"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Kamis, 03 Februari 2011

Selama Ini Kita Ternyata Dalam Kerugian (kajian surat Al-Ashr)


AL -ASHR (WAKTU)

 

saudaraku mukmin dan mukminat yang dirahmati Alloh, marilah kita renungkan sejenak apa yang telah kita lakukan hari ini, Apakah sudah cukup amalan kita untuk bekal diakhirat, atau justru malah banyak melakukan perbuatan sia-sia yang akan membuat kita benar-benar merugi nantinya. dibawah ini adalah sedikit kajian Qur'an yaitu surat al Ashr ayat 1 sampai 3 yang memperingatkan kita bahwa kita memang selalu dalam kerugian. Tentang tulisan ini sedikit sekali penjelasan ayat tersebut, apalagi penjelasan ini hanyalah sepengetahuan saya yang sangat awam dalam hal ilmu agama , sehingga bila banyak kesalahan mohon dimaafkan dan dimaklumi, karena jika dijabarkan ayat al-quran itu tidak akan pernah habis maknanya atau tafsirannya hingga seluruh lautan dijadikan tinta, pohon-pohon sebgai penanya dan langit sebagai kertasnya, benar-benar kalimat Alloh itu tidak akan pernah habis. Dalam Qs.Al-'Ashr ini Allah berfirman, Bahwa seluruh manusia dalam keadaan merugi. Kecuali orang yang beriman dan saling sehat menasehati dalam kebaikan bukan dalam kemaksiatan dan hawa nafsu setan yang serakah dan merusak.

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
وَالْعَصْرِ

1. Demi waktu,
'Ashr berarti 'waktu, zaman', atau 'sore, mundurnya hari'. Masa seluruhnya ini, waktu-waktu yang kita lalui dalam hidup kita, zaman demi zaman, masa demi masa, dalam bahasa Arab `Ashr juga sebutannya. Berputarlah dunia ini dan berbagailah masa yang dilaluinya; suka dan duka, naik dan turun, masa muda dan masa tua. Ada masa hidup, kemudian mati dan tinggallah kenang-kenangan ke masa lalu.

Diambil Tuhanlah masa menjadi sumpah, atau menjadi sesuatu yang mesti diingat-ingati. Kita hidup di dunia ini adalah melalui masa. Setelah itu kita pun akan pergi. Dan apabila kita telah pergi, artinya mati, habislah masa yang kita pakai dan yang telah lalu tidaklah dapat diulang lagi, dan masa itu akan terus dipakai oleh manusia yang tinggal, silih berganti, ada yang datang dan ada yang pergi. Diperingatkanlah masa itu kepada kita dengan sumpah, agar dia jangan disia-siakan, jangan diabaikan. Sejarah kemanusiaan ditentukan oleh edaran masa.
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ

2. Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi.
Berdasarkan kenyataan bahwa kita menjalani waktu dalam kehidupan, ternyata manusia selalu dalam keadaan rugi, berbagai aktivitas yang merujuk pada duniawi semata ternyata merupakan kerugian yang nyata. Dan berdasarkan kenyataan hidupnya, ternyata sifat rendah manusia itu merugikan. Khusr berarti 'kerugian, pengurangan'. Manusia memiliki sifat bingung dan tidak pernah puas, ia berayun dari satu situasi ke situasi lainnya, dari satu ketidakpuasan ke ketidakpuasan lainnya, dari satu ilusi ke ilusi lainnya.
Kehidupannya tidak memuaskan karena ia tidak bisa beristirahat, atau memperoleh kedamaian dan ketenangan di dalamnya karena sifat dasar manusia yang tidak puas itulah manusia akan disibukan dengan urusan duniawi bagaimana supaya dirinya puas dengan segala yang dia cari seperti harta benda, pangkat dan jabatan, akan tetapi sebesar apapun yang manusia cari tidak pernah membuatnya puas malahan semakin membuat keadaannya tersiksa. Bagaimana tidak ? segala sesuatu yang kita cari harta, benda, pangkat, jabatan, kedudukan dan sebgainya ternyata hanya membuat sibuk dan sibuk lupa segalanya lupa anak lupa keluarga lupa ibadah sampai lupa hakikat tujuan hidup yang sebenarnya yaitu kehidupan akhirat.
Itulah keadaan normal dari kehidupan dunia ini, dengan kegiatan-keiatannya yang meletihkan manusia. Urusan yang ini sudah selesai, lalu permasalahan yang lain muncul lagi begitu seterusnya tidak akan pernah habis sampai manusia menemui ajalnya, sampai akhiratnya tidak pernah diperhatikan, padahal kita hidup didunia ini adalah untuk mencari bekal amal baik sebanyak banyaknya untuk kehidupan yang abadi diakhirat.
Apalagi diakhirat, didunia saja kita termasuk yang merugi karena kesibukan duniawi yang tidak akan membuat kita senang ataupun membuat bahagia atau mencapai kepuasan justru semakin kita mengurusi duniawi maka akan semakin membuat kita pusing dan tersiksa, artinya walaupun harta banyak, pangkat tinggi, rumah mewah, memiliki perusahaan besar dimana-mana, istrinya cantik-cantik, dan kesenagangan duniawi lainnya, tidak akan membuat kita senang dan bahagia sebelum kita selalu bersyukur atas apa yang telah di berikan Alloh kepada kita selama ini dan hidup ini selalu berprinsip kepada ajaran Islam yaitu selalu berbuat amal kebaikan untuk bekal akhirat, dan tidak terlalu menyibukan diri dalam urusan duniawi yang tidak akan pernah ada habisnya.
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, dan saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran.

Orang-orang ini dikecualikan karena mereka akan berusaha melebihi keadaan alamiahnya. Secara logis, tidak ada yang salah apabila terjadi kemunduran pada kondisi manusia, sebagaimana digambarkan tadi. Karena, kemunduran itu mengikuti busur alamiah dari penciptaan. Kita harus ingat bahwa Allah mengatakan dalam sebuah hadis kudsi, 'Apa yang salah pada hamba-hamba-Ku? Mereka berdoa kepada-Ku, meminta kemudahan dan kesenangan di dunia ini, dan Aku tidak menciptakannya untuk itu!'

Begitu kita menyadari keadaan rugi ini maka kita dapat membebaskan diri dari situasi tersebut melalui ketaatan beribadah dan amal sholih sebanyak-banyaknya, tidak melalui penelitian atau tindakan langsung terhadap kehidupan atau mencoba mengendalikan kehidupan. Hanya melalui ketaatan kepada-Nya bukan berarti melarikan diri dari masalah melainkan keyakinan bahwa yang ada di balik penciptaan benar-benar aman akan diperoleh keuntungan yang mutlak. Jalan menuju kebenaran itu adalah melalui keyakinan yang didasarkan pada ilmu (iman), dan amal saleh.

Termasuk dalam panggilan salat adalah ungkapan hayya 'ala al-falah (mari menuju keberhasilan). Panggilan ini mengajak kita untuk meraih keberhasilan yang timbul dari ketundukkan kepada dilema keadaan manusia yang merugi. Dari keadaan bingung dan rugi yang biasa, keberhasilan bisa terwujud pertama-tama melalui keyakinan batin bahwa kita bisa berhasil bahwa kita dapat mengatasi keadaan tidak melalui materi duniawi atau dengan menguasai , tapi dengan mengubah sikap kita. Kita tidak dapat mengubah sifat dunia, sebesar apa pun upaya kita. Kekuatan semata tidaklah dapat mengatasi keadaan kecuali dengan mengubah arah batin, yaitu mewujudkan iman ke dalam amal saleh.

Washa berarti 'memperingatkan, melarang, memerintahkan, menasihati'. Kata benda turunan, washiyah berarti 'kemauan', yakni perintah yang terakhir dan terpenting yang ditinggalkan seseorang. Kata kerja di sini diungkapkan dalam bentuk jamak karena berkenaan dengan manusia. Implikasinya adalah bahwa guna mengatasi keadaan normal keduniawian maka kita harus melibatkan orang lain; masalah keduniawian tidak dapat diselesaikan melalui pengasingan diri. Juga berarti bahwa di antara orang lain dalam kesatuan sosial ada ukuran yang dapat kita jadikan sebagai patokan untuk mengukur diri. Jika kita hidup bersama sekelompok orang yang berorientasi pada kebenaran dan saling memikirkan, maka kedustaan dan kemunafikan kita akan terungkap.

Fondasi dari semua ini adalah shabr, 'kesabaran', karena Allah adalah Yang Mahasabar, al-Shabur. Allah berada di luar waktu. Kesabaran berarti menyusutkan waktu. Umpamanya, jika kita ingin memakan buah mentah sebelum waktunya dan kita tahu harus menunggu tujuh hari sebelum buah itu siap dimakan, maka kita siap untuk menunggu. Yang harus kita lakukan adalah membekukan waktu seminggu menjadi 'waktu nol'. (Kita menunggu sampai waktu yang seminggu itu habis dijalani.).

Surah ini dimulai dengan 'ashr dan diakhiri dengan shabr dan menunjukkan kepada kita bahwa waktu berasal dari Allah, dari Yang Tak Berwaktu. Surah ini mulai dengan apa yang kita alami, berbagai peristiwa yang berubah-ubah dan bersifat siklis, dan berakhir dengan fondasi, yang tak tergoyahkan dan tak berubah: shabr (kesabaran). Ketika Sembilan Puluh Sembilan Nama dituliskan atau dibacakan, maka Nama al-Shabur selalu yang terakhir, karena Sifat itu merupakan fondasi untuk penciptaan.


penjabaran lainya Surat Al-Ashr :

"Demi masa!" (ayat 1). Atau demi waktu `Ashar, waktu petang hari seketika bayang-bayang badan sudah mulai lebih panjang daripada badan kita sendiri, sehingga masuklah waktu sembahyang `Ashar. Maka terdapatlah pada ayat yang pendek ini dua macam tafsir.
Syaikh Muhammad Abduh menerangkan di dalam Tafsir Juzu' `Amma bahwa telah teradat bagi bangsa Arab apabila hari telah sore , mereka duduk bercakap-cakap membicarakan soal-soal kehidupan dan ceritera-ceritera lain yang berkenaan dengan urusan sehari-hari. Karena banyak percakapan yang melantur , keraplah kejadian pertengkaran, bersakit-sakitan hati sehingga menimbulkan permusuhan. Lalu ada yang mengutuki waktu 'Ashar (petang hari), mengatakan waktu 'Ashar waktu yang celaka, atau naas, banyak bahaya terjadi di waktu itu. Maka datanglah ayat ini memberi peringatan "Demi 'Ashar", perhatikanlah waktu 'Ashar. Bukan waktu `Ashar yang salah. Yang salah adalah manusia-manusia yang mempergunakan waktu itu dengan salah. Mempergunakannya untuk bercakap yang tidak tentu ujung pangkal. Misalnya bermegah-megah dengan harta, memuji diri, menghina merendahkan orang lain. Tentu orang yang dihinakan tiada terima, dan timbullah silang sengketa.
Lalu kamu salahkan waktu 'Ashar, padahal kamulah yang salah. Padahal kalau kamu percakapkan apa yang berfaedah, dengan tidak menyinggung perasaan teman dudukmu, tentulah waktu `Ashar itu akan membawa manfaat pula bagimu.
Inilah satu tafsir.

Tafsir yang lain; "Demi Masa!"

Masa seluruhnya ini, waktu-waktu yang kita lalui dalam hidup kita, zaman demi zaman, masa demi masa, dalam bahasa Arab `Ashr juga sebutannya.
Berputarlah dunia ini dan berbagailah masa yang dilaluinya; suka dan duka, naik dan turun, masa muda dan masa tua. Ada masa hidup, kemudian mati dan tinggallah kenang-kenangan ke masa lalu.

Diambil Tuhanlah masa menjadi sumpah, atau menjadi sesuatu yang mesti diingat-ingati. Kita hidup di dunia ini adalah melalui masa. Setelah itu kita pun akan pergi. Dan apabila kita telah pergi, artinya mati, habislah masa yang kita pakai dan yang telah lalu tidaklah dapat diulang lagi, dan masa itu akan terus dipakai oleh manusia yang tinggal, silih berganti, ada yang datang dan ada yang pergi. Diperingatkanlah masa itu kepada kita dengan sumpah, agar dia jangan disia-siakan, jangan diabaikan. Sejarah kemanusiaan ditentukan oleh edaran masa.

"Sesungguhnya manusia itu adalah di dalam kerugian." (ayat 2). Di dalam masa yang dilalui itu nyatalah bahwa manusia hanya rugi selalu. Dalam hidup melalui masa itu tidak ada keuntungan sama-sekali. Hanya rugi jua yang didapati: Sehari mulai lahir ke dunia, di hari dan sehari itu usia sudah kurang satu hari. Setiap hari dilalui, sampai hitungan bulan dan tahun, dari rnuda ke tua, hanya kerugian jua yang dihadapi.
Di waktu kecil senanglah badan dalam pangkuan ibu, itu pun rugi karena belum merasai arti hidup. Setelah mulai dewasa bolehlah berdiri sendiri, beristeri atau bersuami. Namun kerugian pun telah ada. Sebab hidup mulai bergantung kepada tenaga dan kegiatan sendiri, tidak lagi ditanggung orang lain.

Sampai kepada kepuasan bersetubuh suami isteri yang berlaku dalam beberapa menit ialah untuk menghasil anak yang akan dididik dan diasuh, menjadi tanggungjawab sampai ke sekolahnya dan pengguruannya untuk bertahun-tahun. Di waktu badan masih muda dan gagah perkasa harapan masih banyak. Tetapi bilamana usia mulai lanjut barulah kita insaf bahwa tidaklah semua yang kita angankan di waktu muda telah tercapai. Banyak pengalaman di masa muda telah menjadi kekayaan jiwa setelah tua. Kita berkata dalam hati supaya begini kerjakan, jangan ditempuh jalan itu, begini mengurusnya, begitu melakukannya. Pengalaman itu mahal sekali. Tetapi kita tidak ada tenaga lagi buat mengerjakannya sendiri. Setinggi-tingginya hanyalah menceriterakan pengalaman itu kepada yang muda.

Sesudah itu kita bertambah nyanyuk, bertambah sepi; bahkan kadang-kadang bertambah menjadi beban berat buat anak-cucu. Sesudah itu kita pun mati!
Itu kalau umur panjang. Kalau usia pendek kerugian itu akan lebih besar lagi. Belum ada apa-apa kita pun sudah pergi. Kerugianlah seluruh masa hidup itu. Kerugian!

"Kecuali orang yang beriman." (pangkal ayat 3). Yang tidak akan merasakan kerugian dalam masa hanyalah orang-orang yang beriman. Orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa hidupnya ini adalah atas kehendak Yang Maha Kuasa.

Manusia datang ke dunia ini sementara waktu; namun masa yang sementara itu dapat diisi dengan baik karena ada kepercayaan; ada tempat berlindung. Iman menyebabkan manusia insaf dari mana datangnya. Iman menimbulkan keinsafan guna apa dia hidup di dunia ini, yaitu untuk berbakti kepada Maha Pencipta dan kepada sesamanya manusia. Iman menimbulkan keyakinan bahwasanya sesudah hidup yang sekarang ini ada lagi hidup. Itulah hidup yang sebenarnya, hidup yang baqa.

Di sana kelak segala sesuatu yang kita lakukan selama masa hidup di dunia ini akan diberi nilainya oleh Allah. "Dan beramal yang shalih," bekerja yang baik dan berfaedah. Sebab hidup itu adalah suatu kenyataan dan mati pun kenyataan pula, dan manusia yang di kekling kita pun suatu kenyataan pula. Yang baik terpuji di sini, yang buruk adalah merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain. Sinar Iman yang telah tumbuh dalam jiwa itu dan telah menjadi keyakinan, dengan sendinnya menimbulkan perbuatan yang baik. Dalam kandungan perut ibu tubuh kita bergerak. Untuk lahir ke dunia kita pun bergerak. Maka hidup itu sendiri pun adalah gerak. Gerak itu adalah gerak maju! Berhenti sama dengan mati. Mengapa kita akan berdiam diri? Mengapa kita akan menganggur? Tabiat tubuh kita sendiri pun adalah bergerak dan bekerja. Kerja hanyalah satu dari dua, kerja balk atau kerja jahat. Setelah kita meninggalkan dunia ini kita menghadapi dua kenyataan. Kenyataan pertama adalah sepeninggal kita, yaitu kenang-kenangan orang yang tinggal. Dan kenyataan yang kedua ialah bahwa kita kembali ke hadhirat Tuhan.

Kalau kita beramal shalih di masa hidup, namun setelah kita mati kenangan kita akan tetap hidup berlama masa. Kadang-kadang kenangan itu hidup lebih lama daripada masa hidup jasmani kita sendiri. Dan sebagai Mu'min kita percaya bahwa di sisi Allah amalan yang kita tinggalkan itulah kekayaan yang akan kita hadapkan ke hadapan Hadhrat llahi. Sebab itu tidaklah akan rugi masa hidup kita.

"Dan berpesan-pesanan dengan Kebenaran.'' Karena nyatalah sudah bahwa hidup yang bahagia itu adalah hidup bermasyarakat. Hidup nafsi-nafsi adalah hidup yang sangat rugi. Maka hubungkanlah tali kasih-sayang dengan sesama manusia, beri-memberi ingat apa yang benar. Supaya yang benar itu dapat dijunjung tinggi bersama. ingat-memperingatkan pula mana yang salah, supaya yang salah itu sama-sama dijauhi. Dengan demikian beruntunglah masa hidup. Tidak akan pernah merasa rugi. Karena setiap peribadi merasakan bahwa dirinya tidaklah terlepas dari ikatan bersama. Bertemulah pepatah yang terkenal: "Duduk seorang bersempit-sempit, duduk ramai berlapang-lapang." Dan rugilah orang yang menyendiri, yang menganggap kebenaran hanya untuk dirinya seorang.

"Dan berpesan-pesanan dengan Kesabaran. " (ujung ayat 3). Tidaklah cukup kalau hanya pesan-memesan tentang nilai-nilai Kebenaran. Sebab hidup di dunia itu bukanlah jalan datar saja. Kerapkali kaki ini terantuk duri, teracung kerikil. Percobaan terlalu banyak. Kesusahan kadang-kadang sama banyaknya dengan kemudahan. Banyaklah orang yang rugi karena dia tidak tahan menempuh kesukaran dan halangan hidup. Dia rugi sebab dia mundur, atau dia rugi sebab dia tidak berani maju. Dia berhenti di tengah perjalanan. Padahal berhenti artinya pun mundur. Sedang umur berkurang juga.

Di dalam al-Quran banyak diterangkan bahwa kesabaran hanya dapat dicapai oleh orang yang kuat jiwanya, (Surat Fushshilat; 41; 35). Orang yang lemah akan rugilah.
Maka daripada pengecualian yang empat ini: (1) Iman, (2) Amal shalih, (3) Ingat-mengingat tentang Kebenaran, (4) Ingat-mengingat tentang Kesabaran, kerugian yang mengancam masa hidup itu pastilah dapat dielakkan.

Kalau tidak ada syatat yang empat ini rugilah seluruh masa hidup. Ibnul Qayyim di dalam kitabnya "Miftahu Daris-Sa'adah" menerangkan; "Kalau keempat martabat telah tercapai oleh manusia, hasillah tujuannya menuju kesempumaan hidup. Pertama: Mengetahui Kebenaran. Kedua: Mengamalkan Kebenaran itu. Ketiga: Mengajarkannya kepada orang yang belum pandai memakaikannya. Keempat: Sabar di dalam menyesuaikan diri dengan Kebenaran dan mengamalkan dan mengajarkannya. Jelaslah susunan yang empat itu di dalam Surat ini.

Dalam Surat ini Tuhan menerangkan martabat yang empat itu. Dan Tuhan bersumpah, demi masa, bahwasanya tiap-tiap orang rugilah hidupnya kecuali orang yang beriman. Yaitu orang yang mengetahui kebenaran lalu mengakuinya. Itulah martabat pertama.
Beramal yang shalih, yaitu setelah kebenaran itu diketahui lalu diamalkan; itulah martabat yang kedua. Berpesan-pesanan dengan Kebenaran itu, tunjuk menunjuki jalan ke sana. Itulah martabat ketiga. Berpesan-pesanan, nasihat-menasihati, supaya sabar menegakkan kebenaran dan teguh hati jangan bergoncang. Itulah martabat keempat. Dengan demikian tercapailah kesempumaan.

Sebab kesempumaan itu ialah sempurna pada diri sendiri dan menyempumakan pula bagi orang lain. Kesempurnaan itu dicapai dengan kekuatan ilmu dan kekuatan amal. Buat memenuhi kekuatan ilmiah ialah iman. Buat peneguh kekuatan amaliah ialah berbuat amal yang shalih. Dan menyempumakan orang lain ialah dengan mengajarkannya kepada mereka dan mengajaknya bersabar dalam berilmu dan beramal. Lantaran itu meskipun Surat ini pendek sekali namun isinya mengumpulkan kebajikan dengan segala cabang rantingnya.

 Segala pujilah bagi Allah yang telah menjadikan kitabnya mencukupi dari segala macam kitab, pengobat dari segala macam penyakit dan penunjuk bagi segala jalan kebenaran." Sekian kita salin dari Ibnul Qayyim. Ar-Razi menulis pula dalam tafsimya: "Dalam Surat ini terkandung peringatan yang keras. Karena sekalian manusia dianggap rugilah adanya, kecuali barangsiapa yang berpegang dengan keempatnya ini. Yaitu: Iman, Amal Shalih, Pesan-memesan kepada Kebenaran dan Pesan-memesan kepada Kesabaran. Itu menunjukkan bahwa keselamatan hidup bergantung kepada keempatnya, jangan ada yang tinggal.

 Dan dapat juga diambil kesimpulan dari Surat ini bahwa mencari selamat bukanlah untuk diri sendiri saja, melainkan disuruh juga menyampaikan, atau sampai menyampaikan dengan orang lain. Menyeru kepada Agama, Nasihat atas Kebenaran, Amar ma'ruf nahyi munkar, dan supaya mencintai atas saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya. Dua kali diulang tentang pesan-memesan, wasiat mewasiati, karena pada yang pertama menyerunya kepada jalan Allah dan pada yang kedua supaya berteguh hati menjalankannya. Atau pada yang pertama menyuruh dengan yang ma'ruf dan pada yang kedua mencegah dari yang munkar.

Di dalam Surat Luqman, 21; 17 dengan terang-terang ditulis wasiat Luqman kepada anaknya agar dia suka menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar dan bersabar atas apa pun jua yang menimpa diri. Menurut keterangan Ibnu Katsir pula di dalam tafsirnya: "Suatu keterangan daripada ath-Tabrani yang ia terima dari jalan Hamaad bin Salmah, dari Tsabit bin `Ubaidillah bin Hashn: "Kalau dua orang sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. bertemu, belumlah mereka berpisah melainkan salah seorang di antara mereka membaca Surat al-`Ashr ini terlebih dahulu, barulah mereka mengucapkan salam tanda berpisah." Syaikh Muhammad Abduh dalam menafsirkan Hadis pertemuan dan perpisahan dua sahabat ini berkata: "Ada orang yang menyangka bahwa ini hanya semata-mata tabarruk (mengambil berkat) saja. Sangka itu salah. Maksud membaca ketika akan berpisah ialah memperingatkan isi ayat-ayat, khusus berkenaan dengan pesan-memesan Kebenaran dan pesan-memesan atas Kesabaran itu, sehingga meninggalkan kesan yang baik."

Imam asy-Syafi'i berkata: "Kalau manusia seanteronya sudi merenungkan Surat ini, sudah cukuplah itu baginya."
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive