Oleh: Abul A'la Maududi (Tokoh Islam Pakistan)
Semenjak lima atau enam abad yang lalu, filsafat dan sains yang tumbuh dalam buaian kebudayaan Barat, selamanya mengarah pada atheism, keserbabolehan, pengingkaran eksistensi Tuhan dan tergila-gila pada materi. Karena itu maka begitu kebudayaan ini naik ke permukaan, serta merta ia menentang dan memusuhi agama, bahkan lebih tepat lagi bila dikatakan bahwa ia dilahirkan oleh pertarungan antara rasio dan sains menghadapi agama dan keimanan. Kendatipun agama sama sekali tidak menentang pembuktian-pembuktian alam, penggalian berbagai rahasianya, maupun penemuan-penemuan hukum dan kaidah-kaidahnya yang asli. Serta tidak pula mengingkari teori-teori yang dihasilkan oleh berbagai pemikiran dalam bidang itu, dan tidak pula menolak berbagai kesimpulan yang dibuatnya setelah melalui berbagai pengamatan, pengumpulan data, pencatatan dan pembuktian, namun nasib malang menimpanya lantaran di saat gerakan sains modern yang muncul di Eropa pada masa Renaissans terlibat dalam pertarungan yang amat sengit dengan pemimpin-pemimpin agama Nashrani yang membangun akidah keagamaannya di atas landasan filsafat dan hikmah Yunani kuno.
Di mana mereka beranggapan bahwa manakala pembuktian ilmiah dan upaya pemikiran modern ini tampil, niscaya ia akan meluluhlantakkan asas yang menjadi penopang agama mereka sehingga agama itu sendiri pada akhirnya akan luruh dan rata dengan tanah. Prasangka yang keliru ini menyebabkan mereka bersikap menolak gerakan ilmiah modern dan secara mati-matian menentangnya dengan mempergunakan berbagai macam kekerasan. Dimana-mana mereka melaksanakan inkuisisi terhadap para pelopor gerakan ilmiah ini, lalu menjatuhkan hukuman yang amat bengis dan tidak mengenal belas kasihan. Kendatipun demikian, gerakan ilmiah yang hakekatnya merupakan akibat munculnya kebenaran asli ini tetap kokoh dan bahkan makin berkembang sejalan dengan makin meningkatnya penindasan yang dialaminya, sampai akhirnya gelombangnya menyimpang dan melabrak ajaran-ajaran agama.
Pertarungan itu pada mulanya hanyalah melibatkan para penyeru gerakan kebebasan berfikir melawan para pemimpin agama. Malangnya di saat memerangi para penyeru kebebasan berfikir tersebut dengan mengatasnamakan agama, para pemimpin agama itu segera mengembangkan medan pertarungan menjadi pertarungan kebebasan berfikir versus Kristianisme, lalu menjadikan agama itu sendiri –apapun bentuknya- sebagai musuh gerakan kebangkitan ilmiah. Sehingga dengan demikian metodologi berfikir yang terorganisir dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan metode berfikir keagamaan dan lantaran itu pula ia mewajibkan kepada semua orang yang menempuh cara berfikir ilmiah serupa itu untuk mengambil cara berfikir lain yang berbeda dengan teori-teori keagamaan dalam berbagai hal. Konsepsi dasar dalam pandangan keagamaan tentang alam semesta ini adalah bahwa apa yang ada pada alam fisik (physical wolrd), berupa fenomena alam, haruslah dipulangkan sebab musababnya kepada kekuatan yang lebih tinggi dan luhur tinimbang alam itu sendiri. Namun sepanjang teori ini menentang gerakan kebangkitan sains modern, maka para pelopor gerakan ilmiah itupun kemudian berusaha memecahkan rahasia ala mini tanpa harus mengakui eksistensi Tuhan sebagai cara berfikir reaksioner dan tidak ilmiah (unscientific). Karena itu maka tumbuhlah dalam kalbu para filosof masa tersebut, sikap apriori terhadap eksistensi Tuhan maupun hal-hal yang bersifat spiritual dan metafisik, seraya menyatakan bahwa masalah-masalah seperti itu bukanlah dihasilkan oleh rasio dan pembuktian ilmiah, melainkan dari reaksi emosional yang berlebih-lebihan. Para cendekiawan dan filosof yang piawai itu tidak menafikan Dzat Allah lantaran mereka telah membuktikan bahwa Allah itu memang tidak ada melalui berbagai macam cara pembuktian, melainkan semata-mata karena Allah itu adalah Tuhan musuh-musuh mereka dan sesembahan orang-orang yang menentang kebebasan berfikir. Bertolak dari sini, seluruh apa yang mereka hasilkan melalui rasio, pemikiran dan upaya-upaya ilmiah mereka dalam lima kurun berikutnya, tumbuh dari persemaian berupa pertentangan yang tidak logis itu.
Filsafat dan sains pada awal mula perjalanannya di medan praktik, kendatipun keduanya memang menuju kea rah yang bertentangan dengan keimanan kepada Allah, toh masih menampakkan adanya titik temu antara naturalism dengan keimanan kepada Allah. Namun begitu ia bergerak maju di bawah paying materialism, serta merta ia mendepak keimanan dari sisinya, sehingga filsafat dan sainspun kosong dari konsepsi tentang eksistensi Tuhan dan hal-hal yang bercorak metafisis, sampai akhirnya tidak ada satupun dalam perwujudan ini yang mereka anggap eksis kecuali materi dan gerak. Lalu pada gilirannya naturalism pun memiliki arti yang persis sama dengan materialism, dan tertanamlah dalam kalbu para ilmuwan dan filosof itu suatu keyakinan bahwa segala sesuatu yang tidak bisa diukur dna diuji, adalah khayalan belaka dan tidak pantas disebut "ada".
Semua kenyataan di atas diberi kesaksian sendiri oleh sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan Barat, Descartes (meninggal dunia tahun 1650M), yang diakui sebagai Bapak Pembebas Filsafat Barat, mengakui eksistensi Tuhan dalam tingkat yang lebih bebas dari keimanan dan semestinya, dan meyakini pula adanya ruh yang terpisah dari materi. Dan Descartes pulalah orangnya yang –pada sisi lain- memelopori kegiatan analisis terhadap apa yang dihasilkan ilmu fisika melalui metode mekanistis serta meletakkan dasar berpijak bagi metode berfikir tersebut yang pada saatnya kelak berubah menjadi materialism murni. Rintisan Descartes ini lalu diikuti oleh Hobbes (meninggal dunia tahun 1679M), yang melangkah lebih jauh dan terang-terangan mengingkari hal-hal yang metafisis serta menganggap bahwa sistem alam dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya bisa dianalisis secara mekanis tanpa menyebut-nyebut lagi adnya kekuatan spiritual maupun kekuatan lain yang tersembunyi, yang memiliki kekuasaan mengatur persoalan-persoalan duniawi yang materiil ini. Kendatipun demikian toh ia tetap meyakini adanya 'Allah' dalam arti bahwa keyakinan adanya Tuhan ini merupakan suatu kebutuhan yang ditetapkan oleh rasio. Pada era ini tampil pula Spinoza –panglima Rasionalisme-pada abad tujuh belas Masehi, yang sudah tidak menarik garis pemisah antara materi, ruh, dan Dzat yang Transendent. Bahkan lebih dari itu, ia menyamaratakan Tuhan dan alam, serta menjadikan keduanya sebagai satu kesatuan tanpa sedikitpun mengakui adanya kekuasaan Allah yang mutlak. Selanjutnya tampil pula Leibnitz (meninggal dunia tahun 1716) dan Locke (meninggal dunia tahun 1704), yang sekalipun mengakui adanya Tuhan, dalam waktu yang sama amat cenderung pada materialism.
Itulah gambaran filsafat abad ketujuhbelas, dimana keimanan kepada Allah berjalan berdampingan dengan materialism. Demikian pula halnya dengan sains yang sampai abad ini belum sepenuhnya ditundukkan oleh para pencipta madzhab pengingkaran kepada Allah. Copernicus, Kepler, Galileo dan para tokoh ilmu fisika lainnya, tidak seorangpun yang mengingkari eksistensi Tuhan. Tujuan kajian mereka terhadap rahasia alam semesta melalui kepastian kajian yang bersumber dari teori Ilahi adalah untuk mengukuhkan adanya kekuatan yang mengatur sistem alam ini, berikut hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Kelompok teori Ilahiah inilah yang menjadi embrio atheisme dan materialism yang dilahirkan oleh kebebasan berfikir pada masa-masa kemudian. Hanya saja para filosof abad ketujuhbelas ini tidak menyadari hal itu, dan mereka memang tidak mampu memancangkan tonggak demarkasi antara keimanan kepada Allah dan materialism. Mereka tetap menganggap bahwa kedua kutub itu merupakan dua saudara kembar yang masih terpisah, yang suatu saat kelak dapat dipertemukan.
Lalu datanglah abad ke delapan belas. Pada abad ini bertambah jelaslah bagi para pemikir itu bahwasanya semua metode berfikir yang mencoba mengkaji sistem alam semesta ini dengan tujuan mengungkapkan eksistensi Tuhan, tidak bisa tidak pasti berakhir dengan pengingkaran, materialism atau sekulerisme. Era ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh seperti Jean Toland, David Hartley, Joseph Prestly, Voltaire, La Mattrie, Holbach, Cabanis, Denis Didoret, Montesquieu, dan Rousseau, yang merupakan tokoh-tokoh liberalisasi pemikiran yang sampai pada satu kesimpulan: Kalau tidak secara terang-terangan mengingkari eksistensi Allah, niscaya membenarkan eksistensiNya dalam pengertian bahwa Allah itu adalah "Penguasa Kerajaan" (Constitutional Monarch), tanpa ada kemungkinan arti lain, dimana Tuhan –setelah menciptakan alam semesta dan menghidupkan "mesin" penggeraknya- berdiam diri di singgasanaNya serta membiarkan alam semesta ini berjalan dengan sendirinya tanpa ada "tangan" yang mengatur sistemnya. Mereka ini sama sekali tidak mempercayai adanya sesuatu yang berada di luar alam fisik, materi dan perubahan. Pun tidak mempercayai kebenaran yang ada pada sesuatu selain yang dibangun di atas pembuktian manusia dan eksperimen yang dilakukannya. Maka tampillah Hume mengukuhkan metodologi berfikir ini lebih dari apa yang pernah dilakukan oleh empirisme dan skeptisisme, lalu ia pun mulai menyerukan agar empirisme dijadikan satu-satunya tolok ukur bagi kebenaran ilmu-ilmu logika. Gempuran materialism ini kemudian ditentang oleh Burkeley dengan segala apa yang dimilikinya, hanya malangnya ia tidak berhasil. Kemudian pula halnya dengan Hegel, ia mencoba menolak materialism dengan mempopulerkan idealisme di tengah-tengah masyarakat, namun sedikit sekali orang yang menyetujui madzhab yang bersifat lamunan dan tidak memiliki sosok yang nyata ini.
Kemudian tampil pula Immanuel Kant yang mencoba mengupayakan sintesa antara materi dan jiwa. Ia menetapkan bahwa eksistensi Tuhan, keabadian ruh, dan kebebasan kehendak bukanlah persoalan-persoalan yang dapat dimasukkan ke dalam medan pengetahuan dan pembuktian manusia. Oleh sebab itu tak mungkin membuktikan melalui indera. Kendatipun demikian kita bisa mengimani adanya semua itu sebagai hal-hal yang ghaib dan dengan menerapkan apa yang disebut "kebijaksanaan praktis" (practical wisdom) dalam laku perbuatan kita.
Upaya Kant ini boleh dikata merupakan upaya terakhir yang mencoba menjembatani kepercayaan kepada Tuhan dengan naturalisme. Namun lagi-lagi upayanya gagal total. Semuanya itu disebabkan karena sepanjang pemikiran dan konsepsi tersebut menempatkan eksistensi Tuhan sebagai hasil khayalan dan -dalam skala yang demikian besar- menempatkan Tuhan demikian rendah sebagai suatu eksistensi tanpa mengatur dan memerintah, maka meyakini adanya Tuhan dan mengharap ridhaNya tanpa disertai moral dan perilaku, niscaya sia-sia dan tak mungkin diterima akal sehat.
(dikutip dari buku Nahnu wa al Hadharah al Gharbiyyah, Penjajahan Peradaban diterjemahkan oleh Afif Mohammad, Pustaka, Bandung 1985).
0 komentar:
Posting Komentar