Tanda Kiamat, Pengkhianat diberi Amanat
Suatu ketika, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda dan didengar oleh Abdullah bin Amru, kata beliau:“Kiamat tidak akan terjadi sampai merajalelanya omongan kasar dan saling umpat, pemutusan tali rahim serta buruknya hubungan antar tetangga, dan sampai pengkhianat diberi amanat sedang yang terpercaya di anggap pengkhianat.” (HR. Ahmad)
Prediksi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam akan senantiasa terbukti. Kalau para shahabat dahulu hanya bisa merasakan kekhawatiran akan munculnya tanda-tanda kiamat, saat ini kita ditakdirkan menjadi generasi umat ini yang menyaksikannya. Omongan kasar dan umpatan, pemutusan silaturahmi dan buruknya hubungan dengan tetangga, gambaran nyatanya dapat kita saksikan setiap hari. Omongan kasar danmesummenjadi bumbu di setiap obrolan, anak bersengketa dengan bapaknya bahkan tega membunuhnya, ibu-ibu membunuh atau membuang bayinya, individualisme yang semakin parah serta hubungan tetangga yang buruk. Tetangga yang semestinya menjadi ‘saudara dekat’, tak jarang malah jadi rival abadi. Tak pernah rukun meski satu Rukun Tetangga (RT). Kini, fenomena-fenomena buruk semacam itu laksana kawah lumpur yang menyemburkan kotoran ke muka bumi, saban hari.
Ditambah tanda yang terakhir, lumpur-lumpur yang menyembur pun kian pekat warnanya dan makin menusuk baunya. Dari semua fenomena akhir zaman yang disebutkan dalam hadits di atas, sepertinya tanda yang terakhir memiliki dampak paling merugikan, tidak hanya bagi yang melakukan, yang tidak tahu apa-apa pun akan merasakan akibatnya.
“Pengkhianat justru diberi amanat”, kalau yang dimaksud sekadar amanat berupa barang titipan, lalu yang dititipi kabur membawa titipan itu, dampak buruknya tidaklah seberapa. Tapi jika amanat yang dimaksud adalah amanat kepemimpinan dan jabatan, apalagi jabatan dalam skup negara tentu akan lain urusannya. Dampak buruknya akan jauh lebih besar dan mengenai banyak orang. Kalau pejabat tidak amanat dan suka korupsi, rakyat yang tidaktahu apa-apa akan merasakan dampaknya berupa terpuruknya perekonomian.
Imam al Qurthubi dalam kitabnya “at Tadzkirah” menjelaskan:
“Apa yang Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beritakan kepada kita dalam bab ini(hadits ini) dan yang lainnya, dari apa yang telah terjadi dan yang akan datang, kebanyakan di antaranya sudah muncul dan merajalela di tengah manusia. Jabatan diembankan kepada orang yang bukan ahlinya hingga jadilah orang-orang yang memimpin justru manusia-manusia rendahan, orang-orang kelas budak dan manusia-manusia bodoh. Mereka menguasai negeri dan kepemerintahan, dengan itu mereka menumpuk harta dan meninggikan gedung-gedung, sebagaimana yang bisa kita saksikan pada zaman ini. Mereka tidak mau mendengarkan nasihat dan tidak pernah istirahat dari maksiat. Mereka adalah manusia-manusia bisu, tuli dan buta.” (I/726)
Jika pada zaman Imam al Qurthubi saja fenomena ini bisa dirasakan, di zaman ini tentunya jauh lebih nyata wujudnya. Sekarang ini orang begitu mengagungkan demokrasi. Semua orang berhak dan merasa berhak menjadi pemimpin dan pejabat. Kompetensi diri, skill manajemen dan leadership bukanlah syarat penentu terpilihnya seseorang. Lebih-lebih soal apakah mereka adalah orang yang amanah atau tidak, lebih tidak menjadi bahan pertimbangan. Uang dan pengaruhlah yang menjadi juri penentu kemenangan.Yang lebih mampu mencetak banyak pamflet, spanduk, banner, bendera partai, menggelar acara-acara kepartaian dan memberikan sokongan dana, dialah yang berpeluang mendapat kursi jabatan. Atau kalaupun yang menjabat adalah orang yang benar-benar mampu dan bukan yang menyokong dana, kebijakan-kebijakannya pun tidak akan jauh-jauh dari pesanan “orang tua asuh”-nya yang telah mendanai.
Karenanya tidak mengherankan jika setelah menjabat, fokus utamanya bukanlah menunaikan amanah tapi lebih kepada usaha mengembalikan modal yang harus keluar dimasa perjuangan merebut suara. Sekarang, pagelaran drama dengan tema “mengembalikan modal dengan cepat” itu tersaji dalam potongan-potongan berita korupsi, suap dan permainan hukum. Sekian puluh pejabat yang ditangkap karena suap, mata rantai mafia hukum yang menyeret pejabat satu demi satu, korupsi yang dilakukan secara berjamaah dan sistemik membuktikan bahwa mereka adalah “al kha`inun al mu`tamanun” para pengkhianat yang diberi kepercayaan. Selain itu, seperti dikatakan imam al Qurthubi di atas, banyak kegiatan-kegiatan yang tidak penting semisal pembangunan gedung tinggi nan mewah menjadikanpengkhianatan itu kian jelas terpampang diatas lukisan kemiskinan rakyat.
Sebaliknya, “yukhawanul amin” orang-orang yang terpercaya dianggap sebagai pengkhianat. Orang-orang yang jujur dan berusaha amanah, adalah ‘parasit’ dalam sistem yang korup. Perangkap demi perangkap pun akan dipasang guna menjatuhkan mereka dari jabatannya. Apalagi yang berani gembar-gembor menghapus korupsi dan mengambil langkah nyata untuk itu, ancamannya akan lebih besar.
Wallahul musta’an. Inilah realita yang harus kita hadapi. Cukup sulit menjelaskan bagaimana solusi untuk keluar dari masalah ini. Masalah pengkhianatan dalam jabatan bukan problem ringan. Ditambah dengan munculnya berbagai keburukan akhir zaman yang lain, persoalan jadi kian runyam. Ada banyak hal yang harus kita hindari serta waspadai sekaligus menjadi PR bagi kita, dan begitu sedikitnya teman yang bisa menguatkan. Barangkali hanya semangat dan keyakinan untuk tetap menjaga iman serta usaha perbaikan sesuai kemampuanlah yang bisa kita lakukan. Harapannya, kita bisa selamat sampai di penghujung periode hidup yang kita tempuh.Wallahua’lam. (ar-risalah)
0 komentar:
Posting Komentar