"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Rabu, 15 Agustus 2012

Cerita Novel Musashi bag. 26






Negeri Impian

 IEYASU menyerahkan kekuasaan ke-shogun-an kepada Hidetada pada tahun 1605, tapi ia masih terus memerintah dari bentengnya di Suruga. Kini usaha meletakkan dasar-dasar bagi kekuasaan baru sudah sebagian besar terlaksana, dan ia minta Hidetada mengambil alih kewajiban-kewajiban yang memang menjadi haknya.

Ketika menyerahkan kekuasaan itu, Ieyasu bertanya kepada anaknya, apa yang hendak dilakukannya.

Jawaban Hidetada, "Saya akan membangun!" Kabarnya, jawaban tersebut sangat menyenangkan hati shogun tua itu.

Berlawanan dengan di Edo, Osaka masih sibuk melakukan persiapan-persiapan menghadapi pertempuran terakhir. Jenderal-jenderal terkenal menyusun persekongkolan-persekongkolan rahasia, kurir-kurir membawa pesan ke tanah-tanah perdikan tertentu, pemimpin-pemimpin militer dan para ronin yang sudah dipecat, diberi tempat berlindung dan upah. Amunisi ditimbun, lembing-lembing dipoles, dan parit-parit didalamkan.

Makin lama makin banyak orang kota meninggalkan kota-kota di barat, menuju kota yang sedang menanjak di timur itu. Mereka acap kali berganti kesetiaan, karena takut kemenangan Toyotomi akan berarti kembalinya permusuhan yang tak henti-hentinya.

Bagi para daimyo dan pengikut yang tinggi kedudukannya, yang harus menentukan sikap apakah mereka mempercayakan nasib anak cucu mereka kepada Edo atau Osaka, progam pembangunan yang mengesankan di Edo itu merupakan alasan kuat untuk mendukung Keluarga Tokugawa.

Hari ini, seperti hari-hari lainnya, Hidetada sedang sibuk dengan hiburan yang disukainya. Dengan pakaian seperti hendak pesiar ke pedesaan, ia tinggalkan daerah lingkaran utama, dan pergi ke bukit di Fukiage untuk memeriksa pekerjaan pembangunan.

Kira-kira waktu shogun beserta pengiringnya yang terdiri atas para menteri, ajudan pribadi, dan para pendeta Budha berhenti untuk beristirahat, pecah keributan di kaki Bukit Momiji.



"Hentikan bajingan itu!"

"Tangkap dia!"

Seorang penggali sumur berlari berputar-putar, mencoba melepaskan diri dari beberapa tukang kayu yang mengejarnya. la meluncur seperti kelinci di antara timbunan balok. Sejenak ia bersembunyi di belakang gubuk para tukang plester, kemudian melejit ke arah perancah dinding luar, dan mulai memanjat.

Sambil memaki keras-keras, beberapa tukang kayu ikut memanjat dan berhasil menangkap kakinya. Sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya, dengan kalut penggali sumur itu menjatuhkan diri ke dalam onggokan serutan.

Tukang-tukang menerkamnya, menendangi, dan memukulinya dari segala penjuru. Sungguh mengherankan, ia tidak berteriak atau melawan, tapi mencengkeram erat-erat ke tanah, seakan-akan hanya itulah harapan satusatunya.

Samurai yang bertanggung jawab atas para tukang dan pengawas buruh datang berlari-lari.

"Ada apa di sini?" tanya samurai itu.

"Dia menginjak siku-siku saya, babi kotor ini!" dengking seorang tukang kayu. "Siku-siku itu jiwa tukang kayu!"

"Sabar kamu!"

"Coba, apa tindakan Bapak, misalnya dia menginjak pedang Bapak?" tanya si tukang kayu.

"Baiklah, cukup! Shogun sedang beristirahat di bukit sana."

Mendengar kata shogun, tukang kayu yang pertama pun tenang, tapi yang lain mengatakan, "Dia mesti membersihkan diri. Dan dia mesti membungkuk kepada siku-siku, minta maafl"

"Kami nanti yang akan mengurus hukumannya," kata si pengawas. "Kalian kembali kerja di sana!"

Kemudian ditangkapnya kerah orang yang sudah letih itu, dan katanya, "Perlihatkan mukamu!"

"Ya, Pak."

"Kau salah seorang penggali sumur, kan?"

"Betul, Pak."

"Apa kerjamu di sini? Ini bukan tempat kerjamu."

"Kemarin juga dia di sini!" kata tukang kayu.

"Betul?" tanya si pengawas, sambil menatap wajah pucat Matahachi. Dilihatnya wajah itu terlalu lembut, terlalu halus untuk seorang tukang gali sumur.

Ia berunding dengan si samurai sebentar, kemudian membawa Matahachi pergi. Matahachi disekap dalam gudang kayu di belakang Kantor Pengawas Buruh, dan selama beberapa hari sesudah itu, tak ada yang dilihatnya kecuali kayu api, sekarung-dua karung arang, dan tong-tong pembuat acar. Kemungkinan terbongkarnya komplotan itu segera membuatnya ketakutan.

Sebetulnya, begitu berada di dalam benteng, ia telah menimbang-nimbang dan memutuskan bahwa kalaupun mesti menjadi penggali sumur sepanjang sisa hidupnya, ia tak akan menjadi pembunuh. Ia sudah melihat Shogun dan rombongannya beberapa kali, namun tidak melakukan apa-apa.

Yang mendorongnya datang ke kaki Bukit Momiji, setiap kali ada kesempatan di tengah waktu istirahat, adalah kerumitan yang tak terduga-duga. Menurut rencana, sebuah perpustakaan mesti dibangun, dan kalau selesai dibangun, pohon lokus itu akan disingkirkan. Matahachi, dengan perasaan bersalah, menduga senapan itu pasti akan ditemukan orang, dan itu berarti dirinya akan langsung dilibatkan dalam komplotan. Namun ia belum mendapatkan waktu yang tepat—yaitu ketika tak ada orang di sana—untuk menggali senapan dan menyingkirkannya.

Sedang tidur pun keringatnya bercucuran. Sekali ia bermimpi berada di negeri orang mati, dan ke mana pun ia memandang, yang tampak olehnya adalah pohon lokus. Beberapa malam sesudah disekap dalam gudang kayu itu, ia bermimpi ibunya. Begitu nyata mimpi itu, seperti siang hari. Osugi bukannya kasihan kepadanya, melainkan berteriak marah dan melemparkan sekeranjang kepompong ke arahnya. Ketika kepompong itu menghujani kepalanya, ia mencoba melarikan diri. Osugi mengejarnya, dan secara ajaib rambutnya berubah menjadi kepompong-kepompong putih. la berlari terus, tapi Osugi selalu ada di belakangnya. Basah kuyup oleh keringat, ia meloncat dari karang terjal dan jatuh menembus kegelapan neraka, menuju kegelapan yang tak ada akhirnya.

"Ibu! Maafkan aku!" teriaknya seperti anak terluka, dan la terbangun oleh suaranya sendiri. Kini kenyataan yang dihadapinya, yaitu kemungkinan datangnya maut, terasa lebih mengerikan daripada mimpi itu sendiri.

Ia mencoba membuka pintu, meskipun tahu pintu itu terkunci. Dengan putus asa ia panjat tong acar, ia pecahkan jendela kecil di dekat atap, lalu menerobos ke luar. Ia menyelinap di antara timbunan kayu, batu, dan onggok-onggokan tanah galian, lalu lari ke dekat gerbang belakang sebelah barat. Pohon lokus itu masih ada! la menarik napas puas.

Kebetulan ia menemukan sebuah cangkul, dan ia pun mulai menggali, seakan-akan di situ la berharap akan menemukan hidupnya sendiri. Gentar oleh bunyi yang ditimbulkannya, ia berhenti dan memandang ke sekitar. Melihat tak ada orang, mulai lagi ia menggali.

Kuatir orang lain telah menemukan senapan itu, cangkul diayunkannya dengan kalut. Napasnya menderu dan tidak tetap. Keringat dan debu bercampur menjadi satu, membuatnya tampak seakan baru mandi lumpur. la mulai pening, tapi ia tak dapat berhenti.

Mata cangkul terantuk suatu benda panjang. Cangkul ditepiskannya, lalu ia mengulurkan tangan untuk mengeluarkan benda itu, dan pikirnya, "Kutemukan!"

Tapi perasaan lega itu hanya berlangsung singkat. Benda itu ternyata tidak dibungkus kertas minyak, tanpa kotak, dan tidak dingin seperti logam. la pegang benda itu, ia angkat, kemudian ia jatuhkan. Cuma tulang lengan atau tulang kering yang putih ramping.

Matahachi tak punya semangat lagi untuk mengangkat cangkul. Rasanya seperti mimpi buruk lain lagi. Padahal ia tahu dirinya sadar. Ia dapat menghitung seluruh daun yang ada di pohon lokus itu.

"Untuk apa Daizo berbohong?" pikirnya terheran-heran. la kitari pohon itu, sambil menendang-nendang tanah.

Ia masih melingkari pohon itu, ketika sesosok tubuh mendekatinya diam-diam dari belakang, dan menepuk pelan punggungnya. Sambil tertawa keras, tepat di samping telinga Matahachi, kata orang itu, "Tak bakal kau menemukannya!"

Sekujur tubuh Matahachi lemas. Hampir ia jatuh ke dalam lubang. Sambil menoleh ke arah itu, ia memandang kosong beberapa menit lamanya, kemudian memperdengarkan suara parau heran.

"Ayo ikut aku!" kata Takuan, menggandeng tangannya.

Matahachi tak dapat bergerak. Jari-jarinya jadi mati rasa. Ia mencengkeram tangan pendeta itu. Perasaan ngeri bercampur hina merayapi tubuhnya, dari tumit ke atas.

"Kau tidak dengar, ya? Ayo ikut aku!" kata Takuan, memaki dengan matanya.

Lidah Matahachi hampir sama kelunya dengan lidah orang bisu. "I-ni... saya bereskan... tanah... saya..."

Tanpa nada kasihan, Takuan berkata, "Tinggalkan! Buang-buang waktu. Apa yang dilakukan manusia di bumi ini, baik atau buruk, seperti tinta di atas kertas. Semuanya itu tak dapat dihapus, biar seribu tahun! Kaukira dengan menendang-nendang sedikit tanah itu, apa yang telah kauperbuat akan hapus? Karena pikiran macam itulah, hidupmu begitu berantakan. Sekarang ayo ikut aku. Kau ini penjahat, dan kejahatanmu keji sekali. Akan kupotong kepalamu dengan gergaji bambu, dan kulemparkan kau ke Kolam Darah di neraka." Ia jewer telinga Matahachi, dan ia tarik pergi.

Takuan mengetuk pintu gubuk tempat para pekerja dapur tidur.

"Coba satu orang keluar sini!" katanya.

Seorang anak lelaki keluar sambil menggosok matanya yang mengantuk. Ketika mengenali orang itu sebagai pendeta yang tadi dilihatnya berbicara dengan shogun, barulah ia bangun dan katanya, "Ya, Pak? Apa yang harus saya lakukan?"

"Buka gudang kayu itu."

"Ada penggali sumur yang disekap di sana."

"Tidak ada lagi di sana. Dia ada di sini. Tak ada gunanya memasukkannya kembali lewat jendela, karena itu buka pintunya."

Anak itu bergegas memanggil pengawas. Pengawas berlari ke luar dan minta maaf, memohon Takuan tidak melaporkan soal itu.

Takuan mendorong Matahachi masuk gudang, kemudian ia sendiri masuk gudang juga, dan menutup pintunya. Beberapa menit kemudian, ia menjulurkan kepala, katanya, "Kau tentunya punya pisau cukur. Tajamkan pisau itu, dan bawa kemari."

Pengawas dan pekerja dapur saling pandang, tak berani bertanya kepada pendeta, kenapa pendeta menghendaki pisau cukur. Mereka mengasah pisau itu dan menyerahkannya kepada pendeta.

"Terima kasih," kata Takuan. "Sekarang kalian boleh kembali tidur."

Di dalam gudang itu gelap gulita, hanya secercah cahaya bintang yang mengintip dari jendela yang rusak. Takuan duduk di atas onggokan kayu bakar. Matahachi memerosotkan diri di tikar bambu. Kepalanya tunduk penuh rasa malu. Lama tak ada yang berbicara. Karena tak melihat pisau cukur itu, Matahachi pun bertanya-tanya dengan gelisah, apakah Takuan memegang pisau itu.

Akhirnya Takuan membuka mulut. "Matahachi, apa yang kaugali di bawah pohon lokus itu?"

Diam.

"Aku bisa menunjukkan padamu, bagaimana cara menggali sesuatu. Artinya, mengambil sesuatu dari ketiadaan, memperoleh kembali dunia nyata dari negeri impian."

"Ya, Pak."

"Kau sedikit pun tak mengerti kenyataan yang kumaksud. Tak sangsi lagi, kau masih ada di dunia khayalmu. Nah, karena kau ini sama naifnya dengan bayi, terpaksa aku mengunyahkan makanan otak untukmu.... Berapa tahun umurmu?"

"Dua puluh delapan."

"Sama dengan Musashi."

Matahachi menangkupkan tangan ke wajahnya, dan tersedu-sedu.

Takuan tidak bicara, sampai Matahachi puas menangis. Kemudian katanya, "Sungguh mengerikan, kalau dipikirkan bahwa pohon lokus itu hampir menjadi tanda kuburan seorang tolol. Kau menggali kuburanmu sendiri. Kau betul-betul sudah hampir memasukkan dirimu ke dalamnya."

Matahachi merangkul kaki Takuan, dan mohonnya, "Selamatkan saya! Oh, selamatkan saya. Mata saya... mata saya terbuka sekarang. Saya sudah ditipu Daizo dari Narai."

"Tidak, matamu tidak terbuka. Daizo juga tidak menipumu. Dia cuma mencoba memanfaatkan orang paling tolol di dunia ini, orang tolol yang serakah, tidak punya pengalaman, berpikiran sempit, tapi berani-berani menerima tugas yang akan ditolak oleh siapa pun yang berakal sehat."

"Ya... ya... saya memang orang tolol."

"Lalu menurutmu siapa Daizo itu?"

"Saya tidak tahu."

"Nama aslinya Mizoguchi Shinano. Dia abdi Otani Yoshitsugu, teman akrab Ishida Mitsunari. Kau tentunya ingat bahwa Mitsunari adalah salah satu pihak yang kalah di Sekigahara."

"Oh," gagap Matahachi. "Jadi, salah seorang prajurit yang sedang dilacak shogun?"

"Siapa lagi orang yang hendak membunuh shogun? Kebodohanmu betul-betul keterlaluan."

"Dia tidak mengatakan begitu pada saya. Dia cuma mengatakan benci Keluarga Tokugawa. Menurutnya, akan baik buat negeri ini kalau Keluarga Toyotomi pegang kekuasaan. Yang dibicarakannya cuma kerja demi kepentingan semua orang."

"Dan kau tidak lagi bertanya pada diri sendiri, siapa sesungguhnya dia, kan? Tanpa menggunakan kepalamu lagi, dengan berani kau menerima tugas darinya, menggali kuburanmu sendiri! Jenis keberanianmu itu mengerikan, Matahachi."

"Apa yang mesti saya lakukan sekarang?"

 "Lakukan?"

"Ayolah, Takuan, ayolah, tolong saya!"

"Lepaskan aku!"

"Tapi... tapi saya tidak benar-benar menggunakan senapan itu. Saya bahkan tidak menemukannya!"

"Tentu saja kau tidak menemukannya. Senapan itu tidak datang pada waktunya. Kalau Jotaro, yang dikecoh untuk menjadi bagian persekongkolan mengerikan ini, sudah sampai Edo seperti direncanakan, senapan itu kemungkinan sudah dikuburkan di bawah pohon itu."

"Jotaro? Maksud Anda, anak lelaki..."

"Sudahlah! Tak ada urusannya denganmu. Yang ada hubungannya denganmu adalah kejahatan pengkhianatan yang telah kaulakukan dan tak dapat diampuni, termasuk oleh dewa-dewa dan sang Budha. Dan tak perlu kau berpikir dapat diselamatkan."

"Apa tak ada jalan...?"

"Tentu saja tak ada!"

"Kasihani saya," Matahachi tersedu-sedu sambil bergayut pada lutut Takuan.

Takuan berdiri dan menendangnya. "Goblok!" bentaknya dengan suara seolah akan menerbangkan atap gudang itu. Kegarangan matanya tak dapat dilukiskan lagi-seperti Budha yang menolak digayuti, seorang Budha yang mengerikan dan tak berkenan menyelamatkan manusia, walaupun manusia itu sudah menyesal.

Sekejap-dua kejap Matahachi menatap pandangan itu dengan sikap benci. Kemudian kepalanya tertunduk menverah, dan tubuhnya diguncang sedu-sedan.

Takuan mengambil pisau cukur dari atas timbunan kavu, dan menyentuh kepala Matahachi sedikit dengan pisau itu.

"Karena kau akan mati, bolehlah kau mati seperti murid sang Budha. Atas dasar persahabatan, akan kubantu kau melakukannya. Tutup matamu dan duduk diam dengan kaki disilangkan. Garis yang membatasi hidup dan man tidak lebih tebal dari kelopak mata. Tak ada yang menakutkan dalam kematian. Tak ada yang mesti ditangiskan. Jangan menangis, Nak, jangan menangis. Takuan menyiapkan akhir hayatmu."



Ruang tempat berkumpulnya Dewan Sesepuh Shogun untuk membicarakan soal-soal negara itu letaknya terpencil dari bagian-bagian lain Benteng Edo. Ruang rahasia ini sepenuhnya tertutup oleh ruangan-ruangan dan pendopo-pendopo lain. Apabila para menteri diperlukan untuk menerima keputusan shogun, mereka menghadap ke ruang audiensi atau mengirimkan petisi dalam kotak berpernis. Surat-surat dan jawabannya terus mondar-mandir dengan kecepatan luar biasa, dan Takuan beserta Yang Dipertuan Hojo sudah beberapa kali diizinkan masuk ruangan itu. Acap kali mereka tinggal di sana sepanjang hari, kalau diperlukan menimbang-nimbang soal secara mendalam.

Pada hari khusus itu, di dalam ruangan lain yang tidak terlalu terpencil, namun tetap dijaga ketat, para menteri mendengarkan laporan dari utusan yang dikirimkan ke Kiso.

Utusan itu mengatakan bahwa sekalipun tidak ada penundaan dalam melaksanakan perintah untuk menangkap Daizo, namun Daizo berhasil meloloskan diri sesudah menutup kediamannya di Narai, dengan membawa serta seluruh rumah tangganya. Penggeledahan yang dilakukan mengungkapkan adanya persediaan senjata dan amunisi dalam jumlah besar, juga sejumlah dokumen yang lolos dari penghancuran. Termasuk juga dalam dokumen itu surat-surat kepada dan dari para pendukung Toyotomi di Osaka. Utusan itu telah mengatur pengapalan barang bukti tersebut ke ibu kota shogun, dan kemudian lekas kembali ke Edo dengan kuda cepat.

Para menteri merasa seperti nelayan yang telah menebarkan jaring besar, namun tak berhasil menangkap ikan, kecuali seekor ikan teri.

Hari berikutnya, seorang abdi Yang Dipertuan Sakai, yang menjadi anggota Dewan Sesepuh, membuat laporan lain: "Sesuai dengan perintah Yang Dipertuan, Miyamoto Musashi sudah dikeluarkan dari penjara. Ia diserahkan kepada orang bernama Muso Gonnosuke. Kepada Gonnosuke telah kami jelaskan secara terperinci mengenai salah pengertian yang telah terjadi."

Yang Dipertuan Sakai segera memberitahukan hal itu kepada Takuan, dan Takuan menyahut ringan, "Terima kasih atas kebaikan Anda."

"Anda mintalah kepada sahabat Anda, Musashi itu, untuk tidak terlalu buruk sangka terhadap kami," Yang Dipertuan Sakai meminta maaf. Ia merasa kurang enak melihat kekeliruan yang terjadi di wilayah kekuasaannya.



Salah satu masalah yang cepat sekali dipecahkan adalah masalah pangkalan operasi Daizo di Edo. Para pejabat, dengan pimpinan Komisaris Edo, turun ke toko gadai di Shibaura, dan dengan gerak cepat menyita segalanya, baik berupa harta milik maupun dokumen-dokumen rahasia. Dalam peristiwa itu, Akemi yang sial ditangkap, sekalipun ia sepenuhnya buta mengenai rencana-rencana pengkhianatan pelindungnya.

Pada suatu malam, Takuan diterima untuk beraudiensi dengan shogun, dan kepada shogun ia menguraikan segala peristiwa yang diketahuinya dan bagaimana kesudahannya. Ia menutup uraiannya dengan mengatakan, "Hendaknya Anda tidak melupakan sedikit pun, bahwa di dunia ini masih lebih banyak lagi Daizo dari Narai."

Hidetada menerima peringatan itu dengan anggukan keras.

"Kalau Anda mencoba mencari semua orang itu dan menyeretnya ke pengadilan," sambung Takuan, "seluruh waktu dan usaha Anda akan habis hanya untuk urusan para pembangkang itu. Anda takkan dapat melaksanakan kerja besar yang diharapkan dari Anda sebagai pengganti ayah Anda."

Shogun dapat memahami kebenaran kata-kata Takuan itu, dan memasukkannya ke dalam hati. "Biarlah hukuman itu ringan saja," demikian ia memberikan pengarahan. "Karena Anda yang telah melaporkan adanya persekongkolan itu, saya serahkan pada Anda untuk memutuskan hukumannya."

Sesudah mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, Takuan berkata, "Tanpa saya sadari, sudah lebih dari sebulan saya tinggal di benteng ini. Sudah waktunya saya meneruskan perjalanan. Saya akan pergi ke Koyagyu di Yamato, untuk menjenguk Yang Dipertuan Sekishusai. Kemudian saya akan kembali ke Daitokuji, melalui daerah Senshu."

Mendengar nama Sekishusai agaknya menimbulkan kenangan yang menyenangkan pada Hidetada. "Bagaimana dengan kesehatan Pak Tua Yagyu itu?" tanyanya.

"Sayang sekali, saya mendapat berita bahwa menurut Yang Dipertuan Munenori, ajal sudah dekat."

Hidetada mengenang peristiwa ketika ia berada di perkemahan Shokokuji, dan Sekishusai diterima oleh Ieyasu. Waktu itu Hidetada masih kanak-kanak, dan sikap Sekishusai yang jantan menimbulkan kesan mendalam baginya.

Takuan memecahkan kesunyian. "Ada satu hal lain," katanya. "Sesudah berunding dengan Dewan Sesepuh, dan dengan izin para anggota Dewan, Yang Dipertuan Hojo dari Awa dan saya mengusulkan samurai bernama Miyamoto Musashi untuk menjadi guru dalam rumah tangga Yang Mulia. Saya berharap Anda akan memberikan penilaian baik pada usul kami ini."

"Saya sudah mendapat pemberitahuan teptang itu. Kabarnya Keluarga Hosokawa berminat juga kepadanya, dan sangat cocok dengannya. Saya sudah memutuskan untuk menyetujui pengangkatan seorang guru lagi."



Sehari-dua hari sebelum Takuan meninggalkan benteng, ia memperoleh seorang murid baru. Ia pergi ke gudang kayu di belakang kantor pengawas, dan minta salah seorang pekerja dapur membukakan pintu baginya. Cahaya dari luar mengenai kepala yang baru dicukur.

Untuk sesaat, murid baru itu tak dapat melihat. Ia, yang merasa sebagai orang hukuman, pelan-pelan mengangkat matanya yang sejak tadi menunduk, dan katanya,

"Ayo!" kata Takuan.

Mengenakan jubah pendeta kiriman Takuan, Matahachi berdiri gontai dengan kaki yang terasa seolah mulai membusuk. Takuan pelan-pelan merangkul bahunya dan membantunya keluar dari gudang.

Hari pembalasan telah tiba. Dari balik kelopak matanya yang tertutup pasrah, Matahachi dapat melihat tikar buluh. Di tikar itulah ia akan dipaksa berlutut, sebelum algojo mengangkat pedang. Jelaslah, ia sudah lupa bahwa para pengkhianat biasanya menjumpai maut secara memalukan, dengan digantung. Air mata bercucuran di pipinya yang tercukur bersih.

"Kau bisa jalan?" tanya Takuan.

Matahachi merasa memberikan jawaban, padahal tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Secara hampir tak sadar ia lewati gerbang-gerbang benteng, dan ia seberangi jembatan-jembatan yang melengkungi parit-parit dalam dan luar. Murung, ia melangkah di samping Takuan, persis seperti domba dituntun ke pembantaian. "Terpujilah sang Budha Amida, terpujilah sang Budha Amida..." Dengan diam ia mengulang-ulang doa bagi sang Budha Terang Abadi itu.

Matahachi menyipitkan mata, melihat ke seberang parit di luar, ke arah kediaman daimyo yang anggun. Lebih jauh ke timur sana terletak Kampung Hibiya. Di sebelahnya tampak jalan-jalan daerah pusat kota.

Dunia yang mengambang itu kini serasa baru baginya, dan bersamaan dengan timbulnya hasrat akan dunia itu, air matanya kembali bercucuran. Ia pejamkan kedua mata itu, dan ulangnya cepat-cepat, "Terpujilah sang Budha Amida, terpujilah sang Budha Amida...." Permohonan itu mulai kedengaran oleh telinga, kemudian terdengar makin keras, dan makin cepat.

"Lekas!" kata Takuan garang.

Dari parit itu, mereka membelok ke arah Otemachi dan melintasi sebuah tempat terbuka yang luas dan kosong. Matahachi merasa sudah menempuh jarak seribu kilometer. Apakah jalan ini akan terus begini sampai di neraka, sementara sinar terang perlahan-lahan didesak gelap gulita?

"Tunggu di sini!" perintah Takuan. Mereka berada di tengah tempat terbuka yang datar. Di sebelah kiri, air berlumpur mengalir menuruni parit dari Jembatan Tokiwa.



Tepat di seberang jalan, ada sebuah dinding tanah yang barn saja selesai diplester putih. Di sebelahnya tembok penjara baru, dan sekelompok gedung hitam yang tampak seperti rumah-rumah kota yang biasa, meskipun sebetulnya adalah kediaman resmi Komisaris Edo.

Kaki Matahachi gemetar, tak dapat lagi menopang tubuhnya. la roboh ke tanah. Di rumput, entah di mana, terdengar suara burung yang seolah membayangkan jalan menuju negeri orang mati.

Lari? Kedua kakinya tak siap untuk itu, juga kedua tangannya. Tidak, ia tak dapat lari, pikirnya. Kalau shogun sudah menetapkan ia perlu ditangkap, tak ada selembar daun atau rumput pun yang bisa menjadi tempat ia menyembunyikan diri.

Dalam hati ia berteriak memanggil ibunya, yang waktu itu terasa sangat dekat olehnya. Sekiranya dulu ia tidak meninggalkan ibunya, ia tak akan ada di sini sekarang. Ia teringat akan perempuan-perempuan lain: Oko, Akemi, Otsu, dan perempuan-perempuan lain lagi yang disukainya, atau pernah diajaknya bermain-main. Namun ibunyalah satu-satunya perempuan yang betul-betul ingin dijumpainya. Sekiranya ia mendapat kesempatan hidup terus, ia tak man lagi menentang kemauan ibunya, takkan lagi ia menjadi anak durhaka.

Tengkuknya terasa dingin. Ia menengadah ke arah tiga ekor angsa liar yang sedang terbang ke arah teluk, dan ia iri pada mereka.

Dorongan untuk lari kini terasa sangat kuat. Kenapa tidak? Ia takkan kehilangan apa-apa. Kalau ia tertangkap, nasibnya takkan lebih buruk daripada sekarang. Dengan pandangan putus asa, ia menatap pintu gerbang di seberang jalan. Tak ada tanda-tanda Takuan.

Maka ia lompat berdiri dan lari.

"Berhenti!" Kerasnya suara itu sudah cukup mematahkan semangatnya. Ia menoleh ke sekitar, dan tampak olehnya salah seorang algojo komisaris. Orang itu melangkah maju dan menjatuhkan tongkat panjangnya ke bahu Matahachi. Dengan satu pukulan saja ia berhasil menjatuhkan Matahachi, kemudian mengimpitnya dengan tongkat, seperti anak-anak mengimpit katak dengan kayu.

Takuan keluar dari rumah kediaman komisaris, disertai beberapa pengawal, termasuk seorang kapten. Mereka menuntun tahanan lain ke luar, dalam keadaan terikat tali.

Si kapten memilih tempat untuk melaksanakan hukuman, dan dua lembar tikar buluh yang baru selesai dianyam dihamparkan di tanah.

"Kita mulai?" tanyanya pada Takuan, dan Takuan mengangguk tanda mengiakan.

Ketika si kapten dan pendeta sudah duduk di bangku, algojo berteriak, "Berdiri!" dan mengangkat tongkatnya. Matahachi mencoba sebisa-bisanya mengangkat dirinya, tapi la terlampau lemah untuk berjalan. Algojo dengan marah menangkap bagian belakang jubahnya, dan setengah menyeretnya ke salah satu tikar.

Ia duduk. Kepalanya tertunduk. Ia tak dapat lagi mendengar suara burung itu. Ia sadar akan suara-suara itu, tapi begitu tak jelas, seakan-akan terpisahkan oleh sebuah dinding. Tiba-tiba terdengar olehnya namanya dibisikkan orang, dan ia menengadah heran.

"Akemi!" gagapnya. "Apa kerjamu di sini?"

Akemi berlutut di tikar yang lain.

"Dilarang bicara!" Dua pengawal menggunakan tongkat untuk memisahkan mereka.

Si kapten berdiri dan mulai membacakan keputusan dan hukuman resmi dengan nada garang bermartabat. Akemi menahan air matanya, tapi Matahachi menangis tanpa kenal malu. Kapten selesai membaca, duduk, dan berseru, "Pukul!" 

Dua pengawal berpangkat rendah yang membawa bilah-bilah bambu panjang berjingkrak mengambil posisi, dan mulai mencambuk punggung kedua tahanan itu.

"Satu. Dua. Tiga," mereka menghitung. Matahachi merintih. Akemi, dengan muka tertunduk pucat pasi, mengatupkan gigi sekuat-kuatnya untuk menahan rasa sakit.

"Tujuh. Delapan. Sembilan." Cambuk bambu jadi berumbai-rumbai, dan asap seolah mengepul dari ujung-ujungnya.

Beberapa pejalan kaki berhenti di tepi lapangan, untuk melihat. "Ada apa?"

"Dua tahanan sedang dihukum rupanya."

"Seratus cambukan barangkali."

"Belum lagi lima puluh."

"Tentunya sakit."

Seorang pengawal datang mendekat dan mengejutkan mereka dengan menghantamkan tongkat keras-keras ke tanah. "Pergi sana! Dilarang berdiri di sini."

Orang-orang yang suka ingin tahu itu pun mencari tempat yang lebih aman, dan ketika mereka menoleh ke belakang, mereka lihat hukuman sudah selesai. Para pengawal membuang cambuk yang kini tinggal lembar-lembar lembut, dan menghapus keringat dari wajah.

Takuan berdiri. Kapten juga sudah berdiri. Mereka bertukar basa-basi, kemudian Kapten membawa anak buahnya kembali ke kediaman komisaris. Takuan masih berdiri beberapa menit lamanya, memandangi kedua tubuh yang membungkuk di tikar itu. Ia tidak mengatakan apa-apa, dan pergi meninggalkan tempat itu.

Shogun memberikan sejumlah hadiah kepadanya, yang kemudian disumbangkannya kepada berbagai kuil Zen di kota itu. Namun gunjingan orang Edo segera mulai lagi. Menurut desas-desus, ia pendeta ambisius yang suka ikut campur politik. Desas-desus lain mengatakan ia orang yang ditugaskan Keluarga Tokugawa untuk memata-matai golongan Osaka. Lain lagi mengatakan ia anggota komplotan "berjubah hitam".

Gunjingan-gunjingan itu tidak dihiraukan sama sekali oleh Takuan. Memang ia sangat prihatin mengenai kesejahteraan bangsa, tapi tidak banyak bedanya baginya, apakah bunga-bunga zaman yang sedang mencolok waktu itu-yaitu benteng di Edo dan Osaka-berkembang atau gugur.

Beberapa berkas sinar tipis menerobos awan, dan suara burung terdengar kembali. Kedua sosok itu tidak juga bergerak, walau sudah beberapa waktu berlalu, dan mereka sedikit pun tidak kehilangan kesadaran.

Akhirnya Akemi bergumam, "Matahachi, lihat—air!" Di depan mereka terdapat dua ember kayu berisi air, masing-masing ada ciduknya, suatu bukti bahwa kantor komisaris itu tidak sepenuhnya kejam.

Akemi meminum beberapa teguk air, kemudian menawarkan ciduk pada Matahachi. Tapi Matahachi tidak menjawab, maka tanya Akemi, "Ada apa? Kau tidak mau?"

Pelan-pelan Matahachi mengulurkan tangan dan menerima ciduk. Begitu ciduk menyentuh bibir, ia minum dengan rakusnya.

"Matahachi, apa kau menjadi pendeta?"

"Hah? ... Apa sudah selesai?"

"Apanya yang sudah selesai?"

"Hukuman itu? Mereka belum memotong kepala kita."

"Bukan itu tugas mereka. Apa kau tidak dengar orang itu membacakan hukumannya?"

"Apa katanya?"

"Katanya, kita mesti dibuang dari Edo."

"Lho, aku hidup!" jerit Matahachi. Ia hampir sinting karena gembira. Ia melompat meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi pada Akemi.

Akemi memegang kepalanya dan mulai sibuk dengan rambutnya. Kemudian ia membenahi kimono dan mengetatkan obi-nya. "Tak kenal malu!" gumamnya dengan bibir perot. Kini Matahachi hanya tampak sebagai titik di kaki langit.

Tantangan

  

BEBERAPA hari saja Iori sudah bosan tinggal di kediaman Hojo. Tak ada yang dilakukannya, kecuali bermain.

"Kapan Takuan kembali?" tanyanya pada Shinzo pada suatu pagi, karena ia memang ingin mengetahui kabar Musashi.

"Ayahku masih ada di benteng, jadi kukira Takuan masih di sana juga," kata Shinzo. "Nantilah, mereka pasti kembali. Bagaimana kalau kau menghibur diri dengan main bersama kuda-kuda itu?"

Maka Iori berlari ke kandang, dan segera melemparkan pelana berpernis dan berindung mutiara ke punggung kuda jantan yang disukainya. Ia sudah mengendarai kuda itu hari sebelumnya dan sebelumnya lagi, tanpa memberitahu Shinzo. Izin itu membuatnya merasa bangga. Ia pun naik, lalu melintas ke luar gerbang belakang dengan mencongklang penuh.

Rumah-rumah daimyo, jalan-jalan yang melintasi perladangan, sawahsawah, hutan-hutan-semuanya dengan cepat ia lintasi bergantian, dan ia tinggalkan di belakang. Labu ular yang merah cemerlang dan rumput yang cokelat muda menandakan bahwa musim gugur sedang memuncak sehebathebatnya. Punggung Gunung Chichibu menjulang di sebelah Dataran Musashino. "Tentunya dia di pegunungan sana itu," pikir Iori. Ia membayangkan guru yang dicintainya itu dalam penjara, dan air mata di pipinya membuat angin terasa dingin menyejukkan.

Apa salahnya bertemu dengan Musashi? Tanpa memikirkan lebih lanjut, ia melecut kudanya, dan kuda beserta pengendaranya terbang menempuh lautan perak elalia lembut.

Sesudah menempuh jarak satu kilometer dengan kecepatan penuh, ia mengekang kudanya, pikirnya, "Barangkali dia kembali ke rumah itu."

Ia mendapati rumah baru itu sudati selesai, tapi tidak ditinggali. Di sawah terdekat, ia berseru kepada para petani yang sedang menuai padi, "Apa ada di antara bapak-bapak yang melihat guru saya?" Mereka menjawab dengan gelengan sedih.

Kalau begitu, mestinya di Chichibu. Dengan kuda ia dapat menempuh jarak itu dalam sehari. Sebentar kemudian, ia sampai di Kampung Nobidome. Jalan masuk ke kampung sesak dipenuhi kuda tunggang samurai, kuda beban, peti perjalanan, joli, dan sekitar empat puluh sampai lima puluh samurai yang sedang makan siang. Ia memandang ke sekitar, untuk mencari jalan kampung.



Tiga-empat orang membantu samurai berlari mengejarnya.

"Hai, bajingan! Tunggu!"

"Kalian sebut apa aku?" tanya Iori marah.

"Turun dari kuda itu!" Mereka sudah ada di kedua sisinya sekarang.

"Kenapa begitu? Aku tidak kenal kalian."

"Pokoknya tutup mulutmu, dan turun!"

"Tidak! Mana bisa!"

Belum lagi Iori tahu apa yang terjadi, salah seorang dari mereka sudah menangkap kaki kanannya tinggi-tinggi, hingga ia terjungkal ke sisi lain kudanya.

"Ada yang mau ketemu denganmu. Ayo ikut aku." Dipegangnya kerah Iori, dan diseretnya anak itu ke warung teh di pinggir jalan.

Osugi berdiri di luar warung, memegang tongkat. Ia suruh pergi para

pembantu dengan gerakan tangannya yang tidak memegang tongkat. Ia mengenakan pakaian perjalanan, dan berada di tengah semua samurai itu. Iori tidak tahu mesti berbuat apa, dan ia tak punya waktu buat memikirkannya.

"Anak bandel!" kata Osugi, lalu dipukulnya bahu Iori keras-keras dengan tongkatnya. Iori membuat gerakan pasang kuda-kuda, walaupun tahu ia betul-betul kalah jumlah. "Musashi cuma punya murid terbaik. Ha! Kudengar kau seorang dari muridnya."

"Ah... Saya takkan bicara begitu, seandainya saya ini Nenek."

"Oh, takkan bicara, ya?"

"Saya... saya tak punya urusan dengan Nenek."

"Oh, ada! Kau mesti mengatakan beberapa hal pada kami. Siapa yang menyuruhmu mengikuti kami?"

"Mengikuti kalian?" dengus Iori menghina.

"Berani amat kau bicara begitu!" pekik perempuan tua itu. "Apa Musashi tak pernah mengajarkan kesopanan padamu?"

"Saya tidak butuh pelajaran dari Nenek. Saya mau pergi sekarang."

"Kau takkan pergi!" teriak Osugi yang segera memukul tulang kering Iori dengan tongkatnya.

"O-w-w!" Iori runtuh ke tanah.

Para pembantu mencekal anak itu, dan menyeretnya ke bengkel kilang di dekat gerbang kampung. Di situ duduk seorang samurai yang agaknya berpangkat tinggi. Ia baru selesai makan, dan sedang menghirup air panas. Melihat keadaan Iori, ia menyeringai.

"Berbahaya," pikir anak itu, ketika matanya bertemu dengan mata Kojiro.

Dengan tampang penuh kemenangan, Osugi mendongakkan dagunya, katanya, "Lihat! Tepat seperti yang kuduga—Iori! Apa yang mau dilakukan Musashi sekarang? Siapa lagi kalau bukan dia yang mengirim anak ini buat mengikuti kita?"

"Ya," gumam Kojiro sambil mengangguk, lalu menyuruh para pembantu pergi. Seorang pembantu bertanya, apakah ia menghendaki anak itu diikat. Kojiro tersenyum dan menggelengkan kepala. Ia tak dapat berdiri tegak, apalagi lari.

Kata Kojiro, "Kau dengar apa kata Nenek. Apa itu betul?"

"Tidak. Saya cuma jalan-jalan berkuda. Saya tidak mengikuti kalian atau siapa pun."

"Hmm, mungkin juga. Kalau Musashi memang seorang samurai, dia tak akan menggunakan tipu daya murahan." Kemudian ia mulai bersoal-jawab sendiri. "Sebaliknya, kalau dia dengar kami tiba-tiba berangkat dengan serombongan samurai Hosokawa, dia mungkin curiga dan mengirimkan orang untuk memeriksa gerakan kami. Itu wajar sekali."

Perubahan yang terjadi pada Kojiro sungguh mencolok. Ia tidak lagi mengenakan jambul, sebaliknya kepalanya tercukur seperti wajarnya seorang samurai. Dan sebagai ganti pakaian mencolok yang biasa dikenakannya, kini ia mengenakan kimono hitam. Hakama kasar yang dikenakannya menimbulkan kesan amat konservatif. Galah Pengering disandangnya di sisi. Keinginannya untuk menjadi pengikut Keluaarga Hosokawa telah terlaksana—bukan dengan imbalan lima ribu gantang seperti dikehendakinya, melainkan imbalan sekitar separuh jumlah itu.

Rombongan yang dipimpin Kakubei itu rombongan pendahuluan yang sedang dalam perjalanan ke Buzen, untuk mempersiapkan kembalinya Hosokawa Tadatoshi. Karena prihatin akan umur ayahnya, ia menyampaikan permohonan kepada shogun beberapa waktu sebelumnya. Izin akhirnya diberikan, suatu petunjuk bahwa shogun tidak memiliki prasangka apa pun terhadap kesetiaan Keluarga Hosokawa.

Osugi minta ikut serta, karena ia memang merasa harus pulang. Ia tidak melepaskan kedudukannya sebagai kepala keluarga, namun sudah hampir sepuluh tahun ia tidak hadir di tempat. Paman Gon-lah yang mestinya mengurus segala sesuatu atas namanya, jika orang itu masih hidup. Karena Paman Gon sudah meninggal, ia menduga kini banyak soal keluarga yang butuh perhatiannya.

Mereka akan melewati Osaka, di mana ia meninggalkan abu Paman Gon. Ia akan dapat membawa abu itu ke Mimasaka dan mengadakan upacara doa. Sudah lama juga ia menelantarkan upacara doa untuk nenek moyangnya. Ia dapat kembali mengadakan pencarian nanti, sesudah membereskan soal-soal di rumah.

Baru-baru ini ia merasa senang-dengan dirinya, karena menurut keyakinannya ia telah menjatuhkan pukulan keras terhadap Musashi. Mula-mula, ketika mendengar tentang usulan itu dari Kojiro, ia merasa semangatnya akan runtuh. Kalau Musashi memperoleh pengangkatan, berarti Musashi akan semakin tak terjangkau olehnya.

Maka ia memutuskan untuk mencegah agar tidak terjadi bencana pada shogun dan seluruh bangsa. Ia belum bertemu dengan Takuan, tapi ia telah mengunjungi keluarga Yagyu maupun Hojo, untuk mencela Musashi dan menyatakan bahwa mengangkat Musashi untuk kedudukan tinggi berarti kebodohan berbahaya. Belum puas dengan hal itu, ia mengulangi fitnah-fitnahnya di rumah setiap menteri pemerintah yang mengizinkan ia masuk pintu gerbang.

Tentu saja Kojiro tidak berusaha mencegahnya, namun tidak pula memberikan dorongan khusus kepadanya, karena ia tahu Osugi takkan mau berhenti sebelum menuntaskan misinya. Dan ia amat serius menjalaninya: ia bahkan menulis surat-surat jahat tentang masa lalu Musashi, dan melemparkan surat-surat itu ke pekarangan Komisaris Edo dan para anggota Dewan Sesepuh. Sebelum ia selesai dengan pekerjaannya, Kojiro sendiri sampai bertanya-tanya, apakah perempuan itu tidak melangkah terlalu jauh.

Kojiro mendorong Osugi ikut dalam perjalanan itu, karena ia percaya akan lebih baik kalau Osugi kembali ke kampung. Di sana ia tidak akan terlalu menimbulkan kerugian. Kalaupun ada yang disesali Osugi, itu karena Matahachi tidak pergi bersamanya; ia masih yakin bahwa suatu hari nanti, Matahachi akan sadar dan kembali kepadanya.

Iori sendiri tak mungkin tahu keadaan yang melingkunginya. Ia tak dapat melarikan diri, dan segan menangis, karena takut hal itu merusak nama Musashi. Kini ia merasa tertangkap di tengah musuh.

Kojiro dengan sengaja memandang langsung mata itu, dan alangkah herannya ia, karena tatapan matanya mendapat balasan. Tak sekali pun mata Iori goyah.

"Ibu punya kuas dan tinta?" tanya Kojiro pada Osugi.

"Ya, tapi tintanya sudah kering. Kenapa?"

"Saya mau menulis surat. Papan pengumuman yang dipasang anak buah Yajibei itu tidak membuat Musashi keluar, dan saya tidak tahu di mana dia berada sekarang. Di sini Iori bisa menjadi utusan terbaik. Saya akan kirim surat pada Musashi, berkenaan dengan keberangkatan saya dari Edo."

"Apa yang hendak kautuliskan?"

"Biasa saja. Akan saya minta dia berlatih pedang dan mengunjungi saya di Buzen hari-hari ini. Akan saya beritahukan padanya, saya bersedia menunggunya sepanjang sisa hidup saya. Dia bisa datang kapan saja, kalau dia sudah merasakan keyakinan yang dibutuhkannya."

Osugi melambungkan tangannya dengan ngeri. "Bagaimana mungkin kau bicara begitu? Seluruh sisa hidupmu! Ya, ya! Aku tak punya waktu sebanyak itu buat menunggu. Aku harus lihat Musashi mati, paling lama dalam dua atau tiga tahun ini."

"Serahkan soal itu pada saya. Akan saya urus, sementara saya mengurus urusan saya."

"Apa kau tidak lihat, aku bertambah tua? Mesti dilakukan selagi aku masih hidup."

"Kalau Ibu bisa menjaga diri, Ibu akan hadir waktu pedang saya yang tak terkalahkan ini melakukan tugasnya."

Kojiro mengeluarkan kantung tulisnya dan pergi ke sungai terdekat. Di situ ia basahi jarinya untuk membasahi potongan tinta. Sambil berdiri, ia keluarkan kertas dari kimononya. Ia menulis cepat, namun tulisan dan susunan kata-katanya benar-benar goresan seorang ahli.

"Kau bisa pakai ini buat lem," kata Osugi, mengeluarkan beberapa butir nasi dan meletakkannya di selembar daun. Kojiro meremas nasi itu dengan jari-jarinya, mengoleskannya sepanjang tepi surat, dan menutup surat itu. Di belakang ditulisnya: Dari Sasaki Ganryu. Abdi Keluarga Hosokawa.

"Hei, sini kau! Kau takkan diapa-apakan. Tapi bawa surat ini pada Musashi, dan jaga betul supaya sampai, karena surat ini penting."

Iori mundur sejenak, tapi kemudian bergumam menyatakan kesediaannya, dan mengambil surat itu dari tangan Kojiro. "Apa isinya?"

"Seperti kukatakan pada ibu tua tadi."

"Boleh saya lihat?"

"Kau tak boleh membuka lemnya."

"Kalau tulisanmu menghina, saya tak mau membawanya."

"Tak ada yang kasar dalam surat itu. Kuminta dia ingat pada janji kami untuk masa depan, dan kukatakan padanya, aku menanti bertemu lagi dengan dia, barangkali di Buzen, kalau kebetulan dia datang ke sana."

"Apa maksudmu dengan bertemu lagi dengan dia?"

"Maksudku, bertemu dengan dia di batas antara hidup dan mati." Pipi Kojiro memerah sedikit.

Sambil memasukkan surat itu ke dalam kimononya, Iori berkata, "Baik, akan saya sampaikan," lalu ia berlari pergi. Baru sekitar tiga puluh meter ia berhenti, menoleh, dan menjulurkan lidahnya kepada Osugi, "Tukang sihir tua gila!" teriaknya.

"A-apa?" kata Osugi, yang lalu siap mengejarnya, tapi Kojiro memegang tangannya dan menahannya.

"Biarlah," kata Kojiro disertai senyum sedih. "Dia cuma anak kecil." Kemudian teriaknya pada Iori, "Apa tak bisa kau mengatakan yang lebih baik dari itu?"

"Tak bisa...." Air mata marah menggejolak dari dalam dada Iori. "Tapi kau akan menyesal. Musashi tidak bakal kalah dengan orang macam kau."

"Kau mirip dia rupanya? Pantang menyerah. Tapi aku senang melihat caramu membela dia. Kalau nanti dia mati, datanglah padaku. Akan kuberi kau kerja menyapu halaman, atau yang lain."

Iori tak mengerti bahwa Kojiro hanya bergurau, dan ia pun merasa sangat terhina. Dipungutnya batu. Tapi, ketika ia mengangkat tangan untuk melemparkannya, Kojiro menatapnya.

"Jangan lakukan itu!" katanya dengan suara tenang, tapi mantap.

Iori merasa kedua mata itu menembusnya seperti dua butir peluru; ia menjatuhkan batu itu dan lari. Ia lari terus, sampai akhirnya ia kehabisan tenaga dan roboh di tengah Dataran Musashino.

Dua jam lamanya ia duduk di sana, memikirkan orang yang ia anggap sebagai gurunya. Walaupun ia tahu Musashi punya banyak musuh, ia menganggap Musashi orang besar, dan ia ingin dirinya menjadi orang besar juga. Karena merasa mesti melakukan sesuatu untuk memenuhi kewajiban kepada gurunya dan menjamin keselamatannya, ia memutuskan untuk mengembangkan kekuatannya sendiri secepat mungkin.

Kemudian kenangan tentang sorot mata Kojiro yang mengerikan kembali menghantuinya. Ia bertanya-tanya, dapatkah Musashi mengalahkan orang sekuat itu. Dengan kecil hati ia menyimpulkan, bahkan gurunya pun akan terpaksa belajar dan berlatih lebih keras. Ia berdiri.

Kabut putih yang turun dari pegunungan itu menyebar ke seluruh dataran. Ia putuskan untuk jalan terus ke Chichibu, menyampaikan surat Kojiro itu, tapi tiba-tiba ia teringat kudanya. Ia kuatir para bandit sudah menguasai kuda itu, karena itu ia setengah mati mencarinya, memanggil dan menyiulinya setiap dua kali melangkah.

Ia merasa mendengar suara sepatu kuda dari arah yang menurutnya sebuah kolam. Ia lari ke sana. Tapi ternyata tak ada kuda, juga tak ada kolam. Kabut yang berkelap-kelip menarik diri ke kejauhan.

Dilihatnya benda hitam bergerak, dan didekatinya. Seekor babi hutan berhenti menggusur makanan dan mengamuk ganas di dekatnya. Kemudian babi hutan itu tertelan rumpun buluh, dan sesudah itu membentuk garis putih, seolah-olah ditaburkan lewat tongkat tukang sulap. Begitu ditatapnya benda itu, sadarlah ia bahwa ada suara gemercik air. Ia mendekat, dan tampak olehnya bayangan bulan di sungai gunung.

Sejak dulu ia selalu peka terhadap misteri yang ada di dataran terbuka. Ia yakin benar bahwa kumbang tutul yang sekecil-kecilnya pun memiliki kekuatan spiritual dewa-dewa. Dalam pandangannya, tak ada suatu pun yang tak berjiwa, termasuk dedaunan yang bergoyang, air yang memberi isyarat, atau angin yang bertiup. Kini, di tengah alam, ia dapat merasakan sepinya musim gugur yang hampir lewat, juga kekecewaan muram yang tentunya dirasakan oleh rumput, serangga, dan air.

Ia tersedu-sedan demikian keras, hingga bahunya berguncang-tapi air matanya air mata manis, bukan air mata pahit. Sekiranya waktu itu ada makhluk lain yang bukan manusia-barangkali sebuah bintang atau roh dataran-bertanya kepadanya kenapa ia menangis, pasti ia tak dapat menjawabnya. Tapi kalau roh yang selalu ingin tahu itu berkeras bertanya, diiringi belaian dan bujukan, akhirnya ia akan mengatakan, "Aku sering menangis kalau berada di tempat terbuka. Aku selalu merasa rumah di Hotengahara itu ada di dekatku."

Menangis merupakan penyegar jiwanya. Sesudah ia menangis sepuaspuasnya, langit dan bumi akan menghiburnya. Apabila air matanya sudah kering, semangatnya akan muncul kembali dari tengah awan, bersih dan segar.

"Itu Iori, kan?"

"Saya kira begitu."

Iori menoleh ke arah suara-suara iru. Kedua sosok itu berdiri tegak, hitam, dengan latar belakang langit petang.

"Sensei!" teriaknya. Iori lalu mendapatkan orang yang duduk di pelana itu. "Bapak!" Tak tahan lagi karena gembira, ia bergayut ke sanggurdi untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tidak bermimpi.

"Ada apa?" tanya Musashi. "Apa kerjamu di sini sendirian?" Wajah Musashi tampak kurus sekali—apakah karena cahaya bulan? Tapi kehangatan suaranya itulah yang selama berminggu-minggu ingin sekali didengar Iori. "Saya bermaksud pergi ke Chichibu..." Sampai di situ, Iori melihat sadel kuda itu. "Lho, ini kuda yang saya naiki tadi!"

Sambil tertawa, kata Gonnosuke, "Ini kudamu?"

"Ya."

"Kami tidak tahu milik siapa kuda ini. Dia berkelana dekat Sungai Iruma, maka saya anggap dia hadiah dari langit untuk Musashi."

"Dewa dataran ini yang tentunya mengirimkan kuda ini buat menjemput Bapak," kata Iori penuh ketulusan.

"Kaubilang ini kudamu? Pelananya ini tak mungkin milik seorang samurai yang penghasilannya kurang dari lima ribu gantang."

"Memang kuda ini milik Shinzo."

Sambil turun, tanya Musashi, "Kalau begitu, kau tinggal di rumahnya?"

"Ya, Takuan yang membawa saya ke situ."

"Bagaimana dengan rumah baru kita?"

"Sudah selesai."

"Bagus. Kita bisa kembali ke sana."

"Sensei."

"Ya."

"Bapak begitu kurus. Kenapa?"

"Aku cukup lama bersemadi."

"Bagaimana Bapak keluar dari penjara?"

"Nanti kau dapat mendengarnya dari Gonnosuke. Untuk sementara, kita anggap saja dewa-dewa ada di pihakku."

"Kau tak perlu kuatir, Iori," kata Gonnosuke. "Tak ada yang menyangsikan bahwa dia tak bersalah."

Karena merasa lega, Iori jadi suka bicara. Ia bercerita tentang pertemuannya dengan Jotaro, dan tentang kepergian Jotaro ke Edo. Ketika ceritanya sampai pada "perempuan tua menjijikkan" yang datang ke kediaman Hojo itu, ingatlah ia akan surat Kojiro.

"Oh, saya sampai lupa!" serunya, lalu menyerahkan surat itu kepada Musashi.

"Surat dari Kojiro?" Dengan heran Musashi memegang surat itu beberapa saat, seolah-olah surat itu dari seorang sahabat yang lama hilang.

"Di mana kau ketemu dia?" tanyanya.

"Di Kampung Nobidome. Perempuan tua jelek itu ada bersamanya. Kojiro bilang, dia akan pergi ke Buzen."

"Oh?"

"Dia bersama banyak samurai Hosokawa... Sensei, lebih baik Bapak hati-hati, dan jangan ambil risiko."

Musashi memasukkan surat itu, tanpa dibuka, ke dalam kimononya dan mengangguk.

Karena merasa belum pasti, apakah maksudnya dimengerti, Iori berkata lagi, "Kojiro itu kuat sekali, kan? Apa dia punya masalah dengan Bapak?" Lalu ia bercerita pada Musashi sampai sekecil-kecilnya tentang perjumpaannya dengan musuh itu.

Sesampai mereka di pondok, Iori turun ke kaki bukit, mencari makanan, sementara Gonnosuke mengumpulkan kayu dan mengambil air.

Mereka duduk melingkar sekitar api yang menyala terang di perapian. Mereka menikmati kegembiraan itu, karena masing-masing dari mereka sehat tak kurang suatu apa. Justru waktu itulah Iori melihat bekas-bekas luka yang masih baru, dan tanda-tanda memar di tangan dan leher Musashi.

"Bagaimana Bapak mendapat tanda-tanda itu?" tanyanya. "Sekujur tubuh Bapak penuh tanda itu."

"Ah, ini tidak begitu penting. Apa kuda sudah kauberi makan?"

"Sudah."

"Besok mesti kaukembalikan."

Hari berikutnya, pagi-pagi Iori sudah menaiki kuda itu dan mencongklang sebentar menjelang makan pagi. Begitu matahari sudah di atas kaki langit, ia hentikan kuda itu, dan ia terperangah kagum. Ia pacu kudanya pulang ke pondok, pekiknya, "Sensei! Bangun! Cepat! Mataharinya seperti waktu kita melihatnya dan atas gunung di Chichibu. Matahari itu... besar sekali, seperti mau menggelinding di atas dataran. Bangun, Gonnosuke!"

"Selamat pagi!" kata Musashi dari belukar tempat ia berjalan-jalan. Karena terlalu girang, Iori lupa makan pagi, katanya, "Saya pergi sekarang," lalu berangkat.

Musashi memperhatikan ketika anak itu, bersama kudanya, akhirnya tinggal seperti sosok burung gagak di pusat matahari. Noda hitam itu makin lama makin kecil, sampai akhirnya tertelan oleh bulatan menyala yang mahabesar.

BERSAMBUNG >>>>











Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Situs

Online now

Show Post

Blog Archive