Di antara salah satu kritik orang pada tasawuf adalah bahwa aliran ini cenderung bersikap antirasional. Salah satu manifestasinya adalah sikap sementara sufi yang terkesan antifilsafat atau aliran pemikiran apa saja yang mengandalkan rasio (reason). Jalaluddin Rumi, misalnya, diketahui luas dengan bait-bait puisinya yang (seolah-olah) menentang akal.Kaki para rasionalis terbuat dari kayu: padahal kaki dari kayu amat lemah, dan tak dapat dipercaya.Para filosof berbicara hanya menurut ilmu nalar belaka, tetapi karena rasio itu lemah, mereka tak dapat melintasi pintu gerbang.
Tapi, ilustrasi mengenai kesan antirasional tasawuf ini paling baik kita ambil dari uraian Imam Al-Ghazali. Pada suatu kesempatan dia menyatakan bahwa hubungan antara hati dan rasio itu seperti telaga. Telaga mendapatkan air dari dua sumber. Sumber pertama adalah mata air, dan sumber kedua adalah sungai. Bagaimana caranya supaya kita mendapatkan air yang jernih dan berlimpah? Caranya adalah dengan memotong aliran sungai itu. Dengan membendung aliran sungai akan terjadi dua hal: (1) mata air ini akan memancarkan air lebih banyak, karena tidak ada tekanan dari sungai; (2) airnya dijamin akan lebih jernih, karena—tak seperti air dari mata air yang sangat jernih—air yang datang dari sungai tercampur bermacam-macam kotoran. Kalau aliran sungai dibendung, akan didapatkan air yang berlimpah dan lebih jernih. Kata Imam Al-Ghazali, mata air ini menyimbolkan hati dan sungai adalah saluran akal (rasio). Kalau kita ingin mendapatkan hati yang lebih bening, maka rasio harus kita tutup. Meski barangkali Al-Ghazali memaksudkan penutupan rasio ini dilakukan pada tahap lanjut proses berpikir—yang pada awalnya diyakini tetap membutuhkan prosedur rasional—ungkapan-ungkapan seperti ini bisa menimbulkan kesalahpahaman yang mengambil bentuk kesan antirasional tasawuf.
Dalam autobiografi-intelektualnya yang berjudul Al-Munqidz min Al-Dhalâl (Pembebas dari Kesesatan), dia juga menyatakan ketidakmungkinan pengungkapan pengalaman tasawuf (secara rasional). Katanya, berusaha mengungkapkan pengalaman tasawuf secara rasional adalah bagaikan berusaha mengungkapkan rasa apel kepada orang yang belum pernah memakannya. Atau, masih dalam metafora yang diajukannya, seperti mengungkapkan pengalaman (kenikmatan) hubungan seks kepada bujang atau lelaki yang impoten. Dengan kata lain, tidak mungkin.Sebelum membahas tentang filsafat Hikmah, ada gunanya untuk melihat sikap Al-Quran—yang diklaim sebagai sumberutama seluruh aliran pemikiran dan gerakan dalam Islam, tak terkecuali tasawuf—tentang masalah ini. Di dalam Al-Quran, menurut saya, tidak bisa diperoleh pemahaman yang menghadapkan akal dan hati secara berlawan-lawanan. Dalam Al-Quran, “kebetulan” istilah “akal” dalam bentuk kata benda verbal (mashdar) tidak bisa ditemukan. Yang ada adalah bentukan kata-kerjanya, yakni ya‘qilûn (proses berpikir dengan menggunakan akal). Ketika Al-Quran menyebut alat yang dipakai untukya‘qilûn, maka yang dirujuknya bukanlah akal (‘aql ) melainkan qalb (hati). Khususnya dalam bentuk fu‘âd, hati yang telah mencapai tingkat kestabilan. Jadi, dalam Al-Quran, dalam konsep Islam, akal itu adalah hati, dan hati itu adalah akal.
Nah, dalam Islam kita mengenal apa yang disebut sebagai ‘irfân (teosofi) atau gnostisisme Islam yang sedikit-banyak bernuansa filosofis. Namun, dalam khazanah spiritualisme Islam, rasionalitas dan intelektualitas tak pernah mendapatkan apresiasi yang sedemikian besar seperti dalam aliran Hikmah. Tokoh utamanya adalah Shadr Al-Din Al-Syirazi atau Mulla Shadra, seorang filosof Persia yang hidup pada abad ke-11 H.
Aliran Teosofi Transenden (al-hikmah al-muta‘âliyah atau biasa diringkas dengan Hikmah saja) adalah pemikiran yang berusaha menggabungkan pendekatan rasional (‘aqli) dan intuitif-eksperiensial (qalbi-dzauqi) untuk mendapatkan kebenaran. Jelasnya, aliran ini percaya bahwa betapapun juga pengetahuan kebenaran hanya bisa diperoleh secara eksperiensial (dialami, dirasakan). Ia mengambil bentuk semacam ilham, yang tentu saja hanya bisa diraih lewat hati yang bersih setelah melewati berbagai upaya mujâhadah dan riyâdhah sebagaimana dipujikan dalam tasawuf. Meskipun demikian, pengetahuan yang diperoleh lewat cara ini bukan hanya bisa, melainkan perlu, diungkapkan secara rasional. Hanya dengan cara ini pengetahuan bisa dikomunikasikan dan sekaligus diverifikasi (diuji) kebenarannya. Tanpa pengungkapan dan pengujian secara rasional seperti ini, orang akan kehilangan alat untuk memeriksa apakah pengetahuan itu merupakan sebuah kebenaran yang berasal dari sumber yang benar ataukah sekadar penyesatan dan penyelewengan pikiran—halusinasi, sejenis “kegilaan”, atau bahkan pikiran sesat. Dengan jalan ini pulalah bisa dibedakan antara wali Allah atau sufi (mutashawwif ) dengan wali setan atau orang yang berpura-pura sok sufi (mustashwifîn ).
Dalam konteks ini, aliran Hikmah memperkenalkan sejenis ilmu yang disebut sebagai ilmu presensial atau al-‘ilm al-hudhûrî(ilmu yang hadir dengan sendirinya dalam pikiran, tidak dalam bentuk rasional-analitik), di samping ilmu capaian atau hushûlî(yang diupayakan melalui prosedur berpikir rasional-logis).
Pengetahuan seperti ini bersifat representasional—yakni, membutuhkan representasi objek yang diketahui di dalam pikiran subjek yang mengetahui. Contoh sederhana: jika kita melihat batu, maka kita memerlukan representasi (forma, shûrah) atau “gambar” batu itu dalam pikiran kita. Demikian pula halnya dengan konsep-konsep, seperti kecantikan, atau sebagian besar konsep-konsep intelektual atau imajinatif. Menurut aliran ini, sebagian ilmu bersifat hushûlî, sebagian lain bersifat hudhûrî, dan sebagiannya lagi merupakan kombinasi dari keduanya—tepatnya hudhûrî yang didahului dengan hushûlî. Atau sebaliknya, hushûlî yang didahului oleh yang hudhûrî . Pengetahuan mengenai kebenaran-kebenaran awal (primary truth) yang bersifat aksiomatis merupakan bentuk ilmu hudhûrîmurni, sementara umumnya pemikiran merupakan ilmu hudhûrî yang didahului dengan hushûlî. Yang bersifat hudhûrî murni adalah pengetahuan-pengetahuan tentang diri (“aku”) sendiri, tentang keadaan-keadaan kejiwaan kita sendiri, seperti ketakutan, cinta, dan sebagainya; tentang daya-daya perseptif dan motor kita seperti ketika kita, misalnya, merasakan nyeri di salah satu bagian tubuh kita, “Pengetahuan” (tepatnya, perasaan atau pengalaman) kita tentang rasa nyeri itu terjadi tanpa ada terlebih dulu representasi mental (pikiran) tentang rasa sakit itu; dan juga pengetahuan kita tentang representasi mental itu sendiri. Kesemua pengetahuan itu bersifat langsung, tanpa ada representasinya dalam pikiran subjek yang mengetahui.
Karena, jika representasi itu butuh representasi, maka yang akan terjadi adalah regresi (pengurutan ke belakang) tanpa ujung. Demikian juga halnya dengan kebenaran-kebenaran primer. Tanpa pengetahuan langsung tentang pengetahuan-pengetahuan seperti ini, lagi-lagi akan terjadi regresi tanpa ujung. Suatu saat, kebenaran-kebenaran primer yang akan menjadi landasan atau premis dalam prosedur berpikir logis pasti dibutuhkan. Demikian pula pengetahuan kita tentang diri kita (“aku”) sendiri. Ketika kita berpikir tentang diri kita, maka pada saat itu pengetahuan tentang diri kita harus sudah ada dalam diri kita terlebih dulu. Tanpa itu lagi-lagi akan terjadi regresi tanpa ujung. Pengetahuan-pengetahuan jenis inilah yang disebut sebagai pengetahuan hudhûrî, yang bersifat langsung dan intuitif.Dengan berbagai sifatnya ini, kiranya aliran Hikmah, bersama aliran ‘irfân yang mendahuluinya, bisa dipromosikan sebagai alternatif—atau perkembangan lebih jauh—dari tasawuf yang terkesan tidak begitu mengapresiasi rasio, kalau tak malah antirasional.
Wallahu'alam
0 komentar:
Posting Komentar