Oleh : AGUSMAN DAMANIK
(Penulis adalah Dosen UNIVA Medan)
Keikhlasan merupakan sifat yang sangat berat untuk dilakukan, bahkan banyak dari kita yang tidak mengedepankan keikhlasan dalam beramal. Padahal dalam kajian tauhid hal ini merupakan hal yang harus dimililki seorang muslim. Itulah sebabnya surat yang sering kita sebut dengan surat ‘qulhu ‘dinamakan dengan “ surat al ikhlash” Dan kalau kita perhatikan tidak ada satu kalimatpun yang menyebut kata al ikhlas.
Tetapi mengapa disebut dengan surat al ikhlas? Ini menunjukkan bahwa kita dituntut untuk ikhlas akan keesaan Allah, yang berhak disembah hanyalah Allah (ahad), tiada Tuhankan (lam yalid wa lam yulad), juga tuhan yang tidak ada sekutu baginya.(wa selain Allah. Kita juga dituntut untuk ikhlas menjadikan Allah tempat kita bergantung (asshamad), berbagai hal yang kita lakukan bergantung kepada kekuasaan Allah. Selain itu, kita dituntut untuk ikhlas mengikrarkan dan memproklamirkan bahwa Allah bukanlah tuhan yang beranak dan diperanaklam yakun lahu kufuwan ahad). Demikian dahsyatnya kata ikhlas itu. Dan Syarat diterimanya ibadah oleh Allah SWT adalah bila dilakukan dengan keikhlasan.
Ada sebagian orang yang dengan amal yang dilakukannnya seolah ia menjadi penghuni surga. Padahal sebenarnya ia mendaftarkan diri untuk masuk ke dalam neraka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh muslim “ orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah seorang yang dinilai mati syahid. Orang itu dihadirkan kemudian kepadanya dibeberkan nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya, lalu ia mengetahui hal itu.
Kemudian Allah SWT bertanya apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmat itu ? ia menjawab “ aku berperang membela agamamu, hingga aku mati syahid. Allah SWT berfirman “ kamu berdusta karena kamu berperang hanya untuk dikatakan seorang pemberani dan itu sudah dikatakan orang. Kemudian diputuskan perkaranya, ia diseret dengan tertelungkup dan ia dilemparkan ke neraka. Kemudian seorang yang telah mempelajari Alquran, mengajarkan dan membaca Alquran. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya disampaikan nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya dan ia mengetahui hal itu, kemudian Allah bertanya kepadanya, apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmat itu ?
Ia menjawab” aku mempelajari Alquran dan mengajarkan kepada manusia dan aku membaca Alquran demi engkau. Allah SWT berfrman, kamu berdusta, karena kamu mempelajari Alquran agar dikatakan orang sebagai orang yang alim, dan engkau membaca Alquran agar mausia mengatakan kamu seorang qori. Dan itu sudah dikatakan orang, Maka kemudian diputuskan, ia diseret dengan tertelungkup, hingga ia dilemparkan ke neraka. Kemudian seseorang yang Allah SWT berikan kekuasaan harta dan bermacam-macam kekayaan. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya dan ia mengakui hal itu. Kemudian Allah SWT bertanya, apa yang kamu lakukan sebagai rasa syukur terhadap nikmat-nikmat itu ?
Ia menjawab” setiap aku mendapati jalan dan usaha kebaikan yang engkau senang, agar aku nafkahkan hartaku untuknya, aku segera menginfakkan hartaku demimu. Allah mengomentari jawabannya itu, kamu berdusta karena kamu melakukan itu semua agar dikatakan seorang yang dermawan dan itu telah dikatakan orang ! kemudian diputuskan, ia diseret dengan tertelungkup, hingga ia dilemparkan ke neraka.
Berdasarkan hadis tersebut, terlihat jelas bahwa banyak dari kita yang beranggapan bahwa dialah penghuni surga dengan bergudang-gudang amal kebaikan yang dilakukanya. Ternyata malah ia menjadi penghuni neraka. Hal tersebut disebabkan belum menyatu (tauhid) keberadaan Allah dalam kehidupannya. dan inilah hakikatnya keikhlasan, bahwa segala perbuatan didasari karena Allah SWT semata-mata. Denga kata lain, setiap gerak kehidupannya, bismillah, alhamdulillah, astaghfirullah, inna lillah, lahaula wala quwwata illa billah dan lain sebagainya. Hal itu yang belum terbangun dari kebanyakan kita. Sehingga seluruh amal kebaikan kita bukan didasari karena Allah. Tetapi sebaliknya , karena manusia (linnasi). Baik itu sifat riya (supaya dilihat orang) maupun sifat sum’ah (supaya didengar orang lain).
Dua penyakit itu menjangkiti mayoritas kita, kendatipun berdasarkan hadis tersebut direpresentasikan kepada tiga kelompok manusia yaitu; orang yang mati syahid, pembaca dan penghapal Alquran dan orang kaya yang dermawan.
1.Orang yang mati syahid. Berkaitan dengan orang mati syahid, terutama bila dikontekstualkan dengan persoalan terkini, yakni dengan ‘bom bunuh diri’ yang merugikan banyak orang. Dimana menurut mereka, bahwa tindakan mereka adalah benar. Sebab dengan melakukan hal itu mereka termasuk orang yang mati syahid dan disambut bidadari di surga. Padahal menurut mayoritas kita, bahwa tindakan mereka adalah kezaliman dan kebiadaban, dimana mengorbankan banyak orang. Selain itu, citra islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin selalu menjadi citra yang negatif dalam kehidupan umat beragama.
2.Pembaca dan penghapal Alquran. Para pembaca (qori) dan penghapal(hafiz) Alquran secara khusus yakni orang yang telah mendapat apresiasi dari masyarakat karena telah memperoleh qori terbaik, mulai dari tingkat kecamatan sampai tingkat internasional, kerap dihinggapi penyakit riya dan sum’ah.
3.Orang kaya yang dermawan. Selain dengan dua kelompok di atas, orang kaya dermawan juga kerap dijangkiti penyakit Riya dan sum’ah.
Dengan demikian, melalui momentum bulan Ramadhan ini, mari kita bangun jiwa keikhlasan sebagaimana tujuan ibadah puasa itu sendiri yakni membentuk manusia yang ikhlas, qanaah, tawadhu dan lain sebagainya yang dirangkum dengan kata “manusia yang bertaqwa”. Cara yang terbaik membangun keikhlasan adalah menyadari bahwa Allah selalu menyatu di dalam kehidupan kita dan tidak ada yang kita cari dalam kehidupan ini selain mencari keridhaannya.
(sumber : waspada.co.id)