"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Selasa, 17 Juli 2012

Perbedaan penentuan awal ramadhan


Sudah sejak dahulu ketika ilmu pengetahuan modern mulai berkembang kemudian sisi baiknya adalah manusia bisa lebih mudah dalam menyelesaikan pekerjaan karena dibantu oleh alat modern tetapi sisi buruknya juga banyak. Sesungguhnya ilmu tiada cela jika untuk kebaikan. Yang tercela adalah orang-orang yang tidak bisa menghargai perbedaan dan lebih memilih perselisihan. Seperti yang terjadi dijaman kita yaitu perhitungan awal bulan ramadhan. Memang sejak dahulu terutama diindonesia selalu terjadi perselisihan dalam penentuan awal bulan ramadhan khusunya pihak Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab dan NU yang menggunakan metode rukyat.

Lalu bagaimanakah pendapat paling benar ?

Para ulama berselisih pendapat di dalam menentukan awal bulan Ramadhan apakah dengan cara melihat bulan langsung (rukyat) atau dengan cara hisab.

Pendapat Pertama mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat) dan tidak boleh menggunakan hisab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'I, dan Ahmad).

Dalil mereka adalah sebagai berikut :

1. Sabda Rasulullah saw :

لا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غمى عليكم فاقدروا له. و في رواية  فاقدروا له ثلاثين

"Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh." (HR Muslim)

2. Sabda Rasulullah saw :

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته


"Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan." (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Sabda Rasulullah saw:

إذا رأيتم الهلال فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا

"Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) , maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal ), maka berbukalah." (HR Muslim).

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat bulan secara langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh awan, hendaknya disempurnakan bilangan bulan hingga tiga puluh hari. Inilah maksud lafadh "faqduru lahu" dalam hadits di atas setelah menjama' beberapa riwayat yang ada.

Pendapat kedua mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan hisab. Ini adalah pendapat Mutharrif bin Abdullah, Ibnu Suraij, dan Ibnu Qutaibah. Mereka berdalil dengan hadits riwayat muslim di atas (lihat hadits no 1), hanya saja kelompok ini menafsirkan lafadh " faqduru lahu " dengan ilmu hisab. Yaitu jika bulan tersebut tertutup dengan mendung, maka pergunakanlah ilmu hisab.

Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat). Boleh memakai alat bantu seperti teropong dan lain-lainnya. Demikian pula diperbolehkan menggunakan hitungan hisab, tetapi hanya sebagai pembantu dan penopang dari rukyat.

Selain dalil-dalil yang telah diungkap di atas, ada dalil lain yang menguatkan pendapat mayoritas ulama, yaitu sabda Rasulullah saw:

إنا أمة أمية ، لا نكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا يعنى مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين

"Sesungguhnya kita (umat Islam) adalah umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung, bulan itu jumlahnya 29 hari atau 30 hari." (HR Bukhari dan Muslim)

Artinya hadits di atas adalah  untuk menentuan awal bulan, umat Islam tidak diwajibkan untuk mempelajari ilmu hisab. Karena Allah telah memberikan cara yang lebih mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang, yaitu rukyat. 

Ini  bukan berarti umat Islam dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena Allah swt telah memerintahkan kepada umatnya agar selalu menuntut ilmu pengetahuan selama hal itu membawa maslahat dalam kehidupan manusia ini.  Akan tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini mudah dan bisa dicerna oleh semua kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua orang.

Selain itu di dalam ilmu hisab (ilmu falak) telah terjadi perbedaan pendapat yang sangat banyak. Ada yang menetapkan  bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari  setelah terjadi ijtima’.  Sebagian yang lain menetapkan  bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ ditambahkan bahwa pada saat terbenam matahari tersebut, Hilal (bulan) sudah wujud di atas ufuk. Ini sering disebut dengan  model “ wujudul hilal.”

Bahkan ada kelompok yang mensyarakatkan wujud bulan di atas ufuk tersebut dengan  imkanur rukyat (berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat). Kelompok yang menggunakan model  “imkanu al rukat” inipun berbeda pendapat di dalam menentukan batasannya. Ada yang memegang dengan batasan 2 derajat, ada yang memakai 5 derajat. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan yang tidak mungkin diungkap di sini.
 Inilah mengapa umat Islam di Indonesia belum bisa bersatu di dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, karena masing-masing dari aliran ilmu hisab (ilmu falak) memegang prinsipnya dan merasa paling benar, sehingga tidak mau mundur sedikitpun demi persatuan umat. Wallahu Musta'an.

Untuk mengurangi perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam dalam menyikapi perbedaan cara menentukan awal bulan tersebut, para ulama menfatwakan bahwa sebaiknya umat Islam mengikuti awal bulan Ramadhan dan Syawal yang telah ditentukan oleh pemerintah dalam negara  masing-masing. Untuk negara Indonesia umpamanya, hendaknya seluruh rakyat mengikuti apa yang telah diputuskan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Itu semua demi maslahat persatuan.



isi Kajian (hapus ini jika ingin Posting artikel, tapi jangan Hapus Tulisan "Kirimkan ke teman anda sebagai file .Pdf)
Kirimkan Ke Teman anda Sebagai File .Pdf :
Send articles as PDF to
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive