Istilah Kutubus Sittah digunakan untuk menyebut enam kitab induk hadits, yaitu Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An Nasa`I, Sunan Abi Dawud, Sunan At Tirmidzi, dan Sunan Ibni Majah. Mari kita mengenalnya secara ringkas. Akan tetapi selain itu ada kitab hadits rujukan yang lain walaupun tidak termasuk dalam kutubus sittah namun sangat layak untuk dipelajari yaitu musnad Imam Ahmad.
1. Shahih Al Bukhari
Kitab ini diberi judul Al Jami’ Ash Shahih oleh penyusunnya. Beliau menyeleksi hadits yang tercantum dalam kitab ini dari 600 ribu hadits. Beliau rahimahullah bersusah payah dalam memilih, menyeleksi dan mencari hadits yang shahih hingga setiap kali hendak menuliskan hadits (dalam kitab ini), beliau selalu berwudhu dan mengerjakan shalat dua rakaat sembari memohon petunjuk kepada Allah dalam menuliskannya. Setiap hadits bersanad yang beliau tuliskan dalam kitab ini memiliki sanad shahih dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang muttashil (bersambung) dimana para perawinya telah memenuhi persyaratan dalam hal keadilan dan kesempurnaan hafalan.
Beliau menyelesaikan penyusunan kitab tersebut selama enam belas tahun. Setelah itu, beliau mengajukan kitabnya itu kepada Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, ‘Ali bin Al Madini, dan selain mereka, kemudian mereka menilainya sebagai kitab yang bagus dan memberi rekomendasi/persaksian akan keabsahan hadits dalam kitab tersebut.
Para ulama di setiap zaman menerima kitab tersebut dengan sepenuh hati. Al Hafizh Adz Dzahabi berkata, “Ini adalah salah satu kitab dalam ilmu Islam yang paling bagus dan paling utama setelah kitab Allah ta’ala.”
Jumlah hadits dalam Shahih Al Bukhari termasuk yang terulang berjumlah 7397 buah dan jika tidak termasuk yang terulang berjumlah 2602 buah. Demikianlah yang disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.
Al Bukhari adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ju’fi[2]. Al Ju’fi Al Farisi adalah (maula mereka) yang berasal Persia.
Al Bukhari dilahirkan pada bulan Syawal tahun 194 H. Beliau tumbuh sebagai anak yatim di bawah asuhan ibunya. Kemudian mulai menempuh perjalanan untuk mencari hadits pada tahun 210 H. Beliau berpindah-pindah tempat di dalam negerinya dalam rangka mencari hadits. Kemudian tinggal di Hijaz selama enam tahun. Setelah itu, pergi ke Syam, Mesir, Jazirah, Bashrah, Kufah, dan Baghdad.
Beliau rahimahullah memiliki hafalan yang sangat kuat. Disebutkan bahwa beliau bisa menghafal sebuah kitab dengan sekali membaca. Beliau adalah seorang yang sangat zuhud dan wara’, jauh dari kehidupan para penguasa dan pemimpin. Beliau seorang yang sangat pemberani dan dermawan. Para ulama yang semasa dengan beliau dan sesudahnya memuji beliau. Imam Ahmad berkata, “Khurasan tidak pernah mengeluarkan orang sehebat dia.” Ibnu Khuzaimah berkata, “Di bawah kolong langit ini tidak ada orang yang lebih tahu dan lebih hafal hadits rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Muhammad bin Isma’il Al Bukhari.”
Beliau adalah seorang mujtahid dalam bidang fiqih. Beliau sangat teliti dalam mengambil kesimpulan hukum suatu hadits sebagaimana dapat disaksikan dalam judul-judul bab dalam kitab Shahih-nya.
Beliau rahimahullah wafat di daerah Khartank yang berjarak dua farsakh dari Samarkand pada malam ‘Idul Fithri tahun 256 H dalam usia 62 tahun kurang tiga belas hari. Beliau meninggalkan ilmu yang sangat banyak dalam berbagai kitab karangannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya dan memberinya balasan yang lebih baik atas jasa-jasanya bagi kaum muslimin.
2. Shahih Muslim
Kitab ini adalah kitab yang telah terkenal dan disusun oleh Muslim bin Al Hajjaj rahimahullah. Beliau mengumpulkan hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut penilaiannya di dalam kitab ini. An Nawawi berkata, “Di dalam kitab ini beliau menerapkan metode yang sangat bagus dalam hal ketelitian, kesempurnaan, wara’, dan ma’rifah dimana sangat jarang seorang mendapatkan petunjuk untuk melakukan hal tersebut kecuali beberapa orang saja di beberapa masa.”
Beliau mengumpulkan hadits-hadits yang sesuai dalam satu tempat dan menyebutkan berbagai jalur dan lafadz-lafadz hadits yang dia susun per-bab. Hanya saja, beliau tidak menyebutkan judul-judul bab tersebut. Mungkin karena khawatir akan menambah tebal kitab tersebut atau karena terdapat alasan yang lain.
Setiap bab dalam kitab ini telah diberi judul oleh sejumlah ulama yang menjelaskannya. Di antara syarah yang paling bagus adalah yang disusun oleh An Nawawi rahimahullah. Jumlah hadits dalam kitab ini adalah 7275 buah, termasuk hadits yang terulang dan jika dibuang, hanya berjumlah 4000 buah.
Apabila ditinjau dari segi keabsahannya, maka mayoritas atau seluruh ulama telah sepakat bahwa Shahih Muslim menduduki tingkat kedua setelah Shahih Al Bukhari. Ada yang mengatakan ketika membandingkan dua kitab shahih ini:
تَشَاجَرَ قَوْمٌ فِي الْبُخَارِيِّ وَ مُسْلِمٍ
لَدَيَّ وَ قَالُوْا: أَيُّ ذَيْنٍ تقدم
فَقُلْتُ: لَقَدْ فَاقَ اْلبُخَارِيُّ صِحَّةً
كَمَا فَاقَ فِي حُسْنِ الصَّنَاعَةِ مُسْلِمٌ
Orang-orang berbeda pendapat tentang kitab Shahih Al Bukhari dan Muslim di hadapanku
Mereka berkata: Mana di antara keduanya yang lebih unggul?
Aku pun berkata: Shahih Al Bukhari lebih unggul dalam hal keshahihan
Sebagaimana Shahih Muslim lebih unggul dalam hal penyusunan
Muslim adalah Abu Al Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi. Beliau dilahirkan pada tahun 210 H. Beliau melakukan perjalanan ke berbagai negeri dalam rangka mencari hadits. Beliau pergi ke Hijaz, Syam, ‘Iraq, dan Mesir. Ketika Al Bukhari datang di Naisabur, dia belajar kepadanya, mempelajari ilmunya dan mengikuti setiap langkahnya.
Banyak ulama ahli hadits dan selainnya memberikan pujian kepadanya. Beliau meninggal pada tahun 261 H. Beliau meninggalkan ilmu yang banyak di dalam karya-karyanya. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya dan memberi balasan yang lebih baik atas jasa-jasanya yang beliau berikan kepada kaum muslimin.
Faedah
Pertama, dua kitab shahih ini, Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, tidak mencakup seluruh hadits shahih dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam kitab yang lain juga terdapat hadits-hadits shahih yang tidak diriwayatkan oleh mereka berdua. An Nawawi berkata, “Al Bukhari dan Muslim hanya bermaksud mengumpulkan sejumlah hadits shahih sebagaimana pengarang dalam bidang fikih mengumpulkan sejumlah permasalahan, bukan bermaksud mencakup seluruh masalah. Akan tetapi, jika ada sebuah hadits yang ditinggalkan oleh keduanya atau oleh salah satunya dalam suatu permasalahan, padahal secara zhahir asal sanad hadits tersebut shahih, tetapi keduanya tidak meriwayatkan hadits yang semakna dalam bab tersebut atau meriwayatkan hadits lain yang dapat menggantikannya, maka menurut yang tampak bahwa keduanya berpendapat bahwa hadits tersebut memiliki cacat jika mereka berdua meriwayatkannya. Kemungkinan yang lain bahwa keduanya meninggalkan hadits tersebut karena lupa atau mereka lebih mementingkan untuk tidak terlalu panjang (dalam mengemukakan riwayat dalam suatu permasalahan) dan berpandangan bahwa hadits lain yang telah mereka sebutkan telah dapat mengganti kedudukannya atau karena alasan yang lain.”
Kedua, para ulama telah bersepakat bahwa kitab Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim merupakan kitab karangan paling shahih dalam bidang hadits, yaitu hadits yang mereka sebutkan secara muttashil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Apabila keduanya bersepakat atas keabsahan suatu hadits, maka hadits tersebut pasti berderajat shahih tanpa ada keraguan.” Dia juga berkata, “Mayoritas matan hadits dalam kedua kitab tersebut telah diketahui oleh para ahli hadits secara yakin bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakannya.”
Meskipun demikian, ada sebagian huffazh yang mengkritik sejumlah hadits yang terdapat dalam dua kitab Shahih tersebut. Mereka menyatakan bahwa derajat hadits-hadits tersebut pada hakekatnya dibawah derajat yang mereka tetapkan. Hadits yang dikritik tersebut mencapai 210 hadits terdiri dari 32 hadits yang mereka riwayatkan berdua, 78 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Al Bukhari dan 100 hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pendapat Al Bukhari dalam mengabsahkan hadits-hadits yang dikritik oleh sejumlah ahli hadits lainnya lebih kuat daripada pendapat pihak yang mengkritik. Hal ini berbeda dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Pendapat pihak yang mengkritik hadits yang beliau riwayatkan merupakan pendapat yang benar.” Kemudian Syaikhul Islam memberi contoh dalam hal ini dengan hadits yang menyatakan bahwa Allah menciptakan tanah pada hari Sabtu dan hadits shalat Kusuf dengan tiga dan empat rukuk.
Kritikan yang dilontarkan kepada keduanya dapat dijawab dengan jawaban secara global dan rinci sebagai berikut.
Pertama, jawaban secara global. Ibnu Hajar Al ‘Asqalani berkata dalam Muqaddimah Fathul Bari, “Tidak diragukan lagi mengenai pempriotasan Shahih Al Bukhari kemudian Shahih Muslim atas kitab-kitab hadits lain yang disusun oleh para imam ahli hadits yang sezaman dengan mereka berdua atau setelahnya, dalam mengenal hadits yang shahih dan yang cacat.””Anggaplah pendapat yang mengkritik mereka berdua dapat diakui, sehingga pendapat orang tersebut menyelisihi penilaian shahih mereka berdua terhadap suatu hadits. Maka tidak diragukan lagi bahwa penilaian mereka berdua lebih diprioritaskan daripada pendapat selain mereka. Dengan demikian, kritik yang terlontar dapat diatasi seluruhnya.” Beliau berkata lagi,
Kedua, Ibnu Hajar telah menjawab dalam Muqaddimah tersebut tentang Shahih Al Bukhari dengan jawaban rinci pada setiap hadits.
Ar Rasyid Al ‘Aththar juga telah menyusun sebuah kitab sebagai jawaban terhadap pihak yang mengkritik Muslim, hadits demi hadits. Al ‘Iraqi dalam kitab Syarh Alfiyah fi Al Musthalah berkata, “Sesungguhnya dia (Al ’Aththar) telah menyusun sebuah kitab tersendiri yang berisi hadits-hadits dha’if yang terdapat dalam Ash Shahihain beserta jawabannya. Siapa yang ingin mengetahuinya secara lebih jelas, silakan melihat kitab tersebut karena di dalamnya terdapat banyak faedah yang sangat penting.”
3. Sunan An Nasa`i
An Nasa`i rahimahullah menyusun kitabnya As Sunan Al Kubra dan memasukkan ke dalamnya berbagai hadits shahih dan cacat. Kemudian beliau meringkasnya dalam kitab As Sunan Ash Shughra dan beliau beri judul Al Mujtaba yang di dalamnya beliau hanya mengumpulkan berbagai hadits shahih menurut penilaiannya.
Kitab inilah (Al Mujtaba –pent.) yang dimaksud jika ada hadits yang riwayatnya dinisbatkan kepada An Nasa`i.
Al Mujtaba adalah kitab Sunan yang paling sedikit mengandung hadits dla’if dan perawi yang dijarh. Derajat kitab ini berada setelah Ash Shahihain. Ditinjau dari sisi para perawinya, kitab ini didahulukan daripada Sunan Abi Dawud dan Sunan At Tirmidzi karena beliau sangat berhati-hati dalam memilih para perawi. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Banyak perawi yang dipakai Abu Dawud dan At Tirmidzi yang ditinggalkan oleh An Nasa`i dalam meriwayatkan haditsnya. Bahkan, dalam meriwayatkan haditsnya dia meninggalkan sejumlah perawi yang terdapat dalam Ash Shahihain.”
Kesimpulannya, syarat An Nasa`i yang digunakan dalam Al Mujtaba adalah syarat yang paling ketat setelah syarat dalam Ash Shahihain.
An Nasa`i adalah Abu ‘Abdir Rahman, Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali An Nasa`i. Disebut juga An Nasawi karena dinisbatkan kepada daerah Nasa, sebuah negeri yang terkenal di daerah Khurasan.
Beliau dilahirkan pada tahun 215 H di Nasa. Kemudian melakukan perjalanan untuk mencari hadits. Beliau mendengar hadits dari penduduk Hijaz, Khurasan, Syam, Jazirah, dan selainnya. Beliau tinggal lama di Mesir. Di sanalah beliau karya beliau tersebar luas. Kemudian beliau pergi ke Dimasyq dan mendapatkan ujian (fitnah) di sana.
Beliau meninggal pada tahun 303 H di Ramalah, Palestina dalam usia 88 tahun. Beliau meninggalkan karya yang banyak dalam bidang hadits dan ‘ilal. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya dan memberinya balasan yang lebih baik atas jasa-jasanya kepada kaum muslimin.
4. Sunan Abi Dawud
Kitab ini adalah kitab yang berisi 4800 hadits yang diseleksi oleh penyusunnya dari 500.000 hadits. Beliau hanya menyebutkan hadits-hadits tentang hukum. Beliau berkata, “Di dalamnya saya menyebutkan hadits yang berderajat shahih, yang serupa (mirip) atau yang mendekati derajat shahih. Jika dalam kitabku ini ada hadits yang mengandung kelemahan yang berat, pasti saya jelaskan. Di dalam kitab ini tidak terdapat riwayat yang berasal dari seorang perawi matruk. Hadits yang tidak saya komentari, berarti hadits tersebut hadits yang shalih (baik) dan sebagian hadits lebih shahih dari yang lainnya. Dan hadits-hadits yang saya cantumkan dalam kitab Sunan sebagian besar merupakan hadits-hadits yang populer (masyhur).”
As Suyuthi berkata, “Kemungkinan yang dimaksud shalih (baik) olehnya adalah baik untuk dijadikan sebagai i’tibar (shalih lil i’tibar), bukan sebagai hujjah (shalih lil ihtijaj) sehingga dengan demikian ungkapan shalih yang beliau kemukakan mencakup hadits yang dla’if.
Namun, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa diriwayatkan bahwa beliau (Abu Dawud) berkata, “Hadits yang aku diamkan berarti hadits hasan.” Jika perkataan ini memang benar berasal dari beliau, berarti tidak ada masalah lagi.”, yakni tidak ada masalah bahwa maksud shalih dalam ungkapan beliau tersebut adalah baik untuk dijadikan sebagai hujjah (shalih lil ihtijaj).
Ibnu Ash Shalah berkata, “Berdasarkan ucapan beliau ini, maka hadits yang kita temukan dalam kitab beliau yang disebutkan secara mutlak dan tidak tercantum dalam Ash Shahihain serta tidak seorangpun dari ulama hadits yang menegaskan akan keabsahan hadits tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa hadits tersebut dinilai sebagai hadits yang hasan menurut penilaian Abu Dawud.”
Ibnu Mandah berkata, “Abu Dawud meriwayatkan isnad yang dla’if jika dalam suatu permasalahan tidak terdapat hadits lain selain hadits dla’if itu. Hal ini beliau lakukan karena menurutnya hadits dla’if lebih kuat daripada pendapat yang dikemukakan seorang.”
Sunan Abi Dawud ini sangat terkenal di kalangan ahli fiqih (fuqaha`) karena kitab ini mengumpulkan hadits-hadits hukum. Penyusunnya mengatakan bahwa dia telah menyodorkan kitabnya tersebut kepada Imam Ahmad bin Hambal dan beliau menilainya sebagai kitab yang bagus dan baik. Ibnu Al Qayyim memberikan pujian yang hebat (terhadap kitab ini) dalam Muqaddimah kitab Tahdzib-nya.
Abu Dawud adalah Sulaiman bin Al Asy’ats bin Ishaq Al Azdi As Sijistani. Beliau dilahirkan di Sijistan, salah satu daerah di Bashrah, pada tahun 202 H. Beliau melakukan berbagai perjalanan mencari hadits. Beliau menulis hadits dari penduduk Syam, Irak, Mesir, dan Khurasan. Beliau mengambil hadits dari Ahmad bin Hambal dan juga dari guru-guru Al Bukhari dan Muslim.
Para ulama memberikan pujian kepadanya dan menyebutkan bahwa beliau memiliki hafalan yang sempurna, pemahaman yang kuat, dan seorang yang wara’. Beliau meninggal di Bashrah pada tahun 275 H dalam usia 73 tahun. Beliau meninggalkan karya yang banyak. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya dan memberinya balasan yang lebih baik atas jasa-jasanya yang diberikan kepada kaum muslimin.
5. Sunan At Tirmidzi
Kitab ini juga terkenal dengan nama Jami’ At Tirmidzi. At Tirmidzi rahimahullah menyusunnya berdasarkan dengan bab-bab fiqih. Beliau menjelaskan derajat shahih, hasan, atau dla’if setiap hadits pada tempatnya masing-masing dan menjelaskan sisi kelemahannya. Beliau juga menjelaskan ulama yang beliau ambil pendapatnya baik dari kalangan sahabat atau selainnya. Di akhir kitab tersebut, beliau menyusun sebuah kitab yang membahas tentang ilmu ’ilal dan dalamnya beliau mengumpulkan berbagai faedah yang penting.
Beliau berkata, “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini dapat diamalkan. Sebagian ulama telah berdalil dengannya kecuali dua hadits, yaitu hadits Ibnu ‘Abbas
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ بِالْمَدِيْنَةِ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ
“Bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya` di Madinah bukan karena takut dan bukan pula karena sedang safar.”
Dan hadits
(( إِذَا شَرِبَ فَاجْلِدُوْهُ فَإِنْ عَادَ فِي الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوْهُ ))
“Jika seseorang minum khamer, cambuklah. Kemudian jika masih mengulang lagi pada kali yang keempat, bunuhlah.”[3]
Dalam kitab ini terdapat berbagai faedah dalam bidang fiqih dan hadits yang tidak ada dalam kitab yang lain. Para ulama dari Hijaz, ‘Iraq dan Khurasan menilainya sebagai kitab yang bagus tatkala penyusunnya menyodorkan kitab ini kepada mereka.
Ibnu Rajab berkata, “Ketahuilah bahwa At Tirmidzi mentakhrij (mengeluarkan) hadits shahih, hasan, dan gharib dalam kitabnya. Namun sebagian hadits gharib yang beliau takhrij berderajat munkar, khususnya dalam kitab Al Fadha`il. Meskipun demikian, pada umumnya hal itu beliau jelaskan. Setahu saya beliau tidak mentakhrij hadits dari perawi yang dituduh berdusta dan telah disepakati sebagai perawi yang tertuduh berdusta jika bersendirian dalam meriwayatkan hadits. Memang benar terkadang beliau mentakhrij hadits dari perawi yang hafalannya jelek (sayyiul hifzhi) dan dari perawi yang kebanyakan haditsnya lemah, tetapi biasanya beliau menjelaskan hal itu dan tidak mendiamkannya.”
At Tirmidzi adalah Abu ‘Isa, Muhammad bin ‘Isa bin Surah As Sulami At Tirmidzi. Beliau dilahirkan di Tirmidz -sebuah kota di ujung Jaihun- pada tahun 209 H. Beliau berkeliling ke seluruh negeri dan mendengar hadits dari penduduk Hijaz, ‘Iraq, dan Khurasan.
Para ulama sepakat atas keimaman dan kemuliaan beliau. Bahkan, Al Bukhari pun bersandar pada periwayatannya dan mengambil riwayat darinya padahal Al Bukhari merupakan salah satu gurunya.
Beliau meninggal pada tahun 279 H dalam usia 70 tahun. Beliau menghasilkan karya-karya yang sangat bermanfaat dalam bidang ‘ilal dan selainnya. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya dan memberinya balasan yang lebih baik.
6. Sunan Ibni Majah
Ini adalah kitab yang disusun oleh penulisnya berdasarkan urutan bab. Di dalamnya penyusun mengumpulkan 4341 buah hadits. Berdasarkan pendapat yang masyhur di kalangan mutaakhirin kitab ini termasuk kitab induk keenam dari enam kitab induk hadits. Meskipun demikian, kitab ini derajatnya lebih rendah dari kitab Sunan An Nasa`i, Sunan Abi Dawud, dan Sunan At Tirmidzi. Bahkan, telah masyhur bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara bersendirian umumnya adalah hadits dla’if. Akan tetapi, Al Hafizh Ibnu Hajar berkata lain, “ Hal itu tidaklah bersifat mutlak menurut penelitian saya. Namun, secara global, di dalam kitab tersebut memang banyak terdapat hadits mungkar. Wallahul Musta’an.”
Adz Dzahabi berkata, “Di dalamnya terdpat hadits-hadits mungkar dan sejumlah kecil hadits maudlu’.”
As Suyuthi berkata, “Dia bersendiri dalam meriwayatkan hadits dari para perawi yang dituduh berdusta dan mencuri hadits, dan sebagian dari hadits-hadits tersebut tidak diketahui kecuali dari jalur mereka ini.”
Mayoritas hadits yang beliau takhrij juga diriwayatkan oleh semua atau sebagian penyusun enam kitab induk hadits. Dan beliau meriwayatkan hadits secara bersendiri dan tidak diriwayatkan oleh mereka (penyusun enam kitab induk hadits) sebanyak 1339 buah sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Ustadz Muhammad Fu`ad ‘Abdul Baqi.
Ibnu Majah adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin ‘Abdillah bin Majah (dengan huruf ha` yang disukun, tetapi ada yang mengatakan dengan huruf ta`) Ar Raba’i (maula mereka) Al Qazwini.
Beliau dilahirkan di Qazwin –termasuk wilayah ‘Iraq- pada tahun 209 H. Beliau melakukan perjalanan dalam mencari hadits sampai ke Ar Ray, Bashrah, Kufah, Baghdad, Syam, Mesir, dan Hijaz. Beliau mengambil hadits dari banyak orang di negeri-negeri tersebut. Beliau meninggal pada tahun 273 H dalam usian 64 tahun. Beliau memiliki banyak karya yang bermanfaat. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya dan memberi balasan yang lebih baik atas jasa-jasanya kepada kaum muslimin.
7. Musnad Imam Ahmad
Para ahli hadits menempatkan kitab-kitab musnad di derajat ketiga setelah dua kitab shahih dan kitab-kitab sunan. Salah satu kitab musnad memiliki nilai dan manfaat terbesar adalah Musnad Imam Ahmad.
Para ahli hadits dahulu maupun sekarang telah memberi persaksian bahwa Musnad ini merupakan kitab hadits yang paling lengkap karena setiap muslim membutuhkannya dalam urusan agama dan dunianya. Ibnu Katsir berkata, “Tidak ada satu kitab Musnad pun yang menandingi Musnad Ahmad dalam hal jumlah hadits dan keindahan susunan.”
Hambal berkata, “Ayah mengumpulkan kami, saya, Shalih dan ‘Abdullah, lalu dia membacakan Musnad-nya kepada kami dan tidak ada selain kami yang mendengarnya. Beliau berkata, ‘Kitab ini aku sarikan dari 57 ribu hadits lebih. Jika kaum muslimin berselisih mengenai suatu hadits dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka merujuklah ke dalamnya. Jika kalian mendapati hadits tersebut di dalamnya, berarti dapat dijadikan hujjah, tetapi jika kalian tidak mendapatinya, berarti hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.”
Meskipun begitu, Adz Dzahabi berkata, “Perkataan beliau ini hanya pada kebanyakan perkara karena kita memiliki hadits-hadits yang juga berderajat kuat dan terdapat dalam Ash Shahihain, kitab-kitab Sunan, dan kitab-kitab Al Ajza-u Al Haditsiyah yang tidak terdapat dalam Musnad beliau.“
Kitab musnad ini diberi tambahan oleh anaknya, ‘Abdullah, beberapa hadits yang dia riwayatkan dari ayahnya dan dikenal dengan nama Zawa`id Al ‘Abdillah. Kitab ini juga diberi tambahan hadits-hadits oleh Abu Bakar Al Qathi’i yang dia riwayatkan dari ‘Abdullah dari ayahnya selain dari ‘Abdullah dan ayahnya.
Hadits dalam Musnad ini mencapai 40 ribu buah termasuk yang diulang, dan 30 ribu jika tanpa pengulangan.
Pendapat Para Ulama terhadap Musnad Ahmad
Pendapat ulama terhadap Musnad ini terbagi menjadi tiga pendapat sebagaimana berikut:
Pertama, semua hadits di dalamnya adalah shahih.
Kedua, di dalamnya terdapat hadits yang shahih, dla’if, dan maudlu’. Ibnu Al Jauzi memuat sembilan belas hadits Musnad Ahmad dalam kitabnya, Al Maudlu’at. Al ‘Iraqi menambahkan sembilan hadits darinya yang dia kumpulkan dalam juz tersendiri.
Ketiga, di dalamnya terdapat hadits yang shahih dan dla’if yang mendekati derajat hasan dan di dalamnya tidak ada hadits yang maudlu’. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Adz Dzahabi, Al Hafizh Ibnu Hajar, dan As Suyuthi. Syaikhul Islam berkata, “Syarat yang diterapkan Ahmad dalam Musnad-nya lebih kuat dari syarat yang diterapkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya. Abu Dawud meriwayatkan dari para perawi yang tidak dipakai dalam Al Musnad. Dalam Musnad-nya, Ahmad menerapkan syarat bahwa dia tidak meriwayatkan dari para perawi yang menurut dia terkenal berbuat dusta meskipun bisa jadi ada yang hanya berstastus dla’if. Kemudian anaknya, ‘Abdullah, dan Abu Bakar Al Qathi’i menambahkan beberapa hadits dalam Al Musnad yang ternyata banyak terdapat hadits maudlu’nya. Orang yang tidak tahu akan mengira bahwa hal itu termasuk riwayat Ahmad dalam Musnad-nya.”
Al Hafizh Ibnu Hajar menyusun kitab yang dia beri judul Al Qaulu Al Musaddad fi Adz Dzabbi ‘an Al Musnad. Di dalamnya beliau menyebutkan hadits-hadits yang dinilai oleh Al ‘Iraqi sebagai hadits maudlu’. Beliau juga menambahkan lima belas hadits yang disebutkan oleh Ibnu Al Jauzi yaitu empat belas hadits yang terkumpul dalam suatu juz tersendiri yang dia beri judul dengan Adz Dzail Al Mumahhad.
Para ulama juga menyusun ringkasan, tafsir atau menyortirnya dalam urutan yang lebih rapi (tartib). Di antara kitab tartib yang paling bagus adalah Al Fathu Ar Rabbani li Tartib Musnad Al Imam Ahmad bin Hambal Asy Syaibani yang disusun oleh Ahmad bin ‘Abdur Rahman Al Banna yang terkenal dengan nama As Sa’ati. Beliau menyusunnya menjadi tujuh bagian, bagian pertama berisikan tauhid dan ushuluddin dan pada bagian yang terakhir berisikan kejadian hari Kiamat dan keadaan-keadaan akhirat. Beliau menyusunnya menurut urutan bab-bab secara bagus dan mengakhirinya dengan syarah yang beliau beri judul Bulugh Al Amani min Asrari Al fathi Ar Rabbani. Judul syarah ini sangat sesuai dengan judul kitab aslinya. Kitab syarah ini sangat bermanfaat ditinjau dari sisi hadits dan fiqih. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Ahmad bin Hambal adalah Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy Syaibani Al Marwazi Al Baghdadi.
Beliau dilahirkan pada tahun 164 di Marwu. Kemudian beliau dibawa ke Baghdad ketika masih menyusui. Ada yang mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Baghdad. Beliau tumbuh sebagai anak yatim. Beliau berkeliling ke berbagai negeri dan daerah dalam rangka mencari hadits. Beliau mendengar hadits dari para syaikh pada zamannya di daerah Hijaz, ‘Iraq, Syam, dan Yaman. Beliau sangat perhatian terhadap Sunnah dan fiqih hingga para ahli hadits menganggapnya sebagai imam dan ahli fiqih mereka.
Para ulama yang sezaman dan sesudah beliau memberikan pujian kepada beliau.
Asy Syafi’i berkata,
خرجت من العراق فما رأيت رجلاً أفضل ولا أعلم ولا أتقى من أحمد بن حنبل
“Aku keluar dari ‘Iraq, dan aku tidaklah melihat seorang pun yang lebih utama, berilmu dan lebih wara’, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hambal.”
Ishaq bin Rahuyah berkata,
أحمد حجة بين الله وبين عبيده في أرضه
“Ahmad adalah hujjah antara Allah dan para hamba-Nya di muka bumi.”
Ibnu Al Madini berkata,
“Sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu pada saat terjadinya kemurtadan dan menguatkan dengan Ahmad bin Hambal rahimahullah pada saat terjadinya fitnah (khuluqul Qur-an).”
Adz Dzahabi berkata,
“Pada diri beliau terdapat puncak keimaman dalam bidang fiqih, hadits, ikhlas, dan wara’. Para ulama telah sepakat bahwa beliau adalah seorang yang tsiqah, hujjah, dan imam.”
Beliau meninggal pada tahun 241 H di Baghdad dalam usia 77 tahun. Beliau meninggalkan kepada umat ini ilmu yang sangat banyak dan manhaj yang kuat. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau dan memberinya balasan yang lebih baik atas jasa-jasanya kepada kaum muslimin.
[1] Diterjemahkan dari Taisir a Musthalah al Hadits karya al ‘Allamah Ibnu al ‘Utsaimin rahimahullah.
[2] Bardizbah merupakan suatu kata dari bahasa Persi yang berarti Az Zar’u (tanaman).
[3] Saya (Al Utsaimin) memiliki komentar terhadap ucapan beliau ini. Bahkan imam Ahmad rahimahullah berdalil dengan kandungan hadits Ibnu ’Abbas dalam permasalahan menjamak shalat wajib. Sehingga beliau membolehkan seorang menjamak shalat Zhuhur dengan ’Ashar atau Maghrib dengan Isya’ dikarenakan sakit atau faktor yang lain. Dan Ibnu ’Abbas radliallahu ‘anhuma pernah ditanya, ”Mengapa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu?” Maka beliau menjawab, ”Beliau melakukannya agar tidak menyulitkan umatnya.” Hal ini menunjukkan bahwa setiap kali umat beliau mendesak untuk melakukan jamak, maka hal itu boleh mereka lakukan.
Adapun hadits yang memerintahkan seorang peminum khamr dibunuh apabila dijumpai meminum khamr untuk kali keempat, maka sebagian ulama berdalil dengan hadits ersebut. Ibnu Hazm mengatakan, ”(Seorang peminum khamr yang dijumpai meminum khamr) untuk kali keempat diberi sangsi hukuman mati, apapun kondisinya.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Peminum khamr dibunuh jika kondisi menuntut hal itu, semisal manusia tidak akan berhenti meminum khamr sebelum hukuman mati diberlakukan bagi mereka.” Berdasarkan hal ini, tidak terdapat ijma’ di kalangan para ulama untuk tidak menggunakan kedua hadits tadi sebagai dalil.
sumber : Ikhwanmuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar