Mukadimah hadits :
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sebaik-baik umatku adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya lagi."
– Kata 'Imran: "Aku tak ingat lagi, apakah beliau menyebutkan setelah masa beliau itu dua atau tiga kali." –
"Kemudian akan ada sesudah kamu sekalian orang-orang yang suka memberikan kesaksian tanpa diminta bersaksi, mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya, mereka bernadzar tetapi tidak memenuhi nadzarnya..." (HR Bukhari dan Muslim)
Latar belakang :
BANYAK kalimat yang tidak asing di telinga masyarakat, karena setiap kampanye selalu banyak janji yang diumbar. Tapi kenyataannya, janji-janji itu bagai ikan jauh dari panggang.
Rakyat tidak lagi buta. Matanya tetap terbuka menyaksikan kesejahteraan hanya dinikmati elit-elit politik dan pejabat negara saja. Diskriminasi masih saja terjadi, dan rakyat miskin selalu menjadi korbannya. Belum lagi persoalan negara yang belum tuntas, seperti krisis energi listrik, krisis BBM, gas, pengangguran, penegakan hukum, dan lainnya. Dilain pihak, yang kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin, dan "orang kuat" kebal hukum.
Apakah di tengah berbagai persoalan dan kriris kepercayaan yang melanda masyarakat, elit politik akan tetap hadir menyodorkan berbagai harapan yang belum pasti mampu diwujudkan? Mengerahkan massa hanya untuk mendengarkan program-program politik yang hanya manis dibibir?
Para elit politik harus menyadari, saat ini banyak masyarakat yang sudah apatis terhadap para Caleg dan Parpol. Sudah bosan dengan janji-janji politik yang selalu diumbar setiap kampanye. Apalagi dengan sikap sebahagian anggota dewan yang hanya ingat rakyat dan mau turun ke bawah hanya pada masa kampanye saja. Tapi, ketika sudah duduk dan menjadi wakil rakyat lupa dan susah ditemui. Rakyat sudah jenuh dengan janji-janji manis. Rakyat butuh bukti bukan janji. Karenanya, jangan salahkan kalau ada masyarakat memilih "golput" saat pemilu.
Kondisi sosial masyarakat secara umum saat ini sangat miris. Banyak masalah yang dihadapi dan minim perhatian pemerintah. Pendidikan belum adil bagi seluruh rakyat, kesehatan masih diskriminasi, dan berbagai persoalan lainnya. Inilah salah satu persoalan yang harus dipahami para caleg. Beri pendidikan politik dan pemahaman pemilu legislatif sebenarnya. Jangan berikan janji-janji, tapi sulit ditepati. Para caleg juga harus jujur menjelaskan sejauh mana kewenangan tugas-tugas anggota dewan dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Bukan menunjukkan dirinya seolah-olah dewa yang mampu menyelesaikan semua persoalan masyarakat.
Pimpinan Parpol juga harus memaparkan visi dan misi partainya dalam bernegara. Sehingga masyarakat dapat menentukan pilihan politiknya sendiri tanpa dirayu dengan janji-janji. Ada kejujuran antara pimpinan Parpol dan caleg. Sehingga kelak masyarakat pendukungnya tidak banyak tuntutan dan merasa dibohongi. Artinya ada target yang jelas disampaikan para caleg dan elit politik untuk kemajuan negeri ini, yang mengharuskan keterlibatan masyarakat untuk berjuang bersama-sama memenangkan partai itu. Bukan kebohongan yang diungkapkan demi untuk memenuhi ambisi pribadi dan kelompoknya.
Kampanye politik pada hakekatnya untuk mencari dukungan kepada masyarakat. Karenanya, paparan atau program-program pembangunan yang diajukan harus jelas bukan mengada-ada. Sehingga dukungan politik yang diberikan rakyat itu lahir secara ikhlas, bukan karena imbalan. Bukan semata-mata meloloskan anggota parpol sebagai wakil rakyat di DPR, DPRD, dan DPD. Tapi ada misi besar yang diusung untuk kepentingan bersama, yakni keadilan, kesejahteraan masyarakat dan menjaga kedaulatan negara.
Kampanye Pemilu Legislatif yang kini sedang belangsung, hendaknya ada perobahan baru. Sentuhan-sentuhan berbagai isu dan persoalan negara ini harus benar-benar menjadi perhatian semua caleg dan parpol. Jangan lagi seperti penjual obat dan berkoar-koar mengumbar janji-janji yang tidak realistis. Sebagai caleg harusnya mendalami apa yang menjadi kebutuhan masyarakat saat ini, dan mampu menawarkan jalan keluar. Bukan sekadar mengumbar janji, bagi-bagi duit, dan sembako untuk mencari dukungan. Tapi ada manfaat timbal balik antara konstituen dengan caleg, yakni manfaat jangka panjang dalam memperjuangkan hak-hak rakyat yang selama ini terabaikan.
Penjelasan :
Situasi politik menghangat beberapa waktu terakhir memang meresahkan. Berbagai intrik dan cara dilakukan para elit politik maupun simpatisan untuk berebut pengaruh dan kepercayaan masyarakat. Tak hanya janji-janji yang diobral, bahkan banyak kasus orang-orang melakukan sumpah atau nadzar untuk mencelakai diri jika apa yang yang menjadi prediksinya salah, atau jago yang dicalonkan kalah.
Ada yang bersumpah akan gantung diri, ada yang bernadzar berjalan kaki dari Jogja hingga Jakarta, ada yang berjanji akan potong kupingnya, dan ada yang berani digantung di monas jika terbukti korupsi. Dan yang lebih heboh lagi bahkan ada yang bernadzar untuk potong kemaluan.
Ini membenarkan nubuwah Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa ketika dekat Hari Kiamat maka banyak orang yang bersumpah tanpa diminta. Betapa mudah manusia berjanji, dan begitu mudah pula mengingkari.
Mungkin saja orang yang berani berjanji, sumpah ataupun nadzar yang semacam itu terlalu percaya diri dengan prediksinya. Hingga dia lakukan itu untuk meyakinkan orang-orang bahwa yang dia prediksi pasti terjadi. Tentu saja ini merupakan bentuk kelancangan dan tidak memiliki adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Mungkin mereka lupa tentang cerita, bahwa Allah pernah menghukum 'ash-habul jannah' (pemilik kebun) yang berjanji untuk memanen esok hari tanpa mengucapkan in syaaAllah. Hingga Allah menggagalkan rencana mereka sebagai pelajaran, bahwa ketentuan dan ketetapan bukanlah di tangannya, tapi dalam kekuasaan Penciptanya. Allah Ta'ala berfirman,
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan: "Insyaa Allah", lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita." (QS al-Qalam 17-20)
Begitulah Allah menghukum orang yang berjanji akan panen tanpa mengucapakan insyaaAllah, padahal yang hendak mereka panen adalah kebun mereka sendiri. Artinya, mereka bersumpah untuk melakukan yang mubah, lantas bagaimana dengan orang yang bersumpah untuk melakukan maksiat dan dosa?
Pada banyak kasus, sebenarnya modus sumpah semacam ini hanyalah sumpah serapah, bersumpah untuk diingkari. Meski tampak serius dan menggebu-nggebu hakikatnya mereka sudah siap untuk berkelit. Faktanya, kita sudah sering mendengar sumpah serapah semacam ini, lalu ketika gejala-gejala menunjukkan apa yang menjadi tuntutan sumpahnya terjadi, buru-buru mereka membuat alibi.
Meskipun secara syar'i ia juga tidak boleh mewujudkan sumpahya jika konsekuensi sumpahnya berupa maksiat dan dosa. Tapi dari sisi kepribadian, ia telah cacat lantaran bersumpah untuk sesuatu yang jelas-jelas tidak akan ia lakukan.
Mencelakai diri sendiri adalah tindakan dosa dan haram, maka bersumpah untuk melakukan yang haram juga dihukumi haram. Allah Ta'ala berfirman,
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan". (QS. Al Baqarah: 195).
Allah Ta'ala juga berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu". (QS. An Nisaa: 29).
Jika Teranjur Bersumpah
Lantas bagaimana ketika seseorang terlanjur bersumpah atau bernadzar untuk maksiat? Jawabannya, ia tidak perlu melakukan sesuai sumpahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
"Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah ia bermaksiat kepada-Nya. " (HR Bukhari)
Hanya saja, ia harus membayar kafarah(denda). Poin ini yang banyak disepelekan oleh mereka yang gampang mengumbar sumpah. Begitu mudah bersumpah, isi sumpahnya bermasalah dan kemudian ia berlepas diri begitu saja seakan tidak terjadi apa-apa. Seharusnya ia membayar kafarah darisumpahnya. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,
النَّذْرُ نَذْرَانِ: فَمَا كَانَ مِنْ نَذْرٍ فِي طَاعَةِ اللَّهِ فَذَلِكَ لِلَّهِ وَفِيهِ الْوَفَاءُ، وَمَا كَانَ مِنْ نَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَذَلِكَ لِلشَّيْطَانِ وَلَا وَفَاءَ فِيهِ، وَيُكَفِّرُهُ مَا يُكَفِّرُ الْيَمِينَ "
"Nazar itu ada dua macam. Jika nazarnya adalah nazar taat, maka wajib ditunaikan. Jika nazarnya adalah nazar untuk bermaksiat -karena syaithon-, maka tidak boleh ditunaikan dan hendaknya dia membayar kafarah sumpah." (HR Nasa'i, al-Albani menyatakan shahih)
Adapun kafarahnya adalah dengan memerdekakan satu orang budak atau memberi makan pada sepuluh orang miskin atau memberi pakaian pada sepuluh orang miskin. Jika semua itu tidak mampu dia lakukan, baru memilih berpuasa selama tiga hari. Allah Ta'ala berfirman,
"..Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari." (QS. Al Maidah: 89).
Wallahu a'lam bishawab.
Editor : M ashabus samaaun
Sumber:
majalah arrisalah
Koran buton pos
0 komentar:
Posting Komentar