Nanging yen sira nggeguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing kukum (hukum), kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing lyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.
Lebih dari dua abad setelah Paku Buwana IV menggubah Wulangreh, sebait macapat bermetrum dandanggula itu didendangkan kembali oleh seorang anak muda yang berperan sebagai siswa dalam Sekolah Unggulan. Sekolah Unggulan adalah naskah berbahasa Jawa karya Prie GS yang dimainkan oleh Teater Lingkar dengan sutradara Mas Ton, Selasa ( 29/4/2008 ), di Semarang.
Namun lantaran sebait tembang yang sarat akan piwulang itu, anak muda tersebut harus mengalami nasib tragis. Ia dinyatakan tidak lulus. Jawabannya dianggap sebagai sebuah anomali. Berbeda dari teman-temannya yang menjawab pertanyaan gurunya saat evaluasi tahap akhir dengan jawaban yang mbulet, konyol, ”lucu”, atau justru mengirimkan jawaban berupa lembaran-lembaran uang dalam sepucuk amplop. Ironisnya, itu terjadi di sebuah sekolah unggulan —sekolah yang banyak diidamkan oleh para orang tua akan mampu mencetak anak-anak mereka kelak jadi wong pinunjul.
Harap maklum saja, sebab kata seorang pak guru, ”Ing sekolah unggulan iki ana telung perkara sing penting. Sepisan, gampang sinaune, ping pindhone larang mbayare, lan ping telune cepet luluse (Di sekolah ini ana tiga hal penting. Pertama mudah belajarnya, kedua mahal ongkosnya, dam ketiga cepat lulus).”
Tentu saja satire dan kritik yang dialamatkan kepada sekolah dan segenap guru tidak sekali ini saja dilancarkan. Jika saja kita mau membolak-balik pustaka pendidikan edisi satu dasawarsa terakhir ini, pastilah tak telalu sulit untuk menemukan buku-buku yang berisi cemoohan terhadap sekolah.
Tahun 1998, Roem Topatimasang merilis bukunya, Sekolah Itu Candu. Tak lama kemudian menyusullah buku-buku mulai dari Matinya Sekolah (Everett Reimer), Sekolah Kapitalisme yang Licik: Dialog Bareng Paulo Friere (Escobar dkk, ed), Menebus Pendidikan yang Tergadaikan (St Kartono), Mendagangkan Sekolah (Ade Irawan), Pendidikan Rusak-rusakan (Darmaningtyas), Orang Miskin Dilarang Sekolah (Eko Prasetyo), sampai Lebih Baik Tidak Sekolah (Sujono Samba).
Menggenapi pustaka tersebut, provokasi yang didengungkan oleh Ivan Illich dalam De Schooling Society, yakni agar sekolah-sekolah di dunia ketiga, termasuk Indonesia dibubarkan saja pun pada tataran wacana mendapat tempat di pikiran kritikus sekolah. Tak kalak kesohornya pula puisi Margaret Mead: nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenannya ia melarangku sekolah.
Demikian akutkah dunia pawiyatan kita sehingga harus menanggung cemoohan, cercaan, dan tudingan yang telak dan bertubi-tubi? Sudah demikian tumpulkan nurani para guru sehingga sebuah buku pun ada yang dimahkotai dengan judul In Memoriam Guru (Suroso)?
Jika buku-buku tersebut merupakan refleksi atas dunia persekolahan yang tengah berlangsung, maka peringatan yang disampaikan lewat Wulangreh itu kini serasa menemu kembali kontekstualitasnya. Tapi masihkah ada itu ”manungsa kang nyata”, apalagi ”wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing lyan” di tengah sistem persekolahan yang makin kapitalistis ini?
Bukankah sesosok Bambang Ekalaya, dalam jagad pewayangan, pun harus kecele ketika mencari pawiyatan dan berusaha menemu seorang guru yang pantas ia pundhi-pundhi.
Ekalaya adalah seseorang yang gigih dalam menuntut ilmu. Suatu ketika Ekalaya mendapatkan bisikan gaib untuk mempelajari ajian Danurweda yang hanya dimiliki Resi Drona. Namun sang Resi sudah berjanji tak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain, kecuali kepada Pandawa dan Kurawa.
Dengan gigih Ekalaya kemudian belajar sendiri dengan cara membuat patung Sang Resi dan belajar dengan sungguh-sungguh sehingga berhasil menguasai ajian tersebut.
Di sisi lain, istri Ekalaya, Dewi Anggraini, sangat jelita sehingga Arjuna pun berhasrat padanya. Merasa terganggu, Anggraeni mengadukan hal tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselisihan dengan Arjuna. Ekalaya mempertahankan haknya, bertarung dengan Arjuna yang menyebabkan Arjuna mati namun kemudian dihidupkan kembali oleh Sri Kresna
Dalam perselisihan dengan Arjuna, Ekalaya ditipu untuk merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong oleh ”patung” Resi Drona, yang mengakibatkan kematiaannya lantaran cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Menjelang kematiaan, Ekalaya berjanji akan membalas Resi Drona kelak saat Baratayuda.
Andai Ekalaya tak pernah percaya pada institusi pawiyatan dan begitu berharap pada sang guru, mungkin dia tak akan mengalami nasib setragis itu. Namun boleh jadi pula, tanpa kehadiran guru, entah maya atau riil adanya, Ekalaya tak akan sanggup meningkatkan ”mutu hidupnya” dengan menguasai ajian Danurweda. Tak berbeda dari Bima yang karena begitu patuh kepada sang guru, hingga berhasil menemukan kayu gung susuhing angin dan tirta pawitrasari. Sama kepatuhannya, namun berujung pada nasib yang berbeda.
Ya, di satu sisi kehadiran guru memang didamba, namun pada sisi yang lain guru ”juga manusia” yang bisa memerosokkan manusia lain ke liang kesengsaraan smacam yang dialami Ekalaya. Maka, sungguh tepat dan komprehensiflah trilogi yang dikemukakan Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutu wuri handayani. Saya konsepsi ini sekarang telah menjelma sebagai hafalan kosong jika tidak malah dilupakan begitu saja, apalagi dipraktikkan.
Karena itu, ketika ketidakpercayaan terhadap pawiyatan makin menjadi-jadi, kesangsian terhadap guru pun makin membuncah, gerakan de schooling society bukan tidak mungkin akan kian bereskalasi. Bukankah belakangan ini home schooling telah menjadi gaya tersendiri bagi orang-orang berduit di kota-kota besar.
Jika itu makin menjadi-jadi, bila sekolah dan guru tak segera berbenah secara radikal, bukan tidak mungkin yang disinyalir oleh Pakubuwana (telah) benar-benar menjadi kenyataan:
ingkang lumrah ing mangsa puniki
mapan guru ingkang golek sabat
tuhu kuwalik karepe
kang wus lumrah karuhun
jaman kuna mapan si murid
ingkang padha ngupaya
padha angguguru
ing mengko iki ta nora
kyai guru naruthuk ngupaya murid
dadi kanthinira.
artinya :
Yang umum terjadi di jaman ini
Banyak guru yang mencari cari murid
Itu sebenarnya terbalik
Yang umum terjadi dijaman dahulu
Jaman dahulu adalah si murid
Yang mencari guru
Yang mencari pengetahuan
Selalu berusaha mencari guru
Dijaman sekarang hal itu tidak terjadi
Orang orang hebat kesana kemari mencari murid
Seperti itulah jaman yang engkau alami sekarang
ingkang lumrah ing mangsa puniki
mapan guru ingkang golek sabat
tuhu kuwalik karepe
kang wus lumrah karuhun
jaman kuna mapan si murid
ingkang padha ngupaya
padha angguguru
ing mengko iki ta nora
kyai guru naruthuk ngupaya murid
dadi kanthinira.
artinya :
Yang umum terjadi di jaman ini
Banyak guru yang mencari cari murid
Itu sebenarnya terbalik
Yang umum terjadi dijaman dahulu
Jaman dahulu adalah si murid
Yang mencari guru
Yang mencari pengetahuan
Selalu berusaha mencari guru
Dijaman sekarang hal itu tidak terjadi
Orang orang hebat kesana kemari mencari murid
Seperti itulah jaman yang engkau alami sekarang
0 komentar:
Posting Komentar