"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Kamis, 10 November 2016

Inspiratif, Kisah Emak2 mantan Mucikari, Bertaubat memilih jualan nasi kucing

Semoga kisah ini jadi inspirasi bagi kita semua dan membuat kita senantiasa selalu dijalan yang benar,

Menjadi mucikari selama 36 tahun dengan penghasilan jutaan rupiah per harinya, tak membuat Mak Temu bergelimang harta, bahkan malah sebaiknya.Hingga akhirnya di 2016, salah satu mucikari berpengaruh di Kota Yogyakarta ini insyaf dan memilih menjadi penjual angkringan.Jarum jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Suasana dua angkringan yang berada di sebelah selatan Terminal Giwangan itu masih sepi.Dari dua angkringan itu, tak tampak terdapat pembeli. Setelah beberapa kali mengitari kawasan ini, Tribun Jogja pun berhenti di salah satu angkringan.

Saat memasuki angkringan, seorang perempuan berusia 60 tahun menghampiri. Tanpa basa-basi, dia langsung bertanya kepada Tribun Jogja terkait kepentingan datang ke angkringannya.Memang sebelumnya, Tribun Jogja menghubungi ketua RT setempat untuk mewawancarai pemilik angkringan.“Tadi Pak RT menghubungi saya, katanya ada wartawan mau datang ke sini. Bagaimana mas?” ujar perempuan bernama Temu Asih itu, Selasa (8/11/2016).Berdasar informasi dari ketua RT setempat, Temu Asih merupakan mucikari di RW 9 Giwangan yang insyaf sebelum bulan Ramadan 2016 lalu.Selama ini, Temu Asih dikenal sebagai salah satu mucikari berpengaruh, sehingga dulu sempat diangkat sebagai wakil ketua Perhimpunan Perempuan Pekerja Seks Yogyakarta.

“Saya memang niat insyaf mas. Sudah tua, apalagi sudah punya anak cucu,” ucap Mak Temu, sapaan akrabnya saat disinggung mengenai alasan berhenti menjadi mucikari.Dia pun mengungkapkan mulai mengelola usaha prostitusi sejak tahun 1970-an. Ketika itu, Mak Temu melanjutkan usaha orangtuanya yang mewarisi sebuah losmen di kawasan lokalisasi Pesanggrahan, Giwangan. Saat Pesanggrahan ditutup pada 1997, dia membuka rumah bordir di RW 9 Giwangan.

“Pendapatan dari menyewakan kamar dan menjajakkan PSK, per malamnya memang bisa mencapai jutaan. Tapi kalau saya pikir, pengeluarannya sampai dua kali lipat. Ibaratnya, pendapatan cuma Rp 100 ribu, tapi pengeluarannya bisa Rp 200 ribu,” jelasnya.Sadar bahwa pendapatannya tak halal dan tak menuai keuntungan, serta cucunya yang mulai tumbuh dewasa, Mak Temu terbersit pikiran untuk berhenti menjadi mucikari di 2016.Hingga akhirnya sebelum bulan Ramadan, dia menyampaikan niatnya tersebut kepada pengurus RT dan RW setempat.

“Awalnya saya dikasih modal usaha roti kering karena mau Lebaran. Sekarang membuka angkringan,” katanya.Mak Temu pun memaparkan ketika berjualan angkringan ini, pendapatannya tidak pasti. Jika dalam kondisi ramai, penghasilan kotor per malam hanya Rp 170 ribu.Namun demikian, dia mengaku tidak berpikiran kembali menjadi mucikari untuk menawarkan wanita tuna susila.“Kalau ada yang minta diantarkan (mencari PSK), saya pasti tidak mau dan beralasan takut wanita yang disediakan tidak sesuai selera,” ujarnya.Sejauh ini, menurut Mak Temu jika terdapat wanita tuna susila yang ingin insyaf, dia arahkan ke dinas sosial untuk mengikuti pelatihan dan diberi modal.Meski begitu, taubatnya Mak Temu berakibat dirinya didiamkan oleh empat mucikari yang masih beroperasi di RW 9 Giwangan.“Saya didiamkan, dikira saya ikut mempengaruhi PSK di Giwangan biar bertaubat. Padahal kalau ada yang bertaubat, itu keinginannya sendiri,” paparnya.Sebelumnya, Ketua RW 9 Giwangan, Sarono mengatakan, mucikari yang tersisa di wilayahnya sebanyak 4 orang. Mucikari tersebut berada di RT 25 dan RW 27.

Diharapkannya, pemerintah bersedia turun tangan untuk ikut membuat 4 mucikari itu beralih profesi seperti yang dilakukan Mak Temu.“Awalnya di sini ada 5 orang mucikari. Tetapi 1 orang sudah dientaskan dengan memberi usaha dan melunasi semua utang-utangnya. Jumlah uang yang dikeluarkan warga sekitar Rp 50 juta. Kami ingin Pemkot Yogyakarta juga begitu ke 4 mucikari sisanya,” tukas Sarono. (Tribunnews)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive