"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Kamis, 08 September 2016

Ketika Mashlahat Dakwah Dipertuhankan




Ketika Mashlahat Dakwah Dipertuhankan
 Dan Menjadi Thaghut Model Baru





Penulis Kitab:
Syaikh Abu Muhamad ‘Ashim Al Maqdisiy





Alih bahasa:
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman





Tauhid dan jihad
Pendahuluan

Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah, kami memuji-Nya meminta pertolongan kepada-Nya dan memohon ampun dari-Nya serta kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan dari keburukan amalan kami, barang siapa Allah memberinya hidayah maka tiada satupun yang bisa menyesatkanya, dan barang siapa Allah menyesatkanya maka tiada satupun yang bisa memberinya petunjuk. Siapa bersaksi bahwa tiada ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja tiada sekutunya bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Wa Ba’du:
Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah ta’ala dan tuntunan yang paling baik adalah tuntunan Muhammad saw, serta urusan yang paling buruk adalah yang diada-adakan, sedangkan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah kesesatan, serta kesesatan itu di neraka.

tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ
Allah ta’ala berfirman: “Pada hari itu telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al Maidah: 3)
$¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx«
Dan Dia swt berfirman pula: “Tidaklah kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab.” (Al An’am: 38)
Dan Dia subhanahu wa ta’ala mengatakan:
¨br&ur #x»yd ÏÛºuŽÅÀ $VJŠÉ)tGó¡ãB çnqãèÎ7¨?$$sù ( Ÿwur (#qãèÎ7­Fs? Ÿ@ç6¡9$# s-§xÿtGsù öNä3Î/ `tã ¾Ï&Î#Î7y 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÎÌÈ
“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia: dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bartaqwa.” (Al An’am: 153)
Dan firman-Nya swt:
(#qãèÎ7®?$# !$tB tAÌRé& Nä3øŠs9Î) `ÏiB óOä3În/§ Ÿwur (#qãèÎ7­Fs? `ÏB ÿ¾ÏmÏRrߊ uä!$uÏ9÷rr& 3 WxÎ=s% $¨B tbr㍩.xs? ÇÌÈ
 “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
Ini adalah ayat-ayat yang tegas serta muhkam perihal pengguguran ibtida’ (sikap mengada-ada) dan ikhtira’ (penciptaan hal baru) dalam dien ini, dan perihal pengguguran ra-yu (pendapat), istihsan (penganggapan baik) dan istishlah (penilaian maslahat) yang berdasarkan syahwat lagi berdiri tanpa landasan dalil syar’i.
Dilalah ayat-ayat ini sama sekali tidak dihiraukan oleh banyaknya Ruwaibidlah masa kini, dan mereka malah berupaya menghancukan ikatan-ikatan keimanan dan pilar-pilar dien, dimana mereka memainkanya secara mendasar dan lancang menampilkan bangunan mereka yang rapuh yang tidak di bangun di atas taqwa dan ridlo dari Allah, mereka berani berbicara dalam  agama Allah ini dengan apa yang tidak mereka miliki ilmunya dan mereka berceloteh dengan apa yang tidak mereka miliki pengetahuan tentangnya , mereka posisikan diri mereka sebagi masyarri’in (para pembuat hukum) yang membuat istihsan dan istishlah dalam dienullah dan dakwa-Nya apa yang mereka inginkan dan mereka sukai.
Seolah mereka dengan lisan keadaan mereka mengira bahwa Allah telah membiarkan dien ini begitu saja bagi mereka tanpa dlawabith (batasan-batasan) dan tanpa hudud (rambu-rambu) agar mereka bisa mengacak-acak didalamnya sesuka mereka dengan hawa nafsunya dan istilah mereka yang rusak lagi betul.
Padahal sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman seraya mengingkari mereka:  
óOçFö7Å¡yssùr& $yJ¯Rr& öNä3»oYø)n=yz $ZWt7tã öNä3¯Rr&ur $uZøŠs9Î) Ÿw tbqãèy_öè?
Apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami meciptakan kamu secara main-main (saja).” (Al Mu’minun: 115)
Dan berfirman juga:
Ü=|¡øtsr& ß`»|¡RM}$# br& x8uŽøIム´ß ÇÌÏÈ
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja.” (Al Qiyamah: 36)
Dan Dia menjelaskan bahwa yang berbicara dalam agama Allah lagi berkomentar di dalamnya tanpa dasar ilmu adalah senantiasa termasuk para pendusta sampai dia mendatangkan bukti dalil yang benar terhadap klaimnya, Dia berfirman:
Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ
“Katakanlah: unjukanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (An Nahl: 64)
Ini adalah lembaran-lembaran yang telah saya tulis beberapa tahun ke belakang, di dalamnya saya mengkaji masalah istislah dan istihsan, serta didalamnya saya jelaskan kerusakan jalan yang dianut oleh ahli bid’ah, karena menjalarnya bencana dengan sebab itu di zaman kita ini dan bergabungnya banyak manusia dengan kaum musyrikin serta masuknya mereka di jalan-jalan mereka lewat pintu-pintu ini.
Di akhir lembaran-lembaran ini saya telah mengupas fatwa yang indah milik syaikhul islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah yang berkaitan dengan materi ini, saya mengutipnya dari Majmu Fatwa beliau, saya meringkasnya dan menyusunya serta memberi komentar atasnya.
Saya memohon kepada Allah ta’ala  semoga Dia membukakan dengan upaya yang sederhana ini telinga-telinga yang tuli, mata-mata yang buta, serta hati-hati yang tertutup, dan semoga amalan kami ini menjadi amalan soleh yang tulus mengharapkan wajah-Nya yang Mulia sesungguhnya Dialah yang berhak akan itu dan yang kuasa terhadapnya.
`yJsù ϊ̍ムª!$# br& ¼çmtƒÏôgtƒ ÷yuŽô³o ¼çnuô|¹ ÉO»n=óM~Ï9 ( `tBur ÷ŠÌãƒ br& ¼ã&©#ÅÒムö@yèøgs ¼çnuô|¹ $¸)Íh|Ê %[`tym $yJ¯Rr'Ÿ2 ߨè¢Átƒ Îû Ïä!$yJ¡¡9$# 4 šÏ9ºxŸ2 ã@yèøgs ª!$# }§ô_Íh9$# n?tã šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sムÇÊËÎÈ
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk dien) islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Al An’am: 125)

Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy







Para Juru Dakwah Penganut Aliran Macchiavelli
Niccola Macchiavelli adalah orang kafir asal Itali yang lahir tahun 1469 M, dia bergabung dalam dunia politik selama 14 tahun kemudian dia di copot dari jabatan politiknya setelah itu, kemudian dia menyendiri di rumahnya yang berada di ladang pertanian dan dia mengkhususkan diri untuk mempelajari sejarah. Kemudian dia menuangkan ringkasan pengalaman-pengalaman politiknya dan pengamatan-pengamatan yang beraneka ragam dalam sebuah buku yang berjudul “Sang Pemimpin”. Dia pun mati tahun 1527 M dan meninggalkan buku itu yang dianggap oleh para politisi modern sebagai tuntunan terbesar bagi mereka. Dan para ahli kritik dan para pengkaji memandang bahwa bukunya ini adalah sekolahan yang mana mayoritas para penguasa di zaman modern ini meluruskan darinya serta komitmen dengan metodenya, padahal sebenarnya dia itu tidak membawa hal baru di dalamnya, akan tetapi apa yang dia lakukan adalah dia mengumpulkan apa yang berceceran berupa prilaku para pemimpin barat dan para panglima mereka di abad-abad pertengahan, dia bukukan dan tampakkan apa yang di rahasiakan jiwa-jiwa mereka serta menghadirkannya di hadapan para politikus. Di dalamnya dia memaparkan apa yang dia anggap sebagai kaidah-kaidah yang besar yang memberikan andil dalam keberhasilan si pemimpin dalam kekuasaanya serta mengokohkan pilar-pilar kekuasaannya tanpa mengikat diri dengan pertimbangan akhlak atau agama apapun karena dia benar-benar telah memisahkan  politik dari norma-norma akhlak[1]
Dan diantara kaidah-kaidah dan pondasi-pondasinya itu adalah:
·   Buruk sangka terhadap rakyat
·   Meninggalkan akhlak yang mulia dan etika yang lurus
·   Tidak peduli dengan sikap-sikap tercela, baik itu kezaliman atau persekongkolan busuk atau khianat atau penumpahan darah atau pencekikan kebebasan.
·   Bersikap munafik, karena sikap ini menjamin baginya keberlangsungan tetap dalam kekuasaan.
·   Melanggar janji dimana tidak layak bagi sang pemimpin untuk menjaga perjanjian bila berbenturan dengan sebagian kepentingannya.
·   Bersikap buruk
·   Bersikap pelit
·   Mengangkat tameng dari sejumlah orang yang menjaganya dari kemarahan rakyat dengan cara dia menyerahkan kepada mereka pelaksanaan kewajiban yang di benci dan tidak disukai rakyat, lalu bila ada kebaikan maka di alamatkan kepada mereka. Dan dia mesti membuat senang tameng ini dengan cara memberiakn kelonggaran kepada mereka dan mempermudah dihadapan mereka jalan-jalan kemewahan dan kekayaan. Dan tidak ada halangan saat ada bahaya dan kondisi mendesak dia memainkan para nan juru selamat bagi rakyatnya, dimana dia menggantikan tameng-tameng itu atau menghabiskan bila memang itu harus , maka itulah puncak kecerdasan.[2]
·   Dan diantara hal yang paling penting dari itu semuanya adalah tidak memperhatikan atau melihat kapada tujuan dan sarana, mulia atau tidak mulia, karena selagi si pemimpin yang akan melakukannya maka ia akan menjadi mulia, dan bagaimanapun puncak keburukannya maka tetap saja manusia akan menepukkan tangan baginya selagi si pemimpin yang melakukannya duduk bersila diatas tahtanya.
Dan setiap yang dipakai oleh si pemimpin berupa jalan-jalan untuk mencapai tujuannya maka ia adalah sah saja meskipun pada hakikat sebenarnya ia amat hina dan nista.
Dan ini yang biasa di ucapkan dengan ungkapan “Tujuan menghalalkan segala macam cara”
Macchiavelli telah binasa dan dia meninggalkan kitabnya ini yang berisi prinsip-prinsip yang buruk dan sarana-sarana yang menyimpang yang telanjang dari akhlak dan yang kosong dari dien, kemudian ia menjadi kiblat para panglima dan politikus yang menyimpang. Dan realita kita masa kini menjadi saksi terbesar atas hal itu, dan ini tidaklah aneh atas orang-orang yang tidak memiliki dan yang membatasi mereka dengan batasan-batasannya atau akhlak yang mengikat mereka dengan ikatan-ikatannya akan tetapi yang aneh lagi asing adalah bahwa Macchiavelli yang kafir itu menjadi panutan dan tauladan bagi banyak orang-orang yang menyandarkan diri mereka kepada Islam bahkan kepada dakwah dan jihad di jalannya, baik mereka itu sadar ataupun tidak.
Sekarang kita mendengar banyak manusia tidak merasa sungkan dari meniti jalan apa saja, walaupun itu adalah jalan orang-orang kafir yang Allah telah menghati-hatikan darinya dan memerintahkan kita untuk menjauhinya.
Dan mereka tidak segan-segan dari mengambil wasilah (cara) apa saja walaupun itu najis lagi bengkok dengan dalih maslahat, maslahat dakwah atau maslahat jama’ah atau maslahat agama… begitu mereka mengklaim...!!!
·         Bagi mereka tidaklah berbahaya bila mereka menjadi tentara atau aparat atau anshar (pembela) bagi thaghut yang padahal Allah sudah memerintahkan mereka untuk menjauhi bahkan untuk menjihadinya. Hal itu adalah boleh saja dengan klaim mereka untuk maslahat dakwah.
·         Dan tidak masalah bila mereka bersumpah untuk menghormati UUD dan undang-undang buatan, dan mereka rela untuk menjadi para pembuat hukum menurut rambu-rambu dan tuntunan UUD thaghut yang Allah telah perintahkan mereka untuk kafir terhadapnya dan berlepas diri darinya dan dari aparat pengusunya. Hal itu adalah boleh saja menurut mereka demi mashlahat dien ini ...!!!
·         Dan tidak masalah bagi mereka bila mereka menampakkan sikap tawally (loyalitas) kepada para thaghut dan mereka menampakkan kekafiran yang nyata. Hal itu adalah boleh saja bagi mereka sesuai istihsan mereka yang rusak, karena ia bagi mereka adalah termasuk maslahat mursalah ...!!!
·         Dan tidak bahaya bila mereka rela mengorbankan setiap urusan dari urusan-urusan agama mereka, dan mereka menjualnya dengan harga yang amat rendah, selagi mereka bisa menempelkan hai itu maslahat dakwah...!!!
Barangsiapa Allah inginkan kesesatanya, maka kamu tidak akan sekali-kali mampu menolaknya sesuatupun (yang datang) dari Allah.
Apakah mereka lebih mengetahui akan maslahat agama Allah daripada Allah…???
Demi Allah sungguh syaitan telah mempermainkan mereka sebagimana gadis cilik mempermainkan mainannya, dan mereka diseret oleh hawa nafsu sebagaimana anjing menyeret tuannya. Dan sesungguhnya iblis telah dapat memubuktikan kebenaran sangkaanya terhadap mereka, lalu mereka mengikutinya kecuali hamba-hamba Allah yang mukhlis.
Ini padahal mereka itu membaca ayat-ayat Allah di tengah malam dan penghujung-penghujung siang dan mereka mendengarkan firman-Nya ta’ala saat Dia berfirman:
 “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadmu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tidak mempunyai seorang penolong selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Hud: 112-113)
Dan firman-Nya ta’ala:
“Dan sesungguhnya Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengarkan ayat-ayat Allah di ingkari dan di perolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicara yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam.” (An Nisa: 140)
Allah Yang Maha Agung menginginkan bagi kita tauladan yang agung dan panutan yang mulia (Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya) atau yang di atas jalanya dari kalangan para nabi, para rasul, ash shiddiqien, ash shalihin dan syuhada:
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada ibrahim dan orang-orang yang bersama dia: ketika mereka berkata kapada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan mebencian buat mereka selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al Mumtahanah: 4)
Sedangkan orang-orang yang mengikuti syahwat dari kalangan yang menyimpang dari millah yang agung ini dan mereka malah mencari-cari tauladan yang rendah lagi hina, maka hawa nafsu mereka, istihsan mereka dan istishlah mereka mengatakan: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan bagimu pada Niccola dan orang-orang yang sejalan denga dalam ucapan mereka: Tujuan itu melegalkan segala macam cara…!!!” Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, ialah hati yang ada di dalam dada.
Inilah, dan ketahuilah bahwa banyak kata-kata yang digunakan dan dipakai dalil oleh banyak manusia pada hari ini seperti ra-yu, istihsan, istihlah, mashlahat mursalah, maslahah dakwahdan yang lainya, bila ia dalam suatu yang tidak ada nash didalamnya dari syar’i, maka maknanya dalam realita mereka adalah suatu hal yang maknanya berdekatan, dan acuanya semuanya adalah kepada hawa nafsu, sedangkan ia atas dasar ini adalah sebuah kesesatan banyak manusia.
Syaikhal Islam berkata saat membicarakan maslahat mursalah 11/324: “Maka cara ini di dalamnya terdapat perselisihan yang masy’hur. Para fuqaha menamakanya Al Mashalih Al Marsalah, dan diantara mereka ada yang menyebutnya ar ra-yu (pikiran), dan sebagian menamakannya istihsan dan dekat darinya selera kaum sufi, perasaan mereka dan ilham mereka. Maka sesungguhnya intinya adalah bahwa mereka dalam ucapan atau pengamalanya itu mendapatkan maslahat dalam hati dan agama mereka serta mereka merasakan manis buahnya.”
Sampai ucapan beliau: “Dan ini adalah pasal yang agung yang mesti diperhatikan, karena sesunggunnya dari arahnyalah terjadi dalam dien ini kerancauan yang besar, dan banyak dari para pemimpin, para ulama dan para ahli ibadah memandang mashlahat lalu mereka menggunakannya dengan berpihak di atas landasan ini, sedangkan bisa saja antara hal itu ada suatu yang dilarang dalam syari’at…” sampai akhir ucapan beliau dalam Al Fatwa dan akan datang mayoritas ucapan itu.
Dan oleh sebab itu maka kami memandang penting sekali kami menjelaskan dalam lembaran-lembaran ini: makna-makna kata-kata dan sebutan-sebutan yang dipermainkan oleh banyak Ruaibidlah di zaman kita ini di bawah sebutan istihsan atau mashlahat mursalah atau mashlahat dakwah dan sebutan lainya yang telah mereka hiasi berupa hawa nafsu dan pikiran-pikiran yang mereka jadikan sebagai pijakan untuk menentang wahyu dan menghancurkan dien ini serta merobohkan pilar-pilarnya, baik mereka itu sadar maupun tidak.













PERTAMA
 = ISTIHSAN =

Ia secara bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik. Adapun secara istilah: apabila disebutkan istihsan maka dimaksudkan dengannya tiga makna:
Pertama: Berpaling dengan hukum masalah dari masalah-masalah yang serupa dengannya karena dalil yang khusus kepada (hukum) yang sebaliknya dengan dalil yang muncul yang lebih kuat darinya.[3] Maka hal ini tidak dipermasalahkan walaupun dikritik dalam penyebutannya sebagai istihsan, tapi tidak ada permaslahan dalam hal istilah.
-          Dan para ulama Mazhab Ahmad membawa apa yang disederhanakan kapadanya berupa pendapat perihal istihsan terhadap makna ini[4]
-          Dan begitu juga apa yang disandarkan kepada Malik berupa pendapat perihal istihsan, maka sungguh Al Qurthubiy telah mengingkarinya, dan Asy Syaukaniy telah menukil dalam Irsyadul Fuhul hal 241 dari Al Bajiy: “bahwa istihsan yang dipegang oleh para pengikut Malik adalah pengamalan dalil yang paling kuat di antara dua dalil…” Dan berkata: “Dan inilah dalil, bila mereka menamakannya istihsan maka tidak ada masalah dengan penamaan” selesai.
Kedua: Digunakan tehadap apa yang dianggap baik oleh mujtahid dengan akalnya.
Ketiga: Dalil yang dianggap cacat dalam benak si Mujtahid yang mana dia tidak mampu untuk mengungkapkannya.
Dan kebatilan dua macam istihsan ini adalah sangat nampak, karena mujtahid tidak boleh bersandar kepada sekedar akalnya dalam penganggapan baik sesuatu, dan apa yang tidak bisa dia ungkapkan adalah tidak mungkin di hukumi dengan peneriman sampai dia menampkkan dan menyodorkannya kepada syari’at.
Sungguh jumhur ulama[5] telah mengingikari dua macam terakhir ustihsan ini dan menganggapnya bagian dari syahwat dan hawa nafsu, sampai-sampai Asy Syafi’i berkata: “barang siapa yang melakukan istihsan maka dia telah membuat syari’at (hukum)”
Asy Syaukaniy menukil dalam Irsyadul Fuhul halaman: 214 dari As Sam’aniy ucapannya: “Bila istihsan itu ada pernyataan berdasarkan apa yang di anggapnya baik dan yang dia inginkan tanpa landasan dalil maka ia adalah batil dan tidak seorangpun berpendapat dengannya “[6]
Kemudian Asy Syaukaniy berkata setelah menuturkan ucapan-ucapan ulama dalam hal ini; “…maka engkau mengetahui dengan seluruh apa yang telah kami utarakan bahwa bahwa penuturan istihsan dalam bahasan terdiri[7] adalah tidak ada faidah sama sekali di dalamnya, karena bila ia adalah kembali kepada dalil-dalil yang lalu maka dia adalah pengulangan, dan bila ia adalah di luar dalil maka ia sama sekali bukan termasuk syari’at, akan tetapi ia termasuk berdusta atas nama syari’at kadang dengan apa yang tidak ada di dalamnya dan kadang dengan apa yang menyebranginya”.
Namun demikian sungguh orang-orang yang memakai istihsan aqliy (anggapan dia menurut akal) dan syahwaniy (anggapan baik sesuai selara) telah berhujjah dengan nash-nash yang dengannya mereka melagalkan istihsan-istihsan mereka itu, akan tetapi semua nash itu saat di teliti adalah tidak membantu mereka terhadap hal itu dan tidak melegalkan bagi mereka apa yang mereka inginkan.
Diantara firman Allah ta’ala: “yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.” (Az Zumar: 18)
Padahal ini sebenarnya hujjah terhadap mereka bukan bagi mereka karena perkataan dan ucapan yang paling baik adalah apa yang ada dalam Kitabullah atau sunnah Rosul-Nya sebagaimana firman–Nya ta’ala:

 “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menjuluki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak seorangpun pemberi petunjuk baginya.” (Az Zumar: 23)
Abu Muhammad Ali Ibnu Hazim berkata dalam kitabnya Al Ahkam 2/196: “Dan hujjah ini adalah terhadap mereka bukan bagi mereka, karena Allah ta’ala tidak mengatakan “lalu mereka mengikut apa yang mereka anggap baik” akan tetapi Dia ‘azza wa jalla berfirman “lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya” sedangkan perkataan yang paling baik adalah yang sejalan  dengan Al Quran dan sabda Rosul saw, inilah ijma yang di yakini oleh setiap muslim. Dan inilah yang telah Allah ‘azza wa jalla jelaskan saat Dia berfirman:
“Kemudian bila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An Nisa: 59)
Dan Dia ta’ala tidak mengatakan “maka kembalikanlah ia apa yang kamu anggap baik” dan termasuk mustahil bila kebenaran itu berada pada apa yang kita anggap baik tanpa dalil, karena seandainya seperti itu, tentulah Allah ta’ala telah mentaklif kita dengan apa yang kita tidak mampu, dan tentu gugurlah banyak kebenaran, dan tentu bertentanganlah berbagai dalil, dan tentu berbenturanlah berbagai bukti , serta tentulah Allah ta’ala memerintahkan kita untuk perselisihan yang padahal bila telah melarang kita darinya, sedangkan ini adalah mustahil karena pada dasarnya tidak boleh sepakat istihsan ulama seluruhnya terdapat satu pendapat padahal semangat,tabiat dan tujuan mereka itu beranekaragamm, di mana sekelompok tabi’at mereka adalah keras, kelompok lain tabiat mereka lunak, satu kelompok tabiatnya  cepat tanggap dan kelompok lain tabiatnya hati-hati. Dan tidak ada jalan untuk bersepakat terhadap istihsan dalam satu hal dengan keberdaan berbagai faktor dan perasaan yang memompa semangat dan perbedaan serta perbedaan dari hasil pendoronganya. Dan kita bisa mendapatkan ulama Madzhab Malikiy, dan kita juga mendapat ulama Madzab Maliki telah menganggap baik apa yang telah di anggap jelek oleh ulama Madzab Hanafiy, maka gugurlah keberadaan Al Haq dalam Dienullah ‘azza wa jalla ini di kembalikan kepada istihsan sebagai manusia. Dan ini hanya bisa terjadi –dan daya berlindung kepada Allah– seandainya agama ini kurang. Dan adapun ia itu memang sudah sempurna lagi tidak ada tambahan didalamnya dijelaskan semua lagi ditegaskan terhadapnya atau diijmakan terhadapnya, maka tidak ada makna bagi orang yang menganggap baik sesuatu darinya atau dari yang lainya . dan tidak pula bagi orang yang menganggap jelek juga sesuatu darinya atau dari yang lainya.
Dan kebenaran itu adalah kebenaran meskipun dianggap buruk oleh manusia , dan kebatilan itu adalah kebatilan meskipun dianggap baik oleh menusia, maka sahlah bahwa istihsan itu adalah syahwat, pengikutan terhadap hawa nafsu dan kesesatan, dan kepada Allah ta’ala kami berlindung dari kehinan”
Dan mereka berhujjah dengan hadist: “Apa yang dipandang laum muslimin baik maka ia adalah disisi baik.:”
Maka dikatakan kepada mereka : ini bukan marfu’ akan tetapi mauquf terhadap Ibnu Mas’ud ra[8], sedangkan pada ucapan seorang setelah Rosulullah saw dalam agama kita tidak ada hujjah, dan seandainya ada hujjah dalam hal itu tentulah dalam dalil ini secara khusus tidak ada hujjah atau sisi bagi dilalah (indikasi/penunjukan) terhadap apa yang mereka tipukan, karena ia adalah iayarat kepada kesepakatan kaum muslimin sedangkan ijma (kesepakatan) itu tidak terjadi kecuali berdasarkan dalil[9],dan  di dalamnya tidak ada dilalah yang menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh individu-individu kaum muslimin atau sebagaian jama’ah dan kelompok mereka bahwa ia baik juga di sisi Allah[10]


Ucapan Para Ulama Yang Bersinar
Tentang Istihsan

·         Al Imam Muhammad Ibnu Idris Asy Syafi’iy (150-204 H)
Beliau rh berkata: “istihsan itu hanyalah mengumbar selera...” (halaman 507 Ar Risalah point 1464)[11]
“Selain Rasulallah saw tidak boleh berbicara kecuali dengan cara berdalil, dan dia tidak boleh berkata dengan apa yang dia anggap baik, karena berbicara dengan apa yang dianggap baik adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya” (halaman: 25 Ar Risalah point 70).
Dan berkata: “Dan ini menjelaskan bahwa haram atas siapa saja berbicara dengan istihsan, bila istihsan itu menyelisihi khabar sedangkan kahbar itu adalah dari Al Kitab dan As Sunnah. Dimana Mujtahid dalam hukumnya berupa mencari dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunnah supaya dia mengikutinya, sebagaimana orang yang shalat yang tidak melihat ka’bah berupaya mecari tahu kiblat terus ia shalat mengarah kepadanya” (halaman 540 Ar Risalah point 1456)
Dan dalam suatu riwayat darinya bahwa beliau berkata: “mengutarakan pendapat dengan istihsan adalah batil”
“Dan andai kata boleh bagi seorang untuk istihsan dalan dien ini tentu bolehlah hal itu bagi orang-orang yang berakal dari selain ahli ilmu dan tentu bolehlah dia mensyari’atkan dalam dien ini dalam setiap masalah dan mengeluarkan setiap orang bagi dirinya sesuatu syari’at (aturan)[12]
Dan berkata: “Andaikata boleh bagi setiap mufti atau hakim atau mujtahid melakukan istihsan dalam suatu yang tidak ada nash di dalamnya, tentu keadaannya melewati batas dan tentu hukum-hukum berbeda-beda dalam satu kejadian sesuai istihsan setiap mufti, sehingga dikatakan dalam hal tersebut: berbagai macam fatwa dan hukum yang tidak ada batasnya dan tolak ukur yang menjelaskan al haq di dalamnya serta tidak bisa mengetahui sisi kebenaran darinya. Dan tidak seperti ini ajaran ini di pahami dan hukum –hukum agama ditafsirkan”
·         Abu Muhammad Ali Ibnu Ahmad Ibnu Sa’id Ibnu Hazim Adh Dhahiriy (384-456H)
Beliau rh berkata: “Dan kebenaran itu adalah kebenaran meskipun dianggap buruk oleh menusia, dan kebatilan itu adalah kebatilan meskipun dianggap baik oleh para manusia, maka sahlah bahwa istihsan adalah syahwat, pengikut terhadap hawa nafsu kesesatan, Dan kepada Allah ta’ala kami berlindung dari kehinaan” (2/196 dari Al Ihkam Fi Ushulul Ahkam)
Dan setelah beliau menuturkan firman Allah ta’ala, “..karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,” (Yusuf: 53)
Dan firman-Nya ta’ala. “Tetapi orang-orang yang zalim mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan.” (Ar Rum: 29)
Dan firman-Nya ta’ala. ”Dan siapa yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah.” (Al Qashash: 50)
Beliau rh berkata: “Dan dalam ayat-ayat ini terdapat pengguguran sikap seorang mengikuti apa yang dianggap baik tanpa ada bukti dari nash atau ijma. Dan tidak satupun yang lebih hati-hati terhadap hamba-hamba yang mu’min daripada Allah yang menciptakan mereka yang memberikan mereka rizki lagi yang mengutus para rosul kepada mereka, sedangkan kehati-hatian semuanya adalah (dalam) mengikuti apa yang diperintahkan Allah ta’ala, dan kekejian semuanya adalah (dalam) menyelisihnya” (2/198 Al Ihkam Fi Ushulul Ahkam)
Dan berkata: “Dan kami katakan kepada yang menganut istihsan: apa perbedaan antara apa yang kamu anggap baik dan dianggap buruk selain kamu, dengan apa yang dianggap baik oleh selain kamu dianggap buruk oleh kamu? Dan apa yang menjadikan salah satu jalan dari dua jalan itu lebih benar daripada yang lainnya? Dan inilah apa yang tidak bisa dihindari darinya. Wa billahi ta’ala at taufiq” (2/200 Al Ihkam Fi Ushulul Ahkam)
Dan berkata dalam sumber yang sama 1/45: “Istihsan adalah apa yang disukai hawa nafsu dan yang sejalan dengannya, baik itu keliru ataupun benar”
Dan berkata juga 1/97 pada firman-Nya ta’ala “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya,” (An Nisa:65): “Ini adalah cukup bagi orang yang mengerti ,berhati-hati, beriman kepada Allah dan hari akhir serta meyakini benar bahwa amanah ini adalah amanah dari Tuhannya ta’ala kepadanya dan wasiat-Nya ‘azza wa jalla yang datang kepadanya, maka hendaklah semua insan memeriksa dirinya, bila dia mendapatkan jiwanya tidak menerima penuh apa yang datang kepadanya dari Rosulullah saw, dan dia mendapatkan jiwa cenderung kepada ucapan si fulan dan si fulan atau qiyas dan istihsannya, dan dia mendapatkan jiwanya menjadikan seorang selain rosulullah saw baik itu sahabat ataupun yang lainnya sebagai hukum dalam perselisihannya, maka hendaklah dia mengetahui bahwa Allah ta’ala telah bersumpah sedangkan ucapan-Nya adalah al haq bahwa dia itu bukan orang yang beriman, dan maha benar Allah, dan bila bukan orang mu’min maka dia itu orang kafir , serta tidak ada jalan untuk bagian yang ketiga”
·         Al Imam Mawaffaquddien Abdulah Ibnu Ahmad Ibnu Qudamah Al Maqdisiy (540-620H)
Berkata dalam Raudlatun Nadhir Wa Junnatul Munadhir 147-148: “Sesungguhnya kami benar-benar mengetahui dengan ijma umat sebelum kita bahwa orang alim tidak berhak memutuskan hukum dengan sekedar nafsunya dan syahwatnya tanpa mengkaji pada dalil-dalil.[13] Dan istihsan tanpa pengkajian (dalil) adalah putusan berdasarkan hawa nafsu semata. Maka ia itu seperti istihsan orang awam, sedang perbedaan apa antara orang awam dengan orang alim selain pengetahuan akan dalil-dalil syar’iy serta pemisahan yang sahih di antaranya dari yang rusak. Dan bisa jadi sandaran istihsannya adalah praduga dan khayalan yang bila ia disodorkan kepada dalil, tentu tidak muncul darinya satu faidah pun…”
Dan berkata: “Mereka mesti menerima istihsan orang-orang awam dan anak kecil, dan bila mereka membedakan bahwa mereka (orang-orang awam dan anak-anak) itu bukan ahlinya untuk mengkaji, maka kami katakan: Bila tidak melihat pada dalil, maka apa faidahnya pada ahli pengkajian...???”






KEDUA
ISTISLAH  (MASHLAHAH MURSALAH)

Ketahuilah bahwa hal yang mendasar adalah bahwa Allah ta’ala telah menyempurnakan bagi kita dien ini, dimana Dia ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu ,dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku.” (Al Maidah: 3). Dan sengan sebab itu Dia tidak membiarkan kita begitu saja melakukan istishlah atau istihsan atau memilih apa yang diinginkan jiwa kita dari ajaran dan dein ini. Dia ta’ala berfirman: “Apakah menusia mengira, bahwa ia akan di biarkan begitu saja” (Al Qiyamah: 36)
Dan oleh sebab itu maka setiap apa yang tidak di bimbingkan Allah ta’ala kepadanya berupa maslahat-maslahat yang di aku-akui maka ia adalah batil meskipun dianggap maslahat dan dianggap baik oleh akal banyak manusia. Dan setiap apa yang di tegaskan dalil bahwa itu maslahat bagi mereka maka ia adalah kebenaran murni walaupun dianggap buruk oleh akal mereka.
Oleh sebab itu maka sesungguhnya intisari ucapan ulama dalam bab ini adalah mereka membagi maslahat menjadi tiga macam:
Pertama   :           Syari’at bersaksi akan penganggapan mashlahat itu, maka kita mengatakan kami mendengar dan kami ta’at.
Kedua   :  Syari’at menggugurkan mashlahat itu dan tidak menghiraukannya (maka ini tidak ada perselisihan dalam kebatilannya karena ia menyelisihi nash. Dan pembukaan hal ini menghantarkan kepada perubahan batasan-batasan syari’at)[14]
Ketiga   :  Syari’at tidak menggugurkan mashlahat itu dan tidak pula menganggapnya. Dan inilah yang diisyaratkan oleh mayoritas manusia saat mereka menyebutkan Mashlahat Mursalah, dan mereka namakan seperti itu karena ia meliputi berdasarkan klaim mereka atas mashlahat muthlaqah mursalah, yang tidak di putuskan dalam syari’at ini atas penganggapnya dan pengangguranya.
Dan kebenaran yang kami yakini dan dengannya kami bersaksi di hadapan Allah ta’ala bahwa mashlahat macam terakhir ini tidak ada, dan barang siapa mengklaim keberadaannya maka dia telah menuduh syari’at ini kurang dan menuduh kitab ini alpa berarti dengan itu dia telah menyelisihi nash firman Allah yang muhkam (jelas): ”Tidaklah kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab.” (Al An’am: 38) dan firman-Nya, ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat Ku…” (Al Maidah: 3). Maka Allah ta’ala tidak mengalpakan dalam Al Kitab dan tidak mengurangi dalam penuturan mashlahat, akan tetapi setiap mashlahat sungguh Al kitab telah bersaksi akan penggugurannya ataupun penganggapannya baik itu dengan nash (penegasan langsung yang jelas) ataupun dengan dhahirnya ataupun dengan isyarat dan ima (persyaratan) atau dilalah lainya. Dan barang siapa mengklaim selain hal itu maka dia telah mengklaim bahwa Allah telah membiarkan kita begitu saja sehingga sebagian kita menganggap mashlahat apa yang dianggap buruk oleh yang lain tanpa patokan atau batasan dan syari’at. Allah ta’ala berfirman seraya mengingkari dengan semacam ini “Apakah mereka mengira, bahwa ia akan di biarkan begitu saja.” (Al Qiyamah: 36)
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya Asy Sharimul Mashlul: “Tidak boleh menetapkan hukum dengan sekedar istihsan dan istishlah, karena sesungguhnya itu adalah pensyari’atan bagi dien ini dengan ra-yu (pikiran), sedangkan itu adalah haram bedasarkan firman-Nya ta’ala dalam surat Asy Syura 21, ”Apakah mereka memiliki semboyan-semboyan yang mensyari’atkan bagi mereka dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan.”
Dan beliau berkata dalam Al Fatawa 11/344: “Berpendapat dengan mashalahah mursalah (biasa) mensyari’atkan dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan, dan ia itu dari beberapa sisi menyerupai masalah istihsan tahsin ‘aqly (penganggapan baik berdasarkan akal), ra-yu dan yang serupa dengan itu” sampai beliau berkata: “...dan ucapan yang mencakup adalah bahwa syari’at ini tidak menelantarkan satu mashlahatpun, akan tetapi: Allah ta’ala telah menyempurnakan dien ini bagi kita dan telah mencukupkan nikmat-Nya kepada kita , dimana tidak ada suatupun yang mendekatkan ke surga melainkan Nabi saw telah memberi kabar kita tentangnya”.
Beliau telah meninggalkan kita di atas jalan yang terang , malamnya seperti siangnya, tidak menyimpang darinya setelah beliau kecuali orang yang binasa, akan tetapi apa yang diyakini sebagai mashalahat oleh akal meskipun syari’at tidak datang denganya maka mestilah salah satu dari dua hal, bisa jadi syari’at telah menunjukan kepadanya namun si pengamat ini tidak mengetahuinya atau sesungguhnya ia bukan mashlahat walaupun dia meyakininya mashlahat, karena mashlahat adalah manfaat yang terbukti atau mendominasi, dan sering sekali manusia mengira bahwa sesuatu itu memanfaat dalam dien dan dunia dan di dalamnya ada manfaat yang kalah oleh mashlahat, sebagai firman Allah ta’ala prihal khamr dan judi, “Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (Al Baqarah: 219)
Dan banyak dari apa yang diada-adakan manusia berupa keyakinan-keyakinan dan amalan dari bid’ah-bid’ah ahli kalam, ahli tashawwuf, ahli ra-yu dan para penguasa, mereka mengiranya manfaat atau mashlahat yang benar-benar manfaat, tepat dan benar sedangkan ia itu tidak seperti itu, bahkan banyak dari orang-orang yang diluar Islam dari kalangan yahudi , nasrani, para pelaku syirik, shabi-in dan majusi mengira bahwa apa yang mereka anut berupa keyakinan-keyakinan mu’amalat dan ibadah adalah mashlahat bagi mereka dalam dien dan dunia serta manfaat bagi mereka, maka sungguh [telah sia-sia amalan mereka dalam kehidupan dunia ini sedang mereka mengira bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya] (Al Kahfi: 104) dan sungguh mereka telah dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaan mereka yang buruk lalu mereka meyakini pekerjaan mereka yang buruk lalu mereka meyakini pekerjaan itu baik.
Bila menusia memandang baik sesuatu yang buruk, maka istihsan dan istishlahnya itu bisa jadi termasuk bab ini (11/345)
Saya berkata: [oleh sebab itu ulama berbagai madzhab menetapkan bahwa mashlahat mursalah itu bukan hujjah dalam agama Allah sebagaimana yang telah dijelaskan Al Qarafi dalam Tanqih][15] dan mereka mengamalkan mashlahat hanya saat adanya bukti akan penganggapannya dari syari’at.
Asy Syaukaniy menuturkan bahwa jumhur melarang dari berpegang terhadapnya secara muthlaq.[16]
Dan perlu diketahui bahwa para ulama membagi mashlahat itu secara umum kepada tiga macam: dlaluriyah (kemestian), hujuuyyah (kebutuhan) dan tahsiniyyah (kelengkapan penghiyas)
·   Adapun hujuyyah dan tahsiniyyah maka ia adalah pintu yang lebar  bagi ulama , dan oleh sebab itu Ibnu Qudamah Al Maqdisiy: [kami tidak mengetahui penyelisihan bahwa tidak boleh berpegang pada keduanya tanpa landasan (dalil), karena seandainya hal itu boelh tentulah ia pencapan bagi syari’at ini denan ra-yu , dan tentu kita tidak membutuhkan pengutusan para rosul dan tentulah orang awam sama dengan ulama dalam hal itu, karena setiap orang mengetahui mashlahat dirinya sendiri][17]
·   Dan adapun dlaruriyyat maka ia adalah yang dinamakan oleh para ulama sebagai mashlahat penolakan mafsadah dirinya,dan ia ad enam: agama, jiwa, nasab (keturunan), kehormatan,[18]akal, dan harta.
Syari’at tidak membiarkan wasilah penjagaan dlaruriyyat ini mengikuti apa yang diinginkan makhluk dan apa yang mereka senangi, akan tetapi ia telah meletakkan batasan-batasan syari’at memvonis hukum mati orang murtad demi menjaga agama, dengan memvonis dengan qishash demi menjaga jiwa, dan dengan had zina dan iddah atas wanita yang di tinggal wafat suaminya dan yang di ceraikan serta yang serupa itu demi menjaga keturunan dan nisab, sebagaimana ia mensyari’atkan had qadzaf demi menjaga kehormatan, dan had khamr demi menjaga akal, dan ia mengharamkan riba dan sebagian macam jual beli dan mensyari’atkan had pencurian demi menjaga harta. Oleh sebab itu dalil-dalil syar’iy adalah sangat banyak terhadap penganggapan maslahat-maslahat ini serta penjagaannya.
Dikarenakan syari’at telah menentukan sarana-sarana tentu untuk menjaga mashlahat-mashlahat ini, maka tidak halal mengada-ada sarana-sarana yang tidak sitegaskan terhadapnya oleh syari’at atau yang tidak memiliki dasar di dalamnya, sedangkan tasyri (penetapan hukum) dengan berlandasan hawa nafsu semata dengan dalih menjaga mashlahat-mashlahat ini adalah batil dan bukan hujjah [karena sesungguhnya tidak dikenal  dari syari’at ini penjagaan terhadap darah –umpamanya- dengan segala cara oleh sebab itu tidak disyari’atkan mutslah (mutilasi) meskipun ia lebih mengena dalam hal membuat jera dan kapok, dan hukum bunuh tidak disyari’atkan dalam pencurian dan minum khamr. Barang siapa menetapkan suatu hukum untuk suatu mashlahat dari mashlahat-mashlahat ini dan dia tidak mengetahui bahwa syari’at menjaga mashlahat-mashlahat itu dengan menetapkan hukum yang diada-adakannya itu, maka itu adalah pencapan bagi syari’at dengan ra-yu dan pemutusan dengan akal belaka][19]
Dan begitulah, maka kesimpulan bab ini adalah bahwa Allah ta’ala tidak mmbiarkan kita begitu saja dan dia tidak meninggalkan kita sia-sia, akan tetapi Dia telah menetapkan bagi kita mashlahat-mashlahat dan maqashid syari’iyyah (tujuan syari’at), dan bukan hal ini saja, akan tetapi Dia swt telah menetapkan jalan-jalan dan sarana-sarana yang sah yang bisa menghantarkan kapadanya, sehingga Dia telah menutup dan menggugurkan setiap sarana dan cara yang kadang di kira oleh orang bisa menyampikan  kepada mashlahat atau tujuan, serta jalan yaitu jalan penutup para Nabi. Kemudian sarana itu milik status hukum tujuan dari sisi bahwa ia itu keberadaannya wajib disyari’atkan, bersih , dan suci seperti tujuannya.
Oleh sebab itu para Fuqaha berkata [Sarana itu diberi status hukum dan tujuan]
Dan mereka mengatakan dalam syair:
Segala sarana urusan adalah seperti tujuan
Dan peutuskan dengan hukum ini untuk hal-hal tambahan[20]
Sayakhul Islam Ibnu Taimmiyah berkata dalam Al Mashalih Al Mursalah11/343: [Dan ini adalah pasal yang agung yang layak untuk diperhatikan karena dari arahya terjadi dalam dien ini kerancauan yang besar. Dan banyak dari para umara ualma dan ahli ibadah memandang mashlahat terus mereka menggunakannya berdasarkan atas landasan ini, dan bisa jadi diantaranya ada hal yang dilarang dalam sayari’at ini dan mereka tidak mengetahuinya, dan bisa jadi mendahulukan atas[21]mashalih mursalah ucapan yang menyelisihi nash, dan banyak dari mereka orang yang menelantarkan mashlahat-mashlahat yang wajib dipertimbangkan secara syari’at berlandaskan atas dasar bahwa syari’at tidak datang dengannya, sehingga dia meluputkan banyak hal yang wajib dan mustahab…]
Dan dari yang lalu maka nampak jelaslah dihadapanmu kebatilan kaidah yang ditetapkan Syaikh Abdurrahman Ibnu Abdil Khaliq dalam  kitabnya (Al Muslimin Wal ‘Amal As Siyasiy[22]) saat dia berkata halalaman 39 : [Ketiga: mashalih dan mafasid adalah landasan dan jalan untuk memberi kan hukum terhadap wasaail (sarana/cara): Tidak ada keraguan bahwa cara untuk menghukumi terhadap wasilah tentu bahwaia layak atau tidak adalah dengan ukuran apa yang ia capai berupa maslahih syar’iyyah (mashlahat-mashlahat yang syar’i) atau apa yang ia timbulkan berupa adlrar (bahaya-bahaya) dan mafasid (kerusakan-kerusakan). Maninjau pada akibat, mentadabburi urusan serta memperhitungkan untung rugi yang bersifat agama adalah suatu yang wajib diperhitungkan dan dijadikan acuan…]
Dan dia kuatkan hal itu halaman: 40, berkata: [Dan begitulah pandangan yang wajib dalam langkah dari langkah, langkah dakwah, dalam setiap wasilah dari wasilah. Wasilahnya dan dalam setiap metode dari metode-metodenya… seberapa besar manfaat yang ia capai bagi umat, dien dan Islam, dan seberapa besar mafsadah syariiyah yang ia datangkan. Kemudian bila manfaatnya adalah lebih besar serta pengorbanan dan kerusakannya adalah lebih sedikit , maka amalan itu adalah disyari’atkan bahkan kadang wajib, dan adapun bila mafsadahnya lebih besar dan bahayanya lebih banyak dari manfaatnya, maka sesungguhnya hal yang wajib adalah menahan diri…]
Maka kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya bahwa landasan dan jalan yang pertama - dan kami tidak mengatakan satu-satunya- akan tetapi yang pertama dan yang paling penting dalam memberikan hukum terhadap wasaail apa ia sah atau tidak, dan dianggap atau tidak dianggap, adalah syari’at, bahwa burhan (bukti nash) dan dalil sebagaimana yang telah engkau ketahui sebelumnya.
Kemudian datang setelah itu tumbangan mashalih dan mufasid sesuai mengikuti dalil bukan pemutus dan pengaji atas dalil, sebagaimana ia realita banyak para da’at masa kini, dan oleh sebab itu mereka telah memasukkan terhadap pemeluk islam keburukan yang besar dan kebatilan yang nyata: karena timbangan maslahat dan mafsadah bila tidak dikehendaki dan dikontrol dengan firman Allah dan sabda Rosul-Nya saw maka tanpa keraguan atau kebimbangan ia akan dikendalikan dengan hawa nafsu, istihsan-istihsan dan akal-akal yang terbatas lagi beragam corak, dan oleh sebab itu akan terjadi kontradiksi perselisihan dan serabutan dalam dienullah ini.
Dan oleh karena itu, maka syaikh tadi- semoga Allah memberinya hidayah dan banyak orang yang sejalan dengannya telah membolehkannya dengan dalil mashlahat dakwah ikut serta dalam banyaknya kebatilan yang besar dan kejahatan yang nyata seperti (ikut serta dalam) parlemen-parlemen legislatif dan lembaga-lembaga kafir milik thagut lainnya.
Sampai-sampai dia memberikan contoh atas hal itu dengan Al Jazair saat panjajah prancis keluar darinya, di mana dia mengaklaim bahwa mayoritas ekonominya saat itu dibangun di atas industri khamr, terus dia menganggap bodoh akal orang-orang yang menuntut penutupan pabrik-pabrik khamr itu secara langsung, dan dia mencap mereka kaku terhadap nash dan membiarkan pabrik-pabrik itu dan bertahap sementara semantara waktu dalam menutupnya, karena khawatir dari mafsadah jatuhnya perekonomian dan terganggunya masyarakat[23], padahal  sesungguhnya Allah ta’ala telah menggugurkan  anggapan mashlahat semacam ini dan Dia menjelaskan di hari Dia menetapkan hukum pelarangan kaum musyrikin dari masuk Al Harm, dan Dia swt lemahnya telah menggetahui akan kekhawatiran sebagian kaum mu’min dari mafsadah lemahnya ekonomi dan tidak lakunya perniagaan yang bisa saja terjadi akibat larangan mendadak itu maka Dia swt berfirman:” Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka nanti Allah akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya jika Dia menhendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At Taubah: 28)
Begitulah sampai masalahnya menghantarkan para penganut dalih mashlahat ini kepada sikap mereka menamakan sikap berdiri bersama dalil syar’iy dan tidak melampaui batasan-batasan Allah sebagai jumud(kekakuan) bersama nash-nash. Maka kami katakan kepada mereka: bila ini menurut kalian adalah jumud maka kami mengumumkannya bahwa kami merasa bangga dengan jamud ini lagi merasa senang dengannya, dan kami memohon kepada Allah ta’ala untuk menghidupkan dan mematikan kami diatasnya. Dan selamat kalian bersenang-senang dengan keterlepasan dari nash-nash dan pembebasan diri dari dalil-dalil serta pelanggaran batasan-batasan Allah di bawah payung istislah dan istihsan kalian yang sangat batil
Mashalih Mursalah Dan Contoh Masalah  Turs (Tameng)
Dan untuk menyempurnakan pembicaraan dalam materi ini dan agar kami tidak menyisakan celah dalam dienullah bagi orang-orang yang mempermainkan. Ketahuilah bahwa  sebagai ulama telah berbicara perihal penerimaan mashlahat  bila memenuhi tiga syarat.
Pertama: Ia adalah mashlahat haqiqiyyah (sebenarnya) dan bukan wahmiyyah (praduga).
Kedua: ia adalah mashlahat ‘domah (umum) bukan pribadi
Ketiga: mashlahat ini tidak menentang hukum atau dalil syar’iy.
Ada dalam Irsyadul Fuhul halaman: 242: [Bila mashlahat itu dlaruriyyah qath’iyyah lagi kuliyyah maka ia dianggap , dan bila salah satu dari yang tiga ini tidak maka ia tidak dianggap. Dan yang dimaksud dengan dlaruriyyah adalah bahwa ia trmask hal-hal dlaluriy yang lima dan yang dimaksud dengan kulliyyah adalah bahwa ia mencakup seluruh kaum muslim bukan seandainya ia buat sebagian manusia tanpa sebagian yang lainnya atau dalam keadaan tertentu tanpa yang lainya. Dan hal ini dipilih olah Al Ghazaliy dan Al Baidlawiy, dan Al Ghazaliy memberikan contoh untuk mashlahat yang memenuhi syarat-syarat-syarat ini dengan masalah Turs].
Abul Hasan  Al Amidiy berkata dalam Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam (4/12)  dan itu setelah beliau menuturkan pembagian mashlahat kepada mashlahat  yang dianggap (ma’tabar) dan yang mulgha (digugurkan) serta yang tidak di anggap dan tidak digugurkan oleh syari’at, dan ia dikenal dengan sebutan mashlahat marsalah.
Beliau berkata: [Para Fuqaha sari kalangan syafi’iyyah, Hanafiyah dan yang lainya telah sepakat untuk menolak berpegang dengannya, dan inilah kebenaran, kecuali apa yang dinukilkan dari Malik bahwa dia memegangnya bersama pengingkaran ulama madzhahnya terhadap hal itu darinya, dan mungkin penukilan itu andaikata benar darinya maka yang lebih serupa (dengan madzhabnya) bahwa beliau tidak mengatakan hal itu dalam setiap mashlahat, namun dalam suatu yang tergolong mashlahat yang tidak dlariuriy, tidak kulliy dan tidak qath’iy keterjadiannya. Dan itu contohnya seandalnya kaum kafir manjadikan sejumlah kaum muslimin sebagai persai, dimanaa seandainya kita menahan diri dari (menyerang) mereka, maka tentulah orang-orang kafir itu menguasai darul Islam dan membantai habis kaum muslimin, dan seandainya kita menembak prisai itu dan membunuh mereka maka mifsadah (kerusakan) menjadi terhindar dari seluruh kaum muslimin secara pasti, akan tetapi mesti darinya membunuh muslim yang tidak berdosa, maka pembunuhan ini walaupun sejalan dalam gambaran ini dan mashlahatnya pun dilarariyyah kulliyyah lagi goth’iyyah, hanya saja tidak nampak dari syariat ini penganggapannya dan tidak pula pengguguannya dalam bentuk-bentuknya.
Dan bila hal itu diketahui, maka mashalih itu sesuai apa yang telah kami jelaskan terbagi menjadi mashlahat yang ada penganggapannya dari syariat dan mushlahat yang ada penggugarannya darinya.
Sedangkan bagian ini adalah terkatung-katung diantara dua bagian ini, dan penyertaanya  dengan salah satu dari keduannya tidaklah lebih utama dari yang lainnya, sehingga tidak boleh berhujjah dengannya tanpa bukti (dalil) yang menganggap yang memperkenalkan bahwa ia tergolong (mashliahat) yang dianggap bukan yang digugurkan.
Saya berkata : dan perhatikan ucapan yang akhir ini supaya engkau mengetahui bahwa termasuk (masalah turs) ini yang padahal ia sangat berbahaya dan dieratkan, didalamnya ada perselisihan dan ia bukan tempat ijma sebagaimana yang diklaim oleh banyak kalangan yang merasa pintar dizaman ini.
Disamping ini juga bahwa ulama yang membolehkan telah menetapkan syarat-syarat yang berat didalamnya karena ia mengandung penghalalan yang haram.
Dan diantara syarat-syarat itu :
·   Tidak di dapatkan jalan lain untuk membunuh dan menghadang orang-orang kafir itu kecuali dengan membunuh si tameng tersebut, dan bila di dapatkan selain jalan ini, maka tidak halal sama sekali membunuh tameng itu.
·   Merasa yakin bahwa membiarkan orang-orang kafir dan tidak membunuh mereka karena sebab tameng itu adalah di dalamnya kebinasaan yang nyata bagi kaum muslim dan tameng juga
·   Kaum muslim bertaqwa kepada Allah dalam qital mereka ini semaksimal mungkin, dimana mereka tidak membunuh dari tameng itu kecuali memang mereka dlarurat secara sebenarnya untuk membunuhnya. Namun demikian sesungguhnya banyak dari kalangan yang sesat di zaman ini berdalil dengan masalah Turs ini dan mereka menempatkannya dengan tanpa peduli dan dengan mudahnya pada pintu-pintu yang berbahaya yang mengeluarkan dari lingkaran islam dan menghantarkan kepada keberlepasan dari  millah tahid, seperti masuk dalam banyak amalan dan tugas-tugas kekafiran, dan ambil sekedar untuk contoh: permasalahan keikutsertaan dalam pemerintahan dan parlemen-parlemen legislatif. Dimana banyak dari kalangan ansharnya berdalil dengan masalah Turs ini dan mereka berlaku sangat ngawur di dalam hal itu tanpa menghiraukan syarat-syarat yang berat yang mana ulama yang membolehkan membunuh Turs telah menentukan syarat-syarat buat pendapat mereka itu[24] seolah agama Allah ta’ala ini tidak bisa di tegakkan kecuali dengan ikut serta dalam sistem kafir atau Parlemen Legislatif yang syirik itu.!! Atau bahwa dalam meninggalkan keikutsertaan di dalamnya ada kebinasaan seluruh kaum muslimin atau hal lainnya yang mesti di pegang oleh orang yang berhujjah untuk itu dengan ucapan-ucapan ulama dalam masalah itu…!
Tidak sama sekali, akan tetapi ia adalah hawa nafsu dan mempermainkan agama Allah serta pembuatan hukum dengan murni berdasarkan istihsan dan istishlah aqliy. Dan seandainya penuntun mereka itu adalah bukti (nash) dan dalil seraya mereka tidak berpaling darinya dan tidak merujuk kepada selainnya, tentulah mereka mendapat petunjuk, akan tetapi ia adalah buah keberpalingan dari dalil dan bukti (nash) kepada hawa nafsu yang menyesatkan dan pendapat-pendapat yang rusak, maka hendaklah takut setiap orang yang meniti jalan-jalan ini dari siksaan orang-orang yang berpaling yang Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya, “ Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah di perintahkan dengan ayat-ayat dari Tuhannya lalu dia bepaling daripadanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya kami telah meletkkan tutupan di atas hati mereka ( sehingga mereka tidak ) memahaminya, dan kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka: dan kendatipun, kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (Al Khafi: 57)
Dan firaman-Nya swt: “Mereka jika melihat tiap-tiap ayat (ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa yang  membawa petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mareka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena merka mendustakan ayat-ayat kami dan mereka selalu lalai daripadanya,” (Al A’raf: 146)

Perhatian: Kepada Inti Yang Agung Dna Kaidah Yang Penting Yang Tidak Diindahkan Oleh Mayoritas Manusia: Mashlahat Terbesar Dalam Keindahan Ini Yang Tidak Boleh Digugurkan Dan Dan Dihantarkan Dengan Mashlahat Apa Saja Yang Di Bawahnya

Engkau telah mengetahui bahwa mashalih dlaruriyyah yang dianggap oleh syari’at adalah enam: Dien-Jiwa-Nasab-Kehormatan-Akal-Dan Harta.
Sedangkan mashlahat yang terbesar secara muthlaq adalah dien, karena sesungguhnya mashlahat-mashlahat dlaruriyyat yang lain bila telah dianggap oleh syari’at adalah karena ia menjaga atas manusia dunia dan urusan kehidupan merekaserta hanya dengan ini saja keselamatan tercapai oleh sebab itu sangsi hukum terbesar adalah apa yang Allah ta’ala tetapkan utuk manjaga kehormatan dien, yaitu hukum bunuh sebagaimana dalam hadist “bagaimana merubah agamanya maka bunuhlah dia” dan yang lainnya, terutama sesungguhnya Allah telah menjadikan sebagai hak murni milik-Nya ta’ala yang tidak seorangpun menserikati Allah di dalamnya.
Sedangkan hal terbesar dalam dien ini adalah (tauhid) yang mana lawannya adalah syirik, karena Allah tidak menciptakan makhluk ini kecuali dalam rangka merealisasikan tauhid ini dan menjauhi lawannya. Allah ta’ala berfirman: “Aku tidak menciptakan jin dan kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” (Adz Dzariyat : 56) yaitu supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.
Dan Dia swt tidak mengutus para rasul dan idak menurunkan kitab-kitab kecuali dalam rangka hal itu. Allah ta’ala berfirman: “ Sesungguhnya kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul, (para rasul itu berkata kepada kaum mereka): “ ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu” (An Nahl)
Dan telah banyak fuga hadist-hadist dari Nabi saw yang menyebarkan bahwa tolak ukur masuk surga dan keselamatan dari neraka adalah tergantung kapada perealisasian tauhid dan penjauhan syirik dan tandid, sedangkan ajaran-ajaran Islam yang lain tidak lain adalah penyempurna, pelengkap dan pengkoh bagi hal inti yang sangat mendasar ini.
Oleh sebab itu para ulama menuturkan bahwa [setiap ayat dalam Al Qur,an itu adalah berisi tauhid, menjadi saksi baginya lagi mengajak kepadanya, dimana Al Qur’an itu:
·   Bisa jadi kabar tentang Allah, nama-nama-Nya , sifat-Nya dan perbuatan-Nya, maka ia adalah tauhid ilmiy khabariy.
·   Bisa jadi ia adalah ajakan untuk beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan melepaskan diri dari apa yang diibadati selain-Nya, maka ia tauhid iradiy thalabiy.
·   Bisa jadi ia adalah perintah dan larangan, maka ia adalah hak-hak dan penyempurna tahid.
·   Bisa jadi ia adalah kabar tentang karunia Allah bagi ahli tauhid dan apa yang Dia lakukan terhadap mereka di dunia dan apa yang Dia karuniakan kepada mereka di akhirat, maka ini adalah balasan tauhidnya.
·   Dan bisa jadi ia adalah kabar tentang ahli syirik dan apa yang Dia timpakan kepada mereka berupa siksa dan apa yang menimpa mereka di akhirat berupa azab, maka ia adalah kabar tentang orang yang keluar dari hukum tauhid,
Maka Al Qur’an itu seluruhnya tentang tauhid, hak-haknya dan balasannya, dan tentang syirik , para pelaku serta alasan mereka].[25]
Jadi mashlahat terbesar dalam kehiduapn ini adalah tauhidullah ta’ala
Dan demi penulisan hal itu maka Allah mensyari’atkan jihad dan istisyhad, sehingga mashlahat ini didahulukan terhadap semua mashlahat lainnya berupa jiwa atau harta atau kehormatan atau yang lainnya karena pensyari’atan jihad hakikatnya adalah pengerahan seluruh mashalih dan dlarurat dalam rangka melindungi keutuhan mashlahat terbesar ini. Dan hal itu dijelaskan oeh firman-Nya ta’ala.” Dan fitnah (syirik) itu lebih besar daripada membunuh,” (Al Baqarah: 217)
Sebagaimana bahwa mafsadah terbesar dalam kehidupan ini adalah syiruk yang menggugurkan tauhid, karena dosa di bawah syirik bisa saja diampuni bagi muwahhid atau memberikan syafa’at di dalamnya pemberi syafa’at yang di taati atau dia diadzab sesuai kadar dosanya itu terus tempat kembalinya adalah tempat kembali kaum muwahidin.
Adapun orang yang mati sedang dia bersetatus sebagai orang musyrik kepada Allah, maka Allah ta’ala telah berfirman tentangnya.”Sesungguhnya orang yang mmpersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga,” (Al Maidah: 72)
Dan Dia swt berfirman: “ Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala doa ang di bawah dosa ( syirik) itu, “ ( An Nisa: 48)
Dan rasulullah saw bersabda : “ Barang siapa mati sedang dia menyeru tandingan bagi Allah maka dia pasti masuk neraka.” (HR Al Bukhariy)
Bila hal ini sudah tetap di ketahui oleh orang, maka dia tidak boleh mengendepankan mashlahat apa saja dalam kehidupan ini terhadap mashlahat tauhid. Sebagaimana dia juga tidak boleh menganggap besar mafsadah apa saja dalam keidupan ini di sisi mafsadah syirik, karena syari’at telah menetapkan bahwa tauhid adalah mashlahat terbesar , sedangkan ini kembalikan rujukannya kapada syari’at, bukan kepada akal atau hawa nafsu dan istihsan sebagaimana ang telah baku dalam dienullah.
Dan telah shahih dari Nabi saw dalam apa yang di riwayatkan Al Buukhari dan Muslim serta ang lainnya bahwa beliau ditanya: [dosa apa saja yang paling besar? Maka beliau berkata: [Engkau menjadikan tandingan bagi Allah sedangkan Dia-lah telah menciptakan]
Dan bila ini telah nampak jelas, maka sesungguhnya orang wajib untuk memahami setiap nash atau ucapan ulama muhaqqiqin dan ulama rabbaniyyin sesuai dengan hal ini dan di atas penduannya. Dan diantara hal itu adalah ucapan syakhul islam Ibnu Taimiyyah yang biasa di pergunakan banyak manusia tanpa mereka menghubungkannya dengan hal pokok ini dan banyak menusia tanpa mereka memahaminya sesuai dengan hal ini, dimana beliau berkata : [Bila berbenturan mashlalih dengan mafsid dan kebaikan dengan keburukan atau saling berdesakan, maka sesungguhnya wajub mengendepankan yang paling kuat darinya dalam kindisi bila saling berdesakan mashalih dengan mafasid bila mengandung peraihan mashlahat dan penghindaran mafsadah maka mesti dilihat apa yang membenturnya , kemudian bila mashlahat yang terhilangkan atau mafsadah yang timbul adalah lebih banyak, maka tentulah ia tidak diperintahkan, namun justru adalah di haramkan bila mafsadahnya lebih banyak daripada mashlahatnya, akan tetapi pertimbangan ukuran mashalih dan mafasid adalah dengan timbangan syari’at], (Majmu AlFatwa 28/129)
Seandainya si pembaca atau si penulis itu mengerti dan memahami bahwa mashlahat terbesar dalam kehidupan ini adalah tauhid tentulah dia tidak akan mengedepankan terhadapnya brbagai mashlahat lain yang lemah lagi dibuat-buat.[26]
Dan begitu juga seandainya dia mengerti bahwa mafsadah terbesar dalam kehiduapan ini adalah syririk kepada Allah, tentulah dia tidak akan meninggalkan penolakan mafsadah syirik ini dan tentu dia tidak akan menikulnya demi mafsadah yang lebih rendah. Dan lebih kecil darinya , bagaimanapun besarnya pensifatan yang dilontarkan para penguasanya , sebagaimana ia kebiasaan orang-orang yang membela-bela keikutsertaan dalam banyak pintu-pintu kekafiran, pembuatan hukum dan pemutusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan saat mereka mendalil kebatilan mereka it dengan timbangan mafsaid dan mashalih terus mereka melakukan kecurangan (dalam timbangan itu) karena kebodohan dari mereka atau sikap pura-pura bodoh. Sedangkan Allah ta’ala mengancam mereka dengan firman-Nya: “Kcelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila mereka menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka kurangi. Tidaklah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta Alam?.” (Al Muthaffiqin: 1-6 )

Contoh Sikap Ngawur Sebagian Du’at Masa Kini Dalam
Bab Mashlahat
Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq memiliki kitab yang berjudul (Fushul Min As Siyasah Asy syar’iyyag Fid Dakwah Ilallah) mayoritasnya berdiri di atas bab mashlahat dakwah , itulah balincong yang dengannya banyk dari para du’at menghancurkan ushlul (pokok-pokok) dan qawa’id (pondasi-pondasi) yang mana di dalam dien kita ini seperti gunung-gunung yang kokoh. Dia dalam kitab itu membuat satu pasal dengan judul (11-apakah mashlahat syari’iy?) dia membuka pembicaraan di dalamnya hal (128) seraya berdalil untuk jawaban atas judul ini dengan pesitif, dengan apa yang di bolehkan oleh dlalurat serta rukhshah orang yang sakit, musafir, orang yang pincang dan orang yang buta, seraya membantah terhadap orang yang bisa saja menganggap jijik judul seperti ini sembai mencapnya dengan ucapannya: (bodoh pemikiran dan ilmu), dan dia lalai atau pura-pura lalai dari keberadaan bahwa apa yang di bolehkan oleh dlalurat dan rukhshah-rukhshah itu sebenarnya bukanlah penyelisihan terhadap nushush syar’iyyah , akan tetapi ia adalah nushush syar’iyyah yang lain yang membatasi nash-nash yang lain atau mengkhususkannya dalam keadaan-keadaan tertentu, sedangkan semuanya adalah dari sisi Allah, dan selagi keadaan seperti itu: maka kamu tidak akan mendapatkan pertentangan dan perselisihan di antara hal itu, Allah ta’ala berfirman,”kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah,dan selagi keadaannya seperti ini: maka kamu tidak mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An Nisa: 82), maka tidak ada pertentangan secara pasti antara mashalih syar’iyyah yang telah Allah ta’ala tegaskan terhadapnya dengan perintah-perintah syar’iyyah semuanya, karena seluruhnya bersumber dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, dan pertentangan, kontradiksi, dan perselisihan itu hanyalah terjadi bila istishlah-istishlah itu bersumber dari selain Allah dan dari apa yang tidak Allah turunkan dalilnya, sebagaimana ia keberadaan banyak istihsan-istihsan dan istishlah yang diigaukan oleh banyak orang-orang yang mengaku berilmu di zaman kita ini, oleh sebab itu maka yang lebih utama dan lebih layak adalah dia membuat judul untuk pasal seperti ini dengan ucapannya: (Apakah mashlahat pribadi atau hawa nafsu dan materi kehidupan dunia berbenturan dengan nash syar’iy sesekali?), sehingga tidak ada masalah atas dia bila menjawab atas hal itu dengan positif, karena ini adalah realita banyak para du’at hari ini. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan ‘afiyah.
Dan bagaimanapun keadaannya, sesungguhnya penyimpangan yang muncul dari ketergelinciran dalam bab istishlah dan istisan tanpa batasan-batasan atau ushul ( dasar-dasar pokok) dari syari’at tidaklah berhenti pada suatu garis batas, oleh karena itu Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq telah mengklaim dalam materi itu dan langsung setelah muqaddimah itu halaman 129 bahwa Nabi saw telah meninggalkan penerapan sebagian hudud Allah dan meninggalkan membunuh kaum munafiqin yang menampakkan kekafiran atau yang terjatuh pada sebagian penyimpangan yang berhak akan had, seperti Abdullah Ibnu Ubay da orang-orang yang memperolok-oloknya para penghafal Al Qur’an yang turun berkenaan dengan mereka firman-Nya ta’ala: “janganlah kalian menacari-cari alasan, sesungguhnya kalian telah kafir setelah kalian beriman.” (At Taubah: 66) karena mengikuti mashlahat dan karena mengedepankannya terhadap hudud yang sudah tetap bagi para pemeluknya.
Dia berkata: [ini adalah meninggalkan pemberlakuan suatu nash, yaitu sabda-Nya saw” siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia” karena mengambil mashlahat syar’iyyah itu , atau dengan ungkapan yang lebih dalam karena khawatir mafsadah syar’iyyah, yaitu pembicaraan manusia bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya, sedangkan dalam sikap ini terdapat penjauhan (manusia) dari dien ini]
[Dan begitu juga Rasulullah saw meninggalkan penerapan had qadzaf yang ada dalam Al Qur’an terrhadap Abdullah Ibnu Ubay Ibnu Salul” tokoh penebar gosib dusta dan tokoh kaum munafiqin, dan itu karena khawatir dari pernyataan murtad dan perobekan jama’ah kaum muslimin serta berbaliknya kondisi Madinah terhadap Rasul]
Dan ini pada hakikatnya adalah sikap ngawur dan lancang darinya, dimana hal itu menghantarkan kepada tuduhan terhadap Nabi saw bahwa beliau menggugurkan sebagian hadud dan meninggalkan pengamalan sebagai nushush.
Oleh sebab itu maka bagi setiap orang yang mengikuti hawa nafsunya dan mencampakkan apa yang dia sukai dari hudud ini atau meninggalkan apa yang dia inginkan dari nash-nash yang ada dengan dalih mashlahat  dakwah. Dan ini pada hakikatnya adalah sybhat yang masyhur dikalangan Murjiah Gaya Baru, mereka kadang mempromosikannya dalam rangka melegalkan istishlah dan istihsan mereka yang berdasarkan syahwat yang dengannya mereka menentang nushush kemudian mereka membolehkan penitian jalan orang-orang kafir, penyimpangan dari manhaj nubuwwah dan jalan kaum mu’minin dengan dalih mashlahat dakwah yang diada-adakan, atau untuk membela-bela para thaghut yang menggugurkan hudud Allah ta’ala dan yang membuat hukum disamping Allah, pada keadaan yang lain.
Dan bagaimanapun keadaannya, ia adalah sybhat yang kuno yang mereka dapatkan dari Syaikh-syaikh mereka terdahulu yang mana hal itu dan yang serupa dengannya telah dibantah oleh ulama Islam dari kalangan para imam yang kokoh dalam ilmu semacam Imam Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam rh.
Sungguh Ibnu Hazm rh telah mencantumkan dalam Al Muhalla 11/201 di bawah nomor 2199 suatu masalah yang di dalamnya beliau membantah terhadap setiap orang yang mengklaim bahwa Rasulullah saw mengetahui dan melihat bahwa orang-orang munafikin telah murtad dan kafir secara terang-terangan setelah mereka menampakkan keislaman, namun demikian beliau tidak membunuh mereka dan tidak menerapkan pada mereka had riddah atau hudud lainnya yang mereka berhak terhadapnya.
Dan setelah beliau menjelaskan bahwa kaum munafiqin yang mana sebagian pelanggaran mereka itu dijadikan hujjah dalam sybhat ini adalah terbagi dua macam :
·         Satu macam yang sama sekali tidak diketahui Rasulullah saw
·         Dan macam lain yang terbongkar sehingga beliau mengetahui mereka, kemudian mereka melindungi diri dengan taubat

Maka beliau setelah itu mulai menuturkan apa yang dijadikan hujjah oleh orang-orang yang menyelisihi dalam bab ini, ayat demi ayat dan hadits demi hadits, dan kemudian beliau membantah terhadap istidlal mereka semuanya dengan bantahan yang ilmiyyah lagi berharga yang amat penting untuk dibaca dan dihayati untuk membungkam syubhat-syubhat yang didapatkan Murjiah masa kita ini dari para Syaikh mereka terdahulu dan mereka mempromosikannya. “Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya merka adalah kaum yang melampaui batas” (Adz Dzariyat : 53
Dan diantara hal itu bahwa dia di hal 207 menjelaskan bahwa kaum munafiqin yang memperolok-olok Al Qurra di perang Tabuk telah kafir setelah sebelumnya mereka beriman, akan tetapi sikap Rasulullah saw tidak menegakkan had terhadap mereka bukanlah – sebagaimana klaim mereka itu – sebagai pengguguran terhadap had atau peninggalan penerapannya dengan dalih mashlahat yang diada-adakan itu, akan tetapi karena mereka berlindung semuanya dengan taubat dan menampakkan penyesalan serta mengakui dosa-dosa mereka – sebagaimana Ahlul hadits meriwayatkan hal itu dalam sababun nuzul – dan sebagaimana yang Allah ta’ala tuturkan, maka diantara mereka ada yang Allah terima taubatnya karena Allah swt mengetahui kejujuran batinnya, dan diantara mereka ada yang tidak Allah maafkan karena Dia mengetahui kedustaan mereka dibatinnya, akan tetapi secara dhahir semuanya telah menampakkan taubat dengan penegasan ayat”, Jika kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat) niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa” (At Taubah : 66) maka dhahir (taubat) ini melindungi darah mereka di dunia.
Dan dia menuturkan juga hal 218 bahwa Abdullah Ibnu Ubay setelah dia dan orang yang membantunya atas hal itu kafir, mereka menampakkan taubat dan islam, maka Rasulullah saw menerima dari mereka dan beliau tidak mengetahui batin mereka apakah tetap di atas kekafiran ataukah di atas taubat yang mereka tampakkan? Akan tetapi Allah ta’ala mengetahui hal itu, dan Dia tanpa ragu lagi adalah yang memberikan balasan atas hal itu dihari kiamat. Adapun dalamhukum dunia maka mereka diperlakukan berdasarkan apa yang mereka tampakkan.
Dan begitu juga syaikhul islam Ibnu Taimiyah melakukan hal serupa, dimana beliau menuturkan dalam kitabnya (Ash Sharimul Maslul) seputar hal itu ungkapan yang sangat berharga yang dekat dengan ucapan Ibnu Hazm, di mana beliau di halaman: 346 menuturkan firman-Nya ta’ala: “Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridlaanmu…”. (At Taubah: 62)
Dan firman-Nya ta’ala: “Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka.” (At Taubah: 95)
Dan firman-Nya . “Mereka bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). “ (At Taubah: 74)
Dan firman-Nya ta’ala: “Mereka itu mnjadikan sampah mereka sebagai perisai…” (Al Munafiqin: 2)
Dan ayat-ayat lainnya yang serupa, kemudian beliau menuturkan bahwa ayat-ayat itu semuanya menunjukkan bahwa kaum munafiqin mencari keridlaan kaum mu’minin dengan sumpah-sumpah yang bohong, dan mereka mengingkari apa yang mereka terjatuh kedalamnya berupa kekafiran dan yang lainnya, dan mereka besumpah bahwa mereka tidak melontarkan ucapan kekafiran. Dan beliau sebutkan hal serupa itu juga halaman: 355 dan bahwa bukti tidak bergakti atas ucapan-ucapan mereka itu, dan bisa saja ucapan itu di dengar dari mereka oleh seorang laki-laki mukmin yang sendiri atau seorang wanita atau anak kecil terus dia menyampaikannya kepada Nabi saw, maka mereka bersumpah dengan (nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakannya, dan tidak terpenuhi orang yang menyempurnakan nisab kasaksian bersama mereka. Dan hal seperti ini tepat mengena pada had qaszaf yang disebutkan dalam kejadian ifki (berita bohong yang menuduh Aisyah berzina). Dan tidak bisa dikatakan sesungguhnya Al Qur’an telah bersaksi atas mereka dengan hal itu karena Al Qur’an tidak menta’yin nama-nama dan Nabi saw tidaklah memperlakukan kaum  munafiqin dengan hukum-hukum dunia dengan apa yang beliau ketahui tentang mereka dengan hal gaib jalan wahyu, akan tetapi dengan apa yang mereka tampakkan atau hal itu terbukti atas mereka dengan bayyinah (bukti).
Dan diantara jawabah beliau rh juga, apa yang telah baku yaitu bahwa bila dalam kejahatan itu berkumpul dua hak, hak Allah dan hak manusia, maka dalam hukum-hukum dunia di unggulkan hak manusia,  maka rasulullah saw boleh memaafkan, dan itu seperti qishash dalam pembunuhan dan di antara hal itu juga qadzaf (menuduh zina) yang dilontarkan oleh kaum nunafiqin, lihat halaman 296 dan halaman 300, dan beliau berkata halaman 234 [bahwa bagi para nabi juga memiliki hak manusia, oleh sebab itu Allah menjadikan bagi mereka hak untuk memaafkan hal semacam ini dan Dia melapangkan hal itu atas mereka karena di dalamnya ada haq manusia sebagai pengunggulan bagi hak manusia atas hak Allah, sebagaimana Dia menjadikan bagi yang memiliki hak qishash dan had qishash dn had qadzaf hak untuk memaafkan si pembunuh dan si penuduh, sedangkan mereka itu lebih brhak karena dalam kebolehan pemaafan para Nabi dan yang lainnya tersapat mashlahat yang agung yang berkaitan dengan Nabi saw serta dengan unat dan dien]. Dan berkata halaman: 235 [Berbeda dengan yang tidak ada hak manusia di dalamnya seperti zina atau pencurian atau dzalim kepada selainnya, maka wajib atasnya untuk menegakkannya]
Jadi masalahnya bukan sekedar istishlah aqliy syahwagiy yang mana para du’at bisa menetapkannya dengan murni hawa nafsu mereka, akan tetapi itu semuanya tergolong mashlahat yang dianggap secara syari’at dan yang mana dalil-dalil  syar’iy telah menegaskan terhadapnya. Sehingga apa yang termasuk bab ini maka ia diterima dan dianggap, sedangkan apa yang berasal dari selainnya maka ia dibuang lagi tertolak.
Inilah, sangguh syaikhul Islam telah menjawab banyak dari kejadian yang terjadi dari kaum munafiqin dalam banyak tempat dari kitabnya itu dengan jawaban-jawaban lain yang banyak selain ini, sebagiannya dari ucapan beliauu dan sebagiannya beliau nukil dari ucapan ulama lainnya, maka silahkan rujuk ke sana. Dan perhatikan ucapan beliau yang disertai dengan dalil-dalilnya agar engkau mengetahui perbedaan antara ucapan-ucapan ahlul istidlal dengan ucapan-ucapan ahlul Istishlah wal Istihsan, orang-orang yang berdalil dengan Al Kitab dan As Sunnah mengetahui bagi Nabi saw dan sunnahnya. Adapun pihak lain maka istishlah-istishlah mereka itu mencemoohkan mereka sendiri, dan menjatuhkan mereka pada celaan terhadap Nabi saw dan menuduhnya menggugurkan syari’at, baik mereka sadar ataupun tidak sadar.
Oleh karena itu Ibnu Hazm berkata dalam tempat yang diisyaratkan tadi 11/218: [Dan barangsiapa mengira bahwa Rasulullah saw tidak membunuh orang yang telah wajib dibunuh dari kalangan sahabatnya MAKA DIA TELAH KAFIR serta halal darah dan hartanya karena dia menyandarkan kepada Rasulullah saw kebatilan dan penyelisihan Allah ta’ala. Demi Allah sungguh Rasulullah sab telah membunuh para sahabatnya yang baik yang dijamin pasti keimanannya dan pasti masuk surta aat wajib atas mereka hukum bunuh seperti Ma’iz, Al Ghamidiyyah dan Juhaniyyah radliyallahu ‘anhum, maka termasuk kebatilan yang meyakinkan, kesesatan yang nyata dan defasikan yang murni bahkan termasuk kekafiran yang terang adalah orang muslim meyakini atau mengira bahwa Rasulullah saw membunuh kaum muslim yang termasuk calon ahli surga dari kalangan sahabatnya dengan cara pembunuhan yang paling mengerikan dengan batu, terus beliau menggugurkan penegakan hak yang wajib pada pembunuhan orang murtad terhadap orang kafir yang beliau ketahui bahwa dia itu murtad terus beliau tidak puas dengan ini sehingga beliau menshalatkannya dan memintakan ampun baginya sedang beliau mengetahui bahwa dia itu kafir, sedangkan telah lalu larangan Allah ta’ala terhadapnya dari memintakan ampunan bagi orang-orang kafir.
Dan kami bersaksi dengan kesaksian Allah ta’ala bahwa orang yang menganut pendapat ini dan meyakininya, maka sesungguhnya dia itu kafir musyrik murtad lagi halal darahnya dan hartanya, dan kami berlepas diri kepada Allah ta’ala darinya dan dari perwaliannya] selesai dengan ikhtisar.

Ucapan-Ucapan Dan Sikap-Sikap Yang Cemerlang Para Ulama Du’at, Para Imam Yang Lurus Dan Para Raja Yang Saleh Perihal Mashlahat Yang Kosong Dari Dalil

·         Al Khalifah Ar Rasyid Umar Ibnu Abdil Aziz rh (101 H)

Yahya Al Ghassaniy berkata : Tatkala Umar Ibnu Abdil Aziz mengangkat saya sebagai Gubernur untuk Mosul, maka saya berangkat kesana dan ternyata saya mendapatkannya sebagai diantara negeri yang paling banyak pencurian dan perampokan, maka saya mengirim surat kepadanya seraya memberitahu keadaan negeri ini dan saya menanyakan kepadanya : Apakah saya boleh menangkap orang dengan dasar perkiraan dan mendera mereka atas tuduhan?[27] Ataukan saya menangkap mereka dengan dasar bukti dan sesuai ketentuan sunnah yang sudah berjalan?
Maka beliau menulis kepada saya agar saya menangkap orang dengan dasar bukti dan sesuai ketentuan sunnah yang sudah berjalan, kemudian bila al haq itu tidak meluruskan mereka maka Allah tidak akan meluruskan mereka.
Yahya berkata : Maka saya melakukan hal itu, maka saya tidak keluar dari Mosul sehingga Mosul itu menjadi diantara negeri yang paling baik dan paling sedikit pencurian dan perampasannya.[28]

·         Abu Abdillah Sufyan Ibnu So’id Ibn uMasruq Ats Tsauriy (161 H)

Beliau adalah syaikhul Islam, imamul huffadh dan penghulu ulama amilin di zamannya serta amirul mu’minin dalam hadits dengan kesaksian para ulama besar yang ahli.
Al imam Ahmad berkata : Ibnu Uyainah berkata kepada saya : [Kamu tidak akan melihat dengan kedua matamu orang seperti Sufyan Ats Tsauriy sampai kamu mati]
Al Mar Wadziy meriwayatkan dari Al Imam Ahmad ucapannya : [Apa kamu mengetahui siapa Al Imam itu? Al Imam adalah Sufyan Ats Tsauriy, tidak seorangpun mendahuluinya dihati saya]
Yahya Ibnu Main berkata tentangnya : [Tidak seorangpun menyelisihi Sufyan dalam apa saja, melainkan pendapat yang benar adalah pendapat Sufyan]
Qubaishah berkata : [Saya tidak duduk bersama Sufyan disuatu majlis pun melainkan saya mengingat kematian, saya tidak melihat seseorang yang lebih sering menyebutkan kematian daripadanya]
Yahya Ibnul Yaman berkata : [Saya tidak melihat orang seperti Sufyan, dunia menghampirinya, namun dia palingkan wajahnya daripadanya]
Beliau rh adalah tokoh dalam Zuhud, Khauf (takut kepada Allah), wara’, hapalan, pemahaman dan pengetahuan akan atsar. Walaupun beliau tidak memandang boleh khuraj terhadap para pemimpin zamannya karena mereka tidak menampakkan kekafiran yang nyata, namun demikian sesungguhnya beliau tidak pernah takut dari mengingkari mereka terhadap celaan orang yang suka mencela. Beliau tidak pernah mendatangi pintu-pintu mereka, dan bila bertemu dengan mereka maka beliau tampakkan sikap tidak ridla terhadap amalan mereka dan beliau mengingkari terhadap mereka apa yang mereka tampakkan berupa kezaliman dan maksiat. Dan tentang keterpanggilannya untuk memerintahkan hal yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, diriwayatkan darinya bahwa beliau berkata : [Sesungguhnya saya melihat suatu yang wajib atas say aberbicara tentangnya terus saya tidak melakukannya, maka saya kencing darah]
Dan sebagian sahabatnya berkata : “Saya tidak melihat pemimpin dan orang kaya lebih hina darinya di majlis Sufyan”
Dan Sufyan berkata : “Sesungguhnya para raja itu telah meninggalkan akhirat bagi kalian, maka tinggalkan bagi kalian dunia”
Dan dikarenakan banyaknya pengingkaran beliau dan tidak adanya mudahana (basi-basi) atau tidak pernahnya beliau masuk menemui umara dan larinya beliau dari jabatan lembaga peradilan, beliau dicari oleh Sulthan dan diperintahkan kepada para Gubernur untuk mencarinya, maka beliau keluar menuju Mekkah dan menetap disana seraya bersembunyi lagi menutupi diri, seraya dicari untuk disalib, beliau tidak menampakkan diri kecuali kepada ahli ilmu dan orang yang tidak beliau khawatirkan. Dan disayembarakan siapa yang bisa membawa Sufyan maka ia akan mendapat ini dan itu. Dan ada yang mengatakan bahwa beliau lari ke Yaman. Dan tatkala khawatir ketatnya pencarian terhadapnya di Mekkah maka beliau keluar menuju Bassrah dan tinggal didekat rumah Yahya Ibnu Sa’id kemudian dipindahkan kepinggir rumahnya dan ia membuka pintu antara rumahnya dan rumah Sufyan. Maka ia datang dengan ahli-ahli hadits penduduk Bassrah seraya mengucapkan salam terhadapnya dan mendengar hadits darinya. Kemudian tatkala diketahui dan tersiar tempat dan rumahnya maka ia pindah ke rumah Al Haitsam Ibnu Manshur sampai beliau wafat, maka jenazahnya dikeluarkan secara mendadak terhadap penduduk Bassrah, maka manusia menyaksikannya dan beliau dishalatkan oleh Abdurrahman Ibnu Abdil Malik Ibnu Abhur Al Kafiy dengan wasit Sufyan karena kesalihan dia. Dan dikuburkan disana tahun 162 H, semoga Allah ta’ala merahmatinya.[29]
Dan diantara ucapan beliau rh dalam bab ini :
Adz Dzhabiy berkata : Saya mendengar Al Anbariy saya mendengar Al Busyanjiy saya mendengar Abu Shalih Al Farra saya mendengar Yusuf Ibnu Asbath berkata, Sufyan berkata kepada saya :
[Bila kamu melihat ahli baca berlindung dengan penguasa maka ketahuilah bahwa dia itu pencopet, dan bila kamu melihatnya berlindung dengan orang-orang kaya, maka ketahuilah bahwa dia itu orang yang riya, dan hati-hatilah kamu tertipu dan dikatakan kepadamu : “Kamu bisa mengembalikan hak dan membela orang yang didzalimi, “karena sesungguhnya ini adalah tipuan iblis, yang dijadikan tangga oleh ahli baca]. Selesai dari Siyar I’lam An Nubala 13/586.
Dan Sufyan mengirim surat kepada ‘Abbad Ibnu ‘Abbad… dan diantara isi suratnya :
“Hati-hatilah kamu dari para penguasa (jangan) kamu mendekat dari mereka atau berbaur dengan mereka dalam sesuatu hal apa saja, dan hati-hatilah kamu tertipu dan dikatakan kepada kamu” agar kamu menjadi perantara yang membantu dan membela orang yang didzalimi atau mengemblaikan hak,” karena sesungguhnya itu adalah tipuan iblis, dan itu hanya dijadikan tanggal oleh ahli baca yang bejat….” Selesai dari Al Hilyah Karya Abu Nu’aim 6/376-377

·         Raja Mahmud Sabaktikin (421 H)

Beliau adalah penguasa negeri Ghaznah, beliau menjadi raja setelah ayahnya, maka beliau bersikap adil di tengah rakyatnya, dan beliau menyebarkan Islam, melakukan banyak penaklukan sehinga kedudukannya menjadi besar dan meluaslah kerajaannya. Beliau Khatbah diseluruh pelosok kerajaannya untuk Khalifah Al Qadir Billah, dan utusan-utusan dinasti ubaidiyyah mendatanginya dari Mesir dengan surat dan berbagai hadiah dalam rangka merayunya agar cenderung kepada pihak mereka, namun beliau membakar surat-surat dan hadiah-hadiah mereka itu. Beliau membuka di negeri-negeri kafir Hindu penakhlukan-penakhlukan yang amat besar yang tidak pernah terjadi pada yang lainnya, dan beliau menghancurkan banyak berhala dan patung merka, dan diantara patung yang beliau hancurkan adalah patung yang dinamakan Suminat yang mana ia adalah patung terbesar orang Hindu yang mana mereka menziarahinya dari berbagai pelosok negeri, sebagaimana manusia menziarahi Ka’bah Al Baitul Haram dan bahkan lebih dari itu, dan mereka memberikan infaq dan harta yang besar disisinya yang tidak bisa disebutkan dan tidak bisa dihitung, dan ia mendapatkan waqaf dari 10000 desa dan kota yang masyhur sehingga perbendaharaannya penuh dengan harta, dan ia memiliki 1000 laki-laki yang melayaninya, dimana 300 laki-laki bertugas mencukur kepala jama’ah hajinya, dan 300 orang laki-laki bernyanyi dan berjoget dipintunya tatkala bedug dan terompet dibunyikan dipintunya. Dan didekatnya terdapat ribuan orang yang tinggal disisinya yang mana mereka makan dari wakafnya. Sedangkan orang yang jauh dari orang-orang Hindu berangan-angan andaikata ia bisa sampai ke patung ini, namun ia terhalang oleh jauhnya perjalanan dan banyaknya penghalan dan gangguan….
Maka Sultan Mahmud istikharah kepada Allah tatkala sampai kepadanya kabar patung ini dan para penyembahnya, banyaknya orang-orang hindu di tengah perjalannya, dan padang pasir yang membinasakan dan wilayah-wilayah yang berbahaya dalam menempuh itu bersama pasukannya dan melewati kondisi-kondisi mencekam untuk mencapai patung itu. Dan orang-orang hindu setiap kali Sultan Mahmud melakukan penaklukan dikawasan India dan menghancurkan patung-patung mereka, mereka berkata : (Sesungguhnya patung-patung ini telah dimukai oleh Suminat, karena andaikata dia ridla terhadap patung-patung itu tentulah dia membinasakan orang yang bermaksud jahat kepadanya). Tatkala hal itu sampai kepada Sultan, maka semangat untuk menginvasinya makin bertamah, kemudian beliau menyiapkan pasukannya untuk itu, sehingga telah siap bersamanya 30.000 tentara dari kalangan yang beliau pilih untuk itu disamping sukarelawan. Dan beliau bergerak dari Gaznah tanggal 10 Sya’ban tahun 418 H dengan perkiraan darinya bahwa orang-orang hindu itu bila mereka telah kehilangannya dan melihat kebohongan klaim mereka tentang patung itu maka mereka akan masuk Islam.
Kemudian tatkala beliau dan pasukannya telah sampai ke negeri berhala itu berada dan merka berhenti dihalaman para penjaganya ternyata ia adalah tempat seukuran kota yang besar, dan orang-orang hindu melihat dari kaum muslimin pertempuran yang belum pernah merek alamai sepertinya, dan orang-orang hindu bertempur dipintu patungnya dengan peperangan yang sangat dasyat, sekelompok demi sekelompok secara bergiliran masuk kepada suminat terus mereka memeluknya, menangis dan terus keluar kemudian mereka bertempur sampai terbunuh. Kaum muslimin membunuh 50.000 dari mereka, dan akhirnya merka bisa menguasai patung itu terus mereka merobohkannya dan menyalakan api di bawahnya. Dan sebelumnya orang-orang hinduberupaya membujuk agar sultanMahmud mau mengambil harta yang banyak dan membiarkan patung itu bagi merka, maka beliau berkata : Biar saya istikharah dulu kepada Allah azza wa jalla. Dan kemudian tatkala keesokan harinya beliau berkata : Sesungguhnya saya telah berpikir tentang masalah tersebut, maka saya memandang bahwa bila saya dipanggil dihari kiamat [Mana Mahmud yang menghancurkan patung?] adalah lebih saya sukai daripada dikatakan [yang membiarkan patung karena dunia yang akan dia dapatkan]. Kemudian belian rh menghancurkannya dan mendapatkan di atasnya dan di dalamnya berupa intan permata, emas dan perhiasan-perhiasan yang amat mahal, yang melebihi apa yang mereka berikan berkali-kali lipat, dan kami mengharapkan dari Allah baginya balasan yang sempurna di akhirat. (Al Bidayah Wan Nihayah karya Ibnu Katsir 12/22 dan lihat Al Kamil Fith Tarikh karya Ibnul Atsir dalam kejadian-kejadian tahun 416 H)
Dan saya katakan di sini: Seandainya sebagian orang yang tampil untuk dakwah dan mashlahatnya di zaman kita ini berada pada posisi beliau tentulah merka bakal membela-bela, menganggap baik dan menganggap mashlahat dengan pikiran dan akal merka, bahwa mengambil harta yang ditawarkan itu adalah lebih utama dan lebih manfa’at bagi muslimin dan kepentingan-kepentingan mereka daripada menghancurkan patung itu terutama bersama kekalahan orang-orang hindu itu, dan setelah dan setelah, dan karena, dan akan tetapi, dan bisa saja dan mungkin saja… dan ungkapan lainnya yang berasal dari sikap ngawur merka yang menjijikan serta istihsan-istihsan dan istishlah-istishlah mereka yang berdasarkan selera. [Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah] (Al Maidah : 41)

·         Nuruddien Mahmud Ibnu Zankiy (569) penguasa Syam :

Syaikh Umar Ibnu Al Mulla dari Mosul menulis surat kepadanya, dan sebelumnya Nuruddien telah memerintahkan para wali dan para amir disana agar tidak memutuskan suatu urusan sehingga mereka memberitahu dahulu Al Mulla, kemudian apa yang ia perintahkan kepada mereka maka mereka melaksanakannya, dan ia itu termasuk orang-orang yang saleh lagi zuhud.
Namun demikian ia telah mengirim surat kepada Nuruddien : [Sesungguhnya para perusak telah banyak, dan membutuhkan kepada siasat, sedangkan hal seperti ini tidak datang kecuali dengan pembunuhan, penyaliban dan pemukulan, dan bila seseorang diambil di di padang pasir maka siapa yang datang menjadi saksinya?] Maka raja Nuruddien menulis jawaban kepadanya dibalik suratnya tadi : [Sesungguhnya Allah telah menciptakan makhluk dan Dia menetapkan syari’at bagi mereka, sedangkan Dia adalah yang paling mengetahui tentang apa yang meluruskan mereka, dan seandainya Dia mengetahui bahwa dalam syariatnya ada tambahan dalam mashalat tentulah Dia menyari’atkanyabagi kita, maka kita tidak butuh tambahan terhadap apa yang telah Allah ta’ala syari’atkan. Barangsiapa menambah maka dia telah mengklaim bahwa syari’at itu kurang sehingga dia menyempurnakannya dengan tambahannya itu, dan ini termasuk kelancangan terhadap Allah dan terhadap syari’at-Nya, sedangkan akal-akal yang gelap adalah tidak mendapatkan petunjuk. Dan Allah subhanahu semoga membimbing kami dan engkau kepada jalan yang lurus].
Kemudian tatkala surat itu sampai ke tangah Syaikh Umar Al Mulla maka beliau mengumpulkan manusia di Mosul, dan beliau membacakan surat itu kepada mereka, serta beliau langsung mengatakan : Lihatlah surat Az Zahid kepada sang raja dan surat sang raja kepada Az Zahid.[30]

·         Al Hafidh Abdul Faraj Abdurrahman Ibnul Jauziy[31]

Beliau berkata dalam kitabnya Talbis Iblis hal 121 :
“Dan diantara talbis iblis terhadap para fuqaha adalah perbauran mereka dengan para amir dan sultan, sikap mudahanah (basa-basi) mereka dan meninggalkan pengingkaran terhadap mereka dapahal ada kemampuan atas hal itu. Dan bisa saja para fuqaha itu memberikan keringanan (rukshah) untuk mereka dalam suatu yang tidak ada rukshah bagi mereka di dalamnya agar mereka mendapatkan bagian dari dunia mereka.
Sehingga dengan hal itu terjadi kerusakan karena tiga sisi :
Pertama : Si Amir berkata : Seandainya saya tidak berada di atas kebenaran tentulah ahli fiqh itu melakukan pengingkaran terhadapnya, dan bagaimana saya tidak berada di atas kebenaran sedangkan dia itu makan dari harta saya.
Dan kedua : Orang awam berkata : Tidak ada masalah dengan amir ini dan tidak pula dengan harta dan perbuatan-perbuatannya, karena si fulan yang ahli fiqh itu tidak beranjak dari sisinya.
Dan ketiga : Si ahli fiqh, maka sesungguhnya dengan hal itu dia merusak dunianya.[32]
Dan sungguh iblis telah mengkaburkan terhadap mereka dalam hal masuk mendatangi penguasa ini, dimana dia mengatakan : “Kamu kan masuk dalam rangka menolong orang muslim”.

·         Sayyid Quthub

Beliau rh berkata dalam Afrahar Ruh[33]
[Sangat sulit atas saya untuk menggambarkan bagaimana kita bisa sampai kepada tujuan yang  baik dengan menggunakan cara yang kotor?! Sesunguhnya tujuan yang baik tidak hidup kecuali dalam hati yang baik, maka bagaimana mungkin bagi hati itu untuk tahan menggunakan cara yang kotor, bahkan bagaimana ia mendapatkan jalan untuk menggunakan wasilah (cara) ini?!
Saat kita mencelup ke jalan yang penuh lumpur maka sudah pasti kita sampai ketepian jalan dalam keadan berlumuran lumpur, karena sesungguhnya lumpur-lumpur di jalan akan meninggalkan bekas-bekasnya pada kaki kita dan pada bagian-bagian kaki ini. Begitu juga keadaannya saat kita menggunakan wasilah (cara) yang kotor : Sesungguhnya kotoran akan menggantung para ruh-ruh kita dan ia akan meninggalkan bekas-bekasnya para ruh-ruh ini dan pada tujuan yang kita sampai kepadanya”.
Dan berkata saat berbicara pada firman Allah ta’ala dalam surat Al Hajj “(Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rosul pun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu…)” (Al Hajj : 52) : Kadang semangat dan gelora jiwa mendorong para pengusung dakwah setelah para Rosul, serta keinginan yang mendesak dalam penyebaran dakwah dan kemenangannya… mendorong maka untuk merekrut sebagian sosok orang atau sebagian tokoh dengan memicingkan mata diawal mulanya dari sesuatu yang termasuk tuntutan-tuntutan dakwah yang mereka menduganya bukan hal yang mendasar di dalamhya, dan membiarkan mereka dalam sebagian urusan mereka agar tidak lari dari dakwah dan tidak menjauhinya.
Dan kadang hal itu mendorong mereka juga untuk menggunakan cara-cara dan metode-metode yang tidak sejalan dengan timbangan dakwah yang tepat dan dengan manhaj dakwah yang lurus. Dan itu sebagai bentuk keinginan keras terhadap cepatnya kemenangan dan penyebaran dakwah, serta sebagai upaya keras dalam perealisasian “maslhahat dakwah” padahal mashlahat dakwah yang sebenarnya adalah berada pada keistiqamahannya di atas manhaj tanpa penyimpangan baik sedikit ataupun banyak. Adapun hasilnya maka ia adalah hal yang ghaib yang tidak diketahui kecuali oleh Allah, maka tidak boleh para pembawa dakwah ini memperhitungkan hitungan hasil-hasil ini, namn yang wajib adalah mereka berjalan di atas manhaj dakwah yang jelas yang tegas lagi tepat dan mereka membiarkan hasil-hasil istiqamah ini kepada Allah, dan tidak akan terbukti kecuali kebaikan di akhir perjalanan.
Dan inilah Al Qur’anul Karim mengingatkan mereka kepada keberadaan bahwa syaitan selalu mengintai keinginan-keinginan mereka itu untuk bisa menembus dari arahnya kepada inti dakwah. Dan bila Allah telah menjaga para Nabi dan Rasul-Nya, sehingga syaitan tidak bisa menembus lewat jalan keinginan suci mereka kepada dakwah mereka, maka orang-orang yang tidak ma’shum adalah sangat membutuhkan kepada kehati-hatian yang ekstra dari sisi ini, dan kewaspadaan yang sangat, karena khawatir syaitan masuk menembus mereka dari celah kecintaan yang sangat dalam nushrah dakwah serta (celah) keinginan yang besar terhadap apa yang mereka sebut “mashlahat dakwah”. Sesungguhnya kata “mashlahat dakwat” ini wajib dilenyapkan dari kamus para pembawa dakwah, karena ia adalah sumber ketergelinciran dan pintu bagi syaitan yang mana dia masuk menembus mereka darinya saat dia kesulitan masuk menembus mereka dari sisi mashlahat sosok-sosok orang.
Dan kadang “mashlahat dakwah” ini berubah menjadi berhala yang diibadati oleh para du’at dan bersamanya mereka melupakan manhaj dakwah yang inti. Wajib atas para du’at untuk istiqamah di atas apa yang ditimbulkan oleh keberpegangan ini berupa hasil-hasil yang kadang nampak dihadapan mereka bahwa di dalamnya terdapat bahaya terhadap dakwah ini dan para penyerunya!! Bahaya satu-satunya yang wajib mereka hindari adalah bahaya penyimpangan dari manhaj karena sebab apa saja, sama saja baik penyimpangannya ini banyak ataupun sedikit. Sungguh Allah lebih mengetahui daripada mereka terhadap mashlahat, dan mereka tidak dibebani dengannya, akan tetapi hanya dibebani dengan satuhal saja, yaitu mereka tidak menyimpang dari manhaj dan tidak berpaling dari jalan…..”

Pemungkas Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Tentang Perihal
“Mashlahat Dakwah”

Ini adalah fatwa yang di dalamnya Syaikhul Islam ditanya tentang salah seorang Syaikh yang terkenal baik dan ittiba’ kepada sunnah. Dia ingin mendakwahi sekelompok para pembunuh, perampok, pencuri dan para pemabuk, dan dia bermaksud menghidayahi mereka dan mencegah mereka dari hal itu, kemudian dia tidak bisa mencapai hal itu – sesuai klaim si penanya – kecuali dengan mengumpulkan mereka pada acara mendengarkan tabuhan rebana dan laguan yang mubah, maka diapun melakukan hal tu bersama mereka sampai akhirnya sejumlah dari mereka taubat dan setelah sebelumnya mereka itu tidak shalat, tidak zakat dan bahkan mereka mencuri dan biasa melakukan dosa-dosa besar serta perbuatan-perbuatan yang membinasakan, akhirnya mereka menjadi bersikap wara’ dari hal-hal syubhat dan mereka mengerjakan kewajiban-kewajiban serta menjauhi apa-apa yang diharamkan. Maka Syaikhul Islam ditanya, apakah dibolehkan perbuatan semacam ini bagi Syaikh ini dikarenakan mendatangkan banyak mashlahat….??
Maka ringkasan jawaban Syaikhul Islam adalah beliau menejelaskan :
·         Bahwa acara simaa’ (mendengarkan tabuhan rebana dengan senandung yang mubah) yang berkumpul terhadapnya manusia atau para sufi bila dijadikan sebagai qurbah (ibadah yang mendekatkan) kepada Allah ta’ala maka ia adalah simaa’ yang bid’ah.
·         Dan bahwa salaf yang shalih dari golongan generasi-generasi yang utama tidak pernah mereka mengenalnya, dan justru simaa’ mereka yang diutamakan hanyalah tilawah (membaca) kitabullah ta’ala dan berkumpul terhadapnya
·         Kemudian menjelaskan bahwa Allah azza wa jalla telah menyempurnakan bagi kita dien ini, sehingga Dia tidak menyisakan di dalamnya kekurangan atau celah kosong yang membutuhkan dari seseorang penutupannya atau penyempurnaannya.
·         Dan beliau menggugurkan kliam si penanya bahwa tidak mungkin menghidayahi manusia atau nushrah dien ini kecuali dengan cara-cara bid’ah semacam ini, karena Allah ta’ala telah memberikan kepada kita jalan-jalan dan cara-cara yang syar’iy yang cukup lagi memuaskan yang mana Nabi saw dakwah dengan menggunakannya serta mendapat hidayah dengan sebabnya dan di atasnya orang-orang yang lebih buruk dan lebih durjana daripada orang-orang yang ditanyakan tentang mereka.
·         Dan beliau rh menjelaskan bahwa tidak seorangpun berpaling dari cara-cara syar’iy ini kepada jalan-jalan dan cara-cara yang bid’ah kecuali karena kebodohan atau kelemahan atau tujuan yang buruk.
·         Dan karenanya bahwa mencela perbuatan Syaikh itu meskipun menghasilkan mashalih maz’umah (mashlahat-mashlahat yang diklaimnya), dan beliau menjadikan cara dakwahnya itu bid’ah serta beliau mencapnya sebagai Syaikh yang bodoh terhadap cara-cara yang syar’iy yang dengannya dakwah ilallah dilakukan atau dia lemah darinya…
·         Dan beliau menegaskan terhadap wajibnya mengikuti firman Allah dan sabda Rasulullah saw dalam dakwah ilallah dan (dalam) penghidayahan orang-orang yang menyimpang dan ahli maksiat, karena Allah tidak menciptakan kita sia-sia sehingga kita ngawur sesuka kita dalam kegelapan, bahkan Dia swt tidak meninggalkan suatu kebaikan melainkan Dia telah menunjukkan kita terhadapnya dan menentukan bagi kita cara-cara yang menghatarkan kepada maksud-Nya dan ridla-Nya jalla wa ‘ala

Ini adalah ringkasan fatwa Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan ia adalah fatwa yang kecil bentuknya akan tetapi ia adalah besar nilainya terutama di zaman kita dimana sangat banyak para pengikut Syaikh itu dari kalangan yang mengikuti wassail (cara-cara) dan istishlahat (anggapan-anggapan mashlahat) yang tidak Allah turunkan dalilnya seraya mereka mengklaim nushrah dien dan penghidayahan manusia. Bahkan sesungguhnya diantara du’at zaman kita ada orang yang menyimpang dengan penyimpangan yang nyata dan melampau apayang dialakukan Syaikh itu, karena sesungguhnya Syaikh itu sebagaimana yang telah engkau ketahui hanyalah mengumpulkan mereka pada lagu senandung yang mubah akan tetapi dia ingin menjadikan laguan itusebagai qurbah (pendekatan diri) kepada Allah ta’ala dengan menjadikannya sebagai cara untuk mendakwahi manusia dan penghidayahan orang-orang yang sesat, sehingga dengan hal itu ia menjadi tercela.
Adapun banyak dari du’at zamanini, maka sesungguhnya mereka menjadikan kekafiran dan syirik kepada Allah yang Maha Agung sebagai cara/jalan/sarana yang mana mereka mengumpulkan para pengikut mereka di atasnya untuk menegakkan dan nushrah dien ini – menurut klaim mereka – seperti bersumpah untuk menghormati qawanin wadl’iyyah (undang-undang buatan), atau menampakkan sikap tawalliy dan nushrah para budak dan para pelindung UU itu terhadap para muwahhidin, atau rela dengan dien (sistem/ideologi / ajaran / falsafah) selain dienullah yang dia anut dan dia jadikan sebagai cara / jalan untuk membela dien ini – menurut klaim dia – seperti demokrasi yang mana ia adalah hukum rakyat untuk rakyat dan bukan hukum Allah untuk rakyat, sedangkan Allah ta’ala telah berfirman : “Barangsiapa mencari selain Islam sebagai dien maka tidak akan diterima (hal itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (Ali Imran : 85)
Maka termasuk kezaliman yang nyata adalah mengkiyaskan kesesatan mereka itu dengan perbuatan Syaikh tersebut – walaupun memang istishlahnya itu batil – dan sesungguhnya termasuk sikap aniayaadalah menyetarakan dan mengkiyaskan orang yang melakukan perbuatan mubah atau makruh atau termasuk juga yang haram dengan dalih membela agama ini, dengan orang yang mengkliam membela agama ini lewat cara/jalan syirik kepada Allah dan pencarian penentu hukum dan dien (hukum/sistem/falsafah/ideologi) yang beraneka ragam dan sekutu-sekutu yang bermacam-macam yang menetapkan baginya dari ajaran ini apa yang tidak Allah izinkan.
Maka untuk orang seperti mereka dan para muqallid mereka yang mengikuti mereka itu tanpa bashirah dan petunjuk kami tuturkan fatwa ini dengan apa yang dikandungnya berupa dalil-dalil yang qath’I dan bukti-bukti yang terang dengan harapan mudah-mudahan mereka meninggalkan kebatilan yang nyata itu dan mendapatkan petunjuk kepada kebenaran yang nyata, yang mana ia adalah jalan satu-satunya untuk nushrah dien ini, yaitu jalan para Nabi dan Rasul.
·         Dan posisi fatwa dari Majmu fatwa Syaikhul Islam adalah pada jilid II hal 620
·         Dan perlu diketahui bahwa saya telah melakukan sedikit ringkasan dari fatwa itu, karena Syaikhul Islam telah berbicara panjang lebar di dalamnya perihal masalah simaa’, dan saya telah memberikan komentar terhadap sebagian tempat darinya dengan komentar-komentar yang sesuai dengan tempat.

Saya memohon kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa agar menerima itu darikami dan membalas Syaikhul Islam dari kami dengan balasan yang baik. Dan akhir seruan kami adalah alhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Syaikhul Islam ‘Allamatuz Zomon Taqiyuddin Abudl Abbas Ahmad Ibnu Abdil Halim Ibnu Abdis Salam Ibnu Abdillah Ibnu Abil Qosim Ibnu Taimiyyah Al Harraniy ra ditanya tentang “suatu jama’ah” yang berkumpul untuk melakukan dosa-dosa besar : berupa pembunuhan, pembegalan, pencurian, mabuk-mabuk dan lainnya, kemudian seorang Syaikh yang terkenal dengan kebaikan dan pengikutan sunnah ingin mencegah orang-orang tersebut dari hal itu, namun dia tidak memiliki kesempatan kecuali dengan cara dia mengadakan buat mereka simaa’ yang mana mereka berkumpul di dalamnya dengan niat ini, yaitu dengan rebana tanpa memakai kecrekan”[34] dan nyanyian penyanyi dengan senandung syair yang mubah tanpa syabahah[35]. Kemudian tatkala dia melakukan hal inimaka sejumlah orang dari mereka taubat dan akhirnya orang yang tadinya tidak pernah shalat, tidak zakat dan suka mencuri menjadi bersikap hati-hati dari hal –hal syubhat, dia menunaikan faraidl dan menjauhi hal-hal yang diharamkan. Maka apakah dibolehkan perbuatan simaa’ ini bagi Syaikh ini dengan bentuk seperti ini, karena ia mendatangkan banyak mashlahat? Dan juga tidak mungkin dia mendakwahi mereka kecuali dengan cara ini?
Maka beliau menjawab : Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin
Dasar jawaban masalah ini dan yang serupa dengannya adalah : (Mesti) diketahui bahwa Allah telah mengutus Muhammad saw dengan petunjuk dan dienul haq untuk memenangkannya terhadap segala agama, dan cukuuplah Allah sebagai saksi.
Dan bahwa Dia telah memberi kabar gembira bagi orang yang mentaati-Nya dan kabar kebinasaan bagi yang durhaka kepada-Nya, Dia telah berfirman : “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (An Nisa : 69) dan Dia ta’ala berfirman : “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka jahanan, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya” (Al Jin : 23)
Dan Dia memerintahkan manusia untukmengembalikan apa yang mereka perselisihkan dari urusan agama mereka kepada apa yang Dia utus Muhammad saw dengannya, sebagaimana firman-Nya ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kkamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An Nisa : 59) dan Dia mengabarkan bahwa beliau mengajak kepada Allah dankepada jalan-Nya yang lurus, sebagaimana firman-Nya ta’ala : “Katakanlah : Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata” (Yusuf : 108), dan firman-Nya ta’ala : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apayang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan” (Asy Syura : 52-53)
Dan Dia mengabarkan bahwa beliau memerintahkan kepada hal yang ma’ruf, melarangdari yang munkar, menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk, sebagaiman firman-Nya ta’ala : “Dan ramhat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami” (yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada disisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yangmunkar dan menghalalkanbagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung (Al Araf : 156-157).
Allah telah memerintahkan Rasul-Nya saw dengan segela perbuatan ma’ruf dan melarang dari segala yang munkar, dan Dia menghalalkan segalayang baik dan mengharamkan segala yang buruk. Dia telah tsabit dari beliau saw dalam Ash Shahih bahwa beliau bersabda : “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabipun melainkan telah wajib atasnya untuk menunjukkan umatnya terhadap kebaikan apa yang dia ketahui bagi meerka dan melarang mereka dari keburukan yang dia ketahui agi mereka”[36] dan telah tsabit dari Al Irbadl Ibnu Sariyah beliau berkata : “Rasulullah saw telah memberikan kepada kami suatu wejangan yang hati takut darinya dan mata menangis darinya. Ia berkata : Maka kami berkata : Wahai Rasulullah seolah ini adalah wejangan orang yang mau meninggalkan, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami? Maka beliau berkata : Saya wasiat kepada kalian agar mendengar dan ta’at, karena sesungguhnya orang yang hidup diantara kalian sesuah saya, maka dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah al khulafa ar rasyidin al mahdiyyin setelahku, pegang eratlah dien dan hindarilah segala urusan yang diada-adakan karena setiap bid’ah adalah kesesatan”[37] dan telah tsabit juga dari beliau saw bahwa beliau bersabda : “Aku tidak meninggalkan sesuatupun yang menjauhkan kalian dari jahanam melainkan aku telah memberitahukannya kepada kalian.[38] Dan sabdanya : “Saya telah meninggalkan kalian di atas jalan yang terang, malamnya seperti siangnya, tidak menyimpang darinyasetelahku kecuali orang yang binasa.[39]
Dan bukti-bukti dalil “hal pokok yang agung lagi menyeluruh” ini adalah banyak sekali dari Al Kitab dan As Sunnah. Dan para ulama membuatkan judul dalam kitab-kitab mereka “Kitab Al I’tisham Bil Kitab Was Sunnah” sebagaimana judul yang dibuat oleh Al Bukhari, Al Baghawi dan yang lainnya. Barangsiapa berpegang erat dengan Al Kitab dan As Sunnah maka ia termasuk wali-wali Allah yang bertaqwa, barisan-Nya yang beruntung dan bala tentara-Nya yang menang. Dan salaf – seperti Malik dan yang lainnya – mengatakan : Sunnah itu seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya maka ia selamat dan barangsiapa yang tinggal darinya maka ia tenggelam”. Dan Az Zuhriy berkata : Adalah orang yang terdahulu dari ulama kita mengatakan : Berpegang kepada As Sunnah adalah keselamatan.
BILA HAL INI sudah diketahui maka diketahuilah bahwa apa yang dengannya Allah memberi hidayah kepada orang-orang yang sesat dan yang dengannya Dia membimbing orang-orang yang binasa mesti ia terbukti pada apa yang dengannya Allah telah mengutus Rasul-Nya berupa Al Kitab dan As Sunnah[40] Dan kalau tidak demikian maka sesungguhnya andaikata apa yang dengannya Allah mengutus Rasul-Nya saw itu adalah tidak cukup dalam hal itu, tentulah dien Rasul ini adalah kurang lagi butuh kesempurnaan.
Dan seyogyanya diketahui bahwa amalan shalih itu adalah Allah telah memerintahkannya baik yang bersifat kewajiban ataupun yang mustahabb. Sedangkan amalan-amalanyang rusak adalah Allah telah melarang darinya.
Dan amalan bila mengandung mashlahat dan mafsadah, maka sesungguhnya Allah Sang Pembuat hukum adalah bijaksana, bila mashlahatnya mengalahkan mafsadahnya maka Dia mensyari’atkannya, dan bila mafsadahnya mengalahkan mashlahatnya maka Dia tidak mensyari’atkannya, bahkan Dia melarang darinya[41] sebagaimana firman-Nya ta’ala : “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buru bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Al Baqarah : 216) dan Allah ta’ala berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah : pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (Al Baqarah : 219) oleh sebab itu Allah ta’ala mengharamkan keduanya setelah itu.
Dan begitu juga apa yang dipandang manusia dari amalan-amalan itu mendekatkan kepada Allah, namun Allah dan Rasul-Nya tidak mensyari’atkannya, maka ia itu mesti bahayanya lebih besar dari manfaatnya, karena seandainya manfaatnya lebih besar dominasinya terhadap bahayanya tentulah Allah tidak menelantarkannya; sebab sesungguhnya beliau saw adalah bijaksana, lagi tidak menelaktarkan mashlahat-mashlahat dien ini, dan tidak menyembunyikan dari kaum mu’minin apa yang bisa mendekatkan diri kepada Rabbul ‘alamin.
Bilahal initelah jelas, maka kami katakan kepada si penanya : Sesungguhnya Syaikh tersebut bermaksud agar orang-orang yang berkumpul terhadap dosa-dosa besar itu berta’ibat, namun dia tidak mampu melakukan hal itu kecuali dengan cara yang bid’ah itu. Ini menunjukkan bahwa Syaikh itu bodoh akan cara-cara yang syar’iy yang dengannya para ahli maksiat menjadi taubat, atau Syaikh itu lemah darinya, karena sesungguhnya Rosul saw, para sahabatdan tabiin telah mendakwahi orang-orang yang lebih buruk dari mereka itu dari kalangan orang-orang kafir, kaum fasiq dan ahli maksiat dengan cara-cara yang syar’iy yang Allah ckupkan mereka dengannya dari cara-cara yang bid’ah.
Maka tidak boleh dikatakan : Sesungguhnya dalam cara-cara syar’iy yang Allah utus Nabi-Nya dengannya tidak ada apa yang dengannya orang-orang ahli maksiat menajdi bertaubat, karena sesungguhnya telah diketahui secara pasti dan penukilan yang mutawatir bahwa telah taubat dari kekafiran, kefasikan dan maksiat orang-orang yang tidak bisa menghitung jumlahnya kecuali Allah ta’ala dari berbagai umat dengan cara yang syar’iy yang di dalamnya tidak ada apa yang tadi disebutkan berupa kumpul-kumpul yang bid’ah itu, akan tetapi as sabiqun al awwalan dari kalangan muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik – dimana mereka itu adalah sebaik-baiknya auliyaullah al muttaqin dari umat ini – telah taubat kepada Allah ta’ala dengan cara yang syar’iy bukan dngan cara-cara bid’ah ini. Dan kata-kata dan dosa-dosa kaum muslimin baik dahulu maupun sekarang penuh dengan orang-orang yang taubat kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya serta melakukan apa yang dicintai dan diridlai Allah dengan cara-cara yang syar’iy bukan dengan cara-cara yang bid’ah ini.
Maka tidak mungkin dikatakan : Bahwa para ahli maksiat tidak mungkin terjadi taubat mereka kecuali dengan cara-cara yang bid’ah ini, akan tetapi bisa dikatakan : Bahwa para Syaikh itu ada orang yang bodoh terhadap cara-cara yang syar’iy, lagi lemah darinya, yang pada dirinya tidak ada ilmu akan Al Kitab dan As Sunnah dan apa yang dengannya dia mengkhitabi manusia serta dia memperdengarkannya kepada mereka dari kalangan yang Allah terima taubat mereka, kemudian Syaikh ini berpaling dari cara-cara yang syar’iy kepada cara-cara yang bid’ah, bisa karena niat yang baik bila si Syaikh ini memiliki dien dan bisa karena tujuan ingin tampil memimpin mereka dan mengambil harta mereka dengan batil, sebagaimana firman-Nya ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah” (At Taubah : 34) maka tidak berpaling seorangpun dari cara-cara yang syar’iy kepada yang bid’ah kecuali karena kebodohan atau kelemahan atau tujuan yang buruk.[42]
Dan kalau tidak, maka termasuk suatu yang ma’lum bahwa simaa’ Al Qur’an adalah simaa’ para Nabi, ‘arifa dan mu’minin. Allah ta’ala berfirman perihal para Nabi : “Mereka itu adlaah orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah, yaitu para Nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang kami angkat bersama Nuh dan dari keturunan Ibrahim dan Ismail, dandari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkar dengan bersujud dan menangis” (Maryam : 58)
Dan Dia ta’ala berfirman tentang ‘arifin (orang-orang yang mengetahui al haq) : “Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), Kami lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui” (Al Maidah : 83)
Dan Dia ta’ala berfirman perihal ahli ilmu : “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, menyeka menyungkur atas mereka sambil bersujud, dan mereka berkata : “Maha Suci Tuhan kami : sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu” (Al Isra : 107-109)
Dan Dia ta’ala berfirman perihal kaum mu’minin : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang manafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka, itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya” (Al Anfal : 2-4). Dan firman-Nya ta’ala : “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayathnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah” (Az Zumar : 23)
Dan dengan simaa’ (mendengarkan Al Qur’an) ini Allah memberi hidayah kepada hamba-hamba-Nya, Dia meluruskan bagi mereka urusan dunia dan akhirat, Dia dengannya mengutus Rasul saw, dan dengannya beliau memerintahkan kaum muhajirin, anshar dan orang-0orang yang mengikuti mereka dengan ihsan, serta di atasnyalah salaf telah berkumpul, sebagaimana para sahabat Rasulullah saw bila mereka berkumpul mereka menyuruh seseorang diantara mereka agar membaca Al Qur’an dan mereka mendengarkannya. Dan adalah Umar Ibnul Khaththab ra berkata kepada Abu Musa : Ingatkanlah kami dengan Tuhak kami”, maka Abu Musa membaca sedangkan mereka mendengarkan. Dan di dalam Ash Shahih dari Nabi saw bahwa beliau melewati Abu Musa Al Asy’ariy saat ia membaca, maka beliau mendengarkan bacaannya, dan berkata : “Sungguh dia ini telah diberi kemerduan dari kemerduan-kemerduan keluarga Dawud”[43] dan berkata : “Tadi malam saya telah melwatimu saat kamu membaca, maka sayapun menyimak bacaanmu” maka ia berkata : “Seandainya saya mengetahui bahwa engkau menyimak (bacaan) saya, tentulah saya akan memerdukannya buat engkau”.
Dan dalam Ash Shahih bahwa beliau saw berkata kepada Ibnu Mas’ud ra : “Bacakan Al Qur’an terhadap saya”, maka ia berkata “Apa saya membaca Al Qur’an terhadap engkau sedangkan ia diturunkan kepada engkau? Maka beliau berkata : “Sesungguhnya saya ingin mendengarnya dari orang lain”, ia berkata : “Maka saya membaca terhadapnya surat An Nisa sampai pada ayat ini “(Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)” (An Nisa : 41) beliau berkata kepada saya : “Cukup” terus saya memandang kepadanya ternyata kedua matanya berlinangan air mata karena menangis.”[44] Dan terhadap simaa’ macam ini berkumpul generasi-generasi yang dipuji Rasulullah saw, dimana beliau bersabda : “Sebaik-baiknya generasi adalah orang-orang yang saya diutus ditengah mereka, kemudian generasi yang mengiringi mereka, terus generasi yang mengiringi mereka.[45]
Dan digenerasi salaf pertama tidak ada simaa’ yang mana orang-orang yang baik berkumpul terhadapnya kecuali hal ini, baik itu di Al Jaz, di Yaman, di Syam, di Mesir, di Irak, di Khurasan dan Maghrib. Dan simaa’ yang bid’ah ini hanya terjadi setelah itu. Dan Allah telah memuji orang-orang yang melakukan simaa’ (Al Qur’an) ini lagi penuh antusias terhadapnya, dan Dia mencela orang-orang yang berpaling darinya serta Dia mengabarkan bahwa ia adalah sebab rahmat. Allah ta’ala berfirman : “Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (Al A’raf : 204) dan firman-Nya ta’ala : “Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta” (Al Furqan : 73) dan firman-Nya ta’ala : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)” (Al Hadid : 16) dan firman-Nya ta’ala : “Kalau kiranya Allah mengetahui kebenaran ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu)” (Al Anfal : 23) dan firman-Nya ta’ala : “Maka kenapa mereka berpaling dari peringatan (Allah)?” seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari daripada singa” (Al Maddatstsir : 49-51) dan firman-Nya ta’ala “Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang telah diepringatkan dengan ayat-ayat dari Tuhannya lalu dia berpaling daripadanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya?” (Al Kahfi : 57) dan firman-Nya ta’ala : “Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buata”. Berkata ia : Y Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?”. Allah berfirman “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan” (Thaha : 123-126)
Dalam hal seperti ini dalam Al Qur’an sangat banyak, memerintahkan manusia agar mengikuti apa yang dengannya Allah mengutus Rasul-Nya berupa Al Kitab dan Al Hikmah (Ash Sunnah) dan memerintahkan mereka agar menyimak itu.
Dan Allah ta’ala telah mensyari’atkan simaa’ (penyimakan Al Qur’an) bagi kaum muslimin di shalat maghrib, isya dan fajr, Dia ta’ala berfirman : “dan (dirikan pula shalat) shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)” (Al Isra : 78). Dan dengan ini Abdullah Ibnu Ruwabah memuji Nabi saw, dimana ia berkata :
Dan ditengah kami ada Rasulullah yang membaca kitab-Nya
Bila cahaya fajar mulai membelah
Di malam hari dia jauhkan badan dari pembaringan
Saat orang-orang kafir tertidur nyenyak
Dia datang dengan petunjuk setelah kegelapan, sehinga hati kami
Yakin dengannya bahwa apa yang dikatakannya pasti terjadi

Dan keadaan para pelaku simaa’ ini dituturkan dalam Kitabullah berupa rasa takut dihati, mata berlinang dan kulit bergetar, sedangkan penyimakan bait-bait senandung hanyalah terjadi setelah generasi-generasi ini, dan para imam telah mengingkarinya, sampai-sampai Asy Syafi’iy rh berkata : Saya meninggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan kaum zindiq, yang mereka sebut Taghbir, mereka mengklaim bahwa ia melembutkan hati, yang dengannya mereka menghalang-halangi manusia dari Al Qur’an. Dan Al Imam Ahmad ditanya tentangnya, Apa boleh kami duduk bersama mereka di dalamnya? Maka beliau berkata : Jangan duduk bersama mereka.
Dan larangan ini berkaitan dengan mendengarkan bukan mendengar, oleh sebab itu seandainya seseorang melewati suatu kaum yang mengucapkan ucapan yang haram maka tidak wajib atas dia menutupi kedua telinganya, akan tetapi dia tidak boleh mendengarkan tanpa ada keperluan. Dan oleh karenanya Nabi saw tidak menyuruh Ibnu Umar untuk menutup kedua telingannya tatkala mendengar seruling penggembala,[46] karena ia tidak mendengarkan (menyimak) namun (hanya) mendengar.
Dan ucapan penanya dan yang lainnya : Apakah ia halal? Atau haram? Adalah lafadh yang mujmat yang di dalamnya ada talbis, yang mana terkabur hukum di dalamnya, sampai banyak mufti tidak cakap untuk menguraikan jawaban di dalamnya. Itu dikarenakan pembicaraan perihal samaa’ dan perbuatan-perbuatan lainnya terbagi menjadi dua macam
(Pertama) Apakah ia itu diharamkan? Atau tidak diharamkan? Akan tetapi dilakukan sebagaimana dilakukannya perbuatan-perbuatan lainnya yang mana jiwa merasakan nikmat dengannya, meskipun didalamnya terdapat suatu macam dari permainan dan sikap bersenang-senang seperti simaa’ (penyimakan senandung) dalam acara-acara pernikahan yang lainnya, berupa hal-hal yang dilakukan manusia dengan tujuan kenikmatan lainnya, berupa hal-hal yang dilakukan manusia dengan tujuan kenikmatan dan permainan, bukan dengantujuan ibadah dan taqarrub kepada Allah.
(Macam kedua) dilakukan dalam rangka keagamaan, iabah, perbaikan hati, permurnian kecintaan manusia kepada Tuhan mereka, pembersihan jiwa mereka dan pensucian hati mereka. Dan (dalam rangka) menggerakkan dari hati ini rasa takut (kepada Allah, inabah (kembali kepada-Nya), kecintaan, kelembutan hati dan hal serupa itu yang termasuk jenis ibadah dan ketaatan, bukan termasuk jenis permainan dan sikap bersenang-senang.
Maka wajib membedakan antara simaa’ orang-orang yang bermaksud taqarrub (kepada Allah) dengan simaa’ orang-orang yang  bermaksud melakukan permainan, dan antara simaa’ yang dilakukan manusia dalam pesta pernikahan, hari-hari bahagia dan kebiasaan-kebiasaan lainnya dengan simaa’yang dilakukan untuk perbaikan hati dan taqarrub kepada Tuhan pencipta langit, maka sesungguhnya hal ini ditanyakan tentangnya : Apakah ia sarana pendekatan diri (kepada Allah) dan ketaatan? – dan apakah ia jalan kepada Allah? Dan apakah boleh bagi mereka untuk melakukannya karena memiliki faidah (seperti) kelembutan hati, penggerakan rindu mereka kepada (Allah) kekasih mereka, pensucian jiwa mereka, pembersihankekerasan dari hati mereka dan tujuan-tujuan selain itu yang dimaksudkan dengan simaa’ terseubt? Sebagaimana orang-orang nasrani melakukan simaa’ semacam ini di dalam gereja-gereja mereka dalam bentuk ibadah dan ketaatan, bukan dalam rangka bermain-main dan bersenang-senang.
Bila hal ini sudah diketahui maka hakikat pertanyaan adalah : Apakah dibolehkan bagi si Syaikh itu dia menjadikan hal-hal ini yang mana ia itu bisa jadi hal yang diharamkan atau yang dimakruhkan atau hal yang mubah sebagai sarana mendekatkan diri, ibadah dan ketaatan serta jalan kepada Allah yang dengannya dia mengajak (manusia) kepada Allah, merangsang orang-orang maksiat untuk taubat, dan dengannya dia membimbing orang-orang bingung serta dengannya dia mengarahkan orang-orang yang sesat kepada hidayah.
Dan termasuk halyang ma’lum bahwa dien ini memiliki “dua hal pokok” maka tidak ada dien kecuali apa yang telah Allah syari’atkan, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang telah Allah haramkan, dan Allah ta’ala mencela kaum musyrikin karena sebab mereka mengharamkan apa yang tidak Allah haramkan dan mensyari’atkan ajaran yang tidak Allah izinkan.
Dan andaikata orang alim ditanya tentang orang yang berlari-lari kecil diantara dua gunung : Apakah dibolehkan baginya hal itu? Dia berkata : Ya” kemudian bila dikatakan : sesungguhnya ia sebagai bentuk ibadah sebagaimaana melakukan sai’ (lari kecil) diantara Shafa dan Marwah? Dia berkata : sebenarnya perbuatannya atas dasar tujuan ini adalah haram lagi mungkar, pelakunya disuruh taubat, kemudian bila dia bertaubat (maka diterima) dan bila tidak taubat maka dia dibunuh.[47]
Dan andaikata ditanya : tentang membuka kepala dan tentang memakai sarung dan selendang : maka ia menfatwakan bahwa ini boleh” kemudian bila dikatakan : sesungguhnya ia melakukannya sebagai bentuk ihram, sebagaimana ihramnya orang yang haji? Maka dia berkata : sesungguhnya ini adalah haram lagi mungkar.
Dan andaikata ditanya : tentang orang yang berdiri dipanas matahari, maka dia berkata : ini boleh”, kemudian bila dikatakan : sesungguhnya dia melakukannya atas dasar tujuan ibadah? Maka dia berkata : ini mungkar” sebagaimana Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra “Bahwa Rasulullah saw melihat seorang laki-laki berdiri dipanas matahari, maka beliau berkata : Siapa ini? Mereka menjawab : ini Abu Israil ingin berdiri dipanas matahari, tidak duduk, tidak berteduh dan tidak berbicara, maka Rasulullah saw berkata : suruh dia agar berbicara, duduk dan berteduh serta menyempurnakan shaumnya.”[48] Hal ini andaikata dia lakukan untuk istirahat atau tujuan yang mubah tentulah tidak dilarang darinya, akan tetapi tatkala dia melakukannya dalam rangka bentuk ibadah maka dia larang darinya.
Dan begitu juga seandainya seseorang memasuki rumahnya lewat belakang rumah, tentuhal itu tidak haram atasnya, akan tetapi bila dia melakukan hal itu dalam rangka sebagai ibadah, sebagaimana yang biasa mereka kerjakan dimasa jahiliyyah; dimana seseorang dari mereka bila ihram dia tidak masuk di bawah langit-langit, maka mereka dilarang dari hal itu, sebagaimana firman-Nya ta’ala : [Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah dari pintu-pintunya] (Al Baqarah : 189). Maka Allah ta’ala menjelaskan bahwa ini bukan kebajikan, meskipun ia bukan haram, namun barangsiapa melakukannya dengan anggapan kebajikan dan taqarrub kepada Allah maka ia maksiat lagi tercela juga mubtadi (ahli bid’ah), sedangkan BID’AH itu lebih dicintai iblis daripada maksiat, karena orang yang berbuat maksiat mengetahui bahwa ia itu berbuat maksiat sehingga bisa taubat, sedangkan mubtadi itu mengira bahwa yang dilakukannya adalha ketaatan sehingga tidak taubat.
Oleh sebab itu orang yang menghadiri simaa’ untuk bermain dan bersenang-senang tidak menganggap perbuatannya itu sebagai bagian dari amal solehnya dan dia tidak mengharapkan pahala dengannya. Dan adapun orang yang melakuannya atas dasar anggapan bahwa ia adalah jalan kepada Allah ta’ala maka sesungguhnya dia menjadikan hal itu sebagai dien, dan bila dia dilarang darinya maka ia seperti orang yang dilarang dari diennya,[49] dan ia memandang bahwa ia telah terputus dari Allah dan dihalangi dari bagiannya dari Allah bila ia meninggalkannya. Maka mereka itu adalah orang-orang yang sesat dengan kesepakatan ulama muslimin, dan tidak seorangpun dari para imam kaum muslimin mengatakan : Sesungguhnya menjadikan hal ini sebagai ajaran dan jalan kepada Allah ta’ala adalah hal yang mubah, bahkan justru orang yang menjadikan hal ini sebagai ajaran dan jalan kepada Allah ta’ala adalah orang yang sesat yang mengada-ada lagi menyelisihi ijma kaum muslimin. Dan barangsiapa (hanya) melihat kepada dhahir amalan dan berbicara atas dasarnya dan dia tidak melihat kepada perbuatan si pelaku dan niatnya maka ia bodoh lagi berbicara dalam dien ini tanpa ilmu.
Maka pertanyaan tentang hal seperti ini adalah dikatakan : Apakah yang dilakukan mereka itu adalah jalan, qurbah dan ketaatan kepada Allah ta’ala yang dicintai Allah ta’ala dan Rasul-Nya ataukah tidak? Dan apakah mereka itu diberi pahala atas hal itu ataukah tidak? Dan bila hal ini bukan qurbah, ketaatan dan ibadah kepada Allah, terus mereka melakukannya atas anggapan bahwa ia adalah qurbah, ketaatan, ibadah dan jalan kepada Allah ta’ala, apakah halal keyakinan ini bagi mereka? Dan amal ini atas dasar anggapan ni?
Dan bila pertanyaannya atas dasar sisi ini maka orang yang alim yang mengikuti Rasul saw tidak mungkin mengatakan : Bahwa ini termasuk qurbah dan ketaatan, dan bahwa ia termasuk macam ibadah, dan bahwa ia termasuk jalan Allah ta’ala serta sarana-Nya yang mana merka itu mengajak (manusia) dengannya kepada Allah, dan tidak (mungkin orang alim itu mengatakan) bahwa ia termasuk apa yang dengannya Allah ta’ala memerintahkan haba-hamba-Nya; baik perintah yang bersifat kewajiban maupun perintah yang bersifat istihbab. Sedangkan suatu yang bukan termasukwajibat dan mustahabbat maka ia itu bukanlah hal yang terpuji, bukanpulahal yang baik, bukan pula sebagai ketaatan dan bukan pula ibadah dengan kesepakatan kaum muslimin.
Barangsiapa melakukan suatu yang bukan kewajiban dan bukan pula mustahab atau dasar anggapan bahwa ia termasukjenis kewajiban atau mustahab maka ia sesat lagi ahli bid’ah, dan perbuatannya atas dasar anggapan ini adalah haram tanpa ada keraguan.[50] Apalagi banyak dari kalangan yang menjadikan simaa’ yang muhdats (bid’ah) ini sebagai jalan (dakwah) mereka mengedepankannya terhadap simaa’ Al Qur’an dari sisi ketersentuhan hati dan perasaan, dan bisa saja mereka mengedepankannya terhadapnya dari sisi keyakinan, dimana kamu mendapatkan mereka mendengarkan Al Qur’an dengan hati yang kosong, lisan yang lalai, gerakan yang tidak menentu  serta suara yang tidak disertai hati dan tidak dijiwai, namun bila mreka mendengar “mukaa” dan “tashdiyah”[51] maka hati mereka menyimak, terjadi kontak yang dicintai dengan yang mencintai,  suarapun sunyi tenang dan gerakan pun berhenti senyap, sehingga tidak ada batuk, tidak ada bersin, tidak ada gaduh dan tidak ada teriakan. Dan bila mereka membaca sesuatu dari Al Qur’an atau mendengarnya maka itu dilakukan secara dipaksakan dan dibuat-buat, seperti halnya orang yang mendengarkan sesuatu yang tidak ia perlukan dan tidak ada faidah baginya di dalamnya, namun bila mereka mendengar seruling setan maka mereka mencintainya, antusias kepadanya dan ruh mereka menyimaknya.
MAKA MEREKA itu adalah bala tentara syaitan dan musuh-musuh Ar Rahman. Mereka mengira bahwa diri merka itu bagian dari wali-wali Allah yang bertaqwa, padahal keadaan mereka  ini sangat serupa dengan keadaan musuh-musuh Allah yang munafik. Karena sesungguhnya orang mu’min itu mencintai apa yang Allah ta’ala cintai dan membenci apa yang Allah ta’ala benci, dia loyal kepada wali-wali Allah dan memusuhi musuh-musuh Allah, sedangkan mereka itu malah mencintai apa yang Allah benci dan membenci apa yang Allah cintai, mereka loyal kepada musuh-musuh Allah dan memusuhi wali-wali-Nya.[52] Dan karena hal ini terjadilah bagi mereka bisikan-bisikan syaitan sesuai kadar senandung syaitan yang mereka lakukan. Dan semakin jauh mereka dari Allah dan Rasul-Nya serta jalan kaum mu’minin maka semakin dekat mereka dari musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya serta (dari) bala tentara syaitan.
Diantara mereka ada yang terbang di udara padahal syaitanlah yang membawa dia terbang diantara mereka adayang membuat kesurupan hadirin padahal syaitan-syaitannya-lah yang membuat mereka kesurupan, dan diantara mereka ada yang menghadirkan makanan dan lauk pauk serta memenuhi poli dari udara padahal syaitanlah yang melakukan itu. Maka orang-orang bodoh mengira bahwa ini termasuk karamah wali-wali Allah yang bertaqwa, padahal sebenarnya termasuk jenis perbuatan para dukun, tukang sihir dan syaitan-syaitan sejenis mereka lainnya. Sedangkan orang yang bisa membedakan keadaan-keadaan yang berasal dari Ar Rahman danyang berasal dari jiwa dan syaitan maka tidak terkabur atasnya al haq dengan al batil.
Wal billahi taufiq wallahu a’lam. Shalawat dan salam semoga Allah melimpahkannya kepada Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.


Ucapan Mutiara


·         [Hati-hatilah kamu dari penguasa (jangan) kamu mendekati dari mereka atau berbaur dari mereka dalam sesuatu hal apa saja, dan hati-hatilah kamu tertipu dan dikatakan kepada kamu “Agar kamu menjadi perantara yang membantu dan membela orangyang didzalimi atau mengembalikan hak” karena sesungguhnyaitu adalah tipuan iblis, dan itu hanya dijadikan tangga oleh ahli baca yang bejat]” (Dari Hilyab, karya Abu Nu’aim : 6/376-377)

·         [Dan setiap yang tidak tercapai kepadanya kecuali dengan amalan yang haram maka ia haram selamanya, … dan ini termasuk bukti-bukti yang pasti lagi diketahui dengan awal perabaan dan sepontan akal. Dan baransiapa yang menyelisihi di dalamnya maka dia adalah orang yang ngawur lagi menolak suatu yang nyata terang. Wabillahi taufiq] Ibnu Hazm – Al Ihkam Fi Ushulil Ahkom (1/328)

·         [Maka tidak berpaling seorangpun dari cara-cara yang syar’iy kepada yang bid’ah kecuali karena kebodohan atau kelemahan atau tujuan yang buruk] (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)

·         [Tidak boleh menetapkan hukum dengan sekedar istihsan dan istishlah, karena sesungguhnya itu adalah pensyari’atan bagi dien ini dengan ra-yu (pikiran), sedangkan itu adalah haram berdasarkan firman-Nya ta’ala : “Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan yang mensyari’atkan bagi mereka dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan” (Asy Syura : 21)] (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Ash Sharim 331)

·         [Maka tidak boleh para pembawa dakwah ini memperhitungkan hitungan hasil-hasil ini, namun yang wajib adalah mereka berjalan di atas manhaj dakwah yang jelas dan tegas lagi tepat dan mereka membiarkan hasil-hasil istiqamah ini kepada Allah, dan tidak akan terbukti kecuali kebaikan diakhir perjalanan.
Dan ini adalah Al Qur’anul Karim mengingatkan merka kepada keberadaan bahwa syaitan selaku mengintai keinginan mereka untuk bisa menembus dari arahnya kepada inti dakwah] (Sayyid Quthub)


Penterjemah :
Selesai 25 Dzul Qa’dah 1427 H di Sija Bandung





[1] Lihat buku kecil ”Amiruna Wa Amiruhum” dan ia adalah perbandingan antara Al Faruq dengan Macchiavelli karya Muhammad Rawwa Qal’ajiy
[2] Perhatikan hal ini, kemudian lihatkan ini, kemudian lihatlah para realita para thaghut masa kini; tentu engkau melihat hal yang mengherankan.
[3] Ushulul Ahkam karya Al Amidiy 4/213
[4] Lihatlah Raudlatun Nadhir karya Ibnu Qudamuh halaman: 147 atau Mudzakirah Al Ushul karya Asy Synqithiy halamam: 167
[5] Irsyadul Fuhul 140
[6] Yang di maksud dengan “seorang pun” di sini: adalah orang-orang yang dianggap dari kalangan ulama dan orang-orang yang mengerti. Adapun Ruwaibidlah yang melantarkan apa yang tidak mereka ketahui dan berbicara dengan apa yang tidak mereka ilmui dari kalangan yang hari ini tampil berbicara dalam urusan dien yang paling berbahaya, maka mereka itu telah berani untuk mengatakan apa yang lebih buruk dan lebih busuk dari itu.
[7] Beliau maksudkan dalam Ushulul Fiqh dan bab-bab adillatul uhkam.
[8] Dikeluarkan secara marfu dari ibnu Mas’ud oleh Abu Dawud Ath Thaya Lisiy. Ath Thabraniy dan yang lainnya, dan  diriwayatkan secara marfu’ dari Anas dengan Isnad yang gugur, lihat Kasyful Khafa wa Muzilul Ilbas hadist no: 2214
[9] Lihat Mabhats Ijma dalam Irsyadul Fuhul sebagai contoh.
[10] Lihatlah Ushul Al Ahkam karya Al Amidiy 4/5/2 dan Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam karya Ibnu Hazm 2/187,  serta lihat Sultab Para Ulama Al ‘Izz ibnu Abdussalam.
[11] Dan ucapannya setelah itu: “...dan tidak mengatakan di dalamnya kecuali orang yang alim akan ijtihad lagi mengerti untuk menyerupakan atasnya...” adalah jelas bahwa beliau memaksudkan qiyas, oleh sebab itu beliau bekata setelah itu: “...dan bila halnya seperti itu maka wajib atas orang alim untuk tidak berkata kecuali dari arah ilmu, sedangkan arah ilmu adalah khabar yang lazim untuk qiyas dengan bukti-bukti terhadap kebenaran, agar ahli ilmu itu selalu mengikuti khabar, dan pencari khabar dengan qiyas sebagimana orang yang menghadap ka’bah dengan melihat langsung dan orang yang berupaya menghadapnya dengan berdalil dengan tanda-tanda sembari berupaya keras...”
[12] Dari Irsyadul Fuhul halaman 240
[13] Perhatikan, ini pada orang alim...!!! Maka bagaimana dengan para pengekor yang tidak mencium bau ilmu dan tidak mengetahui apa rasanya
[14] Raudlatun Nadhir  Wa Junnatul Munadhir halaman 149
[15] Lihatlah Madzakkaah Al Uahul  milik Asy Syinqithiy halaman: 170       
[16] Irsyadu Fuhul halaman: 242
[17] Raudlatun Nadhir Wa Junnatul Munadhir halaman: 149
[18] Sebagian ulama menjadikan nasab dan kehormatan satu, sehingga jumlahnya menjadi lima, dan telah kami jelaskan dalam kitab kami “Kasyfun Niqab’an Syari’atil Ghab” bagaimana bahwa syari’at telah datang untuk melindungi dlaruriyyat ini, dan bahwa qawanin wadl’iyyah (undang-undang buatan) yang dibuat oleh para thaghut bekerja siang malam untuk menghancurkannya.
[19] Lihat Raudlatun Ndhir Wa Jannatul Munadhir, karya Ibnu Qudamah halaman: 150
[20] Dari Manhumah Al Quwa’id Al Fiqhiyyag karya Abdurrahman Ibnu Washir As Sa’diy, dahulu saya telah mempelajarinya dan saya merapikan syarahnya serta saya tambahkan kepada isi aslinya faisah yang beraneka ragam di awal masa thalabul ilmi
[21] Begitu dalam catakan Majmu Al Fatwa, dan bisa jadi yang benar adalah (dalam) sebagaimana ia jelas dari konteksnya karena pembicaraan itu dalam hal celaan mashlahat-mashlahat  yang kosong dari dalil
[22] Terbitan Ad Dar As Salafiyyah di Kuwait,dan ini bukanlah satu-satunya tempat yang dikritik terhadapnya. Kitab ini pada dasarnya di susun dalam rangka melegalkan keikutsertaan dalam parlemen legislatif dan wasaail dakwah modern lainnya yang sejalan dengan jalan orang-orang kafir dan yang menyebrangi jalan kaum mu’minun sebagaimana ia nampak pada pembukaannya.
[23] Dan dia dalam masalah ini telah di bantu oleh Syaikh Ali Al Ja’faniy Al Yamaniy rh yang di hukum mati di Hijaz setelah tragedi Al Haram tahun 1400 H, dalam risalah yang beliau nemai kasyful Haqaiq.
[24] Seagai contoh silahkan lihat kitab (Lid Du’at Faqath), milik Jasmin Al Muhalhil Al Yasin halaman:231 dan kitab( hukmul Musyarakah Fil Wil Wizarah Wal Majalis An Niyabiyyuh) halaman: 91
[25] Dari ucapan Ibnul Qayyim dan dituturkan juga oleh Abil’lzzi dalam Syarh Ath Thahawiyyah.
[26] Lihat halaman 88 dari kitab “Hukum Musyarakah Fil Wizarah Qal Baralamat At Tasyri’iyyah karya Umar AlAsyqar dan di dalamnya ada istidlal dengan ucapan saikhul islam Ibnu Taimiyyah dalam bab peraihan mashlahat terbesar dari dua mashlahat terbesar dalam kehidupan ini” yaitu perealisasian tauhid dan kuffur kepada thaghut.
[27] Perhatikan : Ini adalah mashlahat umum yang dlaruriy (sangat penting)!! Sedangkan keadaan negeri adalah seperti itu, namun demikian tetap Al Khalifah Ar Rasyid tidak mau membuat mashlahat yang menyelisihi sunnah dan al haq
[28] Dari Tarikh Al Khulafa karya As Sayuthiy hal 237, dan berkata setelah itu hal 241 (Semua yang saya utarakan telah dimusnahkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah) dan lihat juga dalam Asy Sifa karya Al Qadliy ‘Iyadl 2/15
[29] Lihat Siyar A’lam An Nubala 7/229. Todzkiratul Hafidh 1/203 dan Hilyatul Auliya 6/356 serta yang lainnya.
[30] Al Bidayah wan Nihayah 12/282-283
[31] Perhatian : Adz Dzahabiy berkata dalam siyar A’lamin Nubala 21/368 : (Semoga Allah merahmati dan memaafkannya, andai saja beliau tidak menceburkan diri pada takwil)
[32] Dan berkata hal 122 : “Dan secara umum, Sesungguhnya masuk mendatangi para penguasa itu adalah bahaya yang besar, karena niat bisa jadi baik di awal masuknya terus ia berubah dengan sebab penghormatan dan pemberian mereka, atau dengan sebab menginginkan apa yang ada pada mereka, dan tidak tahan dari berbasa-basi kepada mereka dan (dari) meninggalkan pengingkaran terhadap mereka. Dan sungguh Sufyan Ats Tsauriy ra berkata : (Saya tidak takut dari penghinaan mereka kepada saya, namun hanyalah saya takut dari penghormatan mereka sehingga hati saya cenderung kepada mereka). Dan sungguh para ulama salaf menjauh dari para penguasa tatkala nampak siap aniaya mereka, kemudian umara mencari-cari mereka karena kebutuhannya kepada mereka dalam hal fatwa dan penanganan urusan, kemudian tumbuhlah orang-orang yang kuat kecintaan mreka terhadap dunia terus mereka mempelajari banyak ilmu yang layak bagi umara dan mereka membawanya kepada mereka untuk mendapatkan (bagian) dari dunia mereka”
[33] Ia adalah risalah yang indah yang beliau kirim kepada saudaranya Aminah Quthub yang untuk pertama kalinya diterbitkan Majalah Al Fikr Tunisia dengan judul “Adlwaa Min Ba’id” dan itu pada volume VI, tahun keempat beberapa kali terbitan. Dan ucapan yang di atas adalah pada poin (15) darinya hal 26
[34] Syaikhul Islam rh dalam jawabannya ini tidak menyinggung-nyinggung ucapan si penanya disini “dengan rebana tanpa mekakai kecrekan” akan tetapi beliau berkata ditempat lain “… sebagaimana diruhshahkan bagi wanita menabuh rebana dipernikahan dan hari-hari bahagia, adapun laki-laki dimasa Rasulullah maka tidak seorangpun diantara mereka menabuh rebana dan tepuk tangan, justru telah tsabit dalam Ash Shahih dari beliau bahwa beliau berkata : tepuk tangan itu hanya bagi wanita dan tasbih buat laki-laki dan beliau melaknat wanita-wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita. Dan dikarenakan menyanyi, menabuh rebana dan tepuk tangan itu termasuk perbuatan wanita, maka salaf menamakan laki-laki yang melakukan hal itu sebagai banci dan menamakan kaum pria yang menyanyi sebagai banci-banci, dan ini adalah masyhur dalam ucapan mereka” Lihat risalah ke 13 dalam hal simaa’ dan raqsh(daget) dari Majmu’atur Rosuail Al Kubra 2/301
Apakah rela dengan cap semacam ini orang-orang yang menyebarkan nasyid-nasyid mereka dengan rebana di tengah-tengah pemuda kaum muslimin dengan dalih pengadaan solusi pengganti bagi lagu-lagu yang cabul (yaitu dalih mashlahat dakwah)!! Dan sungguh iblis telah membuktikan kebenaran dugaannya terhadap mereka, dimana dia menipu mereka dengan talbis-talbis yang batil ini. Dan seandainya mereka kembali kepada diri mereka sendiri dan mereka berpikir; apakah mereka lebih pintar dan lebih bijaksana daripada Rasulullah saw serta lebih perhatian terhadap dakwa ini? Dan kemudian, sedandainya hal itu baik tentulah Rasulullah tidak ketinggalan dengannyadan tentumereka tidak akan lebih mendahului beliau kepadanya.
[35] Syababah diambil dari syabbahu yusyabbibu, yaitu menceritakan wanita, dan tasybibu asy syi’ri artinya : melembutkan senandung syair dengan menyebutkan wanita.
Dan Syababah : seruling, salah satu alat simaa’
[36] HR Muslim (Al Imarah 46) dari Abdullah Ibnu Amr Ibnul Ask dengannya lafadh (sesungguhnya tidak ada seorang Nabi pun sebelumku melainkan wajb atasnya ….) dan terhadap hal itu dibawalah ucapan Syaikhul Islam “telah tsabit darinya dalam Ash Shahih” dan bukan dan bukan terhadap Al Bukhari, dan begitu juga diriwayatkan oleh An Nasai 7/153 dan Ibnu Majah no 3956 serta Ahmad 2/191.
[37] Musnad Ahmad 4/126-127, Abu Dawud (Tohun5), At Tirmidziy (Kitabul ilmi 16), Ad Darimiy (Muqaddimah 16) dan yang lainnya
[38] Juz dari hadits mursal yang diriwayatkan Abdurrazaq dalam mushannafnya (20100) dari ‘Imron Kawan Ma’mar
[39] Musnad Al Imam Ahmad 4/126, Ibnu Majah dalam Al Muqaddimah dengan nomor 43 dari hadits Al Irbadl Ibnu Sariyah yang lalu, dan IbnuMajah meriwayatkan seperti lafadh ini dari Abu Ad Darda secara marfu, beliau sebutkan dalam Al Muqaddimah hadits no 5
[40] Dan ini adalah ringkasan jawaban terahdap pertanyaan si penanya
[41] Dan kamu sudah mengetahui dalam uraian yang lalu bahwa timbangan Mshlahat dan mafsadah hanyalah Allah Sang Pembuat hukum yang Maha Bijaksana, bukan kepada hawa nafsu dan istihsan.
[42] Perhatikan ucapan yang  sangat berharga ini, karena sesungguhnya ia hampir bisa menjadi kaidah yang umum (qaidah kulliyyah) pada keadaan-keadaan manusia secara umum dan du’at secara khusus. Dan orang yang mengamati perihal keadaan para du’at zaman kita ini lagi memperhatikan realita mereka, ia akan mengetahui kebenaran ucapan Syakhul Islam ini dan firasatnya, karena sesungguhnya keberpalingan para du’at dari manhaj para nabi atau sikap acuh (tafrith) mereka dalam penerapan millah ibrahim secara praktek perbuatan dalam realita dakwah ilallah adlaah hanya terjadi karena salah satu dari tiga sebab ini, yaitu bisa jadi karena kebodohan akan hakikatnya, atau lemah (tidak mampu) dari menanggung resiko-resikonya yang berat dan kesukaran, kesulitan serta ujian yang menghampirinya, atau karena tujuan yang buruk berupa kekuasaan, atau jabatan atau kepemimpinan atau keanggotaan di Dewan Perwakilan atau harta. Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam, karena sesungguhnya beliau melihat dengan cahaya syari’at, furqan at taqwa dan firasat mu’min.
[43] Lihat Al Bukhariy (Fadlailul Qur’an 9/92, dan Muslim (Shalatul Musafirin) bab 34 no 236 dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan para penulis As Sunnah
[44] Al Bukhariy (Kitab At Tafsir 8/250 dan Muslim (Shalatul Musafirin) bab 40 dan yang lainnya
[45] Lihat Al Bukhari, Kitab Asy Syahadat 9, Fadlail Ash Shahabah 210 dan yang lainnya
[46] HR Abu Dawud dalam unannya, kitabul adab (bab karahiyyatil ghina waz zamri)
[47] Saya katakan : Bila ini adalah ucapan Syaikhul Islam perihal orang yang menjadikan sebagian hal-hal mubah sebagai ibadah dan qurbah kepada Allah ta’ala, maka bagaimana gerangan dengan orang yang menjadikan suatu yang haram atau kekafiran seperti itu, sehingga dia taqarrub kepada Allah dengan kekafiran yang nyata atau kemusyrikan yang jelas, seperti orang yang bersumpah untuk menghormati UUD syirik dan UU kafir dan menampakkan pembelaan terhadap wali-walinya dan dia menerima untuk menjadi musyarri’ (pembuat hukum/UU/UUD) menurut UUD itu seraya mengklaim bahwa dalam hal itu ada pembelaan bagi dien ini dan mashlahat dakwah? Kita memohon ‘afiyah dan keselamatan kepada Allah.
[48] Lihat Al Bukhariy Kitabul Aiman Wan Nadzur 11/586 dan diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan yang lainnya.
[49] Sebagaimana ia keadaan banyak du’at yang menjadikan dari jalan-jalan yang bengkok lagi menyimpang darijalan para nabi sebagai dien (paham/ajaran/pegangan), maka sesungguhnya mereka itu membela-belanya sebagaimana orang membela-bela diennya, dan oleh sebab itu mereka menvonis bid’ah orang yang menyelisihi mereka di dalamnya dan mencapnya dengan cap-cap keberlepasan dari dien atau dengan sebuta khawarij danahli-ahli bid’ah lainnya. Berbeda halnya dengan orang yang menjadikan hal itu sebagai amal yang bersifat duniawiy semata ….!!
[50] Maka sebagaimana dengan orang yang melakukan suatu yang haram atau kekafiran atas dasar anggapan bahwa ia itu bagian dari kewajiban dien ini dan mashlahat dakwah??
[51] Mukaa adalah siulan, dan tashdiyah adalah tepuk tangan. Dan ia yang berasal dari firman-Nya ta’ala tentang kaum musyrikin : Sembahyang mereka disekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan” (Al Anfal : 35). Di dalamnya ada isyarat kepada penyerupaan para pelaku simaa’ tersebut dengan kaum musyrikin itu pada sesuatu dari ibadah mereka.
[52] Alangkah cocoknya ucapan Syaikhul Islam ini terhadap banyak orang dari kalangan yang menyandarkan diri kepada dakwah dan dien dari kalangan jama’ah-jama’ah Tajahhum dan Irja di zaman ini, dimana mereka itu membenci kaum muwahhidin yang memusuhi para thaghut lagi berlepas diri dari kebatilan mereka, membenci jalan mereka, menganggap bodoh mereka dan mencela dakwah mereka, diwaktu yang mana mereka menompakkan di dalamnya sikap nushrah para thaghut atau membela-bela mereka, menambal kebatilan merka dan menegakkan syubhat yang batil untuk melegalkannya – seperti pujian mereka terhadap demokrasi, dan pembelaan mereka terhadap UU dan UUD – atau mereka menegakkan syubhat dalam rangka menganggap ringan kebatilan itudengan klaim mereka bahwa ia meskipun batil namun tidak sampai kepada kemusyrikan dan kekafiran yang mengeluarkan dari millah, akan tetapi ia adalah kufrun duna kafrin.
Sesungguhnya pandangan itu tidak buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang ada di dada
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive