Oleh : M. Ashabus Samaa'un
Ada sebuah catatan menarik dari pertemuan antara Anis Matta dan Dr. Boyke. Dari beberapa kalimatnya, Dr. Boyke berkata, "Saya baru bertemu ustadz seperti ini. Ternyata dalam Islam ada juga yang seperti ini!" Ungkapan yang terakhir, ada anggapan bahwa seolah-olah Islam hanya mengurusi bagaimana cara orang masuk surga dengan ibadah-ibadah mahdhoh. Islam lebih dari itu, bahkan mungkin di luar bayangan orang-orang yang sudah mengenal Islam sekalipun. Proses pengembangan diri dalam kacamata Islam diilhami akan adanya rekonstruksi (pembangunan ulang) dari manusia-manusia yang berada di zaman pasca keberadaan Rasulullah di medan revolusi peran manusia di dunia. Dalam kondisi perubahan peradaban manusia, diperlukan kekuatan-kekuatan yang dapat mengimbanginya. Konsep-konsep pengembangan diri yang dalam Agama Islam berorientasi pada pembentukan pribadi Muslim yang berkarakter kuat, lahir sebagai "manusia baru" yang membawa pencerahan pada peradaban Islam.
Dalam hal itu terdapat 4 hal penting dalam membentuk diri sebagai seorang calon model (panutan) bagi umat manusia khususnya umat islam. Yaitu :
Pertama, Untuk menjadi manusia Muslim yang bisa diandalkan pada abad ke-21 harus memenuhi tiga kualifikasi, yaitu afiliasi, partisipasi, dan konstribusi.
Afiliasi adalah kita memahami dengan baik mengapa kita memilih Islam sebagai agama dan jalan hidup. Dengan afiliasi, manusia diharapkan mempunyai kecenderungan terhadap sesuatu, yaitu wilayah nilai Islam sehingga dapat menjadi pribadi yang saleh. Saleh secara pribadi dapat dibentuk melalui komitmen terhadap akidah, metodologi, dan sikap/akhlak. Setelah dapat saleh secara pribadi memberikan kualifikasi partisipasi. Dalam hal ini, manusia dapat mensalehkan orang lain karena dia sudah bisa mensalehkan pribadinya. Kualifikasi yang terakhir adalah konstribusi, yaitu manusia Muslim abad ke-21 haruslah mempunyai spesialisasi dalam satu bidang keilmuan/profesi. Spesialisasi yang dimaksud adalah spesialisasi dalam pemikiran, kepemimpinan, profesional, dan keuangan.
Kedua, Selanjutnya untuk menjadi model manusia abad ke-21 kita perlu memiliki konsep diri yang jelas.
Sehingga kita akan mempunyai orientasi yang jelas dalam melakukan pengembangan diri. Dalam pengenalan diri ini, mengambil ungkapan Ibnul Qoyyim bahwa untuk mengenal diri diperlukan pengetahuan tentang Ma'rifatulläh dan Ma'rifatunnäs . Dengan kedua pengetahuan ini manusia mempunyai orientasi/tujuan hidup, dan mengetahui cara mencapainya. Tingkatan konsep diri adalah aku diri (di sini manusia memandang dirinya apa adanya seperti yang dia pahami); aku sosial (pada tingkatan ini manusia adalah sesuai anggapan orang lain); dan aku ideal (yaitu tingkatan dimana manusia pada kondisi seperti yang dia inginkan). Untuk menjadi manusia Muslim abad ke-21 yang secara otomatis telah melalui 'seleksi alam' kita perlu merencanakan pengembangan diri. Sehingga tantangan- tantangan dakwah sekeras dan seberat apa pun dapat diatasi. Berbekal pemahaman akan diri dengan berlandaskan pada pemahaman syari'at akan melahirkan kemampuan untuk mengembangkan diri secara optimal. Mengambil Qur'an surat Al Hasyr ayat 18, yang berbunyi "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Bisa didefinisikannya sebagai perintah untuk merencanakan hari esok yang diiringi dengan ketakwaan sebagai landasan syar'i untuk melakukan pengembangan diri. Maksud Tafsir ayat ini secara tersirat adalah, "Ekspresi yang paling kuat dari bertakwa adalah merencanakan pengembangan diri kita untuk hari esok/masa depan".
Ketiga, Membuat Analisis Swot
Kemudian juga Analisis SWOT yang biasa digunakan pelaku manajemen berlaku pula untuk membuat SWOT pribadi. Dengan analisis SWOT, pribadi Muslim akan mengetahui titik kekuatan dan kelemahan sekaligus peluang untuk diambil dan ancaman yang harus diantisipasi. Hal yang cukup berpengaruh dalam proses pengembangan diri adalah adanya motivasi dan kemauan untuk menujunya. Bisa didefinisikan sebagai kemauan sebagai tenaga jiwa, sehingga untuk membangun kemauan kita 'hanya' butuh manajemen tenaga. Manajemen itu meliputi bagaimana kita dapat mengumpulkan tenaga, menggunakannya dan mengembalikan tenaga yang telah dimanfaatkan sebelumnya sehingga kita dapat mengantisipasi hadirnya kejenuhan. Proses pengembangan diri berlanjut pada mengembangkan kemampuan berpikir. Pikiran itu seperti tanah. Bibit yang Anda tanam didalamnya adalah motivasi. Yang tumbuh dari bibit tersebut adalah perilaku. Anda tidak dapat sembarangan menanam bibit pada sembarang tanah. Anda harus mengapling terlebih dahulu tanahnya dan mengetahui tanaman yang cocok untuk pikiran seperti ini.
Keempat, Melatih kemampuan berpikir cepat dan peka keadaan
Kita harus melatih kemampuan berpikir karena kemampuan berpikir merupakan salah satu dari nilai-nilai dasar untuk menjadi orang multidimensi di samping mentalitas yang luar biasa, karakter yang seimbang, dan kondisi fisik yang mendukung. Dengan mengembangkan kemampuan berpikir, manusia dapat hidup di mana-mana, terlepas dia sebagai juru dakwah, mahasiswa, pengusaha, atau bagian dari masyarakat. Kemudian juga seorang muslim tidak akan mempunyai sikap kepedulian jika kemampuan berpikirnya tidak berkembang dan hanya memikirkan keadaan sendiri. Oleh karena itu sikap berpikir secara cepat dalam memahami lingkungan sekitarnya adalah salah satu faktor besar untuk mendorong manusia melakukan amal shalih atau sebuah kepedulian kepada sesama yang membutuhkan. Selain itu dengan memahami keadaan sekitar dengan baik maka kita akan mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan dimasyarakat. Hal itu adalah salah satu faktor besar untuk memperoleh tempat untuk memperluas jangkauan sebagai seorang pendakwah atau pembangun umat.
Refrensi :
- Buku Modelman muslim karya Anis Matta.
- Jurnal almanar edisi 1 tahun 2004
Wallahu'alam
0 komentar:
Posting Komentar