"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Sabtu, 17 Juni 2017

Sejarah Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan


Oleh: Ilham Kadir (Alumnus Pesantren Darul Huffazh Tuju-tuju Bone, Sulawesi Selatan; Arabic-Islamic College Al Ihsaniah Penang, Malaysia; dan STAI-DDI Makassar)
 Menurut catatan sejarah, hubungan diplomatik antara kerajaan Majapahit di Jawa dengan kerajaan-kerajaan Bantayan alias Bantaeng, Luwu, Uda (pulau Talaud), Makassar, Butun (Buton) dan Salaya (Selayar) di Sulawesi (Celebes) telah terjalin cukup lama. Pada abad ke-16 orang-orang Bugis-Makassar berperan penting dalam peperangan melawan Belanda di Jawa. Selain dikenal mahir berkelahi menggunakan senjata tajam seperti badik, keris, dan sebagainya, mereka juga memiliki kesetiakawanan yang tinggi –sebagaimana digambarkan dalam kisah-kisah wayang di Jawa. Jejak kongkrit pengembaraan mereka masih kita temui di Jogjakarta, Riau, Singapura, Johor, Pahang dan Selangor (Malaysia).[1]   
Awal Masuknya Islam di Sulawesi Selatan
Setelah kerajaan Malaka (kini salah satu negeri bagian di Malaysia) jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 dan arus niaga di pulau Jawa menurun maka pusat perdagangan Nusantara berpindah tempat ke Makassar di bawah pemerintahan kembar Gowa-Tallo, dan daerah ini pun dijadikan sebagai the Second Malacca.
               Sebagai Bandar niaga terbesar di Nusantara, maka tentu saja ia adalah ibarat gula yang di incar oleh para semut; maka berdatanganlah para pedagang dari berbagai penjuru, mulai dari pebisnis kelas Nusantara maupun kelas luar Nusantara, baik itu India, Persia, Arab, Afrika, Cina, dan Eropa. Para pedagang tersebut masing-masing datang dengan latar belakang yang berbeda- beda budaya, beda bangsa, beda bahasa, beda kepercayaan, dan seterusnya. Yang jelas pada saat itu Makassar sudah termasuk salah satu dari pusat tata niaga kelas dunia yang sangat diperhitungkan.
               Datangnya pedagang yang beragama Islam memiliki cerita tersendiri pada saat itu; diperkirakan para pedagang inilah yang pertama kali memperkenalkan Islam baik dalam skala Nusantara maupun skala lokal di Makassar. Sejarah yang sangat masyhur tentang masuknya Islam di Sulawesi Selatan terdapat dalam Lontara Latoa[2] yang dikenal sebagai priode Galigo. Saat itu masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis dan Makassar, memiliki kepercayaan terhadap dewa yang disebut Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa); sisa-sisa kepercayaan ini masih dapat disaksikan hingga kini pada masyarakat Lotang dan Kajang.
              Disebutkan bahwa awal kedatangan Islam secara terang-terangan di Sulawesi Selatan dibawa oleh tiga da’i yang berasal dari Minangkabau yang terkenal dengan Datu’ Tellue. Meraka adalah: Abdul Qadir Datuk Tunggal dengan julukan Datuk ri Bandang,  Sulung Sulaeman sebagai Datuk Patimang, dan Khatib Bungsu sebagai Datuk ri Tiro.[3]
Ketiga Ulama di atas menggarap lahan yang berbeda. Datuk ri Bandang menggarap kerajaan kembar Gowa-Tallo, Datuk Patimang menjelajah ke kerajaan Luwu sedang yang terakhir, Khatib Bungsu, masuk berdakwah pada masyarakat di daerah Tiro yang kini termasuk daerah Bulukumba dan kemudian hari beliau diberi gelar sebagai Datuk ri Tiro, dalam rangkapengabadian nama tempat beliau awal-awal berdakwah.
                 Ketiga da’i di atas memiliki metode atau cara yang berbeda antara satu sama lain. Mereka berdakwah sesuai situasi, kondisi dan toleransi pada obyeknya. Khatib Bungsu alias Datuk ri Tiro, misalnya, melihat fenomena masyarakat daerah Tiro Bulukumba terdiri dari para penganut faham animisme atau percaya pada hal-hal yang berbau mistik, maka beliau memperkenalkan agama Islam dengan menggunakan metode dan ajaran tasawuf; dengan begitu masyarakat setempat dapat menerima ajaran agama Islam dengan sukarela dan tanpa ada paksaan sedikit pun. Berbeda dengan Abdul Qadir Datuk Tunggal alias Datuk ri Bandang dan Sulung Sulaeman sebagai Datuk Patimang, mereka berdua ini berdakwah melalui jalur birokrasi jika dibahasakan dengan konteks saat ini. Metodenya jelas berbeda dengan berdakwah melalui akar rumput (grass rootkarena untuk menebarkan pengaruh kepada Sang Raja tidaklah semudah yang kita bayangkan.Jangankan dengan Raja, dengan kepala suku saja tidaklah mudah.Sebagaimana kita ketahui bahwa Raja tidaklah berdiri dengan sendirinya; dia punya pengawal, punya dewan penasehat, punya menteri, dan sebagainya.Jadi keberhasilan para da’i ini dalam mempengaruhi para penguasa untuk menerima agama Islam sebagai agama kerajaan dan para masyarakatnya merupakan sebuah keahlian yang tersendiri.
             Raja yang pertama menerima Islam sebagai agamanya adalah Raja Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Mannyonri, Karaeng Tumenanga ri Bontobiraeng. Baginda juga merangkap jabatan sebagai Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa. Menurut catatan lontara dan berbagai buku sejarah di Sulawesi Selatan bahwa tanggal resmi penerimaan Islam sebagai agama adalah pada malam Jumat 22 September 1605 atau 9 Jumadil Awal 1014 Hijriah. Setelah resmi masuk agama Islam maka baginda langsung mendapatkan gelar sebagai Sultan dan diberi nama Islam yaitu Sultan Awwalul Islam. Tidak berapa lama kemudian Raja Gowa ke 14 yang bernama I Manngerengi Daeng Manrabia juga turut memeluk Islam dan diberi gelar Sultan Alauddin. Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa dan Tallo telah selesai di-Islamkan dengan diadakannya shalat Jumat secara berjamaah pertama di Tallo pada tanggal 9 Nopember 1607, bertepatan dengan 19 Rajab 1016 H.
               Setelah Kerajaan kembar Gowa-Tallo menjadi kerajaan Islam dan raja-rajanya memperoleh gelar Sultan, maka secara otomatis kerajaan ini telah menjadi pusat penyebaran Islam di daerah Sulawesi. Raja Gowa sebagai penguasa super power di daerah sulawesi mulai menampakkan pengaruhnya dengan menyerukan kepada seluruh raja-raja yang ada di Sulawesi supaya menerima Islam sebagai agama tunggal. Disamping itu, memang sudah ada semacam konsensus antara raja-raja di Sulawesi Selatan bahwa “Barang siapa yang menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukannya pada raja-raja sekutunya”. Selain itu disebutkan juga bahwa pada tanggal 9 November 1967, Sultan Alauddin secara resmi mengeluarkan dekrit yang isinya menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan masyarakat. Setelah Sulawesi Selatan dapat diislamkan, maka tibalah gilirannya Sultan Alauddin yang juga berprofesi sebagai da’i ini bersama Karaeng Matoaya (Mangkubumi) yang merupakan pamannya sendiri memperluas pengaruh dan wilayah melalui islamisasi pada kerajaan-kerajaan di sebelah Timur dan sebagian sebelah Barat. Bahkan supremasi dan dominasi Kerajaan Makassar meliputi separuh Nusantara, dari Sulawesi, Berau, dan Kutai (Kalimantan Timur), Nusa Tenggara minus Bali karena sebelumnya telah terjadi perjanjian persahabatan antara Makassar, Marege (Australia Utara), dan gugusan pulau Tinibar. Perluasan pengaruh dan dominasi Kerajaan Islam Makassar inilah menjadi cikal bakal munculnya Republik Indonesia yang kekuasaannya mempersatukan Nusantara dari Sabang sampai Marauke, dari Pualu Migas di sebelah Utara dan Sumba di sebelah Selatan.[4]
                   Pada umumnya Islam berkembang di Sulawesi Selatan dengan damai dan apa adanya. Disamping adanya konsensus yang disebutkan di atas, para da’i Muslim juga terhitung cepat beradaptasi dengan kepercayaan ini. Memang terdapat kerajaan yang pada mulanya enggan langsung menerima Islam sebagai agama Istana dan rakyat, namun itu tidak seberapa. Disamping gencarnya dakwah yang dilakukan oleh kerajaan Gowa dan Tallo sebagai pemegang hegemoni politik dan supremasi di daerah Sulawesi pada khusunya dan Nusantara bagian timur pada umumnya, kerajaan ini memiliki pasukan tempur yang tangguh dan tak tertandingi oleh kerajaan mana pun di daerah Sulawesi dan bagian Timur Nusantara. Kerajaan yang memeluk Islam karena kalah dalam peperangan adalah Sidenreng Rappang dan Soppeng pada tahun 1609, menyusul Wajo tahun 1610, dan terakhir adalah Bone pada tahun 1611 M.[5]
                   Selain Datuk Tellue, salah satu ulama dan pahlawan dua Negara (Afrika Selatan dan Indonesia) yang memiliki peran besar dalam dakwah di Sulawesi Selatan adalah Syekh Yusuf al-Makassari; dia hidup dalam pertengahan abad XVII dan termasuk ulama yang sangat dihormati; ia juga termasuk Bangsawan Gowa, kemudian merantau ke Banten dan menikah dengan putri Sultan Ageng. Mendampingi mertuanya melawan Belanda, ia pun kemudian ditawan oleh Belanda dan diasingkan di Sailon pada tahun 1683. Tapi pada saat itu sebahagian murid-muridnya terus berdatangan kepadanya. Inilah yang membuat Belanda makin geram yang akhirnya membuat beliau dibuang ke Tanjung Harapan Afrika Selatan. Karena banyaknya tempat yang di singgahi oleh tokoh ini, muncul kemudian anggapan terkait tentang tempat persemayaman akhir beliau. Sedikitnya ada tiga pandangan. Ada yang mengatakan bahwa ia dikuburkan di Banten; ada juga yang percaya bahwa ia dikebumikan Afrika Selatan, dan yang lain berpendapat kuburannya ada di Gowa, Sulawsi Selatan.[6]

(Baca selengkapnya di Jurnal Islamia, ‘Pembebasan Nusantara: Antara Islamisasi dan Kolonisasi’, Vol.VII, No. 2, 2012).


[1]Ketika Sultan Abdul Jalil putera Sultan Hasanuddin mengawinkan puterinya yang bernama Karaeng Pattukangang dengan Lapatauk Raja Bone, telah diadakan perjanjian bahwa putera pertama yang lahir dari perkawinan itulah yang menggantikan kakeknya sebagai raja Makassar. Namun harapan tersebut pupus karena Belanda berhasil menaklukkan Makassar. Maka ia pun pergi berlayar ke Pahang Malaysia, dimana ia menjadi penguasa. Kelak keturunannya menjadi Perdana menteri Malaysia yaitu Tun Abdul Razak dan kini anaknya Najib Abdul Razak. Lihat H.D. Mangemba, Sultan Hasanuddin Ayam Jantan Dari Benua Timur (Pemda Tingkat II Gowa: 1997), hlm. 18.
[2]Lontara atau kronik merupakan catatan peristiwa yang ditulis di atas daun lontar, penulisannya juga harus melewati beberapa syarat, Salahsatu lontara yang terkenal adalah ditulis pada abad ke XVIII oleh La Sangaji Puanna La Sengseng, ia menyatakan bahwa bahan yang tidak boleh diambil sebagai bahan pertimbangan atau sumber  ilmu  adalah: a) Pau anakanae (pembicaraan anak-anak yang belum akil baligh yang tidak masuk aka); b) Tutu tau jangenge (tutur kata orang yang tidak waras); c) Sadda sanroe (ramalan dukun, paranormal); d) Nippie (mimpi); e) Kapangnge (dugaan, terkaan, prasangka). Syarat-sayarat di atas diambil dari La Taddamparek Puang ri Maggalatung (Arung Matoa Wajo tahun 1491 – 1521 M.) Untuk selanjutnya silakan lihat Abu Hamid, et. al., dalam Siri’ & Pesse’ Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. (Cet. II; Makassar: Refleksi, 2007), hal. 12.

[3]Cerita awal kedatangan Islam juga dikisahkan bahwa seorang ulama dari Minangkabau Tengah, Sumatera Barat, bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal, tiba dipelabuhan Tallo dalam tahun 1605, dengan menumpang sebuah kapal perahu, setibanya di pantai ia melakukan shalat yang mengherankan rakyat. Ia menyatakan keinginannya untuk menghadap Raja. Raja Tallo yang mendengar berita itu langsung bergegas ke pantai untuk menemui orang yang berbuat aneh itu. Ditengah perjalanan ke pantai, di pintu gerbang halaman istana Tallo, baginda bertemu dengan seorang tua yang menanyakan tentang tujuan perjalanan baginda. Orang tua itu menulis sesuatu di atas kuku ibu-jari baginda dan mengirim salam pada orang berbuat ajaib yang ada di pantai itu. Sewaktu Khatib Tunggal diberitahu tentang pertemuan Raja dengan orang tua itu, ia melihat bahwa yang tertulis di atas kuku ibu-jari Raja Tallo itu ialah surah al fatihah. Khatib Tunggal menyatakan bahwa orang tua itu yang menjumpai Baginda adalah penjelmaan Nabi Muhammad SAW. Seterusnya orang makassar  menamakan penjelmaan Nabi Muhammad itu “Makassar Nabi Muhamad” sebagian orang Makassar mengartikan kalimat itu sebagai asal mula nama “Makassar”.  Keterangan lebih sempurna baca juga, A. Mattulada dalam karyanya, Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, (Makassar: Hasanuddin University Press, 1998), hal. 150.
  
[4]H.D. Mangemba, Sultan Hasanuddin Ayam Jantan Dari Benua Timur (Pemda Tingkat II Gowa: 1997), hal.  4.
[5]Tiga kerajaan ini yaitu Bone, Soppeng, dan Wajo disebut juga tiga kerajaan aliansi tellumpoccoe. Untuk lebih jelasnya lihat: Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa. Abad XVI sampai Abad XVII, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 2-3.
[6]Di daerah Sulawesi Selatan, ulama memiliki keistemewaan tersendiri dalam strata sosial, sebagaimana kita ketahui bahwa susunan fungsional masyarakat bugis sebagai berikut: a) Ade’ tomapparenta (pemimpin pemerintah yang diangkat dari anakarung dipercayai (baca: mitos) keturunan to manurung yang berasal dari dunia luar); b) To Panrita, (ulama atau pimpinan kerohanian); c) To Acca, (kaum intelektual atau cerdik pandai); d), To Sugi, (pengusaha atau orang kaya); e) To Warani, (pemberani atau jawara). lihat A. Mattulada, op. cit., h. 28.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive