"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Sabtu, 21 Januari 2017

Homofobia meningkat

Sebuah survei baru yang diterbitkan pada hari Minggu (21/10)

mengungkapkan bahwa intoleransi minoritas berkembang, dengan tingkat

tertinggi permusuhan diarahkan pada komunitas gay dan lesbian.

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menemukan dalam jajak pendapatnya,

bahwa 80,6 persen dari populasi sampel keberatan untuk memiliki gay

atau lesbian sebagai tetangga. Angka tersebut melonjak secara

signifikan dari 64,7 persen pada tahun 2005. (Lihat The Jakarta Post,

22 Oktober 2012).



LSI juga menemukan bahwa intoleransi kaum homoseksual lebih tinggi

dari keengganan responden terhadap orang-orang mengikuti agama yang

berbeda, berselisih 15,1 persen. Untuk survei, LSI mewawancarai 1.200

responden antara 1 Oktober dan 8 Oktober. Para responden malah lebih

suka tinggal bersebelahan dengan apa yang mereka anggap sebagai

pengikut aliran sesat seperti Syi'ah dan Ahmadiyah, bukan dengan gay

atau lesbian. Survei menunjukkan bahwa 41,8 persen dan 46,6 persen

dari responden merasa tidak nyaman tinggal di samping pengikut Syiah

atau Ahmadiyah.



"Sebagian besar responden menunjukkan intoleransi [terhadap

kelompok-kelompok minoritas] adalah laki-laki, orang-orang yang

berpenghasilan rendah dan terbatas-pendidikan," kata peneliti LSI

Ardian Sopa saat jumpa pers pada hari Minggu sore.



60 persen responden yang mengaku intoleransi adalah laki-laki. Lebih

dari 67 persen dari mereka adalah berpendidikan atau lulusan SMA yang

terbaik. LSI juga menemukan bahwa 63,4 persen responden yang mengaku

toleran terhadap kelompok minoritas memperoleh pendapatan Rp 2 juta

(US $ 208,49) atau kurang per bulan. Sebelumnya pada bulan Juni 2012

lalu, sebuah survei yang diterbitkan oleh Centre for Strategic and

International Studies (CSIS) menegaskan asumsi luas bahwa intoleransi

agama meningkat di negeri ini. Survei CSIS dilakukan antara 16 Januari

dan 24 Januari tahun ini, menemukan bahwa meskipun 83,4 persen

responden mengatakan bahwa mereka tidak punya masalah dengan tetangga

dari kelompok etnis yang berbeda, tapi 79,3 persen keberatan dengan

pernikahan antar-agama.



Direktur kelompok nirlaba Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar,

mengatakan bahwa survei ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jalan

panjang untuk untuk dapat menerima homoseksualitas. "Ini akan sangat

sulit karena tingkat penerimaan bahkan lebih rendah dari yang

diberikan kepada orang-orang dari berbagai agama atau etnis," katanya.



Novriantoni mengatakan apa yang pemerintah perlu lakukan adalah untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat, karena intoleransi sebagian besar

ditunjukkan oleh warga miskin. "Pemerintah perlu berbuat lebih banyak

untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi. Orang-orang yang menganggur

atau miskin dengan mudah dapat terpancing untuk menyerang kelompok

minoritas, "katanya.



Dihubungi The Jakarta Post secara terpisah, Hartoyo, seorang eksekutif

dari organisasi pemberdayaan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan

transgender) menyalahkan kelompok-kelompok Islam radikal dan media

dalam pertumbuhan homofobia ini. Hartoyo mengatakan bahwa mayoritas

penduduk mengambil ide karena dipromosikan kelompok garis keras Islam,

yang mengutuk homoseksualitas sebagai perbuatan dosa dan produk budaya

Barat. Menurut The Jakarta Post, pada bulan Mei lalu,

kelompok-kelompok Islam radikal membubarkan peluncuran sebuah buku

baru yang diluncurkan oleh aktivis Muslim Kanada Irshad Manji karena

ditakutkan dia akan mempromosikan lesbianisme di negara ini.



Media juga berbagi karena hanya mempromosikan stereotip dan karikatur

dari orang gay. Hartoyo mengatakan. "Beberapa media, terutama portal

berita online dan saluran TV yang mudah diakses oleh orang-orang

cenderung untuk memberikan laporan yang tidak seimbang tentang kami

atau menggambarkan bahwa kita hanya sebagai badut." Dia mengatakan

bahwa dalam jangka panjang, homofobia tumbuh lebih lanjut bisa

memperburuk ketidakadilan terhadap masyarakat. "Lihat saja Dede

Oetomo, seorang sosiolog terkenal dan aktivis hak asasi manusia".

Setelah ia diangkat sebagai calon anggota Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia (Komnas HAM), masyarakat mulai rewel tentang orientasi

seksualnya dan diabaikan prestasi gemilangnya. Jadi, bagaimana mungkin

orang seperti saya bisa menjadi menteri ?"kata Hartoyo. (nh/sumber:The

Jakarta Post/Yps).



--

ttd.





M. Alie Marzen
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive