Bismillahirrahmaanirrahiim
Segala puji hanya milik Allah semesta alam, Dia-lah Yang Maha Esa atas hukum-Nya dan tidak seorang pun berhak menentukan hukum selain-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarganya, para sahabat dan pengikutnya hingga Hari Kiamat.
Allah SWT berfirman,
"Keputusan ini hanyalah kepunyaan Allah" (Yusuf:40)
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki" (Al Maidah:50)
Rasulullah SAW bersabda,
"Seseungguhnya Allah-lah Sang Pemutus itu dan hanya keoada-Nyalah hukum itu dikembalikan" (Hadist Sahih Riwayat Abu Dawud dan An Nasa'iy)
Di antara masalah penting / mendasar yang memerlukan penjelasan para ulama adalah masalah tahkim[1]. Dan para ulama pun telah menjelaskan hal ini secara terinci, akan tetapi kita kurang perhatian terhadap tulisan mereka. Bahkan sebagian diantara kita terkadang merasa cukup dengan komentar si Fulan dan ta'liq si Alan. Padahal tentang tahkim merupakan hal serius yang perlu kejelasan ungkapan dan lontaran, bukan kalimat yang samar atau justru mengaburkan atau menyesatkan.
Adapun orang-orang yang tidak pernah membahas masalah ini: Bisa dia itu tidak mengetahui, maka dia harus belajar lagi, ada yang mengetahui namun tidak pernah menjelaskannya, maka dia itu adalah orang yang menyembunyikan ilmu yang sangat mendesak untuk dijelaskan, ada pula yang beranggapan bahwa jika tidak adanya istihlaal (menghalalkan yang haram) atau juhuud (pengingkaran), maka mereka hanya terkena kufrun duna kufrin. Orang yang beranggapan seperti ini berarti dia itu adalah pengikut faham Murji'ah, meskipun mengklaim paling salaf dan adapula yang bahwa tindakan pengusa itu membuat murtad, namun orang-orang ini justru ikut andil didalamnya, maka nasibnya sama dengan mereka. Hendaklah setiap orang berilmu memilih bagiannya masing-masing dari semua itu.
Al Hukmu (menentukan hukum) merupakan hak khusus Rububiyah Allah SWT[2], sebagaimana doa merupakan hak khusus Uluhiyah-Nya, maka barangsiapa merampas hak-hak khusus itu berarti dia telah menempatkan dirinya sebagai Rabb (Tuhan) selan Allah SWT. Dan pernyataan atau keyakinan atau persetujuan akan bolehnya si fulan atau sekelompok orang membuat hukum adalah termasuk memalingkan hak khusus Allah SWT itu kepada selain-Nya yang berarti pelakunya telah menyekutukan Allah SWT.
Khawarij adalah firqah sesat yang menyimpang karena sikap ifrath (berlebihan). Sedangkan Murji'ah adalah firqah sesat yang menyimpang karena sikap tafrith (meremehkan), bahkan Murji'ah lebih berbahaya dari yang lainnya. Ibrahim An Nakha'iy rahimahullah berkata,
"Sungguh Fitnah mereka – maksudnya Murji'ah - lebih ditakutkan atas umat ini daripada fitnah Azariqah"[3][4]
Ini tidak mengherankan karena Murji'ah merupakan pendorong pembabatan dan pelanggaran serta penyepelean akan syariat, Az Zuhriy rahimahullah berkata,
"Di dalam Islam ini tidak pernah didatangkan bid'ah yang lebih berbahaya atas pemeluknya selain irja"[5]
Al Auzai'rahimahullah berkata, Yahya Ibnu Abi Katsir dan Qotadah rahimahullah pernah berkata,
"Tidak ada satupun ahwan (bid'ah) yang lebih mereka khawatirkan atas umat ini daripada irja"[6]
Karena sangat besarnya bahaya mereka, sehingga Syuraik Al Qadliy rahimahullah berkata,
"Mereka itu (Murji'ah) adalah kaum yang paling busuk, cukuplah kebusukan Rafidhah bagimu, namun Murji'ah ini berdusta atas nama Allah"[7]
Namun, Allah memberi petunjuk terhadap Ahlus Sunnah kepada jalan yang lurus. Mengenai al hukmu adalah termasuk ke dalam kancah perang permikiran dan perkataan antara kedua kelompom sesat itu dengan Ahlus Sunnah. Kedua kelompok tersebut, sudah tentu tidak akan mengakui diri mereka termasuk kelompok bid'ah/ sesat (menyimpang), bahkan mereka merasa memerangi kelompok bid'ah dan mengaku berada di atas sunnah. Sehingga orang Murji'ah pada masa sekarang mengaku dirinya yang paling sesuai sunnah dan orang yang bertentangan dengan mereka di dalam masalah tahkim ini, mereka vonis sebagai Khawarij atau Takfiriy. Padahal orang yang mereka vonis Khawarij dan Tafiriy itu adalah Ahlus Sunnah.
Oleh karena itu, mengenai tahkim ini perlu diketengahkan karena sangat penting, yakni:
- Bila suatu negara menegakkan hukum Islam secara keseluruhan tanpa kecuali dan diperintah oleh orang-orang muslim serta kebijakan ada di tangan mereka, maka negara tersebut adalah negara Islam, meskipun mayoritas penduduknya kafir[8]. Dan bila pemerintahnya itu adalah pemerintah muslim yang adil.
- Bila syari'at Islam masih menjadi acuan dan landasan hukum negara secara utuh, namun dia (hakim) menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam (qadliyyah mu'ayyanah) kasus tertentu, sedangkan hukum syariat masih menjadi landasan dan hukum negeri itu dan dia juga mengetahui bahwa dirinya menyimpang dan berdosa karena penyimpangan ini serta dia masih meyakini hukum Islam itu yang paling sempurna, maka dia itu adalah muslim yang dhalim atau muslim yang fasiq atau kufrun duna kufrin menurut Ahlus Sunnah, sedangkan menurut firqah Khawarij, hakim / pemerintah itu adalah kafir.[9] Namun, apabila di dalam kasus tertentu di atas, si hakim meyakini bahwa hukum itu lebih baik dari hukum Allah atau menganggap halal berhukum dengannya, maka dia itu kafir menurut Ahlus Sunnah dan Murji'ah sekalipun, demikian halnya menurut Khawarij.
- Bila suatu negara membabat hukum Islam dan menyingkirkannya, kemudian mereka menerapkan (qawaniin wadl'iyyah / undang-undang buatan manusia), baik dari mereka itu sendiri atau mengambil dari hukum-hukum orang lain, baik dari Belanda, Amerika, Portugal, Inggris atau yang lainnya, maka pemerintahan itu adalah pemerintahan kafir dan negaranya adalah negara kafir,[10] meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin.[11] [12] Shalat, shaum, zakat, haji dan ibadah dhahir lainnya yang masih dilakukan oleh para penguasa tersebut ataupun nama Islam yang mereka sandang itu tidak ada manfaatnya, jika mereka tetap bersikukuh di atas prinsip itu, sebab mereka telah kafir lagi murtad[13] dan negaranya adalah negara kafir. Syaikh Abdul Aziz Aziz Bin Baz rahimahullah mengatakan,
"Setiap negara yang tidak berhukum dengan syari'at Allah dan tidak tunduk kepada hukum Allah serta tidak ridla dengannya, maka itu adalah negara jahiliyah, kafirah, dhalimah, fasiqah dengan penegasan ayat-ayat muhkamat ini. Wajib atas pemeluk Islam untuk membenci dan memusuhinya karena Allah dan haram atas mereka mencintainnya dan loyal kepadanya sampai beriman kepada Allah saja dan menjadikan syari'atnya sebagai rujukan hukum dan ridla dengannya."[14]
Syaikh Shalih AL Fauzan hafidhahullah berkata,
"Yang dimaksud dengan negeri-negeri Islam adalah negeri yang dipimpin oleh pemerintahan yang menerapkan syari'at Islamiyah, bukan negeri yang di dalamnya banyak kaum muslimin dan dipimpin oleh pemerintahan yang menerapkan bukan syari'at Islamiyah. (Kalau demikian), negeri seperti ini bukanlah negeri Islamiyyah."[15]
Hal serupa dikatakan oleh Syaikh Muhammas Rasyid Ridla rahimahullah bahwa negeri seperti itu bukanlah negeri Islam.[16] Para ulama yang tergabung di dalam Al Lajnah Ad Daimah ketika di tanya tentang negara yang di huni banyak kaum muslimin dan pemeluk agama lain dan tidak berhukum dengan hukum Islam, mereka mengatakan, kaum muslimin dan pemeluk agama lain dan tidak berhukum dengan hukum Islam, mereka mengatakan,
"Bila pemerintahan itu berhukum denga selain apa yang diturunkan Allah, maka pemerintahan itu bukan Islamiyyah."[17]
Bahkan pemerintah atau hukum itu adalah hukum Thagut. Syaikh Shalih AL Fauzan berkata,
"Dan apa yang tidak disyari'atkan Allah dan Rasul-Nya di dalam masalah politik dan hukum di antara manusia, maka itu adalah hukum thagut dan hukum jahiliyah. "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik dibanding (hukum) Allah bagi orang-orang yakin."[18] [19]
Pernyataan ini adalah perkataan Ahlus Sunnah. Mereka memvonis para penguasa yang menerapkan undang-undang (qawaaniin wadl'iyyah) bukan Islam, sebagai orang-orang kuffar murtaddin, meskipun mereka itu masih melaksanakan shalat, shaum, haji dan lain-lain serta masih meyakini bahwa dirinya muslim. Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy rahimahullah berkata,
"Siapa yang menjadikan perkataan orang-orang barat sebagai undang-undang yang dijadikan rujukan hukum di dalam masalah darah, kemaluan dan harta dan dia mendahulukannya terhadap apa yang sudah diketahui dan jelas baginya dari apa yang terdapat di dalam Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya SWT, maka dia itu tanpa diragukan lagi adalah kafir murtad bila terus bersikeras diatasnya dan tidak kembali berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah dan tidak bermanfaat baginya nama apa pun yang dengannya dia menamai dirinya (klaim muslim) dan (tidak bermanfaat juga baginya) amalan apa saja dari amalan-amalan dhahir, baik shalat, shaum, haji dan yang lainnya."[20]
Bahkan vonis kafir murtad berlaku bagi hakim (pemerintah) yang menerapkan mayoritas hukum Islam, namun di dalam masalah tertentu (umpamanya di dalam masalah zina) dibuat undang-undang buatan yang bertentangan dengan hukum Islam, sehingga setiap berzina tidak dikenakan hukum Islam, tetapi terkena undang-undang itu, maka sesuai aqidah Ahlus Sunnah, si hakim itu adalah kafir murtad juga, bahkan meslipun si halim (pemerintahan) tersebut mengatakan bahwa hukum Islam yang palin adil dan kami salah."[21]
Syaikh Muhamamd Ibnu Ibrahim Al Asy Syaikh berkata,
"Adapun hukum yang dijadikan undang-undang dengan begitu tertib dan rapi, maka itu adalah kekufuran, meskipun mereka mengatakan, " Kami mengaku salah dan hukum syari'at itu lebih adil."[22]
Camkanlah! Ini adalah yang disebut dengan talaazum (kaitan) dhahir dengan bathin menurut Ahlus Sunnah, berbeda dengan Murji'ah.
Ini disebabkan karena berhukum dengan apa yang diturunkan Allah merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari Islam denga sendirinya (al kufru bi 'ainihi) bahkan merupakan bentuk loya (wala) terbesar kepada orang-orang kafir, sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syaikh Abdurrahman Nashir Al Barrak hafidahullah.[23] Sehingga penyataan dia (hakim/pemerintah), "Kami tahu ini salah, ini sesat sedangkan Islam yang adil," tidak ada artinya, layaknya orang yang sujud, namun dia tetap melakukannya, maka orang seperti ini adalah kafir. Oleh sebab itu Syaikh Ibnu Ibrahim Al Asy Syaikh rahimahullah berkata lagi,
"Seandainya orang yang menjadikan undang-undang sebagai acuan hukum mengatakan, "Saya meyakini sesungguhnya ini adalah bathil", maka (perkataan) ini tidak ada pengaruhnya, bahkan tindakannya itu tetap merupakan pembabatan terhadap syari'at, sebagaimana halnya bila seseorang berkata, " Saya menyembah berhala dan saya meyakini bahwa ini adalah bathil."[24]
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata:
Orang (penguasa) yang berpaling dari syari'at Allah dan justru dia membuat hukum (undang-undang) sendiri atau mengambil dari hukum orang-orang kafir, sudah dipastikan dia itu berkeyakinan bahwa undang-undang buatan itu lebih layak dan lebih bermanfaat dibanding hukum Allah SWT. Karena orang tidak mungkin berpaling kepada sesuatu kepada yang lainny, kecuali dia itu berkeyakinan bahwa itu lebih baik. Syaikh Muhammad Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah berkata tentang macam-macam orang yang berhukum dengan selain hukum Allah SWT, yakni:
"Siapa saja orang yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah karena menyepelekannya atau menganggapnya hina atau karena dia berkeyakinan bahwa hukum yang lain lebih mashlahat darinya dan lebih manfaat bagi mahluk, maka orang itu adalah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari agama ini, dan diantara mereka itu adalah orang-orang yang meletakkan bagi manusia hukum-hukum (tasyri'at) yang bertentangan dengan syari'at Islamiyyah, kecuali karena mereka itu meyakini bahwa tasyri'at yang bertentangan dengan syari'at Islamiyyah, kecuali karena mereka itu meyakini bahwa tasyri'at buatan tersebut lebih mashlahat dan lebih manfaat bagi makhluk, sebab sudah termasuk sesuatu yang diketahui secara spontan oleh akal pikiran dan tabi'at fithrah bahwa manusia itu tidak berpaling dari satu jalan (minhaaj) kepada mainhaaj yang bertentangan dengannya, kecuali dia otu meyakini keutamaan minhaaj yang dia tuju dan (meyakini) kekurangan minhaaj yang dia berpaling darinya (ditinggalkan)." [25]
Beliau jelaskan bahwa seseorang yang berpaling dari hukum Allah SWT dan justru membuat hukum (undang-undang) sendiri atau mengambil hukum dari yang lain. Hal ini berarti dengan spontan orang itu berkeyakinan bahwa undang-undang buatan itu lebih baik, meskipun dia mengingkari dengan lisannya. Namun lisanul haal (perbuatan) menunjukkan sebaliknya. Inilah yang dinamakan di dalam manhaj Ahlus Sunnah dengan istilah At Talaazun Bainadhdhahir wal Bathin (kaitan antara dhahir dan bathin),[26] (dan hal ini) berbeda dengan Murji'ah. Beliau juga mengatakan ketika menjelaskan bahwa ada perbedaan antara qadliyyah mu'ayyanah (kasus tertentu) yang (hal itu menuntut) keharusan untuk dilihat keyakinan hati (sehingga ada kafir mukhrij minal millah dan kafir kufrun duna kufrin) dengan tasyri'aam (yang sifatnya undang-undang) yang (hal itu menuntut untuk) tidak melihat keyakinan hatinya, namun hal itu adalah (kafir muthlaq), ini juga talaazum, beliau berkata:
"Ya, di sana ada perbedaan, karena sesungguhnya masalah-masalah yang sifatnya berupa tasyri'aam (undang-undang) tidak berlaku di dalamnya rincian tadi, namun itu termasuk di dalam bagian pertama saja[27], karena si pembuat syari'at (hukum) yang bertentangan dengan Islam ini, bahwa dia membuat hukum ini karena berdasarkan keyakinan bahwa itu lebih baik daripada Islam dan lebih manfaat bagi hamba-hamba Allah, sebagaimana yang telah diisyaratkan terhadapnya."[28] [29]
Kalau suah berupa undang-undang, maka masalahnya sangat jelas, sejelas matahari di siang bolong. Semua orang bisa melihatnya, kecuali orang buta dan kelelawar.
Syaikh Ahmad Syakir rajimahullah berkata,
"Sesungguhnya vonis bagi undang-undang buatan manusia (qawaaniin wadl'iyyah) ini adalah sangat jelas seterang matahari, yaitu kufrun bawwah (kekafiran yang membuat pelakunya murtad dengan jelas), tidak ada kesamaran, tidak perlu debat dan tidak ada alasan (udzur) bagi orang yang menisbatkan dirinya ke dalam Islam siapa pun orangnya, yang mengamalkannya, tunduk kepadanya atau mengakuinya. Hendaklah setiap orang hati-hati akan dirinya, karena setiap orang bertanggungjawab atas dirinya."[30]
Perkataan yang sangat jelas yang bersumber dari ulama Ahlus Sunnah, setiap orang bisa dengan mudah memahaminya. Karena itu, hendaklah orang yang menta'liq perkataan beliau ini khawatir akan dirinya dan para pengikutnya.
Syiakh Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz rahimahullah berkata,
"Tidak ada iman bagi orang yang:
- Meyakini bahwa hukum-hukum manusia dan pendapat-pendapatnya lebih baik dibanding hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.
- Atau (meyakini) bahwa hukum-hukum itu menyamainya dan sejajar dengannya.
- Atau meninggalkan (hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya) dan justru dia menempatkan hukum-hukum buatan dan oeraturan-peraturan manusia di tempatnya, meskipun dia meyakini bahwa hukum-hukum Allah lebih baik, lebih sempurna dan lebih adil."[31]
Ini semua adalah ijma' para ulama dan siapa yang tidak seperti itu, maka dia itu bukan Ahlus Sunnah, meskipun mereka paling mengklaim akan nama ini dan hendaklah mereka bertaubat. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
"Siapa yang meninggalkan syari'at yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah khatamul Anbiyaa dan justru dia berhukum (merujuk) kepada selainnya berupa syari'at-syari'at yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia itu kafir. Maka apa gerangan dengan orang-orang yang bertahakum kepada Ilyaasaa[32] dan mendahulukannya atas (syari'at Rasulullah). Siapa yang melakukan hal itu maka dia itu kafir berdasar ijma kaum muslimin." [33] [34]
Bila ada orang yang masih memakai hukum Allah SWT yang sudah dihapus saja divonis murtad, lalu apa gerangan dengan yang membuat hukum sendiri? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa bila satu kaum, satu kelompok, satu negara (pemerintahan) yang orang-orangnya mengaku muslim dan mereka itu melaksanakan sebagia syari'at Islam dan bahkan mengakui seluruh syari'at Islam, namun mereka menolak[35] melaksanakan salah satu kewajiban yang jelas atau menolak meninggalkan salah satu yang diharamkan dengan jelas, maka kelompok yang menolak tersebut wajib diperangi oleh Imam kaum muslimin sampai tunduk kepada aturan secara keseluruhan. Di dalam masalah ini, tidak ada perbedaan pendapat diantara Ahlus Sunnah, dengan dalil bahwa para shahabat semua ijma'[36] untuk memerangi kaum yang menolak membayar zakat dan oara sahabat radhiallahu anhuma tidak pernah bertanya apakah mereka mengingkari kewajibannya atau tidak. Dan justru mereka menggolongkan kaum yang menolak membayar zakat itu sebagai kaum murtaddun. Hal ini dikarenakan mereka (yaitu orang-orang yang menolak membayar zakat) tidak melakukans hal itu, kecuali setelah ada kesepakatan sebelumnya diantara mereka, sehingga para ulama muhaqqiqin menyatakan bahwa mereka bukan orang-orang Islam. Masalahnya menjadi berbeda bila sifatnya individu, maka ini tidak dianggap murtad selama dia meyakini wajibnya zakat.[37] Maka apa gerangan dengan pemerintahan yang menolak banyak syari'at Islam dan membuat undang-undang di luar Islam, seperti negeri-negeri yang banyak dihuni kaum mayoritas kaum muslimin ini?
Al Imam Ishaq Ibnu Rahwiyah rahimahullah,
"Kaum muslimin telah berijma' bahwa siapa saja yang mencaci Allah atau Rasul-Nya, atau menolak sesuatu yang telah diturunkan Allah, maka sesungguhnya dia itu adalah kafir dengan hal itu meskipun dia itu mengakui semua yang telah diturunkan Allah."[38]
Al Imam Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahimahullah berkata :
"Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawaaniin wadl'iyyah (undang-undang buatan) yang disyari'atkan oleh syetan lewat lisan-lisan wali-walinya yang bertentangan dengan apa yang telah disyari'atkan Allah SWT lisan-lisan para Rasul-Nya – semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka – sesungguhnya tidak ada yang meragukan akan kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang bashirahnya telah dihapus oleh Allah dan dia itu dibutakan dari cahaya wahyu-Nya seperti mereka."[39]
Inilah keyakinan Ahlus Sunnah di dalam masalah ini yang sangat jelas, sejelas matahari di siang bolong."[40]
2. Dan diantara mereka ada yang tidak cukup dengan menolak saja, sehingga dia menolaknya dengan perkataan dan perbuatan. Dia berdakwah dan berjuang serta mengorbankan jiwanya demi menolong kebenaran dan para pengikutnya, dan demi menerapkan syariat Allah di bumi ini.
3. Diantara mereka – dan dia adalah seburuk-buruk manusia – ada yorang yang menerima apa yang dibawa oleh para pengubah dan pengganti (syariat Allah), mereka pun menerimanya, mengikuti dan membantu mereka, apa yang dihalalkan mereka, mereka pun menghalalkannya dan apa yang diharamkan oleh para pengganti (hukum Allah) tersebut mereka pun mengharamkannya. Mereka ini adalah orang-orang yang menyekutukan Allah di dalam ketaatan atau ketundukan atau pensyariatan walaupun mereka itu berpuasa, melakukan shalat, dan mengklaim diri mereka muslim. Dan kemusyrikan ini termasuk syirik akbar – kita memohon perlindungan kepada Allah darinya -, dan telah ada pada nash-nash syariat penjelasan bahwa menerima hukum yang bertentangan dengan hukum Allah merupakan penyekutuan terhadap Allah Yang Maha Agung.
Diantaranya adalah firman Allah SWT:
"Sesungguhnya syaitan itu membisikan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kami tentulah menjadi orang-orang yang musyrik." (Qs: Al-An'aam:121)
Telah diterangkan di dalam penafsiran ayat ini bahwa wali-wali syaitan mendebat kaum muslimin di dalam penghalalan (mereka) terhadap bangkai, mereka berkata kepada kaum muslimin sebagai pengingkaran terhadap mereka: "Apa yang kalian sembelih sndiri kalian halalkan, dan sembelihan Allah (yakni bangkai) kalian haramkan? Maka Allah SWt berfirman kepada mereka:
"Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyik." (Qs: Al-An'aam:121)
Maka seandainya kaum muslimin mentaati mereka di dalam penghalalan apa yang diharamkan Allah, mereka menjadi orang-orang musyrik.
Dan diantaranya lagi adalah firman Allah SWT:
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." (Qs. At-Taubah:31)
Tafsir ayat ini telah ada dalam hadist yang diriwayatkan oleh 'Adi Ibnu Hatim yang akan diterangkan nanti, didalamnya diterangkan bahwa mereka mengikuti (para pendeta mereka) di dalam pensyariatan yang bertentangan dengan syariat Allah, maka Allah menghukumi mereka dengan status musyrik.
Dan kedua ayat ini sering dipadukan oleh para ahli tafsir, maka ketika seorang mufassir menafsirkan salah satu darinya, maka ia memadukannya dengan ayat yang satunya lagi karena kesamaan makna.
Ibnu Katsir didalam menafsirkan firman-Nya.
"Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik." (Qs: Al-An'aam:121)
"Dikarenakan kalian berpaling dari perintah Allah dan syari'at-Nya kepada selain-Nya sehingga kalian mengutamakan perkataan itu atas syari'at-Nya, maka ini adalah perbuatan syirik (besar).
Seperti firman-Nya Azza wal jalla :
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." (Qs At-Taubah:31)
At-Tirmidzi meriwayatkan di dalam tafsirnya dari 'Adiy bin Hatim, bahwasannya dia berkata:
"Wahai Rasulullah, mereka tidak menyembah para pendeta-pendeta mereka." Maka Rasulullah bersabda: "Ya (mereka itu menyembahnya), sesungguhnya mereka menghalalkan bagi mereka apa yang haram, dan mengharamkan atas mereka apa yang halal dan mereka pun mengikutinya maka itulah bentuk ibadah mereka kepada para pendeta mereka." (Tafsir Ibnu Katsir, 2 171)
Dan telah kami nukilkan tadi dari perkataan Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy : "Dan dari ayat-ayat ini dipahami sebagaimana firman-Nya.
"Dan tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan." (Qs Al-Kafhi:26)
Bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pembuat syariat selain yang disyariatkan oleh Allah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang musyrikin terhadap Allah." Sampai beliau berkata :
Dengan nash-nash samawi yang telah kami sebutkan ini jelaslah dengan sejelas jelasnya :
" Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawaaniin wadl'iyyah (undang-undang buatan) yang disyariatkan oleh syetan lewat lisan-lisan wali-walinya yang bertentangan dengan apa yang telah disyariatkan Allah SWT lewat lisan para Rasul-Nya – semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka – sesungguhnya tidak ada yang meragukan akan kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang-orang yang bashirahnya telah dihapus oleh Allah dan dia dibutakan dari cahaya wahyu-Nya seperti mereka." (Saya mendapatkan risalah yang bagus sekali, milik Syaikh Abdurrahman Ibni Abdul 'Aziz As-Sudais, dengan judul "Al-Haakimiyah" yang terkumpul didalamnya perkataan-perkataan Al-Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqity tentang masalah ini)
Disebutkan didalam fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al' Ilmiyyah Wal Ifta :
Soal: "Apakah perbedaan antara syirik akbar dengan syirik asghar dari segi pengertian dan hukum-hukumnya?"
Jawab: "Syirik akbar adalah manusia menjadikan tandingan bagi Allah, baik dalam Asma dan Sifat-Nya atau ia menjadikan tandingan bagi-Nya didalam ibadah ataupun ia menjadikan tandingan bagi Allah di dalam tasyri' (pensyariatan/penetapan hukum) yakni menjadikan seseorang sebagai pembuat syariat baginya selain Allah atau (menjadikan sebagai) sekutu bagi Allah di dalam pensyariatan, ia ridha dengan hukumnya dan ia berpegang kepadanya didalam penghalalan dan pengharaman, dalam rangka ibadah, taqarrub, pengadilan, dan penyelesainnya dalam perselisihan, atau ia menganggapnya halal (berhukum dengannya) walaupun ia tidak memandangnya sebagai agama. Dan di dalam hal ini, Allah SWT berfirman tentang orang-orang Yahudi dan Nashrani :
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka menuhankan) Al Masih putra Maryam; Padahal mereka hanya disuruh menyembah illah yang Maha Esa; Tidak ada Illah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (Qs: At-Taubah:31)
Dan yang semisal dengan ini dari ayat-ayat dan hadist-hadist yang menerangkan tentang ridha dengan hukum selain hukum Allah atau menolak untuk berhukum kepada hukum-Nya dan menyimpang dari-Nya, maka ketiga bentuk syirik ini adalah syirik akbar yang melakukannya atau yang meyakininya keluar dari agama Islam.
Dan termasuk dari bentuk-bentuk kemusyrikan modern di dalam ketaatan, ketundukan, atau pensyariatan yang tidak dipahami oleh kebanyakana manusia, adalah apa yang dinamakan pada zaman sekarang ini dengan demokrasi atau sistem demokrasi.
4. Diantara mereka ada yang keyakinannya masih benar tentang syariat Allah dan Rasul-Nya, yang halal menurut dia adalah apa yang dihalalkan oleh syariat dan yang haram menurut dia adalah apa yang diharamkan oleh syariat, akan tetapi dia mentaati orang-orang yang mengganti dan merubah (hukum Allah) bahwa itu merupakan perbuatan maksiat, maka bagi mereka dikenakan status hukum orang-orang yang semisal mereka dari kalangan ahli dzunub (pelaku dosa), akan tetapi mereka ditakutkan – dengan bergulirnya masa – hali itu menggiring mereka kepada perubahan dari lingkungan Islam kepada lingkungan kekufuran, Wal'iyadzubillah.
Dan dari sini jelaslah bagi kita bahwa pembicaraan tentang berhukum dengan selain apa yang diturunkan olehALlah SWT, menjelaskan tentang dua kelompok manusia
1. Kelompok para penguasa/para hakim atau para pembuat syari'at/hukum/1. Kelompok para penguasa/para hakim atau para pembuat syari'at / hukum / perundang-undangan dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah Azza wa jalla.
2. Kelompok orang-orang yang menerima dan mengikuti hukum yang bertentangan )dengan hukum Allah) atau (menerima) syariat pengganti, dan ini menunjukkan bahwasannya wajib bagi rakyat untuk menolak apa yang ditetapkan oleh para pembuat syariat yang bertentangan dengan hukum-hukum syariat Allah SWT mengingkarinya, dan tidak menerimanya, atau (wajib untuk) tidak tunduk kepadanya. Masing-masing sesuai dengan kemmapuan dan kekuatannya, itu dikarenakan menerima hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, ridha dengannya, mengikutinya dan tidak mengingkarinya, menyebabkan dia keluar dari agama islam, Na'udzubillahi Min Dzalik. (Dari kitab Innallah Huwal hakam, Muhammad Syaki Asy-Syarif, Hal. 120-126, Daarul Wathan Linassyr, cet. 1/1413 H)
Namun menurut Murji'ah atau orang-orang yang terpengaruh olehnya bahwa pemerintahan semacam itu adalah terkena hukum kufrun duna kufrin, selama masih meyakini Islam adalah yang paling benar dan tidak menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah SWt atau tidak mengingkari hukum-Nya. Orang –orang Murji'ah sekarang ini dengan mengklaim dirinya paling sesuai sunnah, mereka mengomentari perkataan para ulama Sunnag yang sudah jelas-jelas memvonis kafir para penguasa yang membabat syari'at Islam. Mereka mengomentarinya, menta'liqnya, menafsirkannya sesuai hawa nafsu mereka, kemudian setelah itu mengatakan dan meneriakkan, " Ini (maksudnya penafsiran mereka atas perkataan para imam) adalah mahdzab salaf", terus mereka menghukumi orang yang berseberangan dengan mereka sebagai orang-orang Khawarij dan Takfiriy. Pengikut paham ini pun semakin merebak dan meluas tanpa mereka sadari. Hal ini dikarenakan para pengekor itu, telah terkena penyakit orang awam yaitu mengangkat sosok seseorang sebagai acuan di dalam segala hal, selain Rasulullah SAW. Mereka menganggap bahwa si Fulan itu mana mungkin sesat. Dan yang lebih mengenaskan lagi dan sangat memalukan serta mengerikan, mereka meyakini tidak fair dan tidak murtadnya para penguasa yang membabat syari'at. Keyakinan seperti itu mereka nisbatkan kepada Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz As'Saduusiy, sebab keduanya mengatakan kufrun duna kufrin. Perumpamaan mereka ini tak jauh dengan tokoh paling terdepan di dalam Islam liberal yang pernah mengatakan bahwa orang Yahudi dan Nashrani yang sekarang juga mungkin masuk surga dengan berdalih dengan berdalih dengan surat Al Baqarah ayat 62. sepintas seolah betul, kalau tidak dikembalikan kepada sebab nuzulnya. Padahal ayat ini sedang berkenaan dengan status orang-orang Yahudi dan Nashrani sebelum datang Islam. Jadi, perkataan kurun duna kufrin kalau tidak dikembalikan kepada wurudnya, tentu hasilnya seperti itu.[41] Padahal perkataan ini diucapkan oleh Ibnu Abbas[42] di kala datang khawarij yang mengkafirkan penguasa Daulah Bani Umayyah. Ibnu Abbas mengetahui permasalahan dan situasi yang ada di mana Bani Umayyah teteap menerapkan syari'at Islam dan mereka tetap berjihad untuk menegakkan kalimat Allah Swt. Namun sebagian mereka bertindak dhalim / menyimpang di dalam kasus tertentu dari hukum semestinya. Sedangakan di dalam kamus orang Khawarij, bahwa penguasa yang dhalim / menyimpang adalah kafir. Oleh karena itu, Ibnu Abbas mengatakan pernyataan seperti itu (kufrun duna kufrin). Begitu juga Abu Mijaz. Jadi masalahn ya bukanlah atsar ini shahih, tetapi penempatan pernyataan ini tepat atau tidak? Dan sebenarnya perkataan mereka (Murjiah) ini tidak aneh bagi orang yang mengetahui manhaj mereka, karena di dalam kamus mereka, tidak ada yang namanya kufur akbar yang bersumber dari amal atau meninggalkan. Mereka hanya kembali kepada masalah juhuud (pengingkaran) dan istihlaal (menghalalkan yang haram). Di dalam kamus mereka juga, tidak ada yang namanya talaazum antara dhahir dengan bathin, sehingga menurut orang Murji'ah, bila orang yang meyakini tauhid dengan hatinya dan mengucapkannya dengan lisan, meskipun meninggalkan seluruh syari'at dan melaksanakan seluruh keharaman, maka orang itu tetap mukmin, sempurna imannya menurut Murji'ah dahulu (karena mereka mengeluarkan amal dari definisi iman) dan disebut mu'min yang kurang imannya menurut Murji'ah sekarang yaitu Murji'ah fuqahaa (karena mereka memasukkan amal di dalam definisi iman[43]), namun di dalam realita penjelasan dan penjabarannya, mereka mengatakan bahwa amal itu adalah syarat kesempurnaan iman. Sehingga orang yang jahil terpedaya dengan definisi itu dan membelanya secara membabi buta. Padahal kalau kenyataannya seperti itu, mana ada syarat kesempurnaan dimasukkan ke dalam definisi!! Sungguh orang Murji'ah dahulu lebih pandai didalam definisi dan komitmen dengannya. Lain halnya dengan Murjiah sekarang yang tidak karuan, tetapi hal ini tidak heran, karena kalau menyelisihi Ahlus Sunnah secara frontal di dalam definisi, tentu terlalu ketahuan dan tidak bisa mengaku bahwa dirinya pengikut sunnah. Karena itu, mereka lakukan secara talbis.[44]
Selakyaknya, janganlah anda terkecoh dengan penampilan luar mereka yang intisab kepada sunnah atau salaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
"Dan banyak dari kalangan mutaakhkhirin, tidak (bisu) membedakan antara perkataan-perkataan salaf dengan perkataan Murji'ah dan Jahmiyyah, karena berbaurnya (perkataan) ini dengan yang itu di dalam kebanyakan perkataan mereka, dari kalangan orang-orang yang di bathinnya berpendapat seperti perndapat Jahmiyyah dan Murji'ah di dalam masalah iman. Sedangkan dia itu mengagungkan salaf dan Ashabul Hadist, sehingga dia mengira bahwa dia mampu menggabungkan antara keduanya atau menggabungkan antara perkataan orang-orang yang seperti dia dengan perkataan salaf"[45]
Jadi tidak heran kalau mereka mengatakan bahwa para penguasa yang membabat syari'at Islam dan membuat undang-undang yang bertentangan dengan Islam itu, tidak kafir selama tidak juhuud dan istihlal. Padahal orang yang hanya yakin tentang tauhid dengan hati dan mengucapkan dengan lisan saja, tanpa mengamalkan sedikit pun syari'at Islam, sedang dia memungkinkan untuk melakukannya,[46] maka dia itu adalah murtad menurut ijma' Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Al Imam Muhammad Ibnu Idris Asy Syafi'iy rahumahullah berkata,
"Adalah Ijma dari para sahabat dan para tabi'in sesudahnya serta orang-orang yang kami dapatkan, semua mengatakan, "Iman itu adalah ucapan, amal, dan niat, salah satu dari yang tiga itu tidak mencukupi (syah), kecuali dengan yang lainnya"[47]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata,
"Hanbal berkata, " Al Humaidiy telah memberitahu kami, beliau berkata, "Dan saya diberitahu bahwa ada segolongan orang mengatakan, "Siapa yang mengakui shalat, zakat, shaum, dan haji, dan dia tidak melakukan sedikit pun dari amalan-amalan itu hingga mati, dan dia itu shalat dengan membelakangi kiblat hingga mati, maka dia itu adalah orang mukmin selama dia tidak mengingkari (itu). Bila dia mengetahui bahwa meskipun meninggalkan itu semua dia tetap memiliki iman apabila dia mengakui akan hal-hal yang difardlukan dan (mengakui harusnya) menghadap kiblat. "Maka saya berkata, "Ini adalah kekafiran yang sangat jelas dan meyalahi Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya serta ulama kaum muslimin, Allah SWT berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus." Dan Hanbal berkata, "Saya mendengar Abu Abdillah Ahmad Ibnu Hanbal berkata, "Siapa saja yang mengatakan hal ini, maka dia telah kafir kepada Allah dan menolak perintah-Nya dan menolak apa yang dibawa oleh Rasul dari Allah."[48]
Hendaklah takut orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan seluruh syari'at Islam itu adalah tidak kafir, bila dia bertauhid yang murni. Lantas apa ada tauhid dari orang semacam itu, lihat hukum sesat dari para ulama atas orang yang berpendapat seperti itu.
Al Imam Muhammad Ubnu Nashr Al Marwaziy rahimahullah berkata,
"Siapa saja yang pada dhahirnya adalah (melakukan) amalan-amalan Islam dan (amalan-amalan) itu tidak kembali kepada keyakinan iman terhadap yang ghaib, maka dia itu adalah munafiq dengan kemunafikan yang mengeluarkan dari agama ini. Dan siapa saja yang tali keyakinannya itu adalah iman kepada yang ghaib, sedang dia sama saja tidak mengamalkan hukum-hukum keimanan dan syari'at-syari'ay Islam, maka dia itu adalah kafir dengan kekafiran yang tidak ada tauhid bersamanya."[49]
Al Imam Al Aaajurij rahimahullah berkata,
"Amal-amal jawaarih (amalan-amalan dhahir) merupakan tashdiq (pembenaran) dari keimanan dengan hati dan lisan. Siapa sja yang tidak membenarkan keimanan itu dengan amalannya, seperti thaharah, shalat, zakat, shaum, haji, jihad dan yang lainnya, dan dia justru ridla bagi dirinya dengan hanya ma'rifah dan ucapan tanpa adanya amalan, maka dia itu tidaklah beriman, dan ma'rofah berikut ucapannya itu tidak bermanfaat baginya, serta meninggalkan (seluruh) amalannya itu merupakan takdzib (pendustaan) terhadap imannya itu. Jadi amalan sesuai yang kami jelaskan itu adalah tashdiq (pembenaran) atas imannya, camkanlah ini. Ini adalah madzhab ulama-ulama kaum muslimin baik dahulu maupun sekarang. Siapa saja yang mengatakan selain itu, maka dia itu adalah orang Mur'jiah yang busuk. Jagalah agamamu darinya dan dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah SWT, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya di dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus."[50] [51]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang hanya mencukupkan dengan keyakinan dan mengucapkan dua kalimah syahadat, namun dia meninggalkan seluruh amalan adalah orang kafir, beliau berkata,
"Karena sesungguhnya Allah tatkala mengutus Muhammad sebagai Rasul kepada makhluk, maka kewajiban atas makhluk adalah membenarkan apa yang dia beritakan dan menaatinya di dalam apa yang diperintahkannya dan pada saat beliau belum memerintahkan mereka untuk shalat yang lima waktu, shaum ramadlan dan haji ke Baitullah dan beliau tidak mengharamkan khamar, riba dan lain sebagainya atas mereka, serta mayoritas Al Qur'an pun belum turun. Siapa yang membenarkannya saat itu terhadap apa yang turun dari Al Quran serta mengakui apa yang diperintahkan atas mereka berupa dua kalimah syahadat dan hal-hal yang mengikutinya, maka orang itu adalah orang mukmin yang sempurna imannya yang wajib atas dia, dan bila dia itu membawa keimanan semacam iyu (maksudnya iman di hati dan pengakuan dengan lisan) setelah hijrah tentu tidak diterima darinya dan bila dia hanya membatasi diri atas (iman semacam) itu maka dia itu telah kafir."[52] [53]
Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata,
"Tidak ada perbedaan bahwa tauhid itu harus dengan hati, lisan dan amal. Bila salah satu dari yang tiga ini tidak ada, maka orang itu bukanlah orang muslim. Dan bila dia tidak mengetahui tauhid, namun tidak mengamalkannya, maka dia itu adalah kafir mu'aanid (yang membangkang), seperti Fir'aun, Inlis dan sebangsanya."[54]
Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullah berkata,
"Dan bila dia tidak beramal sesuai dengan tuntutan Laa Illaaha Illallah dan justru dia merasa cukup dengan sekedar mengucapkannya atau melakukan hal bertentangan dengannya, maka sesungguhnya dia itu dihukumi murtad dan diperlakukan lauaknya orang-orang murtad."[55]
Dan masih banyak penyataan ulama sunnah yang senada dengan pernyataan-pernyataan itu.
Setelah kita mengetahui status penguasa yang ada pada umumnya, maka bukan maksudnya kita harus langsung khuruj terhadap mereka, karena khuruj, itu ada syaratnya yaitu kemampuan (istitha'ah) dan pertimbangan mashlahat. Tetapi anehnya, orang-orang yang sudah mengetahui quwaniin wadl'iyyah itu adalah kuffar murtaddun, namun mereka justru ikut andil didalamnya dan senang duduk berdampingan dengan mereka dengan dalih ishlah dan perbaikan serta merta mereka meneriakkan demokrasi, sehingga mereka itu dikhawatirkan terjatuh menjadi bagian dari thaghut.
Syaikh Muhammad Abdul Hadiy AL Mishriy berkata, "Dan thaghut macam ini (syirik tha'at dan ittiba) bisa berupa penguasa, hakim, dukun atau bisa juga berupa lembaga tasyri'iyyah (legilslatif), undang-undang, adat kebiasaan, taqaalid (hukum adat), 'urf, Majlis (Dewan) Perwakilan, parlemen, qawaaniin (undang-undang), dasaatsiir (peraturan-peraturan), hawa nafsu, ..."[56]
Apakah mungkin memperjuangkan Islam dengan atau lewat sistem syirik dan kafir. Bukankah Rasulullah SAW adalah tauladan, beliau ditawari untuk menjadi raja[57] oleh orang-orang musyrikun dengan syarat ikut sistem mereka (meninggalkan dakwah tauhid), namun beliau menolaknya. Padahal yang namanya raja, ia memiliki wewenang yang luas. Bisa saja beliau memanfaatkan jabatannya untuk menyebarkan Islam, namun beliau menolak dikarenakan mengetahui bahwa hal itu bertentangan dengan tauhid dan itu adalah pertanda akan kekufuran.[58] Sedangkan ridla akan kekufuran adalah kekufuran. Hendaklah mereka bertaubat kepada Allah SWT dengan cara meninggalkannya dan jauh darinya, karena merasa bersalah didalam perbuatan syirik tidak ada artinya kalau masih melakukannya dan bermukim di dalam kemusyrikan itu. Apa artinya orang yang mengatakan bahwa meminta kepada orang yang sudah mati itu adalah syirik, namun dia ikut melakukannya. Takutlah akan firman Allah SWT tentang orang-orang seperti mereka,
"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu melanggar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya kamu (kalau berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafiq dan orang-orang kafir di dalam Jahannam." (An Nisaa : 140)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan " Karena sesungguhnya kamu (kalau berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka." ,"Sesungguhnya kalian bila melanggar larangan setelah sampai kepada kalian dan kalian ridla duduk bersama mereka di tempat yang di dalamnya ayat-ayat Allah diperolok-olok dan dilecehkan dan kalian mengakuinya atas hal itu, maka berarti kalian telah bertatus sama di dalam apa yang mereka ada di dalamnya."
Terus ketika menafsirkan "Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafiq dan orang-orang kafir di dalam Jahannam." beliau berkata,
"Sebagaimana mereka (orang-orang munafiq) andil bersama mereka (orang-orang kafir) di dalam kekufurannya, maka begitu juga Allah menyamakan mereka semuanya di dalam kekekalan di Jahannam selama-lamanya,"[59]
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata ketika ditanya tentang ayat ini : 'Sesungguhnya makna ayat ini adalah sesuai dhahirnya yaitu bahwa bila seseorang mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, terus dia duduk bersama orang-orang kafir yang memperolok-olok tanpa dipaksa, tanpa pengingkaran, dan tidak meninggalkan mereka sampai mereka memindahkan pembicaraan kepada pembicaraan lain, maka dia itu kafir seperti mereka meskipun tidak melakukan apa yang mereka lakukan, karena itu mengandung kerelaan dengan kekufuran, sedangkan rela dengan kekufuran adalah kekafiran dengan dalil ayat ini dan yang lainnya, (dengan ayat ini) para ulama berdalil bahwa orang yang ridla dengan perbuatan dosa adalah sama dengan pelakunya, kemudian bila dia mengklaim bahwa dia membenci hal itu dengan hatinya, maka itu tidak diterima, karena hukum itu dikenakan atas dhahirnya, sedangkan dia telah menampakkan kekufuran, maka dia menjadi kafir.[60] [61]
Bukankah sistem yang menyerahkan segala hukum dan kepurusan di dalam segala hal kepada rakyat adalah syirik di dalam rububiyah yaitu di dalam hukum-Nya. Bukankah ikut andil di dalam kemusyrikan itu adalah syirik juga, meskipun hati tidak suka akan hal itu. Bukankah sistem demokrasi sekuler dan yang lainnya itu adalah syirik. Syaikh Muhammad Abdul Hadiy Al Mishriy berkata,
"Sesungguhnya Sekuler ringkasnya adalah sistem thaghut, jahily, kafir, bertentangan dan berseberangan dengan syahadat Laa Illaaha Illallah dari dua sisi :
Pertama : Sisi karena berhukum dengan selain apa yang telag diturunkan Allah.
Kedua : Sisi karena syirik dalam ibadah kepada Allah.[62]
Bukankah duduk di sana merupakan duduk di majlis, yakni suati tempat yang Allah SWT dan ayatnya diingkari dan diperolok-olokan, walaa dan baraa itu (tak) diterapkan bila dia masuk kepada sistem syirik. Adakah yang berani di antara orang-orang yang katanya memperjuangkan Islam lewat sistem itu untuk berkata kepada Majlis di depan sidang "Sesungguhnya sistem ini kafir jahiliyyah, kalian semua harus bertaubat kepada Allah SWT dan cepat tegakkan syari'at Islam secara menyeluruh dan bubarkan sitem syirik ini." Katakan kepada kami, bagaimana pendapat anda bila ada penguasa yang berkata kepada anda, "Saya jamin negara ini menerapkan hukum Islam dan saya konsisten dengan janji saya ini, namun dengan syarat anda kafir terlebih dahulu!" Bagaimana sikap anda, seandainya anda orang muslim muwahhid, maka tentu akan menolak tawaran itu, meskipun jaminannya sangat besar. lalu bagaimana dengan orang yang rela masuk kepada sistem syirik / kafir di dalam rangka meraih sesuatu yang tidak mungkin tercapai dan tidak ada jaminan dengan kerelaan hatinya? Bila anda berkilah, "Kalau kami tidak ikut duduk dengan mereka, tentu kursi penuh oleh orang-orang kafir dan umat Islam tidak dapat kursi!" Sungguh mengherankan mengapa umat Islam berselera dengan kursi kekufuran. Apakah anda yakin ketika anda duduk di sana, anda masih bisa berstatus sebagai orang Islam ? Islam tidak mungkin tegak dengan jalan kekufuran dan kemusyrikan. Inagtlah perkataan para ulama tadi, bahwa nama Islam yang dia sandang, shalat, shaum, haji yang dia lakukan, tidak manfaatnya. Ini syarat, bahwa kaum murtaddin itu merasa dirinya masih Islam, sehingga dia masih aktif shalat dan yang lainnya, padahal dia sudah bukam Islam lagi. Namun dia tidak merasa dirinya sudah murtad, sebab kalau merasa dirinya sudah murtad dan dia mengetahui bahwa amalannya tidak ada artinya, tentu dia tidak akan shalat lagi. Oleh sebab itu, Abul Wafaa Ibnu 'Uqail rahimahullah berkata,
"Bila ingin mengetahui posisi Islam di tengah-tengah manusia zaman sekarang ini, janganlah anda melihat pada berjubelnya mereka di pintu-pintu mesjid dan jangan pula melihat gemuruhnya mereka dengan labbaik (ibadah haji), tapi lihatlah pada kebersamaan (keserasian) mereka dengan musuh-musuh syari'at."[63]
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata,
"Berintima (bergabung) dengan aliran-aliran ilhadiyyah seperti Komunisme, Sekularisme, Kapitalisme dan aliran-aliran kekafiran lainnya adalah kemurtadan dari agama Islam, terus bila ternyata orang yang berintima kepada aliran-aliran itu mengaku Islam, maka ini adalah bagian dari kemunafikan akbar."[64]
Masa sekarang ini, orang-orang lebih mengetahui dan lebih hati-hati akan maksiat daripada perbuatan syirik, sehingga bila melihat perbuatan maksiat dilakukan langsung ghirah keIslamannya naik, ini baik, tapi mengapa bila mereka melihat perbuatan syirik dilakukan, tak ada rasa ghirah sedikitpun, bahkan banyak sekali orang yang berteriak-teriak akan penegakkan syari'at, namun justru banyak dari mereka itu bergelimang di dalam kemusyrikan. Tentunya, bila Islam tegak, merekalah yang akan terlebih dahulu terkena hukuman. Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Abdil Wahhab rahimahullah berkata,
"Dan dia antara yang sudah maklum adalah bahwa sesungguhnya orang yang berkasih sayang dengan seseorang, tentu dia ridla dengannya dan bila dia ridla dengannya, tentu dia ridla dengan agamanya, sehingga dia tergolong pemeluk agamanya tanpa dia sadari, karena mayoritas manusia lebih hati-hati akan maksiat dan segala jalan-jalannya, namun tidak hati-hati akan syirik dan jalan-jalannya."[65]
Biarlah tempat kekufuran itu dipenuhi orang-orang kafir asli, agar permusuhan Islam dan kafir tampak jelas, tidak samar, sehingga walaa dan baraa itu bisa ditegakkan dan Islam diperhitungkan. Islam apa yang akan ditegakkan, bila para peneriak suara Islam itu justru orang-orang yang suka meminta ke kuburan, percaya kepada azimat, kultus kepada tokoh, nasionalis, sekuler dan lain sebagainya. Contoh yang jelas adalah pernyataan sebagian orang yang katanya mengaku dirinya muslim, namun mengatakan kepada orang-orang nashrani, bahwa mereka adalah saudara kita atau ucapannya, "Saudara-saudara kita dari agama nashrani," atau ucapannya "Supaya intikhab ini berjalan secara demokratis," Mungkinkah ucapan itu bersumber dari seseorang yang paham akan makna laa illaaha illallah?
Syaikh Muhammad Asy Syakir berkata,
"Dan diantara bentuk syirik modern di dalam tha'at (taat) atau inqiyad (ketundukan) atau tasyri' (pembuatan hukum) yang terkadang banyak manusia tidak begitu peduli (tahu) terhadapnya adalah apa yang dinamakan pada masa sekarang dengan istilah demokrasi atau sistem demokrasi."[66]
Padahal mengetahui dan benci akan syirik, tidaklah berfaidah bila dia bermukim bergandeng tanga didalamnya. Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata,
"Seseorang itu tidak berstatus sebagai muwahhid, kecuali dengan menafikan syirik, berlepas (baraa) darinya dan mengkafirkan orang yang melakukannya."[67]
Pelajarilah makna Laa Illaha Illallah dengan benar, karena itu adalah inti dakwah para Rasul, penuhilah syarat-syaratnya yang tujuh itu, karena tanpa memenuhi syarat yang tujuh itu pengucapan Laa Illaha Illallah itu tidak ada manfaatnya di akhirat. Bila orang yang telah mengucapkan Laa Illaha Illallah terus dia melakukan syirik besar, maka tidak ke luar dari dua keadaan, yaitu bila dia tidak mengetahui bahwa yang dilakukannya itu syirik, berarti sebenarnya dia itu selama ini belum Islam atau dia itu kafir asli.[68] Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata,
"Dan ketidaktahuan akan syirik (menunjukkan) tidak tercapainya sedkitpun dari apa yang dituntut oleh Laa Ilaaha Illallaah. Dan orang yang tidak merealisasikan makna kalimat ini dan kandungannya, maka sama sekali dia itu bukan bagian dari Islam ini,
sehingga mereka itu tidak masuk ke dalam Islam dengan sebab mereka tidak mengetahui akan madlul kalimah itu, sedangkan Syaikh kami tidak sependapat atas hal itu. Mishbahudh Dhalaam Fir Radd 'Alaa Man Kadzaba 'Alaa Asy Syaikh Al Imam 23, dari Dlawabithur Takfir Abdullah Al Qarniy 236.
Syaikh Ali Khudlair mengatakan : Telah ada dari para Aimmah dakwah penentuan status orang yang mati di atas syirik sebelum ada dakwah mereka bahwa hukumnya sama dengan hukum kafir asliy dalam hal harta, warisannya tidak boleh dido'akan, dan yang lainnya. Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata di akhir kitab Kasyfusysyubuhat : Tidak ada perbedaan bahwa tauhid itu harus dengan hati, lisan dan amal, bila salah satunya tidak ada maka dia itu kafir murtad......dan bila dia mengamalkan tauhid secara amal dhahirnya saja sedang dia tidak memahaminya atau dia tidak meyakini dengan hatinya maka dia itu munafiq, dan dia itu lebih jahat daripada kafir murni.
Dan yang benar menurut saya (Al Ali Khudlair) adalah ada rincian :
- Orang yang mati di atas syirik pada zaman-zaman fatrah dan sebelum munculnya dakwah tauhid serta hujjah belum sampai kepadanya, maka ini di perlakukan layaknya kafir asliy, sebagaimana yang difatwakan oleh para Aimmah dakwah tentang orang-orang yang mati sebelum ada dakwah mereka saat mereka ditanya tentang mereka.
- Orang jahil yang melakukan syirik sedang hujjah sudah sampai kepadanya dikarenakan dia hidup di tengah-tengah kaum muslimin, maka ini diberi nama dan hukum murtad sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abdullathif.
- Orang yang beragama syirkiyyah watsaniyyah dan tumbuh di atasnya semenjak kecil seperti Rafidlah Nushairiyyah, Darziyyah, Jahmiyyah murni, maka orang ini Wallahu a'lam dihukumi sebagai kafir asliy bukan murtad. Dan dia berstatus sama dengan orang yang beragama syirkiyyah sedangkan dia itu berintisab kepada agama yang dia kira benar seperti ahli kitab sekarang (kedua orangtuanya menjadikan dia yahudi, atau nasrani, atau musrik). Ini adalah sebagian perkataan Ash Shan'aniy yang lalu dan sebagian perkataan orang-orang yang beliau nukil darinya, yang di mana mereka itu adalah sejumlah ulama sebagaimana yang beliau katakan.
(lihat Juz Fi Ahlil Ahwaa Wal Bida' Wal Muta'awilin 16 )
Karena dia tidak mengucapkan kalimat ini dan kandungannya dari dasar ilmu, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, mahabbah, penerimaan dan ketundukan."[69]
Al Imam Ash Ahan'aniy rahimahullah berkata tentang orang yang melakukan syirik karena kejahilan,
"Bila anda berkata, "Mereka itu tidak mengetahui bahwa mereka itu musyrik dengan apa yang mereka lakukan." Maka saya katakan, "Para Fuqaha telah menetapkan di dalam kitab-kitab fiqh di dalam Bab Riddah (Murtad), bahwa orang yang mengucapkan kalimat kekufuran, maka dia itu kafir, meskipun tidak ada maksud akan maknanya. Dan (yang mereka lakukan) ini menunjukkan, bahwa mereka itu tidak mengetahui hakikat Islam dan makna tauhid, sehingga mereka itu saat itu pula menjadi orang-orang kafir asli"[70]
Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullah berkata,
"Seandainya dia menucapkannya (laa ilaaha illallaah), sedangkan dia tidak mengetahui maknanya, maka itu tidak bermanfaat baginya, karena dia tidak meyakini makna yang dikandungnya"[71]
Kejahilan tidak bisa dijadikan udzur/ alasan di dalam syirik besar.[72] Adapun bila yang melakukan syirik itu mengetahui bahwa itu syirik, tapi dia melakukannya, maka dia itu disebut musyrik kafir murtad mu'anid.
maka dia menjawab "Orang yang melakukan perbuatan itu adalah musyrik, perbuatannya syirik tapi Si Fulan belum tentu musyrik," atau perkataan, "Perbuatannya syirik tapi orangnya belum bisa dikatakan musrik," jawaban ini tentu rancu dan salah, bahkan bid'ah, orang yang mengatakan seperti itu adalah Ahmad Ibnu Abdil Karim seorang tokoh di Ahsaa pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Abdil Wahhab, dan ketika tulisan dia itu sampai kepada Syaikhul Islam, langsung beliau kirim surat yang isinya penjelasan akan kesesatan dia karena ucapannya, (lihat Tarikh Najed 343-350) dan (Kitabut Taudlih Wa Tatimmat 'Alla Kasyfisysyubuhat 25-26), dalam masalah syirik akbar tidak ada perbedaan antara nau' (jenis) dan mu'ayyan (orangnya yang tertentu), lihat Hukmu Takfir Mu'ayyan (Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman, Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab) dan bahkan para Aimmah dakwah telah menyatakan ijma bahwa dalam masalah syirik tidak ada udzur karena kejahilan, silakan lihat :
· Kitab Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, karya Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, dari judulnya sudah jelas tentang takfir mu'ayyan meskipun jahil.
· Fataawaa Al Aimmah An-Najdiyyah 3/188. (dari Al Mutammimah)
· Ad Durar As Saniyyaa 8/118. (dari Al Mutammimah)
· Ad Durar As Saniyyaa 9/405-406. (dari Al Mutammimah)
· Majmu Al Fataawaa Ibnu Taimiyah 29/37-38.
· Kasyfusy Syubuhat, Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab : 6
· Tarikh Najed 498 surat bantahan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab kepada Ibnu Shabah.
· Ibid 474 surat bantahan kepada Ibnu Suhaim.
· Ibid 263 surat bantahan kepada Muhammad Ibnu 'Iid.
· Ibid 324 surat terhadap Abdullah Ibnu Isa Qadli Dir'iyyah.
· Ibid 341 surat terhadap Abdurrahman Ibnu Rabi'ah.
· Ibid 304 surat kepada Ibnu Suhaim.
· Ibid 274.
· Ibid 346 surat kepada Ahmad Ibnu Abdul Karim
· Ad Durar As Saniyyaa 10/63-74. (dari Al Mutammimah)
· Majmu'atu Muallafaat Asy Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab jilid Aqidah bagian pertama hal : 363. (dari Al Mutammimah)
· Tarikh Nejed 410 risalah kepada murid-muridnya.
· Takfir Al Mu'ayyan karya Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Abdil Wahhab.
· Tarikh Najed 407.
· Ibid 263.
· Ad Durar As Saniyyaa 10/136-1389. (dari Al Mutammimah)
· Ibid 10/142. (dari Al Mutammimah)
· Ar Rasail Wal Masaail An Najdiyyah 5/576. (dari Al Mutammimah)
· Ibid 1/79. (dari Al Mutammimah)
· Ad Durar As Saniyyaa 10/274. (dari Al Mutammimah)
· Ibid 10/336. (dari Al Mutammimah)
· 11/75-77. (dari Al Mutammimah)
· Fataawaa Al Aimmah An Najdiyyah 3/99. (dari Al Mutammimah)
· Ad Durar As Saniyyaa 10/335. (dari Al Mutammimah)
· Al Qaulul Fashl Fir Raddi 'Alaa Dawud Ibnu Jirjiis atau Ta'siisut Taqdiis, karya Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, buku khusus tentang bantahan akan syubhat udzur karena jahil dalam syirik akbar yang dilontarkan oleh seorang Ahlu bid'ah seperti Usman Ibnu Manshur, Dawud Ibnu Jirjis. (dari Al Mutammimah)
· Kasyful Maurid Al 'Adzb Fi Kasyfi Sybubahi Ahlidl Dlalal, karya Syaikh Abdur Rahman juga ada dalam Aqidatul Muwahhidin.
· Irsyad Thalibil Hudaa, karya beliau juga. (dari Al Mutammimah)
· Ar Radd 'Alaa Ibni Manshur, karya beliau. (dari Al Mutammimah)
· Risalah Fi Raddi Sybahi Ahlil Ahsaa, karya beliau. (dari Al Mutammimah)
· Risalah Fi Syarhi Ashlil Islam Wa Qa'idatihi. karya beliau.
· Risalah Fit Tahdzir Minat Takfir, karya beliau. (dari Al Mutammimah)
· Fataawaa Al Aimmah An Najdiyyah 3/155. (dari Al Mutammimah)
· Ibid 3170. (dari Al Mutammimah)
· Al Intishar Li Hizbillah Al Muwahhidin, Syaikh Abdullah Aba Bithin, kitab khusus. Dan perkataannya dalam Ad Durar As Saniyyah : 10/360, 10/392-393, 10/376, 10/352, 10/355, 10/359, 12/69-70, Majmu'atur Rasaail Wal Masaail : 1/660, Ad Durar 12/72-73, Majmu'ah Ar Rasaail 1/659, 2/211-213, dan halaman lainnya. (dari Al Mutammimah)
· Kitab Kasyfusy Syubhatain, karya Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman. (dari Al Mutammimah)
· Kitab Kasyfusy Auham Wal Iltibas, karya beliau juga. (dari Al Mutammimah)
· Kitab Tamyizushshidqi, karya beliau. (dari Al Mutammimah)
· Al Jawab Al Mufid Fi Hukmi Jahil Tauhid, Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Humaid, kitab khusus ada dalam Aqidatul Muwahhidin.
· Darajatushshaa'idin Ilaa Maqaamatil Muwahhidin Fi Ilmit Tauhid, Muhammad Ibnu Ahmad Al Hafadhiy Ibnu Abdil Qadir Al Bakriy ada dalam Aqidatul Muwahhidin.
· Pernyataan Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Alu Asy Syaikh dalam Al Fataawaa 12/198. (dari Al Mutammimah)
· Ibid 12/206, dalam Qaidatul Muwahhidin.
· Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Daimah 1/335, 1/765.
· Fataawaa Ibni Baaz 4/26-27.
· Syarh Sittati Mawaadli' Minas Sirah, Syaikh Muhammad.
· Aqaaidul Islam, Syaikh Muhammad, Rasyid Ridla.
· Dan kitab-kitab lainnya.
Ketahuilah bahwa hujjah itu telah tegak dan telah sampai dengan diutusnya Rasulullah dan turunnya Al Qur'an, sehingga orang yang telah mengetahui akan adanya Muhammad dan Al Qur'an, terus dia melakukan syirik padahal mungkin untuk mencari tauhid, maka dia adalah musyrik kafir, kafir mu'ridl bila
dia itu jahil (berpaling tidak mau tahu, dan rela dengan kejahilan) atau kafir mu'aanid (mengingkari setelah mengetahui kebenaran). Adapun bayanul hujjah/fahmul hujjah ini berhubungan dengan masalah-masalah yang sifatnya khafiyyah dan yang tidak bisa diketahui kecuali dengan tersebarnya ilmu serta takfir Ahlul Ahwaa Wal Bida'.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : Semua yang telah sampai Al Qur'an kepadanya baik itu manusia atau jin maka berarti telah terkena peringatan Rasulullah. Al Fataawaa 16/149.
Beliau berkata juga ketika menjelaskan firman-Nya,"Laa tasma'uu li hadzal qur'an wal ghauu fiihi," hujjah itu telah tegak dengan adanya Rasul yang menyampaikan dan adanya kemungkinan untuk mendengar dan menghayati, bukan dengan mendengarnya itu, karena di antara orang-orang kafir ada yang sengaja menghindari dari mendengarkan Al Qur'an dan dia justru memilih yang lainnya. Al Fataawaa 16/166.
Beliau juga mengatakan : Sesungguhnya hujjah Allah itu telah tegak dengan Rasul-Nya dengan adanya kemungkinan (tammakun) untuk tahu, sehingga bukan termasuk syarat (tegaknya) hujjah Allah mengetahuinya orang-orang yang didakwahi akan hujjah itu. Oleh sebab itu keberpalingan orang-orang kafir dari mendengarkan Al Qur'an dan dari mentadabburinya bukanlah sebagai penghalang dari tegaknya hujjah Allah atas mereka, karena kesempatan (kemungkinan) itu sudah ada. Kitab Ar Radd 'Alal Manthiqiyyin : 99.
Beliau berkata lagi : Dan bila Dia memberitahukan akan adanya perintah untuk amar ma'ruf dan nahi mungkar bukanlah termasuk syarat hal itu sampainya perintah Yang memerintah dan larangan Yang melarang kepada seetiap mukallaf di alam ini disyaratkan dalam ini, karena ini bukan syarat dalam penyampaian risalah ; maka bagaimana hal ini disyaratkan dalam hal-hal yang sifatnya sebagai pelengkap ? Bahkan yang menjadi syarat adalah adanya tamakkun (kemungkinan) bagi mukallaf dari sampainya hal itu kepada mereka, kemudian bila mereka tidak sungguh-sungguh (tafrith) dan tidak mengusahakan sampainya itu kepada mereka padahal factor penentunya ada, maka tafrith itu dari mereka bukan dari yang menyampaikan. Al Fataawaa 28/125-126.
Ibnul Qayyim berkata dalam kitab Thabaqatul Mukallafin di thabaqah yang ke tujuh belas sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman : Dan ini menunjukkan bahwa kekufuran orang yang mengikuti mereka itu hanyalah karena sebab ittiba dan taqlid kepada mereka itu. Ya...dalam masalah ini harus ada rincian yang dengan (rincian) ini semua isykal pasti hilang, yaitu adanya perbedaan antara :
· Muqallid yang memiliki kemungkinan untuk tahu dan mengetahui kebenaran terus dia berpaling darinya.
· Dengan muqallid yang sama sekali tidak memiliki kemungkinan untuk itu.
Kedua macam muqallid ini ada pada kenyataan kehidupan :
· Orang yang memiliki kemungkinan untuk mencari namun dia berpaling, maka dia itu mufarrith (melakukan kelalaian) lagi meninggalkan kewajibannya, sehingga tidak ada udzur baginya di hadapan Allah.
· Adapun orang yang tidak mampu untuk bertanya dan untuk mengetahui yang di mana sama sekali dia itu tidak memiliki kemungkinan untuk mengetahui dengan cara apapun, maka golongan ini ada dua golongan :
· Pertama : Orang yang menginginkan petunjuk, sangat mementingkannya dan mencintainya sekali, namun dia tidak mampu atas itu dan tidak kuasa untuk mencarinya karena tidak ada orang yang memberikan arahan kepadanya. Maka hukum orang ini adalah sama dengan ahlul fatrah dan orang yang tidak sampai dakwah kepadanya.
· Kedua : Orang yang berpaling, tidak memiliki keinginan, tidak pernah membisikan dirinya kecuali dengan apa yang dia yakini sekarang saja.
Orang yang merupakan kelompok pertama mengatakan : Ya Tuhanku seandainya saya mengetahui bahwa engkau memiliki agama yang lebih dari apa yang saya pegang sekarang, tentu saya telah menganutnya dan telah saya tinggalkan apa yang saya pegang sekarang ini, namun saya tidak mengetahui kecuali apa yang saya pegang sekarang dan saya tidak mampu mencari yang lainnya, inilah ujung batas usaha saya dan puncak pengetahuan saya.
Adapun orang yang kedua, dia itu betah/rela dengan apa yang dia pegang, tidak pernah menginginkan/mementingkan yang lain atasnya, dan jiwanya tidak pernah mencari ajaran yang lain, tidak ada perbedaan bagi dia baik saat dia itu tidak mampu atau saat dia mampu untuk mencari.
Kedua orang ini sama-sama tidak mampu, dan kelompok kedua ini tidak wajib diikutkan/disamakan statusnya dengan kelompok pertama, karena adanya perbedaan di antara keduanya. Kelompok pertama statusnya sama seperti orang yang mencari agama pada masa fatrah, terus dia tidak mendapatkannya, sehingga dia berpaling darinya dengan keadaan tidak mampu dan jahil setelah mengerahkan segenap kekuatannya dalam mencarinya. Sedangkan kelompok kedua dia itu seperti orang yang tidak mencari, bahkan dia mati diatas syiriknya, dan seandainya dia mencarinya tentu dia (tetap) tidak mampu. Harus dibedakan antara ketidakmampuan orang yang sudah berusaha untuk mencari dengan ketidakmampuan orang yang berpaling (tidak mau mencari). Lihat Hukmu Takfiri Mu'ayyan Dalam Aqidatul Muwahhidin 161-162.
Beliau jelaskan bahwa ada tamakkun (ada peluang kemungkinan) untuk tahu itu adalah hujjah, sehingga orang yang tidak tahu saat itu tidak diudzur karena hujjah sudah tegak dan sampai, hanya dia yang berpaling.
Syaikh Abdullathif sebagaimana dinukil oleh Syaikh Ishaq mengatakan : Sesungguhnya Al 'Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah memastikan (jazm) akan kafirnya orang-orang yang taqlid kepada guru-gurunya dalam masalah-masalah yang mukaffirah (membuat kafir) bila mereka itu memiliki tamakkun (kemungkinan/peluang) untuk mencari kebenaran dan untuk mengetahuinya dan mereka sudah memiliki kemampuan (maksudnya, baligh dan berakal, pent) untuk itu dan mereka justru berpaling dan tidak mau menoleh. Sedang orang yang tidak memiliki tamakkun dan tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui apa yang di bawa para rasul, maka orang seperti itu menurut beliau (Ibnul Qayyim) termasuk dalam jenis ahlul fatrah dari kalangan orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah rasul, dan kedua macam orang ini (maksudnya orang yang taqlid dalam hal mukaffirah sementara tidak ada tamakkun untuk tahu dan tidak ada kemampuan dengan ahlul fatrah yang belum sampai dakwah rasul) tidak dihukumi sebagai orang Islam dan mereka itu tidak masuk dalam deretan kaum muslimin termasuk menurut orang yang tidak
mengkafirkan sebagian mereka – dan ungkapan ingan dengan tegaknya hujjah, ada atau tidak ada hujjah kalau orang menyekutukan Allah maka dia disebut musyrik, Ibnu Taimiyyah berkata : Dan nama syirik tetap sebelum ada risalah, karena dia menyekutukan Tuhan-nya dan menjadikan tandingan bagi-Nya. Al Fataawaa 20/38.
Ini juga penegasan bahwa hujjah itu sudah tegak dengan adanya tamakkun, bila orang tidak mengetahui padahal tamakkun ada maka ini tidak dianggap. Terus ini juga penegasan bahwa nama syirik itu tidak ada hubungan dengan tegaknya hujjah, ada atau tidak ada hujjah kalau orang menyekutukan Allah maka dia disebut musyrik, Ibnu Taimiyyah berkata : Dan nama syirik tetep sebelum ada risalah, karena dia menyekutukan Tuhan-nya dan menjadikan tandingan bagi-Nya. Al Fataawaa 20/38.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata saat menjelaskan hadits 'Amr Ibnu 'Absah As Sulami dalam Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, dalam Aqidatul Muwahhidin, taqdim Ibnu Baz 50. Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini adalah bahwa orang arab jahiliy ini (maksudnya 'Amr) tatkala ada yang memberitahu bahwa ada laki-laki di Mekkah (maksudnya Rasulullah) yang mengajarkan agama yang berbeda dengan agama yang dipegang orang-orang, dia tidak bisa sabar sehingga dia langsung mengendarai tunggangannya dan terus mendatangi beliau, dan dia mengetahui apa yang ada pada beliau karena di dalam hati dia itu ada rasa kecintaan akan agama dan kebaikan, dan dengan ini firman-Nya ditafsirkan,"Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka," yaitu kesungguhan akan mempelajari agama,"tentulah Allah jadikan mereka dapat mendengar," yaitu membuat mereka paham. Ini menunjukkan bahwa ketidak pahaman pada mayoritas manusia pada masa sekarang adalah pemalingan oleh Allah , dengan sebab Allah mengetahui ketidaksungguhan mereka atas mempelajari agama di dalam hatinya. Maka jelaslah bahwa diantara sebab terbesar yang menyebabkan orang digolongkan dalam jajaran binatang yang paling buruk adalah tidak adanya kesungguhan atas mempelajari agama. Bila orang arab jahiliy ('Amr) ini mencari dengan sedemikian rupa, maka apa udzur orang-orang yang mengaku pengikut Nabi dan telah sampai kepada mereka dari para Nabi itu apa yang telah sampai dan juga di sana ada orang yang mengajarkan (tauhid) namun dia tidak mau bangkit sedikitpun, bila dia hadir atau mendengar maka seperti orang yang Allah firmankan,"Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Qur'an yang baru (Diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai."
Sehingga tidak heran kalau Syaikh Ishaq mengatakan : Sesungguhnya hujjah itu telah tegak dengan Al Qur'an atas semua orang yang telah sampai kepadanya meskipun dia tidak memahaminya. Hukmu Takfir Mu'ayyan, Aqidatul Muwahhidin, taqdimIbnu Baz : 154.
Abdullah Aba Buthain berkata : Orang musyrik itu adalah orang musyrik baik dia mau tidak mau, sebagaimana orang yang melakukan riba disebut muraabii, baik dia mau atau tidak mau dan meskipun dia tidak menemakannya riba, dan peminum khamr adalah peminum khamr meskipun mereka menamakannya dengan bukan namanya. Al Intishar Lihizbillahil Muwahhidin, dalam Aqidatul Muwahhidin taqdim Ibnu Baz 12.
Ini berbeda dengan nama kafir yang tidak terjadi kecuali setelah tegaknya dan sampainya hujjah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : Kekafiran yang berhak mendapatkan adzab itu tidak terjadi kecuali setelah adanya risalah Al Fataawaa 2/78.
Dan telah lalu apa arti sampai dan tegaknya hujjah itu, ini adalah dalam masalah syirik akbar dan kekufuran akbar yang dhahirah (nyata), berbeda dalam masalah yang khafiyyah.
Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin setelah menjelaskan masalah udzur karena kejahilan beliau mengatakan dalam Al Majmu Atsamin 3/6 : Namun hendaklah diketahui bahwa kita pada masa sekarang ini berada pada zaman yang hampir tidak ada tempat di muka bumi ini kecuali dakwah Nabi saw telah sampai kesana dengan perantaraan sarana-sarana informasi yang bermacam-macam serta berbaurnya manusia dengan yang lainnya, dan umumnya kekufuran itu terjadi karena 'inad (pembangkangan).
Di tempat lain saat menjelaskan syarat takfir 3/17 : Namun bila dia itu melakukan tafrith (kurang perduli/teledor) dengan meninggalkan belajar dan mencari tahu, maka ini tidak diudzur.
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata ketika ditanya tentang orang yang melakukan syirik akbar sedang dia hidup ditengah kaum muslimin : Siapa orangnya yang telah sampai kepadanya Al Qur'an dengan cara di mana dia bisa memahaminya bila dia ada keinginan, namun justru dia berpaling dari memahaminya kemudian tidak mengamalkannya dan tidak menerimanya, maka sesunguhnya hujjah itu telah tegak atasnya, dan dia tidak diudzur karena kejahilan, karena hujjah telah sampai kepadanya. Masaailul Iman 30
Syaikh Abdullah Aba Buthain berkata : Bila orang yang melakukan syirik akbar itu diudzur karena kejahilannya, maka siapa orangnya yang tidak diudzur ? Dan lazim dari klaim ini adalah bahwa tidak ada hujjah bagi Allah atas seorangpun kecuali (atas) orang yang mu'anid, padahal pemilik klaim ini tidak bisa memberlakukan pegangannya ini, bahkan pasti dia melakukan kontradiksi, karena dia tidak mungkin tawaqquf dari mengkafirkan orang yang ragu akan risalah Muhammad saw atau ragu akan hari kebangkitan atau ushuluddin yang lainnya, sedangkan orang yang ragu itu adalah jahil. Para fuqaha menyebutkan dalam kitab-kitab fiqh mereka hukum murtad, yaitu orang muslim yang kafir setelah Islamnya baik dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan atau ragu, dan sebab keraguan itu adalah kejahilan. Dan lazim klaim ini adalah dia tidak mengkafirkan orang-orang Yahudi dan Nasharani yang jahil, dan tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke matahari, bulan dan patung karena kejahilanny, dan tidak pula mengkafirkan orang-orang yang di bakar oleh Ali Ibnu Abi Thalib ra dengan api, karena kita pastikan mereka itu jahil, sedangkan para ulama rahimahumullah telah ijma atas kafirnya orang yang tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasharani atau ragu atas kekafiran mereka, dan kita yakini dengan pasti bahwa mayoritas mereka itu juhhal. Al Intishar 16, taqdim Ibnu Baz.
Beliau berkata lagi 17 setelah menuturkan ayat-ayat : Para ulama berdalil dengan ayat-ayat ini dan ayat yang lainnya bahwa dalam masalah mengenal Allah dan risalah tidak boleh taqlid. Hujjah Allah SWT telah tegak atas manusia dengan diutusnya para rasul kepada mereka meskipun mereka tidak memahami hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasan Allah.
Berkata lagi 18 : Orang yang mengklaim bahwa pelaku kekufuran (akbar) karena ta'wil, atau ijtihad, atau keliru (memahami), atau taqlid, atau karena jahil itu diudzur, ini adalah bertentangan dengan kitabullah, As Sunnah, dan Ijma tanpa diragukan lagi.
Beliau berkata setelah menuturkan perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah ini hal 27 : Beliau (Ibnu Taimiyyah) rahimahullah telah memastikan dalam banyak tempat akan kafirnya orang yang melakukan kemusyrikan-kemusyrikanyang beliau sebutkan, dan beliau menghikayatkan ijma kaum muslimin atas hal itu, serta beliau tidak mengecualikan orang yang jahil dan yang lainnya, Allah berfirman,"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni penyekutuan terhadapnya," dan Dia berfirman tentang Al Masih, beliau berkata,"Siapa orangnya yang menyekutukan Allah, maka Allah haramkan surga atasnya dan tempat kembalinya adalah neraka," maka siapa orangnya yang mengkhususkan ancaman itu bagi orang yang membangkang saja dan mengeluarkan orang yang jahil, menta'wil, dan yang taqlid, maka dia telah menentang Allah dan rasul-Nya dan keluar dari jalan kaum muslimin (ijma). Dan para fuqaha memulai bab hukum murtad dengan orang yang menyekutukan Allah dan mereka tidak memberi batasan hal itu dengan orang yang membangkang.
Beliau menukil perkataan Imam Al Barbahariy dalam Syarhus Sunnahnya : Dan kami tidak mengeluarkan seorang ahlul kitab pun dari Islam sehingga dia menolak satu ayat dari Kitabullah atau menolak satu hadits Rasulullah saw atau shalat kepada selain Allah atau menyembelih untuk selain Allah, maka (bila seperti itu) telah wajib atas engkau, mengeluarkan dia dari Islam. Al Intishar 32-33.
Lihat perkataannya wajib atas engkau, terhadap pembaca.
Beliau juag menukil perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah : Saya telah meliahat perkataan yang bagus dari Abul Wafaa Ibnu Uqail, saya sebutkan dengan lafadznya, beliau berkata : Tatkala taklif itu terasa berat oleh orang-orang jahil dan orang pengekor, mereka berpaling dari taat cara syari'at kepada ajaran yang mereka buat-buat untuk diri mereka, sehingga terasa ringan bagi mereka, karena mereka dengan hal itu tidak masuk dalam perintah orang lain, beliau berkata : Dan mereka itu menurut saya adalah kuffar dengan hal-hal ini, seperti mengagungkan kuburan......Al Intishar 33.
Para ulama yang tergabung dalam Al Lajnah Ad Daimah berkata : Semua orang yang beriman kepada risalah Nabi kita Muhammad W dan kepada syari'at yang dibawa kepadanya bila dia sujud setelah itu kepada selain Allah, baik wali, atau penghuni kubur, atau Syaikh Thariqath, maka dia di anggap sebagai kafir murtad dari Islam lagi musyrik (menyebutkan) Allah dengan yang lainnya dalam hal ibadah, meskipun dia itu mengucapkan dua kalimat syahadat di atas sujudnya, karena dia melakukan sesuatu yang membatalkan ucapannya berupa sujud kepada selain Allah. Namun terkadang diudzur karena kejahilannya sehingga dia tidak langsung diberikan hukuman (sangsi) hingga diberitahu dan ditegakkan hujjah atasnya serta diberi tenggang waktu tiga hari sebagai kesempatan baginya untuk berpikir, mudah-mudahan mau bertaubat, dan bila dia tetap bersikeras atas sujudnya terhadap selain Allah setelah diberi penjelasan maka dia dibunuh karena kemurtaddannya, berdasarkan sabda Nabi saw,"Siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah," dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari Ibnu Abbas ra. Bayan (penjelasan) dan penegakkan hujjah adalah unutk memberi waktu baginya sebelum penegakkan hukuman akibat perbuatannya itu, bukan untuk dinamakan kafir setelah bayan, karena sesungguhnya dia dinamakan kafir dengan sebab perbuatannya yang timbul darinya berupa sujud kepada selain Allah atau nadzarnya sebagai qurbah atau penyembelihan kambing umpamanya untuk selain Allah, dan Al Kitab serta As Sunnah telah menunjukkan bahwa orang yang mati diatas kemusyrikan tidak mungkin diampuni dan kekal di dalam neraka," 1/335.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata ketika membantah kepada orang yang mengatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidak melakukan takfir mu'ayyan : Abul Abbas berkata dalam kitab iqtidla Ash Shirathil Mustaqim saat membahas firman Allah SWT,"Wa Maa Uhilla Lighairillah," Dhahirnya bahwa orang yang menyembelih untuk selain Allah (sesajen/tumbal,pent) baik dia itu mengucapkannya atau tidak maka itu haram (dimakan), dan pengharaman ini lebih jelas dari pengharaman daging hewan yang disembelih untuk makanan biasa namun disebut nama Al Masih dan yang lainnya. Sebagaimana yang kita sembelih dalam rangka taqaarub kepada Allah lebih suci daripada yang kita sembelih untuk makanan biasa dan kita sebut nama Allah. Karena sesungguhnya ibadah kepada Allah dengan shalat dan kurban lebih agung daripada meminta pertolongandengan nama-Nya diawal setiap urusan. Dan ibadah kepada selain shalat lebih besar kekufurannya daripada meminta pertolongan kepada selain Allah, seandainya dia menyembelih untuk selain Allah dalam rangka taqarrub kepadanya mak itu haram (dimakan) meskipun disebutkan nama Allah di dalamnya, sebagaimana yang terkadang dilakukan oleh sekelompok orang-orang munafiqumat ini, meskipun mereka itu telah murtad yang tidak halal sembelihannya, namun dalam sembelihan itu terkumpul dua larangan. Dan ini apa yang dilakukan di kota Mekkah dan yang lainnya berupa menyembelih untuk jin (tumbal)....selesai perkataan Syaikh, dan beliau ini adalah orang yang di mana para musuh agama menisbatkan kepada beliau bahwa beliau tidak melakukan takfir mu'ayyan. Lihatlah - semoga Allah memberikan engkau petunjuk -kepada takfir beliau terhadap orang yang menyembelih untuk selain Allah dari umat ini, dan penegasan beliau bahwa orang munafiq itu jadi murtad dengan sebab itu, sedang ini berhubungan dengan mu'ayyan, karena tidak tergambar sembelihan itu diharamkan kecuali sembelihan mu'ayyan. Mufidul Mustafid, Aqidatul Muwahhidin 52.
Syaikh Muhammad juga berkata setelah menuturkan perkataan Syaikhul Islam : Lihatlah semoga Allah merahmatimu kepada sang Imam ini yang dimana orang-orang yang Allah sesatkan hatinya menisbatkan kepada beliau bahwa beliau tidak mentakfir mu'ayyan, bagaimana beliau telah menyebutkan orang seperti Al Fakhrur Raziy yang merupakan pembesar dari kalangan madzhab Asy Syafi'iy dan Ibnu Mi'syar yang merupakan orang dari kalangan yang masyhur banyak karangannya, serta yang lainnya, (beliau sebutkan) bahwa mereka itu kafir dan murtad dari Islam. Mufidul Mustafid 54.
Perlu diketahui bahwa Ar Raziy sudah mati sebelum Ibnu Taimiyyah lahir.
Beliau juga mengatakan dalam rangka menjelaskan perkataan Syaikhul Islam setelah beliau tuturkan dengan panjang lebar : Perhatikanlah awal ungkapan dan akhirnya, dan perhatikan dengan seksama ungkapan belaiu tentang orang yang menyeru Nabi atau wali, seperti mengatakan : Yaa sayyidii tolong saya dan yang lainnya, sesungguhnya orang itu disuruh taubat, bila dia taubat (dilepas) dan bila tidak maka dia dibunuh. Ini tidak mungkin kecuali pada orang mu'ayyan, wallaahul musta'an. Mufidul Mustafid 57.
Beliau berkata : Sesungguhnya Islam tidak sah kecuali dengan memusuhi ahli-ahli syirik akbar, dan bila dia tidak memusuhinya maka dia itu termasuk bagian mereka meskipun tidak melakukannya. Dan telah disebutkan dalam kitab Al Iqna dari Syaikh Taqiyyudin : Sesungguhnya orang yang menyeru Ali Ibnu Abi Thalib maka diaitu kafir dan sesungguhnya orang yang ragu akan kekafirannya maka dia juga kafir. Bila ini adalah status orang yang ragu akan kekafirannya padahal dia itu memusuhi dan membencinya, maka bagaimana dengan orang yang meyakini bahwa dia itu muslim dan tidak memusuhinya, dan bagaimana dengan orang yang mencintainya, bagaimana dengan orang yang membelanya dan membela ajarannya, dan beralasan bahwa kami tidak bisa berniaga dan mencari rizki kecuali dengan hal itu. Mufidul Mustafid 61.
Beliau berkata lagi : Abil Abbas berkata juga saat menjelaskan orang-orang yang menolak membayar zakat, dan para sahabat tidak pernah mengatakan kepada mereka apakah kalian mengakui wajibnya atau mengingkarinya, hal ini tidak pernah dikenal dari para Al Khulafaa Ar Rasyidiin dan para sahabat, bahkan Ash Shiddiq berkata kepada Umar radlyallahu'anhuma : Demi Allah seandainya mereka menahan dari saya 'iqal atau 'anaq yang dimana mereka dahulu pernah menunaikannya kepada Rasulullah saw maka saya akan memerangi mereka atas penolakannya," beliau jadikan hal yang membolehkan untuk memerangi adalah hanya karena penolakan bukan pengingkaran kewajiban. Dan telah diriwayatkan bahwa sejumlah kelompok di antara mereka mengakui akan kewajibannya namun mereka bakhil dari menunaikannya, namun demikian sikaf para Al Khulafa terhadap mereka adalah satu, yaitu memeranginya, menawan anak-anaknya, menjadikan hartanya sebagai ghanimah, dan persaksian atas orang yang mati dari mereka dengan api neraka, serta seluruhnya mereka namai sebagai orang-orang murtad. Dan di antara keutamaan As Shiddiq yang paling besar diantara para sahabat adalah keteguhan yang Allah berikan kepada beliau saat memerangi mereka, dan tidak didahului tawaqquf sebagaimana yang pernah menimpa yang lainnya, kemudian beliau ajak mereka diskusi sehingga semuanya kembali kepada perkataan beliau. Adapun memerangi orang-orang yang mengakui kenabian Musailamah maka ini tidak ada pertentang sebelumnya diantara para sahabat.. selesai ucapan Syaikhul Isla. Perhatikanlah perkataan beliau rahimahullah dalam masalah pengkafiran mu'ayyan dan kesaksian atas orang itu disaat terbunuh dengan neraka, istri-istri dan anak-anaknya ditawan disaat menolak membayar zakat. Ini adalah orang (maksudnya Ibnu Taimiyyah) yang dimana para musuh agama menisbatkan kepada beliau bahwa beliau tidak melakukan takfir mu'ayyan. Mufidul Mustafid 63-64.
Beliau berkata lagi dalam kitab yang sama 66 : Abul Abbas rahimahullah berkata Ibnu Al Khudlairi telah memberi kabar saya dari ayahnya Syaikh Al Khudlairiy imam Al Hanafiyyah pada zamannya, berkata : Para fuqaha Bukhara mengatakan tentang Ibnu Sina : Dia itu orang kafir yang lihai (Karena kafiran dzakiyyan), ini imam madzhab Hanafiy pada zamannya menghikayatkan dari para fuqaha Bukhara seluruhnya akan kafirnya Ibnu Sina, dan dia itu orang mu'ayyan yang banyak mengarang yang pura-pura menampakkan keislaman.
Beliau berkata 67 : dan Ibnu Hajar berkata dalam Syarah Al Arba'iin atas hadits Ibnu Abbas,"Bila kamu minta maka mintalah kepada Allah," dan maknanya adalah bahwa sesungguhnya orang yang menyeru kepada selain Allah maka dia itu kafir, dan beliau mengarang dalam hal ini satu kitab khusus yang diberi nama (Al A'lan Bi Qawathi'il Islam) beliau didalmnya menyebutkan banyak macam ucapan dan perbuatan yang masing-masing salah satu darinya beliau sebutkan bahwa itu membuat orang keluar dari Islam dan dengannya orang mu'ayyan dikafirkan, dan umumnya (yang beliau sebutkan) tidak menyamai sepersepuluh dari yang sedang kita bahas.
Beliau Juga membantah syubuhat orang yang enggan mengkafirkan orang yang melakukan kemusyrikan dengan dalih mereka masih bersyahadat, shalat dan....dan mengaku Islam : Sesungguhnya konsekwensi ucapan mereka itu adalah bahwa syirik kepada Allah dan penyembahan berhala itu tidak memiliki pengaruh dalam masalah takfir, karena sesungguhnya orang bila dia pindah dari Islam ke agama lain dan mendustakan Rasulullah dan Al Qur'an maka dia itu kafir meskipun tidak menyembah berhala seperti yahudi. Maka bila orang yang menisbatkan diri kepada Islam tidak boleh dikafirkan bila dia melakukan syirik akbar karena dia itu muslim yan mengucapkan laa ilaaha illallaah, shalat, melakukan ibadah ini dan itu, maka berarti syirik akbar dan penyembahan berhala itu tidak memiliki pengaruh sedikitpun, bahkan bagaikan warna hitam dalam badan atau buta, atau pincang, bila pelakunya mengaku Islam maka dia itu muslim dan bila dia mengaku agama lain maka dia itu kafir. Sesungguhnya pernyataan ini adalah kebusukan yang sangat besar lagi cukup dalam membantah ucapan yang keji ini. Mufidul Mustafid 68.
Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata dalam kitabnya Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul Muwahhidin 382 - 383 seraya menukil perkataan Syaikh Abdullah Aba Buthain : Syaikh Ab Buthain berkata seraya menjelaskan perkataan Imam Ibnu Taimiyyah dalam masalah ini : Ucapkan Syaikh Taqiyyuddin rahimahullah : Sesungguhnya takfir dan dibunuh itu tergantung atas sampainya hujjah," perkataan beliau ini menunjukkan bahwa dua hal ini – yaitu takfir dan bunuh – tidak tergantung kepada paham akan hujjah secara muthlaq namun tergantung atas sampainya hujjah itu. Paham akan hujjah sangat berbeda dengan sampainya hujjah, seandainya hukum ini tergantung atas paham akan hujjah tentu kita tidak akan memerang danmembunuh kecuali orang yang kita ketahui dia itu membangkang saja, sedang ini adalah hal yang jelas kebatilannya. Bahkan justru akhir perkataan beliau rahimahullah menunjukkan bahwa fahmul hujjah itu dianggap dalam masalah-masalah yang terkadang dalilnya samar atas banyak orang dan masalah itu tidak langsung menohok tauhid dan risalah, seperti jahil akan sebagian sifat (Allah). Dan adapun hal-hal yang menohok tauhid dan iman terhadap risalah, maka sungguh Syaikhul Islam rahimahullah telah tegas-tegas dalam banyak tempat mengkafirkan pelaku-pelakunya dan membunuhnya setelah istitaabah (disuruh taubat), beliau tidak mengudzurnya karena kejahilan, padahal kita memastikan dengan yakin bahwa sebab yang menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal itu adalah kejahilan akan hakikat hal-hal itu, dan seandainya mereka mengetahui bahwa itu adalah kekufuran yang mengeluarkan dari Islam tentu mereka tidak akan melakukannya. Dan ini banyak sekali dalam dari ucapan Syaikhul Islam rahimahullah...................
Kemudian beliau (Aba Buthain) mengatakan lagi : Hal yang ditunjukkan oleh Al Kitab, As Sunnah dan Ijma para ulama atas hal itu bahwa itu adalah kekfiran sepeti syirik dengan ibadah kepada selain Allah SWT. Maka siapa yang melakukan satu dari hal-hal semacam ini atau menganggapnya bagus maka tidak syak lagi bahwa dia itu kafir, dan tidak mengapa bila engkau mengetahui ada orang yang melakukan hal itu engkau mengatakan si fulan telah kafir dengan perbuatan ini.
Dan Aba Buthain berkata lagi : Ini dibuktikan bahwa para fuqaha menyebutkan dalam bab hukum orang murtad hal-hal yang banyak yang dengannya seorang muslim menjadi murtad kafir, dan mereka memulai bab ini dengan ucapan mereka : Siapa yang menyekutukan Allah maka dia telah kafir, dan hukumnya adalah disuruh taubat (istitabah), bila dia taubat (maka dilepas) dan bila tidak maka dibunuh, sedangkan yang namanya istitabah (menyuruh taubat) tidak terjadi kecuali bagi orang mu'ayyan.
Dan beliau berkata juga:...Perbuatan kekufuran yang paling besar adalah syirik dengan ibadah kepada selain Allah, dan in adalah kekufuran dengan ijma kaum muslimin, dan tidak apa-apa mengkafirkan orang yang melakukannya hal itu, sebagaimana orang yang zina dikatakan si pulan zina, dan orang yang berbuat riba dikatakan si fulan muraabin. Wallaahu a'lam.
Syaikh Al Muhaddits Abdullah As Sa'd berkata dalam Multaqaa Ahlil Hadits ketika diatanya tentang takfir mu'ayyan pertanyaan ke 17 : Takfur itu bisa secara ta'yin bisa juga secara (sifat) umum. Sebagian orang mengira karena kejahilan dari mereka bahwa orang mu'ayyan itu tidak bisa dikafirkan lidzatihi, ini adalah pendapat yang tidak benar, bila telah ada bukti yang benar bahwa orang ini telah melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang menyebabkan dia kafir dan murtad dan hujjah telah tegak dalam hal itu maka tidak diragukan lagi bahwa orang ini dihukumi kafir lidzatihi wali'ainihii. Masalah ini adalah masalah yang banyak rinciannya yang panjang, namun kami beri contoh dan biar jelas sebagian rinciannya : Seandainya ada orang yang mengolok-olok agama umpamanya dan memaki Allah Rabbul 'Alamin – wal 'iyaadzu billa – maka tidak ragu lagi dia itu kafir bi 'ainihi (orangnya langsung) dan tidak boleh dikatakan kita tegakkan hujjah terlebih dahulu atasnya, karena pada dasarnya hujjah itu sudah tegak atasnya, karena tidak diragukan lagi atas semua orang akan haramnya memaki Allah - wal 'iyaadzu billa – dan bahwa ini adalah termasuk dosa yang paling besar, ini tidak ada seorangpun yang tidak tahu. Ada dosa yang mesti ada
penegakkan hujjah,yaitu orang yang baru saja masuk Islam terus mengatakan khamr itu halal,maka orang ini harus ditegakkan hujjah atasnya karena besar kemungkinan orang ini belum tahu karena baru masuk Islam, atau orang yang berada di daerah yang sangat terpencil jauh dari kaum muslimin terus dia tidak mengetahui hal-hal yang maklum dalam agama ini secara pasti, maka dalam keadaan seperti ini harus menegakkan hujjah atas orang itu, bila dia ngotot maka dia kafir. Contohnya orang tidak mengetahui bahwa hukum meninggalkan shalat itu adalah kekafiran, maka disini harus ditegakkan hujjah atasnya, namun kalau orang hidup di tengah kaum muslimin umumnya tidak samar lagi atasnya bahwa meninggalkan shalat itu adalah kekafiran, maka siapa meninggalkannya maka dia itu kafir bi 'ainihi yaitu orang yang keadaannya telah kami jelaskan.
Bahkan yang benar dalam masalah kekufuran akbar yang dhahir yang bukan syirik akbar dalam pengkafirannya hanya cukup orangnya mengetahui bahwa itu tidak boleh dan tidak disyaratkan dia mengetahui bahwa itu membuat dia kafir, Syaikh Hamd Ibnu 'Atiq menukil perkataan Ibnu Taimiyyah saat menjelaskan ayat tentang perolok-olokan terhadap agama : Ayat ini menunjukan bahwa mereka itu tidak mengira bahwa mereka telah melakukan kekafiran, bahkan mereka mengira bahwa hal itu bukan kekafiran, maka Allah menjelaskan bahwa istihzaa terhadap ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya adalah kekufuran yang dengannya pelaunya menjadi kafir setelah imannya, berarti ini menunjukan bahwa mereka itu (orang-orang yang mengolok-olok Rasulullah pada perang Tabuk, pent) asalnya mereka memiliki iman lemah, terus mereka melakukan hal yang haram ini yang mereka ketahui bahwa itu haram namun mereka tidak mengiranya sebagai kekafiran dan ternyata adalah kekafiran yang dengannya mereka menjadi kafir, karena sesungguhnya mereka tidak meyakininya sebagai hal yang boleh. Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata: dan dalam ayat ini ada dalil bahwa orang bila melakukan kekafiran sedangkan dia tidak mengetahui bahwa itu adalah kekafiran,maka dia tidak diudzur dengan hal itu,bahkan dia itu kafir,dan(menunjukan juga) bahwa orang yang memaki (Allah dan Rasul) adalah kafir juga dengan keadaan lebih utama. Ibthalut Tandid 201.
Jadi dalam masalah Ashludin (tauhid dan risalah) tidak boleh tawaqquf dari mengkafirkan pelakunya karena hujjah sudah tegak sekarang ini, Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata dalam masalah takfir mu'ayyan dalam Al Jawabul Mufid, Aqidatul Muwahhidin yang di taqdim oleh Ibnu Baz 384 setelah menjelaskan keharusan takfir mu'ayyan dalam masalah ashludin:Sesungguhnya tawawaqquf dari takfir mu'ayyan secara muthlaq dan justru hanya mengatakan jenis orang yang mengatakan ini adalah kafir namun orang mu'ayyan nya tidak bisa hukumi kafir, pernyataan ini tidak lain hayalah laghwun (sia-sia) yang tidak bermakna, dan merupakan sikap pengguguran akan hukum –hukum syari'at, serta bid'ah yang bertentangan dengan tuntunan Rasulullah SAW, ijma para sahabat, tabi'in dan ulama umat ini.
Syakih Abdul Azis Ibnu Baz berkata sasat ditanya tentang orang-orang awam yang jahil dimana mereka itu melakukan kemusyrikan, beliau menjawab dengan jawaban yang tegas : Orang yang telah diketahui bahwa dia itu suka memohon kepada mayitdan istiqhatsah dengan mereka serta dengan nadzar untuk mereka dan macam-macam ibadah lainya, maka dia itu musyrik kafir yang tidak boleh mengikat pernikahan dengannya , tidak boleh masuk masjidil haram, dan tidak boleh diperlakukan seperti perlakuan terhadap orang-orang Islam meskipun dia itu mengaku jahil hingga dia taubat kepada Allah dari hal itu....terus beliau mengatakan setelah menuturkan ayat-ayat Al Qur'an : Dan tidak usah diperhatikan kepada status mereka sebagai orang-orang yang jahil, bahkan wajib diperlakukan layaknya orang-orang kafir hingga taubat kepada Allah SWT. Tuhaftul Ikhwan 37-38.
Ingatlah dakwah itu perlu ilmu dan tauhid adalah yang paling utama. Setiap dakwah yang tidak mengutamakan tauhid adalah dakwah palsu, meskipun mengaku itu dakwah atau aktivis dakwah. Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullah berkata,
"Sesungguhnya orang yang tidak mempelajari hukum-hukum aqidah, tidak memperhatikannya dan tidak mengajak (dakwah) kepadanya, maka dia itu pada hakikatnya bukanlah termasuk pengikut Rasulullah, meskipun secara intisab dan klaim dia tergolong dari pengikutnya."[73]
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata dalam Sittatu mawaadli minas Sirah : Di antara orang-orang murtad itu ada yang tetap di atas dua kalimah syahadat, namun mereka mengakui kenabian Musailamah dangan dugaan bahwa Nabi SAW menyertakan dia dalam kenabian, karena Musailamah mengangkat para saksi palsu yang menyaksikan kenabian dia, terus dipercayai oleh banyak orang, namun demikian para ulama ijma bahwa mereka itu murtaddun meskipun mereka itu jahil akan itu dan siapa ragu akan kemurtaddan mereka maka dia itu kafir juga. Mamu'atut Tauhid 30.
Sehingga tidak aneh tatkala ada orang badui yang setelah mengakui dakwah Syaikh Muhammad dan melihat kenyataan kaumnya dan para tokohnya yang dimana mereka semuanya hanya berpegang kepada dua kalimah syahadat sedangkan berbagai macam kemusyrikan dan kekufuran mereka lakukan, orang badui menerapkan tauhid yang telah dia pahami itu, sebagaimana yang dituturkan oleh Syaikh Muhammad dalam ujung Sittatu mawadli Minas sirah : Dan sungguh indah sekali apa yang dikatakan oleh seorang badui tatkala dia sudah datang kepada kami dan mengetahui sedikit tentang Islam, dia (badui) berkata : Saya bersaksi bahwa kami adalah orang-orang kafir, yaitu dia dan orang-orang seluruh badui, dan saya bersaksi bahwa muthawwi' (penyuluh) yang menamakan kami sebagai orang Islam, dia itu adalah kafir juga. Lihat Majmu'atut Tauhid 31.
Jadi perkataan ketika ada orang yang berbuat syirik, tidak boleh dikafirkan dahulu sampai ditegakkan hujjah atasnya adalah hal yang keliru, dan ini adalah syubhat. Dan orang yang muwaahid yang tawaqquf dari mengkafirkan pelaku syirik karena memiliki syubhat harusnya ditegakkan hujjag dahulu, orang (muwahhid) ini tidak boleh dikafirkan oleh orang muwahhid para pelaku syirik itu, karena mereka memiliki syubhat (yaitu harusnya penegakkan hujjah) sampai tegak hujjah atas para muwwahid yang tawaqquf itu, Al Lajnah Ad Daimah dengan pimpinan Syaikh Ibnu Baz mengatakan : Dan dengan hal ini diketahui bahwa tidak boleh bagi kelompok muwwahidin yang meyakini kafirnya para penyembah kuburan ( 'ubbaadul qubuur) mereka mengkafirkan saudara-saudara mereka yang bertawaqquf dalam kekafirannya sehingga hujjah itu tegak atas mereka (para muwwahiddun yang tawwaquf), karena sikap tawaqquf mereka dari mengkafirkan orang-orang yang memiliki syubhat, yaitu I'tiqad keharusan penegakkan hujjah atas para penyembah kubur itu sebelum mengkafirkannya, berbeda dengan orang-orang yang tidak ada syubhat dalam kekafirannya, seperti Yahudi, Nashrani, Komunis, dan yang lainnya, sesungguhnya mereka-mereka itu tidak ada syubhat dalam kekafirannya dan dalam orang yang tidak mengkafirkannya. 2/100, Fataawaa Al Aimmah An Najdiyyah 3/74. lihat dalam Juz Ashli Dinil Islam 18.
Orang yang memulai dakwahnya bukan dari dakwah tauhid, maka bukanlah sebagai aktivis dakwah, meskipun dia merasa paling aktif. Orang yang melandaskan persatuan bukan pada kesatua di atas tauhid yang benar, maka kesatuannya adalah sekedar fatamorgana. Tidak ada persatuan (wahdah), kecuali tidak di atas tauhid, maka usahanya ini adalah bukan karena Allah SWT meskipun dia mengaku karena Allah SWT, sebab Allah SWT tidak meridlai seperti itu dan ini pasti ada tujuan lain, selain Allah SWT.
Ada orang berdakwah hanya berlandaskan pada baiknya muamalah bersama manusia, dia mengira itulah dakwah yang benar dan paling baik, namun dia melupakan yang paling utama yaitu lurusnya mua'malah dengan Allah SWT atau dengan kata lain melupakan tauhid. Laa haula walaa quwwata illa billaah.
Hendaklah masing-masing takut kepada Allah SWT di dalam hak-Nya yang mereka lalaikan. Ini adalah nasihat dari seorang muslim dan nasihat ini insya Allah SWR bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Bila didapatkan kebenaran itu datangnya dari Allah, dan bila ternyata ada kebalikannya, berupa kekeliruan, kesalahan, dan kekhilafan, maka itu bersumber dari syetan dan kelemahan jiwa penulis. Dan yang kami harapkan adalah saran dan nasehat yang membangun, sebagai rasa kasih sayang terhadap saudaranya bila dia keliru dan sesat, bukan celaan dan tahdzir.
Shalawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada Nabi kita Muhamamd SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta akhir seruan kami adalah Al Hamdulillahi Rabil Aalamiin.
[1] Hal ini merupakan masalah yang sangat penting pada masa sekarang sebagaimana pentingnya pembahasan syirik didalam Uluhiyah. Kita harus memberikan penjelasan yang sesuai porsinya untuk setiap masalah. Hal ini merupakan metoda yang dijalani oleh generasi salah umat ini. Lihatlah masalah Khalqul Qur'an, apakah pada zaman sahabat pembahasan ini santer atau tidak ? Tentu tidak begitu santer, karena pada saat itu umat seluruhnya iman akan status Al Qur'an sebagai Kalamullah bukan Makhluq. Lihat pula pada zaman Imam Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah, pembahasan Tauhid Uluhiyah dan stirik sangat santer karena banyak umat terjerumus di dalamnya dasn sekarang, selain syirik di dalam Uluhiyah, syirik di dalam Rububiyah pun, termasuk masalah tahkimul qawaaniin, sangat deras lagi hampir merata, sehingga membutuhkan porsi yang lebih besar di dalam pembahasannya. Dan ini namanya adil di dalam membahas setiap permasalahan. Dan para ulama kita telah melakukannya, sejak masalah ini muncul yaitu saat Tartar menguasai negeri kaum muslimin, kemudian saat itu meulailah penguasa ( yaitu Tartar) yang menyingkirkan syari'at dan menerapkan hukum buatan sendiri. Dan pembahasan tahkimul qawaaniin bisa anda dapatkan di dalam rujukan berikut ini :
· Majmu Al Fataawaa 28/ -510- 3/267-268 Ibnu Taimiyah rahimahullah.
· Tafsir Ibnu Katsir dalam Firman-Nya SWT, " Afa hukmal Jahiliyyatu Yabghuun..." 2/67.
· Al Bidayah Wan Nihayah 13/119.
· Fathul Majid Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dalam bab firman Allah SWT, " Alam Tara Ilalladziina Yaz'umuuna Annahum Aamanuu..." 392-393.
· Tahkimul Qawaaniin Muhammad Ibnu Ibrahim Aalu Syaikh semuanya tentang itu.
· Al Fataawaa As Sa'diyyah Abdurahman Nashir As Sa'diiy 1/92-93.
[2] Lihat definisi Tauhid Rububiyah dan Syirik dalam Rububiyah dalam Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 1/55.
Dan berkata lagi 1/736-737:
[3] Azariqah adalah Khawarij.
[4] Majmu Al Fatawa 7/394
[5] Majmu Al Fatawa 7/395
[6] Majmu Al Fatawa 7/395
[7] Majmu Al Fatawa 7/395
[8] Lihat Al Fatawa As Sa'diyyah karya Syaikh Abdurrahman Nashir A Sa'diy 1/92, cetakan II tahun 1402, Maktabul Ma'arif Riyadl.
[9] Ini karena pelaku dosa besar menurut Khawarij adalah kafir.
[10] Lihat Naqdul Qaumiyyah Al'Atabiyyah karya Al Imam Abdul Aziz Ibnu Baz hal 50-51 atau Majmu Fatawa Wa Maqaalat Mutanawwi'ah karya Syaikh Ibnu Baz I/309-310.
[11] Al Fatawa As Sa'diyah 2/92, bahkan Syaikh As Sa'diy mengatakan bahwa Irak, Bahrain dan yang lainnya yang ada di sekitarnya dihukumi sebagai negara kahir muhadin (yang mengikat perdamaian dengan negara Islam) karena hukum Islam tidak ditegakkan, padahal kita mengetahui bahwa mayoritas penduduknya adalah muslim.
Dan yang menguasai saat itu adalah para penjajah yang merupakan kafir asliy, sedangkan para penguasa yang murtad itu sama saja bahkan lebih buruk, Syaikh Al Walid Ibnu Muhammad Nabih Ibnu Saifunnashr berkata dalam ta'liq Ushulusunnah, karya Imam Ahmad riwayat Abdus Al 'Aththar dengan taqdim Syaikh Muhammad 'Iid Al 'Abbasiy (murid langsung Syaikh Albany du Damaskus), ketika beliau mengutarakan pernyataan Syaikh Al Baniy bahwa jalau pemerintah itu adalah para penjajah maka tidak harus taat kepada mereka bahkan harus diusir, beliau (Syaikh Al Walid) berkata H 65 : Ini bukan khusus bagi orang-orang kafir asli, namun masuk di dalamnya orang-orang murtad secara lebih utama yang tidak memelihara hubungan kerabat terhadap orang-orang mu'min dan tidak pula mengindahkan perjanjian, mereka beraliran serba boleh, keluar menentang syari'at ilahiyyah dengan dalih kemajuan dan demokrasi.... semoga Allah membersihkan negeri kaum muslimin dari mereka dan dari perbuatannya.
[12] Namun orang-orang yang hakikatnya pengikut Murji'ah mengatakan bahwa itu adalah negara Islam (pemerintahan Islam) yang tidak menerapkan hukum Islam.
[13] Lihat Ta'liq atas Fathul Majid oleh Al Faqiy 373.
[14] Naqdul Qaumiyyah Al Arabiyyah yang dicetak dengan Majmu Fatawa wa Maqaalaat Mutanawi'ah I/309-310.
[15] Al Muntaqaa Min Fatawa Fadlilatusy Syaikh Shalih Al Fauzan 2/254 No. 222.
[16] Tafsir Al Manar 6/416 dari kitab Dlawabitut Takfir Abdullah Al Qarniy 167.
[17] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 1/789 No. 7796 diketuai oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.
[18] Al Maidah:50.
[19] Muqarrar Tauhid Lishshaffitstsalits:73.
[20] Ta'liq Fathul Majid:373.
[21] Karena dia termasuk orang yang beriman kepada sebagian dan kafir kepada sebagian, dan orang seperti itu adalah kafir, Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan dalam Masaailul Iman saat ditanya orang yang menggeser syari'at Islam dan menempatkan hukum buatan:
[22] Majmu Fatawa 12/280 dan 6/189, dari kitab Raf'ullaimah, Muhammad Salim Ad Dausariy.
[23] Di dalam jawaban beliau yang dilontarkan lewat telepon pada Daurah Syar'iyyah yang diadakan di Sanlat Al Hikmah Crawi oleh Muassasah Al Haramain Al Khairiyyah dari tanggal 11-17 rabi'itstsani 1423 H
[24] Salam Majmu Fatawa-nya 6/189, dari Raf'ullaimah, Muhammad Salim Ad Dausariy.
[25] Al Majmu Ats Tsaniin 1/41.
[26] Majmu Al Fatawa 7/187.
[27] Maksudnya kafir yang mengeluarkan dari agama, lihat kitabnya.
[28] Ibid 1/42.
[29] Syaikh Al Utsaimin berkata ketika menta'liq perkataan Al Muhaddist Al Albaniy dalam Fitanatut Takfir 28.
[30] Umdatut Tafsir 4/174, dari kitab Dlawabituttakfir 'Inda Ahlis Sunnah, Abdullah Al Qarniy.
[31] Risalah Wujub Tahkim Syar'illah Wa Nabdzu Maa Khalafahu hal: 16-17, cetakan V tahun 1409 H, dari kitab Dlawabithutakfir 'Inda Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Karya Abdullah Muhammad Al Qarniy hal. 169-170 atau Wujub Tahlim Syar'illah yang dicetak bersama dengan Tahkimul Qawaaniin : 39-40 cetakan pertama, Darul Muslim 1411 H.
[32] Nama kitab undang-undang yang dibuat Jenggis Khan yang dia susun dari berbagai syari'at, Yahudi, Nashrani, Islam dan lainnya, dan dijadikan rujukan oleh anak cucunya. Ini sama dengan undang-undang sekarang.
[33] Al Bidayah Wan Nihayah 13/119.
[34] Ini hanya perbuatan bukan juhud atau istihlal.
[35] Disini adalah menolak, bukan melanggar, karena ada perbedaan diantara keduannya.
[36] Syaikhul Islam berkata:
"Para Sahabat dan para Imam setelah mereka telah sepakat untuk memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat meskipun mereka shalat lima waktu, shaum di bulan Ramadhan, dan mereka itu tidak memiliki syubhat yang membolehkan, maka oleh sebab penolakan itu mereka dihukumi sebagai orang-orang murtad, dan mereka itu diperangi karena penolakan itu meskipun mereka itu mengakui akan wajibnya zakat itu sebagaimana yang diperintahkan Allah .(Al Majmu 28 519)
[37] Lihat Al Kalimaat An Nafi'ah Fil Mukaffirat Al Waqi'ah, Syaikh Imam Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, dalam Aqidatul Muwahhidin : 235-237.
[38] Ibid : 238.
[39] Adlwaaul Bayan Fi Tafsiril Qur'an Bil Qur'an 4/90-92.
[40] Tadi adalah berhubungan dengan penguasa, adapun masyarakat maka Syaikh Muhammad Syakir Asy Syarif menjelaskan dalam kitabnya Innallaha Huwal Hakam : Pada saat para penguasa atau para pemimpin kafir keluar dari agama (Islam), dan mensyari'atkan hukum-hukum serta menegakkan aturan-aturan yang dengannya mereka menentang syariat Allah yang muhkam (jelas), maka sesungguhnya mereka menginginkan dan meminta dari semua rakyat dan pengikut mereka untuk mengikuti dan menerima dari mereka apa yang mereka bawa, dan di sini manusia (rakyat) terbagi menjadi beberapa kelompok:
1. Diantara mereka ada yang menolak semua apa yang menyelisihi syariat Allah, dan tidak mau mengikuti para penggubah dan pengganti (hukum-hukum Allah), dan dia bersabar atas rintangan/gangguan yang ia dapatkan pada keluarganya, hartanya dan dirinya.
[41] Lihat pelurusan masalah oleh Mahmud Syakir dan Ahmad Syakir dalam kitab Wafaqat Tarbawwiyah Abdul Aziz Nashir Al Julayyil 1/431-436.
[42] Ini kalau perkataan Ibnu Abbas itu shahih, namun yang benar bahwa atsar itu adalah lemah, didhaifkan oleh jumhur ulama, coba lihat Al Qaulul Mubin karya Hassa Abdul Mannan. (dari kitab Haqiqatul Iman 'Inda Asy Syaikh Al Albaniy dirasah nashshiyyah ta'shiliyyah, karya Abu Ruhaiyyim hal 87 taqdim Syaikm Muhhamad Ibrahim Syaqrah).
[43] Pernyataan mereka akan masuknya amal dalam iman, terus mereka katakan itu adalah syarat kesempurnaan, ini adalah jelas kontradiksi, apalagi saat ini takfrnya hanya pada juhud dan istihlal. Lihat pernyataan Syaikh Al Fauzan dalam Masaailul Iman.
[44] Silakan luasnya anda membaca kitab Aqidatu Ad'iyaaus Salafiyyah FI Mizani Ahlis Sunnah MuhammadAl Marakisyiy.
[45] Majmu Fatawaa 7/364
[46] Berbeda halnya dengan orang yang tidak ada tamakkun untuk beramal seperti orang yang terdapat dalam hadist Hudzaifah.
[47] Majmu Fatawaa 7/209
[48] Majmu Fatawaa 7/209.
[49] Al Iman Ibnu Taimiyah : 322.
[50] Al Bayinah : 5
[51] Al Aajurii Akhlakul Ulama : 28, dari kitab Dhahiratul Irjaa' Fil Fikril Islamiy 2/647 dari kitab Aqidatu Ad'iyaaus Salafiyyah Fi Mizani Ahlis Sunnah Muhammad Al Marakisyiy.
[52] Majmu Fatawaa 7/518.
[53] Masih banyak pernyataan senada dari beliau silahkan rujuk kitab Majmu Al Fatawaa jilid tujuh atau kitabul Iman.
[54] Dalam Kasyfusysyubuhat hal : 25.
[55] Di dalam Al Muntaqa I/9 no :1.
[56] Mauqifu Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Minal 'Ilmaniyyah : 16.
[57] Ini dalam atsar yang hasan.
[58] Lihat luasnya dalam Al Jam'u Wat Tajrid Ali Al Khudlair saat menjelaskan dakwah kepada Laa Illaaha Illallah.
[59] Tafsir Al Qur'anil 'Adhim I/754.
[60] Majmu'atut Tauhid : 39.
[61] Silahkan baca kisah Al'Abbas dan orang-orang Islam di Badr, juga kisah Mua'ah Ibnu Murarah dalam perang Riddali.
[62] Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama'ah minal "ilmaniyyah : 19-20.
[63] Aqidatul Muwahiddin, Abdullah Al Ghamidiy Al Albdaliy, risalah Syaikh Ishaq Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah : 165 taqdim Syaikh Bin Baz.
[64] Muqarrar Tauhid Lishshaffitstsalits : 76.
[65] Aqidatut Muwahiddin, Abdullah Al Ghamidiy Al Abdaliy, risalah Syaikh Ishaq Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah : 166 taqdim Syaikh Ibnu Baz.
[66] Innallah Huwal Hakam : 125.
[67] Ashlu Dinil Islam Wa Qaa'idatuhu yang dicetak dalam Majmu'atut Tahid : 29.
[68] Para Aimmatud Dakwah mengatakan bahwa mereka itu tidak disebut kafir asli, tapi orang musyrik kafir murtad, Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad mengatakan : Dan merupakan hal yang ma'ruf lagi disepakati oleh para ulama bahwa orang yang melakukan hal itu (maksudnya kemusyrikan akbar) dari kalangan orang yang sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, dia itu setelah sampai hujjah atasnya dihukumi sebagai kafir murtad dan tidak dihukumi sebagai kafir asliy. Dan saya tidak pernah melihat seorangpun (yang mengatakan itu adalah kafir asliy) selain Muhammad Ibnu Ismail dalam risalahnya tajridut tauhid yang dinamai Tathhirul I'tiqad, dan beliau memberikan alasan akan hal itu bahwa mereka itu tidak mengetahui apa yang ditunjukan oleh kalimah ikhlash,
[69] Ibid : 211
[70] Tathhirul I'tiqad 'An Adranil Ilhad di dalam Aqidatul Muwahhidin : 131
[71] Muqarrar At Tauhid Lishshafil Awwal Al 'Aaliy hal : 52
[72] Aqidatul Muwahhidin 452, dan lihat Fatwa Al Lajnah Ad Daimah I/765 no : 9257 tanggal 22/12/1405 H. Sebagian orang tidak membedakan antara bulughul hujjah/qiyamul hujjah dengan bayanul hujjah/fahmul hujjah, sehingga ketika ditanya,"Si Fulan meminta kekuburan, apakah dia itu musyrik ?
[73] Al Irsyad Ilaa Shahhihil 'Itiqad : 22.
0 komentar:
Posting Komentar