بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
oleh : Muhammad Husain Haekal
.PRAKATA
Semua peristiwa sejarah dunia Islam catatannya didasarkan pada hijrah Nabi dari Mekah ke Medinah. Rahasia diambilnya peristiwa besar ini sebagai permulaan sejarah Islam, karena waktu itulah permulaan Allah memberikan kemenangan kepada Rasul-Nya dalam menghadapi mereka yang mcmerangi risalahnya di tanah suci itu. Kemudian mereka melakukan perbuatan-perbuatan makar hendak membunuhnya. Dalam hijrah itu hanya Abu Bakr sendiri saja yang menemani Rasulullah. Dalam sakitnya yang terakhir dan ketika sudah tidak kuat lagi mengimami salat, Rasulullah meminta Abu Bakr bertindak memimpin salat itu menggantikannya. la tidak ingin tempat ini dipegang oleh Umar bin Khattab.
Nabi memilih Abu Bakr dalam hijrah dan salat
Dipilihnya Abu Bakr menemaninya ketika hijrah dan mengimami salat menggantikannya, karena Abu Bakr Muslim pertama yang beriman kepada Allah dan kepada Rasulullah, dan demi imannya itu pula dialah yang paling banyak berkorban. Sejak masuk Islam besar sekali hasratnya hendak membantu Nabi dalam berdakwah demi agama Allah dan membela kaum Muslimin. la lebih mencintai Rasulullah daripada dirinya sendiri, mendampinginya selalu dalam setiap peristiwa. Di samping itu, di samping iman yang begitu teguh akhlaknya pun sudah mendekati kesempurnaan, cintanya begitu besar kepada orang lain, paling dekat dan akrab kepada mereka.
Jika demikian halnya, tidak heran bila Muslimin kemudian mengangkatnya sebagai pengganti Rasulullah. Memang, tidak heranlah dengan sikapnya itu ia membela Islam dan menyebarkan agama Allah di muka bumi ini. Dialah yang telah memulai sejarah lahirnya kedaulatan1 Islam, (1 Pengertian kedaulatan di sini dan di bagian-bagian lain dalam buku ini merupakan terjemahan kata bahasa Arab imbaraturiyah, 'sebuah kedaulatan besar, luas dan banyak jumlahnya, dengan kekuatan yang besar meliputi bcrbagai macam bangsa, golongan, ras) yang kemudian menyebar di timur dan di barat, ke India dan Tiongkok di Asia, ke Maroko dan Andalusia di Afrika dan Eropa, dan yang kemudian mengarahkan kebudayaan umat manusia ke suatu tujuan, yang pengaruhnya di seluruh dunia masih terasa sampai sekarang.
Sebuah studi tentang kedaulatan Islam
Selesai menulis kedua buku saya, Sejarah Hidup Muhammad dan Fi Manzilil-Wahy ("Di Lembah Wahyu,") terlintas dalam pikiran saya hendak mengadakan beberapa studi lagi mengenai sejarah kedaulatan Islam sejagat ini, serta sebab-sebab kebesaran dan kemundurannya. Tetapi dalam hal ini saya tergoda oleh suatu pemikiran bahwa kedaulatan Islam ini adalah hasil ajaran-ajaran dan tuntunan Nabi juga. Dalam melakukan studi sejarah Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam dan melihat hasil studi ini yang memang indah, yang sudah sepatutnya akan mcngantarkan langkah umat manusia ke arah kebudayaan yang selama ini didambakan, maka dalam mengadakan studi kedaulatan ini serta perkembangannya, lebih besar lagi hasrat kita hendak mengambil teladan dan ajaran-ajaran Rasulullah sebagai pangkal bertolak. Hal ini akan mempermudah kita memperolch pengetahuan baru mengenai kehidupan yang begitu cemcrlang dan agung. Para ahli rasanya akan lebih puas dengan apa yang pernah saya imbau agar kita lebih mendalami kenyataankenyataan psikologis di samping rohani yang terkandung di dalamnya. Ilmu pengetahuan dengan segala sarananya, dengan segala dalil yang pernah dikemukakan, belum dapat membuktikan, juga tak dapat menafikan. Padahal itu merupakan dasar kebahagiaan hidup umat manusia dan sekaligus menjadi juru kemudinya.
Terdorong oleh pemikiran semacam itu, saya yakin bahwa pengenalan kita pada masa lampau dengan sendirinya akan memberikan gambaran masa depan, dan sekaligus membimbing upaya kita ke arah tujuan yang sesuai dengan kodrat kita sebagai manusia. Masa lampau, masa sekarang dan masa depan merupakan satu kesatuan yang tak tcrpisahkan. Mengenai masa lampau adalah suatu langkah untuk mencntukan diagnosis yang tepat masa sekarang serta mengatur masa yang akan datang. Sama halnya dengan pengetahuan seorang dokter mengenai masa lampau penyakit penderitanya, yakni langkah paling baik untuk membuat diagnosis serta cara pengobatannya. dan kebudayaan yang beraneka warna', (al-Mu'jam al-Kabir); imperium (Latin) atau empire (Inggris), di Rumawi kuno, kedaulatan di tangan seorang pemimpin militer tertinggi; kekuasaan tertinggi, kedaulatan mutlak, absolut, kedaulatan kekaisaran' Webster's New Twentienth Century Dictionary. Pnj.
Masa sekarang yang telah dilahirkan oleh kedaulatan Islam, dalam arti khusus meliputi semua bangsa berbahasa Arab, dan mereka yakin pula bahasa mereka mempunyai hubungan atau nasab dengan penduduk jazirah itu, dan Mesir merupakan pusat lingkaran bangsa-bangsa itu: dikelilingi oleh Palestina, Suria dan Irak di sebelah timur; Tripoli, Tunis, Aljazair dan Maroko di sebelah barat. Dalam arti umum, sekarang meliputi semua bangsa yang beragama Islam di Asia, Afrika dan Eropa. Sudah tentu studi tentang masa lampau kedaulatan Islam yang selalu mempersatukan bangsa-bangsa itu semua akan menjadi pusat perhatian bersama dan masing-masing yang melihat wajahnya ke masa empat belas abad silam itu akan tampak dalam studi ini. Dengan demikian akan kita ketahui pula faktor-faktor yang telah menyebabkan wajah itu ternoda sampai menjadi rusak, dan dengan pengetahuan itu kita akan mencarikan jalan bagaimana wajah itu hams kita kembalikan kepada keagungannya semula, kepada keindahannya yang memang begitu cemerlang.
Sementara saya sedang memikirkan hal ini dan segala sesuatunya yang berhubungan dengan itu, beberapa pihak yang pernah memperlihatkan rasa simpatinya terhadap buku Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad) mendorong saya untuk membuat juga studi mengenai biografi pengganti-penggantinya yang mula-mula, dan secara khusus menulis biografi yang menyeluruh mengenai beberapa pahlawan Islam masa itu, untuk setiap orang ditulis sebuah biografi tersendiri. Kalaupun keinginan teman-teman itu memang mcnyenangkan saya dan juga berkenan di hati, saya sungguh prihatin atas apa yang mereka harapkan itu; suatu hal yang tak akan cukup upaya untuk menyelesaikannya, dan hanya akan menjadi beban yang berat bagi mereka yang sama-sama membantu.
Kenapa dimulai dari biografi Abu Bakr
Biografi Umar bin Khattab misalnya, yang banyak dibicarakan orang, karena mereka melihat bahwa sejarah Umar itu adalah titik gemilang dalam wajah sejarah Islam. Dalam hal ini saya berkata dalam hati: kalau begitu kenapa tidak saya mulai dengan sejarah Abu Bakr saja, dengan membuat studi dan mengemukakannya seperti yang sudah saya lakukan dengan Sejarah Hidup Muhammad? Abu Bakr, sahabat dekat Muhammad, orang yang paling banyak berhubungan dengan dia, di samping memang orang yang paling setia dan paling banyak mengikuti ajaranajarannya. Di samping itu ia memang orang yang sangat ramah dan lembut hati, dan karena dia jugalah puluhan dan ratusan ribu Muslimin tersebar ke segenap penjuru, Juga, dengan segala kelembutannya itu dia adalah Khalifah pertama. Dialah yang telah memperkuat Islam kcmbali tatkala orang-orang Arab yang murtad mencoba mau menggoyahkan sendi-sendi Islam, di samping juga dialah yang telah merintis penyebaran Islam ke luar dan merintis pula kedaulatannya.
Jika terlaksana maksud saya menulis sejarah hidupnya seperti yang saya harapkan, kiranya saya sudah juga membuka jalan ke arah penulisan sejarah kedaulatan ini seluruhnya atau sebagiannya. Dengan demikian, apa yang dikehendaki Allah agar tujuan yang agung ini disampaikan, kiranya sudah saya penuhi, dan sekaligus memperlancar jalan buat mereka yang ingin meneruskan atau memulai dari pertama ke arah yang lebih sempurna.
Kebesaran dan kewibawaanya
Sekiranya usaha saya ini terhenti hanya pada sejarah hidup Abu Bakr saja, rasanya itu pun sudah cukup memadai dan dengan itu hati saya merasa senang juga. Untuk meyakinkan, cukup kiranya kita mengikuti apa yang terjadi pada masa Khalifah pertama itu. Apa yang diceritakan oleh para ahli sejarah mengenai kejadian-kejadian masa itu, dengan segala kebcsaran jiwanya yang kita lihat, sungguh mengejutkan kita, bahkan mengagumkan sekali, atau lebih dari itu, menimbulkan rasa hormat. Malah saya khawatir kalau sampai hal itu dapat menjurus pada pemujaan. Kita memang tidak melihat jelas-jclas pcngertian scmacam itu dalam buku-buku lama mana pun. Tetapi jalannya segala peristiwa dalam sumbcr-sumber itu, kalaupun tidak sampai menerjemahkannya bulat-bulat, setidak-tidaknya sudah memperlihatkan semua kcnyataan itu dengan jelas sekali.
Laki-laki yang begitu rendah hati itu, begitu mudah tcrharu, begitu halus perasaannya, bergaul dengan ofang-orang papa, dengan mereka yang lemah dalam dirinya terpendam suatu kekuatan yang dahsyat sekali. Dengan kemampuan yang luar biasa dalam membina tokoh-tokoh serta dalam menampilkan posisi dan bakat mereka, ia tak kenal ragu, pantang mundur. Ia mendorong mereka terjun ke dalam lapangan yang bcrmanfaat untuk kepentingan umum, menyalurkan segala kekuatan dengan kemampuan yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka.
Di manakah terpendamnya sifat genius dalam diri Abu Bakr itu selama masa Rasulullah dulu?
Kembali ingatan saya pada sejarah Abu Bakr sebelum menjadi Khalifah. Bila saya tampilkan kembali peranannya di samping Rasulullah, maka tampak ia dengan keagungannya itu dalam warna baru sebagai lingkaran cahaya kebesaran yang seimbang ketika ia berada di samping kebesaran dan keagungan Rasulullah. Tetapi semua itu baru tampak jelas di depan mata saya tatkala saya bandingkan dengan sahabat-sahabat Rasulullah yang lain serta pengikut-pengikutnya dari kalangan Muslimin. Betapa pula peranan mereka itu di sisi kebesaran dan keagungannya dengan peranannya pada masa risalah, dan ketika orang-orang Kuraisy begitu hebat memusuhi dan mengganggu Rasulullah, ketika tcrjadi peristiwa Isra, kemudian waktu hijrah, lalu dalam mcnghadapi intrikintrik orang-orang Yahudi di Yasrib (Medinah)?!
Peristiwa-peristiwa itu saja rasanya cukup sudah untuk dijadikan dasar penulisan sejarah hidupnya, untuk dicatatkan namanya dalam sebuah catatan yang abadi. Sungguhpun begitu, kebesaran Abu Bakr adalah kebesaran yang tanpa suara, kebesaran yang tak mau berbicara tentang dirinya, sebab, itu adalah kebesaran jiwa, kebesaran iman yang sungguh-sungguh kepada Allah dan kepada wahyu yang disampaikan kepada. Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam.
Pandangan yang jauh dan tepat
Kemudian apa lagi! Kemudian jalamrya peristiwa demi peristiwa pada masa Abu Bakr itu sudah menjadi saksi pula buat dia akan pendapatnya yang tepat serta pandangannya yang jauh. Ketika terpikir akan memasuki Persia dan Rumawi, setelah merasa lega melihat keadaan kaum Muslimin sudah lepas dari Perang Riddah di kawasan Arab, ia melihat prinsip persamaan dalam ajaran Islam itu sebagai kekuatan baru yang tak akan dapat dilawan baik oleh Persia maupun oleh Rumawi. Prinsip ini tentu akan menarik hati semua orang dalam kedua imperium itu, yang selama ini berjalan atas dasar kekuasaan pribadi atau menurut sistem raja-raja kecil dan atas perbedaan-perbedaan kelas. Betapapun besarnya persediaan dan perlengkapan manusia dan kekuatan pada kedua imperium itu, namun konsep persamaan dan keadilan akan lebih kuat dari segala kekuatan. Kedaulatan yang bcrlaku, yang didasarkan atas konsep ini, dengan asas keadilan, akan lebih menarik hati rakyat. Meskipun antara dia dengan sementara sahabat-sahabat terkemuka ada perbedaan pcndapat, tetapi tidak sampai menghalangi maksudnya hendak menyerbu Irak dan Syam.1 (1 Meliputi Suria, Libanon, Palestina dan Yordania sekarang. Pnj.) Perintah untuk menyerbu itu dikeluarkan dengan keyakinan bahwa Allah akan memberikan bantuan dan pertolongan selalu. Oleh karena itu ia berpesan kepada sctiap pimpinan pasukan agar tetap berpegang teguh pada prinsip persamaan dan keadilan dan jangan menyimpang sedikit pun.
Dari celah-celah peristiwa yang telah diungkapkan oleh para ahli sejarah dahulu itu perangai demikian ini tampak jelas sekali, walaupun pemerintahan Abu Bakr itu waktunya sangat pendek. Ditambah lagi dengan apa yang ditulis oleh kalangan Orientalis, tampak lcbih jelas lagi, seperti beberapa ulasan yang dapat kita baca dalam buku-buku mereka serta usahanya hendak menafsirkan beberapa peristiwa itu. Perangai inilah, yang dalam waktu begitu pendek itu ia memikul tanggung jawab Muslimin, patut mendapat catatan tersendiri, dengan jati dirinya serta pembentukan pribadinya yang dapat dilukiskan secara lebih khas dan lengkap.
Ciri khas masa Abu Bakr
Memang saya sederhanakan tatkala saya sebutkan bahwa masa (periode) pemerintahan Abu Bakr punya jati diri dan bentuknya sendiri yang sempurna, yaitu dalam hubungannya dengan masa Rasulullah sebelum itu dan dengan masa Umar sesudahnya, yang ditandai dengan suatu ciri khas. Masa Rasulullah adalah masa wahyu dari Allah. Allah telah menyempurnakan agama itu untuk umat manusia, telah mclengkapinya dengan karunia-Nya dan dengan Islam sebagai agama yang dipilihkan-Nya untuk mereka. Sedang masa Umar ialah masa pembentukan hukum yang dasardasarnya sudah ditertibkan dengan kedaulatan yang sudah mulai berjalan lancar. Sebaliknya masa Abu Bakr adalah masa pcralihan yang sungguh sulit dan rumit, yang bcrtalian dengan kedua masa itu; namun berbeda dengan kedua masa itu. Bahkan berbeda dari setiap masa yang pernah dikcnal orang dalam sejarah hukum dan ketertibannya serta dalam sejarah agama-agama dan penyebarannya.
Mengatasi kesulitan
Dalam masa transisi yang sangat kritis ini Abu Bakr dihadapkan pada kesulitan-kcsulitan yang begitu besar sehingga pada saat-saat permulaan itu timbul kekhawatiran yang dirasakan oleh seluruh umat Muslimin.
Setelah semua itu dapat diatasi berkat kekuatan imannya, dan untuk waktu berikutnya Allah telah memberikan sukses dan kemenangan, datang Umar memegang tampuk pimpinan umat Islam. Ia memimpin mereka dengan berpegang pada keadilan yang sangat ketat serta memperkuat pemerintahannya sehingga negara-negara lain tunduk setia kepada kekuasaannya.
Memang, telah timbul kekhawatiran di kalangan umat melihat kesulitan yang dihadapi Abu Bakr itu. Sebabnya ialah wilayah Arab yang pada masa Rasulullah sudah tuntas kesatuannya, tiba-tiba jadi goncang begitu RasuluUah wafat. Bahkan gejala-gejala kegoncangan itu memang sudah mulai mengancam sebelum RasuluUah berpulang. Musailimah bin Habib di Yamamah mendakwakan diri nabi dan mengirim delegasi kepada Nabi di Medinah dengan menyatakan bahwa Musailimah juga nabi seperti Muhammad dan bahwa "Bumi ini separuh buat kami dan separuh buat Kuraisy; tetapi Kuraisy adalah golongan yang tidak suka berlaku adil." Juga Aswad Ansi di Yaman mendakwakan diri nabi dan tukang sihir, mengajak orang dengan sembunyi-sembunyi. Setelah merasa dirinya kuat ia pergi ke dacrah selatan lalu mengusir wakil-wakil Muhammad, lalu terus ke Najran. Ia hendak menyebarkan pengaruhnya di kawasan ini. Muhammad mengutus orang kepada wakilnya di Yaman dengan perintah supaya mengepung Aswad atau membunuhnya. Soalnya karena orang Arab yang sudah beriman dengan ajaran tauhid dan sudah meninggalkan penyembahan berhala, tak pernah membayangkan bahwa kesatuan agama mereka telah disusul oleh kesatuan politik. Malah banyak di antara mereka yang masih rindu ingin kembali kepada kepercayaan lamanya. Itu sebabnya, begitu mereka mendengar RasuluUah wafat mereka menjadi murtad, dan banyak di antara kabilah itu yang menyatakan tidak lagi tunduk pada kekuasaan Medinah. Mereka menganggap membayar zakat itu sama dengan keharusan pajak. Oleh karena itu mereka menolak.
Pemberontakan dan Perang Riddah
Seperti jilatan api, cepat sekali pemberontakan itu menjalar ke seluruh jazirah Arab begitu RasuluUah wafat. Berita pemberontakan ini sampai juga kepada penduduk Medinah, kepada mereka yang berada di sekeliling Abu Bakr setelah mereka mcmbaiatnya. Mereka sangat terkejut. Berselisih pendapat mereka apa yang hams diperbuat. Satu golongan berpendapat, termasuk Umar bin Khattab, untuk tidak mcnindak mereka yang menolak membayar zakat selama mereka tetap mcngakui, bahwa tak ada tuhan selain Allah dan Muhammad RasuluUah. Dengan begitu barangkali mereka menghendaki agar tidak banyak musuh yang akan dapat mengalahkan mereka. Allah tidak memberikan janji kemenangan kepada mereka seperti yang diberikan kepada RasuluUah. Juga vvahyu sudah tidak diturunkan kepada siapa pun lagi setelah Nabi dan Rasul penutup itu berpulang ke rahmatullah. Tetapi Abu Bakr tetap bersikeras, mereka yang menolak merabayar zakat dan murtad dari agamanya harus diperangi. Dan itulah Perang Riddah1 (1 Riddah sebuah istilah dalam sejarah Islam, dari akar kata radda, irtadda, "bcrbalik ke bclakang", dalam istilah fikih "meninggalkan keyakinan, agama dsb." (Bd. Qur'an 3. 86-91; 16. 106 sqq). Orang yang melakukannya disebut murtadd seperti yang dikcnal dalam bahasa Indonesia. Perang riddah berarti perang melawan kaum murtad.' —Pnj.) yang telah menelan waktu setahun lebih.
Perang Riddah itu tidak hanya melibatkan ratusan orang dari pasukan Khalifah dan ratusan lagi dari pihak lawan, bahkan di antaranya sampai puluhan ribu dari masing-masing pihak yang terlibat langsung dalam pertempuran yang cukup scngit itu. Ratusan, bahkan ribuan di antara kedua belah pihak terbunuh. Pengaruhnya dalam sejarah Islam cukup menentukan. Andaikata Abu Bakr ketika itu tunduk pada pihak yang tidak menyetujui perang, sebagai akibatnya niscaya kekacauan akan lebih meluas ke seluruh kawasan Arab, dan kedaulatan Islam tentu tidak akan ada. Juga jika pasukan Abu Bakr bukan pihak yang menang dalam perang itu, niscaya akibatnya akan lebih parah lagi. Jalannya sejarah dunia pun akan sangat berlainan.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan ketika orang mengatakan, bahwa dcngan posisinya dalam menghadapi pihak Arab yang murtad discrtai kemenangannya dalam menghadapi mereka itu, Abu Bakr telah mengubah arah sejarah dunia. Tangan Tuhan jugalah yang telah melahirkan kebudayaan umat manusia itu dalam bentuknya yang baru.
Pengaruh kemenangan Perang Riddah
Kalau tidak karena kemenangan Abu Bakr dalam Perang Riddah, penyerbuan ke Irak dan ke Syam tentu tidak akan dimulai, dan pasukan Muslimin pun tak akan berangkat dengan kemenangan memasuki kedua imperium besar itu, Rumawi dan Persia, untuk kemudian digantikan oleh kedaulatan Islam di atas puing itu juga! Kebudayaan Islam telah menggantikan kedua pola kebudayaan itu. Lagi, kalau tidak karena Perang Riddah, dengan gugurnya sahabat-sahabat sebagai syahid yang memastikan kemenangan itu, niscaya tidak akan ccpat-cepat Umar menyarankan kepada Abu Bakr agar Qur'an segera dikumpulkan. Karena pengumpulan inilah pula yang menyebabkan adanya penyatuan bacaan menurut dialek Mudar pada masa Usman. Dengan demikian, Qur'an adalah dasar yang kukuh dalam menegakkan kebenaran, merupakan tonggak yang tak tergoyahkan bagi kebudayaan Islam. Selanjutnya, kalau tidak karena kemenangan yang diberikan Allah kepada kaum Muslimin dalam Perang Riddah itu, jangan-jangan Abu Bakr belum dapat menyusun suatu sistem pemerintahan di Medinah, yang di atas sendi itu pula kemudian Umar menggunakan asas musyawarah. Polanya keadilan dan kasih sayang, intinya kebajikan dan ketakwaan.
Inilah peristiwa-peristiwa agung yang telah dapat diselesaikan dalam vvaktu singkat, tak sampai dua puluh tujuh bulan. Barangkali karena waktu yang sesingkat itu pula yang menyebabkan sebagian orang sampai merentang jarak begitu panjang hingga pada masa Umar, dengan anggapan bahwa jika hanya dalam beberapa bulan saja tidak akan cukup waktu orang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang sampai mengubah jalannya sejarah dunia itu.
Kalau saja mereka ingat, bahwa beberapa revolusi yang telah membawa umat manusia dari suatu kcadaan kepada keadaan yang lain selesai dalam waktu seperti itu, dan bahwa hukum alam sedikit demi scdikit tunduk pada prinsip-prinsip revolusi untuk meningkatkan umat manusia mencapai kesempurnaannya, tidaklah akan cepat-cepat mereka beralih dari masa revolusi rohani seperti yang dicetuskan olch Rasulullah ke seluruh dunia itu, ke kedaulatan Islam yang sudah tersebar ke scgenap penjuru dunia dan sudah juga menganut revolusi itu. Mereka tidak akan lama-lama berhcnti hanya sampai di situ, ketika orang-orang Arab itu mencoba hendak mengadakan pcrlawanan sebagai reaksi atas ajaran yang dibawa oleh Muhammad. Hal ini sudah menjadi bawaan manusia di mana dan kapan pun tatkala mereka hendak melawan setiap prinsip baru. Mereka mencoba memadamkannya, tetapi Allah akan tetap menyempurnakan cahayanya walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.
Hubungan kebesarannya sebagai Khalifah dengan kebesarannya sebagai Sahabat
Bagaimana Abu Bakr dapat menghadapi scgala kcsulitan itu pada permulaan ia memegang pimpinan dan dia tetap bertahan, kemudian dapat mcngatasinya? Sesudah itu pula mulai ia merintis jalan menyebarkan agama dan membuat sebuah kedaulatan sementara kesulitan-kesulitan itu masih ada? Sudah tentu sifat pribadinya bcsar sekali pcngaruhnya. Tetapi sifat-sifat itu saja tidak akan sampai ke tingkat yang sudah dicapainya itu kalau tidak karena persahabatannya dengan Rasulullah selama dua puluh tahun penuh itu. Oleh karena itu para ahli sejarah sepakat bahwa kebesaran Abu Bakr selama masa menjadi Khalifah itu erat sekali hubungannya dengan persahabatannya dengan Rasulullah. Selama dalam persahabatan itu ia telah menghirup jiwa agama yang dibawa oleh Muhammad, ia sepenuhnya mengerti maksud dan tujuannya, mengerti secara naluri, tidak dikacaukan oleh adanya kesalahan atau kcraguan. Apa yang telah dihirupkan dan dipaharainya dengan nalurinya itu ialah bahwa iman adalah suatu kekuatan yang tak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun selama seorang mukmin dapat menjauhkan diri dari maksudmaksud tertentu selain untuk mencari kebenaran demi kebcnaran semata. Banyak memang orang yang dapat memahami kebenaran rohani demikian ini pada setiap zaman, tetapi mereka menangkapnya dengan akal, sedang Abu Bakr menangkap semua itu dengan kalbunya, dengan matanya ia melihat bulat-bulat hidup dalam diri Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam dan dalam perbuatannya
Teladan yang telah mengilhaminya
Iman yang sungguh-sungguh demi kebenaran itulah yang membuatnya menentang sahabat-sahabatnya dalam soal menghadapi golongan murtad waktu itu, dan bersikeras hendak memerangi mereka meskipun harus pergi seorang diri. Bctapa ia tak akan melakukan itu padahal ia sudah menyaksikan sendiri Nabi berdiri seorang diri mengajak orangorang di Mekah ke jalan Allah, tapi mereka ramai-ramai menentangnya. Lalu ia di bujuk dengan harta, dengan kerajaan dan kedudukan tinggi. Kemudian ia pun diperangi dengan maksud hendak membendungnya dari kebenaran yang dibawanya itu. Tidak, malah ia menjawab: "Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah akan membuktikan kemenangan itu: di tanganku, atau aku binasa karenanya, tidak akan kutinggalkan!"
Kenapa ia tidak juga berbuat demikian padahal ia sudah menyaksikan Nabi akibat Perang Uhud, dan setelah kemenangan pihak Kuraisy atas pasukan Muslimin? Nabi kembali bersama-sama kaum Muslimin yang masih ada, yang pernah mcngalami Perang Uhud, dan sambil menunggu kedatangan Kuraisy ia bcrmarkas di Hamra'ul Asad dan tinggal di sana tiga hari, memasang api unggun sepanjang malam, sehingga semangat Kuraisy menjadi goyah dan mereka kembali ke Mekah. Dengan demikian kaum Muslimin telah dapat mcngembalikan kedudukannya sesudah mengalami kegoncangan di Uhud.
Kenapa ia tidak berbuat serupa itu juga padahal ia pernah menyaksikan sendiri pagi itu Nabi di Hunain, dengan jumlah sahabat yang sedikit ia memanggil-manggil anggota-anggota pasukan Muslimin yang berlarian: "Hai orang-orang! Kamu mau ke mana!? Mau ke mana?!" Dan orang yang beribu-ribu itu sedang diliputi ketakutan. Setelah mereka mengetahui posisi Nabi dan mendengar pula panggilan Abbas: "Saudara-saudara dari Ansar, yang tclah memberikan tempat dan pertolongan! Saudara-saudara dari Muhajirin yang telah membaiat di bawah pohon, Muhammad masih hidup, mari ke mari!" Dari scgenap penjuru terdengar jawaban yang menyerukan: "Ya, kami siap, kami siap!" Kini mereka semua kembali, dan bertempur lagi secara heroik sekali.
Alangkah indahnya teladan itu, teladan yang telah mengilhami orang, bahwa iman adalah suatu kekuatan yang tak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun selama seorang mukmin itu dapat menjauhkan diri dari maksudmaksud tertentu selain untuk mencari kebenaran demi kebenaran scmata! Siapakah orang yang memiliki iman seperti pada Abu Bakr itu, yang mengambil teladan dari Rasulullah, schingga ia menjadi salah satu unsur kehidupan yang sangat menentukan!? Inilah kekuatan rohani, yang dalam hidup ini tak ada yang dapat menguasainya, tiada kenal lemah atau ragu, dan tak ada yang akan dapat mengalahkannya.
Kekuatan rohani pada iman
Kekuatan rohani yang diperoleh Abu Bakr pada diri Rasulullah itu dan yang telah membuat kaum Muslimin dapat mengalahkan orang-orang Arab murtad, telah memberikan semangat kepada scgenap kaum Muslimin yang mengangkat mereka kepada keimanan, bahwa mereka tak akan mendapat kemenangan tanpa pertolongan Allah. Mereka mendambakan mati syahid, gugur demi kebenaran. Bagi mereka mati syahid itu suatu kemenangan yang tak ada taranya. Kita akan membaca dalam buku ini bukti-bukti demikian itu, yang dalam sejarah scdikit sekali bandingannya. Kaum Muslimin pada masa Rasulullah yakin sekali, bahwa mereka akan mendapat kemenangan, scbab Allah sudah menjanjikan kepada Rasul-Nya akan memberi bala bantuan dengan para malaikat. Tuhan telah mewahyukan kepadanya untuk membuktikan janji-Nya.
Tetapi pada masa Abu Bakr, dengan berpulangnya Rasulullah ke sisi Allah, wahyu sudah tak ada lagi. Hanya tinggal iman saja lagi, hanya tinggal berteladan saja lagi kepada Rasulullah dan kepada penggantinya dalam meningkatkan iman ke taraf yang lebih tinggi selama hidup di dunia ini. Mati syahid demi membela iman telah menjadi sumber dan rahasia kekuatan, rahasia kemenangan. Itulah rahasia keluhuran budi kita dalam arti kcmanusiaan dengan segala martabatnya untuk mencapai kesempurnaan hidup insani yang terdapat dalam diri kita.
Kenyataan rohani inilah yang telah memberi kekuatan batin kepada Abu Bakr dengan berteladan kepada Rasulullah. Ini diterjemahkan kepada kita dalam perbuatan Muslimin pada masa kepemimpinannya sebagai Khalifah serta bimbingannya yang begitu jelas sehingga dapat kita raba seolah semua itu benda nyata yang dapat ditangkap dengan indera. Kenyataan rohani ini dapat kita rasakan dalam Perang Riddah dan kemudian pada waktu memasuki Irak dan Syam. Kalau bukan karena keimanan ini, dengan jumlah kaum Muslimin yang masih kecil pada masa Khalifah yang pertama itu, niscaya mereka tak akan mampu menyelesaikan segala pekerjaan dan tugas raksasa itu dengan begitu baik, yang selanjutnya telah membukakan jalan ke sebuah kedaulatan Islam yang besar.
Suatu kenyataan sosial setelah kenyataan rohani
Abu Bakr memperoleh kekuatan batinnya itu dengan berteladan kepada Rasulullah. Di samping kenyataan rohani ini, kenyataan sosial juga besar pengaruhnya dalam kehidupan setiap umat atau bangsa, dan setiap umat merasa bangga terhadap dirinya, dengan percaya kepada kekuatan sendiri. Mereka merasa, bahwa mereka mempunyai kewajiban menyimpan suatu risalah, suatu pesan kepada dunia, dan dunia pun wajib menyambut risalahnya itu. Seperti halnya dengan umat ini, tak ada suatu kekuasaan dan kekuatan betapapun besarnya yang boleh merintangi jalannya.
Kedua kenyataan ini, rohani dan sosial, saling mengisi. Pada setiap zaman dan umat ada suatu dasar untuk mengambil hati bangsa-bangsa lain yang dengan penuh semangat menyambut kedua kenyataan itu dan demi berhasilnya risalah yang mengajak bangsa-bangsa itu.
Lebih-lebih yang demikian ini apabila dasar risalahnya bertujuan memberantas kezaliman, memelihara keadilan yang didasarkan pada persamaan antara sesama manusia. Berapa sering sudah sebuah kedaulatan berdiri atas dasar itu juga dalam berbagai kurun sejarah dan berapa sering pula imperium demikian itu mengalami kehancuran karena ia sudah menyimpang dari jalur yang sebenarnya. Oleh karena itu penyimpangan demikian ini oleh pihak lawan dijadikan senjata untuk mengadakan perlawanan.
Ia sadar dan yakin, Islam agama persamaan
Persamaan adalah pola Islam dan oleh karenanya ia merupakan inti kedaulatannya. Kenyataan ini sekarang kita pahami dengan pikiran kita seperti yang banyak dipahami orang dulu juga. Kemudian mereka tidak dapat mempertahankan kedaulatan itu seperti juga kita sekarang, karena hal-hal tertentu atau karena di luar kehendak kita. Tetapi Abu Bakr, dengan nalurinya ia sudah dapat memahami dan benar-benar yakin ia akan hal itu. Maka didorongnya umat Islam agar melaksanakan, dan mereka pun dapat membuktikan dan tetap berlangsung selama beberapa abad dan generasi.
Dengan nalurinya Abu Bakr memahami benar bahwa pada intinya yang paling dalam Islam adalah agama persamaan antar sesama umat manusia. Dakwah atau seruan itu tidak hanya ditujukan kepada golongan tertentu saja, tetapi kepada umat manusia seluruhnya. Pada masa hidupnya Rasulullah telah mengangkat bekas-bekas budak kc suatu kedudukan yang tinggi. Begitu juga orang-orang yang bukan Arab untuk memerintah di kalangan Arab. Salman orang Persia adalah sahabat dekatnya, Zaid bin Harisah, bekas budak yang pernah dibeli oleh Khadijah lalu diberikan kepada Nabi yang kemudian oleh Nabi dimerdekakan dan dijadikan anak angkat. Dia jugalah yang di angkat menjadi panglima dalam Perang Mu'tah, dan sebelum itu pun banyak pekerjaan lain yang berada di bawah pimpinannya. Sesudah itu, sebelum Rasulullah menderita sakit yang terakhir, Usamah anak Zaid itu diserahi pimpinan pasukan, yang anggota-anggotanya terdiri dari pemuka-pemuka Muhajirin dan Ansar, di antaranya Abu Bakr dan Umar. Rasulullah Sallallahu
'alaihi wasallam telah mengangkat Bazan orang Persia itu memegang pimpinan di Yaman.
Rasulullah tidak membeda-bedakan kedudukan orang karena kearabannya atau karena posisinya dalam kabilah. Yang membedakan orang hanyalah amal perbuatannya. Sahabat-sahabat Rasulullah yang diajaknya bermusyawarah dan pendapatnya dihargai di kalangan Muslimin adalah pemuda-pemuda, yang karena keimanannya yang sungguh serta pengorbanannya di jalan Allah, mereka berada di barisan pertama. Sikap Rasulullah ini sesuai dengan perintah Allah di dalam Qur'an, bahwa tak ada perbedaan pada manusia itu selain takwanya, dan balasan yang akan diperoleh sesuai dengan amal perbuatannya. Perbedaan derajat yang satu dengan yang lain, hanya oleh perbuatan dan ketakwaan itu juga.
Sudah tentu, cara yang dilakukan oleh Rasulullah itu banyak sekali mengurangi kecongkakan orang-orang Arab karena fanatisma rasialnya, kalaupun mereka hendak membangga-banggakannya juga, apalagi karena Allah telah memilih Nabi-Nya dari kalangan mereka sendiri, yang akan mereka jadikan alasan akan tingginya kedudukan mereka. Juga Abu Bakr, sudah tentu yang dijadikan pegangannya ialah persamaan dalam Islam antara sesama manusia dan bangsa itu. Inilah yang telah menjadi kekuatannya, sehingga pasukan Persia dan pasukan Rumawi bertekuk lutut.
Pada dasarnya Islam kedaulatan sejagat
Abu Bakr dengan nalurinya sudah menyadari benar bahwa dasar Islam adalah kedaulatan sejagat. Seruannya tidak tcrbatas hanya pada golongan Arab, tetapi ajakan kepada kebenaran itu ditujukan kepada seluruh umat manusia. Karena memang sudah demikian keadaannya, Nabi telah mengirimkan para utusannya kepada raja-raja dan pcnguasa, mengajak mereka sama-sama menerima agama Allah. Sudah menjadi kewajiban setiap orang yang beriman kepada agama ini untuk berdakwah, menyampaikan ajaran-Nya sebagai petunjuk dan rahmat. Dalam diri Rasulullah sudah ada teladan yang baik bagi setiap Muslim. Rasulullah telah menyerukan dakwahnya kepada segenap umat manusia yang terdiri dari berbagai warna kulit. Para penggantinya hendaknya juga menyebarkan seruan itu ke segenap belahan bumi ini.
Biarlah mereka berjuang demi kebebasan berdakwah. Jangan memaksa siapa pun dan jangan juga mau dirintangi dalam menyampaikan kebenaran yang sudah mereka peroleh itu. Hendaklah seluruh jagat ini menjadi arena dakwah kepada kebenaran, apa pun risiko yang akan menimpa diri mereka demi perjuangan di jalan Allah itu. Bila sampai mereka mati syahid, Allah jugalah yang akan memberi balasan.
Prinsip-prinsip inilah yang menjadi dasar dakwah Rasulullah, yang telah dipahami benar oleh Abu Bakr dengan nalurinya, berkat persahabatannya selama itu serta pelajaran-pelajaran yang diterimanya dari Rasulullah. Itulah yang menyebabkan Abu Bakr begitu menerima tugas, segala kesulitan itu buat dia tidak berarti lagi dan ia tetap berusaha mengatasinya, dan itu juga yang membuat kedaulatan Islam cepat berkembang ke segenap penjuru dunia dan kemudian banyak bangsa yang bernaung di bawah panji Islam.
Generasi demi generasi kebudayaan bangsa-bangsa itu terus menyebar di dunia. Kemudian menjadi tua, seperti biasanya semua bangsa dan imperium itu harus berangsur tua. Kemudian jatuh tertidur, nyenyak, lama sekali tidurnya, yang selanjutnya disambung oleh kematian seorang demi seorang.
Apa penyebab jatuhnya kedaulatan Islam?
Adakah yang menyebabkan ketuaan dan kemudian tidur nyenyak yang panjang itu karena prinsip dasar tadi yang terbukti rapuh, ataukah karena bangsa-bangsa yang sudah lepas dari kedaulatan Islam karena sudah menolak prinsip-prinsip itu, lalu menganut yang sebaliknya lalu menjadi lumpuh dan akhirnya lenyap karena perbuatannya sendiri? Begitulah sejarah semua kedaulatan Islam itu, sejak berdirinya, kebesarannya dan kemudian keruntuhannya. Itulah sejarah yang patut dicatat dengan metoda serta studi yang benar-benar ilmiah dan dapat di percaya, lepas dari segala sikap fanatisma. Peristiwa demi peristiwa itu dianalisis dan dicari sebab-sebabnya yang dapat diterima akal serta sesuai dengan kecenderungan rohani yang ingin mencapai kesempurnaan. Namun begitu suatu hal yang sudah menjadi kodrat manusia ialah kita masih terkungkung oleh nafsu kita pada kehidupan dunia. Dengan demikian kita makin jauh dari tujuan hendak mencapai kesempurnaan itu.
Rasanya tak perlu lagi saya menyebutkan bahwa kelumpuhan dan tidur nyenyak ini disebabkan oleh bangsa-bangsa yang lepas dari kedaulatan Islam itu sudah meninggalkan prinsip-prinsip dasar yang sebenarnya sudah menjadi pegangan kedaulatan Islam, prinsip-prinsip Islam yang dasarnya masih murni. Seorang peneliti sejarah kedaulatan Islam yang adil dan obyektif akan dapat meraba dan melihatnya dengan jelas rentetan perkembangannya sejak mula timbulnya perselisihan di kalangan umat Islam penduduk jazirah itu, sampai terjadinya perpecahan antara yang Arab dengan yang bukan-Arab, yang kemudian menjelma menjadi jurang yang mcnganga lebar-lebar menjurus pada kehancuran.
Saya tertarik menulis sejarah Abu Bakr
Baik secara terinci atau dengan ringkas sudah tentu pengantar ini tidak akan memadai untuk menguraikan semua persoalan itu. Kiranya cukup dengan isyarat ini saja. Saya hanya akan membatasi pada masa yang pendek ini tapi sungguh agung yakni masa Abu Bakr as-Siddiq. Saya akan mencatat apa yang saya rasa sangat menggairahkan selama saya menulis biografi ini. Besar sekali harapan saya, apa yang akan saya tulis tentang orang ini sudah akan memenuhi hasrat hati akan kebenaran, serta mencapai apa yang saya inginkan dalam melukiskan bentuk yang hendak saya coba secermat mungkin: sebuah kehidupan yang mengantarkan masa lampau tampak jelas dalam wajah masa sekarang. Saya akan mcngatakan apa yang saya inginkan, sebab saya selalu merasa bahwa wajah ini masih mengandung kekurangan yang tidak sedikit, yang karena beberapa sebab, saya sendiri pun belum sampai ke sana.
Rasanya saya akan bertambah gembira jika buku ini dapat menerjemahkan ke dalam hati pembaca wajah yang jelas mengcnai masa (periode) Abu Bakr, teman kcsayangan (al-khalil) dan teman dekat Rasulullah. Keinginan saya ini mungkin terasa agak bcrlebihan. Masa Abu Bakr seperti saya sebutkan di atas merupakan gambaran tersendiri dalam bentuknya yang lengkap. Orang dapat melihatnya dari sela-sela buku sejarah tentang dirinya yang pernah dilukiskan orang begitu gemilang, sempurna dan integral. Tetapi untuk sampai ke batas wajah yang integral itu diperlukan suatu upaya yang terus-menerus dari generasi ke generasi. Juga perlu penelitian dari pelbagai seginya. Belum ada lagi suatu upaya mengenai Abu Bakr dan masanya yang agak integral. Suatu studi baru masih tetap diperlukan dengan pembahasan yang lebih mendalam, memperbandingkan zaman masa Abu Bakr itu dcngan masa kehidupan bangsa-bangsa yang punya pengaruh pada zaman itu.
Saya yakin usaha semacam ini dalam waktu dekat akan dilanjutkan orang dan akan ada kerja sama dalam mengungkapkan wajah masa itu dengan lebih terinci, jelas dan selengkap mungkin.
Untuk masa Abu Bakr upaya demikian sangat diperlukan melebihi masa-masa yang lain. Sumber-sumber lama dalam bahasa Arab yang bicara tentang Abu Bakr dan masanya masih sering kacau, sehingga rangkaian peristiwa demi peristiwa yang diceritakan itu sukar diikuti. Di sisi lain, tidak sedikit pula catatan-catatan peristiwa itu yang lebih dekat pada dongeng daripada sejarah. Dalam memperbandingkan sumbersumber itu diharapkan orang akan dapat memperoleh bahan-bahan yang dapat membantunya dalam meneliti peristiwa-peristiwa itu, tetapi sumbersumber yang datang berturut-turut untuk beberapa peristiwa itu sering membuat orang jadi bingung. Mau tak mau ia harus menelitinya kembali dengan membuat catatan bahwa pekerjaan itu masih patut diragukan.
Kacaunya sumber para ahli sejarah dapat dimaklumi
Saya berpendapat kckacauan sumber-sumber para ahli sejarah dahulu itu yang akibatnya berlanjut sampai pada upaya mereka yang datang kemudian, bahkan sampai masa kita sekarang ini, dapat dimaklumi. Masa itu, ketika Abu Bakr memegang pimpinan umat Islam adalah masa yang benar-benar penuh perjuangan. Mereka yang beriman kepada Allah dan kepada Rasulullah sedang memikul beban yang amat berat untuk mendukung dakwah agama Allah serta ajaran-ajaran Rasulullah. Mereka semua serentak terjun ke medan perjuangan, berjuang di jalan Allah. Mereka terjun langsung ke kancah peperangan, membunuh atau dibunuh. Buat mereka kehidupan dunia dengan segala kenikmatannya itu tak ada artinya. Tidak apa memilih hidup menderita, tabah menghadapi segala cobaan. Mereka sudah menyerahkan hidup mereka untuk Allah, dan untuk semua itu tanpa mengharapkan balasan selain pahala Yang Mahakuasa. Buat mereka sudah tak ada lagi waktu senggang atau saat-saat santai. Tak ada di antara mereka yang memikirkan apa yang terjadi kemarin karena untuk hari esok memerlukan pekerjaan yang lebih banyak dari kemarin.
Itulah sebabnya tak ada waktu buat mereka mencatat sccara teratur scgala peristiwa besar yang terjadi masa itu. Baru kemudian beritaberita itu disampaikan orang secara berantai. Sesudah itu mcreka tak dapat lagi menyampaikan dan meneruskan berita itu seperti keagungan yang terjadi pada masa Rasulullah. Ya, bagaimana akan dapat mereka lakukan dalam kesibukan mcreka yang terus-menerus dalam menyiarkan agama serta menyusun kedaulatan Islam yang makin hari bertambah luas itu.
Oleh karena itu, bagi penulis sejarah masa itu mau tak mau harus menguji dan memperbandingkan sumber-sumber itu sambil mencari kebenaran yang terdapat di dalamnya. Pekerjaan dengan cara seperti yang telah diusahakan mereka dahulu itu bukan main beratnya. Dengan tidak mengurangi penghargaan serta penghormatan kita atas usaha itu, namun mereka belum dapat mengungkapkan kekuatan yang ada pada masa Abu Bakr dan pemcrintahannya dalam bentuk yang begitu jelas, memesonakan sekaligus mengagumkan dan luar biasa.
Contoh kacaunya referensi
Kita lihat misalnya buku-buku acuan yang kita pergunakan dalam buku ini. Bab demi bab dapat kita baca untuk mengetahui sampai berapa jauh kecermatan seperti yang kita sebutkan itu. Bcberapa buku acuan itu hanya sclintas saja menyinggung masalah-masalah yang begitu penting, yang oleh sumber-sumber lain diuraikan dengan terinci. Sampai-sampai para ahli sejarah semacam Tabari, Ibn Kasir dan Balazuri misalnya, samasekali tidak menyinggung soal pengumpulan Qur'an. Padahal peristiwa pengumpulan Qur'an itu pekerjaan besar dan penting yang harus menghiasi masa Abu Bakr, meskipun bukan yang terbesar. Mengenai peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan Perang Riddah, pembebasan Irak dan Syam, para sejarawan itu masih saling berbeda pendapat. Bahkan berita-bcrita yang saling bertentangan itu terdapat dalam satu kitab yang sama, sehingga orang akan menjadi bingung mana berita yang boleh dipercaya dan mana yang tidak.
Sulit mengikuti peristiwa dalam urutan waktu
Perbedaan waktu ketika peristiwa-peristiwa itu terjadi tidak pula kurang pentingnya dengan perbedaan penggambaran peristiwa-peristiwa itu. Mengenai waktu terjadinya peristiwa itu sering pula masih bersifat untung-untungan, tidak didasarkan pada suatu patokan yang sccara cermat boleh dijadikan pegangan. Juga perbandingan suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain masih sangat membingungkan. Tabari misalnya, ia menyebutkan bahwa Perang Riddah itu terjadi pada tahun sebelas Hijri dan masuk ke Irak pada tahun dua belas sedang kc Syam dilakukan dalam tahun tiga belas. Membaca rentetan waktu yang berturut-turut itu orang akan menduga bahwa perang Irak baru dimulai setelah Perang Riddah usai dan masuk ke Syam setelah keadaan di Irak stabil. Tetapi bila peristiwa demi peristiwa serta kejadian-kejadian itu diperiksa agak teliti orang akan jadi ragu mengenai terjadinya rentetan demikian itu. Tetapi bila kita teliti lebih dalam lagi akan tcrnyata bahwa peristiwa Irak itu terjadi sementara Perang Riddah masih berlangsung, sedang terjadinya penaklukan Syam scusai Perang Riddah. Sementara itu pasukan Khalid bin Walid masih giat mengatur keamanan dan ketertiban di Irak dan sedang bcrsiap-siap menghadapi peperangan baru.
Juga dalam urutan geografi
Tidak hanya sampai di situ saja yang dapat menimbulkan kebingungan. Dalam arti urutan geografi ketika mengikuti peristiwa demi peristiwa orang sering terbentur. Bahkan masih ada bebcrapa sumber yang saling bertentangan sehubungan dengan urutan itu, untuk tidak menyebut adanya nama-nama tempat yang berubah-ubah dan ada pula yang hampir sama, yang juga dapat menimbulkan kebingungan baru. Beberapa Orientalis pernah menerbitkan peta-peta Idrisi yang lama seperti apa adanya, lalu dilampiri dengan peta-peta buatan mereka sendiri seperti yang biasa kita kenal. Hal ini membuat kita lebih mudah mengenali tempat-tempat dan peristiwa-peristiwa itu masing-masing. Kalaupun hal ini dapat memudahkan kita mengadakan penelitian, yang tadinya memang cukup sulit, namun keraguan tetap ada sehubungan dengan beberapa sumber, yang sebenarnya memang sukar dapat dipercaya.
Oleh karena itu beberapa sejarawan masih maju mundur menghadapi masa Abu Bakr itu, karena apa yang mereka baca hampir tak dapat mereka percayai. Mereka yang menulis sejarah Islam itu seolah mau menghindari hal-hal semacam itu semua, atau cukup dengan isyarat saja scdikit mengenai masa Abu Bakr itu, tak sampai memberikan suatu gambaran yang lengkap, yang akan dapat mengungkapkan kejayaan masa itu dan dampak yang sangat menentukan dalam sejarah Islam serta lahirnya sebuah kedaulatan Islam.
Hanya sedikit sumber yang menyinggung peranan Abu Bakr Sumber-sumber demikian terasa makin kacau karena tidak bicara tentang Abu Bakr masa pemerintahannya seperti ketika bicara tentang Khalid bin Walid serta panglima-panglima lain yang memasuki Syam dan tinggal di sana menunggu kedatangan Khalid dari Irak, kcmudian bersama-sama menaklukkan Damsyik dan dengan bakat perangnya ia menghancurkan semua kekuatan moral pihak Rumawi. Mcmbaca kitabkitab acuan semacam ini orang akan membayangkan seolah Abu Bakr hanya tinggal di Medinah, tak bekerja apa-apa selain beribadah. Inilah kesalahan yang sungguh fatal. Padahal semua yang terjadi pada masa Abu Bakr, Abu Bakr-lah jiwa dan penggcraknya.
Di atas sudah kita singgung apa yang terjadi dengan Abu Bakr di satu pihak, dan Umar serta sebagian kaum Muslimin di pihak lain mengenai perbedaan pendapat dalam menghadapi golongan murtad dan mereka yang menolak melaksanakan zakat. Betapa ia begitu gigih hcndak menghadapi mcrcka walaupun seorang diri. Dalam buku ini akan kita lihat, bahwa sebenarnya dialah yang telah mendorong Khalid bin Walid untuk pergi ke Irak memperkuat pasukan Musanna bin Harisah asy-Syaibani dan dia juga yang berseru kepada semua penduduk Arab di seluruh Semenanjung itu agar membebaskan Syam.
Setelah Abu Ubaidah serta pasukannya mengalami kelambatan untuk memasuki Syam, dia jugalah yang mengerahkan Khalid bin Walid untuk membantu mereka. Dalam pada itu dia juga yang mcngorganisasi pembentukan baitulmal serta mengatur distribusi harta rampasan perang di kalangan umat Islam, melakukan pengangkatan para gubernur serta mengawasi pckerjaan mereka. Begitu besar perhatiannya dicurahkan pada masalah-masalah negara dan administrasinya, sehingga semua pikiran di luar itu, baik mengenai pribadinya ataupun soal keluarga, dikesampingkan. Dalam mcncurahkan perhatian untuk kepentingan negara, dari soal yang kecil sampai ke soal yang besar, dialah yang berhasil menyelesaikan dalam waktu relatif pendek, suatu pekerjaan yang tidak akan dapat diselesaikan orang dalam waktu bertahun-tahun. Malah sedikit sekali orang yang akan mampu menyelesaikan.
Barangkali masih ada sebab lain yang cukup berpengaruh di samping yang kita kemukakan di atas mengenai sikap para sejarawan itu terhadap Abu Bakr dan zamannya. Mereka mengira, bahwa persahabatannya dengan Rasulullah selama dua puluh tahun itu, dan yang menjadi pilihan Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam sehingga Rasul berkata: Kalau ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan), maka Abu Bakr-lah "khalil-ku" mereka mengira bahwa semua itu lebih penting daripada prestasinya selama masa kekhalifahannya. Mcmang sudah tak perlu disangsikan lagi bahwa kedudukan Abu Bakr di samping Rasulullah dalam penilaian kita merupakan dampak yang amat tinggi dan cemerlang; tetapi kekhalifahan Abu Bakr adalah sebuah lingkaran yang telah melengkapi dan menjadi mahkotanya sejarah yang agung itu.
Masa kecil dan terbatasnya berita
Sumber-sumber yang sampai kepada kita mengenai masa kecil Abu Bakr tidak banyak membantu untuk mengenai pribadinya dalam situasi kehidupan saat itu. Cerita sekitar masa anak-anak dan remajanya tidak juga memuaskan. Apa yang diceritakan tentang kedua orangtuanya tidak lebih daripada sekedar menyebut nama saja. Setelah Abu Bakr menjadi tokoh sebagai Muslim yang penting, baru nama ayahnya disebut-sebut. Ada pengaruh Abu Bakr dalam kehidupan ayahnya, namun pengaruh ayahnya dalam kehidupan Abu Bakr tidak ada. Tetapi yang menjadi perhatian kalangan sejarawan waktu itu justru yang menyangkut kabilahnya serta kedudukannya di tengah-tengah masyarakat Kuraisy. Tak bedanya mereka itu dalam hal ini dengan sejarah Arab umumnya. Dengan melihat pertaliannya kepada salah satu kabilah,1 (1 Kabilah atau suku merupakan susunan masyarakat Arab yang berasal dari satu moyang, lebih kecil dari sya'b dan lebih besar dari 'imarah, kemudian berturut-turut batn, 'imarah dan fakhz. — Pnj.) sudah cukup untuk mengetahui watak dan akhlak mereka. Adakalanya yang demikian ini baik, dan kadang juga mereka yang percaya pada prinsip keturunan itu berguna untuk menentukan kecenderungan mereka, kendati yang lain menganggap penilaian demikian sudah berlebihan, dan ini yang membuat mereka tidak cermat dalarn meneliti.
Kabilahnya dan kepemimpinannya
Abu Bakr dari kabilah Taim bin Murrah bin Ka'b. Nasabnya bertemu dengan Nabi pada Adnan. Setiap kabilah yang tinggal di Mekah punya keistimewaan tersendiri, yakni ada tidaknya hubungannya dengan sesuatu jabatan di Ka'bah. Untuk Banu Abd Manaf tugasnya siqayah dan rifadah, untuk Banu Abdid-Dar, liwa', hijabah dan nadwah, yang sudah berjalan sejak sebelum Hasyim kakek Nabi lahir. Sedang pimpinan tentara di pegang oleh Banu Makhzum, nenek moyang Khalid bin Walid, dan Banu Taim bin Murrah menyusun masalah diat (tebusan darah) dan segala macam ganti rugi. Pada zaman jahiliah masalah penebusan darah ini di tangan Abu Bakr tatkala posisinya cukup kuat, dan dia juga yang memegang pimpinan kabilahnya. Oleh karena itu bila ia harus menanggung sesuatu tebusan dan ia meminta bantuan Kuraisy, mereka pun percaya dan mau memberikan tebusan itu, yang tak akan dipenuhi sekiranya orang lain yang memintanya.
Banyak buku yang ditulis orang kemudian menceritakan adanya pujian ketika menyinggung Banu Taim ini serta kedudukannya di tengahtengah kabilah-kabilah Arab. Diceritakan bahwa ketika Munzir bin Ma'as-Sama' menuntut Imru'ul-Qais bin Hujr al-Kindi, ia mendapat perlindungan Mu'alla at-Taimi (dari Banu Taim), sehingga dalam hal ini penyair Imru'ul-Qais berkata:
Imru'ul-Qais bin Hujr
Telah didudukkan oleh Banu Taim, "Masabihuz-Zalami"
Karena bait tersebut, Banu Taim dijuluki "Masabihuz-Zalami" (pelita-pelita di waktu gelap).
Tetapi sumber-sumber yang beraneka ragam yang melukiskan sifatsifat Banu Taim itu tidak berbeda dengan yang biasa dilukiskan untuk kabilah-kabilah lain. Juga tidak ada suatu ciri khas yang bisa dibedakan dan dapat digunakan oleh penulis sejarah atau menunjukkan suatu sifat tertentu kepada kabilah mana ia dapat digolongkan. Sumber-sumber itu melukiskan Banu Taim dengan sifat-sifat terpuji: pemberani, pemurah, kesatria, suka menolong dan melindungi tetangga dan sebagainya yang biasa dipunyai oleh kabilah-kabilah Arab yang hidup dalam iklim jazirah Arab.
Nama dan julukannya
Para penulis biografi Abu Bakr itu tidak terbatas hanya pada kabilahnya saja seperti yang sudah saya sebutkan, tetapi mereka memulai juga dengan menyebut namanya dan nama kedua orangtuanya. Lalu melangkah ke masa anak-anak, masa muda dan masa remaja, sampai pada apa yang dikerjakannya. Disebutkan bahwa namanya Abdullah bin Abi Quhafah, dan Abu Quhafah ini pun nama sebenarnya Usman bin Amir, dan ibunya, Ummul-Khair, sebenarnya bernama Salma bint Sakhr bin Amir. Disebutkan juga, bahwa sebelum Islam ia bernama Abdul Ka'bah. Setelah masuk Islam oleh Rasulullah ia dipanggil Abdullah. Ada juga yang mengatakan bahwa tadinya ia bernama Atiq, karena dari pihak ibunya tak pernah ada anak laki-laki yang hidup. Lalu ibunya bernazar jika ia melahirkan anak laki-laki akan diberi nama Abdul Ka'bah dan akan disedekahkan kepada Ka'bah. Sesudah Abu Bakr hidup dan menjadi besar, ia diberi nama Atiq, seolah ia telah dibebaskan dari maut.
Tetapi sumber-sumber itu lebih jauh menyebutkan bahwa Atiq itu bukan namanya, melainkan suatu julukan karena warna kulitnya yang putih. Sumber yang lain lagi malah menyebutkan, bahwa ketika Aisyah putrinya ditanyai: mengapa Abu Bakr diberi nama Atiq ia menjawab: Rasulullah memandang kepadanya lalu katanya: Ini yang dibebaskan Allah dari neraka; atau karena suatu hari Abu Bakr datang bersama sahabat-sahabatnya lalu Rasulullah berkata: Barang siapa ingin melihat orang yang dibebaskan dari neraka lihatlah ini. Mengenai gelar Abu Bakr yang dibawanya dalam hidup sehari-hari sumber-sumber itu tidak menyebutkan alasannya, meskipun penulis-penulis kemudian ada yang menyimpulkan bahwa dijuluki begitu karena ia orang paling dini (Bakr berarti dini (A). — Pnj.)dalam Islam dibanding dengan yang lain.
Masa mudanya
Semasa kecil Abu Bakr hidup seperti umumnya anak-anak di Mekah. Lepas masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja sebagai pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat sukses. Dalam usia muda itu ia kawin dengan Qutailah bint Abdul Uzza. Dari perkawinan ini lahir Abdullah dan Asma'. Asma' inilah yang kemudian dijuluki Zatun-Nitaqain. Sesudah dengan Qutailah ia kawin lagi dengan Umm Rauman bint Amir bin Uwaimir. Dari perkawinan ini lahir pula Abdur-Rahman dan Aisyah. Kemudian di Medinah ia kawin dengan Habibah bint Kharijah, setelah itu dengan Asma' bint Umais yang melahirkan Muhammad. Sementara itu usaha dagangnya berkembang pesat dan dengan sendirinya ia memperoleh laba yang cukup besar.
Perawakan dan perangainya
Keberhasilannya dalam perdagangan itu mungkin saja disebabkan oleh pribadi dan wataknya. Berperawakan kurus, putih, dengan sepasang bahu yang kecil dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas — begitulah dilukiskan oleh putrinya, Aisyah Ummulmukminin. Begitu damai perangainya, sangat lemah lembut dan sikapnya tenang sekali. Tak mudah ia terdorong oleh hawa nafsu. Dibawa oleh sikapnya yang selalu tenang, pandangannya yang jernih serta pikiran yang tajam, banyak kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak diikutinya. Aisyah menyebutkan bahwa ia tak pernah minum minuman keras, di zaman jahiliah atau Islam, meskipun penduduk Mekah umumnya sudah begitu hanyut ke dalam khamar dan mabuk-mabukan. Ia seorang ahli genealogi — ahli silsilah — bicaranya sedap dan pandai bergaul.
Seperti dilukiskan oleh Ibn Hisyam, penulis kitab Sirah:
"Abu Bakr adalah laki-laki yang akrab di kalangan masyarakatnya, disukai karena ia serba mudah. Ia dari keluarga Kuraisy yang paling dekat dan paling banyak mengetahui seluk-beluk kabilah itu, yang baik dan yang jahat. Ia seorang pedagang dengan perangai yang sudah cukup terkenal. Karena suatu masalah, pemuka-pemuka masyarakatnya sering datang menemuinya, mungkin karena pengetahuannya, karena perdagangannya atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak."
Kecintaannya pada Mekah dan hubungannya dengan Muhammad SAW
Ia tinggal di Mekah, di kampung yang sama dengan Khadijah bint Khuwailid, tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa perdagangan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas ke Syam1 dan ke Yaman. Karena bertempat tinggal di kampung itu, itulah yang membuat hubungannya dengan Muhammad begitu akrab setelah Muhammad kawin dengan Khadijah dan kemudian tinggal serumah. Hanya dua tahun beberapa bulan saja Abu Bakr lebih muda dari Muhammad. Besar sekali kemungkinannya, usia yang tidak berjauhan itu, persamaan bidang usaha serta ketenangan jiwa dan perangainya, di samping ketidaksenangannya pada kebiasaan-kebiasaan Kuraisy — dalam kepercayaan dan adat — mungkin sekali itulah semua yang berpengaruh dalam persahabatan Muhammad dengan Abu Bakr. Beberapa sumber berbeda pendapat, sampai berapa jauh eratnya persahabatan itu sebelum Muhammad menjadi Rasul. Di antara mereka ada yang menyebutkan bahwa persahabatan itu sudah begitu akrab sejak sebelum kerasulan, dan bahwa keakraban itu pula yang membuat Abu Bakr cepat-cepat menerima Islam.
Ada pula yang lain menyebutkan, bahwa akrabnya hubungan itu baru kemudian dan bahwa keakraban pertama itu tidak lebih hanya karena bertetangga dan adanya kecenderungan yang sama. Mereka yang mendukung pendapat ini barangkali karena kecenderungan Muhammad yang suka menyendiri dan selama bertahun-tahun sebelum kerasulannya menjauhi orang banyak. Setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul teringat ia pada Abu Bakr dan kecerdasan otaknya. Lalu diajaknya ia bicara dan diajaknya menganut ajaran tauhid. Tanpa ragu Abu Bakr pun menerima ajakan itu. Sejak itu terjadilah hubungan yang lebih akrab antara kedua orang itu. Kemudian keimanan Abu Bakr makin mendalam dan kepercayaannya kepada Muhammad dan risalahnya pun bertambah kuat. Seperti dikatakan oleh Aisyah: "Yang kuketahui kedua orangtuaku sudah memeluk agama ini, dan setiap kali lewat di depan rumah kami, Rasulullah selalu singgah ke tempat kami, pagi atau sore."
Menerima dakwah tanpa ragu dan sebabnya
Sejak hari pertama Abu Bakr sudah bersama-sama dengan Muhammad melakukan dakwah demi agama Allah. Keakraban masyarakatnya dengan dia, kesenangannya bergaul dan mendengarkan pembicaraannya, besar pengaruhnya terhadap Muslimin yang mula-mula itu dalam masuk Islam itu. Yang mengikuti jejak Abu Bakr menerima Islam ialah Usman bin Affan, Abdur-Rahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Sa'd bin Abi Waqqas dan Zubair bin Awwam. Sesudah mereka yang kemudian menyusul masuk Islam — atas ajakan Abu Bakr — ialah Abu Ubaidah bin larrah dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah.
Adakalanya orang akan merasa heran betapa Abu Bakr. tidak merasa ragu menerima Islam ketika pertama kali disampaikan Muhammad kepadanya itu. Dan karena menerimanya tanpa ragu itu kemudiaYi Rasulullah berkata:
"Tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakr bin Abi Quhafah. la tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu ketika kusampaikan kepadanya."
Sebenarnya tak perlu heran tatkala Muhammad menerangkan kepadanya tentang tauhid dan dia diajaknya lalu menerimanya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi bila Muhammad menceritakan kepadanya mengenai gua Hira dan wahyu yang diterimanya, ia mempercayainya tanpa ragu. Malah keheranan kita bisa hilang, atau berkurang, bila kita ketahui bahwa Abu Bakr adalah salah seorang pemikir Mekah yang memandang penyembahan berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka. Ia sudah mengenai benar Muhammad — kejujurannya, kelurusan hatinya serta kejernihan pikirannya. Semua itu tidak memberi peluang dalam hatinya untuk merasa ragu, apa yang telah diceritakan kepadanya, dilihatnya dan didengarnya. Apalagi karena apa yang diceritakan Rasulullah kepadanya itu dilihatnya memang sudah sesuai dengan pikiran yang sehat. Pikirannya tidak merasa ragu lagi, ia sudah mempercayainya dan menerima semua itu.
Keberaniannya menerima Islam dan menyiarkannya
Tetapi apa yang menghilangkan kekaguman kita tidak mengubah penghargaan kita atas keberaniannya tampil ke depan umum dalam situasi ketika orang masih serba menunggu, ragu dan sangat berhati-hati. Keberanian Abu Bakr ini patut sekali kita hargai, mengingat dia pedagang, yang demi perdagangannya diperlukan perhitungan guna menjaga hubungan baik dengan orang lain serta menghindari konfrontasi dengan mereka, yang akibatnya berarti menentang pandangan dan kepercayaan mereka. Ini dikhawatirkan kelak akan berpengaruh buruk terhadap hubungan dengan para relasi itu.
Berapa banyak orang yang memang tidak percaya pada pandangan itu dan dianggapnya suatu kepalsuan, suatu cakap kosong yang tak mengandung arti apa-apa, lalu dengan sembunyi-sembunyi atau berpura-pura berlaku sebaliknya hanya untuk mencari selamat, mencari keuntungan di balik semua itu, menjaga hubungan dagangnya dengan mereka. Sikap munafik begini kita jumpai bukan di kalangan awamnya, tapi di kalangan tertentu dan kalangan terpelajarnya juga. Bahkan akan kita jumpai di kalangan mereka yang menamakan diri pemimpin dan katanya hendak membela kebenaran. Kedudukan Abu Bakr yang sejak semula sudah dikatakan oleh Rasulullah itu, patut sekali ia mendapat penghargaan, patut dikagumi.
Usaha Abu Bakr melakukan dakwah Islam itulah yang patut dikagumi. Barangkali ada juga orang yang berpandangan semacam dia, merasa sudah cukup puas dengan mempercayainya secara diam-diam dan tak perlu berterang-terang di depan umum agar perdagangannya selamat, berjalan lancar. Dan barangkali Muhammad pun merasa cukup puas dengan sikap demikian itu dan sudah boleh dipuji. Tetapi Abu Bakr dengan menyatakan terang-terangan keislamannya itu, lalu mengajak orang kepada ajaran Allah dan Rasulullah dan meneruskan dakwahnya untuk meyakinkan kaum Muslimin yang mula-mula untuk mempercayai Muhammad dan mengikuti ajaran agamanya, inilah yang belum pernah dilakukan orang; kecuali mereka yang sudah begitu tinggi jiwanya, yang sudah sampai pada tingkat membela kebenaran demi kebenaran. Orang demikian ini sudah berada di atas kepentingan hidup pribadinya sehari hari. Kita lihat, dalam membela agama, dalam berdakwah untuk agama, segala kebesaran dan kemewahan hidup duniawinya dianggapnya kecil belaka. Demikianlah keadaan Abu Bakr dalam persahabatannya dengan Muhammad, sejak ia memeluk Islam, hingga Rasulullah berpulang ke sisi Allah dan Abu Bakr pun kemudian kembali ke sisi-Nya.
Abu Bakr orang pertama yang memperkuat agama
Teringat saya tatkala Hamzah bin Abdul Muttalib dan Umar bin Khattab masuk Islam, betapa besar pengaruh mereka itu dalam memperkuat Islam, dan bagaimana pula Allah memperkuat Islam dengan kedua mereka itu. Keduanya terkenal garang dan berpendirian teguh, kuat, ditakuti oleh lawan. Juga saya ingat, betapa Abu Bakr ketika ia masuk Islam. Tidak ragu kalau saya mengatakan, bahwa dialah orang pertama yang ditempatkan Allah untuk memperkuat agama-Nya. Orang yang begitu damai jiwanya, tenang, sangat lemah lembut dan perkasa. Matanya mudah berlinang begitu melihat kesedihan menimpa orang lain. Ternyata orang ini menyimpan iman yang begitu kuat terhadap agama baru ini, terhadap Rasul utusan Allah. Ternyata ia tak dapat ditaklukkan.
Adakah suatu kekuatan di dunia ini yang dapat melebihi kekuatan iman! Adakah suatu kemampuan seperti kemampuan iman dalam hidup ini! Orang yang mengira, bahwa kekuatan despotisma dan kekuasaan punya pengaruh besar di dunia ini, ia sudah terjerumus ke dalam jurang kesalahan. Jiwa yang begitu damai, begitu yakin dengan keimanannya akan kebenaran, yang mengajak orang berdakwah dengan cara yang bijaksana dan nasihat yang baik, dengan cara yang lemah lembut, yang bersumber dari akhlak yang mulia dan perangai yang lembut, bergaul dengan orang-orang lemah, orang-orang papa dan kaum duafa, yang dalam penderitaannya sebagai salah satu sarana dakwahnya — jiwa inilah yang sepantasnya mencapai sasaran sebagaimana dikehendaki, karena ia mudah diacu dan keluar sesuai dengan pola yang ada padanya.
Itulah jejak Abu Bakr r.a. pada tahun-tahun pertama dakwah Islam, dan terus berjalan sampai pada waktu ia memangku jabatan selaku Khalifah, dan berlangsung terus sampai akhir hayatnya.
Melindungi golongan lemah dengan hartanya
Dalam menjalankan dakwah itu tidak hanya berbicara saja dengan kawan-kawannya dan meyakinkan mereka, dan dalam menghibur kaum duafa dan orang-orang miskin yang disiksa dan dianiaya oleh musuhmusuh dakwah, tidak hanya dengan kedamaian jiwanya, dengan sifatnya yang lemah lembut, tetapi ia menyantuni mereka dengan hartanya. Digunakannya hartanya itu untuk membela golongan lemah dan orangorang tak punya, yang telah mendapat petunjuk Allah ke jalan yang benar, tetapi lalu dianiaya oleh musuh-musuh kebenaran itu. Sudah cukup diketahui, bahwa ketika ia masuk Islam, hartanya tak kurang dari empat puluh ribu dirham yang disimpannya dari hasil perdagangan. Dan selama dalam Islam ia terus berdagang dan mendapat laba yang cukup besar. Tetapi setelah hijrah ke Medinah sepuluh tahun kemudian, hartanya itu hanya tinggal lima ribu dirham. Sedang semua harta yang ada padanya dan yang disimpannya, kemudian habis untuk kepentingan dakwah, mengajak orang ke jalan Allah dan demi agama dan Rasul-Nya. Kekayaannya itu digunakan untuk menebus orang-orang lemah dan budak-budak yang masuk Islam, yang oleh majikannya disiksa dengan pelbagai cara, tak lain hanya karena mereka masuk Islam.
Suatu hari Abu Bakr melihat Bilal yang negro itu oleh tuannya dicampakkan ke ladang yang sedang membara oleh panas matahari, dengan menindihkan batu di dadanya lalu dibiarkannya agar ia mati dengan begitu, karena ia masuk Islam. Dalam keadaan semacam itu tidak lebih Bilal hanya mengulang-ulang kata-kata: Ahad, Ahad. Ketika itulah ia dibeli oleh Abu Bakr kemudian dibebaskan! Begitu juga Amir bin Fuhairah oleh Abu Bakr ditebus dan ditugaskan menggembalakan kambingnya. Tidak sedikit budak-budak itu yang disiksa, laki-laki dan perempuan, oleh Abu Bakr dibeli lalu dibebaskan.
Peranan sebagai semenda Nabi
Tetapi Abu Bakr sendiri pun tidak bebas dari gangguan Kuraisy. Sama halnya dengan Muhammad sendiri yang juga tidak lepas dari gangguan itu dengan kedudukannya yang sudah demikian rupa di kalangan kaumnya serta perlindungan Banu Hasyim kepadanya. Setiap Abu Bakr melihat Muhammad diganggu oleh Kuraisy ia selalu siap membelanya dan mempertaruhkan nyawanya untuk melindunginya. Ibn Hisyam menceritakan, bahwa perlakuan yang paling jahat dilakukan Kuraisy terhadap Rasulullah ialah setelah agama dan dewa-dewa mereka dicela. Suatu hari mereka berkumpul di Hijr, dan satu sama lain mereka berkata: "Kalian mengatakan apa yang didengarnya dari kalian dan apa yang kalian dengar tentang dia. Dia memperlihatkan kepadamu apa yang tak kamu sukai lalu kamu tinggalkan dia."
Sementara mereka dalam keadaan serupa itu tiba-tiba datang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam. Sekaligus ia diserbu bersama-sama oleh mereka dan mengepungnya seraya berkata: Engkau yang berkata begini dan begini? Maksudnya yang mencela berhala-berhala dan kepercayaan mereka. Maka Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: Ya, memang aku yang mengatakan. Salah seorang di antara mereka langsung menarik bajunya. Abu Bakr sambil menangis menghalanginya seraya katanya: Kamu mau membunuh orang yang mengatakan hanya Allah Tuhanku! Mereka kemudian bubar. Itulah yang kita lihat perbuatan Kuraisy yang luar biasa kepadanya.
Tetapi peristiwa ini belum seberapa dibandingkan dengan peristiwaperistiwa lain yang benar-benar memperlihatkan keteguhan iman Abu Bakr kepada Muhammad dan risalahnya itu. Sedikit pun tak pernah goyah. Dan iman itu jugalah yang membuat tidak sedikit kalangan Orientalis tidak jadi melemparkan tuduhan kepada Nabi, seperti yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka berlebih-lebihan. Dengan ketenangan dan kedamaian hatinya yang demikian rupa, keimanan Abu Bakr tidak akan sedemikian tinggi, kalau ia tidak melihat segala perbuatan Rasulullah yang memang jauh dari segala yang meragukan, terutama pada waktu Rasulullah sedang menjadi sasaran penindasan masyarakatnya. Iman yang mengisi jiwa Abu Bakr ini jugalah yang telah mempertahankan Islam, sementara yang lain banyak yang meninggalkannya tatkala Rasulullah berbicara kepada mereka mengenai peristiwa Isra.
Sikapnya mengenai kisah Isra'
Muhammad berbicara kepada penduduk Mekah bahwa Allah telah memperjalankannya malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaksa dan bahwa ia bersembahyang di sana. Oleh orang-orang musyrik kisah itu diperolok, malah ada sebagian yang sudah Islam pun merasa ragu. Tidak sedikit orang yang berkata ketika itu: Soalnya sudah jelas. Perjalanan kafilah Mekah-Syam yang terus-menerus pun memakan waktu sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana mungkin hanya satu malam saja Muhammad pergi pulang ke Mekah!
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam kemudian berbalik murtad, dan tidak sedikit pula yang masih merasa sangsi. Mereka pergi menemui Abu Bakr, karena mereka mengetahui keimanannya dan persahabatannya dengan Muhammad. Mereka menceritakan apa yang telah dikatakannya kepada mereka itu mengenai Isra. Terkejut mendengar apa yang mereka katakan itu Abu Bakr berkata:
"Kalian berdusta."
"Sungguh," kata mereka. "Dia di mesjid sedang berbicara dengan orang banyak."
"Dan kalaupun itu yang dikatakannya," kata Abu Bakr lagi, "tentu ia mengatakan yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan."
Abu Bakr lalu pergi ke mesjid dan mendengarkan Nabi yang sedang melukiskan keadaan Baitulmukadas. Abu Bakr sudah pernah mengunjungi kota itu.
Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata: "Rasulullah, saya percaya."
Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan "as-Siddlq". (Siddiq, orang yang selalu membenarkan, percaya, yang menerapkan kata dengan perbuatan, yang kemudian menjadi gelar Abu Bakr (al-Mu'jam al-Wasit); orang yang mencintai kebenaran, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Idris (Qur'an, 19. 41, 56). — Pnj.)
Pernahkah suatu kali orang bertanya dalam hati: Sekiranya Abu Bakr juga sangsi seperti yang lain mengenai apa yang diceritakan Rasulullah tentang Isra itu, maka apa pula kiranya yang akan terjadi dengan agama yang baru tumbuh ini, akibat kesangsian itu? Dapatkah orang memperkirakan berapa banyak jumlah orang yang akan jadi murtad, dan goyahnya keyakinan dalam hati kaum Muslimin yang lain? Pernahkah kita ingat, betapa jawaban Abu Bakr ini memperkuat keyakinan orang banyak, dan betapa pula ketika itu ia telah memperkuat kedudukan Islam?
Kalau dalam hati orang sudah bertanya-tanya, sudah memperkirakan dan sudah pula ingat, niscaya ia tak akan ragu lagi memberikan penilaian, bahwa iman yang sungguh-sungguh adalah kekuatan yang paling besar dalam hidup kita ini, lebih besar daripada kekuatan kekuasaan dan despotisma sekaligus. Kata-kata Abu Bakr itu sebenarnya merupakan salah satu inayah Ilahi demi agama yang benar ini. Katakata itulah sebenarnya yang merupakan pertolongan dan dukungan yang besar, melebihi dukungan yang diberikan oleh kekuatan Hamzah dan Umar sebelumnya. Ini memang suatu kenyataan apabila di dalam seja-
rah Islam Abu Bakr mempunyai tempat tersendiri sehingga Rasulullah berkata: "Kalau ada di antara hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan), maka Abu Bakr-lah khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita."
Kata-kata Abu Bakr mengenai Isra itu menunjukkan pemahamannya yang dalam tentang wahyu dan risalah, yang tidak dapat ditangkap oleh kebanyakan orang. Di sinilah pula Allah telah memperlihatkan kebijakan-Nya tatkala Rasulullah memilih seorang teman dekatnya saat ia dipilih oleh Allah menjadi Rasul-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia. Itulah pula bukti yang kuat, bahwa kata yang baik seperti pohon yang baik, akarnya tertanam kukuh dan cabangnya (menjulang) ke langit, dengan jejak yang abadi sepanjang zaman, dengan karunia Allah. Ia tak akan dikalahkan oleh waktu, tak akan dilupakan.
Tugasnya sesudah Isra
Sesudah peristiwa Isra itu, sebagai orang yang cukup berpengalaman akan seluk-beluk perbatasan, Abu Bakr tetap menjalankan usaha dagangnya. Sebagian besar waktunya ia gunakan menemani Rasulullah dan untuk menjaga orang-orang lemah yang sudah masuk Islam, melindungi mereka dari gangguan Kuraisy di samping mengajak mereka yang mulai tergugah hatinya kepada Islam.
Sementara Kuraisy begitu keras mengganggu Nabi dan Abu Bakr serta kaum Muslimin yang lain, belum terlintas dalam pikiran Abu Bakr akan hijrah ke Abisinia bersama-sama kaum Muslimin yang lain yang mau tetap bertahan dengan agama mereka.(Ada juga sumber yang menyebutkan, bahwa Abu Bakr bermaksud pergi bersama-sama mereka yang hijrah ke Abisinia; tetapi ia bertemu dengan Rabiah bin ad-Dugunnah yang berkata kepadanya: "Wah, jangan ikut hijrah. Engkau penghubung tali kekeluargaan, engkau yang membenarkan peristiwa Isra, membantu orang tak punya dan engkau yang mengatur pasang surutnya keadaan." Ia lalu diberi perlindungan keamanan oleh Kuraisy. Abu Bakr tetap tinggal di Mekah dan di serambi rumahnya ia membangun sebuah mesjid. Di tempat itu ia sembahyang dan membaca Qur'an. Sekarang Kuraisy merasa khawatir, perempuan-perempuan dan pemuda-pemuda mereka akan tergoda. Mereka mengadu kepada Ibn ad-Dugunnah. Abu Bakr mengembalikan jaminan perlindungan itu dan ia tetap tinggal di Mekah menghadapi segala gangguan.) Malah ia tetap tinggal di Mekah bersama Muhammad, berjuang mati-matian demi dakwah di jalan Allah sambil belajar tentang segala yang diwahyukan Allah kepada Nabi untuk disiarkan kepada umat manusia. Dan dengan segala senang hati disertai sifatnya yang lemah lembut, semua harta pribadinya dikorbankannya demi kebaikan mereka yang sudah masuk Islam dan demi mereka yang diharapkan mendapat petunjuk Allah bagi yang belum masuk Islam.
Kaum Muslimin di Mekah ketika itu memang sangat memerlukan perjuangan serupa itu, memerlukan sekali perhatian Abu Bakr. Dalam pada itu Muhammad masih menerima wahyu dari Allah dan ia sudah tidak lagi mengharapkan penduduk Mekah akan menyambut ajakannya itu. Maka ia mengalihkan perhatian kepada kabilah-kabilah. Ia menawarkan diri dan mengajak mereka kepada agama Allah. Ia telah pergi ke Ta'if, meminta pengertian penduduk kota itu. Tetapi ia ditolak dengan cara yang tidak wajar. Dalam hubungannya dengan Tuhan selalu ia memikirkan risalahnya itu dan untuk berdakwah ke arah itu serta caracaranya untuk menyukseskan dakwahnya itu.
Dalam pada itu Kuraisy juga tak pernah tinggal diam dan tak pernah berhenti mengadakan perlawanan. Di samping semua itu, Abu Bakr juga selalu memikirkan nasib kaum Muslimin yang tinggal di Mekah, mengatur segala cara untuk ketenteraman dan keamanan hidup mereka.
Usaha mencegah gangguan Kuraisy
Kalaupun buku-buku sejarah dan mereka yang menulis biografi Abu Bakr tidak menyebutkan usahanya, apa yang disebutkan itu sudah memadai juga. Tetapi sungguhpun begitu dalam hati saya terbayang jelas segala perhatiannya itu, serta hubungannya yang terus-menerus dengan Hamzah, dengan Umar, dengan Usman serta dengan pemukapemuka Muslimin yang lain untuk melindungi golongan lemah yang sudah masuk Islam dari gangguan Kuraisy. Bahkan saya membayangkan hubungannya dulu dengan kalangan luar Islam, dengan mereka yang tetap berpegang pada kepercayaan mereka, tetapi berpendapat bahwa Kuraisy tidak berhak memusuhi orang yang tidak sejalan dengan kepercayaan mereka dalam menyembah berhala-berhala itu.
Dalam sejarah hidup Rasulullah kita sudah melihat, di antara mereka banyak juga yang membela kaum Muslimin dari gangguan Kuraisy itu. Juga kita melihat mereka yang telah bertindak membatalkan piagam pemboikotan tatkala orang-orang Kuraisy sepakat hendak memboikot Muhammad dan sahabat-sahabatnya serta memblokade mereka selama tiga tahun terus-menerus di celah-celah gunung di pinggiran kota Mekah, supaya tak dapat berhubungan dan berbicara dengan orang di luar selain pada bulan-bulan suci. Saya yakin, bahwa Abu Bakr, dalam menggerakkan mereka yang bukan pengikut-pengikut agama Muhammad, namun turut marah melihat tindakan-tindakan Kuraisy terhadapnya itu, punya pengaruh besar, karena sifatnya yang lemah lembut, tutur katanya yang ramah serta pergaulannya yang menarik. Tindakan Abu Bakr dalam melindungi kaum Muslimin ketika agama ini baru tumbuh, itu pula yang menyebabkan Muhammad lebih dekat kepadanya. Inilah yang telah mempertalikan kedua orang itu dengan tali persaudaraan dalam iman, sehingga Muhammad memilihnya sebagai teman dekatnya (khalilnya).
Setelah dengan izin Allah agama ini mendapat kemenangan dengan kekuatan penduduk Yasrib (Medinah) sesudah kedua ikrar Aqabah, Muhammad pun mengizinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke kota itu. Sama halnya dengan sebelum itu, ia mengizinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke Abisinia. Orang-orang Kuraisy tidak tahu, Muhammad ikut hijrah atau tetap tinggal di Mekah seperti tatkala kaum Muslimin dulu hijrah ke Abisinia.
Tahukah Abu Bakr maksud Muhammad, yang oleh Kuraisy tidak diketahui? Segala yang disebutkan mengenai ini hanyalah, bahwa Abu Bakr meminta izin kepada Muhammad akan pergi hijrah, dan dijawab: "Jangan tergesa-gesa, kalau-kalau Allah nanti memberikan seorang teman kepadamu." Dan tidak lebih dari itu.
Bersiap-siap, kemudian hijrah
Di sini dimulai lagi sebuah lembaran baru, lembaran iman yang begitu kuat kepada Allah dan kepada Rasulullah. Abu Bakr sudah mengetahui benar, bahwa sejak kaum Muslimin hijrah ke Yasrib, pihak Kuraisy memaksa mereka yang dapat dikembalikan ke Mekah harus dikembalikan, dipaksa meninggalkan agama itu. Kemudian mereka disiksa, dianiaya. Juga ia mengetahui, bahwa orang-orang musyrik itu berkumpul di DarunNadwah, berkomplot hendak membunuh Muhammad. Kalau ia menemani Muhammad dalam hijrahnya itu lalu Kuraisy bertindak membunuh Muhammad, tidak bisa tidak Abu Bakr juga pasti dibunuhnya. Sungguhpun begitu, ketika ia oleh Muhammad diminta menunda, ia pun tidak ragu. Bahkan ia merasa sangat gembira, dan yakin benar ia bahwa kalau ia hijrah bersama Rasulullah, Allah akan memberikan pahala dan ini suatu kebanggaan yang tiada taranya. Kalau sampai ia mati terbunuh bersama dia, itu adalah mati syahid yang akan mendapat surga.
Sejak itu Abu Bakr sudah menyiapkan dua ekor unta sambil menunggu perkembangan lebih lanjut bersama kawannya itu. Sementara sore itu ia di rumah tiba-tiba datang Muhammad seperti biasa tiap sore. Ia memberitahukan bahwa Allah telah mengizinkan ia hijrah ke Yasrib. Abu Bakr menyampaikan keinginannya kepada Rasulullah sekiranya dapat menemaninya dalam hijrahnya itu; dan permintaannya itu pun dikabulkan.
Khawatir Muhammad akan melarikan diri sesudah kembali ke rumahnya, pemuda-pemuda Kuraisy segera mengepungnya. Muhammad membisikkan kepada Ali bin Abi Talib supaya ia mengenakan mantel Hadramautnya yang hijau dan berbaring di tempat tidurnya. Hal itu dilakukan oleh Ali. Lewat tengah malam, dengan tidak setahu pemudapemuda Kuraisy ia keluar pergi ke rumah Abu Bakr. Ternyata Abu Bakr memang sedang jaga menunggunya. Kedua orang itu kemudian keluar dari celah pintu belakang dan bertolak ke arah selatan menuju Gua Saur. Di dalam gua itulah mereka bersembunyi. Pemuda-pemuda Kuraisy itu segera bergegas ke setiap lembah dan gunung mencari Muhammad untuk dibunuh. Sampai di Gua Saur salah seorang dari mereka naik ke atas gua itu kalau-kalau dapat menemukan jejaknya. Saat itu Abu Bakr sudah mandi keringat ketika terdengar suara mereka memanggil-manggil. Ia menahan nafas, tidak bergerak dan hanya menyerahkan nasib kepada Allah. Tetapi Muhammad masih tetap berzikir dan berdoa kepada Allah. Abu Bakr makin merapatkan diri ke dekat kawannya itu, dan Muhammad berbisik di telinganya:
"Jangan bersedih hati. Tuhan bersama kita."
Pemuda-pemuda Kuraisy itu melihat ke sekeliling gua dan yang dilihatnya hanya laba-laba yang sedang menganyam sarangnya di mulut gua itu. la kembali ke tempat teman-temannya dan mereka bertanya kenapa ia tidak masuk. "Ada laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum Muhammad lahir." Dengan perasaan dongkol pemuda-pemuda itu pergi meninggalkan tempat tersebut. Setelah mereka menjauh Muhammad berseru: "Alhamdulillah, Allahu Akbar!" Apa yang disaksikan Abu Bakr itu sungguh makin menambah kekuatan imannya.
Apa penyebab ketakutan Abu Bakr ketlka dalam gua?
Adakah rasa takut pada Abu Bakr itu sampai ia bermandi keringat dan merapatkan diri kepada Rasulullah karena ia sangat mendambakan kehidupan dunia, takut nasibnya ditimpa bencana? Atau karena ia tidak memikirkan dirinya lagi tapi yang dipikirkannya hanya Rasulullah dan jika mungkin ia akan mengorbankan diri demi Rasulullah? Bersumber dari Hasan bin Abil-Hasan al-Basri, Ibn Hisyam menuturkan: "Ketika malam itu Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakr memasuki gua, Abu Bakr radiallahu 'anhu masuk lebih dulu sebelum Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam sambil meraba-raba gua itu untuk mengetahui kalau-kalau di tempat itu ada binatang buas atau ular. Ia mau melindungi Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam dengan dirinya."
Begitu juga sikapnya ketika dalam keadaan begitu genting demikian terdengar suara pemuda-pemuda Kuraisy, ia berbisik di telinga Nabi: "Kalau saja mereka ada yang menjenguk ke bawah, pasti mereka melihat kita." Pikirannya bukan apa yang akan menimpa dirinya, tetapi yang dipikirkannya Rasulullah dan perkembangan agama, yang untuk itu ia berdakwah atas perintah Allah, kalau sampai pemuda-pemuda itu berhasil membunuhnya. Bahkan barangkali pada saat itu tiada lain yang dipikirkannya, seperti seorang ibu yang khawatir akan keselamatan anaknya. Ia gemetar ketakutan, ia gelisah. Tak lagi ia dapat berpikir. Bila ada bahaya mengancam, ia akan terjun melemparkan diri ke dalam bahaya itu, sebab ia ingin melindungi atau mati demi anaknya itu. Ataukah Abu Bakr memang lebih gelisah dari ibu itu, lebih menganggap enteng segala bahaya yang datang, karena imannya kepada Allah dan kepada Rasulullah memang sudah lebih kuat dari cintanya kepada kehidupan dunia, dari naluri seorang ibu dan dari segala yang dapat dirasakan oleh perasaan kita dan apa yang terlintas dalam pikiran kita?! Coba kita bayangkan, betapa iman itu menjelma di depannya, dalam diri Rasulullah, dan dengan itu segala makna yang kudus menjelma pula dalam bentuk kekudusan dan kerohaniannya yang agung dan cemerlang!
Saat ini saya membayangkan Abu Bakr sedang duduk dan Rasulullah di sampingnya. Juga saya membayangkan bahaya yang sedang mengancam kedua orang itu. Imajinasi saya tak dapat membantu mengugkapkan segala yang terkandung dalam lukisan hidup yang luar biasa ini, tak ada bandingannya dalam bentuk yang bagaimanapun.
Apa artinya pengorbanan raja-raja dan para pemimpin dibandingkan dengan pengorbanan Rasulullah
Sejarah menceritakan kepada kita kisah orang-orang yang telah mengorbankan diri demi seorang pemimpin atau raja. Dan pada zaman kita ini pun banyak pemimpin yang dikultuskan orang. Mereka lebih dicintai daripada diri mereka sendiri. Tetapi keadaan Abu Bakr dalam gua jauh berbeda. Para pakar psikologi perlu sekali membuat analisis yang cermat tentang dia, dan yang benar-benar dapat melukiskan keadaannya itu. Apa artinya keyakinan orang kepada seorang pemimpin dan raja dibandingkan dengan keyakinan Abu Bakr kepada Rasulullah yang telah menjadi pilihan Allah dan mewahyukannya dengan agama yang benar!? Dan apa pula artinya pengorbanan orang untuk pemimpin-pemimpin dan raja-raja itu dibandingkan dengan apa yang berkecamuk dalam pikiran Abu Bakr saat itu, yang begitu khawatir terjadi bahaya menimpa keselamatan Rasulullah. Lebih-lebih lagi jika tak sampai dapat menolak bahaya itu. Inilah keagungan yang sungguh cemerlang, yang rasanya sudah tak mungkin dapat dilukiskan lagi. Itulah sebabnya penulis-penulis biografi tak ada yang menyinggung soal ini.
Setelah putus asa mereka mencari dua orang itu, keduanya keluar dari tempat persembunyian dan meneruskan perjalanan. Dalam perjalanan itu pun bahaya yang mereka hadapi tidak kurang pula dari bahaya yang mengancam mereka selama di dalam gua.
Abu Bakr masih dapat membawa sisa laba perdagangannya sebanyak lima ribu dirham. Setiba di Medinah dan orang menyambut Rasulullah begitu meriah, Abu Bakr memulai hidupnya di kota itu seperti halnya dengan kaum Muhajirin yang lain, meskipun kedudukannya tetap di samping Rasulullah, kedudukan sebagai khalil, sebagai asSiddlq dan sebagai menteri penasehat.
Abu Bakr di Madinah
Abu Bakr tinggal di Sunh di pinggiran kota Medinah, pada keluarga Kharijah bin Zaid dari Banu al-Haris dari suku Khazraj. Ketika Nabi mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Ansar Abu Bakr dipersaudarakan dengan Kharijah. Abu Bakr kemudian disusul oleh keluarganya dan anaknya yang tinggal di Mekah. la mengurus keperluan hidup mereka. Keluarganya mengerjakan pertanian — seperti juga keluarga Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Talib — di tanah orang-orang Ansar bersama-sama dengan pemiliknya. Bolehjadi Kharijah bin Zaid ini salah seorang pemiliknya. Hubungan orang ini lambat laun makin dekat dengan Abu Bakr. Abu Bakr kawin dengan putrinya — Habibah — dan dari perkawinan ini kemudian lahir Umm Kulsum, yang ditinggalkan wafat oleh Abu Bakr ketika ia sedang dalam kandungan Habibah. Keluarga Abu Bakr tidak tinggal bersamanya di rumah Kharijah bin Zaid di Sunh, tetapi Umm Ruman dan putrinya Aisyah serta keluarga Abu Bakr yang lain tinggal di Medinah, di sebuah rumah berdekatan dengan rumah Abu Ayyub al-Ansari, tempat Nabi tinggal. Ia mundarmandir ke tempat mereka, tetapi lebih banyak di tinggal di Sunh, tempat istrinya yang baru.
Terserang demam
Tak lama tinggal di Medinah ia mendapat serangan demam, yang juga banyak menyerang penduduk Mekah yang baru hijrah ke Medinah, disebabkan oleh perbedaan iklim udara tempat kelahiran mereka dengan udara tempat tinggal yang sekarang. Udara Mekah adalah udara Sahara, kering, sedang udara Medinah lembab, karena cukup air dan pepohonan. Menurut sumber dari Aisyah disebutkan bahwa demam yang menimpa ayahnya cukup berat, sehingga ia mengigau. Setelah puas dengan tempat tinggal yang baru ini, dan setelah bekerja keras sehingga keluarganya sudah tidak memerlukan lagi bantuan Ansar, seluruh perhatiannya sekarang dicurahkan untuk membantu Rasulullah dalam memperkuat Muslimin, tak peduli betapa beratnya pekerjaan itu dan besarnya pengorbanan.
Kemarahan Abu Bakr
Orang yang begitu damai dan tenang ini tak pernah mengenal marah, kecuali ketika melihat musuh-musuh dakwah yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan kaum Munafik itu mulai berolok-olok dan main tipu muslihat. Rasulullah dan kaum Muslimin dengan pihak Yahudi sudah membuat perjanjian, masing-masing menjamin kebebasan menjalankan dakwah agamanya serta bebas melaksanakan upacara-upacara keagamaannya masing-masing. Orang-orang Yahudi itu pada mulanya mengira bahwa mereka mampu mengambil keuntungan dari kaum Muslimin yang datang dari Mekah dalam menghadapi Aus dan Khazraj. Tetapi setelah ternyata tak berhasil mereka memecah belah kaum Muhajirin dengan kaum Ansar, mulailah mereka menjalankan tipu muslihat dan memperolok agama. Beberapa orang Yahudi berkumpul mengerumuni salah seorang dari mereka yang bernama Finhas. Dia adalah pendeta dan pemuka agama mereka. Ketika Abu Bakr datang dan melihat mereka, ia berkata kepada Finhas ini: "Finhas, takutlah engkau kepada Allah dan terimalah Islam. Engkau tahu bukan bahwa Muhammad Rasulullah. Dia telah datang kepada kita dengan sebenarnya sebagai utusan Allah. Kalian akan melihat itu dalam Taurat dan Injil."
Dengan berolok dan senyum mengejek di bibir Finhas berkata:
"Abu Bakr, bukan kita yang memerlukan Tuhan, tapi Dia yang memerlukan kita. Bukan kita yang meminta-minta kepada-Nya, tetapi Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak memerlukan-Nya, tapi Dialah yang memerlukan kita. Kalau Dia kaya, tentu tidak akan minta dipinjami harta kita, seperti yang didakwakan oleh pemimpinmu itu. Ia melarang kalian menjalankan riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau Ia kaya, tentu Ia tidak akan menjalankan ini."
Yang dimaksud oleh kata-kata Finhas itu firman Allah:
Siapakah yang hendak meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, yang akan Ia lipatgandakan dengan sebanyak-banyaknya." (Qur'an, 2. 245).
Setelah Abu Bakr melihat orang ini memperolok firman Allah serta wahyu-Nya kepada Nabi, ia tak dapat menahan diri, dipukulnya muka Finhas itu keras-keras seraya katanya:
"Demi Allah, kalau tidak karena adanya perjanjian antara kami dengan kamu sekalian, kupukul kepalamu. Engkaulah musuh Tuhan!"
Bukanlah aneh juga Abu Bakr menjadi begitu keras, orang yang begitu tenang, damai dan rendah hati itu. Ia menjadi sedemikian rupa padahal usianya sudah melampaui lima puluh tahun!
Kemarahannya kepada Finhas ini mengingatkan kita kepada kemarahan yang sama lebih sepuluh tahun yang silam, yaitu ketika Persia mengalahkan Rumawi, Persia Majusi dan Rumawi Ahli Kitab. Kaum Muslimin ketika itu merasa sedih karena diejek kaum musyrik yang menduga bahwa pihak Rumawi kalah karena juga Ahli Kitab seperti mereka. Ada seorang musyrik menyinggung soal ini di depan Abu Bakr dengan begitu bersemangat bicaranya, sehingga Abu Bakr naik pitam. Diajaknya orang itu bertaruh dengan sepuluh ekor unta bahwa kelak Rumawi yang akan mengalahkan pihak Majusi sebelum habis tahun itu. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakr akan sangat marah jika sudah mengenai akidah dan keimanannya yang begitu tulus kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah sikapnya tatkala ia berusia empat puluh, dan tetap itu juga setelah sekarang usianya lima puluh tahun sampai kemudian ketika ia sudah menjadi Khalifah dan memegang pimpinan kaum Muslimin.
Kekuasaan iman pada Abu Bakr
Keimanan yang tulus inilah yang menguasai Abu Bakr, menguasai segala perasaannya, sepanjang hidupnya, sejak ia menjadi pengikut Rasulullah. Orang akan dapat menganalisis segala peristiwa kejiwaannya dan perbuatannya serta segala tingkah lakunya itu kalau orang mau melihatnya dari segi moral. Sebaliknya, semua yang di luar itu, tak ada pengaruhnya dan segala keinginan yang biasa mempengaruhi hidup manusia, dan banyak juga kaum Muslimin ketika itu yang terpengaruh, buat dia tak ada artinya. Yang berkuasa terhadap dirinya — hati nuraninya, pikiran dan jiwanya — semua hanyalah demi Allah dan Rasul-Nya. Semua itu adalah iman, iman yang sudah mencapai tingkat tertinggi, tingkat siddiqin, yang sudah begitu baik tempatnya.
Ketika bersama Rasulullah di Badr
Kemudian kita lihat apa yang terjadi dalam perang Badr. Pihak Mekah sudah menyusun barisan, Nabi pun sudah pula mengatur kaum Muslimin siap menghadapi perang. Seperti diusulkan oleh Sa'd bin Mu'az, ketika itu pihak Muslimin membangun sebuah dangau di barisan belakang, sehingga jika nanti kemenangan berada di pihak mereka, Rasulullah dapat kembali ke Medinah. Abu Bakr dan Nabi tinggal dalam dangau itu sambil mengawasi jalannya pertempuran. Dan bila pertempuran dimulai dan Muhammad melihat jumlah pihak musuh yang begitu besar sedang anak buahnya hanya sedikit, ia berpaling ke arah kiblat, menghadapkan diri dengan seluruh hati sanubarinya kepada Allah. Ia mengimbau Tuhan akan segala apa yang telah dijanjikan-Nya. Ia membisikkan permohonan dalam hatinya agar Allah memberikan pertolongan, sambil katanya:
"Allahumma ya Allah! Inilah Kuraisy sekarang datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, pertolongan-Mu juga yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini sekarang binasa tidak lagi ada ibadah kepada-Mu."
Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil merentangkan tangan menghadap kiblat itu, mantelnya terjatuh. Dalam keadaan serupa itu ia terangguk sejenak terbawa kantuk, dan ketika itu juga tampak olehnya pertolongan Allah itu datang. Ia sadar kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira. Ia keluar menemui sahabat-sahabatnya sambil berkata kepada mereka:
"Demi Dia yang memegang hidup Muhammad. Setiap seorang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga."
Abu Bakr di perang Badr
Demikianlah keadaan Rasulullah. Tidak yakin akan kemenangan anak buahnya yang hanya sedikit itu dalam menghadapi lawan yang iauh lebih banyak, dengan diam-diam jiwanya mengadakan hubungan dengan Allah memohon pertolongan. Kemudian terbuka di hadapannya tabir hari yang amat menentukan itu dalam sejarah Islam.
Abu Bakr, ia tetap di samping Rasulullah. Dengan penuh iman ia percaya bahwa Allah pasti akan menolong agama-Nya, dan dengan hati penuh kepercayaan akan datangnya pertolongan itu, dengan penuh kekaguman akan Rasulullah dalam imbauannya kepada Allah, dengan perasaan terharu kepada Rasulullah karena kekhawatiran yang begitu besar menghadapi nasib yang akan terjadi hari itu, ketika itulah Rasulullah berdoa, mengimbau, bermohon dan meminta kepada Allah akan memenuhi janji-Nya. Itulah yang diulangnya, diulang sekali lagi, hingga mantelnya terjatuh, Itulah yang membuatnya mengimbau sambil ia mengembalikan mantel itu ke bahu Nabi: "Rasulullah, dengan doamu Allah akan memenuhi apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu."
Kebenaran dan kasih sayang menyatu dalam dirinya
Banyak orang yang sudah biasa dengan suatu kepercayaan sudah tak ragu lagi, sampai-sampai ia jadi fanatik dan kaku dengan kepercayaannya itu. Bahkan ada yang sudah tidak tahan lagi melihat muka orang yang berbeda kepercayaan. Mereka menganggap bahwa iman yang sebenarnya harus fanatik, keras, dan tegar. Sebaliknya Abu Bakr, dengan keimanannya yang begitu agung dan begitu teguh, tak pernah ia goyah dan ragu, jauh dari sikap kasar. Sikapnya lebih lunak, penuh pemaaf, penuh kasih bila imagatakan, bahwa dialah orang pertama yang ditempatkan Allah untuk memperkuat agama-Nya. Orang yang begitu damai jiwanya, tenang, sangat lemah lembut dan perkasa. Matanya mudah berlinang begitu melihat kesedihan menimpa orang lain. Ternyata orang ini menyimpan iman yang begitu kuat terhadap agama baru ini, terhadap Rasul utusan Allah. Ternyata ia tak dapat ditaklukkan.
Adakah suatu kekuatan di dunia ini yang dapat melebihi kekuatan iman! Adakah suatu kemampuan seperti kemampuan iman dalam hidup ini! Orang yang mengira, bahwa kekuatan despotisma dan kekuasaan punya pengaruh besar di dunia ini, ia sudah terjerumus ke dalam jurang kesalahan. Jiwa yang begitu damai, begitu yakin dengan keimanannya akan kebenaran, yang mengajak orang berdakwah dengan cara yang bijaksana dan nasihat yang baik, dengan cara yang lemah lembut, yang bersumber dari akhlak yang mulia dan perangai yang lembut, bergaul dengan orang-orang lemah, orang-orang papa dan kaum duafa, yang dalam penderitaannya sebagai salah satu sarana dakwahnya — jiwa inilah yang sepantasnya mencapai sasaran sebagaimana dikehendaki, karena ia mudah diacu dan keluar sesuai dengan pola yang ada padanya.
Itulah jejak Abu Bakr r.a. pada tahun-tahun pertama dakwah Islam, dan terus berjalan sampai pada waktu ia memangku jabatan selaku Khalifah, dan berlangsung terus sampai akhir hayatnya.
Melindungi golongan lemah dengan hartanya
Dalam menjalankan dakwah itu tidak hanya berbicara saja dengan kawan-kawannya dan meyakinkan mereka, dan dalam menghibur kaum duafa dan orang-orang miskin yang disiksa dan dianiaya oleh musuhmusuh dakwah, tidak hanya dengan kedamaian jiwanya, dengan sifatnya yang lemah lembut, tetapi ia menyantuni mereka dengan hartanya. Digunakannya hartanya itu untuk membela golongan lemah dan orangorang tak punya, yang telah mendapat petunjuk Allah ke jalan yang benar, tetapi lalu dianiaya oleh musuh-musuh kebenaran itu. Sudah cukup diketahui, bahwa ketika ia masuk Islam, hartanya tak kurang dari empat puluh ribu dirham yang disimpannya dari hasil perdagangan. Dan selama dalam Islam ia terus berdagang dan mendapat laba yang cukup besar. Tetapi setelah hijrah ke Medinah sepuluh tahun kemudian, hartanya itu hanya tinggal lima ribu dirham. Sedang semua harta yang ada padanya dan yang disimpannya, kemudian habis untuk kepentingan dakwah, mengajak orang ke jalan Allah dan demi agama dan Rasul-Nya. Kekayaannya itu digunakan untuk menebus orang-orang lemah dan budak-budak yang masuk Islam, yang oleh majikannya disiksa dengan pelbagai cara, tak lain hanya karena mereka masuk Islam.
Suatu hari Abu Bakr melihat Bilal yang negro itu oleh tuannya dicampakkan ke ladang yang sedang membara oleh panas matahari, dengan menindihkan batu di dadanya lalu dibiarkannya agar ia mati dengan begitu, karena ia masuk Islam. Dalam keadaan semacam itu tidak lebih Bilal hanya mengulang-ulang kata-kata: Ahad, Ahad. Ketika itulah ia dibeli oleh Abu Bakr kemudian dibebaskan! Begitu juga Amir bin Fuhairah oleh Abu Bakr ditebus dan ditugaskan menggembalakan kambingnya. Tidak sedikit budak-budak itu yang disiksa, laki-laki dan perempuan, oleh Abu Bakr dibeli lalu dibebaskan.
Peranan sebagai semenda Nabi
Tetapi Abu Bakr sendiri pun tidak bebas dari gangguan Kuraisy. Sama halnya dengan Muhammad sendiri yang juga tidak lepas dari gangguan itu dengan kedudukannya yang sudah demikian rupa di kalangan kaumnya serta perlindungan Banu Hasyim kepadanya. Setiap Abu Bakr melihat Muhammad diganggu oleh Kuraisy ia selalu siap membelanya dan mempertaruhkan nyawanya untuk melindunginya. Ibn Hisyam menceritakan, bahwa perlakuan yang paling jahat dilakukan Kuraisy terhadap Rasulullah ialah setelah agama dan dewa-dewa mereka dicela. Suatu hari mereka berkumpul di Hijr, dan satu sama lain mereka berkata: "Kalian mengatakan apa yang didengarnya dari kalian dan apa yang kalian dengar tentang dia. Dia memperlihatkan kepadamu apa yang tak kamu sukai lalu kamu tinggalkan dia."
Sementara mereka dalam keadaan serupa itu tiba-tiba datang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam. Sekaligus ia diserbu bersama-sama oleh mereka dan mengepungnya seraya berkata: Engkau yang berkata begini dan begini? Maksudnya yang mencela berhala-berhala dan kepercayaan mereka. Maka Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: Ya, memang aku yang mengatakan. Salah seorang di antara mereka langsung menarik bajunya. Abu Bakr sambil menangis menghalanginya seraya katanya: Kamu mau membunuh orang yang mengatakan hanya Allah Tuhanku! Mereka kemudian bubar. Itulah yang kita lihat perbuatan Kuraisy yang luar biasa kepadanya.
Tetapi peristiwa ini belum seberapa dibandingkan dengan peristiwaperistiwa lain yang benar-benar memperlihatkan keteguhan iman Abu Bakr kepada Muhammad dan risalahnya itu. Sedikit pun tak pernah goyah. Dan iman itu jugalah yang membuat tidak sedikit kalangan Orientalis tidak jadi melemparkan tuduhan kepada Nabi, seperti yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka berlebih-lebihan. Dengan ketenangan dan kedamaian hatinya yang demikian rupa, keimanan Abu Bakr tidak akan sedemikian tinggi, kalau ia tidak melihat segala perbuatan Rasulullah yang memang jauh dari segala yang meragukan, terutama pada waktu Rasulullah sedang menjadi sasaran penindasan masyarakatnya. Iman yang mengisi jiwa Abu Bakr ini jugalah yang telah mempertahankan Islam, sementara yang lain banyak yang meninggalkannya tatkala Rasulullah berbicara kepada mereka mengenai peristiwa Isra.
Sikapnya terhadap tawanan Badr
Setelah mendapat kemenangan di Badr, kaum Muslimin kembali ke Medinah dengan membawa tawanan perang Kuraisy. Mereka ini masih ingin hidup, ingin kembali ke Mekah, meskipun dengan tebusan yang mahal. Tetapi mereka masih khawatir Muhammad akan bersikap keras kepada mereka mengingat gangguan mereka terhadap sahabat-sahabatnya selama beberapa tahun dahulu yang berada di tengah-tengah mereka. Mereka berkata satu sama lain: "Sebaiknya kita mengutus orang kepada Abu Bakr. Ia paling menyukai silaturahmi dengan Kuraisy, paling punya rasa belas kasihan, dan kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia." Mereka lalu mengirim delegasi kepada Abu Bakr.
"Abu Bakr," kata mereka kemudian, "di antara kita ada yang masih pernah orangtua, saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu kita. Orang yang jauh dari kita pun masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya ia bermurah hati kepada kami atau menerima tebusan kami."
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka masih khawatir Umar bin Khattab akan mempersulit urusan mereka ini. Lalu mereka juga bicara dengan Umar seperti pcmbicaraannya dengan Abu Bakr. Tetapi Umar menatap muka mereka dengan mata penuh curiga tanpa memberi jawaban. Kemudian Abu Bakr sendiri yang bertindak sebagai perantara kepada Rasulullah mewakili orang-orang Kuraisy musyrik itu. la mcngharapkan belas kasihannya dan sikap yang lebih lunak terhadap mereka. la menolak alasan-alasan Umar yang mau main keras terhadap mereka. Diingatkannya pertalian kerabat antara mereka dengan Nabi. Apa yang dilakukannya itu sebenarnya karena memang sudah bawaannya sebagai orang yang lembut hati, dan kasih sayang baginya sama dengan keimanannya pada kebenaran dan keadilan. Barangkali dengan mata hati nuraninya ia melihat peranan kasih sayang itu juga yang akhirnya akan menang. Manusia akan menuruti kodrat yang ada dalam dirinya dan dalam keyakinannya sclama ia melihat sifat kasih sayang itu adalah peri kemanusiaan yang agung, jauh daii segala sifat lcmah dan hawa nafsu. Yang menggerakkan hatinya hanyalah kekuatan dan kemampuan. Atau, kekuasaan manusia terhadap dirinya ialah kckuasaan yang dapat meredam bengisnya kekuatan, dapat melunakkan kejamnya kekuasaan.
Arah hidupnya sesudah Badr
Sebenarnya Perang Badr itu merupakan permulaan hidup baru buat kaum Muslimin, juga merupakan permulaan arah baru dalam hidup Abu Bakr. Kaum Muslimin mulai mengatur siasat dalam menghadapi Kuraisy dan kabilah-kabilah sekitarnya yang melawan mereka. Abu Bakr mulai bekerja dengan Nabi dalam mengatur siasat itu berlipat ganda ketika masih tinggal di Mckah dulu dalam melindungi kaum Muslimin. Pihak Muslimin semua sudah tahu, bahwa Kuraisy tidak akan tinggal diam sebelum mereka dapat membalas dendam kejadian di Badr itu. Juga mereka mengetahui bahwa dakwah yang baru tumbuh ini perlu sekali mendapat perlindungan dan perlu mempertahankan diri dari segala scrangan terhadap mereka itu. Jadi harus ada perhitungan, hams ada pengaturan siasat. Dengan posisinya di samping Rasulullah seperti yang sudah kita lihat, Abu Bakr tak akan dapat bekerja tanpa adanya perhitungaji dan pengaturan serupa itu, supaya jangan timbul kekacauan di dalam kota Medinah atas hasutan pihak Yahudi dan golongan munafik, dan supaya jangan ada serangan pihak luar ke Madinah.
Abu Bakr dan Umar; pembantu Rasulullah
Kemenangan Muslimin di Badr itu juga sebenarnya telah mengangkat martabat mereka. Inilah yang telah menimbulkan kedengkian di pihak lawan. Pada pihak Yahudi timbul rasa sakit hati yang tadinya biasa-biasa saja. Dalam hati kabilah-kabilah di sekitar Medinah yang tadinya merasa aman kini timbul rasa khawatir. Tidak bisa lain, untuk mencegah apa yang mungkin timbul dari mereka itu, diperlukan suatu siasat yang mantap, suatu perhitungan yang saksama. Musyawarah yang terus-menerus antara Nabi dengan sahabat-sahabat telah diadakan. Abu Bakr dan Umar oleh Nabi diambil sebagai pembantu dekat (wazir) guna mengatur siasat baru, yang sekaligus merupakan batu penguji mengingat adanya perbedaan watak pada kedua orang itu, meskipun mereka sama-sama jujur dan ikhlas dalam bermusyawarah. Di samping dengan mereka ia juga bermusyawarah dengan kaum Muslimin yang lain. Musyawarah ini memberi pengaruh besar dalam arti persatuan dan pembagian tanggung jawab demikian, sehingga masing-masing mereka merasa turut memberikan saham.
Sebagai penangkal akibat dendam kesumat pihak Yahudi itu kaum Muslimin sekarang mengepung Banu Qainuqa' dan mengeluarkan mereka dari Medinah. Begitu juga akibat rasa kekhawatiran kabilah-kabilah yang berada di sekeliling Medinah, mereka berkumpul hendak mengadakan serangan ke dalam kota. Tetapi begitu mendengar Muhammad keluar hendak menyongsong mereka, mereka sudah lari ketakutan.
Dalam perang Uhud
Berita-berita demikian itu tentu sampai juga ke Mekah, dan ini tidak menutup pikiran Kuraisy hendak membalas dendam atas kekalahan mereka di Badr itu. Dalam upaya mereka hendak menuntut balas itu mereka akan berhadapan dengan pihak Muslimin di Uhud. Di sinilah terjadi pertempuran hebat. Tetapi hari itu kaum Muslimin mengalami bencana tatkala pasukan pemanah melanggar perintah Nabi. Mereka meninggalkan posnya, pergi memperebutkan harta rampasan perang. Saat itu Khalid bin Walid mengambil kesempatan, Kuraisy segera mengadakan serangan dan kaum Muslimin mengalami kekacauan. Waktu itulah Nabi terkena lemparan batu yang dilakukan oleh kaum musyrik. Lemparan itu mengenai pipi dan wajahnya, sehingga Kuraisy berteriakteriak mengatakan Nabi sudah meninggal. Kalau tidak karena pahlawanpahlawan Islam ketika itu segera mengelilinginya, dengan mengorbankan diri dan nyawa mereka, tentu Allah waktu itu sudah akan menentukan nasib lain terhadap mereka.
Sejak itu Abu Bakr lebih sering lagi mendampingi Nabi, baik dalam peperangan maupun ketika di dalam kota di Medinah.
Orang masih ingat sejarah Muslimin — sampai keadaan jadi stabil sesudah pembebasan Mekah dan masuknya Banu Saqif di Ta'if ke dalam pangkuan Islam — penuh tantangan berupa peristiwa-peristiwa perang, atau dalam usaha mencegah perang atau untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Belum lagi peristiwa-peristiwa kecil lainnya dalam bentuk ekspedisi-ekspedisi atau patroli. Waktu itu orang-orang Yahudi — dipimpin oleh Huyai bin Akhtab — tak henti-hentinya menghasut kaum Muslimin. Begitu juga Kuraisy, mereka berusaha matimatian mau melemahkan dan menghancurkan kekuatan Islam. Terjadinya perang Banu Nadir, Khandaq dan Banu Quraizah dan diselang seling dengan bentrokan-bentrokan lain, semua itu akibat politik Yahudi dan kedengkian Kuraisy.
Dalam semua peristiwa dan kegiatan itu Abu Bakr lebih banyak mendampingi Nabi. Dialah yang paling kuat kepercayaannya pada ajaran Nabi. Setelah Rasulullah merasa aman melihat ketahanan Medinah, dan tiba waktunya untuk mengarahkan langkah ke arah yang baru — semoga Allah membukakan jalannya untuk menyempurnakan agama-Nya — maka peranan yang dipegang Abu Bakr itu telah menambah keyakinan kaum Muslimin bahwa sesudah Rasulullah, dialah orang yang punya tempat dalam hati mereka, orang yang sangat mereka hargai.
Sikapnya di Hudaibiyah
Enam tahun setelah hijrah kaum Muslimin ke Medinah Muhammad mengumumkan kepada orang banyak untuk mengerjakan ibadah haji ke Mekah. Berita perjalanan jemaah ini sampai juga kepada Kuraisy. Mereka bersumpah tidak akan membiarkan Muhammad memasuki Mekah secara paksa. Maka Muhammad dan para sahabat pun tinggal di Hudaibiyah, di pinggiran kota Mekah. Ia berpegang teguh pada perdamaian dan ia menolak setiap usaha yang akan menimbulkan bentrokan dengan Kuraisy. Diumumkannya bahwa kedatangannya adalah akan menunaikan ibadah haji, bukan untuk berperang. Kemudian dilakukan tukar-menukar delegasi dengan pihak Kuraisy, yang berakhir dengan persetujuan, bahwa tahun ini ia harus pulang dan boleh kembali lagi tahun depan.
Kaum Muslimin banyak yang marah, termasuk Umar bin Khattab, karena harus mengalah dan harus pulang. Mereka berpendapat, isi perjanjian ini merendahkan martabat agama mereka. Tetapi Abu Bakr langsung percaya dan yakin akan kebijaksanaan Rasulullah. Setelah kemudian turun Surah Fath (48) bahwa persetujuan Hudaibiyah itu adalah suatu kemenangan yang nyata, dan Abu Bakr dalam hal ini, seperti juga dalam peristiwa-peristiwa lain, ialah as-Siddiq, yang tulus hati, yang segera percaya.
Kekuatan Muslimin dan mengalirnya para utusan
Integritas dakwah Islam makin hari makin kuat. Kedudukan Muslimin di Medinah juga makin kuat. Salah satu manifestasi kekuatan mereka, mereka telah mampu mengepung pihak Yahudi di Khaibar, Fadak dan Taima', dan mereka menyerah pada kekuasaan Muslimin, sebagai pendahuluan untuk kemudian mereka dikeluarkan dari tanah Arab. Di samping itu, manifestasi lain kuatnya Muslimin waktu itu serta tanda kukuhnya dakwah Islam ialah dengan dikirimnya surat-surat oleh Muhammad kepada raja-raja dan para amir (penguasa) di Persia, Bizantium, Mesir, Hira, Yaman dan negeri-negeri Arab di sekitarnya atau yang termasuk amirat-nya..
Adapun gejala yang paling menonjol tentang sempurna dan kuatnya dakwah itu ialah bebasnya Mekah dan pengepungan Ta'if. Dengan itu cahaya agama yang baru ini sekarang sudah bersinar ke seluruh Semenanjung, sampai ke perbatasan kedua imperium besar yang memegang tampuk pimpinan dunia ketika itu: Rumawi dan Persia. Dengan demikian Rasulullah dan kaum Muslimin sudah merasa lega atas pertolongan Allah itu, meskipun tetap harus waspada terhadap kemungkinan adanya serangan dari pihak-pihak yang ingin memadamkan cahaya agama yang baru ini.
Bersinarnya cahaya Islam
Setelah orang-orang Arab melihat adanya kekuatan ini delegasi mereka datang berturut-turut dari segenap Semenanjung, menyatakan keimanannya pada agama baru ini. Bukankah pembawa dakwah ini pada mulanya hanya seorang diri?! Sekarang ia sudah dapat mengalahkan Yahudi, Nasrani, Majusi dan kaum musyrik. Bukankah hanya kebenaran yang akan mendapat kemenangan? Adakah tanda yang lebih jelas bahwa memang dakwahnya itulah yang benar, yang mutlak mendapat kemenangan atas mereka semua itu? Ia tidak bermaksud menguasai mereka. Yang dimintanya hanyalah beriman kepada Allah, dan berbuat segala yang baik. Inilah logika yang amat manusiawi, diakui oleh umat manusia pada setiap zaman dan mereka beriman di mana pun mereka berada. Ini juga logika yang diakui oleh akal pikiran manusia. Kekuatan argumentasinya yang tak dapat dikalahkan itu sudah dibuktikan oleh sejarah.
Abu Bakr memimpin jamaah haji
Allah telah mengizinkan kaum Muslimin melengkapi kewajiban agamanya, dan ibadah haji itulah kelengkapannya. Oleh karena itu dengan adanya delegasi yang berturut-turut itu tidak memungkinkan Rasulullah meninggalkan Medinah pergi ke Baitullah. Maka dimintanya Abu Bakr memimpin jamaah pergi menunaikan ibadah haji. la berangkat bersama tiga ratus orang. Mereka melaksanakan ibadah itu, melaksanakan tawaf dan sai. Dalam musim haji inilah Ali bin Abi Talib mengumumkan — sumber lain menyebutkan Abu Bakr yang mengumumkan — bahwa sesudah tahun itu tak boleh lagi kaum musyrik ikut berhaji. Kemudian orang menunda empat bulan lagi supaya setiap golongan dapat kembali ke tempat tinggal dan negeri masing-masing. Sejak hari itu, sampai sekarang, dan sampai waktu yang dikehendaki Allah, tak akan ada lagi orang musyrik pergi berhaji ke Baitullah, dan tidak akan ada.
Haji Perpisahan dan keberangkatan Usamah
Tahun kesepuluh Hijri Rasulullah melaksanakan ibadah haji perpisahan. Abu Bakr juga ikut serta. Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam berangkat bersama semua istrinya, yang juga diikuti oleh seratus ribu orang Arab atau lebih. Sepulang dari melaksanakan ibadah haji, Nabi tidak lama lagi tinggal di Medinah. Ketika itu dikeluarkannya perintah supaya satu pasukan besar disiapkan berangkat ke Syam, terdiri dari kaum Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Pasukan itu sudah bermarkas di Jurf (tidak jauh dari Medinah) tatkala tersiar berita, bahwa Rasulullah jatuh sakit. Perjalanan itu tidak diteruskan dan karena sakit Rasulullah bertambah keras, orang makin cemas.
Abu Bakr memimpin shalat
Karena sakit bertambah berat juga maka Nabi meminta Abu Bakr memimpin sembahyang. Disebutkan bahwa Aisyah pernah mengatakan: "Setelah sakit Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam semakin berat Bilal datang mengajak bersembayang: 'Suruh Abu Bakr memimpin salat!' Kataku: Rasulullah, Abu Bakr cepat terharu dan mudah menangis. Kalau dia menggantikanmu suaranya tak akan terdengar. Bagaimana kalau perintahkan kepada Umar saja! Katanya: 'Suruh Abu Bakr memimpin sembahyang!' Lalu kataku kepada Hafsah: Beritahukanlah kepadanya bahwa Abu Bakr orang yang cepat terharu dan kalau dia menggantikanmu suaranya tak akan terdengar. Bagaimana kalau perintahkan kepada Umar saja! Usul itu disampaikan oleh Hafsah. Tetapi kata Nabi lagi: Kamu seperti perempuan-perempuan yang di sekeliling Yusuf. Suruhlah Abu Bakr memimpin sembahyang. Kemudian kata Hafsah kepada Aisyah: Usahaku tidak lebih baik dari yang kaulakukan."
Sekarang Abu Bakr bertindak memimpin salat sesuai dengan perintah Nabi. Suatu hari, karena Abu Bakr tidak ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umar yang diminta mengimami salat. Suara Umar cukup lantang, sehingga ketika mengucapkan takbir di mesjid terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah, maka katanya:
"Mana Abu Bakr? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian."
Dengan itu orang menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakr sebagai penggantinya kelak, karena memimpin orang-orang salat merupakan tanda pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.
Sementara masih dalam sakitnya itu suatu hari Muhammad keluar ke tengah-tengah kaum Muslimin di mesjid, dan antara lain ia berkata:
"Seorang hamba oleh Allah disuruh memilih tinggal di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia memilih berada di sisi Allah." Kemudian diam. Abu Bakr segera mengerti, bahwa yang dimaksud oleh Nabi dirinya. Ia tak dapat menahan air mata dan ia menangis, seraya katanya:
"Kami akan menebus Tuan dengan jiwa kami dan anak-anak kami." Setelah itu Muhammad minta semua pintu mesjid ditutup kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakr. Kemudian katanya sambil menunjuk kepada Abu Bakr: "Aku belum tahu ada orang yang lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman) maka Abu Bakr-lah khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ini dalam iman, sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita di sisi-Nya."
Pada hari ketika ajal Nabi tiba ia keluar waktu subuh ke mesjid sambil bertopang kepada Ali bin Abi Talib dan Fadl bin al-Abbas. Abu Bakr waktu itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang. Ketika kaum Muslimin melihat kehadiran Nabi, mereka bergembira luar biasa. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka meneruskan salat. Abu Bakr merasa bahwa mereka berlaku demikian karena ada Rasulullah. Abu Bakr surut dari tempatnya. Tetapi Nabi memberi isyarat agar diteruskan. Lalu Rasulullah duduk di sebelah Abu Bakr, salat sambil duduk.
Lepas salat Nabi kembali ke rumah Aisyah. Tetapi tak lama kemudian demamnya kambuh lagi. Ia minta dibawakan sebuah bejana berisi air dingin. Diletakkannya tangannya ke dalam bejana itu dan dengan begini ia mengusap air ke wajahnya. Tak lama kemudian ia telah kembali kepada Zat Maha Tinggi, kembali ke sisi Allah.
Rasulullah telah meninggalkan dunia kita setelah Allah menyempurnakan agama ini bagi umat manusia, dan melengkapi kenikmatan hidup bagi mereka. Apa pulakah yang dilakukan orang-orang Arab itu kemudian? Ia tidak meninggalkan seorang pengganti, juga tidak membuat suatu sistem hukum negara yang terinci. Hendaklah mereka berusaha (berijtihad) sendiri. Setiap orang yang berijtihad akan mendapat bagian.
Wallahu 'alam
Sumber : Buku sejarah abu bakar
0 komentar:
Posting Komentar