"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Jumat, 25 November 2011

Sejarah Pembukuan Hadits

Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis sebuah
shahifah (lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan. Sedangkan
pembukuan adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah tertulis dan
yang dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.
 
Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah:
  • Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan serta dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas antara Al-Qur’an dengan hadits.
  • Kekhawatiran akan hilangnya hadits karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan kekuasaan negeri Islam.
  • Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan madzhab setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut Mu’awiyah, serta Khawarij yang keluar dari keduanya. Masing-masing golongan berusaha memperkuat madzhab-nya dengan cara menafsirkan Al-Qur’an dengan makna yang bukan sebenarnya.
Akan tetapi, upaya pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna karena Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadits kepadanya. Para ahli hadits memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka mengatakan, “Pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.”
Adapun upaya pembukuan yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz dengan tulus yang didasari karena kecintaan pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan.

Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode yang berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits menyusunnya secara sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.

Ibnu Hajar berkata, “Orang yang pertama melakukan demikian itu adalah Ar-Rabi’ bin Shubaih (wafat 16 H) dan Said bin Abi Arubah (wafat 156 H) hingga kepada para ulama thabaqah (lapisan) ketiga (dari kalangan tabi’in). Imam Malik menyusun Al-Muwatha’ di Madinah, Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-Auza’I di Syam, Sufyan At-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di Basrah.”

Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain:
  1. Al-Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas
  2. Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shan’ani
  3. As-Sunan karya Said bin Mansur
  4. Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah
Karya-karya tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi bercampur antara hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in. Kemudian ulama pada periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja.

Sumber:
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits: Pustaka Al-Kautsar
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive