Ketika Mashlahat Dakwah
Dipertuhankan
Dan Menjadi Thaghut Model Baru
Penulis Kitab:
Syaikh Abu Muhamad ‘Ashim Al Maqdisiy
Alih bahasa:
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Tauhid dan
jihad
Pendahuluan
Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah,
kami memuji-Nya meminta pertolongan kepada-Nya dan memohon ampun dari-Nya serta
kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan dari keburukan amalan
kami, barang siapa Allah memberinya hidayah maka tiada satupun yang bisa menyesatkanya,
dan barang siapa Allah menyesatkanya maka tiada satupun yang bisa memberinya
petunjuk. Siapa bersaksi bahwa tiada ada tuhan yang berhak disembah kecuali
Allah saja tiada sekutunya bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya.
Wa Ba’du:
Sesungguhnya perkataan yang paling benar
adalah Kitabullah ta’ala dan tuntunan yang paling baik adalah tuntunan Muhammad
saw, serta urusan yang paling buruk adalah yang diada-adakan, sedangkan setiap
yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah kesesatan, serta
kesesatan itu di neraka.
tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ
Allah ta’ala berfirman: “Pada hari itu telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu.” (Al Maidah: 3)
$¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx«
Dan Dia swt berfirman pula: “Tidaklah kami alpakan sesuatupun di dalam
Al Kitab.” (Al An’am: 38)
Dan Dia subhanahu
wa ta’ala mengatakan:
¨br&ur #x»yd ÏÛºuÅÀ $VJÉ)tGó¡ãB çnqãèÎ7¨?$$sù ( wur (#qãèÎ7Fs? @ç6¡9$# s-§xÿtGsù öNä3Î/ `tã ¾Ï&Î#Î7y 4 öNä3Ï9ºs Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÎÌÈ
“Dan bahwa (yang kami
perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia: dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan yang (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu
agar kamu bartaqwa.” (Al An’am: 153)
Dan firman-Nya swt:
(#qãèÎ7®?$# !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB óOä3În/§ wur (#qãèÎ7Fs? `ÏB ÿ¾ÏmÏRrß uä!$uÏ9÷rr& 3 WxÎ=s% $¨B tbrã©.xs? ÇÌÈ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
Ini adalah ayat-ayat yang tegas serta muhkam
perihal pengguguran ibtida’ (sikap
mengada-ada) dan ikhtira’ (penciptaan
hal baru) dalam dien ini, dan perihal pengguguran ra-yu (pendapat), istihsan
(penganggapan baik) dan istishlah
(penilaian maslahat) yang berdasarkan syahwat lagi berdiri tanpa landasan dalil
syar’i.
Dilalah ayat-ayat ini sama sekali tidak
dihiraukan oleh banyaknya Ruwaibidlah
masa kini, dan mereka malah berupaya menghancukan ikatan-ikatan keimanan dan
pilar-pilar dien, dimana mereka memainkanya secara mendasar dan lancang
menampilkan bangunan mereka yang rapuh yang tidak di bangun di atas taqwa dan
ridlo dari Allah, mereka berani berbicara dalam
agama Allah ini dengan apa yang tidak mereka miliki ilmunya dan mereka
berceloteh dengan apa yang tidak mereka miliki pengetahuan tentangnya , mereka
posisikan diri mereka sebagi masyarri’in (para pembuat hukum) yang membuat
istihsan dan istishlah dalam dienullah dan dakwa-Nya apa yang mereka inginkan
dan mereka sukai.
Seolah mereka dengan lisan keadaan mereka
mengira bahwa Allah telah membiarkan dien ini begitu saja bagi mereka tanpa
dlawabith (batasan-batasan) dan tanpa hudud (rambu-rambu) agar mereka bisa
mengacak-acak didalamnya sesuka mereka dengan hawa nafsunya dan istilah mereka
yang rusak lagi betul.
Padahal sesungguhnya Allah ta’ala telah
berfirman seraya mengingkari mereka:
óOçFö7Å¡yssùr& $yJ¯Rr& öNä3»oYø)n=yz $ZWt7tã öNä3¯Rr&ur $uZøs9Î) w tbqãèy_öè?
Apakah kamu mengira,
bahwa sesungguhnya kami meciptakan kamu secara main-main (saja).” (Al Mu’minun: 115)
Dan berfirman juga:
Ü=|¡øtsr& ß`»|¡RM}$# br& x8uøIã ´ß ÇÌÏÈ
“Apakah manusia mengira,
bahwa ia akan dibiarkan begitu saja.” (Al Qiyamah: 36)
Dan Dia menjelaskan bahwa yang berbicara
dalam agama Allah lagi berkomentar di dalamnya tanpa dasar ilmu adalah
senantiasa termasuk para pendusta sampai dia mendatangkan bukti dalil yang
benar terhadap klaimnya, Dia berfirman:
Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 cqãZÏB÷sã ÇÏÍÈ
“Katakanlah: unjukanlah
bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (An Nahl: 64)
Ini adalah lembaran-lembaran yang telah
saya tulis beberapa tahun ke belakang, di dalamnya saya mengkaji masalah
istislah dan istihsan, serta didalamnya saya jelaskan kerusakan jalan yang
dianut oleh ahli bid’ah, karena menjalarnya bencana dengan sebab itu di zaman
kita ini dan bergabungnya banyak manusia dengan kaum musyrikin serta masuknya
mereka di jalan-jalan mereka lewat pintu-pintu ini.
Di akhir lembaran-lembaran ini saya telah
mengupas fatwa yang indah milik syaikhul islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah yang berkaitan dengan
materi ini, saya mengutipnya dari Majmu Fatwa beliau, saya meringkasnya dan
menyusunya serta memberi komentar atasnya.
Saya memohon kepada Allah ta’ala semoga Dia membukakan dengan upaya yang
sederhana ini telinga-telinga yang tuli, mata-mata yang buta, serta hati-hati
yang tertutup, dan semoga amalan kami ini menjadi amalan soleh yang tulus
mengharapkan wajah-Nya yang Mulia sesungguhnya Dialah yang berhak akan itu dan
yang kuasa terhadapnya.
`yJsù ÏÌã ª!$# br& ¼çmtÏôgt ÷yuô³o ¼çnuô|¹ ÉO»n=óM~Ï9 ( `tBur ÷Ìã br& ¼ã&©#ÅÒã ö@yèøgs ¼çnuô|¹ $¸)Íh|Ê %[`tym $yJ¯Rr'2 ߨè¢Át Îû Ïä!$yJ¡¡9$# 4 Ï9ºx2 ã@yèøgs ª!$# }§ô_Íh9$# n?tã úïÏ%©!$# w cqãZÏB÷sã ÇÊËÎÈ
“Barangsiapa yang Allah
menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya
untuk (memeluk dien) islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah
kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah
dia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada
orang-orang yang tidak beriman.” (Al An’am: 125)
Abu
Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy
Para Juru Dakwah Penganut Aliran
Macchiavelli
Niccola Macchiavelli adalah orang kafir
asal Itali yang lahir tahun 1469 M, dia bergabung dalam dunia politik selama 14
tahun kemudian dia di copot dari jabatan politiknya setelah itu, kemudian dia
menyendiri di rumahnya yang berada di ladang pertanian dan dia mengkhususkan
diri untuk mempelajari sejarah. Kemudian dia menuangkan ringkasan
pengalaman-pengalaman politiknya dan pengamatan-pengamatan yang beraneka ragam
dalam sebuah buku yang berjudul “Sang Pemimpin”. Dia pun mati tahun 1527 M dan
meninggalkan buku itu yang dianggap oleh para politisi modern sebagai tuntunan
terbesar bagi mereka. Dan para ahli kritik dan para pengkaji memandang bahwa
bukunya ini adalah sekolahan yang mana mayoritas para penguasa di zaman modern
ini meluruskan darinya serta komitmen dengan metodenya, padahal sebenarnya dia
itu tidak membawa hal baru di dalamnya, akan tetapi apa yang dia lakukan adalah
dia mengumpulkan apa yang berceceran berupa prilaku para pemimpin barat dan
para panglima mereka di abad-abad pertengahan, dia bukukan dan tampakkan apa
yang di rahasiakan jiwa-jiwa mereka serta menghadirkannya di hadapan para
politikus. Di dalamnya dia memaparkan apa yang dia anggap sebagai kaidah-kaidah
yang besar yang memberikan andil dalam keberhasilan si pemimpin dalam
kekuasaanya serta mengokohkan pilar-pilar kekuasaannya tanpa mengikat diri
dengan pertimbangan akhlak atau agama apapun karena dia benar-benar telah
memisahkan politik dari norma-norma
akhlak[1]
Dan diantara kaidah-kaidah dan
pondasi-pondasinya itu adalah:
·
Buruk sangka terhadap rakyat
·
Meninggalkan akhlak yang mulia dan etika yang lurus
·
Tidak peduli dengan sikap-sikap tercela, baik itu kezaliman atau
persekongkolan busuk atau khianat atau penumpahan darah atau pencekikan
kebebasan.
·
Bersikap munafik, karena sikap ini menjamin baginya keberlangsungan
tetap dalam kekuasaan.
·
Melanggar janji dimana tidak layak bagi sang pemimpin untuk
menjaga perjanjian bila berbenturan dengan sebagian kepentingannya.
·
Bersikap buruk
·
Bersikap pelit
·
Mengangkat tameng dari sejumlah orang yang menjaganya dari kemarahan
rakyat dengan cara dia menyerahkan kepada mereka pelaksanaan kewajiban yang di
benci dan tidak disukai rakyat, lalu bila ada kebaikan maka di alamatkan kepada
mereka. Dan dia mesti membuat senang tameng ini dengan cara memberiakn
kelonggaran kepada mereka dan mempermudah dihadapan mereka jalan-jalan
kemewahan dan kekayaan. Dan tidak ada halangan saat ada bahaya dan kondisi
mendesak dia memainkan para nan juru selamat bagi rakyatnya, dimana dia
menggantikan tameng-tameng itu atau menghabiskan bila memang itu harus , maka
itulah puncak kecerdasan.[2]
·
Dan diantara hal yang paling penting dari itu semuanya adalah
tidak memperhatikan atau melihat kapada tujuan dan sarana, mulia atau tidak
mulia, karena selagi si pemimpin yang akan melakukannya maka ia akan menjadi
mulia, dan bagaimanapun puncak keburukannya maka tetap saja manusia akan
menepukkan tangan baginya selagi si pemimpin yang melakukannya duduk bersila
diatas tahtanya.
Dan setiap yang dipakai oleh si pemimpin
berupa jalan-jalan untuk mencapai tujuannya maka ia adalah sah saja meskipun
pada hakikat sebenarnya ia amat hina dan nista.
Dan ini yang biasa di ucapkan dengan
ungkapan “Tujuan menghalalkan segala
macam cara”
Macchiavelli telah binasa dan dia
meninggalkan kitabnya ini yang berisi prinsip-prinsip yang buruk dan
sarana-sarana yang menyimpang yang telanjang dari akhlak dan yang kosong dari
dien, kemudian ia menjadi kiblat para panglima dan politikus yang menyimpang.
Dan realita kita masa kini menjadi saksi terbesar atas hal itu, dan ini tidaklah
aneh atas orang-orang yang tidak memiliki dan yang membatasi mereka dengan
batasan-batasannya atau akhlak yang mengikat mereka dengan ikatan-ikatannya
akan tetapi yang aneh lagi asing adalah bahwa Macchiavelli yang kafir itu
menjadi panutan dan tauladan bagi banyak orang-orang yang menyandarkan diri
mereka kepada Islam bahkan kepada dakwah dan jihad di jalannya, baik mereka itu
sadar ataupun tidak.
Sekarang kita mendengar banyak manusia
tidak merasa sungkan dari meniti jalan apa saja, walaupun itu adalah jalan
orang-orang kafir yang Allah telah menghati-hatikan darinya dan memerintahkan
kita untuk menjauhinya.
Dan mereka tidak segan-segan dari mengambil
wasilah (cara) apa saja walaupun itu najis lagi bengkok dengan dalih maslahat,
maslahat dakwah atau maslahat jama’ah atau maslahat agama… begitu mereka
mengklaim...!!!
·
Bagi mereka tidaklah berbahaya bila mereka menjadi tentara atau
aparat atau anshar (pembela) bagi thaghut yang padahal Allah sudah
memerintahkan mereka untuk menjauhi bahkan untuk menjihadinya. Hal itu adalah
boleh saja dengan klaim mereka untuk maslahat dakwah.
·
Dan tidak masalah bila mereka bersumpah untuk menghormati UUD dan
undang-undang buatan, dan mereka rela untuk menjadi para pembuat hukum menurut
rambu-rambu dan tuntunan UUD thaghut yang Allah telah perintahkan mereka untuk
kafir terhadapnya dan berlepas diri darinya dan dari aparat pengusunya. Hal itu
adalah boleh saja menurut mereka demi mashlahat dien ini ...!!!
·
Dan tidak masalah bagi mereka bila mereka menampakkan sikap
tawally (loyalitas) kepada para thaghut dan mereka menampakkan kekafiran yang nyata.
Hal itu adalah boleh saja bagi mereka sesuai istihsan mereka yang rusak, karena
ia bagi mereka adalah termasuk maslahat mursalah ...!!!
·
Dan tidak bahaya bila mereka rela mengorbankan setiap urusan dari
urusan-urusan agama mereka, dan mereka menjualnya dengan harga yang amat
rendah, selagi mereka bisa menempelkan hai itu maslahat dakwah...!!!
Barangsiapa Allah inginkan kesesatanya,
maka kamu tidak akan sekali-kali mampu menolaknya sesuatupun (yang datang) dari
Allah.
Apakah mereka lebih mengetahui akan maslahat
agama Allah daripada Allah…???
Demi Allah sungguh syaitan telah
mempermainkan mereka sebagimana gadis cilik mempermainkan mainannya, dan mereka
diseret oleh hawa nafsu sebagaimana anjing menyeret tuannya. Dan sesungguhnya
iblis telah dapat memubuktikan kebenaran sangkaanya terhadap mereka, lalu
mereka mengikutinya kecuali hamba-hamba Allah yang mukhlis.
Ini padahal mereka itu membaca ayat-ayat
Allah di tengah malam dan penghujung-penghujung siang dan mereka mendengarkan
firman-Nya ta’ala saat Dia berfirman:
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana diperintahkan kepadmu dan (juga) orang yang telah taubat beserta
kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang
kamu kerjakan. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang
menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tidak mempunyai
seorang penolong selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Hud: 112-113)
Dan firman-Nya ta’ala:
“Dan sesungguhnya Allah
telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengarkan
ayat-ayat Allah di ingkari dan di perolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk
beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicara yang lain. Karena
sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.
Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang
kafir di dalam jahannam.” (An Nisa: 140)
Allah Yang Maha Agung menginginkan bagi
kita tauladan yang agung dan panutan yang mulia (Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya) atau yang di atas jalanya dari kalangan para nabi, para rasul, ash
shiddiqien, ash shalihin dan syuhada:
“Sesungguhnya telah ada
suri tauladan yang baik bagimu pada ibrahim dan orang-orang yang bersama dia:
ketika mereka berkata kapada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari
kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu
dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan mebencian buat mereka
selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al Mumtahanah: 4)
Sedangkan orang-orang yang mengikuti
syahwat dari kalangan yang menyimpang dari millah yang agung ini dan mereka
malah mencari-cari tauladan yang rendah lagi hina, maka hawa nafsu mereka,
istihsan mereka dan istishlah mereka mengatakan: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan bagimu pada Niccola dan
orang-orang yang sejalan denga dalam ucapan mereka: Tujuan itu melegalkan
segala macam cara…!!!” Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
ialah hati yang ada di dalam dada.
Inilah, dan ketahuilah bahwa banyak
kata-kata yang digunakan dan dipakai dalil oleh banyak manusia pada hari ini seperti
ra-yu, istihsan, istihlah, mashlahat mursalah, maslahah dakwahdan yang lainya,
bila ia dalam suatu yang tidak ada nash didalamnya dari syar’i, maka maknanya
dalam realita mereka adalah suatu hal yang maknanya berdekatan, dan acuanya
semuanya adalah kepada hawa nafsu, sedangkan ia atas dasar ini adalah sebuah
kesesatan banyak manusia.
Syaikhal Islam berkata saat membicarakan
maslahat mursalah 11/324: “Maka cara ini di dalamnya terdapat
perselisihan yang masy’hur. Para fuqaha menamakanya Al Mashalih Al Marsalah,
dan diantara mereka ada yang menyebutnya ar ra-yu (pikiran), dan sebagian
menamakannya istihsan dan dekat darinya selera kaum sufi, perasaan mereka dan
ilham mereka. Maka sesungguhnya intinya adalah bahwa mereka dalam ucapan atau
pengamalanya itu mendapatkan maslahat dalam hati dan agama mereka serta mereka
merasakan manis buahnya.”
Sampai ucapan beliau: “Dan ini adalah pasal yang agung yang mesti diperhatikan, karena
sesunggunnya dari arahnyalah terjadi dalam dien ini kerancauan yang besar, dan
banyak dari para pemimpin, para ulama dan para ahli ibadah memandang mashlahat lalu
mereka menggunakannya dengan berpihak di atas landasan ini, sedangkan bisa saja
antara hal itu ada suatu yang dilarang dalam syari’at…” sampai akhir ucapan
beliau dalam Al Fatwa dan akan
datang mayoritas ucapan itu.
Dan oleh sebab itu maka kami memandang
penting sekali kami menjelaskan dalam lembaran-lembaran ini: makna-makna
kata-kata dan sebutan-sebutan yang dipermainkan oleh banyak Ruaibidlah di zaman
kita ini di bawah sebutan istihsan atau mashlahat mursalah atau mashlahat
dakwah dan sebutan lainya yang telah mereka hiasi berupa hawa nafsu dan
pikiran-pikiran yang mereka jadikan sebagai pijakan untuk menentang wahyu dan
menghancurkan dien ini serta merobohkan pilar-pilarnya, baik mereka itu sadar maupun
tidak.
PERTAMA
= ISTIHSAN =
Ia secara bahasa adalah menganggap sesuatu
itu baik. Adapun secara istilah: apabila disebutkan istihsan maka dimaksudkan
dengannya tiga makna:
Pertama: Berpaling dengan hukum
masalah dari masalah-masalah yang serupa dengannya karena dalil yang khusus
kepada (hukum) yang sebaliknya dengan dalil yang muncul yang lebih kuat
darinya.[3] Maka hal ini tidak
dipermasalahkan walaupun dikritik dalam penyebutannya sebagai istihsan, tapi
tidak ada permaslahan dalam hal istilah.
-
Dan para ulama Mazhab Ahmad membawa apa yang disederhanakan
kapadanya berupa pendapat perihal istihsan terhadap makna ini[4]
-
Dan begitu juga apa yang disandarkan kepada Malik berupa pendapat
perihal istihsan, maka sungguh Al Qurthubiy telah mengingkarinya, dan Asy
Syaukaniy telah menukil dalam Irsyadul Fuhul hal 241 dari Al Bajiy: “bahwa istihsan yang dipegang oleh para
pengikut Malik adalah pengamalan dalil yang paling kuat di antara dua dalil…”
Dan berkata: “Dan inilah dalil, bila
mereka menamakannya istihsan maka tidak ada masalah dengan penamaan” selesai.
Kedua: Digunakan tehadap apa
yang dianggap baik oleh mujtahid dengan akalnya.
Ketiga: Dalil yang dianggap
cacat dalam benak si Mujtahid yang mana dia tidak mampu untuk mengungkapkannya.
Dan kebatilan dua macam istihsan ini adalah
sangat nampak, karena mujtahid tidak boleh bersandar kepada sekedar akalnya
dalam penganggapan baik sesuatu, dan apa yang tidak bisa dia ungkapkan adalah
tidak mungkin di hukumi dengan peneriman sampai dia menampkkan dan
menyodorkannya kepada syari’at.
Sungguh jumhur ulama[5] telah mengingikari dua
macam terakhir ustihsan ini dan menganggapnya bagian dari syahwat dan hawa
nafsu, sampai-sampai Asy Syafi’i berkata: “barang
siapa yang melakukan istihsan maka dia telah membuat syari’at (hukum)”
Asy Syaukaniy menukil dalam Irsyadul Fuhul halaman: 214 dari As
Sam’aniy ucapannya: “Bila istihsan itu
ada pernyataan berdasarkan apa yang di anggapnya baik dan yang dia inginkan
tanpa landasan dalil maka ia adalah batil dan tidak seorangpun berpendapat
dengannya “[6]
Kemudian Asy Syaukaniy berkata setelah menuturkan ucapan-ucapan
ulama dalam hal ini; “…maka engkau
mengetahui dengan seluruh apa yang telah kami utarakan bahwa bahwa penuturan
istihsan dalam bahasan terdiri[7]
adalah tidak ada faidah sama sekali di dalamnya, karena bila ia adalah kembali
kepada dalil-dalil yang lalu maka dia adalah pengulangan, dan bila ia adalah di
luar dalil maka ia sama sekali bukan termasuk syari’at, akan tetapi ia termasuk
berdusta atas nama syari’at kadang dengan apa yang tidak ada di dalamnya dan
kadang dengan apa yang menyebranginya”.
Namun demikian sungguh orang-orang yang memakai istihsan aqliy
(anggapan dia menurut akal) dan syahwaniy (anggapan baik sesuai selara) telah
berhujjah dengan nash-nash yang dengannya mereka melagalkan istihsan-istihsan
mereka itu, akan tetapi semua nash itu saat di teliti adalah tidak membantu
mereka terhadap hal itu dan tidak melegalkan bagi mereka apa yang mereka
inginkan.
Diantara firman Allah ta’ala: “yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.” (Az
Zumar: 18)
Padahal ini sebenarnya hujjah terhadap mereka bukan bagi mereka
karena perkataan dan ucapan yang paling baik adalah apa yang ada dalam
Kitabullah atau sunnah Rosul-Nya sebagaimana firman–Nya ta’ala:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling
baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang,
gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian
menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk
Allah, dengan kitab itu Dia menjuluki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang
siapa yang disesatkan Allah, maka tidak seorangpun pemberi petunjuk baginya.” (Az Zumar: 23)
Abu Muhammad Ali Ibnu Hazim berkata dalam kitabnya Al Ahkam 2/196:
“Dan hujjah ini adalah terhadap mereka bukan bagi mereka, karena Allah ta’ala
tidak mengatakan “lalu mereka mengikut apa yang mereka anggap baik” akan tetapi
Dia ‘azza wa jalla berfirman “lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”
sedangkan perkataan yang paling baik adalah yang sejalan dengan Al Quran dan sabda Rosul saw, inilah
ijma yang di yakini oleh setiap muslim. Dan inilah yang telah Allah ‘azza wa
jalla jelaskan saat Dia berfirman:
“Kemudian bila kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian.” (An Nisa: 59)
Dan Dia ta’ala tidak mengatakan “maka kembalikanlah ia apa yang
kamu anggap baik” dan termasuk mustahil bila kebenaran itu berada pada
apa yang kita anggap baik tanpa dalil, karena seandainya seperti itu, tentulah
Allah ta’ala telah mentaklif kita dengan apa yang kita tidak mampu, dan tentu
gugurlah banyak kebenaran, dan tentu bertentanganlah berbagai dalil, dan tentu
berbenturanlah berbagai bukti , serta tentulah Allah ta’ala memerintahkan kita
untuk perselisihan yang padahal bila telah melarang kita darinya, sedangkan ini
adalah mustahil karena pada dasarnya tidak boleh sepakat istihsan ulama
seluruhnya terdapat satu pendapat padahal semangat,tabiat dan tujuan mereka itu
beranekaragamm, di mana sekelompok tabi’at mereka adalah keras, kelompok lain
tabiat mereka lunak, satu kelompok tabiatnya
cepat tanggap dan kelompok lain tabiatnya hati-hati. Dan tidak ada jalan
untuk bersepakat terhadap istihsan dalam satu hal dengan keberdaan berbagai
faktor dan perasaan yang memompa semangat dan perbedaan serta perbedaan dari
hasil pendoronganya. Dan kita bisa mendapatkan ulama Madzhab Malikiy, dan kita
juga mendapat ulama Madzab Maliki telah menganggap baik apa yang telah di
anggap jelek oleh ulama Madzab Hanafiy, maka gugurlah keberadaan Al Haq dalam
Dienullah ‘azza wa jalla ini di kembalikan kepada istihsan sebagai manusia. Dan
ini hanya bisa terjadi –dan daya berlindung kepada Allah– seandainya agama ini
kurang. Dan adapun ia itu memang sudah sempurna lagi tidak ada tambahan
didalamnya dijelaskan semua lagi ditegaskan terhadapnya atau diijmakan
terhadapnya, maka tidak ada makna bagi orang yang menganggap baik sesuatu
darinya atau dari yang lainya . dan tidak pula bagi orang yang menganggap jelek
juga sesuatu darinya atau dari yang lainya.
Dan kebenaran itu adalah kebenaran meskipun dianggap buruk oleh
manusia , dan kebatilan itu adalah kebatilan meskipun dianggap baik oleh
menusia, maka sahlah bahwa istihsan itu adalah syahwat, pengikutan terhadap
hawa nafsu dan kesesatan, dan kepada Allah ta’ala kami berlindung dari kehinan”
Dan mereka berhujjah dengan hadist: “Apa yang dipandang laum
muslimin baik maka ia adalah disisi baik.:”
Maka dikatakan kepada mereka : ini bukan marfu’ akan tetapi mauquf
terhadap Ibnu Mas’ud ra[8], sedangkan pada ucapan
seorang setelah Rosulullah saw dalam agama kita tidak ada hujjah, dan
seandainya ada hujjah dalam hal itu tentulah dalam dalil ini secara khusus
tidak ada hujjah atau sisi bagi dilalah (indikasi/penunjukan) terhadap apa yang
mereka tipukan, karena ia adalah iayarat kepada kesepakatan kaum muslimin
sedangkan ijma (kesepakatan) itu tidak terjadi kecuali berdasarkan dalil[9],dan di dalamnya tidak ada dilalah yang
menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh individu-individu kaum muslimin
atau sebagaian jama’ah dan kelompok mereka bahwa ia baik juga di sisi Allah[10]
Ucapan Para Ulama Yang Bersinar
Tentang Istihsan
·
Al Imam Muhammad Ibnu
Idris Asy Syafi’iy (150-204 H)
Beliau rh berkata: “istihsan itu hanyalah mengumbar selera...”
(halaman 507 Ar Risalah point 1464)[11]
“Selain Rasulallah saw
tidak boleh berbicara kecuali dengan cara berdalil, dan dia tidak boleh berkata
dengan apa yang dia anggap baik, karena berbicara dengan apa yang dianggap baik
adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya” (halaman: 25 Ar Risalah
point 70).
Dan berkata: “Dan ini
menjelaskan bahwa haram atas siapa saja berbicara dengan istihsan, bila
istihsan itu menyelisihi khabar sedangkan kahbar itu adalah dari Al Kitab dan
As Sunnah. Dimana Mujtahid dalam hukumnya berupa mencari dalil-dalil dari Al
Kitab dan As Sunnah supaya dia mengikutinya, sebagaimana orang yang shalat yang
tidak melihat ka’bah berupaya mecari tahu kiblat terus ia shalat mengarah
kepadanya” (halaman 540 Ar Risalah point 1456)
Dan dalam suatu riwayat darinya bahwa beliau berkata: “mengutarakan pendapat dengan istihsan
adalah batil”
“Dan andai kata boleh
bagi seorang untuk istihsan dalan dien ini tentu bolehlah hal itu bagi
orang-orang yang berakal dari selain ahli ilmu dan tentu bolehlah dia
mensyari’atkan dalam dien ini dalam setiap masalah dan mengeluarkan setiap
orang bagi dirinya sesuatu syari’at (aturan)[12]”
Dan berkata: “Andaikata
boleh bagi setiap mufti atau hakim atau mujtahid melakukan istihsan dalam suatu
yang tidak ada nash di dalamnya, tentu keadaannya melewati batas dan tentu
hukum-hukum berbeda-beda dalam satu kejadian sesuai istihsan setiap mufti,
sehingga dikatakan dalam hal tersebut: berbagai macam fatwa dan hukum yang
tidak ada batasnya dan tolak ukur yang menjelaskan al haq di dalamnya serta
tidak bisa mengetahui sisi kebenaran darinya. Dan tidak seperti ini ajaran ini
di pahami dan hukum –hukum agama ditafsirkan”
·
Abu Muhammad Ali Ibnu
Ahmad Ibnu Sa’id Ibnu Hazim Adh Dhahiriy (384-456H)
Beliau rh berkata: “Dan
kebenaran itu adalah kebenaran meskipun dianggap buruk oleh menusia, dan
kebatilan itu adalah kebatilan meskipun dianggap baik oleh para manusia, maka sahlah
bahwa istihsan adalah syahwat, pengikut terhadap hawa nafsu kesesatan, Dan
kepada Allah ta’ala kami berlindung dari kehinaan” (2/196 dari Al Ihkam Fi
Ushulul Ahkam)
Dan setelah beliau menuturkan firman Allah ta’ala, “..karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan,” (Yusuf: 53)
Dan firman-Nya ta’ala. “Tetapi
orang-orang yang zalim mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan.” (Ar
Rum: 29)
Dan firman-Nya ta’ala. ”Dan
siapa yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa dengan
tidak mendapat petunjuk dari Allah.” (Al Qashash: 50)
Beliau rh berkata: “Dan
dalam ayat-ayat ini terdapat pengguguran sikap seorang mengikuti apa yang
dianggap baik tanpa ada bukti dari nash atau ijma. Dan tidak satupun yang lebih
hati-hati terhadap hamba-hamba yang mu’min daripada Allah yang menciptakan
mereka yang memberikan mereka rizki lagi yang mengutus para rosul kepada
mereka, sedangkan kehati-hatian semuanya adalah (dalam) mengikuti apa yang
diperintahkan Allah ta’ala, dan kekejian semuanya adalah (dalam) menyelisihnya”
(2/198 Al Ihkam Fi Ushulul Ahkam)
Dan berkata: “Dan kami
katakan kepada yang menganut istihsan: apa perbedaan antara apa yang kamu
anggap baik dan dianggap buruk selain kamu, dengan apa yang dianggap baik oleh
selain kamu dianggap buruk oleh kamu? Dan apa yang menjadikan salah satu jalan
dari dua jalan itu lebih benar daripada yang lainnya? Dan inilah apa yang tidak
bisa dihindari darinya. Wa billahi ta’ala at taufiq” (2/200 Al Ihkam Fi
Ushulul Ahkam)
Dan berkata dalam sumber yang sama 1/45: “Istihsan adalah apa yang
disukai hawa nafsu dan yang sejalan dengannya, baik itu keliru ataupun benar”
Dan berkata juga 1/97 pada firman-Nya ta’ala “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya,” (An Nisa:65): “Ini adalah cukup bagi orang yang mengerti
,berhati-hati, beriman kepada Allah dan hari akhir serta meyakini benar bahwa
amanah ini adalah amanah dari Tuhannya ta’ala kepadanya dan wasiat-Nya ‘azza wa
jalla yang datang kepadanya, maka hendaklah semua insan memeriksa dirinya, bila
dia mendapatkan jiwanya tidak menerima penuh apa yang datang kepadanya dari Rosulullah
saw, dan dia mendapatkan jiwa cenderung kepada ucapan si fulan dan si fulan
atau qiyas dan istihsannya, dan dia mendapatkan jiwanya menjadikan seorang
selain rosulullah saw baik itu sahabat ataupun yang lainnya sebagai hukum dalam
perselisihannya, maka hendaklah dia mengetahui bahwa Allah ta’ala telah
bersumpah sedangkan ucapan-Nya adalah al haq bahwa dia itu bukan orang yang
beriman, dan maha benar Allah, dan bila bukan orang mu’min maka dia itu orang
kafir , serta tidak ada jalan untuk bagian yang ketiga”
·
Al Imam Mawaffaquddien
Abdulah Ibnu Ahmad Ibnu Qudamah Al Maqdisiy (540-620H)
Berkata dalam Raudlatun Nadhir Wa Junnatul Munadhir 147-148: “Sesungguhnya kami benar-benar mengetahui
dengan ijma umat sebelum kita bahwa orang alim tidak berhak memutuskan hukum
dengan sekedar nafsunya dan syahwatnya tanpa mengkaji pada dalil-dalil.[13]
Dan istihsan tanpa pengkajian (dalil) adalah putusan berdasarkan hawa nafsu
semata. Maka ia itu seperti istihsan orang awam, sedang perbedaan apa antara orang
awam dengan orang alim selain pengetahuan akan dalil-dalil syar’iy serta
pemisahan yang sahih di antaranya dari yang rusak. Dan bisa jadi sandaran
istihsannya adalah praduga dan khayalan yang bila ia disodorkan kepada dalil,
tentu tidak muncul darinya satu faidah pun…”
Dan berkata: “Mereka mesti
menerima istihsan orang-orang awam dan anak kecil, dan bila mereka membedakan
bahwa mereka (orang-orang awam dan anak-anak) itu bukan ahlinya untuk mengkaji,
maka kami katakan: Bila tidak melihat pada dalil, maka apa faidahnya pada ahli
pengkajian...???”
KEDUA
ISTISLAH (MASHLAHAH MURSALAH)
Ketahuilah bahwa hal yang mendasar adalah
bahwa Allah ta’ala telah menyempurnakan bagi kita dien ini, dimana Dia ta’ala
berfirman: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
untuk kamu agamamu ,dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku.” (Al Maidah:
3). Dan sengan sebab itu Dia tidak membiarkan kita begitu saja melakukan
istishlah atau istihsan atau memilih apa yang diinginkan jiwa kita dari ajaran
dan dein ini. Dia ta’ala berfirman: “Apakah
menusia mengira, bahwa ia akan di biarkan begitu saja” (Al Qiyamah: 36)
Dan oleh sebab itu maka setiap apa yang
tidak di bimbingkan Allah ta’ala kepadanya berupa maslahat-maslahat yang di
aku-akui maka ia adalah batil meskipun dianggap maslahat dan dianggap baik oleh
akal banyak manusia. Dan setiap apa yang di tegaskan dalil bahwa itu maslahat
bagi mereka maka ia adalah kebenaran murni walaupun dianggap buruk oleh akal
mereka.
Oleh sebab itu maka sesungguhnya intisari
ucapan ulama dalam bab ini adalah mereka membagi maslahat menjadi tiga macam:
Pertama : Syari’at
bersaksi akan penganggapan mashlahat itu, maka kita mengatakan kami mendengar
dan kami ta’at.
Kedua : Syari’at
menggugurkan mashlahat itu dan tidak menghiraukannya (maka ini tidak ada perselisihan
dalam kebatilannya karena ia menyelisihi nash. Dan pembukaan hal ini
menghantarkan kepada perubahan batasan-batasan syari’at)[14]
Ketiga : Syari’at
tidak menggugurkan mashlahat itu dan tidak pula menganggapnya. Dan inilah yang
diisyaratkan oleh mayoritas manusia saat mereka menyebutkan Mashlahat Mursalah,
dan mereka namakan seperti itu karena ia meliputi berdasarkan klaim mereka atas
mashlahat muthlaqah mursalah, yang tidak di putuskan dalam syari’at ini atas
penganggapnya dan pengangguranya.
Dan kebenaran yang kami yakini dan
dengannya kami bersaksi di hadapan Allah ta’ala bahwa mashlahat macam terakhir
ini tidak ada, dan barang siapa mengklaim keberadaannya maka dia telah menuduh
syari’at ini kurang dan menuduh kitab ini alpa berarti dengan itu dia telah
menyelisihi nash firman Allah yang muhkam (jelas): ”Tidaklah kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab.” (Al An’am:
38) dan firman-Nya, ”Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat Ku…”
(Al Maidah: 3). Maka Allah ta’ala tidak mengalpakan dalam Al Kitab dan tidak
mengurangi dalam penuturan mashlahat, akan tetapi setiap mashlahat sungguh Al
kitab telah bersaksi akan penggugurannya ataupun penganggapannya baik itu
dengan nash (penegasan langsung yang jelas) ataupun dengan dhahirnya ataupun
dengan isyarat dan ima (persyaratan) atau dilalah lainya. Dan barang siapa
mengklaim selain hal itu maka dia telah mengklaim bahwa Allah telah membiarkan
kita begitu saja sehingga sebagian kita menganggap mashlahat apa yang dianggap
buruk oleh yang lain tanpa patokan atau batasan dan syari’at. Allah ta’ala
berfirman seraya mengingkari dengan semacam ini “Apakah mereka mengira, bahwa ia akan di biarkan begitu saja.” (Al
Qiyamah: 36)
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata dalam kitabnya Asy Sharimul Mashlul: “Tidak boleh menetapkan hukum dengan sekedar istihsan dan istishlah,
karena sesungguhnya itu adalah pensyari’atan bagi dien ini dengan ra-yu
(pikiran), sedangkan itu adalah haram bedasarkan firman-Nya ta’ala dalam surat
Asy Syura 21, ”Apakah mereka memiliki semboyan-semboyan yang mensyari’atkan
bagi mereka dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan.”
Dan beliau berkata dalam Al Fatawa 11/344: “Berpendapat dengan mashalahah mursalah
(biasa) mensyari’atkan dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan, dan ia itu
dari beberapa sisi menyerupai masalah istihsan tahsin ‘aqly (penganggapan baik
berdasarkan akal), ra-yu dan yang serupa dengan itu” sampai beliau berkata:
“...dan ucapan yang mencakup adalah bahwa
syari’at ini tidak menelantarkan satu mashlahatpun, akan tetapi: Allah ta’ala
telah menyempurnakan dien ini bagi kita dan telah mencukupkan nikmat-Nya kepada
kita , dimana tidak ada suatupun yang mendekatkan ke surga melainkan Nabi saw
telah memberi kabar kita tentangnya”.
Beliau telah meninggalkan kita di atas
jalan yang terang , malamnya seperti siangnya, tidak menyimpang darinya setelah
beliau kecuali orang yang binasa, akan tetapi apa yang diyakini sebagai
mashalahat oleh akal meskipun syari’at tidak datang denganya maka mestilah
salah satu dari dua hal, bisa jadi syari’at telah menunjukan kepadanya namun si
pengamat ini tidak mengetahuinya atau sesungguhnya ia bukan mashlahat walaupun
dia meyakininya mashlahat, karena mashlahat adalah manfaat yang terbukti atau mendominasi,
dan sering sekali manusia mengira bahwa sesuatu itu memanfaat dalam dien dan
dunia dan di dalamnya ada manfaat yang kalah oleh mashlahat, sebagai firman
Allah ta’ala prihal khamr dan judi, “Katakanlah:
Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (Al Baqarah: 219)
Dan banyak dari apa yang diada-adakan
manusia berupa keyakinan-keyakinan dan amalan dari bid’ah-bid’ah ahli kalam,
ahli tashawwuf, ahli ra-yu dan para penguasa, mereka mengiranya manfaat atau
mashlahat yang benar-benar manfaat, tepat dan benar sedangkan ia itu tidak
seperti itu, bahkan banyak dari orang-orang yang diluar Islam dari kalangan
yahudi , nasrani, para pelaku syirik, shabi-in dan majusi mengira bahwa apa
yang mereka anut berupa keyakinan-keyakinan mu’amalat dan ibadah adalah
mashlahat bagi mereka dalam dien dan dunia serta manfaat bagi mereka, maka
sungguh [telah sia-sia amalan mereka dalam kehidupan dunia ini sedang mereka
mengira bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya] (Al Kahfi: 104) dan sungguh
mereka telah dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaan mereka yang buruk
lalu mereka meyakini pekerjaan mereka yang buruk lalu mereka meyakini pekerjaan
itu baik.
Bila menusia memandang baik sesuatu yang
buruk, maka istihsan dan istishlahnya itu bisa jadi termasuk bab ini (11/345)
Saya berkata: [oleh sebab itu ulama
berbagai madzhab menetapkan bahwa mashlahat mursalah itu bukan hujjah dalam
agama Allah sebagaimana yang telah dijelaskan Al Qarafi dalam Tanqih][15] dan mereka mengamalkan
mashlahat hanya saat adanya bukti akan penganggapannya dari syari’at.
Asy Syaukaniy menuturkan bahwa jumhur
melarang dari berpegang terhadapnya secara muthlaq.[16]
Dan perlu diketahui bahwa para ulama
membagi mashlahat itu secara umum kepada tiga macam: dlaluriyah (kemestian),
hujuuyyah (kebutuhan) dan tahsiniyyah (kelengkapan penghiyas)
·
Adapun hujuyyah dan tahsiniyyah maka ia adalah pintu yang
lebar bagi ulama , dan oleh sebab itu
Ibnu Qudamah Al Maqdisiy: [kami tidak mengetahui penyelisihan bahwa tidak boleh
berpegang pada keduanya tanpa landasan (dalil), karena seandainya hal itu boelh
tentulah ia pencapan bagi syari’at ini denan ra-yu , dan tentu kita tidak
membutuhkan pengutusan para rosul dan tentulah orang awam sama dengan ulama
dalam hal itu, karena setiap orang mengetahui mashlahat dirinya sendiri][17]
·
Dan adapun dlaruriyyat maka ia adalah yang dinamakan oleh para
ulama sebagai mashlahat penolakan mafsadah dirinya,dan ia ad enam: agama, jiwa,
nasab (keturunan), kehormatan,[18]akal, dan harta.
Syari’at tidak
membiarkan wasilah penjagaan dlaruriyyat ini mengikuti apa yang diinginkan
makhluk dan apa yang mereka senangi, akan tetapi ia telah meletakkan
batasan-batasan syari’at memvonis hukum mati orang murtad demi menjaga agama,
dengan memvonis dengan qishash demi menjaga jiwa, dan dengan had zina dan iddah
atas wanita yang di tinggal wafat suaminya dan yang di ceraikan serta yang
serupa itu demi menjaga keturunan dan nisab, sebagaimana ia mensyari’atkan had
qadzaf demi menjaga kehormatan, dan had khamr demi menjaga akal, dan ia
mengharamkan riba dan sebagian macam jual beli dan mensyari’atkan had pencurian
demi menjaga harta. Oleh sebab itu dalil-dalil syar’iy adalah sangat banyak
terhadap penganggapan maslahat-maslahat ini serta penjagaannya.
Dikarenakan syari’at
telah menentukan sarana-sarana tentu untuk menjaga mashlahat-mashlahat ini,
maka tidak halal mengada-ada sarana-sarana yang tidak sitegaskan terhadapnya
oleh syari’at atau yang tidak memiliki dasar di dalamnya, sedangkan tasyri
(penetapan hukum) dengan berlandasan hawa nafsu semata dengan dalih menjaga
mashlahat-mashlahat ini adalah batil dan bukan hujjah [karena sesungguhnya
tidak dikenal dari syari’at ini
penjagaan terhadap darah –umpamanya- dengan segala cara oleh sebab itu tidak
disyari’atkan mutslah (mutilasi) meskipun ia lebih mengena dalam hal membuat
jera dan kapok, dan hukum bunuh tidak disyari’atkan dalam pencurian dan minum
khamr. Barang siapa menetapkan suatu hukum untuk suatu mashlahat dari
mashlahat-mashlahat ini dan dia tidak mengetahui bahwa syari’at menjaga
mashlahat-mashlahat itu dengan menetapkan hukum yang diada-adakannya itu, maka
itu adalah pencapan bagi syari’at dengan ra-yu dan pemutusan dengan akal
belaka][19]
Dan begitulah, maka
kesimpulan bab ini adalah bahwa Allah ta’ala tidak mmbiarkan kita begitu saja
dan dia tidak meninggalkan kita sia-sia, akan tetapi Dia telah menetapkan bagi
kita mashlahat-mashlahat dan maqashid syari’iyyah (tujuan syari’at), dan bukan
hal ini saja, akan tetapi Dia swt telah menetapkan jalan-jalan dan
sarana-sarana yang sah yang bisa menghantarkan kapadanya, sehingga Dia telah
menutup dan menggugurkan setiap sarana dan cara yang kadang di kira oleh orang
bisa menyampikan kepada mashlahat atau
tujuan, serta jalan yaitu jalan penutup para Nabi. Kemudian sarana itu milik
status hukum tujuan dari sisi bahwa ia itu keberadaannya wajib disyari’atkan,
bersih , dan suci seperti tujuannya.
Oleh sebab itu para Fuqaha
berkata [Sarana itu diberi status hukum dan tujuan]
Dan mereka mengatakan
dalam syair:
Segala sarana urusan
adalah seperti tujuan
Dan peutuskan dengan
hukum ini untuk hal-hal tambahan[20]
Sayakhul Islam Ibnu
Taimmiyah berkata dalam Al Mashalih Al Mursalah11/343: [Dan ini adalah pasal
yang agung yang layak untuk diperhatikan karena dari arahya terjadi dalam dien
ini kerancauan yang besar. Dan banyak dari para umara ualma dan ahli ibadah
memandang mashlahat terus mereka menggunakannya berdasarkan atas landasan ini,
dan bisa jadi diantaranya ada hal yang dilarang dalam sayari’at ini dan mereka
tidak mengetahuinya, dan bisa jadi mendahulukan atas[21]mashalih mursalah ucapan
yang menyelisihi nash, dan banyak dari mereka orang yang menelantarkan
mashlahat-mashlahat yang wajib dipertimbangkan secara syari’at berlandaskan
atas dasar bahwa syari’at tidak datang dengannya, sehingga dia meluputkan
banyak hal yang wajib dan mustahab…]
Dan dari yang lalu maka
nampak jelaslah dihadapanmu kebatilan kaidah yang ditetapkan Syaikh Abdurrahman
Ibnu Abdil Khaliq dalam kitabnya (Al
Muslimin Wal ‘Amal As Siyasiy[22]) saat dia berkata
halalaman 39 : [Ketiga: mashalih dan mafasid adalah landasan dan jalan untuk
memberi kan hukum terhadap wasaail (sarana/cara): Tidak ada keraguan bahwa cara
untuk menghukumi terhadap wasilah tentu bahwaia layak atau tidak adalah dengan
ukuran apa yang ia capai berupa maslahih syar’iyyah (mashlahat-mashlahat yang
syar’i) atau apa yang ia timbulkan berupa adlrar (bahaya-bahaya) dan mafasid
(kerusakan-kerusakan). Maninjau pada akibat, mentadabburi urusan serta
memperhitungkan untung rugi yang bersifat agama adalah suatu yang wajib
diperhitungkan dan dijadikan acuan…]
Dan dia kuatkan hal itu
halaman: 40, berkata: [Dan begitulah pandangan yang wajib dalam langkah dari
langkah, langkah dakwah, dalam setiap wasilah dari wasilah. Wasilahnya dan
dalam setiap metode dari metode-metodenya… seberapa besar manfaat yang ia capai
bagi umat, dien dan Islam, dan seberapa besar mafsadah syariiyah yang ia
datangkan. Kemudian bila manfaatnya adalah lebih besar serta pengorbanan dan
kerusakannya adalah lebih sedikit , maka amalan itu adalah disyari’atkan bahkan
kadang wajib, dan adapun bila mafsadahnya lebih besar dan bahayanya lebih
banyak dari manfaatnya, maka sesungguhnya hal yang wajib adalah menahan diri…]
Maka kebenaran yang
tidak ada keraguan di dalamnya bahwa landasan dan jalan yang pertama - dan kami
tidak mengatakan satu-satunya- akan tetapi yang pertama dan yang paling penting
dalam memberikan hukum terhadap wasaail apa ia sah atau tidak, dan dianggap
atau tidak dianggap, adalah syari’at, bahwa burhan (bukti nash) dan dalil
sebagaimana yang telah engkau ketahui sebelumnya.
Kemudian datang setelah
itu tumbangan mashalih dan mufasid sesuai mengikuti dalil bukan pemutus dan
pengaji atas dalil, sebagaimana ia realita banyak para da’at masa kini, dan
oleh sebab itu mereka telah memasukkan terhadap pemeluk islam keburukan yang
besar dan kebatilan yang nyata: karena timbangan maslahat dan mafsadah bila
tidak dikehendaki dan dikontrol dengan firman Allah dan sabda Rosul-Nya saw
maka tanpa keraguan atau kebimbangan ia akan dikendalikan dengan hawa nafsu,
istihsan-istihsan dan akal-akal yang terbatas lagi beragam corak, dan oleh
sebab itu akan terjadi kontradiksi perselisihan dan serabutan dalam dienullah
ini.
Dan oleh karena itu,
maka syaikh tadi- semoga Allah memberinya hidayah dan banyak orang yang sejalan
dengannya telah membolehkannya dengan dalil mashlahat dakwah ikut serta dalam
banyaknya kebatilan yang besar dan kejahatan yang nyata seperti (ikut serta
dalam) parlemen-parlemen legislatif dan lembaga-lembaga kafir milik thagut
lainnya.
Sampai-sampai dia
memberikan contoh atas hal itu dengan Al Jazair saat panjajah prancis keluar
darinya, di mana dia mengaklaim bahwa mayoritas ekonominya saat itu dibangun di
atas industri khamr, terus dia menganggap bodoh akal orang-orang yang menuntut
penutupan pabrik-pabrik khamr itu secara langsung, dan dia mencap mereka kaku
terhadap nash dan membiarkan pabrik-pabrik itu dan bertahap sementara semantara
waktu dalam menutupnya, karena khawatir dari mafsadah jatuhnya perekonomian dan
terganggunya masyarakat[23], padahal sesungguhnya Allah ta’ala telah
menggugurkan anggapan mashlahat semacam
ini dan Dia menjelaskan di hari Dia menetapkan hukum pelarangan kaum musyrikin
dari masuk Al Harm, dan Dia swt lemahnya telah menggetahui akan kekhawatiran
sebagian kaum mu’min dari mafsadah lemahnya ekonomi dan tidak lakunya
perniagaan yang bisa saja terjadi akibat larangan mendadak itu maka Dia swt
berfirman:” Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka nanti Allah akan
memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya jika Dia menhendaki. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At Taubah: 28)
Begitulah sampai
masalahnya menghantarkan para penganut dalih mashlahat ini kepada sikap mereka
menamakan sikap berdiri bersama dalil syar’iy dan tidak melampaui
batasan-batasan Allah sebagai jumud(kekakuan) bersama nash-nash. Maka kami
katakan kepada mereka: bila ini menurut kalian adalah jumud maka kami
mengumumkannya bahwa kami merasa bangga dengan jamud ini lagi merasa senang dengannya,
dan kami memohon kepada Allah ta’ala untuk menghidupkan dan mematikan kami
diatasnya. Dan selamat kalian bersenang-senang dengan keterlepasan dari
nash-nash dan pembebasan diri dari dalil-dalil serta pelanggaran
batasan-batasan Allah di bawah payung istislah dan istihsan kalian yang sangat
batil
Mashalih Mursalah Dan
Contoh Masalah Turs (Tameng)
Dan untuk menyempurnakan
pembicaraan dalam materi ini dan agar kami tidak menyisakan celah dalam
dienullah bagi orang-orang yang mempermainkan. Ketahuilah bahwa sebagai ulama telah berbicara perihal
penerimaan mashlahat bila memenuhi tiga
syarat.
Pertama: Ia adalah
mashlahat haqiqiyyah (sebenarnya) dan bukan wahmiyyah (praduga).
Kedua: ia adalah
mashlahat ‘domah (umum) bukan pribadi
Ketiga: mashlahat ini
tidak menentang hukum atau dalil syar’iy.
Ada dalam Irsyadul Fuhul
halaman: 242: [Bila mashlahat itu dlaruriyyah qath’iyyah lagi kuliyyah maka ia
dianggap , dan bila salah satu dari yang tiga ini tidak maka ia tidak dianggap.
Dan yang dimaksud dengan dlaruriyyah adalah bahwa ia trmask hal-hal dlaluriy
yang lima dan yang dimaksud dengan kulliyyah adalah bahwa ia mencakup seluruh
kaum muslim bukan seandainya ia buat sebagian manusia tanpa sebagian yang
lainnya atau dalam keadaan tertentu tanpa yang lainya. Dan hal ini dipilih olah
Al Ghazaliy dan Al Baidlawiy, dan Al Ghazaliy memberikan contoh untuk mashlahat
yang memenuhi syarat-syarat-syarat ini dengan masalah Turs].
Abul Hasan Al Amidiy berkata dalam Al Ihkam Fi Ushulil
Ahkam (4/12) dan itu setelah beliau
menuturkan pembagian mashlahat kepada mashlahat
yang dianggap (ma’tabar) dan yang mulgha (digugurkan) serta yang tidak
di anggap dan tidak digugurkan oleh syari’at, dan ia dikenal dengan sebutan
mashlahat marsalah.
Beliau berkata: [Para
Fuqaha sari kalangan syafi’iyyah, Hanafiyah dan yang lainya telah sepakat untuk
menolak berpegang dengannya, dan inilah kebenaran, kecuali apa yang dinukilkan
dari Malik bahwa dia memegangnya bersama pengingkaran ulama madzhahnya terhadap
hal itu darinya, dan mungkin penukilan itu andaikata benar darinya maka yang
lebih serupa (dengan madzhabnya) bahwa beliau tidak mengatakan hal itu dalam
setiap mashlahat, namun dalam suatu yang tergolong mashlahat yang tidak
dlariuriy, tidak kulliy dan tidak qath’iy keterjadiannya. Dan itu contohnya
seandalnya kaum kafir manjadikan sejumlah kaum muslimin sebagai persai, dimanaa
seandainya kita menahan diri dari (menyerang) mereka, maka tentulah orang-orang
kafir itu menguasai darul Islam dan membantai habis kaum muslimin, dan seandainya
kita menembak prisai itu dan membunuh mereka maka mifsadah (kerusakan) menjadi
terhindar dari seluruh kaum muslimin secara pasti, akan tetapi mesti darinya
membunuh muslim yang tidak berdosa, maka pembunuhan ini walaupun sejalan dalam
gambaran ini dan mashlahatnya pun dilarariyyah kulliyyah lagi goth’iyyah, hanya
saja tidak nampak dari syariat ini penganggapannya dan tidak pula pengguguannya
dalam bentuk-bentuknya.
Dan bila hal itu
diketahui, maka mashalih itu sesuai apa yang telah kami jelaskan terbagi menjadi
mashlahat yang ada penganggapannya dari syariat dan mushlahat yang ada
penggugarannya darinya.
Sedangkan bagian ini adalah
terkatung-katung diantara dua bagian ini, dan penyertaanya dengan salah satu dari keduannya tidaklah
lebih utama dari yang lainnya, sehingga tidak boleh berhujjah dengannya tanpa
bukti (dalil) yang menganggap yang memperkenalkan bahwa ia tergolong
(mashliahat) yang dianggap bukan yang digugurkan.
Saya berkata : dan
perhatikan ucapan yang akhir ini supaya engkau mengetahui bahwa termasuk
(masalah turs) ini yang padahal ia sangat berbahaya dan dieratkan, didalamnya
ada perselisihan dan ia bukan tempat ijma sebagaimana yang diklaim oleh banyak
kalangan yang merasa pintar dizaman ini.
Disamping ini juga bahwa
ulama yang membolehkan telah menetapkan syarat-syarat yang berat didalamnya
karena ia mengandung penghalalan yang haram.
Dan diantara
syarat-syarat itu :
·
Tidak di dapatkan jalan lain untuk membunuh dan menghadang
orang-orang kafir itu kecuali dengan membunuh si tameng tersebut, dan bila di
dapatkan selain jalan ini, maka tidak halal sama sekali membunuh tameng itu.
·
Merasa yakin bahwa membiarkan orang-orang kafir dan tidak membunuh
mereka karena sebab tameng itu adalah di dalamnya kebinasaan yang nyata bagi
kaum muslim dan tameng juga
·
Kaum muslim bertaqwa kepada Allah dalam qital mereka ini
semaksimal mungkin, dimana mereka tidak membunuh dari tameng itu kecuali memang
mereka dlarurat secara sebenarnya untuk membunuhnya. Namun demikian
sesungguhnya banyak dari kalangan yang sesat di zaman ini berdalil dengan
masalah Turs ini dan mereka menempatkannya dengan tanpa peduli dan dengan
mudahnya pada pintu-pintu yang berbahaya yang mengeluarkan dari lingkaran islam
dan menghantarkan kepada keberlepasan dari
millah tahid, seperti masuk dalam banyak amalan dan tugas-tugas
kekafiran, dan ambil sekedar untuk contoh: permasalahan keikutsertaan dalam
pemerintahan dan parlemen-parlemen legislatif. Dimana banyak dari kalangan
ansharnya berdalil dengan masalah Turs ini dan mereka berlaku sangat ngawur di
dalam hal itu tanpa menghiraukan syarat-syarat yang berat yang mana ulama yang
membolehkan membunuh Turs telah menentukan syarat-syarat buat pendapat mereka
itu[24] seolah agama Allah ta’ala
ini tidak bisa di tegakkan kecuali dengan ikut serta dalam sistem kafir atau
Parlemen Legislatif yang syirik itu.!! Atau bahwa dalam meninggalkan
keikutsertaan di dalamnya ada kebinasaan seluruh kaum muslimin atau hal lainnya
yang mesti di pegang oleh orang yang berhujjah untuk itu dengan ucapan-ucapan
ulama dalam masalah itu…!
Tidak sama sekali, akan
tetapi ia adalah hawa nafsu dan mempermainkan agama Allah serta pembuatan hukum
dengan murni berdasarkan istihsan dan istishlah aqliy. Dan seandainya penuntun
mereka itu adalah bukti (nash) dan dalil seraya mereka tidak berpaling darinya
dan tidak merujuk kepada selainnya, tentulah mereka mendapat petunjuk, akan
tetapi ia adalah buah keberpalingan dari dalil dan bukti (nash) kepada hawa
nafsu yang menyesatkan dan pendapat-pendapat yang rusak, maka hendaklah takut
setiap orang yang meniti jalan-jalan ini dari siksaan orang-orang yang
berpaling yang Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya, “ Dan siapakah yang
lebih zalim daripada orang yang telah di perintahkan dengan ayat-ayat dari
Tuhannya lalu dia bepaling daripadanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan
oleh kedua tangannya? Sesungguhnya kami telah meletkkan tutupan di atas hati
mereka ( sehingga mereka tidak ) memahaminya, dan kami letakkan pula) sumbatan
di telinga mereka: dan kendatipun, kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya
mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (Al Khafi: 57)
Dan firaman-Nya swt:
“Mereka jika melihat tiap-tiap ayat (ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan
jika mereka melihat jalan yang membawa yang
membawa petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka
melihat jalan kesesatan, mareka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah
karena merka mendustakan ayat-ayat kami dan mereka selalu lalai daripadanya,”
(Al A’raf: 146)
Perhatian: Kepada Inti
Yang Agung Dna Kaidah Yang Penting Yang Tidak Diindahkan Oleh Mayoritas
Manusia: Mashlahat Terbesar Dalam Keindahan Ini Yang Tidak Boleh Digugurkan Dan
Dan Dihantarkan Dengan Mashlahat Apa Saja Yang Di Bawahnya
Engkau telah mengetahui
bahwa mashalih dlaruriyyah yang dianggap oleh syari’at adalah enam:
Dien-Jiwa-Nasab-Kehormatan-Akal-Dan Harta.
Sedangkan mashlahat yang
terbesar secara muthlaq adalah dien, karena sesungguhnya mashlahat-mashlahat
dlaruriyyat yang lain bila telah dianggap oleh syari’at adalah karena ia
menjaga atas manusia dunia dan urusan kehidupan merekaserta hanya dengan ini
saja keselamatan tercapai oleh sebab itu sangsi hukum terbesar adalah apa yang
Allah ta’ala tetapkan utuk manjaga kehormatan dien, yaitu hukum bunuh
sebagaimana dalam hadist “bagaimana merubah agamanya maka bunuhlah dia” dan
yang lainnya, terutama sesungguhnya Allah telah menjadikan sebagai hak murni
milik-Nya ta’ala yang tidak seorangpun menserikati Allah di dalamnya.
Sedangkan hal terbesar
dalam dien ini adalah (tauhid) yang mana lawannya adalah syirik, karena Allah
tidak menciptakan makhluk ini kecuali dalam rangka merealisasikan tauhid ini
dan menjauhi lawannya. Allah ta’ala berfirman: “Aku tidak menciptakan jin dan
kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” (Adz Dzariyat : 56) yaitu supaya
mereka beribadah kepada-Ku saja.
Dan Dia swt tidak
mengutus para rasul dan idak menurunkan kitab-kitab kecuali dalam rangka hal
itu. Allah ta’ala berfirman: “ Sesungguhnya kami telah mengutus pada setiap
umat seorang rasul, (para rasul itu berkata kepada kaum mereka): “ ibadahlah
kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu” (An Nahl)
Dan telah banyak fuga
hadist-hadist dari Nabi saw yang menyebarkan bahwa tolak ukur masuk surga dan
keselamatan dari neraka adalah tergantung kapada perealisasian tauhid dan penjauhan
syirik dan tandid, sedangkan ajaran-ajaran Islam yang lain tidak lain adalah
penyempurna, pelengkap dan pengkoh bagi hal inti yang sangat mendasar ini.
Oleh sebab itu para
ulama menuturkan bahwa [setiap ayat dalam Al Qur,an itu adalah berisi tauhid,
menjadi saksi baginya lagi mengajak kepadanya, dimana Al Qur’an itu:
·
Bisa jadi kabar tentang Allah, nama-nama-Nya , sifat-Nya dan
perbuatan-Nya, maka ia adalah tauhid ilmiy khabariy.
·
Bisa jadi ia adalah ajakan untuk beribadah kepada-Nya saja tidak
ada sekutu bagi-Nya, dan melepaskan diri dari apa yang diibadati selain-Nya,
maka ia tauhid iradiy thalabiy.
·
Bisa jadi ia adalah perintah dan larangan, maka ia adalah hak-hak
dan penyempurna tahid.
·
Bisa jadi ia adalah kabar tentang karunia Allah bagi ahli tauhid
dan apa yang Dia lakukan terhadap mereka di dunia dan apa yang Dia karuniakan
kepada mereka di akhirat, maka ini adalah balasan tauhidnya.
·
Dan bisa jadi ia adalah kabar tentang ahli syirik dan apa yang Dia
timpakan kepada mereka berupa siksa dan apa yang menimpa mereka di akhirat
berupa azab, maka ia adalah kabar tentang orang yang keluar dari hukum tauhid,
Maka Al Qur’an itu
seluruhnya tentang tauhid, hak-haknya dan balasannya, dan tentang syirik , para
pelaku serta alasan mereka].[25]
Jadi mashlahat terbesar
dalam kehiduapn ini adalah tauhidullah ta’ala
Dan demi penulisan hal
itu maka Allah mensyari’atkan jihad dan istisyhad, sehingga mashlahat ini
didahulukan terhadap semua mashlahat lainnya berupa jiwa atau harta atau
kehormatan atau yang lainnya karena pensyari’atan jihad hakikatnya adalah
pengerahan seluruh mashalih dan dlarurat dalam rangka melindungi keutuhan
mashlahat terbesar ini. Dan hal itu dijelaskan oeh firman-Nya ta’ala.” Dan
fitnah (syirik) itu lebih besar daripada membunuh,” (Al Baqarah: 217)
Sebagaimana bahwa
mafsadah terbesar dalam kehidupan ini adalah syiruk yang menggugurkan tauhid,
karena dosa di bawah syirik bisa saja diampuni bagi muwahhid atau memberikan
syafa’at di dalamnya pemberi syafa’at yang di taati atau dia diadzab sesuai
kadar dosanya itu terus tempat kembalinya adalah tempat kembali kaum muwahidin.
Adapun orang yang mati
sedang dia bersetatus sebagai orang musyrik kepada Allah, maka Allah ta’ala
telah berfirman tentangnya.”Sesungguhnya orang yang mmpersekutukan (sesuatu)
dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga,” (Al Maidah: 72)
Dan Dia swt berfirman: “
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
doa ang di bawah dosa ( syirik) itu, “ ( An Nisa: 48)
Dan rasulullah saw bersabda
: “ Barang siapa mati sedang dia menyeru tandingan bagi Allah maka dia pasti
masuk neraka.” (HR Al Bukhariy)
Bila hal ini sudah tetap
di ketahui oleh orang, maka dia tidak boleh mengendepankan mashlahat apa saja
dalam kehidupan ini terhadap mashlahat tauhid. Sebagaimana dia juga tidak boleh
menganggap besar mafsadah apa saja dalam keidupan ini di sisi mafsadah syirik,
karena syari’at telah menetapkan bahwa tauhid adalah mashlahat terbesar ,
sedangkan ini kembalikan rujukannya kapada syari’at, bukan kepada akal atau
hawa nafsu dan istihsan sebagaimana ang telah baku dalam dienullah.
Dan telah shahih dari
Nabi saw dalam apa yang di riwayatkan Al Buukhari dan Muslim serta ang lainnya
bahwa beliau ditanya: [dosa apa saja yang paling besar? Maka beliau berkata:
[Engkau menjadikan tandingan bagi Allah sedangkan Dia-lah telah menciptakan]
Dan bila ini telah
nampak jelas, maka sesungguhnya orang wajib untuk memahami setiap nash atau
ucapan ulama muhaqqiqin dan ulama rabbaniyyin sesuai dengan hal ini dan di atas
penduannya. Dan diantara hal itu adalah ucapan syakhul islam Ibnu Taimiyyah
yang biasa di pergunakan banyak manusia tanpa mereka menghubungkannya dengan
hal pokok ini dan banyak menusia tanpa mereka memahaminya sesuai dengan hal
ini, dimana beliau berkata : [Bila berbenturan mashlalih dengan mafsid dan
kebaikan dengan keburukan atau saling berdesakan, maka sesungguhnya wajub
mengendepankan yang paling kuat darinya dalam kindisi bila saling berdesakan
mashalih dengan mafasid bila mengandung peraihan mashlahat dan penghindaran
mafsadah maka mesti dilihat apa yang membenturnya , kemudian bila mashlahat
yang terhilangkan atau mafsadah yang timbul adalah lebih banyak, maka tentulah
ia tidak diperintahkan, namun justru adalah di haramkan bila mafsadahnya lebih
banyak daripada mashlahatnya, akan tetapi pertimbangan ukuran mashalih dan
mafasid adalah dengan timbangan syari’at], (Majmu AlFatwa 28/129)
Seandainya si pembaca
atau si penulis itu mengerti dan memahami bahwa mashlahat terbesar dalam
kehidupan ini adalah tauhid tentulah dia tidak akan mengedepankan terhadapnya
brbagai mashlahat lain yang lemah lagi dibuat-buat.[26]
Dan begitu juga
seandainya dia mengerti bahwa mafsadah terbesar dalam kehiduapan ini adalah
syririk kepada Allah, tentulah dia tidak akan meninggalkan penolakan mafsadah
syirik ini dan tentu dia tidak akan menikulnya demi mafsadah yang lebih rendah.
Dan lebih kecil darinya , bagaimanapun besarnya pensifatan yang dilontarkan para
penguasanya , sebagaimana ia kebiasaan orang-orang yang membela-bela keikutsertaan
dalam banyak pintu-pintu kekafiran, pembuatan hukum dan pemutusan dengan selain
apa yang telah Allah turunkan saat mereka mendalil kebatilan mereka it dengan
timbangan mafsaid dan mashalih terus mereka melakukan kecurangan (dalam
timbangan itu) karena kebodohan dari mereka atau sikap pura-pura bodoh.
Sedangkan Allah ta’ala mengancam mereka dengan firman-Nya: “Kcelakaan besarlah
bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila mereka menerima
takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain mereka kurangi. Tidaklah orang-orang itu yakin,
bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar,
(yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta Alam?.” (Al
Muthaffiqin: 1-6 )
Contoh Sikap Ngawur
Sebagian Du’at Masa Kini Dalam
Bab Mashlahat
Syaikh Abdurrahman Abdul
Khaliq memiliki kitab yang berjudul (Fushul Min As Siyasah Asy syar’iyyag Fid
Dakwah Ilallah) mayoritasnya berdiri di atas bab mashlahat dakwah , itulah
balincong yang dengannya banyk dari para du’at menghancurkan ushlul
(pokok-pokok) dan qawa’id (pondasi-pondasi) yang mana di dalam dien kita ini
seperti gunung-gunung yang kokoh. Dia dalam kitab itu membuat satu pasal dengan
judul (11-apakah mashlahat syari’iy?) dia membuka pembicaraan di dalamnya hal
(128) seraya berdalil untuk jawaban atas judul ini dengan pesitif, dengan apa
yang di bolehkan oleh dlalurat serta rukhshah orang yang sakit, musafir, orang
yang pincang dan orang yang buta, seraya membantah terhadap orang yang bisa
saja menganggap jijik judul seperti ini sembai mencapnya dengan ucapannya:
(bodoh pemikiran dan ilmu), dan dia lalai atau pura-pura lalai dari keberadaan
bahwa apa yang di bolehkan oleh dlalurat dan rukhshah-rukhshah itu sebenarnya
bukanlah penyelisihan terhadap nushush syar’iyyah , akan tetapi ia adalah
nushush syar’iyyah yang lain yang membatasi nash-nash yang lain atau
mengkhususkannya dalam keadaan-keadaan tertentu, sedangkan semuanya adalah dari
sisi Allah, dan selagi keadaan seperti itu: maka kamu tidak akan mendapatkan
pertentangan dan perselisihan di antara hal itu, Allah ta’ala berfirman,”kalau
kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah,dan selagi keadaannya seperti ini:
maka kamu tidak mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An Nisa:
82), maka tidak ada pertentangan secara pasti antara mashalih syar’iyyah yang
telah Allah ta’ala tegaskan terhadapnya dengan perintah-perintah syar’iyyah
semuanya, karena seluruhnya bersumber dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui, dan pertentangan, kontradiksi, dan perselisihan itu hanyalah
terjadi bila istishlah-istishlah itu bersumber dari selain Allah dan dari apa
yang tidak Allah turunkan dalilnya, sebagaimana ia keberadaan banyak
istihsan-istihsan dan istishlah yang diigaukan oleh banyak orang-orang yang
mengaku berilmu di zaman kita ini, oleh sebab itu maka yang lebih utama dan
lebih layak adalah dia membuat judul untuk pasal seperti ini dengan ucapannya:
(Apakah mashlahat pribadi atau hawa nafsu dan materi kehidupan dunia berbenturan
dengan nash syar’iy sesekali?), sehingga tidak ada masalah atas dia bila
menjawab atas hal itu dengan positif, karena ini adalah realita banyak para
du’at hari ini. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan ‘afiyah.
Dan bagaimanapun
keadaannya, sesungguhnya penyimpangan yang muncul dari ketergelinciran dalam
bab istishlah dan istisan tanpa batasan-batasan atau ushul ( dasar-dasar pokok)
dari syari’at tidaklah berhenti pada suatu garis batas, oleh karena itu Syaikh
Abdurrahman Abdul Khaliq telah mengklaim dalam materi itu dan langsung setelah
muqaddimah itu halaman 129 bahwa Nabi saw telah meninggalkan penerapan sebagian
hudud Allah dan meninggalkan membunuh kaum munafiqin yang menampakkan kekafiran
atau yang terjatuh pada sebagian penyimpangan yang berhak akan had, seperti
Abdullah Ibnu Ubay da orang-orang yang memperolok-oloknya para penghafal Al
Qur’an yang turun berkenaan dengan mereka firman-Nya ta’ala: “janganlah kalian
menacari-cari alasan, sesungguhnya kalian telah kafir setelah kalian beriman.”
(At Taubah: 66) karena mengikuti mashlahat dan karena mengedepankannya terhadap
hudud yang sudah tetap bagi para pemeluknya.
Dia berkata: [ini adalah
meninggalkan pemberlakuan suatu nash, yaitu sabda-Nya saw” siapa yang mengganti
agamanya, maka bunuhlah dia” karena mengambil mashlahat syar’iyyah itu , atau
dengan ungkapan yang lebih dalam karena khawatir mafsadah syar’iyyah, yaitu
pembicaraan manusia bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya, sedangkan dalam
sikap ini terdapat penjauhan (manusia) dari dien ini]
[Dan begitu juga
Rasulullah saw meninggalkan penerapan had qadzaf yang ada dalam Al Qur’an
terrhadap Abdullah Ibnu Ubay Ibnu Salul” tokoh penebar gosib dusta dan tokoh
kaum munafiqin, dan itu karena khawatir dari pernyataan murtad dan perobekan
jama’ah kaum muslimin serta berbaliknya kondisi Madinah terhadap Rasul]
Dan ini pada hakikatnya
adalah sikap ngawur dan lancang darinya, dimana hal itu menghantarkan kepada
tuduhan terhadap Nabi saw bahwa beliau menggugurkan sebagian hadud dan
meninggalkan pengamalan sebagai nushush.
Oleh sebab itu maka bagi
setiap orang yang mengikuti hawa nafsunya dan mencampakkan apa yang dia sukai
dari hudud ini atau meninggalkan apa yang dia inginkan dari nash-nash yang ada
dengan dalih mashlahat dakwah. Dan ini
pada hakikatnya adalah sybhat yang masyhur dikalangan Murjiah Gaya Baru, mereka
kadang mempromosikannya dalam rangka melegalkan istishlah dan istihsan mereka
yang berdasarkan syahwat yang dengannya mereka menentang nushush kemudian
mereka membolehkan penitian jalan orang-orang kafir, penyimpangan dari manhaj
nubuwwah dan jalan kaum mu’minin dengan dalih mashlahat dakwah yang
diada-adakan, atau untuk membela-bela para thaghut yang menggugurkan hudud
Allah ta’ala dan yang membuat hukum disamping Allah, pada keadaan yang lain.
Dan bagaimanapun
keadaannya, ia adalah sybhat yang kuno yang mereka dapatkan dari Syaikh-syaikh
mereka terdahulu yang mana hal itu dan yang serupa dengannya telah dibantah
oleh ulama Islam dari kalangan para imam yang kokoh dalam ilmu semacam Imam
Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam rh.
Sungguh Ibnu Hazm rh
telah mencantumkan dalam Al Muhalla 11/201 di bawah nomor 2199 suatu masalah
yang di dalamnya beliau membantah terhadap setiap orang yang mengklaim bahwa
Rasulullah saw mengetahui dan melihat bahwa orang-orang munafikin telah murtad
dan kafir secara terang-terangan setelah mereka menampakkan keislaman, namun
demikian beliau tidak membunuh mereka dan tidak menerapkan pada mereka had
riddah atau hudud lainnya yang mereka berhak terhadapnya.
Dan setelah beliau
menjelaskan bahwa kaum munafiqin yang mana sebagian pelanggaran mereka itu
dijadikan hujjah dalam sybhat ini adalah terbagi dua macam :
·
Satu macam yang sama sekali tidak diketahui Rasulullah saw
·
Dan macam lain yang terbongkar sehingga beliau mengetahui mereka,
kemudian mereka melindungi diri dengan taubat
Maka beliau setelah itu mulai menuturkan
apa yang dijadikan hujjah oleh orang-orang yang menyelisihi dalam bab ini, ayat
demi ayat dan hadits demi hadits, dan kemudian beliau membantah terhadap
istidlal mereka semuanya dengan bantahan yang ilmiyyah lagi berharga yang amat
penting untuk dibaca dan dihayati untuk membungkam syubhat-syubhat yang
didapatkan Murjiah masa kita ini dari para Syaikh mereka terdahulu dan mereka
mempromosikannya. “Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan
itu. Sebenarnya merka adalah kaum yang melampaui batas” (Adz Dzariyat : 53
Dan diantara hal itu bahwa dia di hal 207
menjelaskan bahwa kaum munafiqin yang memperolok-olok Al Qurra di perang Tabuk
telah kafir setelah sebelumnya mereka beriman, akan tetapi sikap Rasulullah saw
tidak menegakkan had terhadap mereka bukanlah – sebagaimana klaim mereka itu –
sebagai pengguguran terhadap had atau peninggalan penerapannya dengan dalih
mashlahat yang diada-adakan itu, akan tetapi karena mereka berlindung semuanya
dengan taubat dan menampakkan penyesalan serta mengakui dosa-dosa mereka –
sebagaimana Ahlul hadits meriwayatkan hal itu dalam sababun nuzul – dan
sebagaimana yang Allah ta’ala tuturkan, maka diantara mereka ada yang Allah
terima taubatnya karena Allah swt mengetahui kejujuran batinnya, dan diantara
mereka ada yang tidak Allah maafkan karena Dia mengetahui kedustaan mereka
dibatinnya, akan tetapi secara dhahir semuanya telah menampakkan taubat dengan
penegasan ayat”, Jika kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka
taubat) niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka
adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa” (At Taubah : 66) maka dhahir
(taubat) ini melindungi darah mereka di dunia.
Dan dia menuturkan juga hal 218 bahwa
Abdullah Ibnu Ubay setelah dia dan orang yang membantunya atas hal itu kafir,
mereka menampakkan taubat dan islam, maka Rasulullah saw menerima dari mereka
dan beliau tidak mengetahui batin mereka apakah tetap di atas kekafiran ataukah
di atas taubat yang mereka tampakkan? Akan tetapi Allah ta’ala mengetahui hal
itu, dan Dia tanpa ragu lagi adalah yang memberikan balasan atas hal itu dihari
kiamat. Adapun dalamhukum dunia maka mereka diperlakukan berdasarkan apa yang
mereka tampakkan.
Dan begitu juga syaikhul islam Ibnu
Taimiyah melakukan hal serupa, dimana beliau menuturkan dalam kitabnya (Ash
Sharimul Maslul) seputar hal itu ungkapan yang sangat berharga yang dekat
dengan ucapan Ibnu Hazm, di mana beliau di halaman: 346 menuturkan firman-Nya
ta’ala: “Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari
keridlaanmu…”. (At Taubah: 62)
Dan firman-Nya ta’ala: “Kelak mereka akan
bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka,
supaya kamu berpaling dari mereka.” (At Taubah: 95)
Dan firman-Nya . “Mereka bersumpah dengan
(nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). “ (At
Taubah: 74)
Dan firman-Nya ta’ala: “Mereka itu
mnjadikan sampah mereka sebagai perisai…” (Al Munafiqin: 2)
Dan ayat-ayat lainnya yang serupa, kemudian
beliau menuturkan bahwa ayat-ayat itu semuanya menunjukkan bahwa kaum munafiqin
mencari keridlaan kaum mu’minin dengan sumpah-sumpah yang bohong, dan mereka
mengingkari apa yang mereka terjatuh kedalamnya berupa kekafiran dan yang
lainnya, dan mereka besumpah bahwa mereka tidak melontarkan ucapan kekafiran.
Dan beliau sebutkan hal serupa itu juga halaman: 355 dan bahwa bukti tidak
bergakti atas ucapan-ucapan mereka itu, dan bisa saja ucapan itu di dengar dari
mereka oleh seorang laki-laki mukmin yang sendiri atau seorang wanita atau anak
kecil terus dia menyampaikannya kepada Nabi saw, maka mereka bersumpah dengan
(nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakannya, dan tidak terpenuhi orang yang
menyempurnakan nisab kasaksian bersama mereka. Dan hal seperti ini tepat
mengena pada had qaszaf yang disebutkan dalam kejadian ifki (berita bohong yang
menuduh Aisyah berzina). Dan tidak bisa dikatakan sesungguhnya Al Qur’an telah
bersaksi atas mereka dengan hal itu karena Al Qur’an tidak menta’yin nama-nama dan
Nabi saw tidaklah memperlakukan kaum
munafiqin dengan hukum-hukum dunia dengan apa yang beliau ketahui
tentang mereka dengan hal gaib jalan wahyu, akan tetapi dengan apa yang mereka
tampakkan atau hal itu terbukti atas mereka dengan bayyinah (bukti).
Dan diantara jawabah beliau rh juga, apa
yang telah baku yaitu bahwa bila dalam kejahatan itu berkumpul dua hak, hak
Allah dan hak manusia, maka dalam hukum-hukum dunia di unggulkan hak
manusia, maka rasulullah saw boleh
memaafkan, dan itu seperti qishash dalam pembunuhan dan di antara hal itu juga
qadzaf (menuduh zina) yang dilontarkan oleh kaum nunafiqin, lihat halaman 296
dan halaman 300, dan beliau berkata halaman 234 [bahwa bagi para nabi juga
memiliki hak manusia, oleh sebab itu Allah menjadikan bagi mereka hak untuk
memaafkan hal semacam ini dan Dia melapangkan hal itu atas mereka karena di
dalamnya ada haq manusia sebagai pengunggulan bagi hak manusia atas hak Allah,
sebagaimana Dia menjadikan bagi yang memiliki hak qishash dan had qishash dn
had qadzaf hak untuk memaafkan si pembunuh dan si penuduh, sedangkan mereka itu
lebih brhak karena dalam kebolehan pemaafan para Nabi dan yang lainnya tersapat
mashlahat yang agung yang berkaitan dengan Nabi saw serta dengan unat dan dien].
Dan berkata halaman: 235 [Berbeda dengan yang tidak ada hak manusia di dalamnya
seperti zina atau pencurian atau dzalim kepada selainnya, maka wajib atasnya
untuk menegakkannya]
Jadi masalahnya bukan sekedar istishlah
aqliy syahwagiy yang mana para du’at bisa menetapkannya dengan murni hawa nafsu
mereka, akan tetapi itu semuanya tergolong mashlahat yang dianggap secara
syari’at dan yang mana dalil-dalil
syar’iy telah menegaskan terhadapnya. Sehingga apa yang termasuk bab ini
maka ia diterima dan dianggap, sedangkan apa yang berasal dari selainnya maka
ia dibuang lagi tertolak.
Inilah, sangguh syaikhul Islam telah
menjawab banyak dari kejadian yang terjadi dari kaum munafiqin dalam banyak
tempat dari kitabnya itu dengan jawaban-jawaban lain yang banyak selain ini,
sebagiannya dari ucapan beliauu dan sebagiannya beliau nukil dari ucapan ulama
lainnya, maka silahkan rujuk ke sana. Dan perhatikan ucapan beliau yang
disertai dengan dalil-dalilnya agar engkau mengetahui perbedaan antara
ucapan-ucapan ahlul istidlal dengan ucapan-ucapan ahlul Istishlah wal Istihsan,
orang-orang yang berdalil dengan Al Kitab dan As Sunnah mengetahui bagi Nabi
saw dan sunnahnya. Adapun pihak lain maka istishlah-istishlah mereka itu mencemoohkan
mereka sendiri, dan menjatuhkan mereka pada celaan terhadap Nabi saw dan
menuduhnya menggugurkan syari’at, baik mereka sadar ataupun tidak sadar.
Oleh karena itu Ibnu Hazm berkata dalam
tempat yang diisyaratkan tadi 11/218: [Dan barangsiapa mengira bahwa Rasulullah
saw tidak membunuh orang yang telah wajib dibunuh dari kalangan sahabatnya MAKA
DIA TELAH KAFIR serta halal darah dan hartanya karena dia menyandarkan kepada
Rasulullah saw kebatilan dan penyelisihan Allah ta’ala. Demi Allah sungguh Rasulullah
sab telah membunuh para sahabatnya yang baik yang dijamin pasti keimanannya dan
pasti masuk surta aat wajib atas mereka hukum bunuh seperti Ma’iz, Al
Ghamidiyyah dan Juhaniyyah radliyallahu ‘anhum, maka termasuk kebatilan yang
meyakinkan, kesesatan yang nyata dan defasikan yang murni bahkan termasuk
kekafiran yang terang adalah orang muslim meyakini atau mengira bahwa
Rasulullah saw membunuh kaum muslim yang termasuk calon ahli surga dari
kalangan sahabatnya dengan cara pembunuhan yang paling mengerikan dengan batu,
terus beliau menggugurkan penegakan hak yang wajib pada pembunuhan orang murtad
terhadap orang kafir yang beliau ketahui bahwa dia itu murtad terus beliau
tidak puas dengan ini sehingga beliau menshalatkannya dan memintakan ampun baginya
sedang beliau mengetahui bahwa dia itu kafir, sedangkan telah lalu larangan
Allah ta’ala terhadapnya dari memintakan ampunan bagi orang-orang kafir.
Dan kami bersaksi dengan kesaksian Allah
ta’ala bahwa orang yang menganut pendapat ini dan meyakininya, maka
sesungguhnya dia itu kafir musyrik murtad lagi halal darahnya dan hartanya, dan
kami berlepas diri kepada Allah ta’ala darinya dan dari perwaliannya] selesai
dengan ikhtisar.
Ucapan-Ucapan
Dan Sikap-Sikap Yang Cemerlang Para Ulama Du’at, Para Imam Yang Lurus Dan Para
Raja Yang Saleh Perihal Mashlahat Yang Kosong Dari Dalil
·
Al Khalifah Ar Rasyid Umar Ibnu Abdil Aziz rh (101 H)
Yahya Al Ghassaniy berkata : Tatkala Umar
Ibnu Abdil Aziz mengangkat saya sebagai Gubernur untuk Mosul, maka saya
berangkat kesana dan ternyata saya mendapatkannya sebagai diantara negeri yang
paling banyak pencurian dan perampokan, maka saya mengirim surat kepadanya
seraya memberitahu keadaan negeri ini dan saya menanyakan kepadanya : Apakah
saya boleh menangkap orang dengan dasar perkiraan dan mendera mereka atas
tuduhan?[27]
Ataukan saya menangkap mereka dengan dasar bukti dan sesuai ketentuan sunnah
yang sudah berjalan?
Maka beliau menulis kepada saya agar saya
menangkap orang dengan dasar bukti dan sesuai ketentuan sunnah yang sudah
berjalan, kemudian bila al haq itu tidak meluruskan mereka maka Allah tidak
akan meluruskan mereka.
Yahya berkata : Maka saya melakukan hal
itu, maka saya tidak keluar dari Mosul sehingga Mosul itu menjadi diantara
negeri yang paling baik dan paling sedikit pencurian dan perampasannya.[28]
·
Abu Abdillah Sufyan Ibnu So’id Ibn uMasruq Ats Tsauriy (161 H)
Beliau adalah syaikhul Islam, imamul
huffadh dan penghulu ulama amilin di zamannya serta amirul mu’minin dalam
hadits dengan kesaksian para ulama besar yang ahli.
Al imam Ahmad berkata : Ibnu Uyainah
berkata kepada saya : [Kamu tidak akan melihat dengan kedua matamu orang
seperti Sufyan Ats Tsauriy sampai kamu mati]
Al Mar Wadziy meriwayatkan dari Al Imam
Ahmad ucapannya : [Apa kamu mengetahui siapa Al Imam itu? Al Imam adalah Sufyan
Ats Tsauriy, tidak seorangpun mendahuluinya dihati saya]
Yahya Ibnu Main berkata tentangnya : [Tidak
seorangpun menyelisihi Sufyan dalam apa saja, melainkan pendapat yang benar
adalah pendapat Sufyan]
Qubaishah berkata : [Saya tidak duduk
bersama Sufyan disuatu majlis pun melainkan saya mengingat kematian, saya tidak
melihat seseorang yang lebih sering menyebutkan kematian daripadanya]
Yahya Ibnul Yaman berkata : [Saya tidak
melihat orang seperti Sufyan, dunia menghampirinya, namun dia palingkan
wajahnya daripadanya]
Beliau rh adalah tokoh dalam Zuhud, Khauf
(takut kepada Allah), wara’, hapalan, pemahaman dan pengetahuan akan atsar.
Walaupun beliau tidak memandang boleh khuraj terhadap para pemimpin zamannya
karena mereka tidak menampakkan kekafiran yang nyata, namun demikian
sesungguhnya beliau tidak pernah takut dari mengingkari mereka terhadap celaan
orang yang suka mencela. Beliau tidak pernah mendatangi pintu-pintu mereka, dan
bila bertemu dengan mereka maka beliau tampakkan sikap tidak ridla terhadap
amalan mereka dan beliau mengingkari terhadap mereka apa yang mereka tampakkan
berupa kezaliman dan maksiat. Dan tentang keterpanggilannya untuk memerintahkan
hal yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, diriwayatkan darinya bahwa
beliau berkata : [Sesungguhnya saya melihat suatu yang wajib atas say
aberbicara tentangnya terus saya tidak melakukannya, maka saya kencing darah]
Dan sebagian sahabatnya berkata : “Saya
tidak melihat pemimpin dan orang kaya lebih hina darinya di majlis Sufyan”
Dan Sufyan berkata : “Sesungguhnya para
raja itu telah meninggalkan akhirat bagi kalian, maka tinggalkan bagi kalian
dunia”
Dan dikarenakan banyaknya pengingkaran
beliau dan tidak adanya mudahana (basi-basi) atau tidak pernahnya beliau masuk
menemui umara dan larinya beliau dari jabatan lembaga peradilan, beliau dicari
oleh Sulthan dan diperintahkan kepada para Gubernur untuk mencarinya, maka
beliau keluar menuju Mekkah dan menetap disana seraya bersembunyi lagi menutupi
diri, seraya dicari untuk disalib, beliau tidak menampakkan diri kecuali kepada
ahli ilmu dan orang yang tidak beliau khawatirkan. Dan disayembarakan siapa
yang bisa membawa Sufyan maka ia akan mendapat ini dan itu. Dan ada yang
mengatakan bahwa beliau lari ke Yaman. Dan tatkala khawatir ketatnya pencarian
terhadapnya di Mekkah maka beliau keluar menuju Bassrah dan tinggal didekat
rumah Yahya Ibnu Sa’id kemudian dipindahkan kepinggir rumahnya dan ia membuka
pintu antara rumahnya dan rumah Sufyan. Maka ia datang dengan ahli-ahli hadits
penduduk Bassrah seraya mengucapkan salam terhadapnya dan mendengar hadits
darinya. Kemudian tatkala diketahui dan tersiar tempat dan rumahnya maka ia
pindah ke rumah Al Haitsam Ibnu Manshur sampai beliau wafat, maka jenazahnya
dikeluarkan secara mendadak terhadap penduduk Bassrah, maka manusia
menyaksikannya dan beliau dishalatkan oleh Abdurrahman Ibnu Abdil Malik Ibnu
Abhur Al Kafiy dengan wasit Sufyan karena kesalihan dia. Dan dikuburkan disana
tahun 162 H, semoga Allah ta’ala merahmatinya.[29]
Dan diantara ucapan beliau rh dalam bab ini
:
Adz Dzhabiy berkata : Saya mendengar Al
Anbariy saya mendengar Al Busyanjiy saya mendengar Abu Shalih Al Farra saya
mendengar Yusuf Ibnu Asbath berkata, Sufyan berkata kepada saya :
[Bila kamu melihat ahli baca berlindung
dengan penguasa maka ketahuilah bahwa dia itu pencopet, dan bila kamu
melihatnya berlindung dengan orang-orang kaya, maka ketahuilah bahwa dia itu
orang yang riya, dan hati-hatilah kamu tertipu dan dikatakan kepadamu : “Kamu
bisa mengembalikan hak dan membela orang yang didzalimi, “karena sesungguhnya
ini adalah tipuan iblis, yang dijadikan tangga oleh ahli baca]. Selesai dari
Siyar I’lam An Nubala 13/586.
Dan Sufyan mengirim surat kepada ‘Abbad
Ibnu ‘Abbad… dan diantara isi suratnya :
“Hati-hatilah kamu dari para penguasa
(jangan) kamu mendekat dari mereka atau berbaur dengan mereka dalam sesuatu hal
apa saja, dan hati-hatilah kamu tertipu dan dikatakan kepada kamu” agar kamu
menjadi perantara yang membantu dan membela orang yang didzalimi atau mengemblaikan
hak,” karena sesungguhnya itu adalah tipuan iblis, dan itu hanya dijadikan
tanggal oleh ahli baca yang bejat….” Selesai dari Al Hilyah Karya Abu Nu’aim
6/376-377
·
Raja Mahmud Sabaktikin (421 H)
Beliau adalah penguasa negeri Ghaznah,
beliau menjadi raja setelah ayahnya, maka beliau bersikap adil di tengah
rakyatnya, dan beliau menyebarkan Islam, melakukan banyak penaklukan sehinga
kedudukannya menjadi besar dan meluaslah kerajaannya. Beliau Khatbah diseluruh
pelosok kerajaannya untuk Khalifah Al Qadir Billah, dan utusan-utusan dinasti
ubaidiyyah mendatanginya dari Mesir dengan surat dan berbagai hadiah dalam
rangka merayunya agar cenderung kepada pihak mereka, namun beliau membakar
surat-surat dan hadiah-hadiah mereka itu. Beliau membuka di negeri-negeri kafir
Hindu penakhlukan-penakhlukan yang amat besar yang tidak pernah terjadi pada
yang lainnya, dan beliau menghancurkan banyak berhala dan patung merka, dan
diantara patung yang beliau hancurkan adalah patung yang dinamakan Suminat yang
mana ia adalah patung terbesar orang Hindu yang mana mereka menziarahinya dari
berbagai pelosok negeri, sebagaimana manusia menziarahi Ka’bah Al Baitul Haram
dan bahkan lebih dari itu, dan mereka memberikan infaq dan harta yang besar
disisinya yang tidak bisa disebutkan dan tidak bisa dihitung, dan ia
mendapatkan waqaf dari 10000 desa dan kota yang masyhur sehingga
perbendaharaannya penuh dengan harta, dan ia memiliki 1000 laki-laki yang
melayaninya, dimana 300 laki-laki bertugas mencukur kepala jama’ah hajinya, dan
300 orang laki-laki bernyanyi dan berjoget dipintunya tatkala bedug dan
terompet dibunyikan dipintunya. Dan didekatnya terdapat ribuan orang yang
tinggal disisinya yang mana mereka makan dari wakafnya. Sedangkan orang yang
jauh dari orang-orang Hindu berangan-angan andaikata ia bisa sampai ke patung
ini, namun ia terhalang oleh jauhnya perjalanan dan banyaknya penghalan dan
gangguan….
Maka Sultan Mahmud istikharah kepada Allah
tatkala sampai kepadanya kabar patung ini dan para penyembahnya, banyaknya
orang-orang hindu di tengah perjalannya, dan padang pasir yang membinasakan dan
wilayah-wilayah yang berbahaya dalam menempuh itu bersama pasukannya dan
melewati kondisi-kondisi mencekam untuk mencapai patung itu. Dan orang-orang
hindu setiap kali Sultan Mahmud melakukan penaklukan dikawasan India dan
menghancurkan patung-patung mereka, mereka berkata : (Sesungguhnya
patung-patung ini telah dimukai oleh Suminat, karena andaikata dia ridla
terhadap patung-patung itu tentulah dia membinasakan orang yang bermaksud jahat
kepadanya). Tatkala hal itu sampai kepada Sultan, maka semangat untuk
menginvasinya makin bertamah, kemudian beliau menyiapkan pasukannya untuk itu,
sehingga telah siap bersamanya 30.000 tentara dari kalangan yang beliau pilih
untuk itu disamping sukarelawan. Dan beliau bergerak dari Gaznah tanggal 10
Sya’ban tahun 418 H dengan perkiraan darinya bahwa orang-orang hindu itu bila
mereka telah kehilangannya dan melihat kebohongan klaim mereka tentang patung
itu maka mereka akan masuk Islam.
Kemudian tatkala beliau dan pasukannya
telah sampai ke negeri berhala itu berada dan merka berhenti dihalaman para
penjaganya ternyata ia adalah tempat seukuran kota yang besar, dan orang-orang
hindu melihat dari kaum muslimin pertempuran yang belum pernah merek alamai sepertinya,
dan orang-orang hindu bertempur dipintu patungnya dengan peperangan yang sangat
dasyat, sekelompok demi sekelompok secara bergiliran masuk kepada suminat terus
mereka memeluknya, menangis dan terus keluar kemudian mereka bertempur sampai
terbunuh. Kaum muslimin membunuh 50.000 dari mereka, dan akhirnya merka bisa
menguasai patung itu terus mereka merobohkannya dan menyalakan api di bawahnya.
Dan sebelumnya orang-orang hinduberupaya membujuk agar sultanMahmud mau
mengambil harta yang banyak dan membiarkan patung itu bagi merka, maka beliau
berkata : Biar saya istikharah dulu kepada Allah azza wa jalla. Dan kemudian
tatkala keesokan harinya beliau berkata : Sesungguhnya saya telah berpikir
tentang masalah tersebut, maka saya memandang bahwa bila saya dipanggil dihari
kiamat [Mana Mahmud yang menghancurkan patung?] adalah lebih saya sukai
daripada dikatakan [yang membiarkan patung karena dunia yang akan dia
dapatkan]. Kemudian belian rh menghancurkannya dan mendapatkan di atasnya dan
di dalamnya berupa intan permata, emas dan perhiasan-perhiasan yang amat mahal,
yang melebihi apa yang mereka berikan berkali-kali lipat, dan kami mengharapkan
dari Allah baginya balasan yang sempurna di akhirat. (Al Bidayah Wan Nihayah
karya Ibnu Katsir 12/22 dan lihat Al Kamil Fith Tarikh karya Ibnul Atsir dalam
kejadian-kejadian tahun 416 H)
Dan saya katakan di sini: Seandainya
sebagian orang yang tampil untuk dakwah dan mashlahatnya di zaman kita ini
berada pada posisi beliau tentulah merka bakal membela-bela, menganggap baik
dan menganggap mashlahat dengan pikiran dan akal merka, bahwa mengambil harta
yang ditawarkan itu adalah lebih utama dan lebih manfa’at bagi muslimin dan
kepentingan-kepentingan mereka daripada menghancurkan patung itu terutama
bersama kekalahan orang-orang hindu itu, dan setelah dan setelah, dan karena,
dan akan tetapi, dan bisa saja dan mungkin saja… dan ungkapan lainnya yang
berasal dari sikap ngawur merka yang menjijikan serta istihsan-istihsan dan
istishlah-istishlah mereka yang berdasarkan selera. [Barangsiapa yang Allah
menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak
sesuatupun (yang datang) daripada Allah] (Al Maidah : 41)
·
Nuruddien Mahmud Ibnu Zankiy (569) penguasa Syam :
Syaikh Umar Ibnu Al Mulla dari Mosul
menulis surat kepadanya, dan sebelumnya Nuruddien telah memerintahkan para wali
dan para amir disana agar tidak memutuskan suatu urusan sehingga mereka
memberitahu dahulu Al Mulla, kemudian apa yang ia perintahkan kepada mereka
maka mereka melaksanakannya, dan ia itu termasuk orang-orang yang saleh lagi
zuhud.
Namun demikian ia telah mengirim surat
kepada Nuruddien : [Sesungguhnya para perusak telah banyak, dan membutuhkan
kepada siasat, sedangkan hal seperti ini tidak datang kecuali dengan
pembunuhan, penyaliban dan pemukulan, dan bila seseorang diambil di di padang
pasir maka siapa yang datang menjadi saksinya?] Maka raja Nuruddien menulis
jawaban kepadanya dibalik suratnya tadi : [Sesungguhnya Allah telah menciptakan
makhluk dan Dia menetapkan syari’at bagi mereka, sedangkan Dia adalah yang
paling mengetahui tentang apa yang meluruskan mereka, dan seandainya Dia
mengetahui bahwa dalam syariatnya ada tambahan dalam mashalat tentulah Dia
menyari’atkanyabagi kita, maka kita tidak butuh tambahan terhadap apa yang telah
Allah ta’ala syari’atkan. Barangsiapa menambah maka dia telah mengklaim bahwa
syari’at itu kurang sehingga dia menyempurnakannya dengan tambahannya itu, dan
ini termasuk kelancangan terhadap Allah dan terhadap syari’at-Nya, sedangkan
akal-akal yang gelap adalah tidak mendapatkan petunjuk. Dan Allah subhanahu
semoga membimbing kami dan engkau kepada jalan yang lurus].
Kemudian tatkala surat itu sampai ke tangah
Syaikh Umar Al Mulla maka beliau mengumpulkan manusia di Mosul, dan beliau
membacakan surat itu kepada mereka, serta beliau langsung mengatakan : Lihatlah
surat Az Zahid kepada sang raja dan surat sang raja kepada Az Zahid.[30]
·
Al Hafidh Abdul Faraj Abdurrahman Ibnul Jauziy[31]
Beliau berkata dalam kitabnya Talbis Iblis
hal 121 :
“Dan diantara talbis iblis terhadap para
fuqaha adalah perbauran mereka dengan para amir dan sultan, sikap mudahanah
(basa-basi) mereka dan meninggalkan pengingkaran terhadap mereka dapahal ada
kemampuan atas hal itu. Dan bisa saja para fuqaha itu memberikan keringanan
(rukshah) untuk mereka dalam suatu yang tidak ada rukshah bagi mereka di
dalamnya agar mereka mendapatkan bagian dari dunia mereka.
Sehingga dengan hal itu terjadi kerusakan
karena tiga sisi :
Pertama : Si Amir berkata : Seandainya saya
tidak berada di atas kebenaran tentulah ahli fiqh itu melakukan pengingkaran
terhadapnya, dan bagaimana saya tidak berada di atas kebenaran sedangkan dia
itu makan dari harta saya.
Dan kedua : Orang awam berkata : Tidak ada
masalah dengan amir ini dan tidak pula dengan harta dan perbuatan-perbuatannya,
karena si fulan yang ahli fiqh itu tidak beranjak dari sisinya.
Dan ketiga : Si ahli fiqh, maka
sesungguhnya dengan hal itu dia merusak dunianya.[32]
Dan sungguh iblis telah mengkaburkan
terhadap mereka dalam hal masuk mendatangi penguasa ini, dimana dia mengatakan
: “Kamu kan masuk dalam rangka menolong orang muslim”.
·
Sayyid Quthub
Beliau rh berkata dalam Afrahar Ruh[33]
[Sangat sulit atas saya untuk menggambarkan
bagaimana kita bisa sampai kepada tujuan yang
baik dengan menggunakan cara yang kotor?! Sesunguhnya tujuan yang baik
tidak hidup kecuali dalam hati yang baik, maka bagaimana mungkin bagi hati itu
untuk tahan menggunakan cara yang kotor, bahkan bagaimana ia mendapatkan jalan
untuk menggunakan wasilah (cara) ini?!
Saat kita mencelup ke jalan yang penuh
lumpur maka sudah pasti kita sampai ketepian jalan dalam keadan berlumuran
lumpur, karena sesungguhnya lumpur-lumpur di jalan akan meninggalkan
bekas-bekasnya pada kaki kita dan pada bagian-bagian kaki ini. Begitu juga
keadaannya saat kita menggunakan wasilah (cara) yang kotor : Sesungguhnya
kotoran akan menggantung para ruh-ruh kita dan ia akan meninggalkan
bekas-bekasnya para ruh-ruh ini dan pada tujuan yang kita sampai kepadanya”.
Dan berkata saat berbicara pada firman
Allah ta’ala dalam surat Al Hajj “(Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
Rosul pun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu
keinginan, syaitan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu…)” (Al
Hajj : 52) : Kadang semangat dan gelora jiwa mendorong para pengusung dakwah
setelah para Rosul, serta keinginan yang mendesak dalam penyebaran dakwah dan
kemenangannya… mendorong maka untuk merekrut sebagian sosok orang atau sebagian
tokoh dengan memicingkan mata diawal mulanya dari sesuatu yang termasuk
tuntutan-tuntutan dakwah yang mereka menduganya bukan hal yang mendasar di
dalamhya, dan membiarkan mereka dalam sebagian urusan mereka agar tidak lari
dari dakwah dan tidak menjauhinya.
Dan kadang hal itu mendorong mereka juga
untuk menggunakan cara-cara dan metode-metode yang tidak sejalan dengan
timbangan dakwah yang tepat dan dengan manhaj dakwah yang lurus. Dan itu
sebagai bentuk keinginan keras terhadap cepatnya kemenangan dan penyebaran
dakwah, serta sebagai upaya keras dalam perealisasian “maslhahat dakwah”
padahal mashlahat dakwah yang sebenarnya adalah berada pada keistiqamahannya di
atas manhaj tanpa penyimpangan baik sedikit ataupun banyak. Adapun hasilnya
maka ia adalah hal yang ghaib yang tidak diketahui kecuali oleh Allah, maka
tidak boleh para pembawa dakwah ini memperhitungkan hitungan hasil-hasil ini,
namn yang wajib adalah mereka berjalan di atas manhaj dakwah yang jelas yang
tegas lagi tepat dan mereka membiarkan hasil-hasil istiqamah ini kepada Allah,
dan tidak akan terbukti kecuali kebaikan di akhir perjalanan.
Dan inilah Al Qur’anul Karim mengingatkan
mereka kepada keberadaan bahwa syaitan selalu mengintai keinginan-keinginan
mereka itu untuk bisa menembus dari arahnya kepada inti dakwah. Dan bila Allah
telah menjaga para Nabi dan Rasul-Nya, sehingga syaitan tidak bisa menembus
lewat jalan keinginan suci mereka kepada dakwah mereka, maka orang-orang yang
tidak ma’shum adalah sangat membutuhkan kepada kehati-hatian yang ekstra dari
sisi ini, dan kewaspadaan yang sangat, karena khawatir syaitan masuk menembus
mereka dari celah kecintaan yang sangat dalam nushrah dakwah serta (celah)
keinginan yang besar terhadap apa yang mereka sebut “mashlahat dakwah”.
Sesungguhnya kata “mashlahat dakwat” ini wajib dilenyapkan dari kamus para
pembawa dakwah, karena ia adalah sumber ketergelinciran dan pintu bagi syaitan
yang mana dia masuk menembus mereka darinya saat dia kesulitan masuk menembus
mereka dari sisi mashlahat sosok-sosok orang.
Dan kadang “mashlahat dakwah” ini berubah
menjadi berhala yang diibadati oleh para du’at dan bersamanya mereka melupakan
manhaj dakwah yang inti. Wajib atas para du’at untuk istiqamah di atas apa yang
ditimbulkan oleh keberpegangan ini berupa hasil-hasil yang kadang nampak
dihadapan mereka bahwa di dalamnya terdapat bahaya terhadap dakwah ini dan para
penyerunya!! Bahaya satu-satunya yang wajib mereka hindari adalah bahaya
penyimpangan dari manhaj karena sebab apa saja, sama saja baik penyimpangannya
ini banyak ataupun sedikit. Sungguh Allah lebih mengetahui daripada mereka
terhadap mashlahat, dan mereka tidak dibebani dengannya, akan tetapi hanya
dibebani dengan satuhal saja, yaitu mereka tidak menyimpang dari manhaj dan
tidak berpaling dari jalan…..”
Pemungkas
Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Tentang Perihal
“Mashlahat
Dakwah”
Ini adalah fatwa yang di dalamnya Syaikhul
Islam ditanya tentang salah seorang Syaikh yang terkenal baik dan ittiba’
kepada sunnah. Dia ingin mendakwahi sekelompok para pembunuh, perampok, pencuri
dan para pemabuk, dan dia bermaksud menghidayahi mereka dan mencegah mereka
dari hal itu, kemudian dia tidak bisa mencapai hal itu – sesuai klaim si
penanya – kecuali dengan mengumpulkan mereka pada acara mendengarkan tabuhan
rebana dan laguan yang mubah, maka diapun melakukan hal tu bersama mereka
sampai akhirnya sejumlah dari mereka taubat dan setelah sebelumnya mereka itu
tidak shalat, tidak zakat dan bahkan mereka mencuri dan biasa melakukan
dosa-dosa besar serta perbuatan-perbuatan yang membinasakan, akhirnya mereka
menjadi bersikap wara’ dari hal-hal syubhat dan mereka mengerjakan
kewajiban-kewajiban serta menjauhi apa-apa yang diharamkan. Maka Syaikhul Islam
ditanya, apakah dibolehkan perbuatan semacam ini bagi Syaikh ini dikarenakan
mendatangkan banyak mashlahat….??
Maka ringkasan jawaban Syaikhul Islam
adalah beliau menejelaskan :
·
Bahwa acara simaa’ (mendengarkan tabuhan rebana dengan senandung
yang mubah) yang berkumpul terhadapnya manusia atau para sufi bila dijadikan
sebagai qurbah (ibadah yang mendekatkan) kepada Allah ta’ala maka ia adalah
simaa’ yang bid’ah.
·
Dan bahwa salaf yang shalih dari golongan generasi-generasi yang
utama tidak pernah mereka mengenalnya, dan justru simaa’ mereka yang diutamakan
hanyalah tilawah (membaca) kitabullah ta’ala dan berkumpul terhadapnya
·
Kemudian menjelaskan bahwa Allah azza wa jalla telah
menyempurnakan bagi kita dien ini, sehingga Dia tidak menyisakan di dalamnya
kekurangan atau celah kosong yang membutuhkan dari seseorang penutupannya atau
penyempurnaannya.
·
Dan beliau menggugurkan kliam si penanya bahwa tidak mungkin
menghidayahi manusia atau nushrah dien ini kecuali dengan cara-cara bid’ah
semacam ini, karena Allah ta’ala telah memberikan kepada kita jalan-jalan dan
cara-cara yang syar’iy yang cukup lagi memuaskan yang mana Nabi saw dakwah
dengan menggunakannya serta mendapat hidayah dengan sebabnya dan di atasnya
orang-orang yang lebih buruk dan lebih durjana daripada orang-orang yang
ditanyakan tentang mereka.
·
Dan beliau rh menjelaskan bahwa tidak seorangpun berpaling dari
cara-cara syar’iy ini kepada jalan-jalan dan cara-cara yang bid’ah kecuali
karena kebodohan atau kelemahan atau tujuan yang buruk.
·
Dan karenanya bahwa mencela perbuatan Syaikh itu meskipun
menghasilkan mashalih maz’umah (mashlahat-mashlahat yang diklaimnya), dan beliau
menjadikan cara dakwahnya itu bid’ah serta beliau mencapnya sebagai Syaikh yang
bodoh terhadap cara-cara yang syar’iy yang dengannya dakwah ilallah dilakukan
atau dia lemah darinya…
·
Dan beliau menegaskan terhadap wajibnya mengikuti firman Allah dan
sabda Rasulullah saw dalam dakwah ilallah dan (dalam) penghidayahan orang-orang
yang menyimpang dan ahli maksiat, karena Allah tidak menciptakan kita sia-sia
sehingga kita ngawur sesuka kita dalam kegelapan, bahkan Dia swt tidak
meninggalkan suatu kebaikan melainkan Dia telah menunjukkan kita terhadapnya
dan menentukan bagi kita cara-cara yang menghatarkan kepada maksud-Nya dan
ridla-Nya jalla wa ‘ala
Ini adalah ringkasan fatwa Syakhul Islam
Ibnu Taimiyyah, dan ia adalah fatwa yang kecil bentuknya akan tetapi ia adalah
besar nilainya terutama di zaman kita dimana sangat banyak para pengikut Syaikh
itu dari kalangan yang mengikuti wassail (cara-cara) dan istishlahat
(anggapan-anggapan mashlahat) yang tidak Allah turunkan dalilnya seraya mereka
mengklaim nushrah dien dan penghidayahan manusia. Bahkan sesungguhnya diantara
du’at zaman kita ada orang yang menyimpang dengan penyimpangan yang nyata dan
melampau apayang dialakukan Syaikh itu, karena sesungguhnya Syaikh itu
sebagaimana yang telah engkau ketahui hanyalah mengumpulkan mereka pada lagu
senandung yang mubah akan tetapi dia ingin menjadikan laguan itusebagai qurbah
(pendekatan diri) kepada Allah ta’ala dengan menjadikannya sebagai cara untuk
mendakwahi manusia dan penghidayahan orang-orang yang sesat, sehingga dengan
hal itu ia menjadi tercela.
Adapun banyak dari du’at zamanini, maka
sesungguhnya mereka menjadikan kekafiran dan syirik kepada Allah yang Maha
Agung sebagai cara/jalan/sarana yang mana mereka mengumpulkan para pengikut
mereka di atasnya untuk menegakkan dan nushrah dien ini – menurut klaim mereka
– seperti bersumpah untuk menghormati qawanin wadl’iyyah (undang-undang
buatan), atau menampakkan sikap tawalliy dan nushrah para budak dan para
pelindung UU itu terhadap para muwahhidin, atau rela dengan dien
(sistem/ideologi / ajaran / falsafah) selain dienullah yang dia anut dan dia
jadikan sebagai cara / jalan untuk membela dien ini – menurut klaim dia –
seperti demokrasi yang mana ia adalah hukum rakyat untuk rakyat dan bukan hukum
Allah untuk rakyat, sedangkan Allah ta’ala telah berfirman : “Barangsiapa
mencari selain Islam sebagai dien maka tidak akan diterima (hal itu) darinya
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (Ali Imran : 85)
Maka termasuk kezaliman yang nyata adalah
mengkiyaskan kesesatan mereka itu dengan perbuatan Syaikh tersebut – walaupun
memang istishlahnya itu batil – dan sesungguhnya termasuk sikap aniayaadalah
menyetarakan dan mengkiyaskan orang yang melakukan perbuatan mubah atau makruh
atau termasuk juga yang haram dengan dalih membela agama ini, dengan orang yang
mengkliam membela agama ini lewat cara/jalan syirik kepada Allah dan pencarian
penentu hukum dan dien (hukum/sistem/falsafah/ideologi) yang beraneka ragam dan
sekutu-sekutu yang bermacam-macam yang menetapkan baginya dari ajaran ini apa
yang tidak Allah izinkan.
Maka untuk orang seperti mereka dan para
muqallid mereka yang mengikuti mereka itu tanpa bashirah dan petunjuk kami
tuturkan fatwa ini dengan apa yang dikandungnya berupa dalil-dalil yang qath’I
dan bukti-bukti yang terang dengan harapan mudah-mudahan mereka meninggalkan
kebatilan yang nyata itu dan mendapatkan petunjuk kepada kebenaran yang nyata,
yang mana ia adalah jalan satu-satunya untuk nushrah dien ini, yaitu jalan para
Nabi dan Rasul.
·
Dan posisi fatwa dari Majmu fatwa Syaikhul Islam adalah pada jilid
II hal 620
·
Dan perlu diketahui bahwa saya telah melakukan sedikit ringkasan
dari fatwa itu, karena Syaikhul Islam telah berbicara panjang lebar di dalamnya
perihal masalah simaa’, dan saya telah memberikan komentar terhadap sebagian
tempat darinya dengan komentar-komentar yang sesuai dengan tempat.
Saya memohon kepada Allah yang Maha Tinggi
lagi Maha Kuasa agar menerima itu darikami dan membalas Syaikhul Islam dari
kami dengan balasan yang baik. Dan akhir seruan kami adalah alhamdulillahi
rabbil ‘alamin.
Syaikhul Islam ‘Allamatuz Zomon Taqiyuddin
Abudl Abbas Ahmad Ibnu Abdil Halim Ibnu Abdis Salam Ibnu Abdillah Ibnu Abil
Qosim Ibnu Taimiyyah Al Harraniy ra ditanya tentang “suatu jama’ah” yang
berkumpul untuk melakukan dosa-dosa besar : berupa pembunuhan, pembegalan,
pencurian, mabuk-mabuk dan lainnya, kemudian seorang Syaikh yang terkenal
dengan kebaikan dan pengikutan sunnah ingin mencegah orang-orang tersebut dari
hal itu, namun dia tidak memiliki kesempatan kecuali dengan cara dia mengadakan
buat mereka simaa’ yang mana mereka berkumpul di dalamnya dengan niat ini,
yaitu dengan rebana tanpa memakai kecrekan”[34] dan nyanyian penyanyi
dengan senandung syair yang mubah tanpa syabahah[35]. Kemudian tatkala dia melakukan
hal inimaka sejumlah orang dari mereka taubat dan akhirnya orang yang tadinya
tidak pernah shalat, tidak zakat dan suka mencuri menjadi bersikap hati-hati
dari hal –hal syubhat, dia menunaikan faraidl dan menjauhi hal-hal yang
diharamkan. Maka apakah dibolehkan perbuatan simaa’ ini bagi Syaikh ini dengan
bentuk seperti ini, karena ia mendatangkan banyak mashlahat? Dan juga tidak
mungkin dia mendakwahi mereka kecuali dengan cara ini?
Maka beliau menjawab : Alhamdu lillahi
rabbil ‘alamin
Dasar jawaban masalah ini dan yang serupa
dengannya adalah : (Mesti) diketahui bahwa Allah telah mengutus Muhammad saw
dengan petunjuk dan dienul haq untuk memenangkannya terhadap segala agama, dan
cukuuplah Allah sebagai saksi.
Dan bahwa Dia telah memberi kabar gembira
bagi orang yang mentaati-Nya dan kabar kebinasaan bagi yang durhaka kepada-Nya,
Dia telah berfirman : “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka
itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu : Nabi-nabi, para shddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang
yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (An Nisa : 69) dan
Dia ta’ala berfirman : “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sesungguhnya baginyalah neraka jahanan, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya” (Al Jin : 23)
Dan Dia memerintahkan manusia
untukmengembalikan apa yang mereka perselisihkan dari urusan agama mereka
kepada apa yang Dia utus Muhammad saw dengannya, sebagaimana firman-Nya ta’ala
: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan
ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kkamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An Nisa : 59) dan Dia mengabarkan
bahwa beliau mengajak kepada Allah dankepada jalan-Nya yang lurus, sebagaimana
firman-Nya ta’ala : “Katakanlah : Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata” (Yusuf
: 108), dan firman-Nya ta’ala : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus. (yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala
apa yang ada di langit dan apayang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada
Allah-lah kembali semua urusan” (Asy Syura : 52-53)
Dan Dia mengabarkan bahwa beliau
memerintahkan kepada hal yang ma’ruf, melarangdari yang munkar, menghalalkan
segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk, sebagaiman firman-Nya
ta’ala : “Dan ramhat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan
rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan
orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami” (yaitu) orang-orang yang
mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam
Taurat dan Injil yang ada disisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang
ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yangmunkar dan menghalalkanbagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.
Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka
itulah orang-orang yang beruntung (Al Araf : 156-157).
Allah telah memerintahkan Rasul-Nya saw
dengan segela perbuatan ma’ruf dan melarang dari segala yang munkar, dan Dia
menghalalkan segalayang baik dan mengharamkan segala yang buruk. Dia telah
tsabit dari beliau saw dalam Ash Shahih bahwa beliau bersabda : “Tidaklah Allah
mengutus seorang Nabipun melainkan telah wajib atasnya untuk menunjukkan
umatnya terhadap kebaikan apa yang dia ketahui bagi meerka dan melarang mereka
dari keburukan yang dia ketahui agi mereka”[36] dan telah tsabit dari Al
Irbadl Ibnu Sariyah beliau berkata : “Rasulullah saw telah memberikan kepada
kami suatu wejangan yang hati takut darinya dan mata menangis darinya. Ia
berkata : Maka kami berkata : Wahai Rasulullah seolah ini adalah wejangan orang
yang mau meninggalkan, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami? Maka beliau
berkata : Saya wasiat kepada kalian agar mendengar dan ta’at, karena
sesungguhnya orang yang hidup diantara kalian sesuah saya, maka dia akan
melihat perselisihan yang sangat banyak, maka pegang teguhlah sunnahku dan
sunnah al khulafa ar rasyidin al mahdiyyin setelahku, pegang eratlah dien dan
hindarilah segala urusan yang diada-adakan karena setiap bid’ah adalah
kesesatan”[37]
dan telah tsabit juga dari beliau saw bahwa beliau bersabda : “Aku tidak
meninggalkan sesuatupun yang menjauhkan kalian dari jahanam melainkan aku telah
memberitahukannya kepada kalian.[38] Dan sabdanya : “Saya
telah meninggalkan kalian di atas jalan yang terang, malamnya seperti siangnya,
tidak menyimpang darinyasetelahku kecuali orang yang binasa.[39]
Dan bukti-bukti dalil “hal pokok yang agung
lagi menyeluruh” ini adalah banyak sekali dari Al Kitab dan As Sunnah. Dan para
ulama membuatkan judul dalam kitab-kitab mereka “Kitab Al I’tisham Bil Kitab
Was Sunnah” sebagaimana judul yang dibuat oleh Al Bukhari, Al Baghawi dan yang
lainnya. Barangsiapa berpegang erat dengan Al Kitab dan As Sunnah maka ia
termasuk wali-wali Allah yang bertaqwa, barisan-Nya yang beruntung dan bala tentara-Nya
yang menang. Dan salaf – seperti Malik dan yang lainnya – mengatakan : Sunnah
itu seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya maka ia selamat dan barangsiapa
yang tinggal darinya maka ia tenggelam”. Dan Az Zuhriy berkata : Adalah orang
yang terdahulu dari ulama kita mengatakan : Berpegang kepada As Sunnah adalah
keselamatan.
BILA HAL INI sudah diketahui maka
diketahuilah bahwa apa yang dengannya Allah memberi hidayah kepada orang-orang
yang sesat dan yang dengannya Dia membimbing orang-orang yang binasa mesti ia
terbukti pada apa yang dengannya Allah telah mengutus Rasul-Nya berupa Al Kitab
dan As Sunnah[40]
Dan kalau tidak demikian maka sesungguhnya andaikata apa yang dengannya Allah
mengutus Rasul-Nya saw itu adalah tidak cukup dalam hal itu, tentulah dien
Rasul ini adalah kurang lagi butuh kesempurnaan.
Dan seyogyanya diketahui bahwa amalan
shalih itu adalah Allah telah memerintahkannya baik yang bersifat kewajiban
ataupun yang mustahabb. Sedangkan amalan-amalanyang rusak adalah Allah telah
melarang darinya.
Dan amalan bila mengandung mashlahat dan
mafsadah, maka sesungguhnya Allah Sang Pembuat hukum adalah bijaksana, bila
mashlahatnya mengalahkan mafsadahnya maka Dia mensyari’atkannya, dan bila
mafsadahnya mengalahkan mashlahatnya maka Dia tidak mensyari’atkannya, bahkan
Dia melarang darinya[41] sebagaimana firman-Nya
ta’ala : “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu
yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buru bagimu, Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Al Baqarah : 216) dan Allah ta’ala
berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah : pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya” (Al Baqarah : 219) oleh sebab itu Allah
ta’ala mengharamkan keduanya setelah itu.
Dan begitu juga apa yang dipandang manusia
dari amalan-amalan itu mendekatkan kepada Allah, namun Allah dan Rasul-Nya
tidak mensyari’atkannya, maka ia itu mesti bahayanya lebih besar dari
manfaatnya, karena seandainya manfaatnya lebih besar dominasinya terhadap
bahayanya tentulah Allah tidak menelantarkannya; sebab sesungguhnya beliau saw
adalah bijaksana, lagi tidak menelaktarkan mashlahat-mashlahat dien ini, dan
tidak menyembunyikan dari kaum mu’minin apa yang bisa mendekatkan diri kepada
Rabbul ‘alamin.
Bilahal initelah jelas, maka kami katakan
kepada si penanya : Sesungguhnya Syaikh tersebut bermaksud agar orang-orang
yang berkumpul terhadap dosa-dosa besar itu berta’ibat, namun dia tidak mampu
melakukan hal itu kecuali dengan cara yang bid’ah itu. Ini menunjukkan bahwa
Syaikh itu bodoh akan cara-cara yang syar’iy yang dengannya para ahli maksiat
menjadi taubat, atau Syaikh itu lemah darinya, karena sesungguhnya Rosul saw,
para sahabatdan tabiin telah mendakwahi orang-orang yang lebih buruk dari
mereka itu dari kalangan orang-orang kafir, kaum fasiq dan ahli maksiat dengan
cara-cara yang syar’iy yang Allah ckupkan mereka dengannya dari cara-cara yang
bid’ah.
Maka tidak boleh dikatakan : Sesungguhnya
dalam cara-cara syar’iy yang Allah utus Nabi-Nya dengannya tidak ada apa yang
dengannya orang-orang ahli maksiat menajdi bertaubat, karena sesungguhnya telah
diketahui secara pasti dan penukilan yang mutawatir bahwa telah taubat dari
kekafiran, kefasikan dan maksiat orang-orang yang tidak bisa menghitung
jumlahnya kecuali Allah ta’ala dari berbagai umat dengan cara yang syar’iy yang
di dalamnya tidak ada apa yang tadi disebutkan berupa kumpul-kumpul yang bid’ah
itu, akan tetapi as sabiqun al awwalan dari kalangan muhajirin dan anshar serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik – dimana mereka itu adalah
sebaik-baiknya auliyaullah al muttaqin dari umat ini – telah taubat kepada
Allah ta’ala dengan cara yang syar’iy bukan dngan cara-cara bid’ah ini. Dan
kata-kata dan dosa-dosa kaum muslimin baik dahulu maupun sekarang penuh dengan
orang-orang yang taubat kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya serta melakukan
apa yang dicintai dan diridlai Allah dengan cara-cara yang syar’iy bukan dengan
cara-cara yang bid’ah ini.
Maka tidak mungkin dikatakan : Bahwa para
ahli maksiat tidak mungkin terjadi taubat mereka kecuali dengan cara-cara yang
bid’ah ini, akan tetapi bisa dikatakan : Bahwa para Syaikh itu ada orang yang
bodoh terhadap cara-cara yang syar’iy, lagi lemah darinya, yang pada dirinya
tidak ada ilmu akan Al Kitab dan As Sunnah dan apa yang dengannya dia
mengkhitabi manusia serta dia memperdengarkannya kepada mereka dari kalangan
yang Allah terima taubat mereka, kemudian Syaikh ini berpaling dari cara-cara
yang syar’iy kepada cara-cara yang bid’ah, bisa karena niat yang baik bila si
Syaikh ini memiliki dien dan bisa karena tujuan ingin tampil memimpin mereka
dan mengambil harta mereka dengan batil, sebagaimana firman-Nya ta’ala : “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim
yahudi dan rahib-rahib nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan
yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah” (At Taubah
: 34) maka tidak berpaling seorangpun dari cara-cara yang syar’iy kepada yang
bid’ah kecuali karena kebodohan atau kelemahan atau tujuan yang buruk.[42]
Dan kalau tidak, maka termasuk suatu yang
ma’lum bahwa simaa’ Al Qur’an adalah simaa’ para Nabi, ‘arifa dan mu’minin.
Allah ta’ala berfirman perihal para Nabi : “Mereka itu adlaah orang-orang yang
telah diberi ni’mat oleh Allah, yaitu para Nabi dari keturunan Adam, dan dari
orang-orang yang kami angkat bersama Nuh dan dari keturunan Ibrahim dan Ismail,
dandari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila
dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka
menyungkar dengan bersujud dan menangis” (Maryam : 58)
Dan Dia ta’ala berfirman tentang ‘arifin
(orang-orang yang mengetahui al haq) : “Dan apabila mereka mendengar apa yang
diturunkan kepada Rasul (Muhammad), Kami lihat mata mereka mencucurkan air mata
disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui” (Al Maidah : 83)
Dan Dia ta’ala berfirman perihal ahli ilmu
: “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al
Qur’an dibacakan kepada mereka, menyeka menyungkur atas mereka sambil bersujud,
dan mereka berkata : “Maha Suci Tuhan kami : sesungguhnya janji Tuhan kami
pasti dipenuhi. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan
mereka bertambah khusyu” (Al Isra : 107-109)
Dan Dia ta’ala berfirman perihal kaum
mu’minin : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka
bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang manafkahkan
sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka, itulah orang-orang yang
beriman dengan sebenar-benarnya” (Al Anfal : 2-4). Dan firman-Nya ta’ala :
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang
serupa (mutu ayat-ayathnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit
orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati
mereka diwaktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah” (Az Zumar : 23)
Dan dengan simaa’ (mendengarkan Al Qur’an)
ini Allah memberi hidayah kepada hamba-hamba-Nya, Dia meluruskan bagi mereka
urusan dunia dan akhirat, Dia dengannya mengutus Rasul saw, dan dengannya
beliau memerintahkan kaum muhajirin, anshar dan orang-0orang yang mengikuti
mereka dengan ihsan, serta di atasnyalah salaf telah berkumpul, sebagaimana
para sahabat Rasulullah saw bila mereka berkumpul mereka menyuruh seseorang
diantara mereka agar membaca Al Qur’an dan mereka mendengarkannya. Dan adalah
Umar Ibnul Khaththab ra berkata kepada Abu Musa : Ingatkanlah kami dengan Tuhak
kami”, maka Abu Musa membaca sedangkan mereka mendengarkan. Dan di dalam Ash
Shahih dari Nabi saw bahwa beliau melewati Abu Musa Al Asy’ariy saat ia
membaca, maka beliau mendengarkan bacaannya, dan berkata : “Sungguh dia ini
telah diberi kemerduan dari kemerduan-kemerduan keluarga Dawud”[43] dan berkata : “Tadi malam
saya telah melwatimu saat kamu membaca, maka sayapun menyimak bacaanmu” maka ia
berkata : “Seandainya saya mengetahui bahwa engkau menyimak (bacaan) saya,
tentulah saya akan memerdukannya buat engkau”.
Dan dalam Ash Shahih bahwa beliau saw
berkata kepada Ibnu Mas’ud ra : “Bacakan Al Qur’an terhadap saya”, maka ia
berkata “Apa saya membaca Al Qur’an terhadap engkau sedangkan ia diturunkan
kepada engkau? Maka beliau berkata : “Sesungguhnya saya ingin mendengarnya dari
orang lain”, ia berkata : “Maka saya membaca terhadapnya surat An Nisa sampai
pada ayat ini “(Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami
mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan
kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)” (An Nisa : 41)
beliau berkata kepada saya : “Cukup” terus saya memandang kepadanya ternyata
kedua matanya berlinangan air mata karena menangis.”[44] Dan terhadap simaa’ macam
ini berkumpul generasi-generasi yang dipuji Rasulullah saw, dimana beliau
bersabda : “Sebaik-baiknya generasi adalah orang-orang yang saya diutus
ditengah mereka, kemudian generasi yang mengiringi mereka, terus generasi yang
mengiringi mereka.[45]
Dan digenerasi salaf pertama tidak ada
simaa’ yang mana orang-orang yang baik berkumpul terhadapnya kecuali hal ini,
baik itu di Al Jaz, di Yaman, di Syam, di Mesir, di Irak, di Khurasan dan
Maghrib. Dan simaa’ yang bid’ah ini hanya terjadi setelah itu. Dan Allah telah
memuji orang-orang yang melakukan simaa’ (Al Qur’an) ini lagi penuh antusias
terhadapnya, dan Dia mencela orang-orang yang berpaling darinya serta Dia
mengabarkan bahwa ia adalah sebab rahmat. Allah ta’ala berfirman : “Dan apabila
dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan
tenang agar kamu mendapat rahmat” (Al A’raf : 204) dan firman-Nya ta’ala : “Dan
orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka,
mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta” (Al
Furqan : 73) dan firman-Nya ta’ala : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang
yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran
yang telah turun (kepada mereka)” (Al Hadid : 16) dan firman-Nya ta’ala :
“Kalau kiranya Allah mengetahui kebenaran ada pada mereka, tentulah Allah
menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat
mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri
(dari apa yang mereka dengar itu)” (Al Anfal : 23) dan firman-Nya ta’ala :
“Maka kenapa mereka berpaling dari peringatan (Allah)?” seakan-akan mereka itu
keledai liar yang lari terkejut, lari daripada singa” (Al Maddatstsir : 49-51)
dan firman-Nya ta’ala “Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang telah
diepringatkan dengan ayat-ayat dari Tuhannya lalu dia berpaling daripadanya dan
melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya?” (Al Kahfi : 57) dan
firman-Nya ta’ala : “Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan
celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam
keadaan buata”. Berkata ia : Y Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam
keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?”. Allah
berfirman “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan” (Thaha :
123-126)
Dalam hal seperti ini dalam Al Qur’an
sangat banyak, memerintahkan manusia agar mengikuti apa yang dengannya Allah
mengutus Rasul-Nya berupa Al Kitab dan Al Hikmah (Ash Sunnah) dan memerintahkan
mereka agar menyimak itu.
Dan Allah ta’ala telah mensyari’atkan simaa’
(penyimakan Al Qur’an) bagi kaum muslimin di shalat maghrib, isya dan fajr, Dia
ta’ala berfirman : “dan (dirikan pula shalat) shubuh. Sesungguhnya shalat
shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)” (Al Isra : 78). Dan dengan ini Abdullah
Ibnu Ruwabah memuji Nabi saw, dimana ia berkata :
Dan ditengah kami ada Rasulullah yang
membaca kitab-Nya
Bila cahaya fajar mulai membelah
Di malam hari dia jauhkan badan dari
pembaringan
Saat orang-orang kafir tertidur nyenyak
Dia datang dengan petunjuk setelah
kegelapan, sehinga hati kami
Yakin dengannya bahwa apa yang dikatakannya
pasti terjadi
Dan keadaan para pelaku simaa’ ini
dituturkan dalam Kitabullah berupa rasa takut dihati, mata berlinang dan kulit
bergetar, sedangkan penyimakan bait-bait senandung hanyalah terjadi setelah
generasi-generasi ini, dan para imam telah mengingkarinya, sampai-sampai Asy
Syafi’iy rh berkata : Saya meninggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan
kaum zindiq, yang mereka sebut Taghbir, mereka mengklaim bahwa ia melembutkan
hati, yang dengannya mereka menghalang-halangi manusia dari Al Qur’an. Dan Al
Imam Ahmad ditanya tentangnya, Apa boleh kami duduk bersama mereka di dalamnya?
Maka beliau berkata : Jangan duduk bersama mereka.
Dan larangan ini berkaitan dengan
mendengarkan bukan mendengar, oleh sebab itu seandainya seseorang melewati
suatu kaum yang mengucapkan ucapan yang haram maka tidak wajib atas dia
menutupi kedua telinganya, akan tetapi dia tidak boleh mendengarkan tanpa ada
keperluan. Dan oleh karenanya Nabi saw tidak menyuruh Ibnu Umar untuk menutup
kedua telingannya tatkala mendengar seruling penggembala,[46] karena ia tidak
mendengarkan (menyimak) namun (hanya) mendengar.
Dan ucapan penanya dan yang lainnya :
Apakah ia halal? Atau haram? Adalah lafadh yang mujmat yang di dalamnya ada
talbis, yang mana terkabur hukum di dalamnya, sampai banyak mufti tidak cakap
untuk menguraikan jawaban di dalamnya. Itu dikarenakan pembicaraan perihal
samaa’ dan perbuatan-perbuatan lainnya terbagi menjadi dua macam
(Pertama) Apakah ia itu diharamkan? Atau
tidak diharamkan? Akan tetapi dilakukan sebagaimana dilakukannya
perbuatan-perbuatan lainnya yang mana jiwa merasakan nikmat dengannya, meskipun
didalamnya terdapat suatu macam dari permainan dan sikap bersenang-senang
seperti simaa’ (penyimakan senandung) dalam acara-acara pernikahan yang
lainnya, berupa hal-hal yang dilakukan manusia dengan tujuan kenikmatan
lainnya, berupa hal-hal yang dilakukan manusia dengan tujuan kenikmatan dan
permainan, bukan dengantujuan ibadah dan taqarrub kepada Allah.
(Macam kedua) dilakukan dalam rangka
keagamaan, iabah, perbaikan hati, permurnian kecintaan manusia kepada Tuhan
mereka, pembersihan jiwa mereka dan pensucian hati mereka. Dan (dalam rangka)
menggerakkan dari hati ini rasa takut (kepada Allah, inabah (kembali
kepada-Nya), kecintaan, kelembutan hati dan hal serupa itu yang termasuk jenis
ibadah dan ketaatan, bukan termasuk jenis permainan dan sikap bersenang-senang.
Maka wajib membedakan antara simaa’
orang-orang yang bermaksud taqarrub (kepada Allah) dengan simaa’ orang-orang
yang bermaksud melakukan permainan, dan
antara simaa’ yang dilakukan manusia dalam pesta pernikahan, hari-hari bahagia
dan kebiasaan-kebiasaan lainnya dengan simaa’yang dilakukan untuk perbaikan hati
dan taqarrub kepada Tuhan pencipta langit, maka sesungguhnya hal ini ditanyakan
tentangnya : Apakah ia sarana pendekatan diri (kepada Allah) dan ketaatan? –
dan apakah ia jalan kepada Allah? Dan apakah boleh bagi mereka untuk
melakukannya karena memiliki faidah (seperti) kelembutan hati, penggerakan
rindu mereka kepada (Allah) kekasih mereka, pensucian jiwa mereka,
pembersihankekerasan dari hati mereka dan tujuan-tujuan selain itu yang
dimaksudkan dengan simaa’ terseubt? Sebagaimana orang-orang nasrani melakukan
simaa’ semacam ini di dalam gereja-gereja mereka dalam bentuk ibadah dan
ketaatan, bukan dalam rangka bermain-main dan bersenang-senang.
Bila hal ini sudah diketahui maka hakikat
pertanyaan adalah : Apakah dibolehkan bagi si Syaikh itu dia menjadikan hal-hal
ini yang mana ia itu bisa jadi hal yang diharamkan atau yang dimakruhkan atau
hal yang mubah sebagai sarana mendekatkan diri, ibadah dan ketaatan serta jalan
kepada Allah yang dengannya dia mengajak (manusia) kepada Allah, merangsang
orang-orang maksiat untuk taubat, dan dengannya dia membimbing orang-orang
bingung serta dengannya dia mengarahkan orang-orang yang sesat kepada hidayah.
Dan termasuk halyang ma’lum bahwa dien ini
memiliki “dua hal pokok” maka tidak ada dien kecuali apa yang telah Allah
syari’atkan, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang telah Allah haramkan,
dan Allah ta’ala mencela kaum musyrikin karena sebab mereka mengharamkan apa
yang tidak Allah haramkan dan mensyari’atkan ajaran yang tidak Allah izinkan.
Dan andaikata orang alim ditanya tentang
orang yang berlari-lari kecil diantara dua gunung : Apakah dibolehkan baginya
hal itu? Dia berkata : Ya” kemudian bila dikatakan : sesungguhnya ia sebagai
bentuk ibadah sebagaimaana melakukan sai’ (lari kecil) diantara Shafa dan
Marwah? Dia berkata : sebenarnya perbuatannya atas dasar tujuan ini adalah
haram lagi mungkar, pelakunya disuruh taubat, kemudian bila dia bertaubat (maka
diterima) dan bila tidak taubat maka dia dibunuh.[47]
Dan andaikata ditanya : tentang membuka
kepala dan tentang memakai sarung dan selendang : maka ia menfatwakan bahwa ini
boleh” kemudian bila dikatakan : sesungguhnya ia melakukannya sebagai bentuk
ihram, sebagaimana ihramnya orang yang haji? Maka dia berkata : sesungguhnya
ini adalah haram lagi mungkar.
Dan andaikata ditanya : tentang orang yang
berdiri dipanas matahari, maka dia berkata : ini boleh”, kemudian bila
dikatakan : sesungguhnya dia melakukannya atas dasar tujuan ibadah? Maka dia
berkata : ini mungkar” sebagaimana Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra
“Bahwa Rasulullah saw melihat seorang laki-laki berdiri dipanas matahari, maka
beliau berkata : Siapa ini? Mereka menjawab : ini Abu Israil ingin berdiri
dipanas matahari, tidak duduk, tidak berteduh dan tidak berbicara, maka
Rasulullah saw berkata : suruh dia agar berbicara, duduk dan berteduh serta
menyempurnakan shaumnya.”[48] Hal ini andaikata dia
lakukan untuk istirahat atau tujuan yang mubah tentulah tidak dilarang darinya,
akan tetapi tatkala dia melakukannya dalam rangka bentuk ibadah maka dia larang
darinya.
Dan begitu juga seandainya seseorang
memasuki rumahnya lewat belakang rumah, tentuhal itu tidak haram atasnya, akan
tetapi bila dia melakukan hal itu dalam rangka sebagai ibadah, sebagaimana yang
biasa mereka kerjakan dimasa jahiliyyah; dimana seseorang dari mereka bila
ihram dia tidak masuk di bawah langit-langit, maka mereka dilarang dari hal
itu, sebagaimana firman-Nya ta’ala : [Dan bukanlah kebajikan memasuki
rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang
yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah dari pintu-pintunya] (Al Baqarah :
189). Maka Allah ta’ala menjelaskan bahwa ini bukan kebajikan, meskipun ia
bukan haram, namun barangsiapa melakukannya dengan anggapan kebajikan dan
taqarrub kepada Allah maka ia maksiat lagi tercela juga mubtadi (ahli bid’ah),
sedangkan BID’AH itu lebih dicintai iblis daripada maksiat, karena orang yang
berbuat maksiat mengetahui bahwa ia itu berbuat maksiat sehingga bisa taubat,
sedangkan mubtadi itu mengira bahwa yang dilakukannya adalha ketaatan sehingga
tidak taubat.
Oleh sebab itu orang yang menghadiri simaa’
untuk bermain dan bersenang-senang tidak menganggap perbuatannya itu sebagai
bagian dari amal solehnya dan dia tidak mengharapkan pahala dengannya. Dan
adapun orang yang melakuannya atas dasar anggapan bahwa ia adalah jalan kepada
Allah ta’ala maka sesungguhnya dia menjadikan hal itu sebagai dien, dan bila
dia dilarang darinya maka ia seperti orang yang dilarang dari diennya,[49] dan ia memandang bahwa ia
telah terputus dari Allah dan dihalangi dari bagiannya dari Allah bila ia
meninggalkannya. Maka mereka itu adalah orang-orang yang sesat dengan
kesepakatan ulama muslimin, dan tidak seorangpun dari para imam kaum muslimin
mengatakan : Sesungguhnya menjadikan hal ini sebagai ajaran dan jalan kepada
Allah ta’ala adalah hal yang mubah, bahkan justru orang yang menjadikan hal ini
sebagai ajaran dan jalan kepada Allah ta’ala adalah orang yang sesat yang
mengada-ada lagi menyelisihi ijma kaum muslimin. Dan barangsiapa (hanya)
melihat kepada dhahir amalan dan berbicara atas dasarnya dan dia tidak melihat
kepada perbuatan si pelaku dan niatnya maka ia bodoh lagi berbicara dalam dien
ini tanpa ilmu.
Maka pertanyaan tentang hal seperti ini
adalah dikatakan : Apakah yang dilakukan mereka itu adalah jalan, qurbah dan
ketaatan kepada Allah ta’ala yang dicintai Allah ta’ala dan Rasul-Nya ataukah
tidak? Dan apakah mereka itu diberi pahala atas hal itu ataukah tidak? Dan bila
hal ini bukan qurbah, ketaatan dan ibadah kepada Allah, terus mereka
melakukannya atas anggapan bahwa ia adalah qurbah, ketaatan, ibadah dan jalan
kepada Allah ta’ala, apakah halal keyakinan ini bagi mereka? Dan amal ini atas
dasar anggapan ni?
Dan bila pertanyaannya atas dasar sisi ini
maka orang yang alim yang mengikuti Rasul saw tidak mungkin mengatakan : Bahwa
ini termasuk qurbah dan ketaatan, dan bahwa ia termasuk macam ibadah, dan bahwa
ia termasuk jalan Allah ta’ala serta sarana-Nya yang mana merka itu mengajak
(manusia) dengannya kepada Allah, dan tidak (mungkin orang alim itu mengatakan)
bahwa ia termasuk apa yang dengannya Allah ta’ala memerintahkan haba-hamba-Nya;
baik perintah yang bersifat kewajiban maupun perintah yang bersifat istihbab.
Sedangkan suatu yang bukan termasukwajibat dan mustahabbat maka ia itu bukanlah
hal yang terpuji, bukanpulahal yang baik, bukan pula sebagai ketaatan dan bukan
pula ibadah dengan kesepakatan kaum muslimin.
Barangsiapa melakukan suatu yang bukan
kewajiban dan bukan pula mustahab atau dasar anggapan bahwa ia termasukjenis
kewajiban atau mustahab maka ia sesat lagi ahli bid’ah, dan perbuatannya atas
dasar anggapan ini adalah haram tanpa ada keraguan.[50] Apalagi banyak dari
kalangan yang menjadikan simaa’ yang muhdats (bid’ah) ini sebagai jalan
(dakwah) mereka mengedepankannya terhadap simaa’ Al Qur’an dari sisi
ketersentuhan hati dan perasaan, dan bisa saja mereka mengedepankannya
terhadapnya dari sisi keyakinan, dimana kamu mendapatkan mereka mendengarkan Al
Qur’an dengan hati yang kosong, lisan yang lalai, gerakan yang tidak
menentu serta suara yang tidak disertai
hati dan tidak dijiwai, namun bila mreka mendengar “mukaa” dan “tashdiyah”[51] maka hati mereka
menyimak, terjadi kontak yang dicintai dengan yang mencintai, suarapun sunyi tenang dan gerakan pun
berhenti senyap, sehingga tidak ada batuk, tidak ada bersin, tidak ada gaduh
dan tidak ada teriakan. Dan bila mereka membaca sesuatu dari Al Qur’an atau
mendengarnya maka itu dilakukan secara dipaksakan dan dibuat-buat, seperti
halnya orang yang mendengarkan sesuatu yang tidak ia perlukan dan tidak ada
faidah baginya di dalamnya, namun bila mereka mendengar seruling setan maka
mereka mencintainya, antusias kepadanya dan ruh mereka menyimaknya.
MAKA MEREKA itu adalah bala tentara syaitan
dan musuh-musuh Ar Rahman. Mereka mengira bahwa diri merka itu bagian dari
wali-wali Allah yang bertaqwa, padahal keadaan mereka ini sangat serupa dengan keadaan musuh-musuh
Allah yang munafik. Karena sesungguhnya orang mu’min itu mencintai apa yang
Allah ta’ala cintai dan membenci apa yang Allah ta’ala benci, dia loyal kepada
wali-wali Allah dan memusuhi musuh-musuh Allah, sedangkan mereka itu malah
mencintai apa yang Allah benci dan membenci apa yang Allah cintai, mereka loyal
kepada musuh-musuh Allah dan memusuhi wali-wali-Nya.[52] Dan karena hal ini
terjadilah bagi mereka bisikan-bisikan syaitan sesuai kadar senandung syaitan
yang mereka lakukan. Dan semakin jauh mereka dari Allah dan Rasul-Nya serta
jalan kaum mu’minin maka semakin dekat mereka dari musuh-musuh Allah dan
Rasul-Nya serta (dari) bala tentara syaitan.
Diantara mereka ada yang terbang di udara
padahal syaitanlah yang membawa dia terbang diantara mereka adayang membuat
kesurupan hadirin padahal syaitan-syaitannya-lah yang membuat mereka kesurupan,
dan diantara mereka ada yang menghadirkan makanan dan lauk pauk serta memenuhi
poli dari udara padahal syaitanlah yang melakukan itu. Maka orang-orang bodoh
mengira bahwa ini termasuk karamah wali-wali Allah yang bertaqwa, padahal
sebenarnya termasuk jenis perbuatan para dukun, tukang sihir dan
syaitan-syaitan sejenis mereka lainnya. Sedangkan orang yang bisa membedakan
keadaan-keadaan yang berasal dari Ar Rahman danyang berasal dari jiwa dan
syaitan maka tidak terkabur atasnya al haq dengan al batil.
Wal billahi taufiq wallahu a’lam. Shalawat
dan salam semoga Allah melimpahkannya kepada Muhammad, keluarganya dan para
sahabatnya.
Ucapan
Mutiara
·
[Hati-hatilah kamu dari penguasa (jangan) kamu mendekati dari
mereka atau berbaur dari mereka dalam sesuatu hal apa saja, dan hati-hatilah
kamu tertipu dan dikatakan kepada kamu “Agar kamu menjadi perantara yang
membantu dan membela orangyang didzalimi atau mengembalikan hak” karena
sesungguhnyaitu adalah tipuan iblis, dan itu hanya dijadikan tangga oleh ahli
baca yang bejat]” (Dari Hilyab, karya Abu Nu’aim : 6/376-377)
·
[Dan setiap yang tidak tercapai kepadanya kecuali dengan amalan
yang haram maka ia haram selamanya, … dan ini termasuk bukti-bukti yang pasti
lagi diketahui dengan awal perabaan dan sepontan akal. Dan baransiapa yang
menyelisihi di dalamnya maka dia adalah orang yang ngawur lagi menolak suatu
yang nyata terang. Wabillahi taufiq] Ibnu Hazm – Al Ihkam Fi Ushulil Ahkom
(1/328)
·
[Maka tidak berpaling seorangpun dari cara-cara yang syar’iy
kepada yang bid’ah kecuali karena kebodohan atau kelemahan atau tujuan yang
buruk] (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
·
[Tidak boleh menetapkan hukum dengan sekedar istihsan dan
istishlah, karena sesungguhnya itu adalah pensyari’atan bagi dien ini dengan
ra-yu (pikiran), sedangkan itu adalah haram berdasarkan firman-Nya ta’ala :
“Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan yang mensyari’atkan bagi mereka dari
dien ini apa yang tidak Allah izinkan” (Asy Syura : 21)] (Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah Ash Sharim 331)
·
[Maka tidak boleh para pembawa dakwah ini memperhitungkan hitungan
hasil-hasil ini, namun yang wajib adalah mereka berjalan di atas manhaj dakwah
yang jelas dan tegas lagi tepat dan mereka membiarkan hasil-hasil istiqamah ini
kepada Allah, dan tidak akan terbukti kecuali kebaikan diakhir perjalanan.
Dan ini adalah Al Qur’anul Karim mengingatkan merka kepada
keberadaan bahwa syaitan selaku mengintai keinginan mereka untuk bisa menembus
dari arahnya kepada inti dakwah] (Sayyid Quthub)
Penterjemah :
Selesai 25 Dzul Qa’dah
1427 H di Sija Bandung
[1] Lihat buku kecil
”Amiruna Wa Amiruhum” dan ia adalah perbandingan antara Al Faruq dengan
Macchiavelli karya Muhammad Rawwa Qal’ajiy
[2] Perhatikan hal ini,
kemudian lihatkan ini, kemudian lihatlah para realita para thaghut masa kini;
tentu engkau melihat hal yang mengherankan.
[3] Ushulul Ahkam karya Al
Amidiy 4/213
[4] Lihatlah Raudlatun
Nadhir karya Ibnu Qudamuh halaman: 147 atau Mudzakirah Al Ushul karya Asy
Synqithiy halamam: 167
[5] Irsyadul Fuhul 140
[6] Yang di maksud dengan
“seorang pun” di sini: adalah orang-orang yang dianggap dari kalangan ulama dan
orang-orang yang mengerti. Adapun Ruwaibidlah yang melantarkan apa yang tidak
mereka ketahui dan berbicara dengan apa yang tidak mereka ilmui dari kalangan
yang hari ini tampil berbicara dalam urusan dien yang paling berbahaya, maka
mereka itu telah berani untuk mengatakan apa yang lebih buruk dan lebih busuk
dari itu.
[7] Beliau maksudkan dalam
Ushulul Fiqh dan bab-bab adillatul uhkam.
[8] Dikeluarkan secara marfu
dari ibnu Mas’ud oleh Abu Dawud Ath Thaya Lisiy. Ath Thabraniy dan yang
lainnya, dan diriwayatkan secara marfu’
dari Anas dengan Isnad yang gugur, lihat Kasyful Khafa wa Muzilul Ilbas hadist
no: 2214
[9] Lihat Mabhats Ijma dalam
Irsyadul Fuhul sebagai contoh.
[10] Lihatlah Ushul Al Ahkam
karya Al Amidiy 4/5/2
dan Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam karya Ibnu Hazm 2/187, serta lihat Sultab Para Ulama Al ‘Izz ibnu
Abdussalam.
[11] Dan
ucapannya setelah itu: “...dan tidak
mengatakan di dalamnya kecuali orang yang alim akan ijtihad lagi mengerti untuk
menyerupakan atasnya...” adalah jelas bahwa beliau memaksudkan qiyas, oleh
sebab itu beliau bekata setelah itu: “...dan
bila halnya seperti itu maka wajib atas orang alim untuk tidak berkata kecuali
dari arah ilmu, sedangkan arah ilmu adalah khabar yang lazim untuk qiyas dengan
bukti-bukti terhadap kebenaran, agar ahli ilmu itu selalu mengikuti khabar, dan
pencari khabar dengan qiyas sebagimana orang yang menghadap ka’bah dengan
melihat langsung dan orang yang berupaya menghadapnya dengan berdalil dengan
tanda-tanda sembari berupaya keras...”
[12] Dari Irsyadul Fuhul
halaman 240
[13] Perhatikan, ini pada
orang alim...!!! Maka bagaimana dengan para pengekor yang tidak mencium bau
ilmu dan tidak mengetahui apa rasanya
[14] Raudlatun Nadhir Wa Junnatul Munadhir halaman 149
[15] Lihatlah Madzakkaah Al Uahul milik Asy Syinqithiy halaman: 170
[16] Irsyadu Fuhul halaman: 242
[17] Raudlatun Nadhir Wa Junnatul
Munadhir halaman: 149
[18] Sebagian ulama menjadikan nasab dan
kehormatan satu, sehingga jumlahnya menjadi lima, dan telah kami jelaskan dalam
kitab kami “Kasyfun Niqab’an Syari’atil Ghab” bagaimana bahwa syari’at telah
datang untuk melindungi dlaruriyyat ini, dan bahwa qawanin wadl’iyyah
(undang-undang buatan) yang dibuat oleh para thaghut bekerja siang malam untuk
menghancurkannya.
[19] Lihat Raudlatun Ndhir Wa Jannatul
Munadhir, karya Ibnu Qudamah halaman: 150
[20] Dari Manhumah Al Quwa’id Al
Fiqhiyyag karya Abdurrahman Ibnu Washir As Sa’diy, dahulu saya telah
mempelajarinya dan saya merapikan syarahnya serta saya tambahkan kepada isi
aslinya faisah yang beraneka ragam di awal masa thalabul ilmi
[21] Begitu dalam catakan Majmu Al
Fatwa, dan bisa jadi yang benar adalah (dalam) sebagaimana ia jelas dari
konteksnya karena pembicaraan itu dalam hal celaan mashlahat-mashlahat yang kosong dari dalil
[22] Terbitan Ad Dar As Salafiyyah di
Kuwait,dan ini bukanlah satu-satunya tempat yang dikritik terhadapnya. Kitab
ini pada dasarnya di susun dalam rangka melegalkan keikutsertaan dalam parlemen
legislatif dan wasaail dakwah modern lainnya yang sejalan dengan jalan
orang-orang kafir dan yang menyebrangi jalan kaum mu’minun sebagaimana ia
nampak pada pembukaannya.
[23] Dan dia dalam masalah ini telah di
bantu oleh Syaikh Ali Al Ja’faniy Al Yamaniy rh yang di hukum mati di Hijaz
setelah tragedi Al Haram tahun 1400 H, dalam risalah yang beliau nemai kasyful
Haqaiq.
[24] Seagai contoh silahkan lihat kitab
(Lid Du’at Faqath), milik Jasmin Al Muhalhil Al Yasin halaman:231 dan kitab(
hukmul Musyarakah Fil Wil Wizarah Wal Majalis An Niyabiyyuh) halaman: 91
[25] Dari ucapan Ibnul Qayyim dan
dituturkan juga oleh Abil’lzzi dalam Syarh Ath Thahawiyyah.
[26] Lihat halaman 88 dari kitab “Hukum
Musyarakah Fil Wizarah Qal Baralamat At Tasyri’iyyah karya Umar AlAsyqar dan di
dalamnya ada istidlal dengan ucapan saikhul islam Ibnu Taimiyyah dalam bab
peraihan mashlahat terbesar dari dua mashlahat terbesar dalam kehidupan ini”
yaitu perealisasian tauhid dan kuffur kepada thaghut.
[27] Perhatikan : Ini adalah mashlahat
umum yang dlaruriy (sangat penting)!! Sedangkan keadaan negeri adalah seperti
itu, namun demikian tetap Al Khalifah Ar Rasyid tidak mau membuat mashlahat
yang menyelisihi sunnah dan al haq
[28] Dari Tarikh Al Khulafa karya As
Sayuthiy hal 237, dan berkata setelah itu hal 241 (Semua yang saya utarakan
telah dimusnahkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah) dan lihat juga dalam Asy
Sifa karya Al Qadliy ‘Iyadl 2/15
[29] Lihat Siyar A’lam An Nubala 7/229.
Todzkiratul Hafidh 1/203 dan Hilyatul Auliya 6/356 serta yang lainnya.
[30] Al Bidayah wan Nihayah 12/282-283
[31] Perhatian : Adz Dzahabiy berkata
dalam siyar A’lamin Nubala 21/368 : (Semoga Allah merahmati dan memaafkannya, andai
saja beliau tidak menceburkan diri pada takwil)
[32] Dan berkata hal 122 : “Dan secara
umum, Sesungguhnya masuk mendatangi para penguasa itu adalah bahaya yang besar,
karena niat bisa jadi baik di awal masuknya terus ia berubah dengan sebab
penghormatan dan pemberian mereka, atau dengan sebab menginginkan apa yang ada
pada mereka, dan tidak tahan dari berbasa-basi kepada mereka dan (dari)
meninggalkan pengingkaran terhadap mereka. Dan sungguh Sufyan Ats Tsauriy ra
berkata : (Saya tidak takut dari penghinaan mereka kepada saya, namun hanyalah
saya takut dari penghormatan mereka sehingga hati saya cenderung kepada
mereka). Dan sungguh para ulama salaf menjauh dari para penguasa tatkala nampak
siap aniaya mereka, kemudian umara mencari-cari mereka karena kebutuhannya
kepada mereka dalam hal fatwa dan penanganan urusan, kemudian tumbuhlah
orang-orang yang kuat kecintaan mreka terhadap dunia terus mereka mempelajari
banyak ilmu yang layak bagi umara dan mereka membawanya kepada mereka untuk
mendapatkan (bagian) dari dunia mereka”
[33] Ia adalah risalah yang indah yang
beliau kirim kepada saudaranya Aminah Quthub yang untuk pertama kalinya
diterbitkan Majalah Al Fikr Tunisia
dengan judul “Adlwaa Min Ba’id” dan itu pada volume VI, tahun keempat beberapa
kali terbitan. Dan ucapan yang di atas adalah pada poin (15) darinya hal 26
[34] Syaikhul Islam rh dalam jawabannya
ini tidak menyinggung-nyinggung ucapan si penanya disini “dengan rebana tanpa
mekakai kecrekan” akan tetapi beliau berkata ditempat lain “… sebagaimana diruhshahkan
bagi wanita menabuh rebana dipernikahan dan hari-hari bahagia, adapun laki-laki
dimasa Rasulullah maka tidak seorangpun diantara mereka menabuh rebana dan
tepuk tangan, justru telah tsabit dalam Ash Shahih dari beliau bahwa beliau
berkata : tepuk tangan itu hanya bagi wanita dan tasbih buat laki-laki dan
beliau melaknat wanita-wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang
menyerupai wanita. Dan dikarenakan menyanyi, menabuh rebana dan tepuk tangan
itu termasuk perbuatan wanita, maka salaf menamakan laki-laki yang melakukan
hal itu sebagai banci dan menamakan kaum pria yang menyanyi sebagai
banci-banci, dan ini adalah masyhur dalam ucapan mereka” Lihat risalah ke 13
dalam hal simaa’ dan raqsh(daget) dari Majmu’atur Rosuail Al Kubra 2/301
Apakah
rela dengan cap semacam ini orang-orang yang menyebarkan nasyid-nasyid mereka
dengan rebana di tengah-tengah pemuda kaum muslimin dengan dalih pengadaan
solusi pengganti bagi lagu-lagu yang cabul (yaitu dalih mashlahat dakwah)!! Dan
sungguh iblis telah membuktikan kebenaran dugaannya terhadap mereka, dimana dia
menipu mereka dengan talbis-talbis yang batil ini. Dan seandainya mereka
kembali kepada diri mereka sendiri dan mereka berpikir; apakah mereka lebih
pintar dan lebih bijaksana daripada Rasulullah saw serta lebih perhatian
terhadap dakwa ini? Dan kemudian, sedandainya hal itu baik tentulah Rasulullah
tidak ketinggalan dengannyadan tentumereka tidak akan lebih mendahului beliau
kepadanya.
[35] Syababah diambil dari syabbahu
yusyabbibu, yaitu menceritakan wanita, dan tasybibu asy syi’ri artinya :
melembutkan senandung syair dengan menyebutkan wanita.
Dan
Syababah : seruling, salah satu alat simaa’
[36] HR Muslim (Al Imarah 46) dari
Abdullah Ibnu Amr Ibnul Ask dengannya lafadh (sesungguhnya tidak ada seorang Nabi
pun sebelumku melainkan wajb atasnya ….) dan terhadap hal itu dibawalah ucapan
Syaikhul Islam “telah tsabit darinya dalam Ash Shahih” dan bukan dan bukan
terhadap Al Bukhari, dan begitu juga diriwayatkan oleh An Nasai 7/153 dan Ibnu
Majah no 3956 serta Ahmad 2/191.
[37] Musnad Ahmad 4/126-127, Abu Dawud
(Tohun5), At Tirmidziy (Kitabul ilmi 16), Ad Darimiy (Muqaddimah 16) dan yang
lainnya
[38] Juz dari hadits mursal yang
diriwayatkan Abdurrazaq dalam mushannafnya (20100) dari ‘Imron Kawan Ma’mar
[39] Musnad Al Imam Ahmad 4/126, Ibnu
Majah dalam Al Muqaddimah dengan nomor 43 dari hadits Al Irbadl Ibnu Sariyah
yang lalu, dan IbnuMajah meriwayatkan seperti lafadh ini dari Abu Ad Darda
secara marfu, beliau sebutkan dalam Al Muqaddimah hadits no 5
[40] Dan ini adalah ringkasan jawaban
terahdap pertanyaan si penanya
[41] Dan kamu sudah mengetahui dalam
uraian yang lalu bahwa timbangan Mshlahat dan mafsadah hanyalah Allah Sang
Pembuat hukum yang Maha Bijaksana, bukan kepada hawa nafsu dan istihsan.
[42] Perhatikan ucapan yang sangat berharga ini, karena sesungguhnya ia
hampir bisa menjadi kaidah yang umum (qaidah kulliyyah) pada keadaan-keadaan
manusia secara umum dan du’at secara khusus. Dan orang yang mengamati perihal
keadaan para du’at zaman kita ini lagi memperhatikan realita mereka, ia akan
mengetahui kebenaran ucapan Syakhul Islam ini dan firasatnya, karena
sesungguhnya keberpalingan para du’at dari manhaj para nabi atau sikap acuh
(tafrith) mereka dalam penerapan millah ibrahim secara praktek perbuatan dalam
realita dakwah ilallah adlaah hanya terjadi karena salah satu dari tiga sebab
ini, yaitu bisa jadi karena kebodohan akan hakikatnya, atau lemah (tidak mampu)
dari menanggung resiko-resikonya yang berat dan kesukaran, kesulitan serta
ujian yang menghampirinya, atau karena tujuan yang buruk berupa kekuasaan, atau
jabatan atau kepemimpinan atau keanggotaan di Dewan Perwakilan atau harta.
Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam, karena sesungguhnya beliau melihat
dengan cahaya syari’at, furqan at taqwa dan firasat mu’min.
[43] Lihat Al Bukhariy (Fadlailul Qur’an
9/92, dan Muslim (Shalatul Musafirin) bab 34 no 236 dan diriwayatkan pula oleh
Imam Ahmad dan para penulis As Sunnah
[44] Al Bukhariy (Kitab At Tafsir 8/250
dan Muslim (Shalatul Musafirin) bab 40 dan yang lainnya
[45] Lihat Al Bukhari, Kitab Asy
Syahadat 9, Fadlail Ash Shahabah 210 dan yang lainnya
[46] HR Abu Dawud dalam unannya, kitabul
adab (bab karahiyyatil ghina waz zamri)
[47] Saya katakan : Bila ini adalah
ucapan Syaikhul Islam perihal orang yang menjadikan sebagian hal-hal mubah sebagai
ibadah dan qurbah kepada Allah ta’ala, maka bagaimana gerangan dengan orang
yang menjadikan suatu yang haram atau kekafiran seperti itu, sehingga dia
taqarrub kepada Allah dengan kekafiran yang nyata atau kemusyrikan yang jelas,
seperti orang yang bersumpah untuk menghormati UUD syirik dan UU kafir dan
menampakkan pembelaan terhadap wali-walinya dan dia menerima untuk menjadi
musyarri’ (pembuat hukum/UU/UUD) menurut UUD itu seraya mengklaim bahwa dalam
hal itu ada pembelaan bagi dien ini dan mashlahat dakwah? Kita memohon ‘afiyah
dan keselamatan kepada Allah.
[48] Lihat Al Bukhariy Kitabul Aiman Wan
Nadzur 11/586 dan diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan yang
lainnya.
[49] Sebagaimana ia keadaan banyak du’at
yang menjadikan dari jalan-jalan yang bengkok lagi menyimpang darijalan para
nabi sebagai dien (paham/ajaran/pegangan), maka sesungguhnya mereka itu
membela-belanya sebagaimana orang membela-bela diennya, dan oleh sebab itu
mereka menvonis bid’ah orang yang menyelisihi mereka di dalamnya dan mencapnya
dengan cap-cap keberlepasan dari dien atau dengan sebuta khawarij danahli-ahli
bid’ah lainnya. Berbeda halnya dengan orang yang menjadikan hal itu sebagai
amal yang bersifat duniawiy semata ….!!
[50] Maka sebagaimana dengan orang yang
melakukan suatu yang haram atau kekafiran atas dasar anggapan bahwa ia itu
bagian dari kewajiban dien ini dan mashlahat dakwah??
[51] Mukaa adalah siulan, dan tashdiyah
adalah tepuk tangan. Dan ia yang berasal dari firman-Nya ta’ala tentang kaum
musyrikin : Sembahyang mereka disekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah
siulan dan tepukan tangan” (Al Anfal : 35). Di dalamnya ada isyarat kepada
penyerupaan para pelaku simaa’ tersebut dengan kaum musyrikin itu pada sesuatu
dari ibadah mereka.
[52] Alangkah cocoknya ucapan Syaikhul
Islam ini terhadap banyak orang dari kalangan yang menyandarkan diri kepada
dakwah dan dien dari kalangan jama’ah-jama’ah Tajahhum dan Irja di zaman ini,
dimana mereka itu membenci kaum muwahhidin yang memusuhi para thaghut lagi
berlepas diri dari kebatilan mereka, membenci jalan mereka, menganggap bodoh
mereka dan mencela dakwah mereka, diwaktu yang mana mereka menompakkan di
dalamnya sikap nushrah para thaghut atau membela-bela mereka, menambal
kebatilan merka dan menegakkan syubhat yang batil untuk melegalkannya – seperti
pujian mereka terhadap demokrasi, dan pembelaan mereka terhadap UU dan UUD –
atau mereka menegakkan syubhat dalam rangka menganggap ringan kebatilan
itudengan klaim mereka bahwa ia meskipun batil namun tidak sampai kepada
kemusyrikan dan kekafiran yang mengeluarkan dari millah, akan tetapi ia adalah
kufrun duna kafrin.
Sesungguhnya
pandangan itu tidak buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang ada di dada
0 komentar:
Posting Komentar