"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Sabtu, 22 Oktober 2016

Makna Kemerdekaan, Bukan sekedar untuk panjat pinang

Merah putih berkibar di mana–mana. Di gang, gapura, pergulo dan pagar rumah sepanjang mata memandang. Demikian juga gapura, berdiri di hampir setiap ujung gang, dengan bertuliskan; Dirgahayu RI ke 64.
 
Tak kalah juga dengan umbul–umbul. Banyak dan meriah. Gedung, pasar, kantor, dan sebagainya tak mau ketinggalan, semua berhias. Seolah penuh bumi kita ini dengan warna merah dan putih. Pemandangan rutin di bulan ini. Riuh–rendah bisa kita rasakan, sampai–sampai para pedagang asongan di pinggir jalan yang menjajakan bendera.

Ya, sebentar lagi RI akan berpesta. Merayakan hari kemerdekaannya, tanggal 17 Agustus. Aroma kebangsaan dan semangat nasionalisme telah terpatri dalam sanubari setiap anak bangsa ini. Kita bisa merasakan perayaan dan euforianya, termasuk acara panjat pinang yang selalu menjadi andalan. Tapi itu kurang penting, sebelum kita bisa memberi makna lain yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan pribadi kita, baik sebagai seorang hamba maupun seorang warga. Bagaimana?

Jadilah hamba yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Ini adalah kemerdekaan yang hakiki. Hidupkanlah 1/3 malam kita untuk bercengkrama dengan-Nya. Dan alirilah setiap desir darah kita dengan merenungkan ciptaan-Nya. Jadilah hamba yang peduli. Cermatilah dialog Robiah dengan pelayannya. Di musim semi yang indah, Rabi'ah al-Adawiyah menyendiri di pertapaan. Lalu gadis pelayannya berkata, "Wahai Ibu, keluarlah dan lihatlah karya-karya Sang Pencipta," jawab Rabi'ah. "Lebih baik masuklah! Dan, pandanglah Sang Pencipta itu sendiri. Merenungkan-Nya membuatku tidak sempat lagi memandang ciptaan-Nya."

Ya, Rabi'ah al-Adawiyah memang telah menjauhkan kalbunya dari duniawi. Selama 30 tahun ia shalat seolah-olah untuk terakhir kali. Saking khawatir kalbunya terusik, dia sering berdoa, "Wahai Tuhanku, sibukkanlah diriku semata-mata hanya dengan-Mu, sehingga tak ada sesuatu pun akan menjauhkan diriku dari-Mu."

Sebagai warga, jadilah seorang warga yang selalu penuh harapan. Semangat. Selalu husnudhon. Sebab kita punya Allah, sebagai pusat penggantung harapan. Jangan hilangkan harapan baik, ketika melihat situasi bangsa kita yang sedang terpuruk, amburadul. Teruslah hidupkan harapan yang baik. Mari Reach Your Maximum Potential, seperti kisah empat lilin berikut ini.

Lilin pertama berkata, "Aku adalah damai, namun manusia tidak mampu menjaganya. Jadi, lebih baik aku matikan diriku." Pet! Lilin kedua mulai berkata, "Aku adalah iman. Sayang, aku tidak berguna lagi. Manusia tidak mau mengenalku. Tidak ada gunanya kalau aku tetap menyala." Tiupan angin pun mematikannya dalam sekejap. Ruangan mulai agak gelap.

Lilin ketiga gantian berbicara, "Aku adalah cinta. Aku tidak lagi mampu untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapku berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci pada mereka yang mencintai. Membenci keluarga sendiri." Lilin ketiga pun padam.

Tiba-tiba, masuk seorang bocah ke ruangan itu. Perasaan takutnya menyergap. Dia pun menangis, takut pada gelap. Tangisan itu tak lama, karena dihentikan oleh lilin keempat. "Jangan takut dan jangan menangis. Selama aku masih ada dan menyala, kita akan selalu dapat menyalakan ketiga lilin lainnya," kata lilin keempat. Itulah lilin harapan. Dan, bocah itu pun menyalakan ketiga lilin yang telah padam.

Jadi? Mengilas balik kemerdekaan kali ini, semestinya kita tidak perlu mbudek dan mbisu menghadapi keruwetan bangsa ini. Kita masih punya titik terang, sebagai pribadi-pribadi. Jadilah seperti bocah penyulut lilin tersebut dan landasilah seperti Robiah al-Adawiyah. Jika setiap individu – individu ini bersatu, tak akan ada yang bisa menggoyahkan. Apapun bisa kita lakukan. Dan dengan lantang kita berseru sambil meninju: Merdeka....!!! Merdeka dari keterikatan duniawi lainnya, kecuali hanya kepada-Nya.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive