Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika orang melihat Islam hanya sebagai agama, kesan yang pertama dibenaknya adalah doktrin, dogma, syariat atau ajaran halal-haram. Dalam persepsi orang sekuler, dogma akan dibarengi dengan fanatisme, fanatisme berarti ekslusifisme yang akan membawa kekerasan dan bahkan terorisme. Untuk orang yang berfikiran seperti ini Islam perlu ditampilkan sebagai agama dan sekaligus peradaban.
Islam sebagai peradaban berarti di dalam ajaran Islam terdapat aspek aqidah atau kepercayaan kepada Tuhan, dan syariah meliputi aspek peribadatan pada Tuhan dan tata tertib kehidupan sosial yang diatur oleh hukum. Jadi aqidah dan syariah itu mengandung konsep hubungan antar sesama manusia, sebagai implikasi dari hubungan dengan Tuhan. Semakin baik hubungan seseorang dengan Tuhan semakin baik pula hubungannya dengan manusia.
Jadi Islam bukan agama yang melulu berisi dogma-dogma dan ritual peribadatan, tapi agama yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Maka dari itu ketika Islam diamalkan dalam kehidupan kemasyarakatan ia akan membentuk sistim-sistim kehidupan, seperti ekonomi, politik, kebudayaan, sosial dan sebagainya. Itulah din al-Islam yang menjadi tamaddun
Tamaddun atau peradaban Islam tentu lahir di tengah kebudayaan lain. Ketika berinteraksi dengan umat, komunitas atau peradaban lain banyak hal yang mungkin terjadi. Pertama, umat Islam yang datang pada peradaban lain akan menawarkan ajaran agama Islam. Ketika tawaran diterima ada aspek kebudayaan itu yang akan tergeser oleh ajaran Islam. Kedua, dengan masuknya Islam ke sebuah kebudayaan atau bangsa lain tentu selain menerima Islam mereka akan mempertahankan tradisi, kultur ataupun kebiasaan mereka masing-masing yang tidak bertentangan dengan Islam. Ketiga, ketika memasuki kebudayaan atau bangsa lain umat Islam akan memanfaatkan apa-apa yang telah mereka capai, oleh sebab itu proses-proses adapsi, asimilasi dan integrasi hal-hal yang berasal dari peradaban lain tidak dapat dihindarkan.
Ketiga kemungkinan di atas dapat dikatakan sebagai proses dan hasil perkembangan peradaban Islam. Prosesnya oleh al-Attas disebut Islamisasi dan hasilnya adalah peradaban Islam. Islamisasi adalah pembebasan masyarakat dari tradisi kultural bersifat magis, mitologis, animistis and etnis yang tidak sesuai dengan Islam. Dan juga pembebasan pikiran dan bahasa manusia dari kontrol paham sekuler, yang tidak sesuai dengan fitrahnya. Jadi Islamisasi adalah mengembalikan manusia kepada fitrah atau naluri aslinya.
Hasil dari proses itu adalah apa yang dapat disebut sebagai peradaban Islam. Peradaban Islam adalah "Peradaban yang muncul dari berbagai kultur umat Islam di dunia, sebagai hasil dari penyerapan mereka terhadap din Islam dan dari sesuatu yang mereka lahirkan dari hasil penyerapan itu. (SMN.Al-Attas, Historical Fact and Fiction, UTM-CASIS, Kuala Lumpur, 2011, xv). Sudah tentu disini tidak berlaku inkulturasi atau akulturalisasi dimana Islam menyesuaikan dengan kultur manapun meskipun itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Proses Islamisasi pandangan hidup yang telah terjadi dalam sejarah peradaban Islam diilustrasikan dengan baik oleh al-Attas melalui teorinya tentang Islamisasi pandangan hidup bangsa Melayu. Dalam hal ini al-Attas membagi proses itu menjadi tiga periode. Periode pertama dimulai sejak abad ke 13 dimana Islam masuk ke dunia Melayu melalui penerapan syariah. Maka dari itu Fiqih dan pengamalan Islam secara praktis disaat itu sangat dominan. Konsep Tuhan dalam Islam belum banyak ditekankan sehingga masih kabur, difahami secara samar-samar dan bahkan bertumpang tindih dengan pandagan hidup kuno Hindu-Buddha. Periode kedua, dimulai sejak abad ke 15 hingga akhir abad ke 18. Pada periode ini tasawwuf dan kalam cukup dominan, sehingga konsep fundamental tentang Keesaan Tuhan dijelaskan. Disini pandangan hidup Islam jelas mempengaruhi pandangan hidup bangsa Melayu dengan masuknya istilah dan konsep-konsep Arab kedalam istilah-istilah bahasa Melayu. Periode ketiga proses Islamisasi adalah kelanjutan dari fase kedua. Sebagai hasil dari proses Islamisasi tersebut al-Attas menyimpulkan:
Melalui tasawwuflah masuknya semangat intelektual dan rasional yang tinggi ke dalam pikiran masyarakat waktu itu, ia membangkitkan semangat intelektualisme dan rasionalisme yang tidak wujud pada era pra-Islam… yang merevolusi pandangan hidup bangsa Melayu-Indonesia, mengubahnya dari suatu dunia mitologi yang rapuh.. kepada dunia intelektualisme, dunia akal dan dunia yang teratur; ….dan akhirnya semangat itu mempersiapkan bangsa Melayu-Indonesia, dalam beberapa hal, untuk dunia modern yang akan datang. (Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970, hal. 191-192).
Bagaimana konsep dari masa pra-Islam itu berubah oleh karena konsep-konsep dalam pandangan hidup Islam, dicontohkan dengan jelas oleh al-Attas dalam kata "ada" dan "wujud". Kata-kata "ada" (yang berarti menjadi, meng-ada atau sesuatu yang ada) pada masa Pra-Islam telah dipakai dengan prefix ber atau digunakan secara sinonim dengan kata-kata isi. Ia menunjuk suatu kategori wujud atau Being yang terbatas yang sebenarnya bersifat material, kebendaan atau fisik yang meruang dan me-waktu. Namun dengan datangnya Islam, khususnya melalui tasawuf dan kalam, konsep ada itu berubah secara mendalam dan radikal, yang merefleksikan suatu pandangan hidup metafisika Islam yang baru yang dikaitkan dengan konsep al-mawjud, yaitu yang mengejawantah secara zahir tapi juga yang tersembunyi secara batin.( Al-Attas, The Mysticism, hal. 163–169). Demikian pula kata-kata bahasa Arab wujud, yang menunjukkan makna suatu konsep yang abstrak yang sekaligus juga suatu realitas Being atau sesuatu yang ada (being), tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu karena tidak adanya kata-kata yang sesuai.
Selain kedua istilah di atas masih terdapat beberapa istilah dan konsep-konsep kunci yang berasal dari bahasa Arab yang kemudian terserap dalam bahasa Melayu dari sejak abad ke 15 hingga sekarang. Konsep-konsep itu diantaranya adalah roh (ruh), akal ('aql), kalbu (qalb), nafsu (nafs), faham (fahm), jasad (jasad), jisim (jism), jasmani (jusmani), jauhar (jawhar), juz (juz'), kuliah (kulliyah), ilham (ilham), sedar (dari bahasa Arab sadr = dada), fikir (fikr), zikir (dhikr), ilmu ('ilm), yakin (yaqin), shak (shakk), zann (zann), jahil (jahl), alam (alam), pengalaman (dari bahasa Arab: 'alam), sebab (sabab), musabab (musabbab), akibat (aqibah), hikmah (hikmah), adab (adab), martabat (maratib), derajat (darajat), maudu' (maudu'), adil (adl), zalim (zulm), ma'rifat (ma'rifah), ta'rif (ta'rif), hakekat (haqiqah), kertas (qirtas), sharah (sharh), bahas (bahth), hukum, hakim, mahkamah (dari Arab: hukm), murid (murid), tarekh (tarikh), zaman (zaman), awal (awwal), akhir (akhir), sejarah (shajarah), abad ('abad), waktu (waqt), saat (sa'ah), kursi (kursiy), dan banyak lagi lainnya. Penggunaan istilah dan konsep-konsep kunci tersebut telah mengindikasikan adanya perubahan cara pandang bangsa Melayu terhadap banyak hal dalam kehidupan mereka. Karena cara pandang bangsa atau masyarakat (Melayu) didominasi oleh konsep atau cara pandang asing (Islam) maka identitas bangsa dan masyarakat itu akan hilang digantikan oleh konsep dan cara pandang asing (Islam) yang lebih dominan. Demikian pulalah yang terjadi jika konsep dan cara pandang yang dominan adalah Barat.
Penggunaan istilah dan konsep-konsep kunci tersebut telah mengindikasikan adanya perubahan cara pandang bangsa Melayu dan digantikan oleh cara pandang Islam. Teorinya dapat dirumuskan begini jika suatu bangsa atau masyarakat didominasi oleh konsep atau cara pandang asing maka identitas bangsa dan masyarakat itu akan hilang digantikan atau didominasi oleh konsep dan cara pandang asing.
Pembahasan singkat tentang Islamisasi di atas sekedar menunjukkan suatu proses yang tak terlihat dalam tulisan sejarah Melayu, khususnya jika kajiannya terpusat pada aspek politik. Dengan kata lain proses Islamisasi melalui jalur politik dan kekuasaan sejatinya didahului oleh atau disertai dengan Islamisasi pandangan hidup dan konsep-konsep, dan pada tingkat tinggi Islamisasi sistim-sistim.
Dalam edisi ini kajian difokuskan pada kronologi masuknya Islam melalui para saudagar. Sebab Islam datang ke Nusantara tidak dengan sebuah serbuan bala tentara perkasa dengan pedang terhunus. Islam datang melalui perdagangan alias dibawa oleh para saudagar. Sebab Nusantara memang kawasan lalu lintas perdagangan dunia. Para pedagang, pelaut, atau musafir dari berbagai belahan dunia seperti China, Arab, India, Asia Tenggara, Persia, sudah biasa berlalu lalang dikawasan ini. Namun, dari para saudagar itu Islam dibawa masuk ke dalam jantung kekuasaan raja-raja sehingga proses politik menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.
Sorotan kajiannya diarahkan pada proses awal masuknya Islam ke Nusantara secara umum, kemudian dilanjutkan dengan kajian tentang pembebasan kawasan Sunda, Jawa dan Sulawesi. Kajian yang belum dilakukan adalah masuknya Islam kedalam kawasan Sumatera dan kawasan lain di Indonesia.
Kajian tentang kapan Islam pertama kali masuk ke Nusantara merupakan wacana yang menarik para sejarawan Melayu. Pendapat yang lebih dapat dipercaya adalah bahwa Islam telah masuk ke Nusantara seawal abad ke-7 Masehi, yakni zaman Khulafa' Rasyidin. Faktanya dari Cina bahwa zaman Dinasti T'ang (618-907 M) yang menyebut orang-orang Ta-Shih (yakni Arab) mengurungkan niat mereka menyerang kerajaan Ho Ling yang diperintah Ratu Sima (674 M). Fakta lain merujuk kepada angka tahun yang terdapat pada batu nisan seorang ulama bernama Syaikh Ruknuddin di Baros, Tapanuli, Sumatera Utara, dimana tertulis tahun 48 Hijriah yakni 670 Masehi. Informasi lain menunjukkan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara melalui Champa (Kamboja dan Vietnam sekarang) sejak zaman Khalifah 'Utsman, yakni sekitar tahun 30 Hijriyah atau 651 Masehi.
Selain sejarah masuknya Islam ke Nusantara asal muasal Islam yang datang ke Nusantara juga menjadi kajian penting di sini. Ada sedikitnya enam kemungkinan dari mana Islam datang. Ada yang mengatakan dari Gujarat, ada pula yang meyakini dari Benggala, jazirah Arab, Persia dan terakhir dari Cina. Dan yang tidak kalah penting adalah siapa yang membawanya apakah para saudagar, para ulama yang berdagang atau siapa. Sebab dengan itu akan diketahui corak Islam yang seperti apa yang pertama kali masuk ke negeri ini. Di tengah kontroversi itu al-Attas membuktikan bahwa Islam dibawa oleh Syaikh Isma'il yang atas perintah Gubernur (Syarif) Mekkah pada sekitar abad ke-9 Masehi. Lebih lanjut tentang kajian bagaimana model da'wah di Nusantara dan apa kekuatan Islam sehingga dapat masuk ke dalam kehidupan bangsa Melayu di Nusantara lihat Dr Syamsuddin Arif, Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi.
Khusus untuk kawasan Sunda, Islam masuk melalui para pedagang yang diperkirakan pada abad ke-7 M hingga abad ke-11 M. Pada masa itulah kemungkinan bertemunya masyarakat Nusantara dengan para pedagang Muslim dari negara-negara Islam. Tempat-empat persinggahan para pedagang di Tatar Sunda meliputi Banten, Jakarta dan Cirebon. Di Cirebon dipelopori oleh Sunan Gunung Jati, namun lebih awal dari itu pemeluk Islam pertama adalah Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa Kerajaan Galuh yang mendapat julukan Haji Baharudin atau disebut juga sebagai Haji Purwa. Bukti lain masuknya Islam ke kawasan Sunda adalah munculnya komunitas Muslim di kawasan pesisir utara Jawa Barat seperti Cirebon, Karawang, dan sekitarnya. Pertanda adanya komunitas Muslim pada abad 11 M bisa dilihat dari dikenalnya nama orang yang disegani dan ditokohkan masyarakat. Nama-nama seperti Syeikh Qura, Kean Santang dan lain lain sudah merupakan pertanda masuknya Islam ke kawasan ini hingga abad ke 13.
Komunitas tersebut kemudian perlahan-lahan berkembang menjadi kekuasaan. Di kawasan Sunda (Tatar Sunda) abad-abad 13 hingga 16 merupakan abad berubahnya komunitas Muslim menjadi kekuatan politik. Di zaman itulah orang mengenal kerajaan Cirebon dan Banten, sementara pada zaman yang sama kekuatan kerajaan Sunda perlahan-lahan telah menunjukkan kemundurannya. Fakta lain yang dapat membuktikan masuknya Islam ke tanah Sunda adalah masuknya prinsip-prinsip Islam kedalam pandangan hidup orang Sunda. Berkembang jargon di tengah masyarakat Sunda Sunda teh Islam, Islam teh Sunda adalah bukti mendarah mendagingnya agama Islam dalam kehidupan mereka. Kondisi masyarakat Sunda seperti ini dalam teori al-Attas telah mengalami proses Islamisasi tahap pertama menuju tahap kedua, yaitu tahap perkenalan syariah. Di sini haji dianggap pelaksanaan syariah yang tertinggi dan kerena itu yang telah menunaikan ibadah haji mendapat penghormatan yang tinggi. (Baca : Tiar Anwar Bachtiar, Islamisasi Tatar Sunda, Perspektif Sejarah Dan Kebudayaan).
Sementara di Jawa Islam masuk kira-kira pada abad ke 8 H (1478M), melalui elit politik. Kronologinya mirip dengan penyebaran Islam di kawasan Kristen di sekitar jazirah Arab, yaitu ketika kekuasaan politik lokal melemahnya. Sebab memang pada abad ini kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha mengalami konflik internal yang berkepanjangan dan akhirnya melemah. Pada tahun 1404-1406 Masehi terjadi Perang Paregreg, yaitu perang antara Majapahit istana barat yang dipimpin Wikramawardhana melawan istana timur yang dipimpin Bhre Wirabhumi.
Adalah Sultan Agung yang mempelopori Islamisasi penduduk Jawa dengan pendidikan. Islam disebarkan melalui berbagai sarana di kampung-kampung, dari pendidikan membaca al-Qur'an, tatacara ibadah dan pengajaran sederhana tentang rukun Islam dan rukun iman. Karena pemrakarsanya adalah istana maka guru agama diberi gelar Kyahi Anom atau Kyahi Sepuh. Di tingkat kadipaten pendidikan Islam lebih tinggi lagi dengan mengkaji kitab-kitab karangan para ulama seperti Fiqih, Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam, Tasawuf, Nahwu, Sharaf dan Falaq. Dengan melalui pendidikan di tingkat kampung hingga tingkat kadipaten Islam tersebar secara luas dan difahami secara massal serta dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat umum.
Sumber : Jurnal Islamia, 'Pembebasan Nusantara: Antara Islamisasi dan Kolonialisasi'