"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Jumat, 02 Oktober 2015

Sepak Terjang missionaris dan kolonialis di jawa

Oleh: Susiyanto (Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam, Solo)

Pendahuluan

Sejak awal Belanda menghendaki penguasaan terhadap narasi sejarah bangsa jajahannya. Di Jawa, pengumpulan tradisi-tradisi lokal dan manuskrip kuno telah menjadi salah satu agendanya. Sejumlah akademisi Belanda diturunkan untuk menggali pelbagai data terkait. Kesarjanaan yang memiliki penguasaan terhadap tradisi, adat istiadat, dan sistem nilai suatu masyarakat akan berguna dalam membangun pendekatan, termasuk dalam merancang format hegemoni dan pelanggengan kekuasaan.

Penyusunan narasi "sejarah" yang berpihak pada kepentingan kolonialisme ini sempat disinggung Prof. A. Hasymy dalam "Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia" di Medan pada 17-20 Maret 1963. Menurut A. Hasymy, tujuan kaum kolonialis dan kaki tangannya menyusun sebuah versi "Sejarah" adalah untuk meracuni jiwa dan semangat para pemuda Islam di tanah jajahan. Langkah ini ditindaklanjuti dengan penciptaan dongeng-dongeng sebagai ganti ajaran Islam. Melalui metode inilah Belanda menciptakan "agama baru" dalam bentuk aliran-aliran kebatinan atau kepercayaan.[1]

Pasca Perang Jawa (1825-1830) kebutuhan Belanda untuk memahami kawasan Jawa semakin terasa. Apalagi pemerintah menggulirkan kebijakan tanam paksa (cultuur stelsel) untuk mengisi kas negara yang terkuras untuk pembiayaan operasional menumpas berbagai aksi perlawanan. Dalam praktik di lapangan, kebijakan baru yang bersifat eksploitatif itu menuntut lebih banyak interaksi dengan kalangan bumiputera. Karenanya, pendidikan bagi para pegawai dan pejabat Belanda hendaknya diarahkan untuk memahami bahasa dan budaya rakyat setempat.

Guna menjinakkan Islam, Belanda berinisiatif menciptakan terwujudnya segregasi antara Islam dan budaya Jawa. Islam diposisikan sebagai bahaya potensial dan laten bagi stabilitas pemerintahan kolonial. Upaya ini mendapat dukungan penuh dari kalangan misionaris Protestan maupun Katolik. Karel Steenbrink, seorang akademisi, menggambarkan bahwa pada masa itu Islam dianggap sebagai kekuatan yang harus direduksi. Langkah yang diambil selalu menunjukkan ciri serupa yaitu pencitraan Islam sebagai musuh menakutkan yang tidak harus diserang secara langsung, tetapi dihadapi dengan mempromosikan kebiasaan kuno, adat, dan agama rakyat. Juga melalui perawatan kesehatan dan pendidikan Barat. Van Randwijk, mantan konsul zending, mencirikan strategi ini dengan kalimat: "Strategi memangkas Islam".[2]

Simbiosis Mutualisme

Misi Kristen bergeliat ketika mulai diizinkan beroperasi di Jawa pada abad ke-19. Diantara tokoh awalnya antara lain W. Hoezoo yang tinggal di Semarang dari 1849 sampai kematiannya pada tahun 1896, Samuel Eliza Harthoorn, dan D.J. ten Zeldam Ganswijk yang tiba di Jawa pada 1854 dan keduanya akhirnya mengundurkan diri karena mereka tidak bisa lagi mendukung pendekatan dari Zendelinggenootschap Nederlandsche (NZG, Masyarakat Misionaris Belanda), dan Carel Poensen yang datang pada tahun 1860 dan menghabiskan lebih dari tiga puluh tahun di Jawa. Umumnya para misionaris ini hanya menguasai sedikit latar belakang pengetahuan tentang masyarakat Jawa.

Mereka harus banyak belajar dan tidak diragukan lagi sering salah mengerti tentang apa yang mereka lihat. Tujuan mereka adalah untuk mengkonversi Jawa ke Kristen dan karena itu mereka sering melihat Islam sebagai lawan. Misionaris sering tiba di Jawa dengan memikul ketidaktahuan dan prasangka. Buku Harthoorn tahun 1865 tentang pendidikan di Indonesia, misalnya, mencerminkan permusuhannya kepada segala hal yang bersifat Arab, Islam, atau takhayul. Harthoorn juga memandang orang Jawa sebagai masyarakat yang memiliki tingkat peradaban rendah sehingga mudah dibentuk oleh pengaruh luar.

Para misionaris sering tinggal untuk waktu lama di Jawa dan mau tidak mau mereka dituntut memahami bahasa setempat dengan baik. Mereka berkomunikasi satu sama lain baik melalui korespondensi dan dengan publikasi di jurnal missi bernama Mededeelingen van het Nederlandsche Wege Zendelinggenootschap (MNZG) dan melalui media lain. Mereka memiliki kontak dengan bangsa Eropa lain dan Indo-Eropa dengan keahlian ilmiah tentang Jawa. Misalnya, ketika Hoezoo melakukan perjalanan ke Surakarta pada tahun 1851 ia bertemu J.F.C. Gericke (1799-1857), C.F. Winter Sr (1799-1859), J.A. Wilkens (1813-1880), dan Cohen Stuart (meninggal 1876) di sana, semuanya tokoh penting dalam penelitian awal Jawa. Para misionaris memiliki minat dalam mengamati masyarakat Jawa seakurat mungkin, hanya berdasarkan pengamatan seperti itu strategi misi akan berhasil disusun.[3]

Sejak awal misi Kristen memang dituntut bermain cantik. Penyebaran bible harapannya dilakukan dengan cara tidak menonjol dan hati-hati. Bahkan penyediaan taman bacaan sekalipun pada masa ini nyaris dianggap sebagai tindakan agresif. Oleh karena itu misi sendiri berupaya menjaga hubungannya dengan pemerintah kolonial. Penginjil lebih banyak mendapat keuntungan melalui penerapan kerja sama dengan Pemerintah Kolonial dibandingkan bekerja sendiri secara terpisah.

Dengan digulirkannya sistem tanam paksa (cultuur stelsel), Pemerintah Kolonial Belanda semakin merasakan pentingnya penguasaan terhadap adat istiadat, budaya, dan bahasa rakyat pribumi. Netherlands Zending Genootschap (NZG), lembaga misionaris Belanda, menangkap peluang ini dengan baik. NZG menawarkan konsep pendirian sebuah lembaga Bahasa Jawa yang memungkinkan pegawai dan pejabat Belanda dididik untuk memahami adat istiadat dan Bahasa Jawa.

Gayung pun bersambut. Tidak benar jika sejumlah akademisi Kristen menolak teori adanya keterkaitan antara Gereja dan pemerintahan kolonialis. Dalam kasus Lembaga Bahasa Jawa inisiatif awal kerja sama justru bermula dari badan penginjilan. Tindakan kompromistis antara pemerintah penjajah dan institusi misi ini membidani lahirnya Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) pada 27 Februari 1832 di Surakarta. Lembaga ini di dirikan atas prakarsa Johann Friedrich Carl Gericke, utusan zending dari Netherlands Zending Genootschap (NZG).

Di Instituut voor de Javaansche Taal, Gericke menjabat sebagai pimpinan lembaga. Ia bisa dianggap sebagai peletak utama kesarjanaan Belanda dalam studi literatur Jawa. Awalnya ia tiba di Surakarta pada 1827 untuk menterjemahkan Bible ke dalam Bahasa Jawa. Pada tahun 1829 ketika salah seorang pangeran dari Kasunanan hendak belajar agama ke Pesantren Tegal Sari, Ponorogo Gericke megikuti dengan tujuan lain, yaitu belajar tentang literatur Jawa selama 9 bulan. Perjalanan Gericke selalu ia laporkan kepada induk semangnya di Nederlands Bijbelgenootschap di Amsterdam. [4]

Melalui Instituut voor de Javaansche Taal inilah sebuah cara pandang baru dicangkokkan ke dalam pemikiran orang Jawa. Pembentukan identitas baru masyarakat Jawa dimulai dengan langkah meniadakan spirit Islam. Melalui lembaga ini, Para Javanolog Belanda yang terdiri dari kalangan misionaris dan orientalis, mengembalikan dan menghidupkan kembali tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta.  Javanolog Belanda-lah yang "menemukan", "mengembalikan" dan "memberikan makna" terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda.[5] Selain untuk mempelajari bahasa dan seluk-beluk tentang Jawa, lembaga ini diharapkan berfungsi sebagai institusi pendamping bagi penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa.[6]

Instituut voor de Javaansche Taal memiliki banyak peran strategis dalam menentukan wajah Jawa. Berbagai kitab kuno diteliti ulang, sejumlah pandangan hidup Jawa diberi pemaknaan baru, dan kebanggaan terhadap masa lalu terutama dari era pra Islam dikembangkan kemabli secara masif. Bahkan beberapa wujud kebudayaan yang menampakkan anasir Hindhu-Budha dilegitimasi sebagai bentuk kebudayaan "asli Jawa". Sementara itu produk kebudayaan Islam dibiarkan tenggelam dan kalau pun diangkat biasanya lebih pada wujud kebudayaan era transisional yang masih kental dengan sifat dekaden.

"Pembaratan" Jawa

Lembaga Bahasa Jawa didirikan dengan berbagai tujuan yang hendak diraih. Bagi Pemerintah negara jajahan, keberadaan lembaga yang mampu menyediakan tenaga terdidik untuk berdialog dengan pribumi dinilai menguntungkan dalam upaya menjaga stabilitas dan memelihara hegemoni. Sementara itu bagi kalangan zending belanda, Instituut voor de Javaansche Taal berfungsi sebagai ujung tombak bagi penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. Pendanaan bagi aktivitas penginjilan pun secara otomatis diperoleh dari Pemerintah Kolonialis melalui lembaga tersebut. Dengan demikian kepentingan kolonialis dan misionaris terpadu menjiwai semangat pendirian lembaga ini.

Pemerintah Belanda bukannya tidak mengetahui bahwa tujuan pendirian lembaga itu berhubungan dengan kepentingan misi Kristen. Baud mengungkapkan penawarannya tentang pendirian lembaga bahasa tersebut kepada Gubernur Jendral Belanda sebagai berikut: "Jika pemerintah setuju maka akan didirikan institut di Jawa untuk studi bahasa-bahasa Timur, dengan maksud memajukan usaha penerjemahan Alkitab."[7]

Gericke pada saat di Jawa tahun 1826 telah diberi instruksi untuk berhati-hati dalam menjalankan tugas peyelidikan di Jawa. Instruksi itu isinya agar ia menyembunyikan tujuan utamanya membentuk sebuah institut di Jawa yang berkaitan dengan misi peginjilan di Jawa. Isi instruksi itu dalam poin ke-9 adalah sebagai berikut:

"Kepada Tuan Gericke dianjurkan dengan sangat agar dalam … percakapan-percakapannya, khususnya dengan orang Jawa, ia menyatakan bahwa ia diutus untuk belajar dan mengajar bahasa Jawa, dan menghindari diskusi-diskusi agama yang tidak bermanfaat dan ucapan-ucapan menghebohkan yang akan menyingkapkan tujuan lebih lanjut kegiatannya di sana. Kendati demikian, tujuan tersebut jangan pernah hilang dari benaknya."[8]

Dalam salah satu surat untuk Nederlands Biblegenootschaft (NBG), masyarakat Bible Belanda, pada Oktober 1852, Gericke menegaskan bahwa penterjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa itu memiliki tujuan politis yang akan menguntungkan Pemerintah Belanda. Alasannya, ketika pemerintah telah menawarkan pendidikan bagi orang Jawa tanpa diimbangi penyebaran Injil sangat mungkin rakyat jajahan akan menyulitkan pemerintah pada masa yang akan datang. Gericke menyatakan bahwa jika mereka diberi pendidikan "tanpa serentak mengajar mereka mengenal Tuhan dan takut akan Dia maka dimasa depan mereka tidak akan dapat lagi diatur dengan mudah dan mungkin akan terdorong untuk melemparkan beban yang selama ini mereka pikul dengan sukarela dan taat … ".[9]

Kerja Gericke membuahkan hasil dengan diterbitkannya terjemahan Perjanjian Lama pada Oktober 1852 dan diterbitkan ulang dalam 3 jilid tebal berbentuk oktaf pada 1854. Ketika buku itu diterbitkan ulang, NBG menyatakan bahwa bible berbahasa Jawa merupakan "een waardig tegengeschenk is voor al de schatten die jaar in jaar uit van dit door de natuur zo rijk gezegende eiland ons toestromen" (hadiah yang layak untuk mengimbangi harta kekayaan yang setiap tahun mengalir kepada kita dari pulau yang diberkati dengan kekayaan alam yang begitu banyak).[10]

Dari pernyataan di atas, bisa dimengerti bahwa NBG selaku lembaga bible memiliki keterkaitan dengan proses penjajahan di tanah air. Pendirian lembaga Bahasa Jawa di atas sejatinya merupakan langkah pemerintah kolonialis untuk memuluskan pemberlakuan Sistem Tanam Paksa dan model Saldo Positif. Kekayaan dari hasil bumi nusantara dikeruk untuk mengisi kas negeri Belanda. Dari sini bisa dipahami bahwa NBG mendukung sistem tanam paksa yang telah menyengsarakan masyarakat Indonesia. Hal ini juga menunjukkan bahwa kaum misionaris tidak mengingkari praktik penjajahan di Jawa. Pembentukan lembaga ini sendiri justru merupakan bentuk dukungan misi Kristen terhadap kekuasaan dan hegemoni Pemerintah Kolonial Belanda.

Jadi pendirian Instituut voor de Javaansche Taal yang digawangi oleh kalangan penginjil dari NZG tidak murni bersifat akademis apalagi pengembangan budaya. Juga bukan sekedar menyangkut kepentingan penyebaran Agama Kristen belaka. Eksistensi lembaga ini secara tidak langsung membuktikan bahwa kalangan misi mensupport keberlanjutan sistem tanam paksa. Juga memperlihatkan dukungan lembaga penginjilan terhadap upaya melanggengkan penjajahan Belanda di Jawa.*

Footnote
 
[1] Prof. A. Hasymy (peny.). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Cetakan II. (PT. Alma'arif, 1989), hlm. 22; Bandingkan: Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Cetakan V (Salamadani, Bandung, 2012), hlm. 209
[2] Lihat: Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942) (Penerbit Mizan, Jakarta, 1995), hlm. 144

[3] Lihat: M.C. Ricklefs, The Birth of the Abangan, dalam BKI No. 162 (1) Th. 2006, hlm. 39

[4] Lihat: A. Day, Islam and Literature in South – East Asia: Some Pre-modern, Mainly Javanesse Perspectives, dalam M.B. Hooker (ed.), Islam in South – East Asia (E.J. Brill, Leiden, 1988), hlm. 134

[5] Takashi Shiraishi,  Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Cetakan II, diterjemah dari An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 oleh Hilmar Farid (Pustaka Grafiti, Jakarta, 2005), hlm. 7

[6] Lihat: Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Cetakan III (Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007), hlm. 127

[7] J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara, Jilid 1 (1820-1900) (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006),  hlm. 35

[8] J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker …, hlm. 36

[9] J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker …, hlm. 70

[10] J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker …, hlm. 70; Laurens de Vries, Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia, dalam Henry Chambert-Loir (ed.), Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (PT Gramedia, Jakarta, 2009), hlm. 472

 
Sumber : majalah insists

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive