"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Sabtu, 22 Oktober 2016

Janganlah terlalu reaktif atau cepat emosi

Suatu ketika saya berdebat dengan seorang teman tentang surga dan neraka. Ia berpendapat, orang masuk surga karena amalnya. Saya menolak pandangan itu. Bagi saya, orang masuk surga karena rahmat-Nya. Karena cakupan pandangan ini lebih etis dan luas, seperti kemahaluasan Tuhan itu sendiri.

Teman saya masih bersikeras. Katanya, jika menurut pada pendapat saya tentang rahmat Tuhan, berarti sia-sia saja orang beramal shalih. Saya bilang, sama sekali tidak! Mungkin yang sia-sia itu niatnya: ingin masuk surga.Untuk mendukung pendapat, saya ceritakan sebuah riwayat yang biasa kita dengar. Seorang pelacur masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Padahal dirinya juga bernasib sama. Sampai kemudian si pelacur tadi meninggal. Hanya karena rahmat Tuhan lah, yang menentukan nasib pelacur itu. sifat-Nya yang rahman-rahim itu menyelamatkannya dari api neraka.

Teman saya tercenung sejenak. Tatapan matanya ingin mengatakan sesuatu, namun tak kunjung saya mendengar kalimatnya. Sampai kemudian ia berkata, "kalau begitu Thomas Alpha Edison pun akan masuk surga." Saya kembali mengatakan, belum tentu! Ia pun membantah. "Lha, pelacur saja yang amalnya begitu di menit-menit akhir hidupnya bisa masuk surga, kenapa Thomas Alpha Edison, penemu bola lampu listrik itu belum tentu masuk surga?".

Saya katakan padanya, masalah kita bukan soal surga-neraka. Kita sedang bicara tentang rahmat Tuhan yang Maha Kasih itu. Namun diam-diam, sebenarnya saya memuji kekritisannya. Hanya mungkin, saya dan dia berada pada sisi yang berbeda dalam memandang masalah agama.

Dari cerita itu saya ingin katakan bahwa kita sering bereaksi atas sesuatu sebelum mencoba melihat sesuatu itu dari sudut pandang yang lebih luas. Seperti kasus teman saya tadi, seolah-olah hidup adalah ambang batas surga-neraka. Cara kita bereaksi atas kasus-kasus, peristiwa-peristiwa tertentu, khususnya berkaitan dengan sentimen agama acap kali didahului dengan cara pandang atas agama yang reaktif.

Singkatnya, sesuatu yang sedikit saja dapat menyinggung perasaan keagamaan kita dicap 'penghinaan terhadap agama'. Padahal, sekali lagi, kadang-kadang kita sendiri belum tahu persis substansinya. Ini seperti cerita Salman Rusdi dengan bukunya, Ayat-ayat Setan (The Satanic Versies). Sebuah novel yang menghebohkan. Novel yang mendorong Imam Khomeini memutuskan hukuman mati kepada penulisnya. Kita, mungkin saja sampai hari ini pun belum sempat membaca novel itu. Jangankan membacanya, melihat saja buku itu jangan-jangan belum pernah.

Sama halnya dengan pendapat umum kita tentang film Fitna, karya Geertz Wilders, seorang anggota parlemen Belanda. Film yang dianggap menghina umat Islam. Menjelek-jelekkan Kanjeng Nabi, dan seterusnya. Segera setelah itu reaksi kita menjalar dari segala penjuru. Sampai di sini saya berpikir apakah tugas keberagamaan kita selalu berawal dari reaksi atas sesuatu. Semakin tinggi reaksi kita semakin baik cara kita beragama. Apakah harus begitu?  

Wallahu’alam.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive