"Ungkapan pemikiran sederhana untuk pembenahan diri"

Rabu, 06 Juni 2012

KESALAHAN DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK

Oleh : Ust. Dian Ginanjar, S.Pd
(Guru SMPIT Binaaul Ummah - Bekasi)

Kesalahan adalah guru yang berharga, karena itulah sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman selalu menanyakan tentang perkara keburukan kepada Rasulullah SAW, dikarenakan ia sangat takut akan melakukan keburukan tersebut. Pendidikan adalah perkara yang tidak bisa dianggap remeh dan merupakan salah satu perkara penting karena proses inilah yang akan menentukan kepribadian seseorang, kesalahan dalam mendidik akan dituai oleh si anak dikemudian hari. Usia SD merupakan usia yang krusial bagi perkembangan psikologi anak. Di usia inilah karakter anak akan terbentuk, apakah ia menjadi sholeh atau tholeh. Muhammad Rasyid Dimas menyebutkan beberapa kesalahan dalam membentuk karakter anak :

  1. Memberikan perintah tanpa memberikan pemahaman.
Apakah anak harus memahami semua perintah yang diberikan kepadanya ?
Apakah anak dapat berbuat sesukanya dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman sebagaimana kita selaku orang tua ?
Pertanyaan-pertanyaan diatas mungkin akan muncul ketika kita membaca point ini.
Anak bukanlah robot yang tidak memiliki hak untuk memilih, anak bukanlah seonggok benda yang dapat kita perlakukan dengan bebas tanpa adanya perlawanan, anak adalah profil miniatur dari orang tua dengan segala keterbatasan psikologi yang dimilikinya, ia memiliki hak untuk menentukan pilihan, disinilah peran orang tua sebagai pendidik untuk memahamkan akan konsekuensi dari sebuah perintah, baik buruknya, sehingga anak akan mengerti bahwa apa yang akan ia putuskan akan kembali kepada dirinya sendiri.
Sebagai contoh kasus, Anggi gadis cilik berusia sembilan tahun. Ia ingin menggambar dengan tinta hitam yang akan ditempelkan di mading sebagai tugas ekstrakurikuler. Ia kemudian menemui abinya untuk meminta ijin menggunakan tinta hitam sebagai bahan untuk menggambar. Abinya bisa saja menolak dengan tegas bahwa ia tidak boleh menggunakan tinta hitam karena khawatir akan tumpah dan mengotori karpet, akan tetapi ia berpikir jika ia berbuat demikian, pasti anaknya akan marah dan memberontak dan hasilnya akan tidak baik, bahkan akan terjadi perdebatan sengit antara mereka. Atas dasar pertimbangan tersebut, abinya memberikan alasan kenapa ia melarangnya untuk menggunakan tinta hitam dengan harapan si anak puas dan menerima keputusan abinya.
“Bukankah lebih baik jika kamu menggunakan pensil warna saja, nak? Sebab jika tinta ini tumpah, pasti akan mengotori karpet dan akan susah untuk dibersihkannya,” kata sang abi.
“Tapi aku ingin garis-garis yang indah dan jelas, dan tinta hitam sangat membantuku, aku mohon bi, ijinkan aku,” Anggi menjawab.
“Tapi mungkin kamu malah akan merusak gambar yang kamu buat itu, jika kamu tidak hati-hati menggunakannya apalagi jika sampai tumpah, kamu pasti akan mengulanginya dari awal, bukankah malah merepotkan,”.
“Tidak bi, aku akan berhati-hati dan tinta itu tidak akan tumpah,” Anggi bersikeras.
Akhirnya si abi setuju seraya berkata, “terserah kamu, kalau begitu. Silakan ambil tinta dan pulpennya di meja abi. Tapi abi akan mengawasimu dari sini.”
Disitu Anggi menarik kembali keputusannya, ia malah khawatir akan membuang waktunya untuk mengulang-ulang gambar dikarenakan ia belum mahir menggunakan tinta warna. Ia akhirnya mengatakan kepada abinya, “saya pikir abi benar saat mengatakan bahwa aku mungkin akan mengotori karpet, kalau begitu saya menggunakan pensil warna saja.”
Kita melihat dalam kasus diatas, abinya Anggi tidak melarang anaknya dengan cara yang menakutkan. Misalnya dengan mengatakan, kamu akan membiarkan botol tinta terbuka, seperti kebiasaan kamu dan lalu tumpah, atau kamu kadang-kadang lalai sehingga tinta tumpah di karpet dan merusaknya. Melainkan ia memilih cara yang dapat meyakinkan anaknya sembari mempertimbangkan perasaannya, dengan mengatakan, “tapi mungkin juga kamu malah merusak gambar yang kamu buat itu jika kamu tidak hati-hati menggunakannya.”
            Artinya si abi membuat anaknya memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk dirinya dengan menggunakan pensil warna. Perasaannya itu membuatnya berpikir untuk menarik gagasannya tanpa tekanan dari abinya. Ia memilih sendiri cara yang lebih selamat bagi dirinya.
            Sejujurnya, jika kita mencatat dialog kita dengan anak-anak kita sepanjang hari, maka akan kita dapati hampir semua perintah berupa instruksi tanpa memahamkan kepada anak akan tujuan perintah tersebut, misalnya :
            “Cepat pakai baju!”
            “Baju kamu kotor, cepat ganti dengan yang lain!”
            “Bereskan mainanmu!”
            “Mulai kerjakan PR!”
            “Bangun dan mandilah!”
            “Sana, pergi tidur!”
Maka jangan merasa heran jika mereka pura-pura tidak mendengar dan tidak mengikuti perintah-perintah itu, karena anak adalah anugrah Allah yang juga ingin dihargai sebagai manusia yang dapat memilih.
            Namun ada satu hal yang tidak boleh dilupakan. Betul bahwa kita perlu membuat anak menerima dan memahamkan tujuan perintah, akan tetapi ketika si anak tetap bersikeras dengan keinginannya, maka disinilah peran orang tua untuk mengawasinya, jangan sampai si anak terlalu jauh mengikuti nafsunya, sebab bila membiarkannya mengikuti nafsu maka akan sangat merusak perkembangan psikologis. Hal inilah salah satu yang membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan Barat Modern, pendidikan Islam bebas terbatas, dalam artian bebas dalam menentukan pilihan bagi si anak, tapi tetap dalam koridor syar’i, lain halnya dengan pendidikan Barat, yang menganut kebebasan mutlak, yang memberikan kebebasan penuh bagi si anak untuk berbuat semaunya, dengan alasan agar si anak mendapatkan pengalaman dari konsekuensi keputusannya.


  1. Istiqomah dalam menyikapi perilaku anak walaupun ia sudah berubah
Istiqomah dalam menyikapi perilaku anak walaupun ia sudah melakukan perubahan adalah sangat merusak. Orang tua yang selalu memarahi atau menghardik anaknya walaupun si anak sudah menjadi baik atau sebaliknya orang tua yang selalu memanjakan anaknya meskipun si anak selalu melakukan kesalahan atau kenakalan.
Jika anak memperoleh pujian secara berlebihan dan itu tidak pernah berubah meskipun si anak melakukan kesalahan yang terus menerus, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak memiliki empati kepada sesamanya, yang dipikirkan hanya kepentingan dirinya saja dan tujuan–tujuan yang menguntungkan pribadinya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Namun sebaliknya jika si anak terus menerus mendapatkan perlakuan yang keras dan kasar meskipun si anak sudah berubah menjadi lebih baik, ia akan merasa tidak diperhatikan orang tuanya.
Sikap ini akan merangsang dia untuk seenaknya saja dan bersikeras untuk istiqomah (tetap) dalam kesalahan selama ia tidak mendapatkan penghargaan dari orang tuanya.
Pemberian penghargaan dan hukuman yang tepat dalam pendidikan, dapat mempengaruhi pribadi anak  kearah yang baik dan sebaliknya jika penempatannya salah maka hasilnya pun tidak akan baik, hal inilah yang dialami oleh Umar bin Khaththab ketika beliau kecil,                    Al Khaththab adalah seorang ayah yang sering memarahi, memukul dan tidak memperdulikan Umar, sehingga ketika beliau dewasa tumbuh menjadi pribadi yang keras.
Sebagai orang tua haruslah bijak dalam memberikan reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) kepada anak, jika anak bersikap baik maka berikanlah penghargaan (senyum, hadiah, pujian, belaian) namun jika anak bersikap nakal maka berikanlah hukuman yang sesuai, hukuman yang dimaksud adalah hukuman yang mendidik.
Hal ini akan memberikan pemahaman kepada anak bahwa anak baik akan disayang dan anak yang nakal akan dihukum.

  1. Anak tidak dilibatkan dalam membuat aturan
Adalah merupakan kesalahan manakala orang tua tidak berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Orang tua yang bijak adalah mereka yang memotivasi anaknya dalam keterlibatan membuat peraturan. Peraturan yang mengatur tentang perilaku anak, penghargaan dan hukuman, dan bahkan ketika memecahkan masalah diantara intern keluarga. Anak yang dilibatkan dalam pembuatan peraturan, akan lebih menghormati peraturan tersebut karena ia memiliki tanggung jawab dalam menelurkan peraturan tersebut, melalui peraturan ini pulalah anak akan mengerti apa yang diinginkan oleh orang tuanya dan apa yang tidak disukai orang tuanya, dan anak akan dengan rela menerima hukuman yang diberikan jika ia melanggar. Sebagai contoh Hisyam dan Amjad adalah dua anak kembar, mereka senang bemain gulat di rumah. Semula permainan mereka dapat diterima oleh kedua orang tuanya saat usia mereka 2 tahun. Sekarang mereka sudah berumur 4 tahun. Permainan mereka sekarang menjadi sangat mengganggu kedua orang tua mereka, akhirnya mereka dipanggil dan berdiskusi dengan orang tua mereka. Mulailah orang tuanya menjelaskan kepada keduanya tentang akan diberlakukannya peraturan baru mengenai permainan mereka. Orang tua Hisyam dan Amjad bertanya, “bagaimana bila kalian bermain gulat di ruang keluarga dan bukannya di kamar tidur?” dari sanalah tercapai kesepakatan bahwa bermain gulat itu dilarang dimanapun selain di ruang keluarga.
Ketika aturan ini dilaksanakan, orang tua memegang peranan sebagai supervisor yang akan memantau terlaksananya peraturan tersebut, dalam hal ini orang tua harus sering mengingatkan mereka. Bahkan dapat juga anak-anak diminta untuk mengulanginya dengan suara nyaring.




    Share:

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Arsip Situs

    Online now

    Show Post

    Blog Archive