Muqadimah Kitab (Kasyfun Niqab) :
Abu
Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy hafidhahullah
berkata :
I. Tauhid adalah tujuan yang paling besar
Ketahuilah wahai hamba Allah,
sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala
tidak menciptakan kamu secara main-main,.Dia, Allah ta’ala berfirman :
“Maka apakah kamu mengira
bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja) dan kamu tidak
akan dikembalikan kepada Kami?” (Al
Mukminun : 56)
Dan
tujuan ini bukan hanya sekedar ibadah kepada Allah, karena sesungguhnya banyak
orang-orang kafir beribadah kepada Allah dan disamping itu mereka beribadah
kepada tuhan-tuhan yang lain sebagaimana dilakukan oleh orang-orang musyrik
Quraisy, akan tetapi tujuan tersebut adalah ibadah hanya kepada Allah saja.
Oleh sebab itu banyak para mufasirrin berkata “Melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu” yaitu mentauhidkanKu.
Jadi yang dituntut adalah
mentauhidkan Allah ta’ala dalam ibadah pada seluruh macam-macamnya. Dan masuk
dalam hal itu adalah hukum dan tasyri
(penyandaran wewenang hukum/aturan/undang-undang). Dan hal itu tidak
terealisasi dan tidak sah kecuali dengan kufur
(ingkar), bara’ah (berlepas diri)
dari segala yang diibadahi, diikuti dari yang membuat
hukum/aturan/undang-undang selainNya. Ini adalah pokok dien ini, dan diantara
makna terpenting laa ilaaha ilallaah yang
mana seseorang tidak menjadi muslim kecuali dengannya. Dan inilah tujuan yang
karenanya rasul-rasul Allah seluruhnya diutus. Allah ta'ala berfirman :
“Dan sesungguhnya Kami
telah mengurus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ”Beribadahlah
kepada Allah dan tinggalkanlah thaghut” (An Nahl : 36)
Dan inilah urusan yang mana
mayoritas manusia telah lalai darinya dan tidak mengetahuinya, Allah ta’ala
berfirman :
“Keputusan itu hanyalah
milik Allah, Dia memerintahkan kamu tidak beribadah kecuali kepada Dia. Itulah
dien yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Yusuf : 40)
II. Penerimaan sepenuhnya
hukum Al Kitab dan As Sunnah serta membuang jauh-jauh selain keduanya adalah
termasuk makna Tauhid yang terpenting.
Dan ketahuilah, begitu juga diantara
makna terpenting paruh kedua dari dua kalimah syahadat yaitu Muhammad Rasulullah adalah menjadikan
Rasul Shalallahu 'alaihi wassalam
sebagai hakim (pemutus). Dan itu pada zaman kita dengan menjadikan dienNya,
tuntutannya, perintahnya, dan larangannya sebagai acuan (hakim). Hal itu semua
adalah wahyu dari Allah Subhanahu Wa
Ta'ala, sebagaimana firmanNya :
“Maka demi tuhanmu,
mereka (pada hakikatnya tidak beriman Hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya” (An Nisa’ : 65)
Maka demi tuhanmu, mereka (pada hakikatnya tidak beriman” ini
adalah sumpah dari Allah ta’ala dengan diriNya Yang Maha Agung lagi Maha Mulia.
“Hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan” Dan tidak cukup menjadikan
syari’at Allah ta’ala yang diturunkan kepada Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam sebagai acuan yang berupa Al Quran dan
As Sunnah. Itu saja tidak cukup untuk keabsahan Islam dan iman seseorang, namun
harus adanya kelapangan dada akan keputusan-keputusannya, ridha dengannya,
tunduk dan penerimaan yang mutlak terhadapnya, dan Allah berfirman diujung ayat
tadi “Kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya”
III.
Bara’ah
(berlepas diri) dari setiap hukum selain hukum Allah adalah bagian makna
terpenting laa ilaaha ilallaah.
Dan
ini sudah menjadi suatu keharusan pada hati mereka untuk merasa keberatan
terhadap setiap pembuat hukum/aturan/undang-undang (musyari’) dan yang diibadati (ma’bud)
selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
serta terhadap ajaran setiap ajaran selain Dinullah ta’ala, dan terhadap setiap
hukum selain hukum Allah ta’ala, dan untuk tidak menerima putusan selain hukum
Allah atau ridha dengannya atau menghormatinya atau mengedepankannya atau
mengagungkannya, dan kalau tidak demikian berarti mereka itu musyrikin.
Justeru
yang menjadi kewajiban mereka adalah meminggirkannya, menjelaskan keburukannya,
kafir terhadapnya dan berlepas diri darinya sebagaimana yang dilakukan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap berhala-berhala kaumnya dan
thaghut-thaghut mereka.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata :
“Dan
dien ini adalah Dienul Islan, Allah tidak menerima dien selainnya. Islam itu
mengandung penyerahan diri kepada Allah saja, maka siapa berserah diri
kepadaNya dan kepada selainNya berarti dia musyrik, dan barangsiapa yang tidak
berserah diri kepadaNya, maka dia itu mustakbir
(orang yang menyombongkan diri) dari ibadah kepadaNya. Sedangkan musyrik
dan mustakbir dari ibadah kepadaNya, kedua-duanya adalah kafir” (Ar Risalah At Tadmuriyyah hal. 52-53 / Majmu Al Fatawa : 38/23-24).
Imam dakwah najdiyyah Syaikhul Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam mengomentari hadist riwayat Muslim dalam
Sahih-nya dari Abu Malik Al Asyja’iy dari ayahnya bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Siapa
yang mengucapkan laa ilaaha ilallaah dan kufur kepada segala yang diibadati
selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya atas
Allah ta’ala” (Muslim dalam Kitabul Iman), beliau berkata : [“Dan ini tergolong
dalil yang paling agung yang menjelaskan makna laa ilaaha ilallaah,
sesungguhnya beliau (saw) tidak menjadikan (sekedar) pengucapan akan kalimat
ini sebagai penjaga darah dan harta, bahkan tidak pula pemahaman akan maknanya
beserta pengucapannya, bahkan tidak pula pengakuan akan hal itu, bahkan tidak
pula keberadaan dia tidak menyeru kecuali kepada Allah saja sampai dia
menambahkan akan hal itu semua (sikap) kufur terhadap segala sesuatu yang
diibadati selain Allah. Dan bila ia ragu atau bimbang maka harta dan darahnya
tidak haram….”] (Ad Durar As Saniyyah fil
Ajwibah An Najdiyyah : 103 pada juz JIHAD)
IV.
Mentauhidkan
Allah adalah fardhu dalam semua macam ibadah
Kemudian ketahuilah bahwa
sesungguhnya ibadah itu meliputi hal-hal yang banyak dan bagian yang beraneka
ragam yang tidak diketahui oleh banyak manusia di zaman kita ini. Maka wajib
atas kamu mengetahuinya agar supaya kamu mentauhidkan Allah ta’ala dengannya
secara menyeluruh sehingga kamu menjadi muslim, mu’min, muwahhid, maka kamu
mendapatkan apa yang dijanjikan Allah Subhanahu
Wa Ta'ala ampunan dan surga.
Ibadah itu bukan hanya shalat,
shaum, zakat dan haji sebagaimana yang diduga oleh banyak orang, akan tetapi
masuk juga didalamnya nadzar, thawaf,
sembelihan, isti’adzah (meminta pelindungan), istighatsah (meminta keselamatan) dan isti’anah (meminta pertolongan) dalam apa yang tidak ada kuasa
terhadapnya kecuali Allah, seperti meminta didatangkan rizki, penolakan bahaya,
dan sakit serta yang lainnya. Sesungguhnya itu semua termasuk ibadah yang tidak
boleh dipalingkan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Dan bila seorang
hamba memalingkan sesuatu darinya kepada selain Allah dan mati diatasnya, maka
ia mati dalam status musyrik. Allah ta’lal berfirman :
“Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga” (Al Maidah : 72)
dan
juga firmanNya ta’ala :
“Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik)
itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah,
maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar” (An
Nisa : 48)
V. Taat dalam pembuatan
hukum (tasyri’) termasuk macam ibadah, sedangkan ridha dengan qawanin (undang-undang buatan) adalah
syirik akbar.
Dan ketahuilah bahwa diantara macam
ibadah terpenting yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Subhanahu Wa
Ta'ala, juga bila dilanggar maka sipelakunya musyrik adalah : taat dalam tahlil (penghalalan) dan tahrim (pengharaman) serta tasyri (pembuatan hukum), maka
barangsiapa yang mentaati selain Allah ta’ala dalam hal itu atau menampakan
ridha dan penerimaan terhadap hukumnya, aturannya, dan undang-undangnya, serta
dia mengikutinya atas dasar hal itu, maka dia telah musyrik dan dia telah menjadikan
yang diikuti itu sebagai rabb (tuhan). Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Apakah mereka memiliki
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien yang tidak
diizinkan Allah?” (Asy Suura’ : 21)
Ada dalam Kitab Tauhid Syaikh Muhammad
Ibnu Abdil Wahhab ucapan beliau bab “Orang-orang yang mentaati para ulama dan
umara dalam mengharamkan apa yang telah Allah halalkan atau menghalalkan apa
yang Allah haramkan, maka ia telah menjadikan mereka arbaab (tuhan-tuhan)
selain Allah”, dan didalamnya beliau menyebutkan hadits ‘Addiy Ibnu Hatim dalam
tafsir firman Allah ta’ala :
“Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan Rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (At Taubah : 31)
dan
firmanNya ta'ala :
“Sesungguhnya syaitan itu
membisikan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu, dan jika kamu
mentaati mereka sesungguhnya kamu
tentulah menjadi orang-orang musyrik” (Al
An’am : 121)
Al
Hakim dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas
bahwa orang-orang membantah kaum muslimin tentang masalah sembelihan dan
pengharaman bangkai, mereka mengatakan : “Kalian makan apa yang kalian bunuh
dan tidak memakan apa yang Allah bunuh (maksudnya bangkai)”, maka Allah
berfirman : “dan jika kamu menuruti
mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik” Dan
lihatlah bagaimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala menguatkan hal itu dengan ‘ ‘ (sesungguhnya) yang berfungsi sebagai
penguat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam penafsiran ayat diatas : “Yaitu kalian
berpaling dari perintah Allah terhadap kalian dan aturanNya kepada ucapan
selainNya, lalu kalian lebih mengedepankan aturan yang lain terhadap aturan
Allah, maka inilah syirik itu”
Asy
Syinqithiy rahimahullah berkata dalam
tafsirnya tentang ayat diatas : “Fatwa samawiyyah
dari Sang Pencipta Jalla wa ‘Ala, Dia
menegaskan didalamnya bahwa orang-orang yang mengikuti aturan syaitan yang
menyalahi aturan Ar Rahman adalah musyrik billah”, dan Allah ta’ala berfirman :
“Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam
hukumnya” (Al Kahfi : 26).
Kemudian beliau menuturkan ayat-ayat yang menjelaskan hal itu hingga beliau
berkata : “Dengan nash-nash samawiyyah yang telah kami sebutkan ini maka
jelaslah sejelas-jelasnya, bahwa
orang-orang yang mengikuti Qawanin Wadl’iyyah
(undang-undang) yang ditetapkanoleh syaitan melalui lisan kawan-kawannya yang
mana (undang-undang itu) menyelisihi apa yang telah ditetapkan Allah melalui
lisan para rasulNya, sesungguhnya tidak (ada yang) meragukan kekafiran dan
kemusyrikan mereka kecuali orang yang telah Allah hapus bashirahnya dan telah
dibutakan dari cahaya wahyu seperti mereka itu”
Dan beliau berkata ditempat yang
lain : “Menyekutukan Allah dalam hukumNya sama seperti penyekutuan Allah dalam
ibadah (kepadaNya), dan dalam qira’ah Ibnu Amir yang termasuk qira’ah sab’ah
dalam bentuk larangan : “Dan janganlah
kamu menyertakan seorangpun dalam hukumNya” (Al Kahfi : 26) Dan
beliau berkata juga : “Dikarenakan tasyri
(aturan) dan seluruh hukum baik itu syar’iy atau Kauniyah Qadariyyah (hukum dialam ini) adalah tergolong kekhususan
Rubbubiyyah, maka setiap orang yang mengikuti selain aturan Allah berarti dia
telah menjadikan sipembuat aturan itu sebagai Rabb (tuhan) dan menyekutukannya
bersama Allah”. (Lihat Tafsir surat Asy Syuura’ dalam Adlwa’ul Bayan)
VI.
Dua
syarat untuk keselamatan dan berpegang dengan Al ‘Urwatul Wutsqa adalah kufur kepada thaghut dan iman kepada
Allah
Dan
ringkasnya :
Bahwa
yang dituntut dari setiap muslim disetiap zaman dan tempat agar dia menjadi
muwahhid adalah merealisasikan makna laa
ilaaha ilallaah yang sebenarnya diamana mayoritas manusia lalai darinya.
Dan hal itu adalah dua syarat yang dikandung oleh kalimat itu berupa penafian (peniadaan)dan itsbat (penetapan) dan keduanya kufur
kepada setiap thaghut serta iman kepada Allah dan berserah diri kepadaNya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Siapa yang kufur kepada
thaghut serta iman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang pada Al Urwah Al Wutsqa” (Al Baqarah : 256)
Coba
perhatikan, bagaimana Dia Subhanahu Wa Ta'ala mendahulukan penafian dalan
kalimat syahadat, dan itu tidak lain adalah penguat akan penting dan urgennya
masalah ini.
Al ‘Alamah
Asy Syinqithiy rahimahullah berkata :
“Dipahami
darinya -yaitu dari ayat diatas- bahwa orang yan tidak kufur terhadap thaghut
berarti tidak berpegang pada Al ‘Urwah Al Wutsqa, sedangkan orang yang tidak
berpegang padanya maka ia terjerumus bersama orang-orang yang binasa” (Adlwa’ul Bayan / Tafsir surat Asy Syuura)
Apabila engkau telah mengetahui hal
ini, maka jangan sekali-kali engkau mengira bahwa thaghut itu hanya berhala
dari batu, sehingga engkau mempersempit makna yang luas. Akan tetapi thaghut
itu mencakup ini dan yang lainnya. Thaghut diambil dari kata “Thughyan” yang
artinya melampaui batas. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya kami
tatkala air sudah naik (sampai kegunung) kami bawa (nenek moyang) kamu kedalam
bahtera” (Al Haqqah : 11)
Ia
adalah segala sesuatu yang melampaui batas yang sebenarnya, sehingga diibadati
bersama Allah Subhanahu Wa Ta'ala
dengan macam ibadah yang telah disyari’atkan sebelumnya[1]. Dan atas dasar
ini, maka bagi setiap zaman dan tempat itu terdapat thaghut-thaghut yang
bermacam-macam. Dan orang tidak menjadi muslim muwwahid sampai ia kufur kepada
setiap thaghut. Dan terutama thaghut zaman dan tempatnya, serta ia bara’ah
darinya dan dari peribadatan terhadapnya. Ada orang yang menyembah api seperti
Majusi maka api adalah thaghut mereka, dimana mereka itu tidak menjadi muslimin
meskipun mereka beriman kepada Allah ta’ala sehingga kufur terhadapnya. Dan
begitu juga orang yang menyembah matahari atau bulan atau bintang atau planet,
maka semua itu adalah thaghut-thaghut mereka, yang mana keIslaman mereka tidak
sah bila masuk Islam sehingga mereka kafir terhadapnya dan bara’ah dari ibadah
kepadanya. Dan begitu juga orang yang menyembah patung seperti orang-orang
kafir Quraisy dan yang lainnya, maka patung-patung itu adalah thaghut-thaghut
mereka, yang mana mereka tidak menjadi muslim kecuali dengan kafir terhadapnya
meskipun mereka mengakui dan beriman kepada Allah Rabb mereka, Pencipta mereka,
Pemberi rezeki mereka dan Pemilik mereka sebagaimana Allah kabarkan tentang
orang-orang kafir Quraisy :
“Dan sungguh, seandainya
kamu bertanya kepada mereka siapakah yang telah menciptakan mereka, tentulah
mereka mengatakan : “Allah” (Az Zukhruf : 87)
dan
firmanNya Subhanahu Wa Ta'ala:
Katakanlah, “Siapakah
yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mat dari yang hidup, dan siapakah
yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab : “Allah”, maka katakanlah : “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepadaNya)
?” (Yunus : 31)
Namun demikian Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam memerangi
mereka, darah mereka tidak terjaga dan mereka tidak menjadi muslim sampai
mereka kufur terhadap berhala-berhala itu serta berlepas diri dari ibadah
kepadanya. Dan telah lalu ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab seputar
hadist Abu Malik Al Asyja’iy : “Siapa yang mengucapkan laa ilaaha ilallaah dan
kufur kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah….”
Al ‘Alamah Syaikh Muhammad Ibnu Atiq
rahimahullah berkata dalam kitabnya Sabilun Najah Wal Fikak Min Muwalatil
Murtadin Wa Ahlil Isyrak : “Ketahuilah, sesungguhnya kekafiran itu memiliki
banyak macam dan ragam yang berbilang dengan berbilangnya mukaffirat (hal-hal yang membuat kafir). Dan setiap kelompok dari
kelompok-kelompok kafir telah masyhur padanya macam kekafiran tertentu,
sedangkan orang muslim itu tidak dianggap menampakan diennya sehingga ia
menyalahi setiap kelompok dengan apa yang terkenal padanya dan terang-terangan
menyatakan permusuhan terhadapnya serta bara’ah darinya”.
VII. Diantara thaghut modern
yang paling busuk dan paling wajib kufur terhadapnya adalah UUD dan
undang-undang.
Bila engkau telah paham apa yang
lalu, maka ketahuilah bahwa diantara thaghut-thaghut modern yang paling busuk
dinegeri kita ini dan dibanyak negeri kaum muslimin adalah Dustur (UUD) dan
Qawanin Wadl’iyyah (undang-undang)nya, yang mana manusia tunduk kepadanya dan
leher-leher mereka merendah dihadapannya. Sedangkan bentuk peribadatan
terhadapnya adalah dengan mengikutinya, merujuk hukum kepadanya, pasrah
terhadap aturan-aturannya serta ridha dengannya.
Mujahid berkata : “Thaghut adalah
syaitan dalam bentuk manusia, yang mana mereka merujuk hukum kepadanya,
sedangkan dia adalah pemimpin mereka”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Thaghut adalah
wazan fa’alut dari thughyan, dan thughyan adalah melampaui batas, dan ia
adalah zalim lagi aniaya yang diibadati selain Allah. Bila tidak membenci
hal itu, maka ia thaghut… hingga ucapannya
: Dan oleh sebab itu orang yang dirujuk hukum kepadanya yaitu orang yang
memutuskan dengan selain Kitabullah adalah thaghut”. (Mukhtasar dari
Majmu Al Fatawa : 38/200-201)
Al ‘Alamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Thaghut adalah
sesuatu yang dilampaui batasnya oleh si hamba, baik yang diibadati atau yang
diikuti atau yang ditaati. Jadi thaghut setiap kaum adalah yang dirujuk hukum
oleh mereka selain Allah dan RasulNya atau yang mereka ibadati selain Allah,
atau yang mereka taati tanpa ada bashirah dari Allah. Beliau rahimahullah berkata juga : Orang yang
merujuk hukum atau mengadukan hukum kepada selain apa yang dibawa oleh
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam maka ia telah menjadikan thaghut
sebagai hakim dan merujuk hukum kepadanya” (I’lamul
Muwaqqi’in)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir firmanNya ta'ala :
“Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang ditirunkan sebelum kamu? Mereka hendak
berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut
itu dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya” (An Nisa’ : 60)
Beliau rahimahullah berkata setelah menuturkan
berbagai ungkapan tentang makna thaghut : “dan ayat ini adalah lebih umum dari
itu semuanya, karena sesungguhnya ayat ini adalah celaan bagi orang yang
berpaling dari Kitabullah dan Sunnah, dan mereka merujuk kepada selain keduanya
adalah kebathilan, dan ia adalah yang dimaksud dengan thaghut itu”. Maka setiap
orang yang dirujuk hukum kepadanya selain syari’at Allah maka ia adalah
thaghut, baik makhluk maupun undang-undang.
Al ‘Alamah Asy Syinqithiy rahimahullah berkata dalam Adwa’ul Bayan tentang ayat yang lalu :
“Dan seriap perujukan hukum kepada selain aturan Allah, maka ia adalah
perujukan hukum kepada thaghut”. (Dalam Tafsir surat Asy Syuura’)
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata
dalam risalah yang ada dalam Ad Durar As
Saniyyah : “Thaghut ada tiga macam ; Thaghut Hukum, Thaghut Ibadah, Thaghut
Tha’ah dan Mutaba’ah”. (Dalam juz Al
Murtad hal. 272)
Syaikh Abdullah Ibnu Abdurrahman Aba
Buthain berkata dalam makna thaghut : “Dan ia juga mencakup setiap orang yang
diangkat oleh manusia untuk memutuskan diantara mereka dengan hukum-hukum
jahiliyyah yang bersebrangan dengan hukum Allah dan RasulNya.” (Risalah beliau
tentang definisi Ibadah dan Tauhid)
Bila engkau mengetahui ini, maka
ketahuilah sesungguhnya keIslaman dan tauhidmu tidak akan sah dan kamu tidak
akan merealisasikan makna laa ilaaha
ilallaah yang sebenarnya, dan kamu tidak akan mendapatkan jalanmu ke surga
sampai kamu kufur dan bara’ dari setiap thaghut. Dan yang paling terutama
adalah thaghut modern ini yang diikuti dan tunduk terhadapnya mayoritas
manusia, mereka mengibadatinya dengan ibadah tasyri sehingga mereka ridha
dengan perintah-perintah dan larangan-larangannya, mereka mengikutinya,
berkumpul sepakat bersamanya untuk (melaksanakan) aturan-aturannya,
bersekongkol atas undang-undangnya, mereka mengagungkannya, memuliakannya,
menyanjungnya, mensucikannya dan mereka mencintai hamba-hambanya, mengagungkan
mereka dan loyal terhadapnya.
Maka wajib atas kamu, apabila kamu
menginginkan surga untuk kafir terhadapnya, berlepas diri darinya dan dari
hamba-hambanya dan wali-walinya, membenci mereka dan mendidik anak-anakmu dan
isterimu untuk membenci mereka. Kamu
berupaya dan berjihad sepanjang hidupmu dalam rangka menghancurkan dan
menggugurkannya, serta kamu tidak pasrah menerima atau ridha atau dadamu lapang
kecuali terhadap hukum dan syari’at Allah Subhanahu Wa Ta'ala saja,… dan kalau
tidak, maka neraka... neraka… dan neraka !!
VIII.
Yasiq
para thaghut masa kini dan Yasiq Tattar.
Dan agar masalahnya jelas bagimu dan
tersingkap darimu segala macam syubhat serta tidak tersisa dalam benakmu talbis
ahlul bathil dan ulama pemerintahan dari kalangan orang-orang yang membela-bela
kebathilan dan kezalimannya, maka inilah kami membongkar dan menjelaskan buatmu
serta mengetengahkan dihadapanmu contoh-contoh kekafiran, kemusyrikan,
kebodohan, zindiq, serta ilhad
(kemurtaddan) yang dikandung oleh thaghut ini (yaitu UUD dan UU-nya) agar kamu
berada didalam bayyinah diatas urusan dan dien-mu, sehingga engkau hati-hati
dan memperingatkan dari syirik yang dahsyat ini (syirik modern) yang mana
mayoritas manusia dizaman kita ini telah terjatuh kedalamnya, baik mereka rasakan
atau tidak.
Dan sebelum itu kamu harus tahu
bahwa syari’at Allah Subhanahu Wa Ta'ala
dahulu adalah yang menjadi acuan dinegeri-negeri kaum muslimin dan untuk
berabad-abad. Dan pada saatnya itu kaum muslimin jaya lagi mulia membuat takut
musuh Allah dan musuh mereka, hingga datang orang-orang dungu dari kalangan
penguasa (yang menguasai) kaum muslimin yang bila manusia dan para du’at yang
mukhlish berkata kepada mereka : “Tegakkan syari’at Allah !” sebagaimana
firmanNya :
“Apabila dikatakan kepada mereka : ”Marilah
kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah turunkan dan kepada hukum rasul”, niscaya
kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari
(mendekati) kamu” (An Nisa’ : 61)
Maka
datang -semoga Allah tidak melanggengkan mereka- pada saat kelalaian umat ini
dan kemunduran generasi penerusnya. Mereka menukar yang baik dengan yang paling
buruk, mereka mencampakan syari’at dan menggantinya dengan undang-undang buatan
yang kafir sebagaimana yang dilakukan musuh-musuh kita Tattar saat menguasai
kerajaan-kerajaan kaum muslimin dimana mereka menetapkan politik-politik
kerajaan mereka yang diambil raja mereka Jenggis
Khan.
Al Hafidz Ibnu Katsir berkata dalam
tafsir firman Allah :“Apakah hukum
jahiliyyah yang mereka cari… “ (Al
Maidah : 50). Tentang raja ini bahwa ia meletakan bagi mereka Yasiq, dan ia
(Yasiq) adalah kitab yang merangkum berbagai hukum yang ia cuplik dari berbagai
sumber hukum Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah dan yang lainnya. Dan
didalamnya terdapat banyak hukum yang ia ambil dari sekedar pandangannya dan
hawa nafsunya. Kemudian Yasiq itu dikalangan anak-anaknya menjadi aturan yang
diikuti yang lebih mereka dahulukan daripada putusan dengan Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa
sallam.”[2]
Dan
seandainya engkau mengamati UUD negeri ini dan negeri-negeri yang intisab (menyandarkan diri) kepada Islam lainnya dan seandainya engkau
mengamati undang-undang buatannya tentulah engkau melihatnya seperti Yasiq
Tattar atau bahkan lebih busuk, karena para budaknya telah menelantarkan
syari’at Islamiyyah dalam jiwa, darah, kemaluan, harta dan yang lainnya. Mereka
tinggalkan hudud (hukum Islam)nya
hukum-hukum Qishash-nya, urusan-urusan politik, ekonomi, hubungan-hubungan
antar negara dan yang lainnya. Dan mereka mengambil itu semuanya dari
undang-undang Prancis yang Nashrani percis seperi Yasiq Tattar. Sungguh Jenggis
Khan telah mengambil dari Nashrani dan para pakar perundang-undangan dan para
hamba undang-undang lainnya telah mengundang-undangkan bagi mereka dengan hawa
nafsunya, dan begitu juga Yasiq Tattar diantara sumbernya adalah pendapat dan
hawa nafsu. Dan mereka menyisakan -semoga Allah tidak melanggengkan mereka-
sebagian undang-undang yang mereka ambil dari syari’at Islam yang terbatas
dalam masalah-masalah warisan, cerai dan pernikahan yang mereka namakan Ahwal Syakshiyyah. Mereka sisakan dalam
rangka pengkaburan atas manusia bahwa mereka itu tidak meninggalkan syari’at
secara total… percis seperti keadaan Yasiq Tattar dimana didalamnya juga ada
hukum-hukum dari Millah Islamiyyah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu
Katsir dan yang lainnya.
Jadi, tidak ada perbedaan antara UUD
dan undang-undangnya ini dengan Yasiq Tattar, namun perbedaan antara diamnya
umat pada zaman kita dari undang-undang ini dengan keadaan umat zaman dahulu
terhadap Yasiq Tattar adalah besar. Sesungguhnya merasa tidak tenang dan tidak
suka terhadap Yasiq itu dan mereka tidak mengamalkannya sama sekali bersama
ulama mereka, mereka berjihad dan mengajak untuk menggugurkannya, menghilangkannya
dan menggantinya sampai Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan kemenangan kepada
mereka, memberi kedudukan bagi mereka
dan memuliakannya, dan syari’at Allah tetap menjadi acuan segalanya meskipun
dimasa-masa lemah dan meskipun perpecahan yang melanda umat, dan persekongkolan
musuh dan penguasaan mereka terhadap sebagian banyak wilayah-wilayahnya seperti
orang-orang bathiniyyin dan kaum
salib serta yang lainnya. Umat ini tidak pernah mengganti juga para hakim dan
para sultan dibelahan negeri kaum muslimin lainnya syari’at Allah yang menjadi
acuan… hingga Khilafah Islamiyyah dibubarkan lewat tangan-tangan Yahudi dan
kaki tangannya, dan datang kaum penjajah salib modern serta mereka tidak keluar
dari tanah kaum muslimin sehingga (terlebih dahulu) menempatkan kaki tangannya
dari kalangan penguasa-penguasa yang dungu yang dengan peranannya mereka telah
menyingkirkan syari’at dan kembali memberlakukan Yasiq Tattar namun dengan baju
modern yang memukau.[3]
Inilan negeri kaum muslimin, telah
dibebani dengan belenggu para thaghut, rantai-rantainya dan kegelapan dibawah
payung undang-undang ini. Setiap kerusakan berkembang didalamnya dan setiap
kekafiran masuk didalamnya. Dan dengan sebab undang-undang ini dan
kerusakannya, menusia terancam rusak fithrahnya, gelap hatinya, keruh
pemahamannya dan hancur akalnya. Fitnah telah meliputi mereka sehingga anak
kecil tumbuh didalamnya dan dewasa menjadi pikun didalamnya, sehingga mayoritas
manusia tidak memandangnya sebagai kemungkaran.
Dalam payung ini mereka menganggap bid’ah
sebagai sunnah, hawa nafsu sebagai kewarasan, sesat sebagai petunjuk, yang
munkar sebagai yang ma’ruf, kejahilan sebagai ilmu, riya sebagai ikhlas, bathil
menjadi al haq, dusta sebagai jujur, mudahanah
sebagai nasihat dan ucapan al haq, riba sebagai jual beli, zalim sebagai
keadilan dan fujur sebagai
kehormatan, sehingga kemenangan dan kejayaan adalah bagi hal-hal ini dan
orang-orangnya adalah menjadi terpandang, padahal sebelumnya adalah bagi
lawannya dan orang-orangnya adalah menjadi terpandang.
Dan demi Allah, perut bumi telah
menjadi lebih baik daripada permukaannya, puncak-puncak gunung lebih baik
daripada tanah lapang dan berbaur dengan binatang liar lebih selamat daripada
berbaur dengan manusia. Bumi merinding, langit menjadi gelap. Kerusakan nampak
berupa kezaliman orang-orang busuk didaratan dan lautan, keberkahan telah
hilang, kebaikan menyusut, kehidupan mejadi keruh karena sebab kefasikan
orang-orang zalim, terang siang dan kegelapan malam menangis karena
perbuatan-perbuatan keji, perlakuan kejam, banyaknya perzinahan dan lain sebagainya. Dominannya kemungkaran dan
merebaknya keburukan.
Dan ini demi Allah, adalah
peringatan akan munculnya banjir azab yang awannya tidak menebal dan
peberitahuan akan kelamnya negeri yang kegelapannya telah menutup. Selama para
du’at al haq dan kaum mushlihin tidak bangkit terang-terangan dengan al haq dan
penjelasannya, serta selama tentara tauhid tidak berdiri merubah kemungkaran
yang besar iru, menyelamatkan manusia dari penghambaan pada thaghut dan
undang-undang nya serta mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, dan
kalau tidak… maka sesungguhnya jalan yang mendaki itu demi Allah adalah sangat
sukar.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : “Dan orang-orang zalim itu kelak akan
mengetahui ketempat mana mereka akan kembali”(Asy Syu’ara : 227)
Selesai diterjemahkan :
[1] Dan berkaitan dengan makhluk
yang diibadati selain Allah tidak dinamakan thaghut kecuali bila dia mengetahui
lagi ridha, sehingga keluar dengan pengecualian ini segenap yang diibadati dari
kalangan malaikat, para nabi dan orang-orag shalih.
[2] Dan lanjutan perkataan Ibnu
Katsir : “Siapa yang mendahulukan hal itu, maka ia kafir dan wajib diperangi
sampai ia kembali kepada hukum Allah dan RasulNya, dan selainnya tidak boleh
dijadikan rujukan hukum dalam hal sedikit dan banyak.”
Dan ia adalah jelas, terang lagi dipahami,
tidak butuh syarah dan penjelasan. Dan maksud kami disini bukan membicarakan
masalah ini dan memperpanjang didalamnya, karena sesungguhnya tempatnya didalam
kitab kami Naz’ul Husam, yaitu materi yang didalamnya kami akan berbicara
tentang membela dien dengan besi, sedangkan bahasan disini adalah membela dien
dengan tulisan. Dan maksud kami didalamnya adalah memfokuskan pada sesuatu yang
disepakati oleh orang-orang yang jauh dan orang yang dekat, yaitu bahwa UUD ini
dan undang-undangnya adalah kekafiran
dan thaghut yang diibadati dan diikuti, dan kemudian mengajak kaum
muslimin untuk kufur terhadapnya dan bara’ah darinya dan dari orang-orang yang
memutuskan dengannya dan melindunginya… siapa saja orangnya.
[3] Bahkan Al ‘Alamah Ahmad
Syakir sebagaimana dalam Hasyiyah Umdah
At Tafsir memandang bahwa pengaruh Yasiq Modern ini lebih buruk dan lebih
berbahaya dari pada Yasiq Tattar, karena Yasiq Tattar saat diterapkan secara
paksa ditengah umat tidak ada seorangpun dari umat Islam melebur didalamnya
saat itu, mereka tidak mempelajari dan mengajari anak-anaknya, sehingga
pengaruhnya cepat hilang, bahkan orang-orang Tattar sendiri yang melebur dalam
Islam sehingga banyak dari mereka yang masuk Islam dengan berbondong-bondong
dengan sebab keteguhan kaum muslimin diatas dien-nya serta ketidakridhaan
mereka atau penerimaannya akan Yasiq itu. Adapun sekarang sesungguhnya kaum
muslimin dalam pandangan Syaikh Ahmad Syakir adalah lebih buruk keadaannya dan
lebih dahsyat kezaliman dan kegelapannya dari pada mereka dimasa itu, karena
mayoritas umat Islam sekarang hampir melebur dalam undang-undang yang
menyelisihi syari’at ini. Dan bila ini pendapatnya tentang keadaan umat bersama
Yasiq modern pada zamannya 30 tahun yang lalu, maka bagaimana dengannya bila
beliau melihat kita saat ini dan keadaan banyak orangn yang intishab pada dakwah bersama Yasiq dan
hamba-hambanya, apalagi orang awamnya….fallahul
musta’an.