"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Kamis, 27 Oktober 2011

Luruskan akidahmu : Sesatnya Tasawuf & salah paham "wali"

Syarah Hadits : Siapakah sebenarnya wali Alloh itu.? 

Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam, sholawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga selawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat. Amien

Dalam kajian kali ini penulis menyajikan syarah hadits arbain nawawi hadits ke-38, tentang wali Alloh. Sekarang ini banyak beredar faham-faham sesat tentang wali, sampai ada orang yang menganggap dirinya wali Alloh lalu mengaku menyatu dengan Alloh,  mereka tidak sadar kalau mereka telah terjerumus kedalam kesyirikan yang amat nyata. Seperti halnya ajaran-ajaran tasawuf (sufi) yang sesat dan menyesatkan umat. Mereka tidak faham apa itu wali Alloh, mereka berpikir bahwa wali Alloh itu punya karomah-karomah yang luar biasa, sehingga prilakunya yang “nyeleneh” pun dianggap sebagai karomah. Sampai-sampai saya pernah mendengar berita ada seorang guru berpaham tasawuf meminum arak lalu ada muridnya yang melihat, lalu melaporkan kepada temannya yang lain lalu temannya itu berkata ”sebenarnya mata kita yang salah karena banyaknya dosa kita sehingga susu yang diminum guru kita terlihat dimata kita arak, padahal yang diminum itu memang benar-benar arak. Begitulah ajaran tasawuf sesat sehingga gurunya yang dianggap wali itu walaupun melakukan dosa besar tetap dianggap suci bahkan disamakan dengan kedudukan Allah dimata mereka, Naudzubillah.

Untuk lebih jelas tentang kesesatan tasawuf saya mengutip artikel tentang imam sufi berikut “Sufi Abu Yazid al-Bustami (meninggal diBistam, Iran,261 H/874 M.) Dia adalah pendiri tarekat Naqsyabandiyah. Mengaku berguru pada Imam Ja’far padahal dia baru lahir 40 tahun setelah Imam Ja’far meninggal dunia. Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelah shalat Subuh Yazid Al-Bustami berkata kepada orang-orang yang mengikutinya, ”Innii ana Allah laa ilaaha illaa ana fa`budnii (Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku). ” Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah gila.  Menurut pandangan para pengikut sufi, ketika mengucapkan kata-kata itu, al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad, suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham tasawuf.”
Masihkah anda ragu kalau ajaran-ajaran tasawuf (sufi) itu sesat, untuk lebih jelasnya mari kita simak syarah hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيْذَنَّهُ
[رواه البخاري]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhya Allah ta’ala berfirman : Siapa yang memusuhi waliku maka Aku telah mengumumkan perang dengannya. Tidak ada taqarrubnya seorang hamba kepada-Ku yang lebih aku cintai kecuali dengan  beribadah dengan apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hambaku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil (perkara-perkara sunnah di luar yang fardhu) maka Aku akan mencintainya dan jika Aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaku niscaya akan aku berikan dan jika dia minta perlindungan dari-Ku niscaya akan Aku lindungi “ (Hadits Riwayat Bukhori).

Terjemahan Hadits:
“Dari Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Alloh telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.

Hadits ini dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137.

Hadits ini disebut juga hadits Qudsi, karena Nabi shalalahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkannya langsung dari Alloh, adapun perbedaan antara hadits Qudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang masyhur di kalangan para ulama adalah bahwa hadits Qudsi lafaz dan maknanya datang langsung dari Alloh adapun hadits biasa lafaznya dari nabi sedangkan maknanya dari Alloh subhanahu wa ta’ala. Kemudian apa perbedaan antara hadits Qudsi dengan Al Qur’an? Karena keduanya sama-sama datang dari Alloh baik lafaz maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaanya adalah Al Quran mendapat pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits Qudsi mendapat pahala dengan memahami dan mengamalkannya. Namun sebagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tampa ilmu. Wallohu a’lam bissawaab.
Sahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah shalallohu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Nama beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang khaibar tahun ke 7 H. dan meninggal dunia pada th 57 H.

Mengapa beliau sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits?

Pertama, berkat doa nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam kepadanya, agar setiap hadits yang ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya. 

Kedua, ia selalu bersama nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari nabi adapun para sahabat yang lain Mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka. Imam Az Dzahaby menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, “Seseorang bertanya kepada Tholhah bin Ubaidillah: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Tholhah: adapun tentang ia mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan pekerjaan, kami datang menemui Rasululllah hanya pada dua penghujung hari (pagi dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu dipintu rumah Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam, tangannya selalu bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatan Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam.”

Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya: aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya kerumah-rumah istri beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang beliau, maka oleh sebab itu (demi Alloh) aku menjadi orang yang paling tahu dengan hadits-hadits beliau. 

Kandungan Hadits
 
Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:

Pertama: Tentang al wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri).
 
Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya”. Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Alloh dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal. 

Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang –orang Ahlu bid’ah kepada Ahlussunnah, atau kebencian orang-orang munafikin dan kafirin kepada umat Islam. Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan sunnah tersebar dikalangan umat manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh Ahlussunnah. Orang yang paling nomor satu dalam memusuhi wali-wali Alloh adalah kaum Rafidhah (Syi’ah), mereka sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari seluruh wali Alloh setelah para nabi dan rasul yaitu para sahabat yang mulia. Mereka orang-orang rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah berjuang dijalan Alloh untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga mereka. 

Imam As Sya’bi mengungkapakan bahwa kebencian Rafidhah kepada para wali Alloh melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada para wali Alloh: ”Bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu? Ia akan menjawab: sahabat Musa. Begitu pula bila engkau bertanya kepada seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan menjawab: sahabat Isa. Tapi bila engakau bertanya kepada seorang rafidhah: siapa generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: sahabat Muhammad.”
Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Arraazy berkata, “Sebetulnya Mereka itu ingin membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi Mereka tidak mampu maka Mereka ingin mencela orang yang menyampaikan Al Quran dan sunnah supaya bisa membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi mereka (orang syi’ah) itu lebih berhak untuk dicela, Mereka itu adalah orang-orang zindiq.”

Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai kelompok yang melenceng dari sunnah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama bisa bertukar disetiap tempat dan disetiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau pengikut sunnah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek ini sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar nasehat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkam kepada mereka.

Sekarang kita kembali kepada taufik utama kita, yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Alloh itu? bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, adapula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu disini.

Pengertian Wali
 
Wali secara etimologi berarti: dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Alloh, dan wali Alloh yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama diantara para nabi adalah para rasul, yang paling utama diantara para rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama diantara Ulul ‘azmi adalah Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Alloh tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Alloh.

Maka dapat disimpulkan disini bahwa wali-wali Alloh terbagi kepada dua golongan:

Golongan Pertama: Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang dekat dengan Alloh). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh disamping melakukan hal-hal yang wajib. Sebagaimana lanjutan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”. 

Golongan Kedua: Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh.
Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits di atas: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya”

Kedua golongan ini disebutkan Alloh dalan firman-Nya:
“Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Alloh). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (Al Waaqi’ah: 88-91).

Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan Mereka kepada dua bagian; wali Alloh dan wali setan. Maka untuk membedakan diantara kedua jenis wali ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar menurut Al Quran dan Sunnah maka dia adalah wali Alloh sebaliknya bila amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid’ah maka dia adalah wali setan. Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.

Ciri-Ciri Wali Alloh
 
Alloh telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firmannya, “Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Alloh Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa”. (Yunus: 62-63).

Ciri pertama, beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Alloh. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Alloh, atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat bahwa Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam bukan penutup segala rasul dan nabi.

Ciri kedua, bertaqwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Alloh dan menjauhi apa yang dilarang Alloh. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan sunnah. Maka oleh sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Alloh maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun zikir, dll.

Ciri-Ciri Wali Setan
 
Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan syetan, mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk kemaksiatan. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Alloh. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdo’a atau meminta dikuburan wali, syetan langsung membisikan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.
Sebagaimana Alloh terangkan dalam firmanNya bahwa setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka:
Sesunguhnya setan-setan itu mewahyukankan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu, jika kamu mentaati Mereka sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin”. (Al An’aam: 121).

Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdo’a di kuburannya, justru ini adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Alloh. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali disisi Alloh dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!. Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong kekuburan nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di Madinah, Umar bin Khatab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam dunia. 

Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat mashur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengikari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian di akhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjama’ah dan shalat jum’at? adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat jum’at. 

Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan diatas air atau tahan pedang atau bisa memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalanya apakah amalanya sehari-hari menurut sunnah atau tidak? sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i: “Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan sunnah”.

Karena setan bisa membawa seseorang untuk terbang, atau memberitahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang diakhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara syetan. Dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipuan setan. 

Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang nabi palsu Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, yang mengaku sebagai nabi. Kita mengaku bahwa dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman Alloh:

Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa “. (Asy Syu’araa: 221-222). Dan yang lain membaca firman Alloh, “Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu”. (Al An’aam: 121).

Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al Qur’an dan Sunnah. Karena nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan bisikan dari malaikat”. (HR. At Tirmizy no: 2988).

Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany: “Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah”.
 
Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu:

1. Berasumsi bahwa seorang wali itu Maksum (terbebas) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali.
 
Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat”. (HR. At Tirmizy no: 2499).

Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang kedalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari nabi sebagaimana pandangan orang-orang rafidhah (syi’ah) dan sebagian dari orang-orang sufi. Oleh sebab itu kebanyakan Mereka mengkultuskan sang kiyai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh sang kiyai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Al Quran dan Sunnah.
Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan dokrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.

2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah (kekuatan luar bisa).
 
Bentuk kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.

Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia disisi Alloh waktu berhijrah beliau mengendarai onta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan Alloh kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Alloh, atau pertolongan dari Alloh terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu didunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbagga diri dihadapan orang lain.

3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.
 
Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Alloh, “Di sisiNya (Alloh) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Alloh)”. (Al An’aam: 59).
 
Dan firman Alloh, “Katakanlah”: tiada seorangpun di langait maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Alloh”. (An Naml: 65).

Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Alloh kepada mereka. Sebagaimana firman Alloh kepada Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam, “Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa disisiku gudang-gudang rezki Alloh, dan akupun tidak mengetahui hal yang ghaib”. (Al An’aam: 50). Dan firman Alloh: “Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak) mudharat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang ghaib tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekkan”. (Al A’raaf: 188).
 
Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Alloh, atau meminta dan berdo’a kepada wali yang sudah mati yang Mereka sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihi salam. Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa Mereka pada Alloh. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Alloh dalam firmannya:
“Ingatlah milik Alloh-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Alloh berkata: kami tidak menyembah Mereka melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya”. (Az Zumar: 3).

Kedua: Bagaimana mendekatkan diri kepada Alloh.
Hal tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.

Manhaj yang benar dalam beribadah
Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan yang wajib diatas yang mandub (sunnah), namun yang sering pula kita saksikan ditengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias melakukan sunnah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh berjama’ah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh dipagi hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: “Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan”.

Yang lebih memprihatinkan lagi kalau bersungguh-sungguh dalam amalan yang tidak ada dasarnya (amalan bid’ah), seperti maulid atau memperingati tahun baru hijriah, atau nuzulul Qur’an atau Isra’ mi’raj, sering kita saksikan orang bersemangat melakukan acara-acara bid’ah tersebut yang setiap hari selalu lalai mengerjakan sholat. Begitu pula dalam berdakwah ada yang berpacu bagaimana mendirikan negara Islam tapi meremehkan orang yang mengajak kepada tauhid yang merupakan pondasi Islam itu sendiri. Begitu pula ada kelompok yang mengajak kepada akhlak semata tampa membicarakan masalah tauhid, dengan alasan mengkaji tauhid akan memecah belah umat. Betapa kejinya ungkapan tersebut, mengatakan bahwa tauhid sebagai biang keladi perpecahan. Tidakkah Mereka tahu bahwa tauhid adalah tujuan utama dawah para rasul. Data dan fakta telah membuktikan selama dakwah tidak dilakukan sesuai dengan manhaj yang dibawa Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam selama itu pula umat ini akan tetap menjadi permainan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu Imam Malik berpesan: “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat jaya generesi sebelum Mereka”

Beberapa kesalahan dalam melakukan ibadah.
Diantara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tampa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid’ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Orang beramal tampa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya”. Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikutsana, ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Alloh pesankan kepada kita: “Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu”. (An Nahl: 43).

Kalau para ikhwan ingin menjadi ahli teknik tentu belajar di fakultas teknik yang para dosennya pakar dalam bidang teknik, begitu pula dalam bidang ahli lainnya, tapi saat sekarang banyak orang berani berbicara dalam agama, padahal baca al fatihah saja belum tentu benar. Banyak pakar gadungan sekarang dalam mengajarkan agama karena bisnisnya cukup menggembirakan, dan lebih sangat aneh kalau seseorang belajar Islam kepada orang kafir. Kalau sakit gigi saja kita pasti pilih dokter ahli gigi, tapi dalam hal agama kita justru belajar kepada siapa saja yang tidak tau dari mana rimbanya. Alloh telah berfirman: 

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (QS Al Israa: 36).

Sebaliknya adalah tidak mengamalkan ilmu yang dimiliki. Maka pelakunya akan disiksa sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah hadits bahwa orang tersebut akan mengelilingi sebuah pautan dalam neraka dengan tali perutnya, lalu orang-orang yang melihat keheranan sebab di dunia dia adalah orang yang mengajarkan ilmu kepada mereka, lalu mereka bertanya kenapa kamu ya fulan? Bukankah kamu yang mengajak kami kepada kebaikan? Ia menjawab: aku menyuruh kepada kebaikan tapi aku tidak melakukannya, aku mencegah dari kemungkaran tapi aku melakukannya”. Na’uzubillah min hadza haal. Alloh telah berfirman: “Apakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu melupakan dirimu sendiri, sedang kamu membaca Al kitab taurat), apakah kamu tidak memikirkannya”. (Al Baqarah: 44).

Oleh sebab itu kita berlindung dari kedua sikap jelek ini, tidak kurang dari 17 X dalam sehari semalam yaitu; beramal tanpa ilmu atau berilmu tapi tidak beramal. 

Ya Alloh tujukilah kami Jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalan orang-orang yang engkau marahi dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat”. (Al Fatihah: 6-7).

Ayat ini ditafsirkan oleh nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam bahwa orang-orang yang dimarahi adalah orang-orang Yahudi, karena Mereka mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Sedangkan jalan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani, karena Mereka beramal tapi tidak dengan ilmu.

Keutamaan melakukan amalan-amalan sunnah.
Kemudian diantara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan dari Alloh adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. “Bila seseorang telah dicintai Alloh maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Alloh telah mencintai seseorang, Alloh memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai si fulan, maka Alloh menyuruh jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberitahu para malaikat bahwa Alloh mencintai si fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Alloh menjadikannya orang yang diterima di bumi”. (HR. Bukhary no: 3037, dan Muslim no: 2637).

Kemudian diantara keutamaan amalan sunnah adalah untuk menyempurnakan amalan wajib yang punya nilai kurang dalam pelaksanaannya. Kemudian melakukan amalan sunnah perlu pula mengurut seperti dalam amalan wajib artinya kita mulai yang lebih utama dari amalan-amalan sunnah. Kalau dalam shalat umpamanya setelah sunnah rawatib shalat witir dan tahajud. Kemudian perlu pula diperhatikan kondisi dan situasi amalan tersebut, seperti saat mendengar adzan yang afdhol adalah menjawab azan, bukan membaca Al Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. 

Begitu pula bagi seorang yang memiliki harta yang utama baginya adalah berinfak dan membantu fakir miskin. Bagi seorang penguasa adalah belaku adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula halnya dalam berdakwah masing-masing melaksanakan profesi yang digelutinya sesuai dengan aturan Islam serta menyebarkan Islam melalui profesinya tersebut. Maka disini kita perlu menuntut ilmu supaya kita mengetahui tingkatan amalan yang akan kita lakukan.

Ketiga: Tentang sifat Alloh Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta). 
 
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”. 

Kaidah umum dalam beriman kepada nama dan sifat-sifat Alloh.
Dalam mengimani sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaedah penting, yang disimpulkan dari nash-nash Al Quran dan Hadits:
  1. Wajibnya beriman dengan seluruh sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah yang shohih.
  2. Tidak menyerupakan sifat-sifat Alloh tersebut dengan sifat-sifat makhluk.
  3. Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut.
Penjelasan kaedah-kaedah tersebut sebagai berikut;
Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Al Quran dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al Qur’an atau berita yang dibawa oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Alloh:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Alloh dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Alloh dan rasul-rasul-Nya, dan mereka berkata: kami beriman dengan sebagian dan kami kafir dengan sebagian (yang lain) dan mereka bermaksud mengambil jalan tengah diantara yang demikian”. (An Nisaa: 150). 

Dan firman Alloh lagi:
“Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Alloh tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan”. (Al Baqarah: 85).

Kaedah pertama ini juga menunjukkan kepada kita bahwa medan pembicaraan tentang sifat-sifat Alloh adalah sebatas adanya nash dari Al Qu’an atau dari sunnah yang shahih. Kaidah ini menunjukkan pula batilnya sikap orang yang mentakwil ayat atau hadits-hadits yang menerangkan tentang sifat-sifat Alloh.

Bila seseorang mentakwil sifat-sifat tersebut berarti ia lebih tahu dari Alloh dan rasul dalam menyampaikan suatu berita, sehingga ia merubah maksud dari perkataan Alloh dan rasul-Nya. Ini adalah kebiasaan kaum Yahudi yang suka merubah dan memutarbalik perkataan Alloh dan rasul-Nya. Yang kemudian diwarisi oleh kaum rasionalisme (Ahlulkalam).
Begitu pula orang yang menyerupakan sifat-sifat Alloh dengan sifat-sifat makhluk, berarti ia menyerupakan Alloh yang Maha Sempurna dengan makhluk yang serba kurang. Orang yang menyerupakan Alloh dengan makhluk adalah kafir. Karena tiada satupun makhluk yang meyerupai Alloh. Sebagaimana firman Alloh:
Tiada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”. (Asy Syura: 11).
Dan firman Alloh: ِ
“Maka jangalah kamu menjadikan tandingan-tandungan bagi Alloh”. (An Nahl: 74).
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive