat dan bau laut memancar dari built ombak yang menghampar seperti rantai bunga mawar putih sejauh-jauh mata memandang.
Dengan mata terbuka lebar karena heran, Akemi memandang orangorang Yoshioka berlari ke arah yang berbeda-beda itu, sementara ujung sarung pedang mereka mendongak-dongak ke udara. Ketika orang terakhir melewatinya, ia berseru, "Ke mana kalian semua ini pergi?"
"Oh, kamu?" kata orang itu. "Bagaimana kalau kau ikut mencari denganku? Setiap orang mendapat bagian wilayah untuk diliput."
"Apa yang kalian cari?"
"Seorang samurai muda dengan jambul panjang. Dia membawa monyet."
"Apa yang dilakukannya?"
"Sesuatu yang akan membikin malu nama Tuan Muda, kecuali kalau kami bertindak cepat."
Ia menyampaikan pada Akemi apa yang telah terjadi. Namun ia gagal membangkitkan minat Akemi setitik pun.
"Kalian ini selalu saja mencari perkelahian!" kata Akemi dengan nada tidak sependapat.
"Bukannya kami suka berkelahi, tapi kalau kita biarkan dia lolos, dia dapat mendatangkan aib bagi perguruan yang menjadi pusat terbesar seni bela diri di negeri ini."
"Dan bagaimana kalau benar begitu?"
"Kamu gila, ya?"
"Kalian orang-orang lelaki ini menghabiskan waktu dengan mengejar hal-hal paling tolol."
"Hah?" Dan dengan mata menyipit ia memandang Akemi curiga. "Dan apa yang kamu lakukan di sini selama ini?"
"Aku?" Akemi menjatuhkan pandangan matanya ke pasir indah di sekitar kakinya, dan katanya, "Aku mencari kerang laut."
"Buat apa mencarinya? Ada berjuta-juta kerang di seluruh tempat ini. Contoh yang tepat buatmu. Perempuan biasa menghamburkan waktu dengan cara-cara yang lebih gila daripada lelaki."
"Tapi aku mencari jenis kerang yang sangat khusus. Namanya pelipur lara."
"Oh? Dan apa betul ada kerang macam itu?"
"Ada! Tapi orang bilang kita hanya dapat menemukannya di sini, di pantai Sumiyoshi."
"Aku berani bertaruh tak ada barang macam itu!"
"Ada! Kalau kamu tak percaya, ayo pergi denganku. Akan kutunjukkan nanti."
Ditariknya pemuda yang enggan itu ke barisan pohon pinus, dan ia tunjuk sebuah batu berukiran sebuah sajak kuno.
Sekiranya kupunya waktu,
Akan kutemukan ia di pantai Sumiyosbi.
Orang bilang akan sampai ke sana
Kerang penyebabnya
Lupa akan cinta
Dengan bangga Akemi berkata, "Lihat! Bukti apa lagi yang kamu perlukan?"
"Ah, itu kan cuma dongeng, salah satu kebohongan tak berguna yang disampaikan dengan puisi."
-Tapi di Sumiyoshi ada juga bunga yang bikin kita lupa, dan juga air."
"Nah, jika misalnya memang ada, keajaiban apa yang akan kaudapat?"
"Mudah sekali. Kalau kita masukkan satu ke dalam obi atau lengan baju kita, kita dapat melupakan segalanya."
Samurai itu tertawa. "Jadi, maksudmu kamu mau lebih lalai daripada sekarang"
"Ya. Aku ingin melupakan semuanya. Ada beberapa hal yang tak dapat kulupakan, karena itu aku merasa tidak bahagia siang hari dan berbaring dengan mata melotot malam hari. Karena itulah aku mencarinya. Bagaimana kalau kamu tinggal saja di sini, membantu mencari?"
"Ah, ini bukan waktu untuk mainan anak-anak!" kata samurai itu mencela, kemudian tiba-tiba ia ingat akan kewajibannya, dan ia pun melesat sekencang-kencangnya.
Apabila sedang sedih, Akemi sering mengira bahwa persoalan yang dihadapinya akan terpecahkan jika saja ia dapat melupakan masa lalu dan menikmati masa kini. Pada waktu ini ia sedang merangkul lutut, dan merasa bimbang apakah akan berpegang teguh pada sejumlah kenangan yang didambakannya, ataukah pada keinginan untuk melontarkan kenangan itu ke laut. Jika sekiranya memang ada yang namanya kerang pelipur lara itu, demikian diputuskannya, bukan ia yang akan membawanya, melainkan akan diselipkannya ke dalam lengan baju Seijuro. Ia mengeluh, dan membayangkan alangkah baiknya hidup ini, kalau saja Seijuro melupakan segala yang menyangkut dirinya.
Ingatan akan Seijuro itu saja membuat hatinya dingin. Ia cenderung yakin bahwa Seijuro ada di dunia ini semata-mata untuk meruntuhkan masa mudanya. Ketika Seijuro mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan cinta bercampur bujukan, ia menghibur diri dengan memikirkan Musashi. Tapi kenangan tentang Musashi yang sekali-sekali menjadi pelariannya sering juga menjadi sumber kesengsaraannya, karena kenangan itu membuatnya ingin lari dan meloloskan diri ke dunia impian. Ia ragu-ragu akan menyerahkan diri seluruhnya kepada khayal, karena tahu besar kemungkinan Musashi telah sama sekali melupakannya.
"Oh, alangkah baiknya kalau ada cara yang dapat kupakai untuk menghapus wajahnya itu dari pikiranku!" pikirnya.
Air Laut Pedalaman yang biru tiba-tiba tampak begitu memikat. Dan memandang laut itu, ia jadi ketakutan. Alangkah mudahnya berlari langsung masuk ke dalamnya, dan menghilang.
Ibu Akemi sama sekali tak mengira bahwa Akemi menyimpan pikiranpikiran putus asa semacam itu, apalagi Seijuro. Semua orang di sekitarnya menganggap Akemi sangat bahagia, barangkali sedikit sembrono, tapi bagaimanapun masih kuncup yang belum berkembang, hingga belum dapat barangkali ia menerima cinta seorang lelaki.
Bagi Akemi, ibunya dan orang-orang lelaki yang datang ke warung teh itu sesuatu yang berada di luar dirinya. Pada waktu mereka hadir, ia tertawa berkelakar, menggemerincingkan giring-giringnya, dan mencibir bila perlu. Tapi bila sendirian, desah-desahnya muram dan gelap.
Pikiran-pikiran Akemi terganggu oleh datangnya seorang pembantu rumah penginapan. Melihat ia berada di dekat prasasti batu, pembantu datang berlari, dan katanya, "Oh, di mana Nona tadi? Tuan Muda memanggil-manggil Nona, dan beliau kuatir sekali."
Di rumah penginapan, Akemi menjumpai Seijuro sendirian menghangatkan kedua tangannya di bawah selimut merah yang menutup kotatsu. Kamar dalam keadaan tenang. Di halaman, angin lembut gemeresik lewat pohon-pohon pinus yang layu.
"Kau keluar dalam udara dingin begini?" tanya Seijuro.
"Apa maksudmu? Rasanya tidak dingin. Di pantai matahari terang."
"Apa yang kaulakukan di sana?"
"Mencari kerang laut."
"Kau ini macam anak kecil."
"Aku memang anak kecil."
"Berapa kaukira umurmu pada hari ulang tahun yang akan datang?"
"Tak ada artinya. Aku masih anak kecil. Apa salahnya?"
"Banyak salahnya. Kau mesti memikirkan rencana-rencana ibumu untukm u.."
"Ibuku? Dia tidak memikirkan aku. Dia sendiri yakin, dia masih muda."
"Coba duduk sini."
"Aku tak mau. Nanti aku kepanasan. Ingat tidak, aku masih muda."
"Akemi!" Seijuro menangkap pergelangan tangannya dan menariknya ke dirinya. "Tak ada orang lain di sini hari ini. Ibumu cukup bijaksana dengan kembali ke Kyoto."
Akemi memandang mata Seijuro yang menyala, dan tubuhnya pun menegang. Secara tak sadar ia mundur, tapi Seijuro memegang pergelangan tangannya erat-erat.
"Kenapa mau lari?" tanya Seijuro menuduh.
"Aku tak mau lari."
"Tak ada orang lain sekarang di sim. Ini kesempatan baik, bukan, Akemi?"
"Kesempatan apa?"
"Jangan keras kepala begitu! Sudah hampir setahun kita saling bertemu. Kau tahu perasaanku padamu. Oko sudah lama memberi izin. Dia bilang, kau tak mau menyerah karena caraku yang salah. Jadi, hari ini mari kita..."
"Berhenti! Lepaskan tanganku! Lepaskan, kataku!" Tiba-tiba Akemi membung-kuk dan merendahkan kepala dengan malunya.
"Jadi, biar bagaimana kamu tak mau?"
"Berhenti! Lepaskan!"
Sekalipun tangan Akemi sudah merah oleh cengkeramannya, Seijuro tetap tak mau melepaskannya. Tak mungkin gadis itu cukup kuat melawan teknik-teknik militer Delapan Perguruan Kyoto.
Hari ini Seijuro lain dari biasanya. Sering ia mencari kesenangan dan hiburan dengan sake, tapi hari ini ia tak minum apa pun. "Kenapa kauperlakukan aku seperti ini, Akemi? Kau mau menghina aku?"
"Tak mau aku bicara tentang itu! Kalau tidak kaulepaskan, aku menjerit!"
"Menjeritlah. Tak ada yang akan mendengarmu. Rumah besar terlalu jauh dari sini, dan lagi, aku sudah bilang pada mereka supaya kita jangan diganggu."
"Aku mau pergi dari sini."
"Takkan kubiarkan."
"Tubuhku bukan milikmu!"
"Oh, jadi begitu perasaanmu? Lebih baik kautanyakan soal itu pada ibumu! Sudah cukup banyak aku membayar."
"Oh, ibuku mungkin sudah menjualku, tapi aku belum menjual diriku! Lebih-lebih pada lelaki yang kupandang rendah, lebih dari maut sendiri!"
"Apa?" pekik Seijuro sambil melontarkan selimut merah ke atas kepala Akemi.
Akemi menjerit sekuat paru-parunya.
"Menjeritlah, anak anjing! Jeritkan semua yang kaumau! Tak seorang pun akan datang."
Di atas shoji, sinar matahari pucat berbaur dengan bayangan resah pohon-pohon pinus, seakan-akan tak sesuatu pun terjadi. Di luar, segalanya tenang kecuali pukulan ombak di kejauhan dan cicit burung-burung.
Diam yang dalam mengiringi raungan Akemi yang teredam. Beberapa waktu kemudian, dengan wajah pucat seperti mayat, Seijuro muncul di lorong luar, tangan kanannya memegang tangan kiri yang baret-baret berdarah.
Tak lama sesudah itu pintu terbuka lagi dengan suara berdentam, dan Akemi muncul. Seijuro yang tangannya kini berbungkus handuk berseru kaget dan bergerak seakan hendak menghentikannya, tapi tidak cukup cepat. Gadis yang sudah setengah gila itu melarikan diri secepat kilat.
Wajah Seijuro mengerut gundah, tapi ia tidak mengejar Akemi, sementara Akemi menyeberang halaman dan masuk bagian lain rumah penginapan. Tak lama kemudian senyuman tipis jahat tersungging di bibirnya. Senyuman kepuasan yang amat sangat.
Bersambung>>>
0 komentar:
Posting Komentar