"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Sabtu, 24 September 2016

Membongkar Kedok Hukum Rimba



Muqadimah Kitab (Kasyfun Niqab) :





Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy hafidhahullah berkata :

I.   Tauhid adalah tujuan yang paling besar
            Ketahuilah wahai hamba Allah, sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak menciptakan kamu secara main-main,.Dia, Allah ta’ala berfirman :
“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja) dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”  (Al Mukminun : 56)
Dan tujuan ini bukan hanya sekedar ibadah kepada Allah, karena sesungguhnya banyak orang-orang kafir beribadah kepada Allah dan disamping itu mereka beribadah kepada tuhan-tuhan yang lain sebagaimana dilakukan oleh orang-orang musyrik Quraisy, akan tetapi tujuan tersebut adalah ibadah hanya kepada Allah saja. Oleh sebab itu banyak para mufasirrin berkata “Melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu” yaitu mentauhidkanKu.
            Jadi yang dituntut adalah mentauhidkan Allah ta’ala dalam ibadah pada seluruh macam-macamnya. Dan masuk dalam hal itu adalah hukum dan tasyri (penyandaran wewenang hukum/aturan/undang-undang). Dan hal itu tidak terealisasi dan tidak sah kecuali dengan kufur (ingkar), bara’ah (berlepas diri) dari segala yang diibadahi, diikuti dari yang membuat hukum/aturan/undang-undang selainNya. Ini adalah pokok dien ini, dan diantara makna terpenting laa ilaaha ilallaah yang mana seseorang tidak menjadi muslim kecuali dengannya. Dan inilah tujuan yang karenanya rasul-rasul Allah seluruhnya diutus. Allah ta'ala berfirman :
“Dan sesungguhnya Kami telah mengurus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ”Beribadahlah kepada Allah dan tinggalkanlah thaghut” (An Nahl : 36)
            Dan inilah urusan yang mana mayoritas manusia telah lalai darinya dan tidak mengetahuinya, Allah ta’ala berfirman :
“Keputusan itu hanyalah milik Allah, Dia memerintahkan kamu tidak beribadah kecuali kepada Dia. Itulah dien yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Yusuf : 40)

II.    Penerimaan sepenuhnya hukum Al Kitab dan As Sunnah serta membuang jauh-jauh selain keduanya adalah termasuk makna Tauhid yang terpenting.
            Dan ketahuilah, begitu juga diantara makna terpenting paruh kedua dari dua kalimah syahadat yaitu Muhammad Rasulullah adalah menjadikan Rasul Shalallahu 'alaihi wassalam sebagai hakim (pemutus). Dan itu pada zaman kita dengan menjadikan dienNya, tuntutannya, perintahnya, dan larangannya sebagai acuan (hakim). Hal itu semua adalah wahyu dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebagaimana firmanNya :
“Maka demi tuhanmu, mereka (pada hakikatnya tidak beriman Hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisa’ : 65)
         Maka demi tuhanmu, mereka (pada hakikatnya tidak beriman” ini adalah sumpah dari Allah ta’ala dengan diriNya Yang Maha Agung lagi Maha Mulia. “Hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan” Dan tidak cukup menjadikan syari’at Allah ta’ala yang diturunkan kepada Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam sebagai acuan yang berupa Al Quran dan As Sunnah. Itu saja tidak cukup untuk keabsahan Islam dan iman seseorang, namun harus adanya kelapangan dada akan keputusan-keputusannya, ridha dengannya, tunduk dan penerimaan yang mutlak terhadapnya, dan Allah berfirman diujung ayat tadi “Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”

III.       Bara’ah (berlepas diri) dari setiap hukum selain hukum Allah adalah bagian makna terpenting laa ilaaha ilallaah.
            Dan ini sudah menjadi suatu keharusan pada hati mereka untuk merasa keberatan terhadap setiap pembuat hukum/aturan/undang-undang (musyari’) dan yang diibadati (ma’bud) selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala, serta terhadap ajaran setiap ajaran selain Dinullah ta’ala, dan terhadap setiap hukum selain hukum Allah ta’ala, dan untuk tidak menerima putusan selain hukum Allah atau ridha dengannya atau menghormatinya atau mengedepankannya atau mengagungkannya, dan kalau tidak demikian berarti mereka itu musyrikin.
Justeru yang menjadi kewajiban mereka adalah meminggirkannya, menjelaskan keburukannya, kafir terhadapnya dan berlepas diri darinya sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap berhala-berhala kaumnya dan thaghut-thaghut mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Dan dien ini adalah Dienul Islan, Allah tidak menerima dien selainnya. Islam itu mengandung penyerahan diri kepada Allah saja, maka siapa berserah diri kepadaNya dan kepada selainNya berarti dia musyrik, dan barangsiapa yang tidak berserah diri kepadaNya, maka dia itu mustakbir (orang yang menyombongkan diri) dari ibadah kepadaNya. Sedangkan musyrik dan mustakbir dari ibadah kepadaNya, kedua-duanya adalah kafir” (Ar Risalah At Tadmuriyyah hal. 52-53 / Majmu Al Fatawa : 38/23-24).
            Imam dakwah najdiyyah Syaikhul Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam mengomentari hadist riwayat Muslim dalam Sahih-nya dari Abu Malik Al Asyja’iy dari ayahnya bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam  bersabda : 
“Siapa yang mengucapkan laa ilaaha ilallaah dan kufur kepada segala yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya atas Allah ta’ala” (Muslim dalam Kitabul Iman), beliau berkata : [“Dan ini tergolong dalil yang paling agung yang menjelaskan makna laa ilaaha ilallaah, sesungguhnya beliau (saw) tidak menjadikan (sekedar) pengucapan akan kalimat ini sebagai penjaga darah dan harta, bahkan tidak pula pemahaman akan maknanya beserta pengucapannya, bahkan tidak pula pengakuan akan hal itu, bahkan tidak pula keberadaan dia tidak menyeru kecuali kepada Allah saja sampai dia menambahkan akan hal itu semua (sikap) kufur terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah. Dan bila ia ragu atau bimbang maka harta dan darahnya tidak haram….”] (Ad Durar As Saniyyah fil Ajwibah An Najdiyyah : 103 pada juz JIHAD)

IV.       Mentauhidkan Allah adalah fardhu dalam semua macam ibadah
            Kemudian ketahuilah bahwa sesungguhnya ibadah itu meliputi hal-hal yang banyak dan bagian yang beraneka ragam yang tidak diketahui oleh banyak manusia di zaman kita ini. Maka wajib atas kamu mengetahuinya agar supaya kamu mentauhidkan Allah ta’ala dengannya secara menyeluruh sehingga kamu menjadi muslim, mu’min, muwahhid, maka kamu mendapatkan apa yang dijanjikan Allah Subhanahu Wa Ta'ala ampunan dan surga.
            Ibadah itu bukan hanya shalat, shaum, zakat dan haji sebagaimana yang diduga oleh banyak orang, akan tetapi masuk juga didalamnya nadzar, thawaf, sembelihan, isti’adzah (meminta pelindungan), istighatsah (meminta keselamatan) dan isti’anah (meminta pertolongan) dalam apa yang tidak ada kuasa terhadapnya kecuali Allah, seperti meminta didatangkan rizki, penolakan bahaya, dan sakit serta yang lainnya. Sesungguhnya itu semua termasuk ibadah yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Dan bila seorang hamba memalingkan sesuatu darinya kepada selain Allah dan mati diatasnya, maka ia mati dalam status musyrik. Allah ta’lal berfirman :
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga” (Al Maidah : 72)
dan juga firmanNya ta’ala :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar”  (An Nisa : 48)

V.    Taat dalam pembuatan hukum (tasyri’) termasuk macam ibadah, sedangkan ridha dengan qawanin (undang-undang buatan) adalah syirik akbar.
            Dan ketahuilah bahwa diantara macam ibadah terpenting yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala, juga bila dilanggar maka sipelakunya musyrik adalah : taat dalam tahlil (penghalalan) dan tahrim (pengharaman) serta tasyri (pembuatan hukum), maka barangsiapa yang mentaati selain Allah ta’ala dalam hal itu atau menampakan ridha dan penerimaan terhadap hukumnya, aturannya, dan undang-undangnya, serta dia mengikutinya atas dasar hal itu, maka dia telah musyrik dan dia telah menjadikan yang diikuti itu sebagai rabb (tuhan). Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien yang tidak diizinkan Allah?” (Asy Suura’ : 21)
         Ada dalam Kitab Tauhid Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab ucapan beliau bab “Orang-orang yang mentaati para ulama dan umara dalam mengharamkan apa yang telah Allah halalkan atau menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka ia telah menjadikan mereka arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah”, dan didalamnya beliau menyebutkan hadits ‘Addiy Ibnu Hatim dalam tafsir firman Allah ta’ala :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan Rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (At Taubah : 31)
dan firmanNya ta'ala  :
“Sesungguhnya syaitan itu membisikan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu, dan jika kamu mentaati mereka  sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik”  (Al An’am : 121)
Al Hakim dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang membantah kaum muslimin tentang masalah sembelihan dan pengharaman bangkai, mereka mengatakan : “Kalian makan apa yang kalian bunuh dan tidak memakan apa yang Allah bunuh (maksudnya bangkai)”, maka Allah berfirman : “dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik” Dan lihatlah bagaimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala menguatkan hal itu dengan ‘       ‘ (sesungguhnya) yang berfungsi sebagai penguat.
            Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam penafsiran ayat diatas : “Yaitu kalian berpaling dari perintah Allah terhadap kalian dan aturanNya kepada ucapan selainNya, lalu kalian lebih mengedepankan aturan yang lain terhadap aturan Allah, maka inilah syirik itu”
            Asy Syinqithiy rahimahullah berkata dalam tafsirnya tentang ayat diatas : “Fatwa samawiyyah dari  Sang Pencipta Jalla wa ‘Ala, Dia menegaskan didalamnya bahwa orang-orang yang mengikuti aturan syaitan yang menyalahi aturan Ar Rahman adalah musyrik billah”, dan Allah ta’ala berfirman : “Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukumnya” (Al Kahfi : 26). Kemudian beliau menuturkan ayat-ayat yang menjelaskan hal itu hingga beliau berkata : “Dengan nash-nash samawiyyah yang telah kami sebutkan ini maka jelaslah  sejelas-jelasnya, bahwa orang-orang yang mengikuti Qawanin Wadl’iyyah (undang-undang) yang ditetapkanoleh syaitan melalui lisan kawan-kawannya yang mana (undang-undang itu) menyelisihi apa yang telah ditetapkan Allah melalui lisan para rasulNya, sesungguhnya tidak (ada yang) meragukan kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang telah Allah hapus bashirahnya dan telah dibutakan dari cahaya wahyu seperti mereka itu”
            Dan beliau berkata ditempat yang lain : “Menyekutukan Allah dalam hukumNya sama seperti penyekutuan Allah dalam ibadah (kepadaNya), dan dalam qira’ah Ibnu Amir yang termasuk qira’ah sab’ah dalam bentuk larangan : “Dan janganlah kamu menyertakan seorangpun dalam hukumNya” (Al Kahfi : 26) Dan beliau berkata juga : “Dikarenakan tasyri (aturan) dan seluruh hukum baik itu syar’iy atau Kauniyah Qadariyyah (hukum dialam ini) adalah tergolong kekhususan Rubbubiyyah, maka setiap orang yang mengikuti selain aturan Allah berarti dia telah menjadikan sipembuat aturan itu sebagai Rabb (tuhan) dan menyekutukannya bersama Allah”. (Lihat Tafsir surat Asy Syuura’ dalam Adlwa’ul Bayan)

VI.       Dua syarat untuk keselamatan dan berpegang dengan Al ‘Urwatul Wutsqa adalah kufur kepada thaghut dan iman kepada Allah
Dan ringkasnya :
Bahwa yang dituntut dari setiap muslim disetiap zaman dan tempat agar dia menjadi muwahhid adalah merealisasikan makna laa ilaaha ilallaah yang sebenarnya diamana mayoritas manusia lalai darinya. Dan hal itu adalah dua syarat yang dikandung oleh kalimat itu berupa penafian (peniadaan)dan itsbat (penetapan) dan keduanya kufur kepada setiap thaghut serta iman kepada Allah dan berserah diri kepadaNya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Siapa yang kufur kepada thaghut serta iman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang pada Al Urwah Al Wutsqa”  (Al Baqarah : 256)
Coba perhatikan, bagaimana Dia Subhanahu Wa Ta'ala mendahulukan penafian dalan kalimat syahadat, dan itu tidak lain adalah penguat akan penting dan urgennya masalah ini.
Al ‘Alamah Asy Syinqithiy rahimahullah berkata :
“Dipahami darinya -yaitu dari ayat diatas- bahwa orang yan tidak kufur terhadap thaghut berarti tidak berpegang pada Al ‘Urwah Al Wutsqa, sedangkan orang yang tidak berpegang padanya maka ia terjerumus bersama orang-orang yang binasa” (Adlwa’ul Bayan / Tafsir surat Asy Syuura)
            Apabila engkau telah mengetahui hal ini, maka jangan sekali-kali engkau mengira bahwa thaghut itu hanya berhala dari batu, sehingga engkau mempersempit makna yang luas. Akan tetapi thaghut itu mencakup ini dan yang lainnya. Thaghut diambil dari kata “Thughyan” yang artinya melampaui batas. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya kami tatkala air sudah naik (sampai kegunung) kami bawa (nenek moyang) kamu kedalam bahtera” (Al Haqqah : 11)
Ia adalah segala sesuatu yang melampaui batas yang sebenarnya, sehingga diibadati bersama Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan macam ibadah yang telah disyari’atkan sebelumnya[1]. Dan atas dasar ini, maka bagi setiap zaman dan tempat itu terdapat thaghut-thaghut yang bermacam-macam. Dan orang tidak menjadi muslim muwwahid sampai ia kufur kepada setiap thaghut. Dan terutama thaghut zaman dan tempatnya, serta ia bara’ah darinya dan dari peribadatan terhadapnya. Ada orang yang menyembah api seperti Majusi maka api adalah thaghut mereka, dimana mereka itu tidak menjadi muslimin meskipun mereka beriman kepada Allah ta’ala sehingga kufur terhadapnya. Dan begitu juga orang yang menyembah matahari atau bulan atau bintang atau planet, maka semua itu adalah thaghut-thaghut mereka, yang mana keIslaman mereka tidak sah bila masuk Islam sehingga mereka kafir terhadapnya dan bara’ah dari ibadah kepadanya. Dan begitu juga orang yang menyembah patung seperti orang-orang kafir Quraisy dan yang lainnya, maka patung-patung itu adalah thaghut-thaghut mereka, yang mana mereka tidak menjadi muslim kecuali dengan kafir terhadapnya meskipun mereka mengakui dan beriman kepada Allah Rabb mereka, Pencipta mereka, Pemberi rezeki mereka dan Pemilik mereka sebagaimana Allah kabarkan tentang orang-orang kafir Quraisy :
“Dan sungguh, seandainya kamu bertanya kepada mereka siapakah yang telah menciptakan mereka, tentulah mereka mengatakan : “Allah” (Az Zukhruf : 87)
dan firmanNya Subhanahu Wa Ta'ala:
Katakanlah, “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mat dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab : “Allah”, maka katakanlah : “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepadaNya) ?”  (Yunus : 31)
            Namun demikian Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam memerangi mereka, darah mereka tidak terjaga dan mereka tidak menjadi muslim sampai mereka kufur terhadap berhala-berhala itu serta berlepas diri dari ibadah kepadanya. Dan telah lalu ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab seputar hadist Abu Malik Al Asyja’iy : “Siapa yang mengucapkan laa ilaaha ilallaah dan kufur kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah….”
            Al ‘Alamah Syaikh Muhammad Ibnu Atiq rahimahullah berkata dalam kitabnya Sabilun Najah Wal Fikak Min Muwalatil Murtadin Wa Ahlil Isyrak : “Ketahuilah, sesungguhnya kekafiran itu memiliki banyak macam dan ragam yang berbilang dengan berbilangnya mukaffirat (hal-hal yang membuat kafir). Dan setiap kelompok dari kelompok-kelompok kafir telah masyhur padanya macam kekafiran tertentu, sedangkan orang muslim itu tidak dianggap menampakan diennya sehingga ia menyalahi setiap kelompok dengan apa yang terkenal padanya dan terang-terangan menyatakan permusuhan terhadapnya serta bara’ah darinya”.

VII.    Diantara thaghut modern yang paling busuk dan paling wajib kufur terhadapnya adalah UUD dan undang-undang.
            Bila engkau telah paham apa yang lalu, maka ketahuilah bahwa diantara thaghut-thaghut modern yang paling busuk dinegeri kita ini dan dibanyak negeri kaum muslimin adalah Dustur (UUD) dan Qawanin Wadl’iyyah (undang-undang)nya, yang mana manusia tunduk kepadanya dan leher-leher mereka merendah dihadapannya. Sedangkan bentuk peribadatan terhadapnya adalah dengan mengikutinya, merujuk hukum kepadanya, pasrah terhadap aturan-aturannya serta ridha dengannya.
            Mujahid berkata : “Thaghut adalah syaitan dalam bentuk manusia, yang mana mereka merujuk hukum kepadanya, sedangkan dia adalah pemimpin mereka”.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Thaghut adalah wazan fa’alut dari thughyan, dan thughyan adalah melampaui batas, dan ia adalah zalim lagi aniaya yang diibadati selain Allah. Bila tidak membenci hal itu, maka ia thaghut… hingga ucapannya  : Dan oleh sebab itu orang yang dirujuk hukum kepadanya yaitu orang yang memutuskan dengan selain Kitabullah adalah thaghut”. (Mukhtasar dari Majmu Al Fatawa : 38/200-201)  
            Al ‘Alamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Thaghut adalah sesuatu yang dilampaui batasnya oleh si hamba, baik yang diibadati atau yang diikuti atau yang ditaati. Jadi thaghut setiap kaum adalah yang dirujuk hukum oleh mereka selain Allah dan RasulNya atau yang mereka ibadati selain Allah, atau yang mereka taati tanpa ada bashirah dari Allah. Beliau rahimahullah berkata juga : Orang yang merujuk hukum atau mengadukan hukum kepada selain apa yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam maka ia telah menjadikan thaghut sebagai hakim dan merujuk hukum kepadanya” (I’lamul Muwaqqi’in)
            Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir firmanNya ta'ala :
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang ditirunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”      (An Nisa’ : 60)
Beliau rahimahullah berkata setelah menuturkan berbagai ungkapan tentang makna thaghut : “dan ayat ini adalah lebih umum dari itu semuanya, karena sesungguhnya ayat ini adalah celaan bagi orang yang berpaling dari Kitabullah dan Sunnah, dan mereka merujuk kepada selain keduanya adalah kebathilan, dan ia adalah yang dimaksud dengan thaghut itu”. Maka setiap orang yang dirujuk hukum kepadanya selain syari’at Allah maka ia adalah thaghut, baik makhluk maupun undang-undang.
            Al ‘Alamah Asy Syinqithiy rahimahullah berkata dalam Adwa’ul Bayan tentang ayat yang lalu : “Dan seriap perujukan hukum kepada selain aturan Allah, maka ia adalah perujukan hukum kepada thaghut”. (Dalam Tafsir surat Asy Syuura’)
            Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata dalam risalah yang ada dalam Ad Durar As Saniyyah : “Thaghut ada tiga macam ; Thaghut Hukum, Thaghut Ibadah, Thaghut Tha’ah dan Mutaba’ah”. (Dalam juz Al Murtad hal. 272)
            Syaikh Abdullah Ibnu Abdurrahman Aba Buthain berkata dalam makna thaghut : “Dan ia juga mencakup setiap orang yang diangkat oleh manusia untuk memutuskan diantara mereka dengan hukum-hukum jahiliyyah yang bersebrangan dengan hukum Allah dan RasulNya.” (Risalah beliau tentang definisi Ibadah dan Tauhid)
            Bila engkau mengetahui ini, maka ketahuilah sesungguhnya keIslaman dan tauhidmu tidak akan sah dan kamu tidak akan merealisasikan makna laa ilaaha ilallaah yang sebenarnya, dan kamu tidak akan mendapatkan jalanmu ke surga sampai kamu kufur dan bara’ dari setiap thaghut. Dan yang paling terutama adalah thaghut modern ini yang diikuti dan tunduk terhadapnya mayoritas manusia, mereka mengibadatinya dengan ibadah tasyri sehingga mereka ridha dengan perintah-perintah dan larangan-larangannya, mereka mengikutinya, berkumpul sepakat bersamanya untuk (melaksanakan) aturan-aturannya, bersekongkol atas undang-undangnya, mereka mengagungkannya, memuliakannya, menyanjungnya, mensucikannya dan mereka mencintai hamba-hambanya, mengagungkan mereka dan loyal terhadapnya.
            Maka wajib atas kamu, apabila kamu menginginkan surga untuk kafir terhadapnya, berlepas diri darinya dan dari hamba-hambanya dan wali-walinya, membenci mereka dan mendidik anak-anakmu dan isterimu untuk membenci mereka. Kamu  berupaya dan berjihad sepanjang hidupmu dalam rangka menghancurkan dan menggugurkannya, serta kamu tidak pasrah menerima atau ridha atau dadamu lapang kecuali terhadap hukum dan syari’at Allah Subhanahu Wa Ta'ala saja,… dan kalau tidak, maka neraka... neraka… dan neraka !!

VIII.       Yasiq para thaghut masa kini dan Yasiq Tattar.
            Dan agar masalahnya jelas bagimu dan tersingkap darimu segala macam syubhat serta tidak tersisa dalam benakmu talbis ahlul bathil dan ulama pemerintahan dari kalangan orang-orang yang membela-bela kebathilan dan kezalimannya, maka inilah kami membongkar dan menjelaskan buatmu serta mengetengahkan dihadapanmu contoh-contoh kekafiran, kemusyrikan, kebodohan, zindiq, serta ilhad (kemurtaddan) yang dikandung oleh thaghut ini (yaitu UUD dan UU-nya) agar kamu berada didalam bayyinah diatas urusan dan dien-mu, sehingga engkau hati-hati dan memperingatkan dari syirik yang dahsyat ini (syirik modern) yang mana mayoritas manusia dizaman kita ini telah terjatuh kedalamnya, baik mereka rasakan atau tidak.
            Dan sebelum itu kamu harus tahu bahwa syari’at Allah Subhanahu Wa Ta'ala dahulu adalah yang menjadi acuan dinegeri-negeri kaum muslimin dan untuk berabad-abad. Dan pada saatnya itu kaum muslimin jaya lagi mulia membuat takut musuh Allah dan musuh mereka, hingga datang orang-orang dungu dari kalangan penguasa (yang menguasai) kaum muslimin yang bila manusia dan para du’at yang mukhlish berkata kepada mereka : “Tegakkan syari’at Allah !” sebagaimana firmanNya :
 “Apabila dikatakan kepada mereka : ”Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah turunkan dan kepada hukum rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu” (An Nisa’ : 61)
Maka datang -semoga Allah tidak melanggengkan mereka- pada saat kelalaian umat ini dan kemunduran generasi penerusnya. Mereka menukar yang baik dengan yang paling buruk, mereka mencampakan syari’at dan menggantinya dengan undang-undang buatan yang kafir sebagaimana yang dilakukan musuh-musuh kita Tattar saat menguasai kerajaan-kerajaan kaum muslimin dimana mereka menetapkan politik-politik kerajaan mereka yang diambil raja mereka Jenggis Khan.
            Al Hafidz Ibnu Katsir berkata dalam tafsir firman Allah :“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka cari… “ (Al Maidah : 50). Tentang raja ini bahwa ia meletakan bagi mereka Yasiq, dan ia (Yasiq) adalah kitab yang merangkum berbagai hukum yang ia cuplik dari berbagai sumber hukum Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah dan yang lainnya. Dan didalamnya terdapat banyak hukum yang ia ambil dari sekedar pandangannya dan hawa nafsunya. Kemudian Yasiq itu dikalangan anak-anaknya menjadi aturan yang diikuti yang lebih mereka dahulukan daripada putusan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.”[2]
            Dan seandainya engkau mengamati UUD negeri ini dan negeri-negeri yang intisab (menyandarkan diri)  kepada Islam lainnya dan seandainya engkau mengamati undang-undang buatannya tentulah engkau melihatnya seperti Yasiq Tattar atau bahkan lebih busuk, karena para budaknya telah menelantarkan syari’at Islamiyyah dalam jiwa, darah, kemaluan, harta dan yang lainnya. Mereka tinggalkan hudud (hukum Islam)nya hukum-hukum Qishash-nya, urusan-urusan politik, ekonomi, hubungan-hubungan antar negara dan yang lainnya. Dan mereka mengambil itu semuanya dari undang-undang Prancis yang Nashrani percis seperi Yasiq Tattar. Sungguh Jenggis Khan telah mengambil dari Nashrani dan para pakar perundang-undangan dan para hamba undang-undang lainnya telah mengundang-undangkan bagi mereka dengan hawa nafsunya, dan begitu juga Yasiq Tattar diantara sumbernya adalah pendapat dan hawa nafsu. Dan mereka menyisakan -semoga Allah tidak melanggengkan mereka- sebagian undang-undang yang mereka ambil dari syari’at Islam yang terbatas dalam masalah-masalah warisan, cerai dan pernikahan yang mereka namakan Ahwal Syakshiyyah. Mereka sisakan dalam rangka pengkaburan atas manusia bahwa mereka itu tidak meninggalkan syari’at secara total… percis seperti keadaan Yasiq Tattar dimana didalamnya juga ada hukum-hukum dari Millah Islamiyyah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dan yang lainnya.
            Jadi, tidak ada perbedaan antara UUD dan undang-undangnya ini dengan Yasiq Tattar, namun perbedaan antara diamnya umat pada zaman kita dari undang-undang ini dengan keadaan umat zaman dahulu terhadap Yasiq Tattar adalah besar. Sesungguhnya merasa tidak tenang dan tidak suka terhadap Yasiq itu dan mereka tidak mengamalkannya sama sekali bersama ulama mereka, mereka berjihad dan mengajak untuk menggugurkannya, menghilangkannya dan menggantinya sampai Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan kemenangan kepada mereka, memberi kedudukan  bagi mereka dan memuliakannya, dan syari’at Allah tetap menjadi acuan segalanya meskipun dimasa-masa lemah dan meskipun perpecahan yang melanda umat, dan persekongkolan musuh dan penguasaan mereka terhadap sebagian banyak wilayah-wilayahnya seperti orang-orang bathiniyyin dan kaum salib serta yang lainnya. Umat ini tidak pernah mengganti juga para hakim dan para sultan dibelahan negeri kaum muslimin lainnya syari’at Allah yang menjadi acuan… hingga Khilafah Islamiyyah dibubarkan lewat tangan-tangan Yahudi dan kaki tangannya, dan datang kaum penjajah salib modern serta mereka tidak keluar dari tanah kaum muslimin sehingga (terlebih dahulu) menempatkan kaki tangannya dari kalangan penguasa-penguasa yang dungu yang dengan peranannya mereka telah menyingkirkan syari’at dan kembali memberlakukan Yasiq Tattar namun dengan baju modern yang memukau.[3]
            Inilan negeri kaum muslimin, telah dibebani dengan belenggu para thaghut, rantai-rantainya dan kegelapan dibawah payung undang-undang ini. Setiap kerusakan berkembang didalamnya dan setiap kekafiran masuk didalamnya. Dan dengan sebab undang-undang ini dan kerusakannya, menusia terancam rusak fithrahnya, gelap hatinya, keruh pemahamannya dan hancur akalnya. Fitnah telah meliputi mereka sehingga anak kecil tumbuh didalamnya dan dewasa menjadi pikun didalamnya, sehingga mayoritas manusia tidak memandangnya sebagai kemungkaran.
             Dalam payung ini mereka menganggap bid’ah sebagai sunnah, hawa nafsu sebagai kewarasan, sesat sebagai petunjuk, yang munkar sebagai yang ma’ruf, kejahilan sebagai ilmu, riya sebagai ikhlas, bathil menjadi al haq, dusta sebagai jujur, mudahanah sebagai nasihat dan ucapan al haq, riba sebagai jual beli, zalim sebagai keadilan dan fujur sebagai kehormatan, sehingga kemenangan dan kejayaan adalah bagi hal-hal ini dan orang-orangnya adalah menjadi terpandang, padahal sebelumnya adalah bagi lawannya dan orang-orangnya adalah menjadi terpandang.
            Dan demi Allah, perut bumi telah menjadi lebih baik daripada permukaannya, puncak-puncak gunung lebih baik daripada tanah lapang dan berbaur dengan binatang liar lebih selamat daripada berbaur dengan manusia. Bumi merinding, langit menjadi gelap. Kerusakan nampak berupa kezaliman orang-orang busuk didaratan dan lautan, keberkahan telah hilang, kebaikan menyusut, kehidupan mejadi keruh karena sebab kefasikan orang-orang zalim, terang siang dan kegelapan malam menangis karena perbuatan-perbuatan keji, perlakuan kejam, banyaknya perzinahan dan  lain sebagainya. Dominannya kemungkaran dan merebaknya keburukan.
            Dan ini demi Allah, adalah peringatan akan munculnya banjir azab yang awannya tidak menebal dan peberitahuan akan kelamnya negeri yang kegelapannya telah menutup. Selama para du’at al haq dan kaum mushlihin tidak bangkit terang-terangan dengan al haq dan penjelasannya, serta selama tentara tauhid tidak berdiri merubah kemungkaran yang besar iru, menyelamatkan manusia dari penghambaan pada thaghut dan undang-undang nya serta mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, dan kalau tidak… maka sesungguhnya jalan yang mendaki itu demi Allah adalah sangat sukar.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : “Dan orang-orang zalim itu kelak akan mengetahui ketempat mana mereka akan kembali”(Asy Syu’ara : 227)







Selesai diterjemahkan :


[1] Dan berkaitan dengan makhluk yang diibadati selain Allah tidak dinamakan thaghut kecuali bila dia mengetahui lagi ridha, sehingga keluar dengan pengecualian ini segenap yang diibadati dari kalangan malaikat, para nabi dan orang-orag shalih.
[2] Dan lanjutan perkataan Ibnu Katsir : “Siapa yang mendahulukan hal itu, maka ia kafir dan wajib diperangi sampai ia kembali kepada hukum Allah dan RasulNya, dan selainnya tidak boleh dijadikan rujukan hukum dalam hal sedikit dan banyak.”
Dan ia adalah jelas, terang lagi dipahami, tidak butuh syarah dan penjelasan. Dan maksud kami disini bukan membicarakan masalah ini dan memperpanjang didalamnya, karena sesungguhnya tempatnya didalam kitab kami Naz’ul Husam, yaitu materi yang didalamnya kami akan berbicara tentang membela dien dengan besi, sedangkan bahasan disini adalah membela dien dengan tulisan. Dan maksud kami didalamnya adalah memfokuskan pada sesuatu yang disepakati oleh orang-orang yang jauh dan orang yang dekat, yaitu bahwa UUD ini dan undang-undangnya adalah kekafiran  dan thaghut yang diibadati dan diikuti, dan kemudian mengajak kaum muslimin untuk kufur terhadapnya dan bara’ah darinya dan dari orang-orang yang memutuskan dengannya dan melindunginya… siapa saja orangnya.

[3] Bahkan Al ‘Alamah Ahmad Syakir sebagaimana dalam Hasyiyah Umdah At Tafsir memandang bahwa pengaruh Yasiq Modern ini lebih buruk dan lebih berbahaya dari pada Yasiq Tattar, karena Yasiq Tattar saat diterapkan secara paksa ditengah umat tidak ada seorangpun dari umat Islam melebur didalamnya saat itu, mereka tidak mempelajari dan mengajari anak-anaknya, sehingga pengaruhnya cepat hilang, bahkan orang-orang Tattar sendiri yang melebur dalam Islam sehingga banyak dari mereka yang masuk Islam dengan berbondong-bondong dengan sebab keteguhan kaum muslimin diatas dien-nya serta ketidakridhaan mereka atau penerimaannya akan Yasiq itu. Adapun sekarang sesungguhnya kaum muslimin dalam pandangan Syaikh Ahmad Syakir adalah lebih buruk keadaannya dan lebih dahsyat kezaliman dan kegelapannya dari pada mereka dimasa itu, karena mayoritas umat Islam sekarang hampir melebur dalam undang-undang yang menyelisihi syari’at ini. Dan bila ini pendapatnya tentang keadaan umat bersama Yasiq modern pada zamannya 30 tahun yang lalu, maka bagaimana dengannya bila beliau melihat kita saat ini dan keadaan banyak orangn yang intishab pada dakwah bersama Yasiq dan hamba-hambanya, apalagi orang awamnya….fallahul musta’an.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive